Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 01 Juni 2013

Neraka Kamboja - Bab 42 (penutup) : Kama

Bab 42 (penutup) : Kama


SAMPAI saat namaku disebutkan dan kemudian aku naik ke alas panggung, sedikit pun aku tidak menyangka bahwa aku akan memenangkan hadiah Oscar. Orang seperti aku, yang baru sekali itu melakukan akting, yang baru saja pindah keAmerika Serikat, yang belum lancar berbahasa Inggris -kemungkinan bahwa aku bisa menang kecil sekali. Bahkan dalam film-film buatan Hollywood pun tidak ada akhir cerita yang begitu tidak masuk akal. Dan kalau pun ada, takkan ada penonton yang mau percaya.

Tapi justru itulah yang terjadi. Aku menang meski kemungkinannya begitu kecil. Patung Oscar ada padaku sebagai buktinya, patung berat dan bersepuh emas, sosok seorang pria jangkung dengan wajah kosong penuh misteri.

Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan, aku menang lagi. Di negeri tempat "killing fields",tempat ladang-ladang pembantaian yang sebenarnya, kemungkinan bahwa aku akhirnya bisa menang bahkan jauh lebih kecil lagi.

Jika keajaiban demi keajaiban datang susul menyusul, sulit rasanya untuk tidak berpikir-pikir tentang kama.

Terkadang, orang-orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, tidak menyadari bahwa mereka terpilih. Mereka merupakan alat dalam permainan nasib, dipakai untuk suatu tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Begitulah halnya bagiku. Dewa-dewa sudah terlebih dulu mengetahui segala-galanya, sementara aku sendiri tidak tahu apa-apa. Mereka merencanakan bahwa aku harus menderita dulu, merencanakan bahwa aku harus membaktikan diri, dan merencanakan bahwa kemudianlah aku baru menerima anugerah. Itu merupakan kama. Tanpa menyadarinya, aku sudah memenuhi tugas yang mereka sodorkan kepadaku. Aku sudah ikut membantu menceritakan kisah rentang Kamboja kepada dunia luar.

Sesudah menerima anugerah Academy Award, keesokan paginya aku darang di tempat kerjaku di Chinatown Service Center. Pukul delapan, seperti biasanya. Belok kanan, berjalan sampai ke ujung gang dan masuk ke dalam ruang kerja Bagian Indocina, lalu duduk di dalam bilik kerjaku yang sempit, di bawah lampu-lampu neon. Tapi tidak banyak tugas yang sempat kukerjakan. Semua ingin menyentuh patung Oscar yang kubawa kesitu. Para wartawan dan kru-kru TV berdesak-desak masuk; telepon terus-menerus berdering; satu hari kerja terbuang, karena sibuk terus melayani orang-orang yang hendak mewawancaraidan mengucapkan selamat.

Selama minggu-minggu selanjutnya masih saja tetap belum banyak tugas yang bisa kukerjakan. Berulangkali aku diminta tampil dalam berbagai show di pemancar televisi yang besar-besar, diwawancarai, mengadakan perjalanan ke Asia Timur dan Eropa untuk mempromosikan film itu. Aku dan Dith Pran diundang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan Presiden Reagan. Kehidupanku saat itu luar biasa sibuknya. Bulan Juni 1985 aku minta cuti lagi dari tempat kerjaku di Chinatown Service Center. Tapi ketika masa cuti itu berakhir, aku tidak kembali lagi ke sana.

Aku sudah punya pekerjaan baru, menjadi juru bicara untuk orang-orang Kamboja dan organisator bantuan untuk kaum pengungsi. Sebagian besar dari waktuku terpakai untuk mengadakan perjalanan, berpidato, ikut serta dalam berbagai konferensi, dan berbicara dengan berbagai orang,orang pemerintah dan non pemerintah . Di LosAngeles aku bekerjasama dengan Khmer Humanitarian Organization,  Organisasi Kemanusiaan Khmer, yang memberikan bantuan kepada orang-orang Kamboja di tempat penampungan pengungsi dan di Amerika Serikat, dan juga dengan suatu organisasi lain yang bernama United Khmer Humanitarianism and Peace. Organisasi yang belakangan ini mendukung sebuah kuil sementara yang terdapat di sebuah rumah, dan berusaha mengumpulkan dana untuk membangun sebuah kuil yang asli dengan gaya tradisional Kamboja. Beberapa kali dalam setahun aku pergi mengunjungi perbatasan Thailand-Kamboja, dimana aku ikut membantu mendirikan sebuah pusat pendidikan medis. Di sana, dalam sebuah bangunan dari bambu dan kajang, aku bersama staf yang ada di situ akan mengajarkan keterampilan di segi kesehatan masyarakat kepada orang-orang desa yang kemudian akan dimukimkan kembali di Kamboja.

Seperti aku, kawanku Dith Pran juga melakukan kegiatan berbicara di depan umum. Ia bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang menyelenggarakan bantuan untuk orang-orang Kamboja. Aku bersahabat karib dengan dia. Kami berusaha sekuat tenaga, membantu menyembuhkan luka-luka yang diderita Kamboja. Kami tidak sendiri saja: banyak orang Kamboia seperti kami yang secara sukarela menyuarakan masalah-masalah, bekerja di semua tingkatan; dan di antara kami semua terjalin ikatan kekerabatan, karena kami semua pernah mengalami peristiwa-peristiwa dahsyat yang sama.

Kadang-kadang ada orang yang bertanya padaku, apa arti memenangkan Hadiah Oscar bagiku.Bagiku secara pribadi itu berarti bisa mengakui bahwa aktingku dalam film The Killing Fields memang baik. Itu berarti terbukanya hatiku danmembiarkan puji-pujian mengalir masuk, setelah sedemikian lama aku menutup diri. Senang rasanya mendapat pengakuan. Aku tidak lagi menolaknya.

Dan bagiku sebagai juru bicara bangsaku, Oscar itu membukakan pintu. Ketika film itu belum diedarkan, tragedi yang melanda Kamboja tidak begitu dikenal oleh dunia luar. Berkat film dan Hadiah Oscar itu aku kini bisa pergi ke mana-mana, boleh dibilang siapa pun juga bersedia berbicara dengan aku. Itu juga dialami oleh Dith Pran. Bagi banyak orang Kamboja, kini pintu-pintu terbuka. Aku mengucap syukur bahwa orang kini mau mendengarkan kami, dan menjadi sadar akan eksistensi negeri kami serta masalah-masalahnya. Sebelumnya, tidak ada yang mau mendengarkan.

Dan Hadiah Oscar tentu saja membuka pintu-pintu bagiku selaku aktor. Karena aku kemudian ditawari berbagai peranan, dan tidak hanya di Hollywood saja. Selama waktu antara menerima Hadiah Oscar dan saat aku menulis buku ini, aku sudah bermain dalam dua buah film berbahasa Cina yang dibuat di Asia, selanjutnya sebuab film dokumenter Perancis mengenai Kamboja, sebuah film iklan perusahaan farmasi; aku juga pernah tampil dalam beberapa episode serial Hotel dan Miami Vice sebuah serial pendek berjudul In Love and War, dan menjadi pemandu dalam sebuah acara TV.

Aku menyukai pekerjaan sebagai aktor. Aku tidak merasa cemas tentang masa depanku. Selama ini aku selalu bisa selamat. Mobilku masih VW yang kubeli tahun 1980 dulu. Aku masih memakai pakaian yang dipesankan Paman Lo dulu, ketikaaku masih tinggal di Lumpini. Aku masih tinggal di apartemen yang dulu juga, sebelum aku memenangkan Hadiah Oscar. Kemungkinan aku akan pindah, tapi itu bisa kapan-kapan saja. Apakah aku akan terus menjadi aktor, atau kembali ke profesiku sebagai dokter, atau kembali ke tempat kerjaku yang lama di Chinatown Service Center: semuanya itu tidak terlalu penting bagiku.

Persoalan yang lebih penting ketimbang apa yang kulakukan, atau apa yang dilakukan oleh Dith Pran, yang dilakukan orang Kamboja yang mana pun juga, adalah nasib negeri asal kami. Kamboja kini dinamakan Republik Rakyat Kampuchea. Heng Samrin, yang dulu pernah menjadi salah seorang komandan Khmer Merah, masih tetap merupakan pemimpinnya sampai kini. Pemimpin boneka. Dalang yang ada di belakangnya masih tetap Vietnam. Para "penasihat" yangorang Vietnam-lah yang memegang tali-tali kendali, dan pasukan-pasukan Vietnam yang terdiri atas 150.000 serdadu bersenjata lengkap menjamin bahwa segala perintah mereka benar-benar dilaksanakan.

Dengan diam-diam, tanpa ada pengumuman resmi, Vietnam kini menjajah Kamboja. Mereka menguras isi Danau Tonle Sap, ikan yang ada disitu diangkut semua ke Vietnam. Mereka merampok karet alam, beras, segala macam harta bumi kami. Mereka memberikan dorongan kepada orang-orang Vietnam dan orang-orang Kamboja keturunan Vietnam untuk membangun pemukiman mereka di segala pelosok Kamboja. Orangorang lelaki Vietnam mengambil wanita-wanita Kamboja dan dijadikan istri mereka, tanpa peduli apakah wanitanya mau atau tidak. Tindak-tindak kejahatan yang dilakukan orang-orang Vietnam terhadap orang-orang Kamboja dibiarkan saja tanpa hukuman. Di sekolah-sekolah hanya sedikit sekali diajarkan tentang kebudayaan Kamboja. Disana diajarkan bahasa Vietnam dan Rusia; murid-murid yang paling pandai dikirim ke Hanoi atau ke Moskow, untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.

Meski rakyat tidak diikat dan dicampakkan kedalam lubang kuburan massal oleh orang-orang Vietnam, sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Khmer Merah, sistem 'peradilan' mereka banyak kemiripannya dengan sistem yang dianut Khmer Merah. Orang-orang ditangkapi karena mengatakan sesuatu yang bernada negatif terhadap rezim yang berkuasa, atau mendengarkan siaran pemancar-pemancar radio yang dinyatakan tidak boleh didengar, atau karena menikah tanpa izin. Orang-orang yang ditangkap tidak diberi kesempatan membela diri, atau diajukan ke pengadilan. Penjara-penjara jorok kondisinya, penuh dengan kotoran manusia. Penyiksaan masih terus saja terjadi. Para pemeriksa memukuli korban-korban mereka, melecuti dengan rantai dan selang karet, mengalirkan arus listrik ke tubuh mereka dan mencekik dengan kantong-kamong plastik yang disungkupkan ke kepala. Semuanya ini kuketahui dari cerita para pengungsi. Tapi itu juga bisa dibaca dalam laporan-Iaporan yang disusun oleh badan Amnesty International.

Vietnam mengerahkan tenaga kerja paksa, bukan untuk membangun saluran air dan bendungan seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah dulu, tapi untuk menebangi pohon-pohon di pinggir jalan, agar kaum gerilyawan anti pemerintah kehilangan tempat berlindung apabila hendak melancarkan sergapan. Budak-budak perang yang baru dikerahkan untuk membabat hutan, membangun rintangan-rintangan dan memasang ranjau, terutama dekat perbatasan dengan Thailand. Penyakit malaria merajalela di perkampungan kerja paksa. Banyak dari mereka ini yang kehilangan kakikarena menginjak ranjau.

Perang masih terus berlangsung di Kamboja. Apabila pasukan-pasukan Vietnam bergerak dalam jumlah besar saat siang hari, mereka bisa pergi ke mana saja; tapi begitu mereka sudah lewat atau hari sudah malam, daerah ped esaan kembaliberada dalam kekuasaan pasukan-pasukan perlawanan.Di segala kota diberla kukan jam malam.Perang di Kamboja dewasa ini me rupakan peranggerilya tanpa garis-garis front yang jelas, dan dengan keikutsertaan berbagai kelompok di dalamnya. Sebagian besar dari bantuan yang diperoleh kelompok-kelompok perlawanan berasal dari Cina. Vietnam menerima bantuan dari Uni Soviet. Dilihat dari sudut pandangan itu, yang kini sedang berlangsung di Kamboja adalah perang antara kedua negara komunis yang menjadi sponsor dari masing-masing pihak, yakni Cina dan Uni Soviet. Kamboja hanya merupakan satu bidak saja dalam pergulatan mereka, memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di Asia.

Pihak perlawanan terdiri atas tiga kelompok, atau yang biasa disebut faksi. Lambat-laun semakin banyak orang Kamboja yang serius dan berjiwa patriot, menggabungkan diri dalam organisasi Khmer Serei yang terdiri atas tukang-tukang perang dan perampok itu. Mereka membentuk dua faksi antikomunis: Front Pembebasan Nasional Rakyat Kamboja (KPNLF), dan Front Kesatuan Nasional demi Kamboja yang Merdeka, Netral, Damai dan Koperatif (singkatannya dalam bahasa Perancis: FUNCINPEC). Payahnya, keduafaksi itu sama-sama menghadapi masalah kepemimpinan. FUNCINPEC dikepalai Pangeran Sihanouk, yang sudah kehilangan kredibilitasnya karena semasa tahun tujuh puluhan dulu memihak kepada Khmer Merah, dan kini tinggal di Cina dan di Korea Utara. Kepala KPNLF bernama Son Sann, seorang pria terhormat yang sudah tua dan bertubuh ringkih. Pengalamannya di bidang kemiliteran tidak banyak. Markas mereka yang terletak di wilayah Thailand sama-sama dirundung berbagai masalah: pertengkaran secara terbuka, pergulatan memperebutkan kekuasaan, dan laporan-Iaporan yang terus mengalir mengenai kasus-kasus bonjour. Tapi baik KPNLF maupun FUNCINPEC sama-sama memiliki orang-orang yang bermutu dalam organisasi mereka,terutama mereka yang terjun langsung kelapangan. Mereka itu, yang benar-benar mengucurkan keringat dan berjuang mati-matian, sungguh-sungguh kukagumi.

Faksi ketiga, dan yang paling kuat di antara mereka, adalah Khmer Merah, yang sementara ini sudah bisa makan berkecukupan dan memiliki persenjataan yang lengkap lagi. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah bukan komunis lagi, melainkan nasionalis yang ingin mengusir Vietnam keluar dari bumi Kamboja. Mereka juga mengatakan bahwa Pol Pot sudah "pensiun". PolPot memang pernah sakit berat. Tapi selama ia masih hidup, ia akan tetap memegang tampuk pimpinan. Bagaimanapun, ia sudah sekian tahun biasa berpura-pura bahwa tali kendali pimpinan ada di tangan orang lain. Orang yang kemungkinan akan menjadi penggantinya adalah Son Sen, yang menjabat kedudukan menteri pertahanan sewaktu Khmer Merah masih berkuasa di Kamboja. Dialah yang memegang kewenangan atas sistem penjara waktu itu, termasuk penjara dimana aku pernah disiksa. Istri Son Sen menjabat kedudukan menteri kebudayaan. Dialah yang bertanggung jawab atas pembantaian terhadap para bhiksu, dan dia pula vang menghapuskan Budhisme sebagai agama di Kamboja. Tokoh lainyang juga masuk hitungan sebagai calon pengganti Pol Pot adalah Ta Mok, seorang komandan militer yang terkenal bengis. Ia memerintahkan pembunuhan terhadap saingan-saingan utamanya agar dia bisa mendapat kedudukan komandan Zone Barat Daya, sewaktu Pol Pot masih berkuasa.

Tahun 1982, para pendukung ketiga faksi perlawanan itu, yakni RRC, kelima negara anggota ASEAN yang nonkomunis, ditambah Amerika Serikat, mendesak Khmer Merah membentuk pemerintahan koalisi dalam pengasingan, bersama KPNLF dan FUNCINPEC. Koalisi ini, yang menyebut dirinya Kampuchea Demokratik, dan yang pada hakikatnya masih rezim Khmer Merah yang dulu juga, dibentuk dengan suatu tujuan praktis. Dengan adanya pemerintahan itu, kekuatan-kekuatan perlawanan yang bergabung bisa mempertahankan kursi Kamboja di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehadiran diplomatik itu turut berperan dalam tekanan yang terjadi terhadapVietnam agar angkat kaki dari Kamboja. Setiap tahun diajukan sebuah resolusi ke depan sidang umum PBB yang menyerukan kepada Vietnam agar pergi dari Kamboja, dan resolusi itu selalu diterima dengan mayoritas yang sangat besar. Disegi militer, ketiga faksi yang bekerjasama itu menyebabkan biaya pendudukan Kamboja menjadi berat sekali bagi Vietnam. Gabungan ketiga faksi itu sampai saat buku ini kutulis masih belum juga berhasil mengalahkan pasukan-pasukan Vietnam,tapi sebaliknya Vietnam juga tidak mampu mengalahkan mereka. Suatu waktu nanti, kombinasi situasi kemiliteran ini dan adanya tekanan dibidang diplomasi mungkin akan menghasilkan diadakannya suatu konferensi yang bisa merintis jalan ke arah penyelesaian politik. Tanda-tanda awal adanya sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan,kini sudah mulai nampak.

Tapi dilihat dari segi moral, lain lagi urusannya dengan pemerintahan koalisi ini. Sungguh-sungguh tidak enak rasanya, terpaksa harus mau menerima Khmer Merah sebagai mitra perjuangan, hanya agar bisa mengusir Vietnam keluar dari Kamboja. Padahal, seperti yang tertulis di sebuah papan yang dipasang di Jalan Nasionalis, "Khmer Merah - Musuh Bebuyutan."

Hanya dengan perasaan yang sangat enggan sajaaku mau menerima bahwa memang perlu dilakukan perjuangan bahu-membahu bersama KhmerMerah, sampai Vietnam sudah terusir dari Kamboja. Tapi menurut hematku, tidak perlu ditunggu lebih lama untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah atas segala kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka melakukan pembantaian terhadap bangsa mereka sendiri, dan untuk itu mereka harus dihukum. Belum lama berselang ada sebuah organisasi, yakni Komisi Dokumentasi tentang Kamboja (CDC) mengusahakan penyelenggaraan pengadilan terhadap para pemimpin tertinggi Khmer Merah di depan suatu tribunal internasional. Aku dengan sepenuhnya mendukung gagasan itu. Di samping demi keadilan, tersingkirnya para pemimpin tertinggi Khmer Merah itu akan membawa efek praktis di bidang diplomasi selanjutnya: dengan begitu tidak adalagi alasan bagi Vietnam untuk tetap bercokol di Kamboja, yang selama ini mereka katakan untuk melindungi Negeri Kamboja dari kemungkinan kembalinya Pol Pot.

Peperangan yang terus berkecamuk selama ini menyebabkan adanya pelarian berjumlah lebih dari tiga ratus ribu orang di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja dan di tempat-tempat penampungan pengungsi yang kini masih tersisa didalam wilayah Thailand. Negara ini kini sudah menutup sebagian besar dari tempat-tempat penampungan,dan ingin jika sisanya juga bisa ditutup. Negara-negara Barat sudah bosan menerima para pengungsi Kamboja untuk dimukimkan kembali di tempat mereka. Para pelarian tinggal digubuk-gubuk di sepanjang perbatasan, tanpa bisa ke mana-mana, sementara kembali ke Kamboja mereka tidak mau. Mereka tidak bisa bercocok tanam, karena tidak ada lahan, dan juga tidak ada keamanan untuk melakukannya. Jadi mereka terpaksa menunggu adanya sumbangan bahan pangan dari luar. Anak-anak sudah menjadi serdadu, sebelum mereka sempat menjadi dewasa. Di berbagai rumah sakit dan klinik yang didirikan, staf yang terdiri dari orang-orang Kamboja dan beberapa gelintir tenaga sukarela dari Barat masih terus melakukan tugas mereka, memberikan perawatan medis. Kasus-kasus yang membebani seakan tidak ada henti-hentinya: malaria, TBC, disentri, luka-luka kena tembakan. Di sana nampak orang-orang yang berjalan terpincang-pincang dengan kaki palsu murahan, karena kaki mereka hancur kena ranjau. Nampak para pengungsi yang dirundung depresi, mengalami trauma karena kehilangan sanak keluarga dan karena eksistensi mereka yang tanpa daya selaku pengungsi. Apabila aku berada di rumah-sakit rumah-sakitdi perkampungan para pengungsi dan aku melihat bahwa hampir tidak ada perubahan samasekali di situ sejak aku pergi dari sana, aku pun merasa bahwa aku tidak berdaya apa-apa. Karena tidak satu pun yang selama ini sudah kulakukan, mulai dari pekerjaanku di situ sebagai dokter, selanjutnya keikutsertaanku dalam film The Killing Fields, dan kemudian kegiatanku mengumpulkan dana; karena semua yang telah kulakukan itu ternyata tidak bisa mengubah kondisi dasar yang ada di sepanjang perbatasan. Pada saat-saat seperti itu, saat semua tempat tidur yang ada terisi pasien dan hampir tidak ada udara segar yang menghembus ke dalam lewat celah-celah dinding bambu, pada saat-saat seperti itu Hadiah Oscar sama sekali tidak ada artinya bagiku.

*************

Malapetaka Kamboja telah mencabik-cabik kehidupan kami, Mencampakkan kami ke segala penjuru, menyebabkan tidak ada seorang pun dari kami yang masih tetap seperti dulu. Kesalahan bisa ditimpakan kepada siapa saja: negara-negara asing karena campur tangan, atau cacat yang ada pada diri kami sendiri, seperti korupsi dan kum;tapi dengan begitu kita masih juga belum tahu kenapa semuanya itu harus terjadi. Negeri Kamboja masih terap porak-poranda, jutaan orang mati, dan yang masih hidup belum bisa melupakan kepedihan hati.

Sebagian besar dari orang-orang Kamboja kenalanku dulu, kini sudah tidak ada lagi. Mereka sudah mati. Itu juga dialami kebanyakan orang Kamboja yang selamat. Tapi informasi sangat sulit diperoleh. Aku tidak tahu bagaimana nasib Paman Kruy, sopir bis yang pernah menampungku sewaktu aku masih anak-anak; rekan-rekan dokterku, Pok Saradath dan Dav Kiet; Chea Huon, bekas guruku yang kemudian menjadi tokoh pemimpin Khmer Merah; Sangam, temanku dalam regu pupuk, dan masih banyak lagi yang lain-lainnya.

Tapi ini kuketahui dengan pasti: Pen Tip, yang beberapa kali berusaha agar aku dibunuh, kini ada di sekolah kedokteran di Phnom Penh. Pasti banyak temannya di kalangan tuan-tuannya yang baru, orang-orang Vietnam.

Bibi Kim, bibiku yang melapor kepada kepala desa Tonle Bati bahwa aku sebenamya dokter, sementara ini telah bermukim di sebuah kota diAmerika Serikat. Ia disertai anak-anak lelakinya: Haing Seng, yang pernah bertengkar dengan aku di Tonle Bari dulu, dan Haing Meng, yang sepanjang pengetahuanku (atau seperti dikatakan orang-orang Amerika, "katanya") dulu perwira Khmer Merah, yang kemudian berhasil lolos dari pemeriksaan Imigrasi Amerika. Sementara ini ia sudah mengganti namanya. Aku tidak tahu dimana ia kini berada.

Tentang sanak keluarga yang lain-lainnya: adikku Hong Srun masih ada di Kamboja, dengan dua anak abangku; adikku Hok, kini tinggal diluar kota Los Angeles bersama istri dan anaknya; kedua sepupuku, Balam dan Phillip Tong, masih bertempat tinggal di Los Angeles dan hidup sentosa di sana. Aku juga masih punya beberapa orang sepupu lelaki di Macao dan Perancis, dan seorang keponakan perempuan yang juga tinggal di Perancis. Dia saru-satunya anak perempuan kakakku Chhai Thau yang masih hidup.

Keponakanku Sophia merasa tidak senang tinggal bersama aku. Mungkin pembawaanku terlalu kuno dan terlalu kuat berpegang pada adat kebiasaan Kamboja, sehingga tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi dalam dirinya sebagai gadis remaja Amerika. Suatu hari, ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan sepucuk surat yang dialamatkan kepadaku. Surat itu tidak pernah kubuka, jadi tidak kuketahui isinya. Dan Sophia sejak itu tidak pernah kembali.

Segala pertengkaranku dengan ayahku, segala pertengkaranku dengan abangku, dan sekarang ini-pukulan terakhir yang sangar menyakitkan dalam sejarah keluargaku yang penuh dengan keributan.

Aku merasa kehilangan Sophia.

Sementara ini aku masih tinggal di apartemenku dengan dua kamar tidur dan sebuah balkon diluar, dengan pemandangan gedung-gedung tinggi di pusat kota Los Angeles yang nampak dikejauhan. Dinding-dinding apartemen itu penuh dengan pajangan tanda-tanda penghargaan yang kuterima serta foto-foto adegan dari film TheKilling Fields. Pada posisi yang lebih tinggi dari semuanya, di tempat terhormat, terpasang foto Huoy, yang kusuruh besarkan dari foto kartu identitasnya yang kuperoleh kembali setelah aku memohon-mohon kepada kepala desa Phum Ra,sekian tahun yang lalu.

Medalion dengan foto Huoy masih tergantung dengan rantai emas di leherku. Arwahnya masih terus membimbingku. Ia pasti mau mengizinkan aku menikah lagi dan membina keluarga, tapi sejauh ini itu belum terjadi. Tidak mudah bagiku untuk menemukan wanita yang bisa menggantikan Huoy sebagai pendampingku.

Suatu waktu nanti, apabila Kamboja sudah bebas lagi, aku akan kembali ke Kamboja dan mendatangi pohon sdao yang tumbuh miring diatas bukit kecil di tengah daerah persawahan itu. Aku akan ke sana, disertai bhiksu-bhiksu Budha. Kami akan mengadakan upacara sembahyang arwah, lalu membangun stupa untuk Huoy, disamping kuil di atas lereng bukit. Kami akan mendoakan arwah Huoy, arwah ibunya, arwah orangtua dan keluargaku, dan mereka semua yang sudah meninggal dunia. Semoga dengan demikian arwah mereka bisa merasa tenang. Dan barangkali jiwaku setelah itu juga akan bisa tenang.

Aku masih ingat, berjalan-jalan sore hari bersama Huoy, menyusur tepi sungai di Phnom Penh. Cahaya lampu-lampu tercermin di atas permukaan air, dan angin yang bertiup menggerakgerakkan rambutnya. Kami berjalan dengan santai, tanpa ada pikiran yang membebani, bercakap-cakap tentang masa depan. Betapa cerah nampaknya masa depan waktu itu - bekerja keras dan menjadi makmur, mendapat beberapa orang anak,tetap dekat dengan sanak keluarga. Betapa cerah kesan semuanya waktu itu. Tapi kehidupan kami ternyata tidak berjalan seperti yang kami rencanakan. Kehidupan Huoy terlalu cepat berakhir. Dan tidak ada ampun bagiku, karena kenang-kenanganku sendiri yang selalu menghantui.

Neraka Kamboja - Bab 41 : Kemasyuran


Bab 41 : Kemasyuran


DALAM versi akhir dari film The Killing Fields ada satu adegan yang pengambilannya dilakukan di Thailand; dalam adegan itu aku dan Sam Waterston, masing-masing sebagai Dith Pran dan Sydney Schanberg, sedang mendatangi pasukan-pasukan Lon Nol dan para penasihat militer mereka dari Amerika. Tiba-tiba Khmer Merah melancarkan serangan. Aku dan Sam meloncat masuk ke dalam sebuah lubang perlindungan. Kamera beralih ke rekaman close-up yang diambil di Inggris, menampakkan kami berdua di dalam lubang perlindungan, dan aku berseru, "Itu, Sydney! Khmer Merah!" Film langsung beralih lagi ke adegan yang diambil di Thailand. Sambungan- sambungannya begitu sempurna, sehingga penonton sedikit pun takkan menyadari bahwa potongan-potongan adegan itu diambil di lokasi yang berbeda-beda.

Begitu pula halnya dengan adegan pengungsian dari gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Phnom Penh. Adegan itu dibuat di Thailand, disisipi dengan rekaman yang menampakkan pesawat-pesawat helikopter pasukan marinir Amerika Serikat yang besar-besar, dan diambil di San Diego.

Aku tercengang. Tapi itulah hakikat pembuatan film: menyambung-nyambung berbagai potongan adegan yang diambil di berbagai tempat dan waktu yang berlain-lainan, dengan pengambilan ulang, dubbing suara, lalu menambahkan musik, judul film, dan nama para pelaku serta macam-macam lagi. Para aktor hanya merupakan bagian saja dari keseluruhan ilusi.

Babak pengambilan adegan-adegan yang pertama- tama dan memakan waktu paling lama berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus 1983 di Thailand. Bulan November tahun itu juga, selama dua minggu kami berada di lokasi lain, yakni di San Diego dan di Kanada. Bulan April 1984 aku pergi lagi ke Thailand selama beberapa minggu, untuk pengambilan adegan-adegan pelarian ke perbatasan. Bulan Agustus dan September aku berada di Inggris untuk pengambilan beberapa adegan, seperti close-up di dalam lubang perlindungan, dan untuk melakukan dubbing suara.

Perjalanan kian-kemari itu tidak apa-apa bagiku. Itu malah merupakan kesempatan untuk datang dan melihat tempat-tempat yang belum pemah kulihat, di tambah kemungkinan bergabung kembali dengan awak film.

Setiap kali satu babak pembuatan film sudah selesai, aku selalu kembali ke tempat kerjaku yang lama di Los Angeles, yang memberiku gaji empat ratus dollar seminggu. Setiap kali aku kembali ke situ, aku merasa bersalah. Para rekanku di Chinatown Service Center baik-baik semuanya. Mereka itu ada yang orang Vietnam, orang Kamboja, dan beberapa orang Cina dari Taiwan dan Hong Kong. Tugas yang mereka kerjakan di situ penting dan praktis sifatnya. Kami punya sasaran-sasaran yang harus dicapai. Setiap bulan kami memberikan tempat kerja bagi sejumlah pengungsi setiap bulannya. Setiap kali aku harus pergi lagi, pekerjaan yang harus ditanggulangi rekan-rekanku di situ menjadi tambah berat.

Setiap kali atasan langsungku memberi izin cuti, apabila aku harus pergi lagi. Wanita itu sangat baik hati. Dan hanya dia dan kepala yang tertinggi di pusat itu yang mengetahui alasan sebenarnya dari kepergianku meninggalkan tempat kerja. Aku tidak bercerita mengenainya kepada siapa pun juga di Los Angeles, selain kepada Sophia. Kepada teman-teman dan para rekan aku hanya mengatakan secara samar-samar saja bahwa aku harus pergi karena suatu urusan dengan kaum pengungsi. Sebagian dari alasanku tidak mengatakan apa-apa kepada mereka adalah untuk melindungi diriku seandainya film itu nanti jika sudah selesai ternyata tidak bagus. Kuanggap tidak ada gunanya menyebabkan mereka belum-belum sudah bergairah, tapi nantinya kecewa. Tapi ada sebab lain yang mendasari sikapku itu: karena sekian lama berada di bawah kungkungan rezim Khmer Merah, aku jadi punya kebiasaan untuk berahasia. Bagiku masih saja sulit untuk bisa mempercayai orang lain. Bahkan pada Balam pun aku tidak bercerita apa-apa, padahal tinggalnya dalam gedung yang sama. Begitu pula halnya dengan adikku Hok, yang tinggal di luar kota Los Angeles, atau saudara sepupuku Phillip Thong.

Aku waktu itu seperti menjalani kehidupan ganda.

Sekitar bulan November 1984, ketika aku sedang duduk di belakang meja kerjaku di kantor, ada telepon untukku dari studio Warner Bros, di Burbank. David Puttnam dan Roland Joffe ada di sana. Mereka ingin mengajakku melihat preview film itu yang akan diputar di San Diego. Setelah menerima kabar itu aku kembali bekerja seperti biasa, melayani pertanyaan-pertanyaan para klienku dan membantu mereka mengurus berbagai hal. Sehabis bekerja aku pulang ke rumah. Tidak lama kemudian sebuah mobil limousine berhenti di luar gedung apartemen tempat tinggalku. Dengan mobil mentereng itu aku pergi ke pelabuhan udara Burbank, langsung ke samping sebuah pesawat jet pribadi berukuran kecil. David, Roland, dan beberapa orang lagi sudah lebih dulu ada di dalamnya. Jet itu langsung berangkat, pramugari menghidangkan minuman champagne, dan aku duduk bersandar sambil kagum sendiri membayangkan perkembangan hidupku.

Selama pembuatan film itu, aku tidak pernah merasa istimewa. Takkan kubiarkan perasaan seperti itu timbul dalam hatiku. David dan Roland selalu bersikap wajar, biasa-biasa saja. Sam selalu menyenangkan dan ramah terhadap siapa saja. Mereka itulah yang menentukan suasana. Selama bekerja bersama mereka, aku tidak pernah berangan- angan menjadi "bintang".

Aku bahkan tidak pernah kepingin menjadi aktor. Aku tahu, siapa aku. Dalam batinku aku masih tetap seorang dokter dari Kamboja. Tapi kini, sementara pesawat jet itu terbang menyusur pesisir selatan California, aku mulai memikirkan siapa diriku sebenarnya, dan apa yang sedang kulakukan saat itu. Tidak mungkin bagiku untuk tidak membanding-bandingkan kehidupanku yang sengsara semasa masih menjadi budak perang, dengan kehidupan yang sekarang. Tidak mungkin ada kehidupan yang lebih mewah lagi dari yang seperti ini, bepergian ke mana-mana naik limousine dan pesawat jet pribadi.

Aku berpikir: dewa-dewa telah menyelamatkan aku. Mereka memberi aku kesempatan yang sebelumnya tidak pernah kuimpikan. Mungkin mereka mempunyai maksud tertentu dengan diriku, sesuatu yang harus kulaksanakan.

Ketika kami tiba di teater yang dituju, pertunjukan preview sudah hampir selesai. Kami hanya sempat melihat setengah jam yang terakhir. Para hadirin kemudian mengisi formulir berisi berbagai kategori mutu yang harus ditentukan: sangat baik, baik, lumayan, dan buruk. Pada formulir-formulir yang sempat kulihat, penilaian untuk aku dan Sam Waterston semuanya "sangat baik". Aku dikerumuni orang-orang yang minta tandatangan. Baru sekali itu aku dimintai tandatangan.

Minggu-minggu berikutnya menyusul pertunjukan- pertunjukan preview di Los Angeles. Karena satu dan lain sebab, aku selalu saja datang terlambat. Hal itu menjengkelkan, karena aku belum pernah melihat film itu selengkapnya, melainkan hanya sepenggal-sepenggal saja di ruang editing Roland di Inggris. Ketika pemutaran film selesai, hadirin bertepuk tangan riuh dan lama. Suatu kali, ketika aku sudah hendak meninggalkan tempat pemutaran film itu di kampus University of Southern California, seorang mahasiswi datang menghampiri lalu merangkul dan menciumku. Katanya, ia ingin jadi istriku. Padahal baru sekali itu dia bertemu dengan aku.

Bulan Desember: pemutaran perdana di New York. World premiere. Lagi-lagi aku tidak sempat melihat pemutarannya. Kunjunganku ke kota itu benar-benar serba sibuk dan membingungkan: melayani kerumunan orang yang meminta tandatangan, difoto, digiring dari satu tempat ke tempat lain untuk diwawancarai di depan kamera televisi. Dalam suatu perjamuan makan namaku dipanggil dan aku diminta berdiri, sementara hadirin menyambut dengan tepuk tangan meriah sambil berdiri pula. Aku bersalaman dengan ribuan orang yang sama sekali tidak kukenal. Selama itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri: Kenapa aku? Kenapa aku diperlakukan seperti ini? Aku baru saja datang di negeri ini. Apakah sebetulnya yang sedang terjadi?

Bagiku, satu-satunya yang menyenangkan dari acara pertunjukan perdana di New York itu adalah bahwa aku akhirnya bisa berjumpa dengan Sydney Schanberg dan Dith Pran yang asli. Sydney yang asli lebih pendek ketimbang Sam Waterston. Rambutnya sudah beruban, begitu pula jenggotnya. Matanya besar dan bulat. Aku langsung merasa akrab dengan dia, begitu pula dengan Dith Pran. Pran lebih pendek dari aku. Orangnya tenang dan lemah lembut, tidak hiperaktif seperti aku. Ia bekerja sebagai wartawan foto pada harian The New York Times, di mana Sydney juga bekerja. Aku dan Pran mulanya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris karena tidak ingin menyinggung perasaan orang-orang lain yang ada di situ waktu itu; tapi dengan segera kami sudah beralih ke bahasa Khmer. Banyak yang hendak kami perbincangkan.

Kutanyakan padanya, bagaimana perlakuan Khmer Merah terhadap dirinya dalam kenyataannya, karena aku tahu bahwa dalam naskah skenario film itu ada beberapa hal yang diubah. Ia mengatakan, ia pernah tertangkap tangan sewaktu mencuri beras. Ia lantas dipukuli oleh serdadu-serdadu. Mereka sebenarnya sudah hendak menggiringnya pergi untuk dibunuh, tapi kepala desa sempat mencegah lalu mengusahakan pengirimannya mengikuti "pendidikan kembali", di mana ia kemudian "mengakui" segala kejahatan yang dituduhkan kepadanya, untuk menyelamatkan nyawa. Selama sekian tahun itu istri dan anakanaknya sudah selamat dan berada di Amerika Serikat. Tapi tentu saja ia tidak pernah menerima kabar dari mereka, sementara sebagian besar dari sanak keluarganya yang lain-lain kemudian mati, karena dibunuh atau karena kelaparan. Setelah terjadi penyerbuan pasukan-pasukan Vietnam, ia selama beberapa waktu menjadi walikota di sebuah kota kecil, untuk menolong penduduk di situ. Tapi kemudian pihak Vietnam berhasil mengetahui latar belakangnya yang "tercemar", yakni bahwa ia pernah bekerja untuk pihak pers Amerika. Situasi berkembang menjadi berbahaya untuk keselamatannya, dan ia melarikan diri ke Thailand; ia tiba di sana bulan Oktober 1979.

Aku dan Pran sependapat, film itu sebenarnya harus lebih banyak menampilkan adegan kekerasan, untuk mencerminkan apa yang merupakan kenyataan sebenarnya di Kamboja waktu itu. Kemudian secara berkelakar, kami membanding-bandingkan: siapa yang lebih sengsara hidupnya waktu itu. Pran mengatakan bahwa ia pernah makan tikus, keong, dan kadal. "Anda juga pemah makan kadal?" kataku. "Enak sekali, seperti daging T-bone steak di sini. Tapi yang paling enak bagiku adalah rayap dan telur semut merah." Pran mengatakan, itu belum pemah dimakannya. Pada hakikatnya, pengalamanku di bawah Khmer Merah lebih buruk ketimbang dia. Tapi itu tidak penting. Berjumpa dengan dia, rasanya seperti berjumpa dengan saudara kembar. Saat itu pun aku sudah langsung tahu bahwa kami akan tetap bersahabat seumur hidup.

Bulan Januari menyusul pertunjukan perdana di London. Aku hadir di sana, bersama Sydney Schanberg, Sam Waterston dan Dith Pran. Kami semua mengenakan pakaian pesta resmi. Duchess of Kent, saudara sepupu Ratu Elizabeth, duduk berdampingan dengan aku, hanya dipisahkan oleh lorong tengah. Perhiasan intan berlian dan mutiara yang dipakainya gemerlapan. Untuk pertama kalinya aku sempat melihat film itu dalam keseluruhannya. Ketika film dimulai, hadirin masih sibuk berbicara sambil berbisik-bisik sesama mereka. Orang-orang tertawa ketika John Malkovich, dalam peranan sebagai fotografer Al Rockoff, mengatakan bahwa untuk kompres di keningnya guna menghilangkan rasa pusing karena kebanyakan minum ia memakai pembalut wanita. Kemudian menyusul kengerian perang saudara mulai mencengkam hadirin. Orang-orang tidak tertawa lagi. Suasana di dalam gedung pertunjukan makin lama makin hening.

Ketika tiba adegan penarikan mundur Amerika, ketika istriku pergi dengan helikopter, aku mulai menangis. Aku tidak bisa menjelaskan sebabnya. Mungkin karena melihatnya untuk pertama kali terpampang di layar yang besar dan lebar, sehingga aku tidak tahan melihat dampaknya yang begitu memukul. Mungkin juga karena adegan itu bagiku rasanya seperti ketika Huoy meninggal dunia.

Seorang nyonya yang duduk di belakangku menyodorkan kertas tisu kepadaku.

Aku menangis lagi ketika muncul adegan di Kedutaan Besar Perancis, melihat diriku meninggalkan para wartawan Barat yang tetap berada di sana, lalu pergi menuju ke pedesaan.

Aku tidak mampu mengendalikan perasaanku saat itu. Air mataku bercucuran, sementara nyonya yang di belakangku terus saja menyodorkan kertas tisu. Aku menangis ketika Khmer Merah menyungkupkan kantong plastik ke kepala seorang tawanan. Aku menangis ketika aku mengisap darah sapi, dan ketika aku terjatuh ke dalam lubang yang berisi tulang-tulang manusia sewaktu aku melarikan diri.

Aku menangis melihat adegan penutup, ketika Pran dan Sydney, atau tepatnya aku dan Sam, berjumpa lagi di sebuah tempat penampungan pengungsi di Thailand. Adegan itu diambil di Khao-I-Dang, tepat di depan tempat aku pernah bekerja sebagai dokter untuk organisasi ARC.

Tapi bukan aku saja yang menangis. Duchess of Kent juga menangis. Ketika film sudah berakhir, para hadirin selama beberapa saat masih tetap duduk terpaku di tempat masing-masing, beberapa di antaranya masih mengusap air mata. Ketika lampu-lampu menyala lagi, nama-nama kami: Sydney, Pran, Sam dan aku, dipanggil,

diperkenalkan kepada hadirin. Para hadirin berdiri dan bertepuk tangan sampai lama sekali.

Pers Barat mulai menyajikan artikel-artikel tentang The Killing Fields. Sebelumnya tidak banyak orang di sana yang tahu tentang apa yang terjadi di Kamboja semasa rezim Khmer Merah; paling-paling kaum intelektualnya, serta para pakar tentang masalah Asia, tapi masyarakat umum tidak tahu banyak mengenainya. Film itu menampilkan kisah tahun-tahun itu dalam bentuk yang bisa dimengerti oleh setiap orang, karena kisahnya tentang persahabatan antara dua orang pria.

Aku sendiri heran jadinya ketika perhatian pers kemudian terpusat pada diriku. Lewat film itu aku menjadi semacam simbol bagi Kamboja dan penderitaan yang terjadi di sana. Atau tepatnya aku dan Pran bersama-sama menjadi simbol negara kami, karena orang-orang selalu saja mengelirukan nama kami berdua. Kenyataan bahwa aku seorang pengungsi yang sebelum itu tidak pemah melakukan akting menyebabkan film itu menjadi lebih menarik untuk diberitakan, ketimbang jika tokoh Dith Pran diperankan oleh seorang aktor yang sudah berpengalaman.

Sementara itu aku selalu kembali ke tempat kerjaku sebagai penasihat di Chinatown Service Center di Los Angeles. Kenyataan bahwa aku ikut berperan dalam film itu sudah tidak merupakan rahasia lagi. Berulang kali aku terpaksa meninggalkan tempat kerjaku untuk diwawancarai, untuk bepergian, dan bahkan menerima tanda-tanda penghargaan. Pertama-tama aku memenangkan hadiah Golden Globe sebagai pemain pendukung terbaik. Kemudian, bulan Maret 1985, aku ke London lagi untuk menerima dua tanda penghargaan sekaligus yang berwujud British Academy Award untuk Pendatang Baru Terbaik dan untuk Aktor Terbaik.

Sophia ikut ketika aku ke London itu. Prestasinya di sekolah sangat memuaskan, nilai rata-ratanya "A". Anak itu sangat cerdas, seperti ayah dan ibunya; tapi pertumbuhannya menjadi dewasa terlalu cepat, menurut perasaanku. Ia tidak menyukai rambutnya yang lurus dan hitam, seperti lazimnya rambut orang Asia; ia mengeritingnya. Aku melihat bahwa ia sering nampak gelisah dan tidak bahagia di rumah kami, di Los Angeles. Aku tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena ia sudah menginjak masa remaja. Atau mungkin juga karena aku terlalu sering pergi meninggalkannya. Mungkin pula sebabnya karena cara berpikirku masih tradisional, masih tetap dengan pola Kamboja. Sikapku keras terhadapnya, seperti ayahku dulu terhadapku. Hanya itulah satu-satunya cara membesarkan anak yang kukenal. Tapi ia nampaknya senang jika diajak bepergian, melihat tempat-tempat yang baru.

Dari London kami pulang ke tempat tinggal yang baru. Kami sudah pindah dari apartemen yang semula, yang hanya ada satu kamarnya dan menghadap lorong, ke apartemen lain di lantai yang lebih tinggi di gedung itu juga. Di apartemen itu ada dua kamar tidur, dengan pemandangan gedung-gedung yang menjulang tinggi di pusat kota Los Angeles. Ruang duduk kami sudah penuh dengan berbagai tanda penghargaan dan piagam-piagam. Kedua tanda penghargaan British Academy Award kutaruh saja di atas meja, tanpa terlalu kupedulikan.

Dari cerita-cerita orang di Warner Bros kepadaku, paling hebat adalah apabila memenangkan hadiah American Academy Award, atau Oscar, menurut istilah populernya. Aku diunggulkan untuk kategori Aktor Pendukung Terbaik; tapi reaksiku mengenainya adalah menganggap kecil kemungkinan bahwa aku bisa menang. Unggulan lainnya adalah John Malkovich, unruk peranannya dalam film Places in the Heart. Aku mengenal mutu akting John. Aku sempat berulang kali mengamati adegan-adegan dari film The Killing Fields sewaktu masih dalam proses penyuntingan, dan setiap kali aku menemukan detil kecil lain yang benar-benar sempurna dalam aktingnya, yang sebelum itu lolos dari pengamatanku. Selain itu aku masih tetap merasa kesal pada Roland Joffe, karena tidak memberi kesempatan padaku untuk berjumpa dengan Dith Pran sebelum pembuatan film dimulai. Coba waktu itu aku diberi kesempatan, aku pasti akan bisa mengubah gaya aktingku sehingga lebih mirip Dith Pran.

Dua hari sebelum tiba saat penganugerahan Hadiah Oscar, beberapa kru televisi muncul di Chinatown Center dan di apartemenku. Mereka mulai membuntuti aku terus dengan kamera-kamera mereka. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka juga membuntuti John Malkovich. Aku ingin sekali bisa berjumpa lagi dengan dia, mendengar lelucon-lelucon joroknya. Belum pernah ada orang lain yang bisa membuat aku sampai begitu banyak tertawa, selain dia.

Pada hari para pemenang Hadiah Oscar akan diumumkan, aku menelepon atasanku di tempat kerja untuk minta izin cuti hari itu. Aku terlalu gelisah saat itu, sehingga tidak bisa memusatkan perhatian pada pekerjaan. Kusuruh Sophia untuk minta izin tidak bersekolah. Sejumlah kru TV sudah menunggu di luar apartemenku. Mereka membuntuti ketika aku pergi ketempat penyewaan pakaian pesta. Mereka merekamnya untuk disiarkan dalam warta berita. Aku sampai heran: apa istimewanya, ada orang pergi menyewa pakaian pesta?

Ketika aku kembali ke rumah, kulihat ada tiga buah limousine hitam diparkir di seberang jalan. Ternyata Dith Pran yang datang, naik limousine yang satu. Kedua mobil lainnya masing-masing membawa Pat Golden dan Ed Crane dari Warner Bros., serta petugas-petugas dari Bagian Humas. Mereka semua masuk ke dalam apartemenku. Para tetangga, yang umumnya orang-orang Asia dan dari golongan menengah bawah, berkerumun menonton ketiga mobil mewah itu dan para kru televisi.

Aku dan Sophia diajak oleh Pat Golden dan Ed Crane naik salah satu mobil limousine itu menuju tempat acara penganugerahan diselenggarakan. Para tetangga melambaikan tangan mereka padaku ketika kami berangkat, sambiI menyerukan ucapan semoga menang. Acara penganugerahan Hadiah Oscar diadakan di gedung yang bernama Dorothy Chandler Pavillion, yang letaknya tidak begitu jauh. Kepadatan lalu lintas saat itu luar biasa. Mobil hanya bisa maju beringsut-ingsut. Baru satu jam kemudian kami sampai di tempat tujuan. Kalau kami tadi berjalan kaki dari apartemenku, pasti sudah lebih dulu sampai. Aku gemar berjalan kaki, untuk menyalurkan energiku yang berlebihan.

Upacara di dalam gedung sudah dimulai ketika kami masuk, setelah melewati tim-tim kamera televisi yang mengerubung dan juga penjagaan polisi; hadiah-hadiah sudah mulai dibagi-bagikan. Di dalam auditorium itu hadir pria berpakaian serba apik dan wanita-wanita berpenampilan kemilau, duduk di kursi yang berderet-deret sampai ke depan. Pengantar tamu mempersilakan aku dan Sophia duduk di beberapa kursi yang masih kosong di deretan kedua, di sisi pinggir sebelah kiri panggung. Rasanya baru beberapa menit saja kami duduk, ketika seorang wanita bernama Linda Hunt, yang tubuhnya sangat pendek naik ke atas panggung untuk membacakan nama pemenang hadiah untuk Aktor Pendukung Terbaik. Tahun sebelumnya ia yang memenangkan hadiah serupa, untuk peranannya dalam film The Year of Living Dangerously, "Tahun Vivere Pericoloso".

Ia berkata, "Selamat malam, Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya. Kelima aktor yang akan kita sambut penampilannya malam ini, masing-masing menempuh jalur yang berlain-lainan. Saya tahu bahwa tidak seorang pun dari mereka menganggap bahwa peristiwa malam ini merupakan tujuan akhir dalam karier mereka. Tujuan itu, seandainya memang ada, terletak dalam pekerjaannya sendiri, serta dalam perasaan adanya tantangan dan keinginan meraih prestasi. Terpilih sebagai yang terbaik untuk prestasi kerja tertentu merupakan hadiah yang menyenangkan, dan mengetahui bahwa pekerjaan itu dilakukan dengan cara terbaik yang bisa dilakukan, juga sama menyenangkan rasanya." Setelah itu ia membacakan nama-nama para unggulan. Ketika namaku disebut, kamera-kamera televisi diputar arahnya dan mencari- cari di kalangan hadirin. Tapi mereka tidak bisa menemukan diriku, karena kami tadi diantarkan ke tempat duduk yang keliru. Di tabir monitor televisi muncul gambarku yang diambil dari salah satu adegan The Killing Fields.

Mataku menelusuri deretan kursi-kursi, dan kulihat Sam Waterston duduk dekat lorong tengah. Aku tidak ingat apa yang ada dalam pikiranku saat itu, selain perasaan senang bahwa Sam ada di situ. Aku sudah sering dibantunya. Perasaanku gugup sekali.

"Dan pemenangnya adalah ...

... Haing S. Ngor, dalam film The Killing Fields!"

Aku berjalan menghampiri Sam lalu menyalaminya; kucoba mengajaknya ikut naik ke atas panggung, tapi ia menyuruh aku terus. Begitu sudah berada di atas panggung, otakku langsung seperti kosong rasanya. Dengan tangan menggenggam patung Oscar, aku berdiri di balik mimbar.. Sorotan lampu-Iampu panggung dan kamera-kamera televisi terarah padaku, tapi aku tidak talm harus bilang apa. Sewaktu masih di dalam limousine, dalam perjalanan ke situ, aku sempat melatih kata-kata yang akan kuucapkan seandainya aku ternyata terpilih sebagai pemenang; tapi kini, semuanya pupus dari ingatan.

"Ini benar-benar di luar dugaan," kataku kemudian, ketika akhirnya aku ingat lagi. "Tapi begitulah seluruh perjalanan hidup saya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh anggota Motion Picture Academy atas kehormatan yang dilimpahkan ini. Saya berterima kasih kepada David Puttnam, Roland Joffe, karena memberi saya kesempatan ikut berperan untuk pertama kali dalam hidup saya, dalam The Killing Fields. Saya ingin berbagi kehormatan ini dengan kawan saya Sam Waterston, Dith Pran, Sydney Schanberg, dan juga dengan Pat Golden, direktur yang menangani urusan pemilihan para pemeran -nyonya yang menemukan saya untuk peranan ini." Kudengar suara hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Tertawa karena logatku dan tatabahasaku yang kacau, tepuk tangan karena suara tertawa tidak menyebabkan aku lantas berhenti. "Dan saya mengucapkan terima kasih" - lagi-lagi terdengar suara tertawa dan tepuk tangan - "dan saya berterima kasih kepada Warner Bros. karena telah membantu saya meneeritakan kisah saya kepada dunia, memberitahu dunia tentang apa yang terjadi di negeri saya. Dan saya mengucapkan terima kasih kepada Sang Budha bahwa saya malam ini bisa berada di tempat ini. Terima kasih. Terima kasih banyak."

Hadirin berdiri sambil bertepuk tangan dan bersorak-sorak; beberapa orang menghapus air mata. Kujunjung hadiah itu tinggi-tinggi. Aku tidak mampu melukiskan perasaanku saat itu; rasanya seperti mengambang. Kakiku tidak lagi menginjak tanah, rasanya.

Aku turun dari panggung, dan pengantar tamu membawaku ke tempat yang seharusnya kududuki tadi, di deretan yang sama tapi di sisi seberang sana. Seorang pengantar tamu lainnya mengantar Sophia ke tempat itu pula. Di depan kami, di deretan kursi paling depan, duduk John Malkovich. Ia berpaling, menatapku sambil memamerkan cengirannya.

"Ach anh neh," katanya sambil menuding patung Oscar yang ada dalam genggamanku. "Rat boh anh teh."

Sophia kaget. Ia menoleh dengan cepat. Mulutnya ternganga. Aku merasa bahwa aku tadi mungkin salah dengar. Karenanya aku lantas membalas senyum John, sambil mendorong tubuhku maju. Senang rasanya melihat dia lagi.

"Ach anh neh. Rar boh anh teh," kata John mengulangi kata-katanya tadi, sambil terus memamerkan cengiran dan menunjuk patung Oscar. Sekali ini aku tidak mungkin keliru lagi. Sewaktu berada di Thailand, aku pernah mengajari memaki dalam bahasa Khmer.

Dan ia mengatakan kepadaku, "Cium pantatku. Itu milikku." 

Neraka Kamboja - Bab 39. Mulai Lagi Dari Bawah


Bab 39. Mulai Lagi Dari Bawah


DI AMERIKA, aku tidak pernah merasa hidupku terancam; aku tidak pernah takut akan mati kelaparan. Kenyataan bahwa uangku tinggal empat dollar, tidak menyebabkan aku lantas merasa cemas.

Benarlah, ketika aku dan Ngim sudah pindah ke apartemen kami yang kecil, keesokan paginya dua orang Kamboja muncul di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Wanita itu pernah menjadi pasienku, ketika maslh di Thailand. Kini ia membawa suaminya, yang baru sekali itu kulihat. Kedua orang yang baik hati itu mengajak kami makan-makan di luar, lalu dibawa berkeliling melihat-lihat kota Los Angeles. Dengan uang yang mereka pinjamkan, aku membeli bahan pangan dan beras di sebuah toko di Chinatown. Aku membeli mangkuk-mangkuk, panci-panci, dan sumpit untuk makan di pasar loak.

Kami takkan pernah mengalami kekurangan. Itu kuyakini.Karena kini tempat tinggal dan bahan panganuntuk persediaan sudah tersedia, persoalan selanjutnya adalah memilih cara mencari nafkah. Aku ingin membuka praktek sebagai dokter. Tapi sebelum bisa mendapat izin praktek, terlebih dulu aku harus lulus ujian kemahiran bahasa Inggris, dan kemungkinannya harus duduk di bangku kuliah lagi untuk mengikuti kursus-kursus penyegar, dan setelah itu diuji pengetahuanku sebagai dokter. Aku mau saja melakukannya, tapi itu takkan menyelesaikan masalah biaya hidupku bersama Ngim selama itu. Aku bisa juga mengajukan permohonan tunjangan pengangguran; dengan jalan begitu aku akan mendapat $214 sebulan ditambah sedikit lagi untuk Ngim. Tapi itu rasanya takkan mencukupi. Karenanya kutangguhkan dulu kembali ke bangku kuliah, dan kuputuskan untuk mencari pekerjaan.

Pekerjaan yang paling dulu kuperoleh adalah sebagai penjaga malam pada sebuah perusahaan di luar Chinatown. Sambil mencari-cari pekerjaan yang lebih baik, aku mengikuti kursus ESL (English as a Second Language, jadi: Bahasa Inggris untuk Orang Asing) di Evans Community College, hanya beberapa blok saja dari tempat tinggalku. Aku agak mengalami kesulitan dengan bahasa Inggris Amerika. Tapi Ngim, yang kumasukkan ke sekolah dasar, bisa menguasainya dengan lebih cepat.

Bulan November 1980 aku berpindah tempat kerja. Aku menjadi petugas pengelola kasus di Chinatown Service Center, yang tempatnya dekat dengan apartemenku; aku blsa berjalan kaki kesana. Kantorku, yang disebut Bagian Indocina,menyelenggarakan pelayanan bagi kaum pengungsi, berupa pengusahaan penempatan kerja secara cuma-cuma. Sekitar setengah dari klien kami orang Vietnam, sepertiga lagi orang Kamboja, dan sisanya orang Laos. Pada umumnya akutidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Jika tidak bisa dengan bahasa Khmer atau Teochiew, kami mencoba lewat bahasa Perancis, atau Mandarin, atau Inggris, dan bahkan bahasa Thai. Umumnya kami bisa memahami hal-hal yang pokok, kalau perlu dengan dibantu rekan-rekan kerjaku di situ.

Pekerjaan sebagai petugas pengelola kasus terasa memuaskan bagiku. Di segi martabat dan juga uang, memang tidak bisa dibandingkan dengan dokter; tapi dengan begitu aku bisa menolong para pengungsi, dan memang itulah yang kukehendaki. Aku berperan sebagai juru bahasa untuk para klienku dalam urusan dengan pihak pemilik tempat tinggal mereka. Aku membantu mengisikan formulir-formulir lamaran, memasukkan anak- anak mereka ke sekolah, mengatur pendaftaran orang-orang dewasa yang ingin mengikuti kursus ESL, menjelaskan cara membayar rekening telepon, dan mencarikan informasi mengenai sanak keluarga di tempat-tempat penampungan pengungsi di Thailand. Ketika pengalamanku sudah bertambah, aku disuruh membeli mobil. Dengan Volkswagen-ku yang baru kuantarkan para klienku ke segala pelosok kota Los Angeles: ke rumah sakit, ke kantor yang mengurus tunjangan,ke perusahaan-perusahaan yang mencari tenaga kerja.

Perhatian yang paling utama ditujukan kepada kesempatan kerja, Sebagai pengungsi, kami harus mulai lagi dari bawah dan menerima pekerjaan apa saja yang tersedia. Dengan bantuanku, para klienku mendapat pekerjaan sebagai pencuci piring, pelayan, tukang masak, tenaga pembersih, pekerja taman, buruh kasar, buruh pabrik elektronik, penyortir nomor pengenal alamat, pengasuh anak-anak, pokoknya bermacam-macam jenis pekerjaan kasar. Beberapa orang yang pendidikannyalebih tinggi mendapat pekerjaan sebagai sekretaris dan kasir di bank. Kami tidak begitu mempedulikan tinggi-rendahnya upah. Pokoknya mendapat pekerjaan, dan sesudah itu baru berusaha meningkatkan penghasilan.

Waktu itu di dalam kawasan Chinatown dan di sekitarnya ada enam sampai tujuh ribu orang Kamboja. Orang Vietnam juga kurang-Iebih sama banyaknya. Orang-orang Vietnam pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan baik dan karenanya lebih cepat menanjak kariernya dibandingkan dengan orang Kamboja yang pemalu dan bersikap menerima. Seringkali mereka tidak muncul jika harus diwawancarai untuk mendapat pekerjaan yang sudah kuusahakan bagi mereka. Orang-orang takut kehilangan muka karena tidak begitu bisa berbahasa Inggris. Mereka takutmengambil risiko. Dalam kehidupan pribadi, mereka tidak berbahagia. Pertengkaran, mabuk-mabukan, pemukulan istri, begitu pula perceraian, merupakan masalah yang umum dijumpai di kalangan keluarga-keluarga Kamboja.

Jelas bagiku bahwa di kalangan pengungsi dari Kamboja tersebar luas masalah kejiwaan. Aku memahaminya, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Kami semua mengalami guncangan jiwa karena pengalaman-pengalaman kami yang lalu. Kami semua kehilangan sanak keluarga: orangtua, saudara-saudara, atau anak-anak. Banyak dari kami yang setiap malam dihantui mimpi seram. Kami merasa terasing dan murung, merasa tidak bisa mempercayai siapa pun juga. Dan yang lebih menambah parah situasi yang dihadapi, kami berada di tengah-tengah kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan kami.

Di Kamboja, suatu gaya hidup berkembang dengan lambat selama berabad-abad. Gaya hidup itu jauh lebih sederhana ketimbang yang ada di Amerika, dan itulah antara lain yang menyebabkan kenapa gaya hidup itu terasa begitu indah. Di Kamboja, kami tidak mengenal tunjangan pengangguran atau asuransi sosial. Di sana tidak ada tempat penitipan anak-anak kecil, tempat penampungan orang jompo, dan juga tidak ada psikiater. Semuanya itu tidak kami perlukan. Kami hanya memerlukan keluarga kami, dan para bhiksu. Di kebanyakan rumah tangga, tiga generasi hidup di bawah satu atap. Kakek dan nenek membantumengasuh cucu-cucu mereka. Orang-orang dewasa yang merupakan generasi kedua pergi mencari nafkah, agar ada makanan di atas meja. Jika ada permasalahan atau pertengkaran, para bhiksu turun tangan untuk menengahi. Para bhiksu mengajarkan tatakrama yang benar kepada anak- anak di sekolah-sekolah kuil, di samping pelajaran membaca dan menulis. Mereka juga menampung anak-anak yatim-piatu serta orang-orang jompo yang tidak punya sanak keluarga lagi. Sebagai imbalan jasa, kami memberikan derma kepada bhiksu-bhiksu itu, dan anak-anak kami yang menginjak masa remaja kami kirimkan ke kuil untuk menjadi bhiksu selama paling tidak beberapa waktu. Sistem itu tidak sempurna, tapi berjalan dengan lancar. Tidak ada yang kekurangan makan. Masyarakat Kamboja dulu kokoh. Dari generasi ke generasi, kami selalu mematuhi adat kebiasaan kami, sampai segala-galanya berakhir tahun 1975, karena dihapuskan secara paksa oleh kaum komunis. Kami kehilangan segala-galanya: sanak keluarga, bhiksu-bhiksu kami, desa-desa kami, tanah kami, segala harta milik kami. Segala-galanya. Ketika kami tiba di Amerika Serikat, kami tidak bisa memulai kembali kehidupan kami yang lama. Bahkan serpih-serpihannya saja tidak lagi kami miliki.

Di Thailand, seorang Kamboja yang cerdas pasti mampu menebak makna beberapa kata yang tertulis pada salah satu papan penunjuk jalan. Ia juga pasti bisa memahami sebagian dari percakapan
an yang berlangsung dalam bahasa Thai. Hal itu disebabkan karena bahasa dan tulisan Thai, mirip dengan bahasa dan tulisan Khmer. Tapi di Amerika Serikat? Bahasanya berbeda total. Tidak bisa memahami tulisan yang tertera di papan penunjuk jalan, tidak bisa berbicara dengan orang lain, atau memahami apa yang dipercakapkan dalam acara-acara siaran TV, kesemuanya itu mengakibatkan orang-orang Kamboja pada umumnya merasa dirinya terasing, dan itu semakin menambah parah kemurungan hatinya.

Di Amerika, hampir segala-galanya menjadi lain. Orang-orang yang dulunya pedagang dan perwira yang kaya semasa rezim Lon Nol, kini hidup dari tunjangan. Mereka tidak mau menerima pekerjaan berkedudukan rendah yang ada, seperti menjadi sopir taksi atau bekerja di toko serba ada, karena tidak ingin kehilangan muka di kalangan teman-teman mereka. Orang-orang yang dulu gagah berani dalam pertempuran, kini berubah menjadi penakut, takut kepada orang-rang berkulit hitam dan orang-orang yang berbahasa ibu Spanyol, yang berkeliaran di jalan- jalan. Kalau pergi ke toko swalayan, di sana mereka hanya melihat hal-hal yang di Kamboja dulu lebih baik: sayuran-sayuran yang tidak sesegar di Kamboja, buah-buahan daerah tropik hanya sedikit, dan tidak ada tawar-menawar harga. Mereka melihat bahwa banyak segi kehidupan sehari-hari di Amerika bersifat impersonal. Berbelanja di toko-toko swalayan. Mengendarai mobil di jalan-jalan bebas hambatan. Menonton TV. Orang bisa sampai berhari-hari tidak berbicara dengan siapa pun juga.

Aku sendiri juga merindukan Kamboja. Aku merindukan makanannya, tawar-menawar, dan obrolan di pasar. Bersembahyang di kuil, berjalan-jalan menyusur jalan besar, menghirup hawa petang yang hangat dan tenang. Dan yang paling utama, aku rindu pada Huoy. Tapi banyak pula kulihat hal yang baik di Amerika. Misalnya di segi kebersihan. Amerika jauh lebih bersih daripada Kamboja. Lalat tidak sebanyak di sana. Air ledeng bisa langsung diminum dengan aman. Penduduknya lebih terpelajar. Ngim juga menyukai Amerika. Prestasinya di sekolah sangat baik. Teman- teman sekelasnya merasa kesulitan melafalkan namanya; kami lantas memilih nama baru untuknya: "Sophia". Itu nama Barat, tapi juga Timur dan dikenal dalam kebudayaan Kamboja, lewat bahasa Sanskerta.

Aku sudah punya pekerjaan, mobil, dan seorang keponakan yang sudah kuanggap anak sendiri. Kehidupan kami nyaman. Tidak perlu khawatir bahwa ada chhlop yang memata-matai, atau serdadu-serdadu yang datang untuk mengikat lalu menggiring aku pergi. Saat bangun pagi, aku tidak merasa ketakutan. Aku merasa pasti bahwa aku akan terus hidup hari itu, minggu itu, bahkan sampai sekian tahun yang akan datang.

Sekali, ketika aku sedang mengendarai VW-ku dan harus berhenti sebentar karena lampu lalu
lintas sedang menyala merah, aku melihat seekor anjing yang dituntun tuannya dengan tali. Orang itu berhenti sebentar untuk menepuk-nepuk anjingnya, sementara anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya. Aku lantas teringat kata-kataku lagi yang kuucapkan kepada Huoy, tentang anjing di Amerika yang lebih enak hidupnya ketimbang orang-orang di garis depan. Kata-kataku waktu itu ternyata memang benar: anjing-anjing di Amerika memang lebih enak hidupnya.

*********

Sampai dengan bulan Maret 1982, sudah satu setengah tahun aku hidup di Amerika. Selama itu, pada umumnya aku bergaul dengan orang-orang yang juga berasal dari Kamboja. Lewat pekerjaanku, aku menolong kaum pengungsi menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka yang baru, dan secara tidak langsung hal itu membantu kepulihan mereka dari trauma kehidupan mereka yang lama. Tapi kami tidak banyak berbicara tentang hal-hal yang terjadi di bawah rezim Khmer Merah. Kenang-kenangan lama kami pendam di dalam hati kami.

Suatu hari, masih bulan Maret itu juga, dua orang kenalanku mendatangi aku di tempat kerjaku. Mereka adalah Sisowath Sourirath, seorang bangsawan rendah yang masih berkerabat dengan keluarga kerajaan Kamboja, dan Jean Fernandez, adik seorang jenderal dari rezim LonNol. Jean Fernandez mencari nafkah sebagai tenaga pemasaran asuransi jiwa. Sisowath bekerja di Catholic Welfare Bureau, Biro Kesejahteraan Katolik, di Long Beach. Penghasilan mereka lumayan, tapi tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaan mereka di Kamboja dulu. Sisowath pernah membantu aku mengisi formulir pendaftaran untuk membeli satu seri buku ensiklopedi secara mencicil; tapi perusahaan penerbit ensiklopedi itu menolak permohonanku, karena aku dinilai tidak laik kredit. Ketika Sisowath dan Jean mampir di tempat kerjaku hari itu mereka mengatakan bahwa mereka sedang mengajukan lamaran untuk mendapat peran dalam sebuah film tentang Kamboja yang akan dibuat di Hollywood. Mereka menyarankan agar aku juga ikut melamar. Ajakan itu kutolak.

Mereka masih berusaha membangkitkan minatku, tapi aku tidak begitu memperhatikan omongan mereka. Aku harus membantu para klien yang terus berdatangan, mencarikan mereka pekerjaan. Para klienku itu orang-orang yang nyata ada di hadapanku, dengan masalah-masalah yang juga nyata; aku tidak punya waktu untuk berangan-angan.

Tapi desas-desus tentang film yang akan dibuat itu menyebar di kalangan masyarakat Kamboja yang tinggal di Los Angeles dan di Long Beach. Semua sudah mendengar mengenainya. Banyak di antara mereka yang mengangan-angankan ikut bermain dalam sebuah film Hollywood, dan banyak pula yang mengajukan lamaran. Kurasa bagi mereka itulah Amerika yang sebenarnya, uang berlimpah-ruah dan kesempatan emas yang mereka bayang-bayangkan semasa masih berada di tempat-tempat penampungan di Thailand. Aku bisa menebak jalan pikiran mereka. Semua yang mengajukan lamaran unruk mendapat peran dalam film itu, dalam lubuk hatinya sudah membayangkan akan menjadi bintang film dan dengan cepat menjadi kaya-raya. Mereka ingin melupakan kenyataan Amerika yang lainnya -bekerja secara teratur sebagai penerima upah agar bisa membayar sewa apartemen, membeli bahan pangan dan bensin, tanpa pernah ada peluang meningkatkan karier, atau kalaupun bisa maju, hanya dengan pelan-pelan.

Aku tidak mau berurusan dengan main film. Di Kamboja, aktor merupakan profesi dengan penghasilan rendah, tanpa kedudukan yang bisa dianggap patut. Aku dulu dokter. Aku pernah memiliki Mercedes, dan mitra pemilik sebuah klinik. Kini aku memang bukan dokter lagi, dan aku juga tidak kaya, tapi semua orang tahu aku ini dulunya apa. Tidak ada perlunya bagiku merendahkan kedudukanku, melakukan pekerjaan sebagai aktor yang statusnya rendah.

Kemudian aku diundang beberapa orang Kamboja yang tinggal di Oxnard, sebuah kota yang terletak di pesisir di sebelah utara Los Angeles, untuk menghadiri pesta pemikahan di sana. Aku sebenarnya tidak ingin pergi. Dengan mobil lewatjalan bebas hambatan, aku memerlukan waktu satu jam dua puluh menit sekali jalan. Belum lagi uang yang harus kukeluarkan untuk membeli bensin. Tapi akhirnya aku berangkat juga. Sepanjang jalan hujan turun terus. Ketika aku sampai di tempat pesta diadakan, aku disambut oleh Jean Fernandez dan teman-temanku yang lain. Tamu di pesta itu sebagian terbesar orang Kamboja. Salah seorang yang merupakan kekecualian paling mencolok adalah seorang wanita Amerika berkulit hitam, yang mengatakan bahwa namanya Pat Golden, dari studio film yang akan membuat film itu. Ia meminta kesediaanku difoto, sambil menanyakan nama dan alamatku. Tapi saat itu tamu-tamu sedang asyik menarikan romvong yang lemah gemulai, diiringi musik hidup. Aku kepingin ikut menari, karena sudah lama tidak melakukannya. Karenanya kutolak permintaan Pat Golden itu.

Tapi wanita itu ternyata pantang mundur. Setiap kali aku selesai menari, ia datang lagi menghampiri. Ia sudah memotret Jean Fernandez. Hampir semuanya yang ada di situ sudah dipotretnya. Seorang lelaki tua yang sudah mabuk mendorong aku ke depan sambil mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, karena aku takkan diharuskan membayar apa-apa nanti.

Kukatakan kepada Pat Golden bahwa aku datang itu untuk bersenang-senang, dan karena itu kuminta agar aku jangan diganggu terus.

"Tenang sajalah," kata wanita itu sambil menepuk-nepuk bahuku. Ia mengenakan pakaian santai, celana panjang jeans dan kemeja putih; tapi di tubuhnya, busana itu nampak apik. Suaranya berat dan agak serak. Gigi depannya agak jarang, dan penampilannya tegas dan yakin. Ia mengatakan, tidak ada formulir yang perlu diisi. Ia hanya menginginkan fotoku serta nomor telepon di mana aku bisa dihubungi.

Akhirnya aku berkata, "Oke. Anda boleh memotret aku, jika aku nanti diberi selembar, sebagai kenang-kenangan."

Di ruang tamu banyak orang. Aku disuruhnya berdiri di ruang masuk, di depan pintu kamar kecil. Dimintanya aku membuka kacamataku, lalu dipotretnya aku dengan kamera Polaroid. Kemudian dipotretnya sekali lagi, dan hasilnya disodorkannya kepadaku. Aku menunggu sampai tampangku muncul di kertas foto mengkilat itu. Aku melihat tampangku sendiri, tanpa kacamata. Tidak bisa dibilang tampan, tidak muda lagi, jelas tidak bisa dibilang tampang bintang film.

Dua minggu berlalu, kemudian sebulan, dua bulan, tiga bulan, tanpa aku pernah mendengar apa-apa lagi dari Pat Golden.

Sekitar empat bulan kemudian aku dihubunginya lewat telepon. Ia menanyakan kesediaanku diwawancarai di suatu tempat yang jauhnya sekitar empat puluh mil dari tempat tinggalku. Aku mengatakan bisa. Tapi aku sebetulnya tidak berniat. Aku sudah mendengar dari kawan-kawanku bahwa Pat Golden juga menghubungi sejumlah orang Kamboja lainnya. Mereka datang dari San Diego, Santa Ana, Los Angeles dan Long Beach untuk diwawancarai. Tapi aku tidak muncul di sana.

Keesokan paginya Pat Golden menelepon aku lagi, di kantorku. la bertanya kenapa aku tidak datang. Kujawab: "Sorry, aku sedang sibuk." Setelah diam sebentar, aku merasa bahwa lebih baik aku berterus terang saja. Kukatakan bahwa aku tidak mau pergi karena kurasa aku takkan mendapat pekerjaan itu. Ia membalas, "Kami belum mengambil keputusan. Datang sajalah." Ia tetap berkeras meminta aku datang.

Ia mengatakan ingin mewawancarai aku hari itu juga di Long Beach, dua puluh lima mil dari tempat tinggalku. "Bagaimana kalau pukul lima sore?" katanya. "Tidak bisa, karena waktu kerjaku seperti di kantor-kantor yang biasa." Jadi sampai pukul lima. "Pukul enam?" katanya lagi. "Tidak bisa," jawabku, "karena saat itu jalan bebas hambatan ke Long Beach penuh sesak. Bagaimana kalau pukul tujuh saja?"

Aku tiba pukul delapan malam di tempat itu. Pat Golden masih menunggu. Aku minta maaf dan mengatakan bahwa aku hari itu sangat sibuk. Pat Golden tidak mengomel. Ia mau menerima alasanku dan tetap bersikap sopan -seperti orang Kamboja. Wanita itu sangat cerdas, dan sedikit banyak tahu tentang kebudayaan kami. Ia tahu bahwa jika ia marah padaku, itu akan kujadikan alasan untuk pergi lagi.

Beberapa orang Kamboja sudah lebih dulu ada di situ. Pat Golden mewawancarai seorang wanita, anak Long Boret yang menjadi perdana menteri dalam rezim Lon Nol ketika Khmer Merah merebut kekuasaan. Akhirnya aku dipanggilnya masuk.

Ia berkata, "Okay, Haing, seandainya Anda sedang bersama beberapa orang Amerika dan Anda harus berusaha membuat orang-orang Khmer Merah percaya bahwa teman-teman Anda itu bukan orang Amerika, bagaimana Anda akan melakukannya?"

Aku melakukan improvisasi, memperagakan adegan itu di depannya.

Ketika aku selesai, ia mengatakan, "Thanks. Dalam seminggu ini Anda akan kuberi kabar."

"Aku tidak percaya," kataku. "Jika Anda mengatakan satu minggu, mungkin jadinya satu bulan setengah."

"Tidak, sekali ini aku serius," katanya. Dan seminggu kemudian ia menelepon aku lagi, memintaku datang untuk diwawancarai sekali lagi. Sekali ini di sebuah studio film, di Burbank.

Setelah itu menyusul wawancara yang ketiga, juga di studio yang di Burbank. Jumlah orang Kamboja yang diminta semakin menyusut.

Seorang Inggris yang masih muda dan berjenggot ikut hadir dalam wawancara keempat. Namanya Roland Joffe. Dialah yang akan menyutradarai pembuatan film itu. Roland Joffe menanyakan pengalaman hidupku -berapa lamaaku hidup di bawah rezim Khmer Merah, apa yang terjadi ketika aku ditangkap, bagaimana aku bisa sampai di tempat penampungan pengungsi di Thailand. Aku berbicara selama satu jam. Roland Joffe mendengarkan dengan saksama, sambil mengamat- amati diriku dengan matanya yang biru.

Ia ada lagi pada kesempatan wawancara yang kelima. Sekali ini ia membawa kamera video, untuk merekam screen test. Ia memaparkan suatu situasi rekaannya sendiri: seorang dokter berbangsa Kamboja sangat menyukai seorang perawat yang berkebangsaan Amerika. Malam sebelumnya ada pengumuman lewat radio bahwa semua orang asing harus meninggalkan Kamboja. Bagaimanakah menurut bayanganku cara dokter itu memberitahukan kepada perawat itu bahwa ia harus pergi dari Kamboja, demi keselamatannya sendiri?

Peranan perawat Amerika dimainkan oleh Pat Golden.

Aku menjadi dokter yang orang Kamboja.

Setelah itu Roland Joffe menggambarkan situasi lain. Wanita Amerika itu merasa yakin bahwa ia takkan diapa-apakan oleh Khmer Merah, karena ia orang asing; tapi menurut pendapatnya, mereka pasti akan membunuh aku. Bagaimana caraku menjelaskan kepada perawat itu bahwa Kamboja tanah airku, dan aku akan tetap tinggal walau betapa besarnya risiko yang harus kuhadapi?

Kuperankan situasi itu, dengan Pat Golden sebagai perawat.

Roland Joffe semakin mendekatkan kamera videonya. Tapi aku tidak menjadi gugup karenanya. Aku menyadari bahwa aku dengan sepenuh hati mengisi peran itu dan meyakini kata-kata yang kuucapkan kepada Pat Golden, kamera itu tidak perlu kupedulikan.

"Sekarang," kata Roland Joffe kepadaku, "Anda sudah berada di pelabuhan udara, mengantar wanita Amerika itu yang akhirnya mau juga pergi. Apa kata-kata yang Anda ucapkan sebagai perpisahan, sebelum dia berangkat?"

"Anda harus pergi sekarang ini juga," kataku kepada Pat Golden. "Anda harus mau mendengar kataku. Situasinya saat ini sangat sulit. Anda orang asing. Khmer Merah tidak suka pada kalian. Bagiku, tidak ada masalah. Aku orang Kamboja." Aku menangis sambit menyandarkan kepala ke bahu Pat, lalu sambit mengusap air mata kukatakan berulang kali bahwa ia harus pergi dan aku pasti akan merasa kehilangan nanti.

Ketika aku selesai memainkan adegan itu, mereka menyilakan aku pergi sambit mengucapkan terima kasih.

Dalam wawancara keenam, aku tampil lagi di depan kamera. Roland menggelar adegan lain, di mana Pat Golden menjadi istriku, orang Kamboja. Aku harus memintanya agar mau pergi, karena Khmer Merah bermaksud membunuhi semua orang. Aku memainkan peranan itu dan sekali lagi aku menangis, tapi sekali ini aku sulit berhenti lagi.

Begitu adegan itu selesai, aku disuruh Roland Joffe memainkan peranan berikut. Semua adegan itu mengundang kesedihan, kecuali yang penghabisan. Di dalamnya aku menjadi dokter lagi. Seorang pasienku sudah hampir mati. Aku melakukan pembedahan terhadapnya. Aku berusaha sekuat tenaga menyelamatkan orang itu, dan meski peluangnya kecil sekali, aku teryata berhasil. Apakah yang kulakukan ketika mendengar kabar bahwa pasienku itu selamat? Apa kata-kataku?

Aku memainkan adegan itu untuknya.

Kemudian Joffe mengatakan bahwa ia akan memberi kabar, tapi ia tidak bisa mengatakan kapan tepatnya.

Aku kembali menekuni pekerjaanku, dan berusaha menyingkirkan pikiran tentang tes yang sudah kujalani. Tujuh ribu orang Kamboja melamar untuk diikutsertakan dalam pembuatan film itu.

Tiga bulan kemudian barulah Pat menelepon lagi, dari New York. Ia ingin mengetahui jenis paspor atau visa yang kumiliki. Kukatakan bahwa aku memegang kartu penduduk bangsa asing, dengan foto dan cap jempol. Ia bertanya apakah akan ada masalah jika aku harus ikut dengan rombongan pembuat film itu ke Thailand. Kujawab bahwa itu tidak akan menimbulkan masalah bagiku, juga tidak bagi keponakanku.

Beberapa minggu kemudian Pat menelepon lagi. Berapa gajiku di Chinatown Service Center? Empat ratus dollar seminggu, jawabku. Ia berkata, bagaimana jika ia membayar aku delapan ratus dollar seminggu?

Tidak ada masalah, kataku.

Kemudian ia menelepon sekali lagi dengan pertanyaan-pertanyaan terinci mengenai visaku. Lalu ia menyambung, "Bagaimana kalau seribu dollar seminggu?"

"Soal uang jangan dipikirkan," kataku. "Beri saja berapa Anda mau. Aku hanya menginginkan pekerjaan itu."

Dan itu memang benar. Pikiranku sementara itu sudah berubah. Aku berpendapat, jika aku bisa tampil dalam film itu, sebagai apa pun juga, aku akan bisa ikut membantu menceritakan kisah tentang Kamboja. Dan itu penting bagiku, karena tidak ada orang yang benar-benar mengetahuinya secara mendalam. Kebanyakan orang Amerika bahkan tidak tahu di mana letak Kamboja. Tentang Vietnam mereka sudah tahu, tapi tentang Kamboja, tidak. Di Los Angeles pun, orang-orang Asia yang bukan Kamboja tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian di bawah rezim Khmer Merah. Jika itu kuceritakan kepada mereka, mereka hanya mengangguk-angguk berlagak percaya, agar aku tidak merasa malu.

Pada hakikatnya, alasan kenapa aku sebelumnya tidak mau ikut berperan dalam film itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kekhawatiran akan kehilangan muka, atau tidak ditawari peranan, atau nanti merasa kikuk jika sudahberdiri di depan kamera. Sama sekali bukan itu alasannya! Aku semula tidak mau, karena tidak ingin membangkitkan kembali rasa penderitaanku yang dulu. Tanpa itu pun aku sudah selalu terkenang kembali.

Sejak tiba di Amerika Serikat, aku selalu diganggu mimpi buruk. Jika saat siang aku terlalu banyak mengingat-ingat segala hal yang sudah berlalu, malamnya aku pasti bermimpi. Aku berulang kali bermimpi tentang Huoy, yang meninggal dalam pelukanku. Aku melihat ayahku terikat ke pohon dan mencoba mengatakan sesuatu kepadaku, tapi tidak berani membuka mulut.

Bunyi air menetes dari keran saja sudah cukup untuk membuat aku bermimpi buruk lagi. Aku kembali berada dalam penjara, menatap air yang tidak henti-hentinya menetes dari sebuah lubang di dasar ember.

Hampir setiap malam aku tiba-tiba terbangun dan langsung duduk, agar mimpi buruk itu lenyap. Di balik kisi-kisi jendela, sinar lampu jalan di luar menerangi permukaan lorong yang keras dan memantul balik dari permukaan logam dan kaca mobil-mobil yang diparkir di situ. Di Los Angeles selalu terdengar latar belakang samar bunyi lalu lintas kendaraan di jalan-jalan yang jauh dari tempat tinggalku, sekali-sekali ditimpali suara sirene atau bunyi klakson mobil. Saat-saat seperti itu aku semakin merasa diriku terasing, dihinggapi perasaan sangsi apakah Amerika benar- benar lebih baik daripada segala-galanya yangsudah kutinggalkan, karena aku udak benar-benar sudah meninggalkan segala-galanya itu, dan aku tidak bisa menikmati yang terbaik dari Amerika. Karenanya aku memutuskan untuk kembali ke tempat-tempat penampungan pengungsi dan mengadakan konfrontasi dengan masa silamku di sana. Aku harus berusaha menyingkirkan mimpi burukku.

Sebelum kami berangkat menuju Thailand, semua orang Kamboja yang terpilih untuk ikut berperan dalam film itu berkumpul dan mengadakan pesta. Pat Golden ikut hadir di situ. Orang-orang Kamboja yang lain, semuanya tahu peranan apa yang akan mereka mainkan nanti. Tapi ketika aku bertanya tentang perananku nanti kepada Pat, ia hanya mengatakan bahwa aku tidak usah khawatir mengenainya, dan aku nanti tidak perlu menghafal perananku. Dari situ aku menarik kesimpulan bahwa perananku nanti pasti kecil sekali. Orang-orang Kamboja yang selebihnya mulai mengganggu. Mereka mengatakan bahwa aku akan diberi peran pembantu utama. Aku tertawa saja sambil mengatakan bahwa mereka jangan mau percaya.

Ketika kami sudah berada di Thailand, padaku disodorkan berkas naskah adegan-adegan yang nanti harus kami perankan. Tapi aku masih juga belum diberi tahu, peranan mana yang nanti harus kupegang. Lalu ketika Roland Joffe memanggil kami untuk latihan, saat itu barulah akutahubahwa aku harus memainkan peranan sebagai Dith Pran.

"Ya, Tuhan," kataku pada diriku sendiri sambil menepuk kening. "Besar sekali perananku."