Bab 42 (penutup) : Kama
SAMPAI saat namaku
disebutkan dan kemudian aku naik ke alas panggung, sedikit pun aku tidak menyangka bahwa aku akan memenangkan hadiah Oscar. Orang seperti aku, yang baru sekali itu melakukan akting, yang baru saja pindah
keAmerika Serikat, yang belum lancar berbahasa Inggris -kemungkinan bahwa aku bisa menang kecil sekali. Bahkan dalam film-film buatan Hollywood pun tidak ada akhir cerita yang
begitu tidak masuk akal. Dan
kalau pun ada, takkan ada penonton yang mau percaya.
Tapi justru itulah yang
terjadi. Aku menang meski kemungkinannya
begitu kecil. Patung Oscar ada padaku sebagai buktinya, patung berat dan bersepuh emas, sosok seorang pria jangkung dengan wajah kosong penuh misteri.
Sebenarnya lebih tepat
jika dikatakan, aku menang lagi. Di negeri
tempat "killing fields",tempat ladang-ladang pembantaian yang
sebenarnya, kemungkinan bahwa aku
akhirnya bisa menang bahkan jauh lebih
kecil lagi.
Jika keajaiban demi
keajaiban datang susul menyusul, sulit rasanya
untuk tidak berpikir-pikir tentang kama.
Terkadang, orang-orang
yang dipilih untuk melaksanakan tugas-tugas
tertentu, tidak menyadari bahwa mereka terpilih. Mereka merupakan alat dalam permainan nasib, dipakai untuk suatu tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri.
Begitulah halnya bagiku. Dewa-dewa
sudah terlebih dulu mengetahui
segala-galanya, sementara aku sendiri tidak tahu apa-apa. Mereka merencanakan bahwa aku harus menderita dulu, merencanakan bahwa aku harus membaktikan diri, dan merencanakan bahwa kemudianlah aku baru menerima anugerah. Itu merupakan kama. Tanpa
menyadarinya, aku sudah memenuhi tugas
yang mereka sodorkan kepadaku. Aku sudah ikut
membantu menceritakan kisah rentang Kamboja
kepada dunia luar.
Sesudah menerima
anugerah Academy Award, keesokan paginya aku
darang di tempat kerjaku di Chinatown Service Center. Pukul delapan, seperti biasanya. Belok kanan, berjalan sampai ke
ujung gang dan masuk ke dalam
ruang kerja Bagian Indocina, lalu duduk di
dalam bilik kerjaku yang sempit, di bawah
lampu-lampu neon. Tapi tidak banyak tugas yang sempat kukerjakan. Semua ingin menyentuh patung Oscar yang kubawa
kesitu. Para wartawan dan kru-kru TV berdesak-desak masuk; telepon terus-menerus berdering; satu hari kerja terbuang, karena sibuk terus melayani orang-orang yang hendak
mewawancaraidan mengucapkan selamat.
Selama minggu-minggu
selanjutnya masih saja tetap belum banyak tugas
yang bisa kukerjakan. Berulangkali aku diminta
tampil dalam berbagai show di pemancar
televisi yang besar-besar, diwawancarai, mengadakan perjalanan ke Asia Timur dan Eropa untuk mempromosikan film itu. Aku dan Dith Pran diundang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan Presiden Reagan.
Kehidupanku saat itu luar biasa
sibuknya. Bulan Juni 1985 aku minta cuti lagi
dari tempat kerjaku di Chinatown Service
Center. Tapi ketika masa cuti itu berakhir, aku tidak kembali lagi ke sana.
Aku sudah punya
pekerjaan baru, menjadi juru bicara untuk orang-orang Kamboja dan organisator bantuan untuk kaum pengungsi. Sebagian besar dari waktuku terpakai untuk mengadakan perjalanan, berpidato, ikut serta dalam
berbagai konferensi, dan
berbicara dengan berbagai orang,orang pemerintah dan non pemerintah . Di LosAngeles aku bekerjasama
dengan Khmer Humanitarian Organization, Organisasi Kemanusiaan Khmer, yang memberikan bantuan kepada orang-orang Kamboja di tempat penampungan pengungsi dan di Amerika Serikat, dan juga dengan suatu organisasi lain yang bernama
United Khmer Humanitarianism
and Peace. Organisasi yang belakangan ini
mendukung sebuah kuil sementara yang terdapat
di sebuah rumah, dan berusaha mengumpulkan
dana untuk membangun sebuah kuil yang asli
dengan gaya tradisional Kamboja. Beberapa kali
dalam setahun aku pergi mengunjungi perbatasan
Thailand-Kamboja, dimana aku ikut membantu
mendirikan sebuah pusat pendidikan medis.
Di sana, dalam sebuah bangunan dari bambu dan
kajang, aku bersama staf yang ada di situ
akan mengajarkan keterampilan di segi kesehatan masyarakat kepada orang-orang desa yang kemudian akan
dimukimkan kembali di Kamboja.
Seperti aku, kawanku
Dith Pran juga melakukan kegiatan berbicara di
depan umum. Ia bekerjasama dengan
organisasi-organisasi yang menyelenggarakan bantuan untuk orang-orang Kamboja. Aku bersahabat karib dengan dia.
Kami berusaha sekuat tenaga,
membantu menyembuhkan luka-luka yang diderita
Kamboja. Kami tidak sendiri saja: banyak
orang Kamboia seperti kami yang secara sukarela menyuarakan masalah-masalah, bekerja di semua tingkatan; dan di antara kami semua terjalin ikatan kekerabatan,
karena kami semua pernah
mengalami peristiwa-peristiwa dahsyat yang sama.
Kadang-kadang ada orang
yang bertanya padaku, apa arti memenangkan
Hadiah Oscar bagiku.Bagiku secara pribadi itu berarti bisa mengakui bahwa aktingku dalam film The Killing
Fields memang baik. Itu berarti
terbukanya hatiku danmembiarkan puji-pujian mengalir masuk, setelah sedemikian lama aku menutup diri. Senang
rasanya mendapat pengakuan. Aku
tidak lagi menolaknya.
Dan bagiku sebagai juru
bicara bangsaku, Oscar itu membukakan
pintu. Ketika film itu belum diedarkan, tragedi
yang melanda Kamboja tidak begitu dikenal
oleh dunia luar. Berkat film dan Hadiah Oscar itu aku kini bisa pergi ke mana-mana, boleh dibilang siapa pun juga bersedia berbicara dengan aku. Itu juga dialami oleh
Dith Pran. Bagi banyak orang
Kamboja, kini pintu-pintu terbuka. Aku mengucap syukur bahwa orang kini mau mendengarkan kami, dan menjadi sadar akan eksistensi negeri kami serta
masalah-masalahnya. Sebelumnya, tidak ada
yang mau mendengarkan.
Dan Hadiah Oscar tentu
saja membuka pintu-pintu bagiku selaku aktor.
Karena aku kemudian ditawari berbagai
peranan, dan tidak hanya di Hollywood saja. Selama waktu antara menerima Hadiah Oscar dan saat aku menulis buku ini,
aku sudah bermain dalam dua buah film berbahasa Cina yang dibuat di Asia, selanjutnya sebuab
film dokumenter Perancis
mengenai Kamboja, sebuah film iklan perusahaan
farmasi; aku juga pernah tampil dalam beberapa
episode serial Hotel dan Miami Vice sebuah serial pendek berjudul In Love and War, dan menjadi pemandu
dalam sebuah acara TV.
Aku menyukai pekerjaan
sebagai aktor. Aku tidak merasa cemas
tentang masa depanku. Selama ini aku selalu bisa selamat. Mobilku masih VW yang kubeli tahun 1980 dulu. Aku masih memakai pakaian yang dipesankan Paman Lo dulu,
ketikaaku masih tinggal di Lumpini. Aku masih tinggal di apartemen yang dulu juga, sebelum aku memenangkan Hadiah Oscar. Kemungkinan aku akan pindah, tapi itu bisa kapan-kapan saja. Apakah aku akan terus menjadi aktor, atau kembali ke profesiku sebagai dokter, atau
kembali ke tempat kerjaku yang
lama di Chinatown Service Center: semuanya
itu tidak terlalu penting bagiku.
Persoalan yang lebih
penting ketimbang apa yang kulakukan, atau apa
yang dilakukan oleh Dith Pran, yang
dilakukan orang Kamboja yang mana pun juga, adalah nasib negeri asal kami. Kamboja kini dinamakan Republik Rakyat Kampuchea. Heng Samrin, yang dulu pernah menjadi salah seorang komandan Khmer Merah, masih tetap merupakan pemimpinnya sampai kini.
Pemimpin boneka. Dalang yang ada
di belakangnya masih tetap Vietnam.
Para "penasihat" yangorang Vietnam-lah yang memegang tali-tali kendali, dan pasukan-pasukan Vietnam yang terdiri atas 150.000 serdadu bersenjata lengkap
menjamin bahwa segala perintah
mereka benar-benar dilaksanakan.
Dengan diam-diam, tanpa
ada pengumuman resmi, Vietnam kini
menjajah Kamboja. Mereka menguras isi Danau Tonle
Sap, ikan yang ada disitu diangkut semua ke Vietnam. Mereka merampok karet alam, beras, segala macam harta bumi kami. Mereka memberikan dorongan kepada orang-orang Vietnam dan orang-orang Kamboja keturunan Vietnam untuk membangun pemukiman mereka di segala pelosok Kamboja. Orangorang
lelaki Vietnam mengambil wanita-wanita Kamboja dan dijadikan istri mereka, tanpa peduli apakah wanitanya mau atau tidak.
Tindak-tindak kejahatan yang dilakukan
orang-orang Vietnam terhadap orang-orang
Kamboja dibiarkan saja tanpa hukuman. Di
sekolah-sekolah hanya sedikit sekali diajarkan tentang kebudayaan Kamboja. Disana diajarkan bahasa
Vietnam dan Rusia; murid-murid yang paling pandai dikirim ke Hanoi atau ke Moskow, untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.
Meski rakyat tidak diikat
dan dicampakkan kedalam lubang kuburan massal oleh orang-orang Vietnam, sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Khmer Merah, sistem 'peradilan' mereka banyak kemiripannya dengan sistem yang dianut Khmer Merah. Orang-orang ditangkapi karena
mengatakan sesuatu yang bernada
negatif terhadap rezim yang berkuasa, atau
mendengarkan siaran pemancar-pemancar radio yang dinyatakan tidak boleh didengar, atau karena menikah tanpa izin.
Orang-orang yang ditangkap tidak
diberi kesempatan membela diri, atau
diajukan ke pengadilan. Penjara-penjara jorok kondisinya, penuh dengan kotoran manusia. Penyiksaan masih terus saja terjadi. Para pemeriksa memukuli korban-korban mereka, melecuti dengan rantai dan selang
karet, mengalirkan arus listrik
ke tubuh mereka dan mencekik dengan
kantong-kamong plastik yang disungkupkan ke kepala. Semuanya ini kuketahui dari cerita para pengungsi. Tapi itu juga
bisa dibaca dalam
laporan-Iaporan yang disusun oleh badan Amnesty International.
Vietnam mengerahkan
tenaga kerja paksa, bukan untuk membangun
saluran air dan bendungan seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah dulu, tapi untuk menebangi pohon-pohon di pinggir jalan, agar kaum gerilyawan anti pemerintah kehilangan tempat berlindung apabila hendak melancarkan sergapan. Budak-budak perang yang baru dikerahkan untuk membabat hutan, membangun rintangan-rintangan dan memasang ranjau,
terutama dekat perbatasan dengan
Thailand. Penyakit malaria merajalela di
perkampungan kerja paksa. Banyak dari mereka ini yang kehilangan kakikarena menginjak ranjau.
Perang masih terus berlangsung
di Kamboja. Apabila pasukan-pasukan
Vietnam bergerak dalam jumlah besar saat siang
hari, mereka bisa pergi ke mana saja; tapi
begitu mereka sudah lewat atau hari sudah malam, daerah ped esaan kembaliberada dalam kekuasaan pasukan-pasukan perlawanan.Di segala
kota diberla kukan jam malam.Perang
di Kamboja dewasa ini me rupakan peranggerilya
tanpa garis-garis front yang jelas, dan dengan keikutsertaan berbagai kelompok di dalamnya. Sebagian besar dari bantuan yang diperoleh kelompok-kelompok perlawanan berasal dari Cina. Vietnam menerima bantuan dari Uni Soviet. Dilihat dari sudut pandangan itu,
yang kini sedang berlangsung
di Kamboja adalah perang antara kedua
negara komunis yang menjadi sponsor dari masing-masing pihak, yakni Cina dan Uni Soviet. Kamboja hanya merupakan satu bidak saja dalam pergulatan mereka,
memperebutkan kekuasaan dan pengaruh
di Asia.
Pihak perlawanan terdiri
atas tiga kelompok, atau yang biasa disebut
faksi. Lambat-laun semakin banyak orang Kamboja yang serius dan berjiwa patriot, menggabungkan diri dalam organisasi Khmer Serei yang terdiri atas
tukang-tukang perang dan perampok itu.
Mereka membentuk dua faksi antikomunis:
Front Pembebasan Nasional Rakyat Kamboja
(KPNLF), dan Front Kesatuan Nasional demi
Kamboja yang Merdeka, Netral, Damai dan
Koperatif (singkatannya dalam bahasa Perancis: FUNCINPEC). Payahnya, keduafaksi itu sama-sama
menghadapi masalah kepemimpinan. FUNCINPEC
dikepalai Pangeran Sihanouk, yang sudah
kehilangan kredibilitasnya karena semasa tahun tujuh puluhan dulu memihak kepada Khmer Merah, dan kini tinggal di Cina dan di Korea Utara. Kepala KPNLF bernama Son Sann, seorang pria terhormat yang sudah tua dan bertubuh ringkih. Pengalamannya di bidang kemiliteran tidak banyak. Markas mereka yang terletak di wilayah Thailand
sama-sama dirundung berbagai masalah:
pertengkaran secara terbuka,
pergulatan memperebutkan kekuasaan, dan laporan-Iaporan yang terus mengalir mengenai kasus-kasus bonjour. Tapi
baik KPNLF maupun FUNCINPEC
sama-sama memiliki orang-orang yang bermutu
dalam organisasi mereka,terutama mereka yang terjun langsung kelapangan. Mereka
itu, yang benar-benar mengucurkan keringat dan berjuang mati-matian, sungguh-sungguh kukagumi.
Faksi ketiga, dan yang
paling kuat di antara mereka, adalah Khmer
Merah, yang sementara ini sudah bisa makan berkecukupan dan memiliki persenjataan yang lengkap lagi. Mereka
mengatakan bahwa mereka sudah bukan
komunis lagi, melainkan nasionalis
yang ingin mengusir Vietnam keluar dari bumi Kamboja. Mereka juga mengatakan bahwa Pol Pot sudah
"pensiun". PolPot memang pernah sakit berat. Tapi selama ia masih hidup, ia akan tetap memegang tampuk pimpinan. Bagaimanapun, ia sudah sekian tahun biasa berpura-pura bahwa tali kendali
pimpinan ada di tangan orang
lain. Orang yang kemungkinan akan menjadi penggantinya adalah Son Sen, yang menjabat kedudukan menteri pertahanan sewaktu Khmer Merah masih berkuasa di
Kamboja. Dialah yang memegang
kewenangan atas sistem penjara waktu
itu, termasuk penjara dimana aku pernah disiksa. Istri Son Sen menjabat kedudukan menteri kebudayaan. Dialah yang bertanggung jawab atas pembantaian terhadap para bhiksu, dan dia pula vang menghapuskan Budhisme sebagai agama di Kamboja. Tokoh
lainyang juga masuk hitungan sebagai calon pengganti Pol Pot adalah Ta Mok, seorang komandan militer yang terkenal bengis. Ia
memerintahkan pembunuhan terhadap
saingan-saingan utamanya agar dia bisa mendapat
kedudukan komandan Zone Barat Daya, sewaktu
Pol Pot masih berkuasa.
Tahun 1982, para
pendukung ketiga faksi perlawanan itu, yakni
RRC, kelima negara anggota ASEAN yang nonkomunis, ditambah Amerika Serikat, mendesak Khmer Merah membentuk pemerintahan koalisi dalam pengasingan,
bersama KPNLF dan FUNCINPEC.
Koalisi ini, yang menyebut dirinya
Kampuchea Demokratik, dan yang pada hakikatnya masih rezim Khmer Merah yang dulu juga, dibentuk dengan suatu tujuan praktis. Dengan adanya pemerintahan itu,
kekuatan-kekuatan perlawanan yang bergabung bisa mempertahankan kursi Kamboja di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehadiran diplomatik itu turut berperan dalam tekanan yang terjadi
terhadapVietnam agar angkat kaki dari Kamboja. Setiap tahun diajukan sebuah resolusi ke depan
sidang umum PBB yang menyerukan
kepada Vietnam agar pergi dari Kamboja,
dan resolusi itu selalu diterima dengan
mayoritas yang sangat besar. Disegi militer, ketiga faksi yang bekerjasama itu menyebabkan biaya pendudukan Kamboja menjadi berat sekali bagi Vietnam. Gabungan ketiga faksi itu sampai saat buku ini kutulis masih
belum juga berhasil
mengalahkan pasukan-pasukan Vietnam,tapi sebaliknya Vietnam juga tidak mampu mengalahkan mereka. Suatu waktu nanti,
kombinasi situasi kemiliteran ini
dan adanya tekanan dibidang diplomasi mungkin akan menghasilkan diadakannya suatu konferensi yang bisa
merintis jalan ke arah
penyelesaian politik. Tanda-tanda awal adanya sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan,kini sudah mulai
nampak.
Tapi dilihat dari segi
moral, lain lagi urusannya dengan pemerintahan koalisi ini. Sungguh-sungguh tidak enak rasanya, terpaksa harus mau menerima Khmer Merah sebagai mitra
perjuangan, hanya agar bisa mengusir
Vietnam keluar dari Kamboja. Padahal,
seperti yang tertulis di sebuah papan yang dipasang di Jalan Nasionalis, "Khmer Merah - Musuh Bebuyutan."
Hanya dengan perasaan
yang sangat enggan sajaaku mau menerima bahwa memang perlu dilakukan perjuangan bahu-membahu bersama KhmerMerah,
sampai Vietnam sudah terusir dari Kamboja. Tapi menurut hematku, tidak perlu ditunggu lebih lama untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah atas segala kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka melakukan pembantaian terhadap bangsa mereka sendiri, dan untuk itu mereka harus dihukum. Belum lama berselang
ada sebuah organisasi, yakni
Komisi Dokumentasi tentang Kamboja (CDC)
mengusahakan penyelenggaraan pengadilan terhadap para pemimpin tertinggi Khmer Merah di depan suatu tribunal internasional. Aku dengan sepenuhnya
mendukung gagasan itu. Di samping
demi keadilan, tersingkirnya para
pemimpin tertinggi Khmer Merah itu akan membawa
efek praktis di bidang diplomasi selanjutnya:
dengan begitu tidak adalagi alasan bagi Vietnam untuk tetap bercokol di Kamboja, yang selama ini mereka katakan untuk melindungi Negeri Kamboja dari kemungkinan kembalinya Pol Pot.
Peperangan yang terus
berkecamuk selama ini menyebabkan adanya
pelarian berjumlah lebih dari tiga ratus ribu
orang di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja dan di tempat-tempat penampungan pengungsi yang kini masih tersisa didalam
wilayah Thailand. Negara ini kini sudah menutup sebagian besar dari tempat-tempat penampungan,dan ingin jika
sisanya juga bisa ditutup. Negara-negara
Barat sudah bosan menerima para pengungsi Kamboja untuk dimukimkan kembali di tempat mereka. Para pelarian
tinggal digubuk-gubuk di sepanjang perbatasan, tanpa bisa ke mana-mana, sementara kembali ke Kamboja mereka tidak mau. Mereka tidak bisa bercocok tanam, karena tidak ada lahan, dan juga tidak
ada keamanan untuk
melakukannya. Jadi mereka terpaksa menunggu adanya sumbangan bahan pangan dari luar. Anak-anak sudah menjadi serdadu, sebelum mereka sempat menjadi
dewasa. Di berbagai rumah sakit
dan klinik yang didirikan, staf yang terdiri dari orang-orang Kamboja dan beberapa gelintir tenaga sukarela dari
Barat masih terus melakukan
tugas mereka, memberikan perawatan medis.
Kasus-kasus yang membebani seakan tidak ada henti-hentinya: malaria, TBC, disentri, luka-luka kena tembakan. Di
sana nampak orang-orang yang
berjalan terpincang-pincang dengan kaki palsu murahan, karena kaki mereka hancur kena ranjau. Nampak para
pengungsi yang dirundung depresi,
mengalami trauma karena kehilangan sanak
keluarga dan karena eksistensi mereka yang
tanpa daya selaku pengungsi. Apabila aku berada di rumah-sakit rumah-sakitdi perkampungan para
pengungsi dan aku melihat bahwa hampir
tidak ada perubahan samasekali di situ sejak aku pergi dari sana, aku pun merasa bahwa aku tidak berdaya apa-apa.
Karena tidak satu pun yang
selama ini sudah kulakukan, mulai dari pekerjaanku di situ sebagai dokter, selanjutnya keikutsertaanku dalam film The Killing Fields, dan kemudian kegiatanku mengumpulkan dana; karena semua yang telah kulakukan itu ternyata tidak bisa mengubah kondisi dasar
yang ada di sepanjang
perbatasan. Pada saat-saat seperti itu, saat semua tempat tidur yang ada terisi pasien dan hampir tidak ada udara segar yang
menghembus ke dalam lewat
celah-celah dinding bambu, pada saat-saat seperti itu Hadiah Oscar sama sekali tidak ada artinya bagiku.
*************
Malapetaka Kamboja telah
mencabik-cabik kehidupan kami, Mencampakkan kami
ke segala penjuru, menyebabkan
tidak ada seorang pun dari kami yang masih tetap seperti dulu. Kesalahan bisa ditimpakan kepada siapa saja:
negara-negara asing karena campur
tangan, atau cacat yang ada pada diri kami sendiri, seperti korupsi dan kum;tapi dengan
begitu kita masih juga belum tahu kenapa semuanya itu harus terjadi. Negeri Kamboja masih terap porak-poranda, jutaan orang mati, dan yang masih hidup belum bisa
melupakan kepedihan hati.
Sebagian besar dari
orang-orang Kamboja kenalanku dulu, kini sudah tidak ada lagi. Mereka sudah mati. Itu juga dialami kebanyakan orang Kamboja yang selamat. Tapi informasi sangat
sulit diperoleh. Aku tidak
tahu bagaimana nasib Paman Kruy, sopir bis yang pernah menampungku sewaktu aku masih anak-anak; rekan-rekan
dokterku, Pok Saradath dan Dav
Kiet; Chea Huon, bekas guruku yang
kemudian menjadi tokoh pemimpin Khmer Merah;
Sangam, temanku dalam regu pupuk, dan masih
banyak lagi yang lain-lainnya.
Tapi ini kuketahui
dengan pasti: Pen Tip, yang beberapa kali berusaha agar aku dibunuh, kini ada di sekolah kedokteran di Phnom Penh. Pasti banyak temannya di kalangan tuan-tuannya yang baru, orang-orang Vietnam.
Bibi Kim, bibiku yang
melapor kepada kepala desa Tonle Bati bahwa
aku sebenamya dokter, sementara ini telah
bermukim di sebuah kota diAmerika Serikat. Ia disertai anak-anak lelakinya: Haing Seng, yang pernah bertengkar dengan aku di Tonle Bari dulu, dan Haing Meng, yang sepanjang pengetahuanku (atau seperti
dikatakan orang-orang Amerika,
"katanya") dulu perwira Khmer Merah, yang kemudian berhasil lolos dari pemeriksaan Imigrasi Amerika. Sementara ini
ia sudah mengganti namanya.
Aku tidak tahu dimana ia kini berada.
Tentang sanak keluarga
yang lain-lainnya: adikku Hong Srun masih
ada di Kamboja, dengan dua anak abangku; adikku
Hok, kini tinggal diluar kota Los Angeles bersama istri dan anaknya; kedua sepupuku, Balam dan Phillip Tong, masih bertempat tinggal di Los Angeles dan hidup sentosa di sana. Aku juga masih punya
beberapa orang sepupu lelaki di
Macao dan Perancis, dan seorang keponakan
perempuan yang juga tinggal di Perancis. Dia saru-satunya anak perempuan kakakku Chhai Thau yang masih hidup.
Keponakanku Sophia
merasa tidak senang tinggal bersama aku. Mungkin pembawaanku terlalu kuno dan terlalu kuat berpegang pada adat kebiasaan Kamboja, sehingga tidak bisa
memahami apa yang sedang terjadi
dalam dirinya sebagai gadis remaja
Amerika. Suatu hari, ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan sepucuk surat yang dialamatkan kepadaku.
Surat itu tidak pernah kubuka,
jadi tidak kuketahui isinya. Dan Sophia sejak
itu tidak pernah kembali.
Segala pertengkaranku
dengan ayahku, segala pertengkaranku dengan
abangku, dan sekarang ini-pukulan terakhir
yang sangar menyakitkan dalam sejarah keluargaku
yang penuh dengan keributan.
Aku merasa kehilangan Sophia.
Sementara ini aku masih
tinggal di apartemenku dengan dua kamar tidur
dan sebuah balkon diluar, dengan pemandangan gedung-gedung tinggi di pusat kota Los Angeles yang nampak
dikejauhan. Dinding-dinding apartemen itu penuh dengan pajangan tanda-tanda penghargaan yang kuterima serta foto-foto adegan dari film TheKilling
Fields. Pada posisi yang lebih tinggi dari semuanya, di tempat terhormat, terpasang foto Huoy, yang kusuruh besarkan dari foto kartu identitasnya yang kuperoleh kembali setelah
aku memohon-mohon kepada
kepala desa Phum Ra,sekian tahun yang lalu.
Medalion dengan foto
Huoy masih tergantung dengan rantai emas di
leherku. Arwahnya masih terus membimbingku. Ia
pasti mau mengizinkan aku menikah lagi dan
membina keluarga, tapi sejauh ini itu belum
terjadi. Tidak mudah bagiku untuk menemukan wanita yang bisa menggantikan Huoy sebagai pendampingku.
Suatu waktu nanti,
apabila Kamboja sudah bebas lagi, aku akan
kembali ke Kamboja dan mendatangi pohon sdao
yang tumbuh miring diatas bukit kecil di tengah daerah persawahan itu. Aku akan ke sana, disertai bhiksu-bhiksu
Budha. Kami akan mengadakan
upacara sembahyang arwah, lalu membangun
stupa untuk Huoy, disamping kuil di atas lereng bukit. Kami akan mendoakan arwah Huoy, arwah ibunya, arwah orangtua dan keluargaku, dan mereka semua
yang sudah meninggal dunia.
Semoga dengan demikian arwah mereka bisa merasa
tenang. Dan barangkali jiwaku setelah itu juga
akan bisa tenang.
Aku masih ingat,
berjalan-jalan sore hari bersama Huoy, menyusur tepi sungai di Phnom Penh. Cahaya lampu-lampu tercermin di atas
permukaan air, dan angin yang
bertiup menggerakgerakkan rambutnya. Kami berjalan dengan santai, tanpa ada pikiran yang membebani,
bercakap-cakap tentang masa depan.
Betapa cerah nampaknya masa depan waktu itu -
bekerja keras dan menjadi makmur, mendapat
beberapa orang anak,tetap dekat dengan sanak keluarga. Betapa cerah kesan semuanya waktu itu. Tapi kehidupan kami ternyata tidak berjalan seperti yang kami
rencanakan. Kehidupan Huoy terlalu
cepat berakhir. Dan tidak ada ampun bagiku,
karena kenang-kenanganku sendiri yang selalu
menghantui.