1
MASA KECILKU
PENGALAMANKU yang paling dini semasa kecil yang
masih kuingat adalah berdiri di·ambang pintu belakang rumah orangtuaku sambil
melayangkan pandangan, menatap sawah yang terbentang. Hamparan sawah itu sangat
menarik perhatianku. Pematang-pematang membagi-baginya membentuk suatu pola
seperti papan catur yang tidak rata aturan letaknya, dengan petak-petak sawah
dan di sana-sini pepohonan yang tumbuh di persilangan pematang.
Pemandangan itu silih berganti mengikuti musim
Pada bulan Januari, di tengah musim kemarau, tunggul-tunggul padi yang kering
kecoklatan menutupinya. Sekitar bulan April atau Mei ketika hujan turun
rintik-rintik, beberapa petak dijadikan tempat menyemaikan benih, yang
menyebabkannya nampak berwarna, hijau lembut. Apabila musim hujan tiba dengan
curahan airnya yang lebat, pria dan wanita berombongan memindahkan semaian itu
ke petak-petak sawah yang selebihnya. Selama bulan-bulan yang basah, tanaman
padi tumbuh subur menghijau, dan pematang-pematang lenyap dari penglihatan
sampai sekitar bulan Agustus, saat hujan berhenti turun dan tanaman padi mulai
menguning. Lantas para petani turun ke sawah untuk memanennya, dengan
meninggalkan hanya tunggul-tunggul kering saja sebagai sisa. Malai padi yang
sudah dipanen ditebah guna. merontokkan gabahnya; gabah digiling, dan berasnya
dijual kepada orang lain, seperti keluargaku misalnya.
Beras itu dimasak menjadi nasi yang kami makan
dengan senang hati, dan selalu ada sekadarnya yang kami sisihkan untuk para
biksu yang datang ke ruman kami setiap pagi dengan mangkuk derma mereka.
Biksu-biksu itu memakai jubah yang warnanya kuning atau jingga, atau bahkan
coklat, yang bahan pewarnanya mereka buat sendiri dati kulit kayu. Kepala dan
alis mereka dicukur habis. Sikap mereka tenang dan membisu. Tak sepatah kata
pun mereka ucapkan pada waktu beriringan satu-satu, berjalan dari rumah ke
rumah.
ltulah kenanganku yang paling dini: petak-petak
sawah yang beruban-ubah mengikuti musim, dan para biksu yang mendatangi rumah
kami setiap pagi. Dan itulah wajah Kamboja yang ingin tetap kuingat. Kamboja
yang sunyi, indah, dan tenteram.
Tapi pada hakikatnya kejadian lengkap pertama
yang masih kuingat tidaklah sedamai itu. Waktu itu umurku sekitar tiga tanun.
Tahunnya, mungkin 1950. Aku dan abangku disuruh lbu pergi ke sawah, mengambil
air dari sebuah kolam di situ. Saat itu sedang musim kemarau. Di kolam ada
serdadu-serdadu dari pasukan yang ditempatkan di desa kami. Mereka sedang
memancing ikan, duduk bertelanjang dada dan kaki. Kami mengisi ember dengan
air. Gagangnya kami cantolkan pada sebatang tongkat, lalu kami panggul tongkat
itu. Kami sudah dalam perjalanan pulang, dua bocah lelaki tanpa sepatu memikul
air seember, ket ika terdengar bunyi letusan di belakang kami. Datangnya dari
dekat kolam. Kemudian kami mendengar letusan lagi. dan suara serdadu-serdadu
tadi berteriak-teriak. Ibuku muncul di ambang pintu rumah. Belum pernah kulihat
air mukanya seperrti pada saat itu.
"Kemari, Anak-anak! Letakkan ember itu!
Jatuhkan saja! Cepat!" katanya. Ember kami letakkan, lalu kami
berlari-lari mendatangi Ibu yang bergegas menyongsong, menyambar pergltangan
kami dan menyeret kami ke dalam rumah. Di belakang kami terdengar lagi bunyi
tembakan-tembakan, dan para tetangga kami berteriak-teriak.
Aku tidak ingat lagi apa yang terjadi pada detik-
detik berikutnya. Tahu-tahu aku dan abangku sudah berada dalam lubang di bawah
balai-balai kayu berukuran besar yang merupakan tempat tidur orangtuaku. Lubang
itu gelap dan sejuk, dengan karung-karung berisi pasir melapisi sisi- sisinya,
Orangtuaku sudah tahu bahwa akan terjadi kerusuhan. Beberapa saudaraku sudah
lebih dulu ada di situ, disusul oleh yang lain-lainnya; masuk bergegas-gegas,
setengah lusin anak yang lasak. lbuku masuk kemudian dan akhirnya ayahku, yang
datang berlari-lari dari pasar. Napasnya memburu. Mukanya basah karena
keringat.
Kami mendengar tembakan. Bunyinya dekat. Lalu
beberapa kali lagi, dekat sekali di luar rumah kami. Ada bunyi barang pecah,
dan kepingan kaca berhamburan di atas balai-balai yang menaungi kami. Ibu
berdoa sambil merangkul kami lebih erat lagi, sementara Ayah melontarkan kata
makian. Kami, anak-anak, semakin meringkuk dalam lubang persembunyian kami di
lantai, di bawah balai-balai.
Beberapa saat kemudian tidak ada lagi tembakan.
Kami mendengar suara ramai di luar. Seseorang memanggil-manggil nama ayahku.
Ayah keluar dari lubang persembunyian. Kami semua menyusul beberapa menit
kemudian. Pecahan kaca berserakan di lantai. Dinding sebelah atas pintu depan
berlubang-Iubang. Banyak orang berkerumun di luar, ditambah lagi dengan
orangorang yang berdatangan sambil berlari-lari. Suasana ribut, karena semua
berbicara.
"Tidak, sisanya berhasil meloloskan diri. Tidak ada lainnya yang terbunuh .... "
"Serdadu-serdadu mundur ke tangsi, lalu menembaki dari atas menara penjagaan . . .. "
"la berlindung di balik pohon ini. Bukan Main banyak sekali lubang bekas pelor di batangnya! Bahkan di ambang pintu rumah Ngor. ... "
"Tidak, sisanya berhasil meloloskan diri. Tidak ada lainnya yang terbunuh .... "
"Serdadu-serdadu mundur ke tangsi, lalu menembaki dari atas menara penjagaan . . .. "
"la berlindung di balik pohon ini. Bukan Main banyak sekali lubang bekas pelor di batangnya! Bahkan di ambang pintu rumah Ngor. ... "
Aku menerobos lewat sela-sela kaki orang banyak
yang berkerumun. Aku ingin melihat sendiri. Dekat pohon yang ada di depan rumah
kami, ditengah kerumunan orang, nampak seorang laki-laki tertelungkup di tengah
genangan darah. Di sisinya ada sepucuk senapan karabin. Anak-anak lain ikut
menelusup masuk bersama aku, ada yang dengan menggendong adiknya di pinggang.
Kami menatap dengan mata terbelalak.
Kami menatap dengan mata terbelalak.
Gerilyawan yang mati itu bertubuh kekar, dengan
punggung dan tungkai berotot kokoh. Kakinya yang telanjang nampak lebar dan
kapalan, seperti kaki petani. Warna kulitnya gelap. Lengan dan bahunya penuh
dengan rajahan. Ia memakai celana pendek yang sudah compang-camping. Di pinggangnya
terlilit krama -semacam selendang khas Kamboja yang serbaguna - serta
beberapa utas tali yang digantungi sejumlah jimat Budha dan tasbih. Ia tidak
memakai baju. Kelihatannya bukan berasal dari kota. Ia orang dusun, dari
jantung pedalaman Kamboja yang tenteram. Dan ia memberontak.
Kini, sekian tahun kemudian, sesudah dewasa dan
hidup di negeri asing yang jauh sekali, aku berpikir: Ya, bahkan pada waktu itu
pun sudah ada kerusuhan. Bukan revolusi barangkali, tapi ketidakpuasan mendalam
yang disembunyikan.
Bagi orang luar, dan sering kali bahkan di mata
kami sendiri, Kamboja kelihatannya cukup tenteram Para petani selalu sibuk
dengan siklus kegiatan bercocok tanam. Kaum nelayan hidup dalam perahu-perahu
mereka, dan anak-anak mereka yang telanjang asyik bermain-main, jumpalitan
keluar-masuk air. Para biksu yang terbalut jubah dan bertelanjang kaki,
berjalan dengan langkah tenang dalam perjalanan keliling mereka setiap pagi.
Kuil Budha di setiap desa, dengan atapnya yang anggun bertingkat-tingkat
menjulang di atas pucuk-pucuk pepohonan. Jalan raya yang lebar-lebar dan
pohon-pohon berbunga di Phnom Penh, ibukota negara. Segala keindahan dan
ketenteraman itu nampak di depan mata. Tapi di dalam, selalu dalam keadaan
tersembunyi, ada kum. lni sebuah kata dalam bahasa Khmer yang berarti
dendam kesumat, suatu mentalitas yang ada dalam sanubari manusia Kamboja. Jika
kita pernah dipukul seseorang dan kita menunggu lima tahun untuk pada suatu
malam yang gelap menembak orang itu dari belakang, itulah kum. Atau jika
seorang petugas pemerintah mencuri ternak ayam milik seorang petani, lalu
perbuatan itu oleh si petani dijadikan alasan untuk melakukan serangan terhadap
sebuah tangsi tentara pemerintah, seperti yang terjadi di desa tempat tinggalku
semasa kecil, itulah yang dinamakan kum. Orang Kamboja tahu
segala-galanya tentang kum. Itu merupakan radang yang merasuki jiwa
bangsa kami.
Tapi waktu itu pertikaian bersenjatanya masih
secara kecil-kecilan, sebelum negara-negara lain ikut terlibat, dan kerusakan
sebagai akibatnya masih belum seberapa. Ketika segelintir gerilyawan
compang-camping menyerang tangsi tentara di desaku waktu itu, kejadiannya hanya
menjadi buah bibir kami saja, penduduk sana. Orang lain, tidak ada yang peduli.
Mungkin saja aksi penyerangan itu diberitakan dalam harian-harian Phnom Penh,
tapi tidak di luar negeri. Itu hanya insiden kecil saja dalam perang saudara
yang berlarut larut-larut tanpa pernah memuncak. Peperangan seperti itu selalu
saja ada di mana-mana, diberbagai tempat di bumi ini. Dan dunia luar hanya
sedikit saja tahu mengenainya.
Kamboja, kebanyakan orang hanya mengenal namanya
saja. Suatu negeri yang jauh di mana pernah terjadi malapetaka, tapi hanya
sedikit yang masih ingat apa sebenarnya yang terjadi di sana. Namun begitu
disebutkan Pol Pot atau Khmer Merah, orang lantas mulai ingat kembali. Atau
bom-bom yang berjatuhan, atau pembantaian rakyat, atau bahkan sebuah film
berjudul The Killing Fields. Tapi itu semua baru kemudian terjadinya.
Kamboja merupakan bagian dari Indocina, dan
kawasan ini merupakan sebagian dari daratan Asia Tenggara. Sebutan
"Indocina" terbentuk karena di sebelah barat dengan diselangi
beberapa negara terletak India, dari mana berasal agama dan aksara yang berlaku
di Kamboja; dan juga dengan diselangi beberapa negara, di sebelah utara
terletak Cina, negeri asal kelas pedagang di Kamboja, termasuk pula keluargaku
dari pihak Ayah. Lama sekali kawasan itu dikenal dengan nama Indocina Perancis,
karena Perancis sejak pertengahan abad kesembilan belas menguasai Kamboja dan Laos
serta Vietnam sebagai daerah jajahan. Para gerilyawan yang mendatangi desaku
sewaktu aku masih kecil itu berjuang untuk menyingkirkan penjajahan Perancis.
Dan pada waktu terjadinya tembak-menembak itu, Ho Chi Minh dengan orang-orang
komunisnya di Vietnam juga sedang melakukan pemberontakan berskala jauh lebih
besar untuk mengusir Perancis dari sana.
Vietnam biasanya menyebabkan Kamboja agak
tersisih dalam warta berita dunia karena perang di sana lebih besar ukurannya,
dan karena negara-negara Barat sementara itu sudah terlibat secara langsung di
dalamnya. Jadi. orang tahu lebih banyak tentang Vietnam ketimbang mengenai
Kamboja. Tapi aku paling jengkel jika harus menjelaskan bahwa Kamboja itu
letaknya bersebelahan dengan Vietnam, atau bahkan di dekat India dan Cina.
Bagiku, Kamboja merupakan sesuatu yang sangat dekat ke hatiku, sesuatu yang
amat istimewa. Itu nama negeri sekitar desaku. Dan seperti halnya anak-anak
mana pun juga, semasa kecil aku beranggapan bahwa desaku itu merupakan pusat
dunia.
Nama desa itu Samrong Yong. Letaknya di suatu
persimpangan yang sunyi dari jalan besar yang membentang di selatan Phnom Penh,
terdiri dari hanya sederetan rumah dengan sawah dan hutan di belakangnya.
Sesudah insiden tembak-menembak itu, orangtuaku mengungsikan kami,
anak-anaknya, ke rumah seorang teman di pedalaman, mereka beranggapan bahwa
kami akan aman di situ. Setiap petang orangtuaku datang ke rumah itu untuk
bermalam di sana bersama kami, dan begitu hari sudah pagi mereka kembali lagi
ke desa untuk membuka toko mereka yang memperdagangkan tekstil. Sampai pada
suatu sore, ketika ayahku tidak kembali dari sana.
Ia diculik gerilyawan pemberontak. Ibuku
mengumpulkan duit untuk menebusnya. Setelah uang tebusan diserahkan, ayahku
mereka bebaskan; tapi sebagai gantinya ibuku mereka tawan, sehingga ayahku
harus mengusahakan uang penebus untuk membebaskannya. Ketika mereka berdua
sudah bebas, orang-orang militer yang korup dari pihak lainnya-perwira-perwira
berkebangsaan Kamboja dari tentara pemerintah yang didukung Perancis-menangkap
ayahku dan menjebloskannya ke dalam penjara dengan tuduhan membantu gerilyawan.
Pokoknya, ia dikatakan ketahuan pergi ke Samrong Yong setiap sore untuk
mendatangi mereka. Tentu saja itu hanya alasan saja dari orang-orang militer
itu untuk bisa memperoleh uang tebusan.
Aku diungsikan ke Phnom Penh. Selama aku di sana,
kaum pemberontak dan pihak militer berganti menculik Ayah lagi. Ayahku
sebenarnya tidak mau membayar uang tebusan, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Ia tidak punya siapa-siapa yang bisa melindunginya. Seperti hampir semua
pedagang, ia bertampang Cina, dengan warna kulit yang pucat dan mata sipit. ltu
membuat dirinya menjadi sasaran empuk. Kebanyakan orang Kamboja yang lainnya
berbangsa Khmer, dengan mata bulat dan kulit berwarna sawo matang, atau kalau
tidak merupakan keturunan campuran.
Ketika aku akhirnya pulang lagi ke desa, sawah
masih sama saja kelihatannya. Biksu-biksu masih tetap berkeliling setiap pagi.
Tapi setiap sore, sebuah pasukan pertahanan desa yang baru dibentuk dan terdiri
dari pemuda dan pemudi berbaris berkeliling desa dengan membawa parang dan
bedil kayu. Langkah mereka tidak pernah bisa seirama, dan penampilan mereka
tidak mirip tentara yang sejati, namun rakyat sangat mendukung mereka. Penduduk
desa sudah muak menghadapi kekorupan serdadu-serdadu pemerintah dukungan
Perancis, begitu pula menghadapi kaum gerilyawan yang tidak kalah korupnya.
Orang yang membantu pengorganisasian barisan-barisan pertahanan rakyat, yakni
Norodom Sihanouk, raja kami yang waktu itu masih muda, begitu juga perasaannya.
Sihanouk berupaya mendesak Perancis agar pergi dari Kamboja. Komunis juga
diinginkannya pergi, karena di antara mereka ada yang bersekutu dengan Ho Chi
Minh. Sihanouk tidak menghendaki sebuah negara Barat seperti Perancis berkuasa
di Kamboja. Tapi juga tidak kaum komunis. Ia mendambakan Kamboja yang merdeka
dan netral. Sesuai dengan tradisi Budhis, ia menginginkan jalan tengah.
Ayahku jadi miskin karena setiap kali harus
membayar uang tebusan. Aku dimasukkan ke sebuah sekolah Cina bersama abangku,
Pheng Huor; tapi tidak lama kemudian aku dikeluarkan lagi karena Ayah tidak
mampu membayar uang sekolah bagi kami berdua. Aku tidak keberatan. Pheng Huor
lebih pintar ketimbang aku. Ia bisa menghitung jawaban yang benar dari sebuah
soal dalam sekian detik saja dengan menggunakan swipoa-setelah dengan
ujung jarinya ia mengutak-utik bulatan yang berderet-deret itu sebentar -
sementara aku masih sibuk berusaha mengingat-ingat berapa besar nilai
masing-masing bu latan itu. Pheng Huor selalu membantu-bantu Ayah sehabis
sekolah. Aku lebih suka membantu Ibu. Ibuku lebih coklat warna kulitnya,
seperti aku, antara kulit kuning orang Cina dan penduduk dusun Kamboja yang
berkulit sawo matang.
Sementara Ayah membangun kembali usahanya dan
abangku belajar di sekolah, setiap hari aku ikut Ibu pergi melakukan
perdagangan barter ke pedalaman untuk memperoleh bahan pangan bagi keluarga
kami. Aku memanggul tongkat bambu panjang yang berkait pada kedua ujungnya.
Pada kaitan yang satu digantungkan sebuah keranjang berisi jajanan yang setiap
hari dibuat ayahku yang begitu keras kerjanya, sementara ketanjang yang
digantungkan pada kaitan yang satu lagi diisi dengan kacang tanah, ikan asin,
garam, kecap, dan macam-macam lagi yang kami rasa nanti bisa ditukarkan
sesuatu. Kami berangkat saat matahari terbit, berjalan kaki. Kedua keranjang
terayun-ayun pada kedua ujung tongkat pikulanku, dan aku menyesuaikan langkah
dengan iramanya. Ibu melilitkan krama, atau selendangnya, ke kepalanya lalu
menjunjungkan sebuah keranjang di atasnya. Sambil berjalan dipegangnya
keranjang itu dengan satu tangan supaya jangan jatuh.
Kami berjalan meninggalkan jalan raya beraspal,
Jalan Nasional 2, yang melewati desa kami, memasuki jalan lebih kecil yang
merupakan lintasan gerobak sapi dan jalan-jalan setapak. Dengan segera bunyi
lalu-lintas kendaraan bermotor sudah tak terdengar lagi. Kami sudah memasuki
suatu dunia yang sama sekali lain, suatu alam pemandangan yang terdiri dari
sawah dan hutan. Kami menyusur sawah-sawah terbuka mendatangi desa-desa teduh,
dengan rumah-rumah beratap kajang yang dibangun di atas tonggak-tonggak tinggi
di antara pohon-pohon asam, mangga, pisang, dan kelapa. Penghuni desa-desa itu
orang Khmer, manusia-manusia ramah berkulit sawo matang yang sangat menguasai
cara hidup bertani tanpa terlalu memeras tenaga. Setiap rumah memiliki
pekarangan yang dikelilingi pagar buIuh. Pekarangan itu ditanami sayur-mayur
dan tembakau. Ternak ayam mengais-ngais tanah sambil berkotek-kotek, dan pada
saat kapan pun selalu ada. saja terdengar bunyi ayam jantan berkokok. Kami
biasanya menukarkan barangbarang dagangan kami dengan beras, karena itu bisa
diperoleh dengan lebih murah dari orang orang desa itu ketimbang di Samrong
Yong.
Kami berjalan terus sepanjang hari, dan tubuhku
menjadi kuat dan sehat karenanya. Dalam perjalanan pulang aku mencari-cari
tanaman teratai, yang akar dan bijinya enak kalau dibuat sup, atau kangkung,
atau daun pohon sdao, yang rasanya agak getir. Setiap kali kami melewati
hutan, Ibu selalu membungkus beras beberapa butir dalam selembar daun dan
meletakkannya dl tanah sebagai sesajian untuk roh-roh penjaga hutan itu.
Ketika sudah berumur sekitar delapan tahun, aku
diizinkan pergi berdagang seorang din, tanpa ibuku. Aku paling suka mendatangi
sebuah desa yang terletak di tengah-tengah hutan pohon aren yang berbatang
tinggi langsing. Setiap pagi kaum lelaki desa itu memanjati pohon-pohon itu
untuk menyadap niranya. Nira itu dimasak selama berjam-jam dalam bejana-bejana
besar, dijadikan gula nira yang kemudian dijual ke pasar, atau ditukarkan
dengan barang-barang daganganku. Mereka juga membuat tuak daripadanya. Tuak itu
dibuat langsung di pohonnya. Suatu pagi ketika aku masuk ke desa itu, kudengar
suara para lelakinya memanggil-manggil namaku. Mereka mencangkung di atas
pohon-pohon aren sambil melambai-lambai.
"He, Nak! He! Ngor Haing!" ltu memang
namaku. Ngor adalah nama keluargaku, dan Haing nama kecilku. Karena aku
sekarang hidup di Barat, namaku itu kubalik untuk menyesuaikan dengan kebiasaan
menaruh nama keluarga di belakang.
"Naiklah kemari! Kami punya sesuatu
untukmu!" Kupanjat tangga bambu yang tersandar pada sebatang pohon aren.
Para lelaki itu duduk di puncaknya, di semacam lantai yang menghubungkan
beberapa batang pohon aren yang berdekatan tumbuhnya. Mereka duduk di situ
dengan tampang teler. Mereka menenggak tuak yang masih sangat segar. Aku
mencicip sedikit. Rasanya sedap, lalu kuminum lebih banyak. Sementara itu waktu
berjalan terus. Berjam-jam kami duduk di atas pohon sambil bercanda dan
tertawa-tawa. Kemudian aku ingat bahwa aku harus turun ke tanah lagi. Tapi
gerak lengan dan kaki tidak bisa kukuasai lagi. Tanah kelihatannya begitu jauh
di bawah, seperti kalau dilihat dari pesawat terbang. Orang-orang desa terpaksa
menggendongku turun. Aku sudah tidak mampu lagi melakukan tukar-menukar barang
hari itu. Bisaku cuma berjalan oleng dan setiap kali jatuh terjerembap ke
tanah. Begitu sampai di rumah aku diomeli Ibu, dan Ayah memandangku dengan
galak dan marah. Katanya, aku takkan bisa jadi apa-apa jika terus saja bergaul
dengan orang-orang yang tidak benar.
Aku tidak sependapat dengan dia. Menurutku,
orang-orang dusun itu selalu baik padaku. Tapi waktu itu aku memang sangat
keras kepala; jika ayahku mengatakan aku salah temang sesuatu hal, aku langsung
saja merasa bahwa aku yang benar, tanpa menyimak dulu ucapannya. Begitulah
watakku; jika kepalaku secara tak sengaja membentur tembok, maka akan
kubenturkan kepalaku sekali lagi umuk melihat apakah aku bisa membuat tembok
itu kesakitan.
Dengan menggunakan lstilah kerennya, aku waktu
itu anak yang hiperaktif. Aku hanya mampu sebentar saja memusatkan perhatian
terhadap sesuatu, dan energiku terlalu meluap-luap. Aku gemar berolahraga. Aku
suka sekali berkelahi. Gengku, anak-anak dari bagian barat desa, Selalu saja
terlibat dalam perkelahian melawan Anak-anak dari geng sebelah timur desa. Jika
tepergok geng mereka pad a saat aku hanya sendiri, aku langsung saja menurunkan
keranjang, keranjang dari tongkat pikulanku. Dengan tenang kutunggu serbuan
musuh, siap umuk menghajar tulang kering mereka dengan tongkatku. Aku tidak
merasa takut. Kegemaranku berkelahi dan bermain itu menimbulkan kejengkelan
ayahku. Ia, yang bekerja keras setiap hari tanpa mengenal kata istirahat,
menginginkan aku tinggal di rumah dan membantunya di toko. Tapi semakin sering
ia memarahi, semakin sering pula aku keluyuran di luar.
Aku semakin tidak berani menatap mata Ayah.
Abangku yang paling tua, yang berotak lamban, bekerja sepanjang hari pada
ayahku sebagai buruh biasa. Patuhnya bukan main, seperti kerbau. Abangku yang
nomor dua, Pheng Huor yang pintar itu, sudah dijadikan kasir toko oleh Ayah.
Aku anak lelaki nomor tiga. Selain tiga saudara perempuan, aku masih punya dua
adik laki-Iaki. Aku ingin membantu keluarga, tapi aku tidak pernah disuruh
bekerja sepanjang hari. Bermain-main, itu lebih asyik.
Keadaannya menjadi gawat ketika aku berumur
sekitar sepuluh tahun. Pemerintah Thailand, di sebelah barat Kamboja,
menghadiahkan patung Budha yang besar kepada seorang biksu di Tonle Bati,
sebuah kota kecil dekat desaku. Biksu itu sudah sangat tua dan berkedudukan
tinggi, setingkat dengan uskup dalam agama Katolik. Patung itu menurut rencana
akan ditempatkan dalam sebuah bangunan batu buatan sekitar tahun 1200 Masehi,
semasa peradaban Kamboja kuno yang dikenal dengan nama Angkor. Tapi patung itu
harus diambil dulu di Thailand sebelum bisa dipasang. Biksu itu yang
mengambilnya ke sana, bersama ayahku.
Keduanya berangkat dengan kendaraan milik Ayah,
sebuah truk merek Ford yang sudah tua, yang dicat hitam dan coklat. Mereka
mengambil jalan ke arah utara lewat Jalan Nasional 2 ke Phnom Penh dulu, lalu
dari sana ke arah barat laut mengitari danau besar yang bernama Tonle Sap dan
menuju kota Aranyaprathet di perbatasan Thailand. Jalan-jalan yang dilewati
sangat payah kondisinya. Sebentar-sebentar truk mogok. Ayahku jengkel
karenanya, tapi ia berlagak tenang karena ada biksu itu, Patung yang dijemput
ternyata sangat besar dan bagus. Begitu mereka sudah masuk lagi di wilayah
Kamboja dengan patung itu di bak belakang, mereka harus mampir di setiap kota
kecil untuk memamerkanI nya. Penduduk kota-kota yang disinggahi memI, berikan
uang agar memperoleh pahala, untuk memperbesar kemungkinan kehidupan mereka
akan lebih baik jika nanti dilahirkan kembali. Uang sumbangan itu dipakai untuk
membetulkan truk dan membeli bensin. Ayah, yang tidak sabaran wataknya, tidak
bisa mempercepat tempo perjalanan itu.
Selama ia pergi, Ibu yang mengurus toko. Dan aku
bertambah sering berkelahi.
Pada pagi hari sebelum Ayah pulang, ada kartu
permainan buatan luar negeri, berjumlah dua belas bungkus, hilang dari lemari
penyimpanan yang terkunci. Letak lemari kecil itu di sebelah atas tempat tidur
orangtuaku. Padahal kalau kartu, kartu itu dijual, bisa memberikan keuntungan
yang lumayan bagi keluarga kami. Ibu mendatangi aku. Ia menanyakan, akukah yang
mengambilnya. Bukan, jawabku. Aku tidak bohong, Tapi ibuku curiga. Di antara
semua anaknya, cuma aku saja yang saban kali membikin keributan.
Ibu berbicara secara blak-blakan.
"Kalau kau yang mencuri dan menjualnya,
mengaku sajalah," katanya. "Jika aku tahu kau tidak bohong, takkan
kuceritakan urusan ini pada ayahmu, jadi kau tidak, dipukul olehnya."
Tidak ada sesuatu yang bisa kukatakan kepada Ibu.
Ayah memang sekali-sekali memukul kami, seperti kebiasaan semua ayah dalam
keluarga Cina. Tapi kami tidak sampai terlalu kesakitan kena pukulannya.
Hari itu kuperhatikan terus abangku yang nomor
dua, Pheng Huor. Ia mendongak ketika melihat aku memandang ke arahnya, dan dibalasnya
tatapan mataku dengan sikap yang biasa-biasa saja. Orang yang mencuri
kartu-kartu itu pasti salah seorang anggota keluarga kami sendiri. Tapi
andaikan memang abangku itu yang mencurinya, dan kemungkinan itu besar sekali,
aku tidak bisa membuktikannya.
Keesokan harinya Ayah pulang dengan truknya. Ia
capek dan kesal, karen a harus bersopan santun terus selama itu.
Ibu bercerita padanya ten tang kartu-kartu yang
hilang dicuri itu. Ayah langsung marah dan mendatangi aku, Mungkin ia mengira
bahwa begitulah keadaannya selama ia tidak ada, dan ia perlu menegaskan kembali
kewibawaannya.
Aku digiringnya ke belakang rumah, lalu diikatnya
tangan dan kakiku ke sepotong kayu yang besar. Setelah itu bahuku digebukinya
dengan sebilah papan. Sejam lamanya ia memukuli. Ketika sudah merasa capek ia
masuk ke rumah. Tapi beberapa saat kemudian muncul lagi sambil menggenggam
papan pemukul yang tadi. Ibuku berdiri di ambang pintu. Dari air mukanya nampak
bahwa ia merasa kasihan, tapi la tidak menyuruh Ayah berhenti memukul.
Aku tidak tahu kapan Ayah berhenti, karena
sebelumnya aku sudah jatuh. pingsan. Ketika kemudian siuman kembali, ternyata
tangan dan kakiku masih tetap terikat ke kayu, tapi posisiku sudah berguling ke
samping. Matahari sudah rendah letaknya, di atas hamparan sawah. Hari sudah
sore. Ibuku keluar dari rumah, bersama Chhay Thao, saudara perempuanku yang
paling kusayangi. Mereka melepaskan diriku dari ikatan, sambil bertanya apa
yang bisa mereka lakukan.
Aku tetap menggeletak di tanah, 'tanpa
berge," rak. Mereka berdiri sambil membungkuk di dekatku. Pelan-pelan
kekusutan pikiranku lenyap.
"Ibu tidak mau percaya padaku," ujarku
lambat-lambat. "Aku Ibu perlakukan seakan-akan aku ini musuh keluarga.
Jadi, tidak usah aku ditolong."
Ibu berlutut di sampingku.
"Kau masih masih tetap keras kepala rupanya,
ya?" katanya lembut.
Mereka berdua membantuku naik ke atas rumah dan
membimbingku masuk ke pembaringan. Aku tertidur. Tapi malam itu aku terbangun
dengan perasaan bingung bercampur marah. Apa sebenarnya yang kuperbuat,
sehingga dipukuli seperti itu? Aku suka olahraga. Aku suka pergi keluar rumah
dan bermain-main begitu ada kesempatan. Aku juga sering berkelahi dengan
anak-anak lain. Jika alas an itu membuat aku jadi jahat, jika karena itu mereka
lantas hendak memukuli aku, silakan. ltu hak mereka. Tapi aku tidak mencuri
apa-apa. Aku tidak perlu uang Tidak ada sesuatu pun yang begitu kuingini,
sehingga untuk memperolehnya aku sampai tega memalingi keluargaku sendiri. Jika
mereka tidak mempercayai aku, mana bisa aku hidup seatap dengan mereka?
Bagaimana mungkin aku bisa mengakui kewibawaan mereka.
Pagi-pagi sekali keesokan harinya aku minggat
dari rumah. Pasar terbuka di Samrong Y ong merupakan persinggahanku yang
pertama.
Pasar itu menempati salah satu sudut dari
satu-satunya persimpangan jalan yang ada di desa itu, di seberang tangsi
pasukan tentara pemerintah dukungan Perancis dengan menara penjagaan yang
tinggi dan terbuat dari batu.
Pasar itu pusat perdagangan di desa dan juga
tempat beredarnya pergunjingan. Kaum wanita bersesak-sesak melangkah sepanjang
gang-gangnya, sibuk menawar, memegang-megang sayuran dan buah-buahan yang
ditumpuk rapi, melongok ke dalam pasu-pasu berisi ikan hidup yang
berenang-renang di dalam air. Pedagang makanan menjajakan ayam panggang dan
jajanan yang terbuat dari beras dan dibungkus dengan daun pisang. Orang-orang
masuk ke warung-warung makan dan memesan hidangan sup yang diracik menurut
permintaan. Tapi aku tidak bisa membeli apa-apa. Tidak punya uang. Aku
berbicara dengan rang yang kukenal, sambil berjaga-jaga kalau ada keluargaku
yang muncul.
Siangnya, sebuah bus umum yang sudah reyot masuk
ke tempat lapang di sebelah pasar. Penge"",, mudinya masih termasuk
keluargaku juga. Nama- nya Kruy.
"Paman! Paman!" seruku memanggilnya.
"Eh, ini Ngor Haing, kan? Kenapa kau?"
kata Paman Kruy dari jendela busnya.
Kuhampiri pintu kendaraan itu.
"Aku dipukuli Ayah kemarin malam karen a
dituduh mencuri kartu permainan dari toko. Padahal bukan aku yang
mencurinya."
"Kalau begitu ikut saja dengan aku. Nariti
kuberi baju untuk menutupi bilur-bilur itu." Aku masuk ke dalam bus, dan
kendaraan itu langsung berangkat dengan suara mesin dieselnya yang berisik.
Paman Kruy tinggal bersama istrinya di selatan
desaku, di jantung Propinsi Takeo. Ia pemilik tunggal dan sekaligus sopir bus
umum yang sudah bobrok itu. Setiap hari ia menjalani trayek dari desanya ke
Phnom Penh dan kembali lagi lewat Jalan Nasional 2, dengan menyinggahi pasar di
setiap desa dan kota yang dilalui.
Begitu sampai di rumah Paman Kruy, aku diberinya
baju dan topi jerami. Mulai keesokan harinya aku sudah bekerja padanya, sebagai
tukang pungut ongkos. Di dalam bus berisik sekali, badannya yang terguncang
keras - karena pernya sudah payah-setiap kali kendaraan itu melewati lubang
besar di jalan, mengakibatkan semua baut dan mur menjadi longgar. Para
penumpang duduk bersesak-sesak di atas bangku bangku kayu yang keras. Ketika
bus rasanya tidak mungkin lagi bisa ditambah penumpangnya, Paman Kruy
memperlambat jalan kendaraan itu lalu menghentikannya di dekat seorang biksu
tua yang sudah keriput, yang berdiri di pinggir jalan dengan payungnya. Biksu
itu masuk ke dalam bus lalu menuju ke bangku sebelah belakang. Para penumpang
yang duduk di situ menggeser tubuh mereka sedikit untuk memberi tempat baginya.
Dan aneh sekali, ternyata kemudian ada cukup banyak tempat di situ. Semua tahu,
biksu perlu diperlakukan dengan takzim. Kaum wanita harus berjaga-jaga jangan
sampai menyentuh mereka, biarpun secara tidak sengaja, karena biksu harus tetap
suci. Dan tidak bisa dibayangkan menagih ongkos naik bus kepada biksu. Mereka
bisa naik kendaraan umum tanpa membayar. Bahkan aku saja pun mengetahuinya,
pada hari pertamaku itu.
Ketika Paman Kruy melihat bahwa aku tahu
bagaimana caranya menarik pembayaran dan menghitung uang yang masuk, aku lantas
disuruhnya duduk di tempat barang di atap bus dengan tugas menjaga
barang-barang yang diangkut di situ. Tempat barang itu penuh dengan bungkusan,
koper, sepeda, perabot rumah tangga, yang ditumpuk-tumpuk sampai lebih tinggi
dari kepalaku. Selain itu ada pula keranjang-keranjang berisi babi yang
menguik-nguik, keranjang-keranjang dengan ayam dan bebek yang bersuara ribut,
belum lagi yang berisi ular dan bermacam-macam hasil bumi yang harus diangkut
ke pasar di kota Phnom Penh. Pada setiap perhentian, kuulurkan barang-barang.
kepada para pemiliknya masing-masing yang menunggu di bawah dengan tengah
terjulur ke atas, lalu kuraihkan tangan ke bawah untuk menaikkan barang-barang
angkutan yang baru.
Aku juga berperan dalam pembayaran uang semir.
Setiap kali menghampiri pos pemeriksaan pemerintah, Paman Kruy memperlambat
jalan busnya. Kendaraan itu ditepikannya ke pinggir jalan lalu dihentikannya
sebentar, sementara aku bergegas menuruni tangga di bagian belakang bus,
membetulkan letak topiku lalu berjalan ke pos penjagaan.
Penjaga yang ada di dalam berlagak meneliti bus
untuk melihat apakah muatannya terlalu banyak, atau kalau-kalau ada gerilyawan
komunis di dalamnya, atau apa saja yang pada saat itu dianggapnya mungkin tidak
beres. Aku membuka topiku dengan sikap hormat dan meletakkannya di atas meja di
samping papan alas kertas catatan pemeriksaannya. Topi itu kugerakkan sehingga
uang kertas riel yang tadi sudah kuselipkan ke pita topi itu jatuh, lalu
kusorong uang itu ke bawah papan alas dengan tangan.
"Busmu lumayan kelihatannya hari ini,"
kata penjaga itu dengan suara bernada bosan. "Sudahlah- sana, kalian boleh
terus." Sementara itu bus sudah meraung-raung, karena dipijak pedal gasnya
oleh Paman Kruy. Palang kayu yang melintang di jalan terangkat karena talinya
ditarik, aku berlari-lari kembali ke bus dan meloncat naik ke tangga di
belakangnya sementara Paman Kruy melanjutkan perjalanan lagi.
Aku menyukai kehidupanku yang baru itu. Aku tidak
punya sepatu, tidak punya pakaian selain yang melekat di tubuhku, dan aku juga
tidak peduli. Selama aku bekerja di bus itu aku tidak perlu berpikir tentang
hajaran Ayah terhadap diriku. Tapi susahnya, bus itu singgah dua kali sehari di
pasar desa Samrong Yong.
Tapi aku tidak bisa mengelakkan nasib. Dan saat
yang menentukan itu akhirnya tiba juga. Aku berbaring telentang di temp at
barang di atas atap bus, memperhatikan debu jalan yang mengepul di belakang.
Bunyi mesin berubah dengan tiba-tiba ketika Paman Kruy memindahkan persneling
ke gigi yang lebih rendah. Sementara kecepatan bus berkurang, kupalingkan
kepala untuk memandang ke depan. Jalan di situ begitu sempit sehingga kalau ada
dua kendaraan hendak berpapasan maka masing-masing harus menepi sampai ke
pinggir sekali dan lewat dengan kecepatan seperti merangkak. Kulihat ada
kendaraan lain datang dari arah berlawanan.
Sebuah truk merek Ford yang dicat hitam dan
coklat. Paman Kruy menghentikan busnya sedemikian rupa sehingga jendelanya
tepat berhadap-hadapan dengan jendela truk yang hendak lewat. Ayahku
menjulurkan badannya mendekat lalu mengatakan sesuatu.
"Anakmu ada di atas, di tempat barang,"
kudengar Paman Kruy berkata.
"Ya, kudengar ia bekerja padamu. Bilang
padanya, ibunya menyuruh dia pulang," kata ayahku.
"Beres," kata Paman Kruy. "Itu
soal kecil. O ya, Bang, kaudengar tidak-Raja sekarang ada di Eropa, berembuk
lagi? Bagaimana menurutmu, bisakah ia menyuruh Perancis keluar sekali
ini?"
"Kudoakan semoga ia berhasil," kata
ayahku.
"Jika sudah benar-benar damai mungkin
keadaan menjadi baik dan pelangganku bisa bertambah banyak."
"Yah, kalau ada yang bisa mengusir keparat-
keparat asing itu, maka itu pasti Paduka Raja . . . " Kubenamkan diriku di
tengah-tengah timbunan barang-barang angkutan, di samping keranjang berisi
bebek. Aku tidak ingin bicara dengan ayahku. Ia tidak ingin bicara dengan aku.
Satu- satunya yang benar-benar penting baginya cuma bisnisnya, sama saja dengan
orang-orang dewasa yang lain. Semuariya serba tidak langsung, dengan mengatakan
bahwa ibuku menyuruh aku pulang. Paling-paling mereka memerlukan tenagaku di
rumah.
Keesokan paginya aku meloncat turun dari bus
sewaktu kami singgah di desaku. Aku melangkah menuju rumah orangtuaku, dengan
perasaan waswas. Untungnya, truk Ayah tidak ada di situ. Begitu melihat aku
datang, ibuku langsung menangis. Dipegangnya pergelangan tanganku kuat-kuat. Ia
tidak mau melepaskan, ketika aku purapura hendak mernbebaskan diri.
Dengannya tidak berarti bahwa masalah-masalahku
dengan keluargaku lantas sudah selesai. Sama sekali tidak. Tapi itu merupakan
akhir periode pembangkanganku, begitu pula kegiatan berdagang keliling ke
pedalaman, atau bekerja pada Paman Kruy. Sesuatu yang sangat menyenangkan
terjadi. Hanya dengan jalan berembuk, tanpa melepaskan satu tembakan pun, Raja
Sihanouk berhasil memerdekakan Kamboja dari penjajahan Perancis. Orang-orang
dengan spontan ramai merayakannya di jalan-jalan desaku. Kini kami, orang Kamboja,
bisa menemukan nasib kami sendiri, seperti yang sudah selalu kami dambakan.
Kini kami bisa hidup damai, dan mungkin bisa menjadi makmur.
Salah satu langkah pertama yang dilakukan
Sihanouk selaku pemimpin yang berdaulat adalah menambah jumlah sekolah negeri
yang tidak memungut bayaran. Aku masuk sekolah dasar, duduk bersama anak-anak
berumur dua belas sampai empat belas tahun yang baru mulai belajar membaca,
sama seperti aku. Dalam tahun pertama aku bersekolah, aku naik empat kelas.
Tahun berikutnya aku naik lagi dua kelas. Dari situ aku menyambung ke sekolah
menengah pertama di ibukota propinsi, di Takeo. Sebagian besar mata pelajaran
yang diberikan di situ berbahasa pengantar Perancis, karena Perancis di segi
kebudayaan masih tetap mendominasi kalangan terpelajar atau kaya yang merupakan
lapisan tipis dalam masyarakat Kamboja.
Prestasiku baik di sekolah. Dengan cepat aku
menanjak, memasuki kategon mund berbakat. Salah satu penyebabnya adalah seorang
guru bernama Chea Huon, seorang cendekiawan Cina bertubuh ceking, bungkuk, dan
berparas pucat. Chea Huon menganut prinsip kesamaan derajat dalam kehidupan
sosial. Tanpa pilih kasih, semua murid yang ingin mendapat bimbingan tambahan
diundangnya ke rumahnya pada saat-saat akhir pekan untuk memperoleh pelajaran
tambahan secara cuma-cuma. Ia sangat baik hati terhadapku. Waktu itu aku masih
tidak tahu apa-apa tentang politik, dan sedikit pun tak kuduga bahwa kami
berdua di kemudian hari akan berjumpa kembali dalam keadaan yang aneh dan luar
biasa konsekuensinya.
Dalam tahun terakhir di sekolah itu kami harus
menempuh ujian. Murid-murid yang lulus diperbolehkan memasuki tahap pendidikan
berikut: lycee, yang bisa disamakan dengan sekolah menengah atas. Aku
belajar dengan tekun. Aku berdoa kepada Budha, semoga aku bisa memperoleh
nilai-nilai yang tinggi. Ketika aku kemudian lulus dengan nilai-nilai yang tinggi,
hanya ada satu hal yang masih harus kulakukan selanjutnya
Aku mencukur kepalaku sampai botak. Alis kucukur
licin. Selama beberapa minggu seperti yang diharuskan tradisi, aku menjadi
biksu. Dalam upacara pelantikan yang dilangsungkan di sebuah wat, atau kuil,
yang terletak di luar Samrong Yong, orangtuaku menghaturkan sembah, yang dalam
bahasa kami disebut sompeah. Nyaris mati aku rasanya karena gugup.
Bayangkan, orangtuaku menghaturkan sompeah kepadaku! Padahal yang mereka
sembah itu Budha, kesucian yang bersemayam dalam sanubariku selama aku
mengenakan jubah biksu.
Setiap pagi aku berjalan dengan kaki telanjang
bersama sederetan biksu lainnya, dengan mata tertunduk menatap tanah dan
mengucapkan doa doa dalam hati. Para wanita ibu rumah-tangga menuangkan beras
ke dalam mangkuk yang kubawa dalam selendang. Sehari-hari kami sibuk melakukan
berbagai tugas di sekitar kuil serta berdoa. Kami, para biksu yang- baru, duduk
di lantai kuil dengan sikap menyembah dan kaki terlipat dengan takzim ke
samping, karena menampakkan kaki merupakan hal yang tidak sopan dalam
kebudayaan kami. Kami berdoa menghadap altar yang membentang sepanjang satu
dinding. Di kaki altar itu ada bunga-bunga dan area-area perahu dari kuningan
dengan lilin sembahyang dan batang-batang dupa di dalamnya. Di sebelah atas
terdapat patung-patung Budha yang diatur berjajar bertingkat-tingkat, nampak
kemilau lembut diterangi cahaya lilin. Patung Budha yang paling besar
ditempatkan pada posisi paling tinggi dan paling belakang. Patung dengan posisi
duduk itu memandang ke bawah dengan air muka misterius yang memancarkan
ketenteraman.
Budha bukan Tuhan, melainkan manusia yang
Bijaksana. la mewariskan serangkaian langkah yang harus kami taati agar kami
menjalani kehidupan yang benar dan berakhlak. la mengajarkan bahwa kehidupan
disusul dengan kematian, dan sesudah kematian datang kelahiran kem bali serta
kehidupan; begitu terus, dalam suatu siklus. Jika bimbingan Budha dipatuhi,
maka kehidupan yang mendatang selalu akan lebih baik dari yang sebelumnya.
Hanya dengan mematuhi ajarannya saja kita akhirnya akan bisa terbebas dari
siklus kehidupan, penderitaan, dan kelahiran kembali, yakni yang oleh kami,
orang Kamboja, discbut kama-dan di negeri-negeri lain dikenal dengan
istilah karma.
Seorang biksu tua yang sudah keriput dengan tekun
menjelaskan, untuk memastikan bahwa aku benar-benar memahami pokok-pokok yang
terpenting. "Hal yang suci dan keramat," ujar biksu itu dengan
senyumnya yang ramah, "adalah kehidupan itu sendiri, yang berlangsung
dalam keluargamu. lni harus betul-betul kaupahami. Diperlukan seorang ayah dan
seorang ibu untuk melahirkan seorang. anak di dunia ini. Mereka melindunginya
semasa ia kecil. Adalah kewajiban anak untuk menghormati orangtuanya serta
melindungi apabila mereka sudah tua. Kau juga harus menghormati semua anak
dalam keluargamu yang hadir ke dunia ini sebelum dirimu. Kau harus selalu
berbakti kepada mereka serta melindungi mereka. Patuhi orangtuamu, Nak. Jika
keluargamu berbahagia, maka kau akan menempuh kehidupan yang baik. Jika semua
keluarga berbahagia, maka desa akan bahagia. Jika semua desa berbahagia, maka
negeri akan menjadi kuat dan tenteram."
Aku meyakini kebenaran hal yang diajarkan biksu
tua itu padaku. Dan semua yang dikatakannya menjadi kenyataan, namun dalam wujud
kebalikannya. Keluargaku tidak berbahagia, desaku tidak berbahagia, begitu pula
halnya dengan negeriku. Dan kini aku berpaling memandang masa silam, melihat
kembali segala hal yang telah terjadi dan merenungkan pertaliannya; timbul
pertanyaan dalam hatiku, apakah sebagian dari kesalahan itu bisa ditimpakan
pada diriku.
Makasih banyak mas bro....saya sudah berusaha mencari buku ini kemana-mana, tapi ga dapat!
BalasHapusO iya mas brull sama-sama tq juga btw indah nya berbagi 😁
BalasHapus