Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Jumat, 21 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 4 : Perang Saudara


4
PERANG SAUDARA

SESUDAH ia digulingkan, Sihanouk sebenarnya bisa saja memilih untuk menetap di Perancis, tinggal seumur hidup di vilanya yang ada di sana. Bagi Kamboja itu lebih baik. Tapi bukan itu yang dipilihnya. Kampanye pendiskreditan dirinya serta kejadian-kejadian·seperti pembenaman patung-patungnya dalam kotoran kandang babi telah merusak citranya, menyebabkan ia kehilangan muka.

Muka merupakan topeng berwujud status dan martabat yang diperlihatkan orang Asia kepada pihak lain-Iainnya, yang semua juga mengenakan topeng masing-masing. Itulah yang menyebabkan Kamboja nampak merupakan masyarakat yang sangat sopan dalam keadaan normal: saya menghormati wajah Anda, Anda menghormati wajah saya, dan kita sama-sama menyembunyikan perasaan masing-masing yang sebenarnya. Dalam bahasa kami, menghina seseorang .secara terbuka dinyatakan dengan ungkapan "merusak muka". Sihanouk sangat menjaga harga diri. Ia tidak mau "dirusak mukanya".

Jadi, tidak lama setelah kudeta terjadi, dari pesawat radio terdengar seseorang berbicara dengan suara melengking, suara yang sangat kami kenal. Bapak Raja berpidato lewat Radio Peking. la mengatakan bahwa ia menjadi korban sekelompok orang yang "ultrareaksioner". Sesudah menerima kekuasaan dan kemurahan hati dari dia, demikian katanya, mereka menunjukkan terima kasih dengan cara menghina dan menginjak-injak harga dirinya, menggulingkannya dari tampuk kekuasaan dan mengutuknya sebagai penjual bangsa. Selama berpidato itu suaranya makin lama makin meninggi. "Tuduhan-tuduhan seperti itu, oleh kawanan pengecut ini, yang tidak mengenal kata terima kasih, ambisius, haus kekuasaan, dan juga serakah, yang tidak segan-segan menikamku dari belakang," pekik Sihanouk, "itu semuanya tidak penting! Kemarahanku sebagai pribadi bukan apa-apa jika dibandingkan dengan besarnya keprihatinanku mengenai nasib malang negara kita!

"Kawanan pengkhianat itu telah mencampakkan negara kita-yang memiliki nama baik seba gai pulau kedamaian -ke dalam kancah peperangan Amerika! Kebebasan dan kesetiakawanan bangsa musnah sama sekali. Jutaan bangsa kita akan bangkit untuk menumpas kelompok reaksioner Lon Nol dan Sirik Matak beserta Amerika majikan mereka!" jeritnya. "Dan setelah mencapai kemenangan terakhir, mereka akan membangun Kamboja yang baru dengan kekuasaan tergenggam dalam tangan rakyat!".

Sihanouk mengumumkan bahwa ia sedang membentuk pemerintah dalam pengasingan:

"Kuserukan kepada anak-anakku semua, baik militer maupun dari kalangari sipil, yang tidak sudi tetap .berada di bawah kekuasaan para pengkhianat, dan yang memiliki ketabahan dan tekad untuk membebaskan tanah air, agar bangkit dan melawan musuh kita. Jika anak-anak itu sudah memiliki senjata, akan kuberikan amunisi dan bahkan persenjataan baru untuk memperkuat mereka. Jika anak-anakku itu belum memiliki senjata dan ingin mendapat latihan, akan kuambil tindakan-tindakan membantu mereka agar bisa mengikuti pendidikan kemiliteran yang jauh di dalam rimba supaya tidak bisa diketahui musuh. Bagi anak-anak yang ada di Eropa dan ingin ikut berjuang, datanglah ke Moskow atau Peking untuk menjumpai aku. Hidup Kamboja!"

Oleh Sihanouk, penduduk Kamboja sejak dulu selalu disebut "anak-anakku". Karenanya aku sudah terbiasa mendengarnya. Tapi jargon seperti "reaksioner" dan "membebaskan" yang dipergunakannya saat berpidato itu terdengar asing di telingaku, Sihanouk sudah selalu bersikap condong ke kiri. Kini ia menggabungkan diri ke kiri, dan bukan hanya dengan kekuatan-kekuatan Moskow dan Peking saja; yang lebih mengherankan, ia bergabung dengari kelompok bekas musuhnya, yakni kaum komunis Kamboja. Sebelumnya, selama bertahun-tahun ia memburu-buru mereka tanpa kenaI ampun, menjebloskan ke dalam penjara, memerintahkan penyiksaan, mengusir mereka masuk ke dalam hutan. Ia tidak mengenal kata ampun dalam menghadapi mereka. Ia memberi julukan "Khmer Merah" kepada mereka, atau dalam bahasa Perancis, les Khmers Rouges.

Seperti kudeta yang terjadi sebelumnya, pengumuman Sihanouk itu merupakan tindakan berbalik secara mendadak yang tidak mungkin berakibat baik bagi Kamboja. Tindakannya menyeberang ke kubu komunis, meski hanya sebagai tokoh lambang saja, akan langsung memberikan kredibilitas kepada Khmer Merah. Jika ia mengatakan masuklah ke hutan dan gabungkan diri dengan komunis, banyak orang Kamboja yang akan patuh, terutama rakyat pedesaan yang memuja dirinya. Mereka akan melakukan apa saja mengikuti permintaannya. Ketika Sihanouk bergabung dengan musuh-musuh lamanya, itulah hari yang merupakan saat berubahnya nasib Kamboja. ltulah saat permulaan terseretnya negeri kami ke dalam kancah perang saudara yang lama dan menimbulkan korban yang luat biasa besamya.

Tapi pada awal tahun tujuh puluhan, kekuatan Khmer Merah paling-paling terdiri atas beberapa ribu orang saja. Mereka jauh dari Phnom Penh, dan jumlah mereka tidak cukup besar untuk bisa menjadi ancaman serius bagi rezim yang baru di bawah Lon Nol. Ancaman yang dihadapi datang dari pihak Vietnam Utara, yang prajurit-prajuritnya sangat tangguh.

Sampai saat kudeta, pasukan-pasukan Vietnam Utara yang. ada di Kamboja berkekuaran sekirar 40.000 orang; pasukan-pasukan itu kebanyakan berada di bagian timur, dekat perbatasan. Biasanya mereka menghindari pasukan-pasukan pemerinrah Kamboja, agar tidak menimbulkan keributan. Tapi segala-galanya berubah dengan terjadinya kudeta serta masuknya pasukan-pasukan Amerika selama beberapa waktu di sepanjang perbatasan. Karena terdesak mundur dari kantong- kantong mereka di sana oleh rentara Amerika, pasukan-pasukan Vietnam Utara itu lantas menyebar masuk ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah mereka pijak. Jika berjumpa dengan satuan-satuan tentara pemerintah Phnom Penh, mereka menyerang. Dan hampir selalu mereka yang menang. Dalam beberapa bulan·saja mereka sudah menguasai separuh wilayah Kamboja.

Sampai saat terjadinya kudeta, Lon Nol berkedudukan panglima tertinggi di bawah Sihanouk: Sam Kwil, temanku yang reporter surat kabar, bercerita padaku, "Satu-satunya alasan kenapa Lon Nol diangkat adalah karena Sihanouk tahu bahwa orang itu bodoh. Bagi Sihanouk, ia bukan saingan. Dan memang kenyataannya, Lon Nol bukan orang yang cakap. Diambilnya dengan begitu saja orang-orang sipil dari jalanan lalu diberi latihan selama dua puluh empat jam, dan ia pribadi membagi-bagikan jimat-jimat Budha untuk dipakai dan pasukan darurat itu langsung dikerahkan untuk memerangi pasukan-pasukan Vietnam Utara."

"Apa salahnya dibekali jimat-jimat Budha?" kataku. "Kau sendiri Budhis. Aku juga Budhis." "Kau bekerja di rumah sakit," katanya sarkastis.

"Kau pernah melihat bukti bahwa jimat Budha bisa menahan peluru AK-47?" Ia menatapku dengan galak. Aku menundukkan mata. Kuakui, di rumah sakit tidak henti-hentinya diangkut masuk dalam keadaan Iuka parah serdadu-serdadu dengan rajahan serta jimat-jimat religius. "Lon Nol itu gila," kata Kwil serius. "Aku tahu, karena pernah berkeliling mengikutinya. Karena dia banyak orang tak bersalah yang akan mati terbunuh, dan ia pasti akan mengandalkan persenjataan dan serangan udara dari pihak Amerika untuk mempertahankan rezimnya. Percayalah, Sobat-Lon Nol itu goblok, Goblok, kataku! Goblok! Goblok! Ia menyebabkan terjadinya perang, tapi ia takkan mampu mempertahartkan negara!" .

Kadang-kadang Sam KwiI suka dihanyutkan emosi-dibandingkan dengan dia, aku bisa dibilang setenang dan sebijak seorang biksu-tapi pengamatannya hampir selalu tepat. Selama tahun- tahun pertama peperangan, kami di Phnom Penh hampir setiap hari melihat pesawat terbang Amerika melintas, datang dari pangkalan-pangkalan di Vietnam Selatan dan Thailand. Pesawat-pesawat transpor mendarat di peIabuhan udara mengangkut perbekalan dan penasihat-penasihat militer. Pesawat-pesawat .tempur taktis dan pembom menderu-deru menuju kaki langit. Jika tidak diketahui kegunaannya, pesawat-pesawat tempur itu nampak indah, seperti anak panah kecil berwarna perak yang meluncur dengan sangat cepat dan menimbulkan bunyi nyaring yang ridak sebanding dengan ukuran tubuh pesawat pesawat itu. 'Di apartemen tempat kediaman Huoy, pada malam hari cangkir-cangkir di aras rak kadang-kadang bergetar semenrara dari kejauhan datang bunyi seperti deru samudera, tapi jauh lebih berat dan nyaris tak tertangkap telinga: bom-bom yang berledakan jauh di luar kota, dijatuhkan dari pesawat-pesawat B-S2. Masih ada lagi pesawat-pesawat lainnya. Amerika memberikan pesawat-pesawat propeler tempur pembom jenis T-28 dan sejumlah pesawat transpor kepada Kamboja. Pada bulan Januari 1971 Vietnam Utara menghancurkan tiga perempat dari seluruh pesawat angkatan udara Kamboja di lapangan terbang, tapi Amerika mengirimkan lagi pesawat-pesawat sebagai ganti.

Meski Vietnam Utara sekali-sekali melancarkan serangan roket dan mortir terhadap bagian-bagian pinggiran kota Phnom Penh, namun perang baru benar-benar menjadi kenyataan langsung bagiku pada saat Pchum Ben, hari raya Budha untuk menyembahyangkan arwah para leluhur, tahun 1972. Waktu itu aku sedang duduk di lantai sebuah kuil bersama Huoy, bersembahyang bersama- sama dengan ratusan orang lain di sekeliling kami. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. Seisi kuil langsung panik dan bertemperasan,ke luar. Sesampai di jalanan ada orang mengatakan bahwa yang diledakkan ito Jembatan Chhruoy Changwa, sebuah jembatan berukuran raksasa dan sangat modern konstruksinya yang dibangun dengan bantuan Jepang. Jembatan itu oleh rakyat diberi julukan Jembatan Jepang. Ketika kami kemudian tiba di dekat sungai, kami melihat bahwa bentangan sebelah tengah jembatan itu runtuh. Yang tersisa hanya tiang-tiangnya yang besar, dan permukaan sungai yang lebar di antaranya. Lalu terdengar rentetan tembakan senapan otomatik. Datangnya dari arah berlawanan, dari tengah kota, di mana para gerilyawan scdang melakukan sergapan terhadap sebuah pos tentara pemerintah. Serdadu-serdadu pemerintah melancarkan serangan balasan, dan berjam-jam lamanya tembak-menembak itu berlangsung.

Keesokan harinya, serdadu-serdadu Lon Nol menjejer-jejerkan mayat orang-orang Vietnam Utara yang tewas dan berpose dengannya seperti dengan hewan hasil perburuan. Serdadu-serdadu itu tertawa lebar dengan sikap bangga, seolah-olah telah berhasil mempertahankan Phnom Penh dari sierangan musuh. Dan ketika kulihat kebanggaan mereka yang palsu, akhirnya kupahami apa sebenarnya hakikat peperangan. Manusia berperang demi kegemilangan nama atau cita-cita, tapi hasilnya tidak gemilang atau sesuai dengan yang dicita-citakan. Hasil utamanya, di samping penderitaan, adalah kemunduran peradaban sampai jauh ke belakang. Lihat saja Jembatan Jepang, sebagai contoh nyata: ketika jembatan itu sudah diba ngun, hubungan lalu-lintas antara Phnom Penh dan daerah-daerah Kamboja di utara dan tengah menjadi lebih lancar daripada sebelumnya. Orang-orang seperti aku, dengan kendaraan bisa mendatangi reruntuhan Angkor dalam waktu beberapa jam saja, tidak lagi sekian hari seperti sebelumnya. Kegiatan perdagangan berkembang, dan para pedagang menjadi makmur karenanya. Begitu pula para petani, yang mulai mengusahakan tanaman-tanaman baru untuk dijual di pasar-pasar kota Phnom Penh. Kaum kerabat lebih sering kunjung-mengunjungi. Semua memperoleh manfaat daripadanya. Jembatan itu menyebabkan seluruh negeri menjadi Iebih saling berdekatan. Dan kini jembatan terbesar di Kamboja itu dimusnahkan. Kami harus menyeberangi sungai dengan Iambat, naik perahu itu pun kalau kami pernah menyeberang lagi. ltulah yang diakibatkan oIeh peperangan: masyarakat harus kembali menjalani corak kehidupan yang jauh lebih primitif.

Pada tahun-tahun awal peperangan aku ikut aktif dalam sebuah kelompok mahasiswa yang melakukan kegiatan mengumpulkan sumbangan dari perusabaan-perusahaan swasta untuk membantu para korban peperangan. Selaku wakil kelompok itu, aku terbang ke Kampot, tempat kelahiran Huoy, dan ke propinsi lain-Iainnya. Perjalananku umumnya terpaksa dilakukan dengan pesawat terbang karena bubungan darat diputuskan oleh komunis. Pesawat-pesawat yang kutumpangi terbang melintasi kawasan rimba luas yang kelihatannya tidak ada apa-apanya, serta hamparan sawah yang tak terawat lagi. Begitu sampai di tempat tujuan aku langsung sibuk membagi-bagikan selimut, krama, sarung, lilin, makanan kaleng, dan bahan-bahan keperluan hidup yang lain-lainnya kepada serdadu-serdadu dan sanak-keluarga mereka, dan juga pada para pengungsl.

Kaum pengungsi ini sebagian hidup dalam perkampungan darurat yang dikelola Palang Merah, CARE, dan World Vision. Tapi sebagian besar dari mereka mendatangi tempat-tempat berlindung yang tradisional di Kamboja, yaitu kuil-kuil. Mereka tinggal bersebelahan dengan tembok pekarangan kuil, dalam tenda-tenda, gerobak-gerobak sapi yang dilengkapi dengim atap, atau hanya beralaskan tikar dan tanpa naungan. Wanita-wanita dan anak-anak berkulit coklat tua: jauh dari kampung halaman dan tau kemungkinan bertani, meski ada juga di antara mereka yang menanam sayur-sayuran. Para suami dan anak-anak lelaki mereka pergi berperang untuk pihak yang satu atan yang lainnya, untuk Lon Nol atau kaum komunis; mereka sendiri sebetulnya tidak peduli untuk pihak yang mana mereka menyabung· nyawa.

Para wanita pengungsi itu langsung membisu apabila ada pejabat pemerintah muncul di tengah mereka; tapi begitu pejabat itu sudah pergi, mulailah mereka. berkeluh-kesah tentang kekorupan pemerintah dan tentang Lon Nol yang tidak bisa apa-apa, dan kenapa ia membiarkan perang berlarut-Iarut. Mereka semua menginginkan kembalinya Sihanouk, karena mereka ingat pada masa damai di bawah kekuasaannya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang politik, tentang kekuatan- kekuatan asing yang ada di balik peperangan, Amerika yang mendukung Lon Nol dan Cina yang mendukung Vietnam Utara serta Khmer Merah. Satu-satunya yang mereka ketahui hanyalah bahwa mereka menginginkan perang berakhir, agar mereka bisa pulang dan hidup dengan damai.

Selain membawa sumbangan bagi kaum pengungsi dan para istri prajurit yang terus mengikuti suami-suami mereka dari tempat yang satu ke tempat berikutnya tanpa perbekalan yang mencukupi, aku juga bekerja di rumah-rumah-sakit dan klinik-klinik yang dekat. Di tempat-tempat itu selalu saja ada pembalut yang perlu diganti dan luka-Iuka akibat pertempuran yang harus dibersihkan dan dijahit. Para dokter yang berdinas tidak pernah cukup jumlahnya untuk memberikan perawatan yang memadai pad a para prajurit. Tapi para wanita pengungsi dan istri-istri prajurit juga memerlukan pertolongan medis, dan yang bisa diberikan bahkan lebih sedikit lagi ketimbang yang diperoleh para prajurit.

Di daerah pedesaan Kamboja, perawatan kesehatan secara tradisional diberikan oleh'para dukun sihir yang menafsirkan mimpi, mengucapkan jampi-jampi dan menggunakan kekuatan gaib, serta oleh para dukun jamu yang meracik obat mereka sendiri dari tetumbuhan. Para dukun sihir kadang-kadang bisa menolong pasien-pasien mereka, karena pasien-pasien itu meyakini kemanjuran perawatan yang diberikan; dan ada beberapa jenis jamu yang mujarab. (Jamu penyembuh penyakit sifilis misalnya, semacam ramuan minuman yang keras dan berbau tidak enak yang terbuat dari rebusan buku-buku bambu, lada hitam, dan sekitar selusin ramuan lain-lainnya, ternyata lumayan keefektifannya, meski sulit diketahui apa penyebab kemanjurannya itu.) Tapi pengobatan tradisional tidak memiliki konsep mengenai masalah infeksi dan tidak mengenal metode pembedahan yang benar-benar mantap. Pengobatan secara tradisional tidak berdaya menghadapi sekian banyak penyakit yang dengan teknik-teknik Barat bisa ditanggulangi dengan mudah.

Di Kamboja, bidang kesehatan kaum wanita sangat terbelakang sebagai akibat begitu banyaknya pantangan sehubungan dengan organ-organ reproduktif tubuh. Para wanita pengungsi dan istri-istri para prajurit mandi dengan berselubung sarung, di· sungai terdekat atau dengan begitu saja mengguyurkan air berember-ember membasahi kepala. Mereka mandi di tempat terbuka, di depan mata semua orang yang ada di sekitar situ. Jadi mereka membersihkan bagian-bagian kulit yang nampak, tapi karena malu dan juga tidak mengetahui keperluannya, bagian-bagian selebihnya tidak mereka apa-apakan. Sebagai akibatnya banyak di antara mereka yang terserang infeksi vaginal. Apabila hamil-di antara mereka ada yang tidak begitu mengetahui apa yang menyebabkan mereka menjadi hamil-maka yang membantu pada saat melahirkan adalah para dukun beranak setempat. Tidak terjaganya kebersihan, para dukun beranak yang tidak memiliki keterampilan, takhyul, kekurangan gizi, dan juga langkanya obat-obatan: kesemuanya'ini mengakibatkan angka kematian bayi di Kamboja sangat tinggi, lebih dari 50 persen.

Di rumah-rumah sakit banyak kujumpai kasus leukorea, atau keputihan, yang nampaknya bertalian dengan tingginya rasio penderita kanker leher rahim. Banyak pula kasus penanganan dukun beranak di desa yang berakibat buruk-pembedahan perut dengan cara-cara primitif untuk menolong kelahiran bayi yang lukanya kemudian tidak sembuh-sembuh dan malah mengalami infeksi karena ramuan obat tradisional yang diletakkan pada luka, kasus-kasus shock yang aku temui sebagai akibat kotoran plasenta yang tertinggal di dalam tubuh setelah wanita itu melahirkan, dan macam-macam lagi. Terguncang sekali hatiku melihat penderitaan para wanita itu, karena kebanyakan kasus mereka sebenarnya tidak perlu sampai terjadi. Dan puas rasanya hati membanntu melahirkan bayi dan melihat bahwa ibu dan bayi berada dalam keadaan sehat.

Kembali di sekolah kedokteran di Phnom Penh, aku mulai menjalani pendidikan spesialis di bidang obstetri dan ginekologi, jadi di bidang ilmu kebidanan dan penyakit-penyakit kaum wanita. Di samping adanya kebutuhan akan dokter-dokter jenis ini, aku juga memiliki alasan pribadi yang mendasari pilihanku itu, dan ini kembali ke masa kanak-kanakku, ketika aku dihajar ayahku. Ibuku selalu lebih baik hati ketimbang ayahku. Chhay Thao, saudara perempuanku, lebih baik terhadap diriku ketimbang sauara-saudara lelakiku. Di Samrong Yong dan Phnom Penh serta di tempat-tempat lain banyak kawan baikku yang lelaki, tapi tak seorang pun dari mereka yang begitu berarti bagiku seperti Huoy dan ibunya. Aku ini pria yang dekat dengan wanita. Batu yang menyukai kertas.

Pemerintah mewajibkan dokter-dokter tanpa pengecualian melakukan dinas untuknya; tapi kami diizinkan melakukan pekerjaan sambilan, bahkan sebelum kami meraih gelar. Aku melakukan pekerjaan sambilan di rumah sakit tentara pemerintah; posisi ini secara teknis menjadikan diriku perwira tentara dan memberi kewenangan padaku untuk mempunyai sopir tentara. Selain itu aku juga melakukan pekerjaan sambiIan lain, di sebuah klinik swasta yang terutama menangani kasus-kasus kebidanan dan penyakit-penyakit khusus kaum wanita.

Aku benar-benar sibuk waktu itu. Pagi hari dari pukul tujuh sampai sembilan aku bekerja di klinik swasta itu, yang lokasinya dekat pasar Tuol Toumpoung, di wilayah selatan Phnom Penh. Dari pukul sembilan sampai tepat tengah hari aku berkeliling memeriksa pasien-pasien di rumah sakit tempat belajar praktek yang bertalian dengan sekolah kedokteran. Siangnya aku mengikuti kuliah-kuliah di sekolah kedokteran, sampai sore. Dari pukul enam sampai pukul tujuh petang aku bekerja lagi di klinik. Setelah itu kalau sempat aku mendatangi Huoy, tapi aku juga masih harus melakukan dinas panggilan di rumah sakit tentara. Kadang-kadang aku bekerja sepanjang malam di situ, menangani serdadu-serdadu yang luka; setelah itu kembali lagi ke klinik swasta, dan dengannya mulai lagi kesibukan sehari penuh bagiku.

Sementara itu perang terus berlanjut.

Pada suatu hari Sabtu aku ditelepon seorang jenderal angkatan darat. Aku diperintahkannya berangkat ke salah satu medan pertempuran di luar kota Phnom Penh!, untuk menjemput serdadu- serdadu yang luka. Lokasi pertempuran yang harus kudatangi itu di "Jembatan 13"; letaknya tiga belas kilometer di jalan ke arah timur, di seberang Sungai TonIe Sap. Karena Jembatan Jepang sudah musnah diledakkan, ambulans harus menyeberang sungai dengan feri, dan itu tidak bisa cepat. Di jalan di seberang sungai, kami berpapasan dengan seseorang yang naik·sepeda motor dari arah berlawanan. Orang itu memakai baju pasukan payung berwarna hijau dan menenteng tas kamera. Itu Sam Kwil, kawanku yang wartawan, yang sedang daIam perjalanan kembali dari tugas peliputan untuk surat kabarnya.

Kemudian kami sampai di Jembatan 13, sebuah konstruksi kecil dari kayu yang membentang di atas parit tanpa air. Kami membelok masuk ke sebuah lintasan gerobak sapi yang tidak rata, menuju ke sebuah ladang jagung. Serdadu-serdadu yang luka bergeletakan di tanah, mengerangerang dengan tubuh bersimbah darah. Aku dengan dibantu para anggota korps medis meletakkan para serdadu yang luka-Iuka itu di atas tandu lalu mengusung mereka ke ambulans. Saat itu pihak Vietnam Utara menembak lagi.

Brup! Brup-brup-brup! Brupruprupruprup! Mereka bersembunyi di tengah ladang, di depan kami. Brupruprup! Kemudian terdengar bunyi tembakan senapan otomatik. Datangnya dari arah belakang kami, dari sekerumunan pohon. Brupruprup brup brup! Sekali ini dari parit kering, dekat jembatan. Mereka mengepung dari tiga arah. Komandan pasukan Kamboja merebahkan diri di tanah, dekat ambulans. Pihak musuh berhasil menyusup ke belakangnya lewat samping, dan kini ia terjebak di tengah-tengah hujan peluru yang datang dari tiga arah.

"He, Cukimai! Usahakan agar kami bisa keluar dari sini!" teriakku. "Di sini ada yang luka-luka dan memerlukan perawatan. Panggil bantuan udara! Cepat, suruh pesawat-pesawat kemari!".

Komandan itu membalikkan tubuh sambil tetap rebah, dan menatapku dengan mata terbelalak ketakutan. la melihat aku memakai seragam dengan tanda pangkat letnan, setingkat dengan dia. Ia menurut. Didekatkannya alat komunikasi radio ke mulutya lalu mulai memanggil-manggil. Ia dikelilingi anggota-anggota pasukannya, orang-orang dari suku pegunungan sebelah timur laut Kamboja. Mereka menunggu perintah.

Aku beringsut-ingsut menghampiri letnan itu. Umurnya sebaya dengan aku, berkulit kuning langsat. Anak kota, kemungkinannya dari golongan atas kota Phnom Penh. Ia masih belum sadar dari kekagetannya. Tangannya menggenggam alat komunikasi radio. Aku juga baru sekali itu mengalami serangan penembakan, tapi. pengalaman berkelahi secara keroyokan semasa kanak-kanak menyebabkan aku tidak kaget lagi. Aku menuding ke arah pinggir ladang jagung itu, yang letaknya paling dekat jembatan. “Suruh orang-orangmu menyerang ke sana, untuk membuka jalan. Itu satu-satunya kemungkinan bagi kita untuk mengeluarkan ambulans dari sini. Sekarang lakukan itu! Jangan tunggu-tunggu lagi! Lakukan sekarang juga!"

Sementara aku masuk ke bagian belakang ambulans, serdadu-serdadu dari suku pegunungan yang mengenakan pakaian campur-aduk, pakaian tentara dan celana kombor, sudah beranjak dari posisi rebah. Sambil memuntahkan peluru dari senapan-senapan serbu mereka, para serdadu tanpa alas kaki itu berlari maju menyongsong hujan tembakan musuh. Kendaraan ambulans diputar sopirnya sampai menghadap ke jalan besar, lalu mulai bergerak terantuk-antuk. Sementara pihak Vietnam Utara bergerak mundur, kami terlambung-lambung melewati lintasan gerobak sapi. Tiba-tiba terdengar bunyi ledakan. Bagian belakang ambulans terlambung dan terbanting lagi dengan keras. Tapi kendaraan itu terus berjalan. Aku merasakan kenyerian pada perutku, di sebelah kiri. Lubang pada kemejaku cuma kecil saja, tidak sampai satu senti; tapi bagian kemeja di sekelilingnya nampak merah kena darah yang semakin melebar. Aku berteriak kepada sopir, menyuruhnya bergegas. Apa pun yang mengenai kami tadi, kemungkinannya granat yang diluncurkan dengan roket, telah mengakibatkan dinding samping ambulans berlubang yang lebarnya sekitar setengah meter, dekat lantai. Lewat lubang itu aku bisa melihat tanah permukaan jalan. Kemudian nampak kerikil pelapis jalan besar, dan perjalanan kami menjadi lebih mulus. Anggota-anggota korps medis menyibakkan kemejaku dan membalut perutku dengan perban, sementara aku berteriak-teriak menyuruh sopir lebih cepat lagi menjalankan kendaraannya.

Kemudian terdengar bunyi menderu datang ke arah kami; kenyaringannya meningkat dengan cepat. Para anggota korps medis masih sibuk memeriksa tubuhku; mencari-cari luka kena pecahan peluru. Aku membungkuk, memandang ke luar lewat kaca depan ambulans. Kulihat pesawat- pesawat tempur pembom T -28 datang ke arah kami dengan cepat, terbang rendah sekali di atas pucuk-pucuk pepohonan. Pesawat-pesawat itu melintas di atas kami, menuju ke Jembatan 13.

Ketika akhirnya sampai di tepi Sungai TonIe Sap yang lebar, kami harus menunggu dekat Jembatan Jepang yang sudah runtuh. Aku marah-marah. Mobil dan truk yang menunggu membentuk deretan panjang, sementara feri cuma ada satu. Aku memaki-maki Vietnam Utara karena merekalah yang meledakkan jembatan; kumaki-maki tentara Lon Nol karena tidak mengamankannya. Namun sumpah-serapah paling banyak kualamatkan kepada komandan pasukan di Jembatan 13 yang konyol itu. Sama sekali tidak memiliki jiwa kepemimpinan. Aku kenaI jenis orang seperti itu. Kemungkinannya ia merasa dirinya lebih tinggi dari pasukannya yang terdiri dari orang-orang suku pegunungan yang berkulit gelap. Padahal betapa tabah dan hebatnya mereka, menyerbu langsung ke arah tembakan musuh untuk membuka jalan lari! Mereka menyelamatkan nyawa kami. Mereka seharusnya mendapat komandan yang lebih bermutu.

Akhirnya tiba giliran kami naik ke feri. Sorenya kami tiba kembali di Phnom Penh.

Di rumah sakit tentara, aku ditolong oleh rekan-rekanku. Cederaku tidak parah, hanya lubang tembus berukuran keciI pada bagian perut dan Iuka-Iuka enteng sekeliling pinggang dan lengan kiri. Cuma empat jahitan saja. Bukan apa- apa jika dibandingkan dengan luka-luka yang dialami serdadu-serdadu yang setiap hari diangkut masuk ke rumah sakit. Meski begitu, Huoy langsung menangis ketika melihat keadaanku, dan mau tidak mau aku merasakan kebanggaan prajurit berpengalaman tempur yang dengan tabah menyepelekan luka-lukanya. Aku diantar sopirku, Sok, ke apartemen tempat tinggal Buoy. Dan Huoy langsung ribut melihat keadaanku.

Sementara itu Huoy sudah menjadi milikku. Meski sama-sama sibuk, kami masih sempat saling berjumpa tiga kali sehari. Pagi-pagi sekali aku berangkat dari tempat kediamanku sebagai bujangan ke apartemennya untuk sarapan bersama, biasanya di sebuah restoran kecil di lantai dasar gedung tempat tinggalnya. Selesai sarapan ia kuantar ke sekolah dengan skuterku, sebuah Vespa 150 cc berwarna putih. Jika aku sendiri tidak sempat, kusuruh sopirku Sok mengantarkan dengan mobil. Sopirku itu ramah dan selalu !tormat, seseorang yang menyukai peranannya sebagai bawahan.

Perjumpaan kami yang berikut adalah pada saat makan siang. Pada waktu tengah hari, apabila hawa panas menyebabkan seluruh Phnom Penh terkantuk-kantuk, semua yang bisa pada pulang ke rumah masing-masing. Kami, aku dan Buoy, berjumpa di apartemennya. Di situ kami menukar pakaian bergaya Barat kami dengan sarung dari kain katun yang nyaman. Kami bersantai-santai sambil bercengkerama, lalu mandi dan makan siang sebelum kembali lagi ke tempat kerja sekitar pukul dua siang. Akhirnya, sehabis bekerja, kecuali jika ada panggilan dari rumah sakit, aku datang lagi ke tempat tinggal Huoy, umuk ketiga kalinya dalam sehari. Sehabis makan malam aku masih terus di situ sampai tiba waktunya pulang ke apartemenku. Kami harus mengikuti pola adat kebiasaan masyarakat Kamboja, seperti pada malam hari tidak tidur serumah; tapi kami selalu bersama-sama sesering mungkin.

Tapi aku sendiri, tidak sepenuhnya sudah menjadi milik Huoy. Waktu itu belum! Aku tidak begitu mudah dijinakkan. Dalam watakku ada sedikit unsur bajingan, dan spesialisasiku yang baru di bidang kedokteran, yakni obstetri dan ginekologi, memberikan peluang besar bagiku. Begini sajalah: di antara para wanita pasienku yang mendatangi aku dalam fungsi profesionalku, ada yang kemudian mulai merasakan sesuatu yang bersifat pribadi dalam hubungan mereka dengan aku. Aku sering mendapat tawaran, dan tidak selalu aku menolak.

Pada suatu pagi, aku sedang berada di kantorku yang sempit di rumah sakit. Bersamaku ada seorang wanita, pasienku. Kami tidak berbuat apa-apa saat itu. Belum. Kami cuma bercakap-cakap saja. Tiba-tiba pintu kantorku diketuk dari luar. Kubuka pintu, dan kulihat Huoy berdiri di depannya. Entah sudah berapa lama ia ada di situ, mendengarkan percakapan kami. Huoy tersenyum manis. Katanya, hari itu ia tidak ada kuliah. Karenanya ia mampir sebentar. Kuperkenalkan dia kepada wanita pasienku yang ada di dalam. Antara mereka berdua berkembang percakapan yang manis kedengarannya, khas wanita. Setelah beberapa waktu, menurut perasaanku saat itu sesudah berjam-jam, pasienku minta diri lalu pergi.

"Kapan kau pulang?" tanya Huoy padaku, masih dengan manis.

"Saat tengah hari, seperti biasa."

Dan aku kembali ke apartemen Huoy, sambil sibuk menghafalkan dalih jika nanti didesak. Tapi setibaku di situ, Huoy tidak menunjukkan tingkah- Iaku seakan-akan sudah terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan. Ia malah lebih sayang dari biasanya. Ketika kami hendak menukar pakaian luar kami, ia mengambilkan selembar sarung sutera untukku. Aku diperlakukannya sebagai tamu yang dihormati. Setelah itu kami bersantai-santai, menikmati waktu istirahat. Kami mandi, lalu makan siang. Hanya kami berdua saja yang ada di situ. Ibunya seperti biasanya, tidak ada di rumah. la benar-benar wanita yang berperasaan halus.

Malamnya, setelah kuliah dan bekerja di klinik; Aku kembali lagi ke tempat kediaman Huoy. Sikapnya semakin ramah. Pada saat makan malam ia tidak duduk berseberangan dengan aku, seperti hiasanya. la meletakkan kursinya di sampingku. Malam itu ia masak ikan segar dengan bumbu ketumbar serta rempah-rempah lain dan dihiasi dengan jeruk sitrun. lbunya sudah sibuk lagi di dapur. Ketika sudah kenyang, aku duduk menyandar dengan perasaan puas.

Saat itu tahu-tahu Huoy mencubit pahaku. la mencubit dan memilin keras-keras. Wajahnya masam karena marah.

"Apa yang kaubicarakan dengan wanita pasienmu itu tadi pagi?" tukasnya.

Mau tidak mau, aku tertawa. Ternyata Huoy jauh lebih cerdik dari yang kusangka. "Emak!" seruku memanggil ibu Huoy, yang sementara itu sudah sangat akrab dengan aku. "Tolong aku, Mak!"

Huoy mendesis, "Diam! Ayo diam!" la memperkeras cubitannya.

"Bagaimana aku bisa diam?" kataku. "Coba lihat apa yang kaulakukan dengan pahaku." Dalam keadaan kesakitan, aku tertawa.

Emak muncul dari dapur dan menanyakan apa yang terjadi. Kata Huoy, "Sana, pergi sajalah, Mak. lni bukan urusan Emak. "

"Tidak, Mak, Emak harus menolongku," kataku. "Huoy menyakiti aku."

"Jangan suka macam-macam, Huoy," kata Emak dengan nada mengomel, lalu kembali ke dapur.

Huoy mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berbisik dengan sengit, "Ceritakan tentang wanita pasienmu yang tadi pagi itu. Bilang terus-terang! Siapa dia? Apa hubungan antara kalian berdua?”

"Jangan suka cemburu."

"Oh? Dengan ‘perawatan’ macam begitu di kantormu? Kalian berdua saja dalam kamar sempit, tanpa ada perawat di sekitar situ? Dengan cara bagaimana kau hendak 'merawatnya'?"

"Dia cuma pasien yang biasa saja. Tidak lebih dari itu."

"Kau masib mujur sekali ini. Aku bersikap baik kepadamu. Aku sebenarnya sudah hendak menghajarnya; tapi tidak jadi kulakukan, supaya kau tidak malu."

"Jangan, jangan, Huoy, jangan kaupukul pasien- pasienku. Jangan kaulakukan, karena nanti praktekku berantakan."

"Aku tadi sebenarnya sudah hendak bertanya pada perempuan itu, 'Kenapa kau kemari? Kenapa kau hendak merampas lelakiku? Satu perempuan untuk satu lelaki. Bukan dua untuk satu. Untung saja bagimu aku tidak jadi bertengkar dengan dia. Kau mujur, aku tidak membunuhnya!"

"Ya, Houy, aku memang mujur. Sekarang lepaskan pahaku."

"Tidak!" teriaknya. "Katakan yang sebenarnya! Sekarang!"

"Huoy, dia itu pasien biasa. Kaulah satu-satunya yang kusayangi."

"Jangan elakkan pertanyaanku! "

"Emak!" teriakku.

Emak berseru dari dapur dengan nada memperingatkan, "Huoy!"

Huoy hendak membekap mulutku dengan tangannya yang satu lagi. Tapi karena aku cepat-cepat berpaling, tengkukkulah yang dicengkeramnya. Aku berteriak, pura-pura ketakutan, "He, kau mencekikku! Aku tidak bisa bernapas!"

"Akan kupanggil Sok kemari," desis Huoy dengan marah. " Ia tahu tentang pacar-pacarmu. Mungkin aku bukan satu-satunya yang diantarnya ke mana-mana atas suruhanmu. Kenapa aku harus menunggu sampai m:elihat dengan mata sendiri semua pacarmu? Sok, coba kemari!"

Emak muncul lagi dan pergi ke pintu depan.

"Sok sudah pergi, Huoy," katanya tegas, lalu pergi sebentar ke gang. Kudengar suaranya menyuruh Sok pergi.

Aku meninggalkan meja makan, pergi ke dipan. Huoy mengejar, mengambil bantal lalu memukuli diriku dengannya.

"Kuhajar kamu," katanya. "Kau, dan juga Sok. Ia tahu segala rahasiamu. Kau bersekongkol dengan dia."

"Tolong, Mak!" Kulindungi kepalaku dengan kedua belah tangan. Aku tertawa-tawa, sementara Huoy terus menghujani dengan pukulan bantal'

"Pilihanmu cuma aku atau sama sekali tidak! Cuma aku dan aku saja, atau kukerjai dirimu sehingga tidak ada lagi perempuan yang mau denganmu. Akan kuambil pisau dari dapur dan kukerjai dirimu di sini juga!"

"Tolong!"

"Huoy, Huoy!” kata ibunya dengan sedih sambil menggeleng-geleng.

"Selamatkan aku!"

"Lain kali pasti kubunuh perempuan itu, jika kulihat dia bersamamu lagi. Sekarang aku bertanya: kau masih hendak bertemu lagi dengan dia atau tidak?”

"Tidak lagi-lagi deh. Aku menyesal. Sekarang jangan pukuli aku lagi. "

Akhirnya Huoy capek sendiri. Ia menghenyakkan diri di dipan, mengentak-entakkan kaki dengan kesal. Air matanya berlinang-linang. Ia berpaling pada ibunya. "Nah, itu, ia mengaku! Kadang-kadang ia tidak kemari saat makan siang, karena mendatangi pacar-pacarnya yang lain."

Kuhampiri dia di dipan. "Tidak, Huoy. Aku sependapat denganmu. Aku ini anak nakal. Aku mengaku salah. Aku berjanji takkan melakukannya lagi." Kurangkul bahu Huoy, berusaha membujuknya agar tenang'.

"Sudahlah, Huoy, cukup," kata ibunya. Tapi wanita tua itu tersenyum, sama seperti aku.

Huoy merajuk. "lbuku sendiri, membelamu! Mestinya kan aku yang dibela."

"Ssst, Huoy," kataku. "Nanti para tetangga merasa terganggu. Kita malu dong. Aku mengaku salah. Maaf deh."

Tapi dalam hati aku merasa senang. Senang bahwa Huoy ternyata cerdik, menunggu dulu sampai malam sebelum melancarkan tuduhan, pada saat aku sedang tidak waspada. Senang bahwa ia ternyata sangat sayang padaku, dan bahwa ia berkepribadian tangguh.

Mulai saat itu aku sepenuhnya menjadi miliknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar