4
PERANG SAUDARA
SESUDAH
ia digulingkan, Sihanouk sebenarnya bisa saja memilih untuk menetap di
Perancis, tinggal seumur hidup di vilanya yang ada di sana. Bagi Kamboja itu
lebih baik. Tapi bukan itu yang dipilihnya. Kampanye pendiskreditan dirinya
serta kejadian-kejadian·seperti pembenaman patung-patungnya dalam kotoran
kandang babi telah merusak citranya, menyebabkan ia kehilangan muka.
Muka
merupakan topeng berwujud status dan martabat yang diperlihatkan orang Asia
kepada pihak lain-Iainnya, yang semua juga mengenakan topeng masing-masing.
Itulah yang menyebabkan Kamboja nampak merupakan masyarakat yang sangat sopan
dalam keadaan normal: saya menghormati wajah Anda, Anda menghormati wajah saya,
dan kita sama-sama menyembunyikan perasaan masing-masing yang sebenarnya. Dalam
bahasa kami, menghina seseorang .secara terbuka dinyatakan dengan ungkapan
"merusak muka". Sihanouk sangat menjaga harga diri. Ia tidak mau "dirusak
mukanya".
Jadi,
tidak lama setelah kudeta terjadi, dari pesawat radio terdengar seseorang
berbicara dengan suara melengking, suara yang sangat kami kenal. Bapak Raja
berpidato lewat Radio Peking. la mengatakan bahwa ia menjadi korban sekelompok orang
yang "ultrareaksioner". Sesudah menerima kekuasaan dan kemurahan hati
dari dia, demikian katanya, mereka menunjukkan terima kasih dengan cara
menghina dan menginjak-injak harga dirinya, menggulingkannya dari tampuk kekuasaan
dan mengutuknya sebagai penjual bangsa. Selama berpidato itu suaranya makin
lama makin meninggi. "Tuduhan-tuduhan seperti itu, oleh kawanan pengecut
ini, yang tidak mengenal kata terima kasih, ambisius, haus kekuasaan, dan juga
serakah, yang tidak segan-segan menikamku dari belakang," pekik Sihanouk,
"itu semuanya tidak penting! Kemarahanku sebagai pribadi bukan apa-apa
jika dibandingkan dengan besarnya keprihatinanku mengenai nasib malang negara kita!
"Kawanan
pengkhianat itu telah mencampakkan negara kita-yang memiliki nama baik seba gai
pulau kedamaian -ke dalam kancah peperangan Amerika! Kebebasan dan
kesetiakawanan bangsa musnah sama sekali. Jutaan bangsa kita akan bangkit untuk
menumpas kelompok reaksioner Lon Nol dan Sirik Matak beserta Amerika majikan
mereka!" jeritnya. "Dan setelah mencapai kemenangan terakhir, mereka
akan membangun Kamboja yang baru dengan kekuasaan tergenggam dalam tangan
rakyat!".
Sihanouk
mengumumkan bahwa ia sedang membentuk pemerintah dalam pengasingan:
"Kuserukan
kepada anak-anakku semua, baik militer maupun dari kalangari sipil, yang tidak sudi
tetap .berada di bawah kekuasaan para pengkhianat, dan yang memiliki ketabahan
dan tekad untuk membebaskan tanah air, agar bangkit dan melawan musuh kita.
Jika anak-anak itu sudah memiliki senjata, akan kuberikan amunisi dan bahkan
persenjataan baru untuk memperkuat mereka. Jika anak-anakku itu belum memiliki senjata
dan ingin mendapat latihan, akan kuambil tindakan-tindakan membantu mereka agar
bisa mengikuti pendidikan kemiliteran yang jauh di dalam rimba supaya tidak
bisa diketahui musuh. Bagi anak-anak yang ada di Eropa dan ingin ikut berjuang,
datanglah ke Moskow atau Peking untuk menjumpai aku. Hidup Kamboja!"
Oleh
Sihanouk, penduduk Kamboja sejak dulu selalu disebut "anak-anakku".
Karenanya aku sudah terbiasa mendengarnya. Tapi jargon seperti "reaksioner"
dan "membebaskan" yang dipergunakannya saat berpidato itu terdengar
asing di telingaku, Sihanouk sudah selalu bersikap condong ke kiri. Kini ia
menggabungkan diri ke kiri, dan bukan hanya dengan kekuatan-kekuatan Moskow dan
Peking saja; yang lebih mengherankan, ia bergabung dengari kelompok bekas
musuhnya, yakni kaum komunis Kamboja. Sebelumnya, selama bertahun-tahun ia
memburu-buru mereka tanpa kenaI ampun, menjebloskan ke dalam penjara,
memerintahkan penyiksaan, mengusir mereka masuk ke dalam hutan. Ia tidak mengenal
kata ampun dalam menghadapi mereka. Ia memberi julukan "Khmer Merah"
kepada mereka, atau dalam bahasa Perancis,
les Khmers Rouges.
Seperti
kudeta yang terjadi sebelumnya, pengumuman Sihanouk itu merupakan tindakan
berbalik secara mendadak yang tidak mungkin berakibat baik bagi Kamboja.
Tindakannya menyeberang ke kubu komunis, meski hanya sebagai tokoh lambang saja,
akan langsung memberikan kredibilitas kepada Khmer Merah. Jika ia mengatakan
masuklah ke hutan dan gabungkan diri dengan komunis, banyak orang Kamboja yang
akan patuh, terutama rakyat pedesaan yang memuja dirinya. Mereka akan melakukan
apa saja mengikuti permintaannya. Ketika Sihanouk bergabung dengan musuh-musuh lamanya,
itulah hari yang merupakan saat berubahnya nasib Kamboja. ltulah saat permulaan
terseretnya negeri kami ke dalam kancah perang saudara yang lama dan
menimbulkan korban yang luat biasa besamya.
Tapi
pada awal tahun tujuh puluhan, kekuatan Khmer Merah paling-paling terdiri atas
beberapa ribu orang saja. Mereka jauh dari Phnom Penh, dan jumlah mereka tidak
cukup besar untuk bisa menjadi ancaman serius bagi rezim yang baru di bawah Lon
Nol. Ancaman yang dihadapi datang dari pihak Vietnam Utara, yang
prajurit-prajuritnya sangat tangguh.
Sampai
saat kudeta, pasukan-pasukan Vietnam Utara yang. ada di Kamboja berkekuaran
sekirar 40.000 orang; pasukan-pasukan itu kebanyakan berada di bagian timur,
dekat perbatasan. Biasanya mereka menghindari pasukan-pasukan pemerinrah Kamboja,
agar tidak menimbulkan keributan. Tapi segala-galanya berubah dengan terjadinya
kudeta serta masuknya pasukan-pasukan Amerika selama beberapa waktu di
sepanjang perbatasan. Karena terdesak mundur dari kantong- kantong mereka di
sana oleh rentara Amerika, pasukan-pasukan Vietnam Utara itu lantas menyebar
masuk ke wilayah yang sebelumnya tidak pernah mereka pijak. Jika berjumpa
dengan satuan-satuan tentara pemerintah Phnom Penh, mereka menyerang. Dan
hampir selalu mereka yang menang. Dalam beberapa bulan·saja mereka sudah
menguasai separuh wilayah Kamboja.
Sampai
saat terjadinya kudeta, Lon Nol berkedudukan panglima tertinggi di bawah
Sihanouk: Sam Kwil, temanku yang reporter surat kabar, bercerita padaku,
"Satu-satunya alasan kenapa Lon Nol diangkat adalah karena Sihanouk tahu
bahwa orang itu bodoh. Bagi Sihanouk, ia bukan saingan. Dan memang
kenyataannya, Lon Nol bukan orang yang cakap. Diambilnya dengan begitu saja
orang-orang sipil dari jalanan lalu diberi latihan selama dua puluh empat jam,
dan ia pribadi membagi-bagikan jimat-jimat Budha untuk dipakai dan pasukan
darurat itu langsung dikerahkan untuk memerangi pasukan-pasukan Vietnam
Utara."
"Apa
salahnya dibekali jimat-jimat Budha?" kataku. "Kau sendiri Budhis.
Aku juga Budhis." "Kau bekerja di rumah sakit," katanya
sarkastis.
"Kau
pernah melihat bukti bahwa jimat Budha bisa menahan peluru AK-47?" Ia
menatapku dengan galak. Aku menundukkan mata. Kuakui, di rumah sakit tidak
henti-hentinya diangkut masuk dalam keadaan Iuka parah serdadu-serdadu dengan
rajahan serta jimat-jimat religius. "Lon Nol itu gila," kata Kwil
serius. "Aku tahu, karena pernah berkeliling mengikutinya. Karena dia banyak
orang tak bersalah yang akan mati terbunuh, dan ia pasti akan mengandalkan
persenjataan dan serangan udara dari pihak Amerika untuk mempertahankan
rezimnya. Percayalah, Sobat-Lon Nol itu goblok, Goblok, kataku! Goblok! Goblok!
Ia menyebabkan terjadinya perang, tapi ia takkan mampu mempertahartkan negara!"
.
Kadang-kadang
Sam KwiI suka dihanyutkan emosi-dibandingkan dengan dia, aku bisa dibilang setenang
dan sebijak seorang biksu-tapi pengamatannya hampir selalu tepat. Selama tahun-
tahun pertama peperangan, kami di Phnom Penh hampir setiap hari melihat pesawat
terbang Amerika melintas, datang dari pangkalan-pangkalan di Vietnam Selatan
dan Thailand. Pesawat-pesawat transpor mendarat di peIabuhan udara mengangkut
perbekalan dan penasihat-penasihat militer. Pesawat-pesawat .tempur taktis dan
pembom menderu-deru menuju kaki langit. Jika tidak diketahui kegunaannya,
pesawat-pesawat tempur itu nampak indah, seperti anak panah kecil berwarna
perak yang meluncur dengan sangat cepat dan menimbulkan bunyi nyaring yang
ridak sebanding dengan ukuran tubuh pesawat pesawat itu. 'Di apartemen tempat
kediaman Huoy, pada malam hari cangkir-cangkir di aras rak kadang-kadang bergetar
semenrara dari kejauhan datang bunyi seperti deru samudera, tapi jauh lebih
berat dan nyaris tak tertangkap telinga: bom-bom yang berledakan jauh di luar
kota, dijatuhkan dari pesawat-pesawat B-S2. Masih ada lagi pesawat-pesawat lainnya.
Amerika memberikan pesawat-pesawat propeler tempur pembom jenis T-28 dan sejumlah
pesawat transpor kepada Kamboja. Pada bulan Januari 1971 Vietnam Utara
menghancurkan tiga perempat dari seluruh pesawat angkatan udara Kamboja di
lapangan terbang, tapi Amerika mengirimkan lagi pesawat-pesawat sebagai ganti.
Meski
Vietnam Utara sekali-sekali melancarkan serangan roket dan mortir terhadap
bagian-bagian pinggiran kota Phnom Penh, namun perang baru benar-benar menjadi
kenyataan langsung bagiku pada saat Pchum
Ben, hari raya Budha untuk menyembahyangkan arwah para leluhur, tahun 1972.
Waktu itu aku sedang duduk di lantai sebuah kuil bersama Huoy, bersembahyang
bersama- sama dengan ratusan orang lain di sekeliling kami. Tiba-tiba terdengar
bunyi ledakan. Seisi kuil langsung panik dan bertemperasan,ke luar. Sesampai di
jalanan ada orang mengatakan bahwa yang diledakkan ito Jembatan Chhruoy
Changwa, sebuah jembatan berukuran raksasa dan sangat modern konstruksinya yang
dibangun dengan bantuan Jepang. Jembatan itu oleh rakyat diberi julukan
Jembatan Jepang. Ketika kami kemudian tiba di dekat sungai, kami melihat bahwa
bentangan sebelah tengah jembatan itu runtuh. Yang tersisa hanya tiang-tiangnya
yang besar, dan permukaan sungai yang lebar di antaranya. Lalu terdengar
rentetan tembakan senapan otomatik. Datangnya dari arah berlawanan, dari tengah
kota, di mana para gerilyawan scdang melakukan sergapan terhadap sebuah pos tentara
pemerintah. Serdadu-serdadu pemerintah melancarkan serangan balasan, dan
berjam-jam lamanya tembak-menembak itu berlangsung.
Keesokan
harinya, serdadu-serdadu Lon Nol menjejer-jejerkan mayat orang-orang Vietnam Utara
yang tewas dan berpose dengannya seperti dengan hewan hasil perburuan. Serdadu-serdadu
itu tertawa lebar dengan sikap bangga, seolah-olah telah berhasil
mempertahankan Phnom Penh dari sierangan musuh. Dan ketika kulihat kebanggaan mereka
yang palsu, akhirnya kupahami apa sebenarnya hakikat peperangan. Manusia
berperang demi kegemilangan nama atau cita-cita, tapi hasilnya tidak gemilang
atau sesuai dengan yang dicita-citakan. Hasil utamanya, di samping penderitaan,
adalah kemunduran peradaban sampai jauh ke belakang. Lihat saja Jembatan
Jepang, sebagai contoh nyata: ketika jembatan itu sudah diba ngun, hubungan
lalu-lintas antara Phnom Penh dan daerah-daerah Kamboja di utara dan tengah menjadi
lebih lancar daripada sebelumnya. Orang-orang seperti aku, dengan kendaraan
bisa mendatangi reruntuhan Angkor dalam waktu beberapa jam saja, tidak lagi
sekian hari seperti sebelumnya. Kegiatan perdagangan berkembang, dan para
pedagang menjadi makmur karenanya. Begitu pula para petani, yang mulai
mengusahakan tanaman-tanaman baru untuk dijual di pasar-pasar kota Phnom Penh.
Kaum kerabat lebih sering kunjung-mengunjungi. Semua memperoleh manfaat
daripadanya. Jembatan itu menyebabkan seluruh negeri menjadi Iebih saling
berdekatan. Dan kini jembatan terbesar di Kamboja itu dimusnahkan. Kami harus
menyeberangi sungai dengan Iambat, naik perahu itu pun kalau kami pernah
menyeberang lagi. ltulah yang diakibatkan oIeh peperangan: masyarakat harus
kembali menjalani corak kehidupan yang jauh lebih primitif.
Pada
tahun-tahun awal peperangan aku ikut aktif dalam sebuah kelompok mahasiswa yang
melakukan kegiatan mengumpulkan sumbangan dari perusabaan-perusahaan swasta
untuk membantu para korban peperangan. Selaku wakil kelompok itu, aku terbang
ke Kampot, tempat kelahiran Huoy, dan ke propinsi lain-Iainnya. Perjalananku
umumnya terpaksa dilakukan dengan pesawat terbang karena bubungan darat diputuskan
oleh komunis. Pesawat-pesawat yang kutumpangi terbang melintasi kawasan rimba
luas yang kelihatannya tidak ada apa-apanya, serta hamparan sawah yang tak
terawat lagi. Begitu sampai di tempat tujuan aku langsung sibuk membagi-bagikan
selimut, krama, sarung, lilin, makanan
kaleng, dan bahan-bahan keperluan hidup yang lain-lainnya kepada
serdadu-serdadu dan sanak-keluarga mereka, dan juga pada para pengungsl.
Kaum
pengungsi ini sebagian hidup dalam perkampungan darurat yang dikelola Palang
Merah, CARE, dan World Vision. Tapi sebagian besar dari mereka mendatangi
tempat-tempat berlindung yang tradisional di Kamboja, yaitu kuil-kuil. Mereka
tinggal bersebelahan dengan tembok pekarangan kuil, dalam tenda-tenda, gerobak-gerobak
sapi yang dilengkapi dengim atap, atau hanya beralaskan tikar dan tanpa naungan.
Wanita-wanita dan anak-anak berkulit coklat tua: jauh dari kampung halaman dan
tau kemungkinan bertani, meski ada juga di antara mereka yang menanam
sayur-sayuran. Para suami dan anak-anak lelaki mereka pergi berperang untuk
pihak yang satu atan yang lainnya, untuk Lon Nol atau kaum komunis; mereka
sendiri sebetulnya tidak peduli untuk pihak yang mana mereka menyabung· nyawa.
Para
wanita pengungsi itu langsung membisu apabila ada pejabat pemerintah muncul di
tengah mereka; tapi begitu pejabat itu sudah pergi, mulailah mereka.
berkeluh-kesah tentang kekorupan pemerintah dan tentang Lon Nol yang tidak bisa
apa-apa, dan kenapa ia membiarkan perang berlarut-Iarut. Mereka semua
menginginkan kembalinya Sihanouk, karena mereka ingat pada masa damai di bawah
kekuasaannya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang politik, tentang kekuatan- kekuatan
asing yang ada di balik peperangan, Amerika yang mendukung Lon Nol dan Cina
yang mendukung Vietnam Utara serta Khmer Merah. Satu-satunya yang mereka
ketahui hanyalah bahwa mereka menginginkan perang berakhir, agar mereka bisa
pulang dan hidup dengan damai.
Selain
membawa sumbangan bagi kaum pengungsi dan para istri prajurit yang terus
mengikuti suami-suami mereka dari tempat yang satu ke tempat berikutnya tanpa
perbekalan yang mencukupi, aku juga bekerja di rumah-rumah-sakit dan klinik-klinik
yang dekat. Di tempat-tempat itu selalu saja ada pembalut yang perlu diganti
dan luka-Iuka akibat pertempuran yang harus dibersihkan dan dijahit. Para
dokter yang berdinas tidak pernah cukup jumlahnya untuk memberikan perawatan
yang memadai pad a para prajurit. Tapi para wanita pengungsi dan istri-istri prajurit
juga memerlukan pertolongan medis, dan yang bisa diberikan bahkan lebih sedikit
lagi ketimbang yang diperoleh para prajurit.
Di
daerah pedesaan Kamboja, perawatan kesehatan secara tradisional diberikan
oleh'para dukun sihir yang menafsirkan mimpi, mengucapkan jampi-jampi dan
menggunakan kekuatan gaib, serta oleh para dukun jamu yang meracik obat mereka
sendiri dari tetumbuhan. Para dukun sihir kadang-kadang bisa menolong
pasien-pasien mereka, karena pasien-pasien itu meyakini kemanjuran perawatan
yang diberikan; dan ada beberapa jenis jamu yang mujarab. (Jamu penyembuh penyakit
sifilis misalnya, semacam ramuan minuman yang keras dan berbau tidak enak yang terbuat
dari rebusan buku-buku bambu, lada hitam, dan sekitar selusin ramuan
lain-lainnya, ternyata lumayan keefektifannya, meski sulit diketahui apa
penyebab kemanjurannya itu.) Tapi pengobatan tradisional tidak memiliki konsep mengenai
masalah infeksi dan tidak mengenal metode pembedahan yang benar-benar mantap. Pengobatan
secara tradisional tidak berdaya menghadapi sekian banyak penyakit yang dengan
teknik-teknik Barat bisa ditanggulangi dengan mudah.
Di
Kamboja, bidang kesehatan kaum wanita sangat terbelakang sebagai akibat begitu
banyaknya pantangan sehubungan dengan organ-organ reproduktif tubuh. Para
wanita pengungsi dan istri-istri para prajurit mandi dengan berselubung sarung,
di· sungai terdekat atau dengan begitu saja mengguyurkan air berember-ember
membasahi kepala. Mereka mandi di tempat terbuka, di depan mata semua orang
yang ada di sekitar situ. Jadi mereka membersihkan bagian-bagian kulit yang nampak,
tapi karena malu dan juga tidak mengetahui keperluannya, bagian-bagian
selebihnya tidak mereka apa-apakan. Sebagai akibatnya banyak di antara mereka
yang terserang infeksi vaginal. Apabila hamil-di antara mereka ada yang tidak begitu
mengetahui apa yang menyebabkan mereka menjadi hamil-maka yang membantu pada saat
melahirkan adalah para dukun beranak setempat. Tidak terjaganya kebersihan,
para dukun beranak yang tidak memiliki keterampilan, takhyul, kekurangan gizi,
dan juga langkanya obat-obatan: kesemuanya'ini mengakibatkan angka kematian
bayi di Kamboja sangat tinggi, lebih dari 50 persen.
Di
rumah-rumah sakit banyak kujumpai kasus leukorea, atau keputihan, yang
nampaknya bertalian dengan tingginya rasio penderita kanker leher rahim. Banyak
pula kasus penanganan dukun beranak di desa yang berakibat buruk-pembedahan perut
dengan cara-cara primitif untuk menolong kelahiran bayi yang lukanya kemudian tidak
sembuh-sembuh dan malah mengalami infeksi karena ramuan obat tradisional yang diletakkan
pada luka, kasus-kasus shock yang aku
temui sebagai akibat kotoran plasenta yang tertinggal di dalam tubuh setelah
wanita itu melahirkan, dan macam-macam lagi. Terguncang sekali hatiku melihat
penderitaan para wanita itu, karena kebanyakan kasus mereka sebenarnya tidak
perlu sampai terjadi. Dan puas rasanya hati membanntu melahirkan bayi dan
melihat bahwa ibu dan bayi berada dalam keadaan sehat.
Kembali
di sekolah kedokteran di Phnom Penh, aku mulai menjalani pendidikan spesialis
di bidang obstetri dan ginekologi, jadi di bidang ilmu kebidanan dan
penyakit-penyakit kaum wanita. Di samping adanya kebutuhan akan dokter-dokter
jenis ini, aku juga memiliki alasan pribadi yang mendasari pilihanku itu, dan
ini kembali ke masa kanak-kanakku, ketika aku dihajar ayahku. Ibuku selalu
lebih baik hati ketimbang ayahku. Chhay Thao, saudara perempuanku, lebih baik
terhadap diriku ketimbang sauara-saudara lelakiku. Di Samrong Yong dan Phnom
Penh serta di tempat-tempat lain banyak kawan baikku yang lelaki, tapi tak
seorang pun dari mereka yang begitu berarti bagiku seperti Huoy dan ibunya. Aku
ini pria yang dekat dengan wanita. Batu yang menyukai kertas.
Pemerintah
mewajibkan dokter-dokter tanpa pengecualian melakukan dinas untuknya; tapi kami
diizinkan melakukan pekerjaan sambilan, bahkan sebelum kami meraih gelar. Aku
melakukan pekerjaan sambilan di rumah sakit tentara pemerintah; posisi ini
secara teknis menjadikan diriku perwira tentara dan memberi kewenangan padaku
untuk mempunyai sopir tentara. Selain itu aku juga melakukan pekerjaan sambiIan
lain, di sebuah klinik swasta yang terutama menangani kasus-kasus kebidanan dan
penyakit-penyakit khusus kaum wanita.
Aku
benar-benar sibuk waktu itu. Pagi hari dari pukul tujuh sampai sembilan aku
bekerja di klinik swasta itu, yang lokasinya dekat pasar Tuol Toumpoung, di
wilayah selatan Phnom Penh. Dari pukul sembilan sampai tepat tengah hari aku berkeliling
memeriksa pasien-pasien di rumah sakit tempat belajar praktek yang bertalian
dengan sekolah kedokteran. Siangnya aku mengikuti kuliah-kuliah di sekolah
kedokteran, sampai sore. Dari pukul enam sampai pukul tujuh petang aku bekerja
lagi di klinik. Setelah itu kalau sempat aku mendatangi Huoy, tapi aku juga
masih harus melakukan dinas panggilan di rumah sakit tentara. Kadang-kadang aku
bekerja sepanjang malam di situ, menangani serdadu-serdadu yang luka; setelah itu
kembali lagi ke klinik swasta, dan dengannya mulai lagi kesibukan sehari penuh bagiku.
Sementara
itu perang terus berlanjut.
Pada
suatu hari Sabtu aku ditelepon seorang jenderal angkatan darat. Aku
diperintahkannya berangkat ke salah satu medan pertempuran di luar kota Phnom
Penh!, untuk menjemput serdadu- serdadu yang luka. Lokasi pertempuran yang harus
kudatangi itu di "Jembatan 13"; letaknya tiga belas kilometer di
jalan ke arah timur, di seberang Sungai TonIe Sap. Karena Jembatan Jepang sudah
musnah diledakkan, ambulans harus menyeberang sungai dengan feri, dan itu tidak
bisa cepat. Di jalan di seberang sungai, kami berpapasan dengan seseorang yang
naik·sepeda motor dari arah berlawanan. Orang itu memakai baju pasukan payung
berwarna hijau dan menenteng tas kamera. Itu Sam Kwil, kawanku yang wartawan,
yang sedang daIam perjalanan kembali dari tugas peliputan untuk surat kabarnya.
Kemudian
kami sampai di Jembatan 13, sebuah konstruksi kecil dari kayu yang membentang
di atas parit tanpa air. Kami membelok masuk ke sebuah lintasan gerobak sapi
yang tidak rata, menuju ke sebuah ladang jagung. Serdadu-serdadu yang luka
bergeletakan di tanah, mengerangerang dengan tubuh bersimbah darah. Aku dengan dibantu
para anggota korps medis meletakkan para serdadu yang luka-Iuka itu di atas
tandu lalu mengusung mereka ke ambulans. Saat itu pihak Vietnam Utara menembak
lagi.
Brup! Brup-brup-brup!
Brupruprupruprup!
Mereka bersembunyi di tengah ladang, di depan kami. Brupruprup! Kemudian terdengar bunyi tembakan senapan otomatik.
Datangnya dari arah belakang kami, dari sekerumunan pohon. Brupruprup brup brup! Sekali ini dari parit kering, dekat jembatan.
Mereka mengepung dari tiga arah. Komandan pasukan Kamboja merebahkan diri di
tanah, dekat ambulans. Pihak musuh berhasil menyusup ke belakangnya lewat
samping, dan kini ia terjebak di tengah-tengah hujan peluru yang datang dari
tiga arah.
"He,
Cukimai! Usahakan agar kami bisa keluar dari sini!" teriakku. "Di
sini ada yang luka-luka dan memerlukan perawatan. Panggil bantuan udara! Cepat,
suruh pesawat-pesawat kemari!".
Komandan
itu membalikkan tubuh sambil tetap rebah, dan menatapku dengan mata terbelalak ketakutan.
la melihat aku memakai seragam dengan tanda pangkat letnan, setingkat dengan dia.
Ia menurut. Didekatkannya alat komunikasi radio ke mulutya lalu mulai
memanggil-manggil. Ia dikelilingi anggota-anggota pasukannya, orang-orang dari suku
pegunungan sebelah timur laut Kamboja. Mereka menunggu perintah.
Aku
beringsut-ingsut menghampiri letnan itu. Umurnya sebaya dengan aku, berkulit
kuning langsat. Anak kota, kemungkinannya dari golongan atas kota Phnom Penh.
Ia masih belum sadar dari kekagetannya. Tangannya menggenggam alat komunikasi
radio. Aku juga baru sekali itu mengalami serangan penembakan, tapi. pengalaman
berkelahi secara keroyokan semasa kanak-kanak menyebabkan aku tidak kaget lagi.
Aku menuding ke arah pinggir ladang jagung itu, yang letaknya paling dekat
jembatan. “Suruh orang-orangmu menyerang ke sana, untuk membuka jalan. Itu
satu-satunya kemungkinan bagi kita untuk mengeluarkan ambulans dari sini.
Sekarang lakukan itu! Jangan tunggu-tunggu lagi! Lakukan sekarang juga!"
Sementara
aku masuk ke bagian belakang ambulans, serdadu-serdadu dari suku pegunungan yang
mengenakan pakaian campur-aduk, pakaian tentara dan celana kombor, sudah
beranjak dari posisi rebah. Sambil memuntahkan peluru dari senapan-senapan
serbu mereka, para serdadu tanpa alas kaki itu berlari maju menyongsong hujan
tembakan musuh. Kendaraan ambulans diputar sopirnya sampai menghadap ke jalan besar,
lalu mulai bergerak terantuk-antuk. Sementara pihak Vietnam Utara bergerak
mundur, kami terlambung-lambung melewati lintasan gerobak sapi. Tiba-tiba
terdengar bunyi ledakan. Bagian belakang ambulans terlambung dan terbanting lagi
dengan keras. Tapi kendaraan itu terus berjalan. Aku merasakan kenyerian pada
perutku, di sebelah kiri. Lubang pada kemejaku cuma kecil saja, tidak sampai satu
senti; tapi bagian kemeja di sekelilingnya nampak merah kena darah yang semakin
melebar. Aku berteriak kepada sopir, menyuruhnya bergegas. Apa pun yang
mengenai kami tadi, kemungkinannya granat yang diluncurkan dengan roket, telah
mengakibatkan dinding samping ambulans berlubang yang lebarnya sekitar setengah
meter, dekat lantai. Lewat lubang itu aku bisa melihat tanah permukaan jalan.
Kemudian nampak kerikil pelapis jalan besar, dan perjalanan kami menjadi lebih
mulus. Anggota-anggota korps medis menyibakkan kemejaku dan membalut perutku
dengan perban, sementara aku berteriak-teriak menyuruh sopir lebih cepat lagi menjalankan
kendaraannya.
Kemudian
terdengar bunyi menderu datang ke arah kami; kenyaringannya meningkat dengan cepat.
Para anggota korps medis masih sibuk memeriksa tubuhku; mencari-cari luka kena
pecahan peluru. Aku membungkuk, memandang ke luar lewat kaca depan ambulans.
Kulihat pesawat- pesawat tempur pembom T -28 datang ke arah kami dengan cepat,
terbang rendah sekali di atas pucuk-pucuk pepohonan. Pesawat-pesawat itu melintas
di atas kami, menuju ke Jembatan 13.
Ketika
akhirnya sampai di tepi Sungai TonIe Sap yang lebar, kami harus menunggu dekat Jembatan
Jepang yang sudah runtuh. Aku marah-marah. Mobil dan truk yang menunggu
membentuk deretan panjang, sementara feri cuma ada satu. Aku memaki-maki
Vietnam Utara karena merekalah yang meledakkan jembatan; kumaki-maki tentara
Lon Nol karena tidak mengamankannya. Namun sumpah-serapah paling banyak kualamatkan
kepada komandan pasukan di Jembatan 13 yang konyol itu. Sama sekali tidak
memiliki jiwa kepemimpinan. Aku kenaI jenis orang seperti itu. Kemungkinannya
ia merasa dirinya lebih tinggi dari pasukannya yang terdiri dari orang-orang suku
pegunungan yang berkulit gelap. Padahal betapa tabah dan hebatnya mereka,
menyerbu langsung ke arah tembakan musuh untuk membuka jalan lari! Mereka
menyelamatkan nyawa kami. Mereka seharusnya mendapat komandan yang lebih
bermutu.
Akhirnya
tiba giliran kami naik ke feri. Sorenya kami tiba kembali di Phnom Penh.
Di
rumah sakit tentara, aku ditolong oleh rekan-rekanku. Cederaku tidak parah,
hanya lubang tembus berukuran keciI pada bagian perut dan Iuka-Iuka enteng
sekeliling pinggang dan lengan kiri. Cuma empat jahitan saja. Bukan apa- apa
jika dibandingkan dengan luka-luka yang dialami serdadu-serdadu yang setiap
hari diangkut masuk ke rumah sakit. Meski begitu, Huoy langsung menangis ketika
melihat keadaanku, dan mau tidak mau aku merasakan kebanggaan prajurit berpengalaman
tempur yang dengan tabah menyepelekan luka-lukanya. Aku diantar sopirku, Sok,
ke apartemen tempat tinggal Buoy. Dan Huoy langsung ribut melihat keadaanku.
Sementara
itu Huoy sudah menjadi milikku. Meski sama-sama sibuk, kami masih sempat saling
berjumpa tiga kali sehari. Pagi-pagi sekali aku berangkat dari tempat
kediamanku sebagai bujangan ke apartemennya untuk sarapan bersama, biasanya di
sebuah restoran kecil di lantai dasar gedung tempat tinggalnya. Selesai sarapan
ia kuantar ke sekolah dengan skuterku, sebuah Vespa 150 cc berwarna putih. Jika
aku sendiri tidak sempat, kusuruh sopirku Sok mengantarkan dengan mobil.
Sopirku itu ramah dan selalu !tormat, seseorang yang menyukai peranannya sebagai
bawahan.
Perjumpaan
kami yang berikut adalah pada saat makan siang. Pada waktu tengah hari, apabila
hawa panas menyebabkan seluruh Phnom Penh terkantuk-kantuk, semua yang bisa
pada pulang ke rumah masing-masing. Kami, aku dan Buoy, berjumpa di
apartemennya. Di situ kami menukar pakaian bergaya Barat kami dengan sarung
dari kain katun yang nyaman. Kami bersantai-santai sambil bercengkerama, lalu
mandi dan makan siang sebelum kembali lagi ke tempat kerja sekitar pukul dua
siang. Akhirnya, sehabis bekerja, kecuali jika ada panggilan dari rumah sakit,
aku datang lagi ke tempat tinggal Huoy, umuk ketiga kalinya dalam sehari.
Sehabis makan malam aku masih terus di situ sampai tiba waktunya pulang ke
apartemenku. Kami harus mengikuti pola adat kebiasaan masyarakat Kamboja,
seperti pada malam hari tidak tidur serumah; tapi kami selalu bersama-sama
sesering mungkin.
Tapi
aku sendiri, tidak sepenuhnya sudah menjadi milik Huoy. Waktu itu belum! Aku
tidak begitu mudah dijinakkan. Dalam watakku ada sedikit unsur bajingan, dan
spesialisasiku yang baru di bidang kedokteran, yakni obstetri dan ginekologi,
memberikan peluang besar bagiku. Begini sajalah: di antara para wanita pasienku
yang mendatangi aku dalam fungsi profesionalku, ada yang kemudian mulai
merasakan sesuatu yang bersifat pribadi dalam hubungan mereka dengan aku. Aku
sering mendapat tawaran, dan tidak selalu aku menolak.
Pada
suatu pagi, aku sedang berada di kantorku yang sempit di rumah sakit. Bersamaku
ada seorang wanita, pasienku. Kami tidak berbuat apa-apa saat itu. Belum. Kami
cuma bercakap-cakap saja. Tiba-tiba pintu kantorku diketuk dari luar. Kubuka pintu,
dan kulihat Huoy berdiri di depannya. Entah sudah berapa lama ia ada di situ, mendengarkan
percakapan kami. Huoy tersenyum manis. Katanya, hari itu ia tidak ada kuliah. Karenanya
ia mampir sebentar. Kuperkenalkan dia kepada wanita pasienku yang ada di dalam.
Antara mereka berdua berkembang percakapan yang manis kedengarannya, khas
wanita. Setelah beberapa waktu, menurut perasaanku saat itu sesudah berjam-jam,
pasienku minta diri lalu pergi.
"Kapan
kau pulang?" tanya Huoy padaku, masih dengan manis.
"Saat
tengah hari, seperti biasa."
Dan
aku kembali ke apartemen Huoy, sambil sibuk menghafalkan dalih jika nanti
didesak. Tapi setibaku di situ, Huoy tidak menunjukkan tingkah- Iaku
seakan-akan sudah terjadi sesuatu yang di luar kebiasaan. Ia malah lebih sayang
dari biasanya. Ketika kami hendak menukar pakaian luar kami, ia mengambilkan
selembar sarung sutera untukku. Aku diperlakukannya sebagai tamu yang
dihormati. Setelah itu kami bersantai-santai, menikmati waktu istirahat. Kami
mandi, lalu makan siang. Hanya kami berdua saja yang ada di situ. Ibunya
seperti biasanya, tidak ada di rumah. la benar-benar wanita yang berperasaan halus.
Malamnya,
setelah kuliah dan bekerja di klinik; Aku kembali lagi ke tempat kediaman Huoy.
Sikapnya semakin ramah. Pada saat makan malam ia tidak duduk berseberangan
dengan aku, seperti hiasanya. la meletakkan kursinya di sampingku. Malam itu ia
masak ikan segar dengan bumbu ketumbar serta rempah-rempah lain dan dihiasi dengan
jeruk sitrun. lbunya sudah sibuk lagi di dapur. Ketika sudah kenyang, aku duduk
menyandar dengan perasaan puas.
Saat
itu tahu-tahu Huoy mencubit pahaku. la mencubit dan memilin keras-keras.
Wajahnya masam karena marah.
"Apa
yang kaubicarakan dengan wanita pasienmu itu tadi pagi?" tukasnya.
Mau
tidak mau, aku tertawa. Ternyata Huoy jauh lebih cerdik dari yang kusangka.
"Emak!" seruku memanggil ibu Huoy, yang sementara itu sudah sangat
akrab dengan aku. "Tolong aku, Mak!"
Huoy
mendesis, "Diam! Ayo diam!" la memperkeras cubitannya.
"Bagaimana
aku bisa diam?" kataku. "Coba lihat apa yang kaulakukan dengan
pahaku." Dalam keadaan kesakitan, aku tertawa.
Emak
muncul dari dapur dan menanyakan apa yang terjadi. Kata Huoy, "Sana, pergi
sajalah, Mak. lni bukan urusan Emak. "
"Tidak,
Mak, Emak harus menolongku," kataku. "Huoy menyakiti aku."
"Jangan
suka macam-macam, Huoy," kata Emak dengan nada mengomel, lalu kembali ke dapur.
Huoy
mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berbisik dengan sengit, "Ceritakan
tentang wanita pasienmu yang tadi pagi itu. Bilang terus-terang! Siapa dia? Apa
hubungan antara kalian berdua?”
"Jangan
suka cemburu."
"Oh?
Dengan ‘perawatan’ macam begitu di kantormu? Kalian berdua saja dalam kamar sempit,
tanpa ada perawat di sekitar situ? Dengan cara bagaimana kau hendak
'merawatnya'?"
"Dia
cuma pasien yang biasa saja. Tidak lebih dari itu."
"Kau
masib mujur sekali ini. Aku bersikap baik kepadamu. Aku sebenarnya sudah hendak
menghajarnya; tapi tidak jadi kulakukan, supaya kau tidak malu."
"Jangan,
jangan, Huoy, jangan kaupukul pasien- pasienku. Jangan kaulakukan, karena nanti
praktekku berantakan."
"Aku
tadi sebenarnya sudah hendak bertanya pada perempuan itu, 'Kenapa kau kemari?
Kenapa kau hendak merampas lelakiku? Satu perempuan untuk satu lelaki. Bukan
dua untuk satu. Untung saja bagimu aku tidak jadi bertengkar dengan dia. Kau
mujur, aku tidak membunuhnya!"
"Ya,
Houy, aku memang mujur. Sekarang lepaskan pahaku."
"Tidak!"
teriaknya. "Katakan yang sebenarnya! Sekarang!"
"Huoy,
dia itu pasien biasa. Kaulah satu-satunya yang kusayangi."
"Jangan
elakkan pertanyaanku! "
"Emak!"
teriakku.
Emak
berseru dari dapur dengan nada memperingatkan, "Huoy!"
Huoy
hendak membekap mulutku dengan tangannya yang satu lagi. Tapi karena aku cepat-cepat
berpaling, tengkukkulah yang dicengkeramnya. Aku berteriak, pura-pura
ketakutan, "He, kau mencekikku! Aku tidak bisa bernapas!"
"Akan
kupanggil Sok kemari," desis Huoy dengan marah. " Ia tahu tentang
pacar-pacarmu. Mungkin aku bukan satu-satunya yang diantarnya ke mana-mana atas
suruhanmu. Kenapa aku harus menunggu sampai m:elihat dengan mata sendiri semua
pacarmu? Sok, coba kemari!"
Emak
muncul lagi dan pergi ke pintu depan.
"Sok
sudah pergi, Huoy," katanya tegas, lalu pergi sebentar ke gang. Kudengar
suaranya menyuruh Sok pergi.
Aku
meninggalkan meja makan, pergi ke dipan. Huoy mengejar, mengambil bantal lalu
memukuli diriku dengannya.
"Kuhajar
kamu," katanya. "Kau, dan juga Sok. Ia tahu segala rahasiamu. Kau
bersekongkol dengan dia."
"Tolong,
Mak!" Kulindungi kepalaku dengan kedua belah tangan. Aku tertawa-tawa,
sementara Huoy terus menghujani dengan pukulan bantal'
"Pilihanmu
cuma aku atau sama sekali tidak! Cuma aku dan aku saja, atau kukerjai dirimu sehingga
tidak ada lagi perempuan yang mau denganmu. Akan kuambil pisau dari dapur dan kukerjai
dirimu di sini juga!"
"Tolong!"
"Huoy,
Huoy!” kata ibunya dengan sedih sambil menggeleng-geleng.
"Selamatkan
aku!"
"Lain
kali pasti kubunuh perempuan itu, jika kulihat dia bersamamu lagi. Sekarang aku
bertanya: kau masih hendak bertemu lagi dengan dia atau tidak?”
"Tidak
lagi-lagi deh. Aku menyesal. Sekarang jangan pukuli aku lagi. "
Akhirnya
Huoy capek sendiri. Ia menghenyakkan diri di dipan, mengentak-entakkan kaki dengan
kesal. Air matanya berlinang-linang. Ia berpaling pada ibunya. "Nah, itu,
ia mengaku! Kadang-kadang ia tidak kemari saat makan siang, karena mendatangi
pacar-pacarnya yang lain."
Kuhampiri
dia di dipan. "Tidak, Huoy. Aku sependapat denganmu. Aku ini anak nakal.
Aku mengaku salah. Aku berjanji takkan melakukannya lagi." Kurangkul bahu
Huoy, berusaha membujuknya agar tenang'.
"Sudahlah,
Huoy, cukup," kata ibunya. Tapi wanita tua itu tersenyum, sama seperti
aku.
Huoy
merajuk. "lbuku sendiri, membelamu! Mestinya kan aku yang dibela."
"Ssst,
Huoy," kataku. "Nanti para tetangga merasa terganggu. Kita malu dong.
Aku mengaku salah. Maaf deh."
Tapi
dalam hati aku merasa senang. Senang bahwa Huoy ternyata cerdik, menunggu dulu sampai
malam sebelum melancarkan tuduhan, pada saat aku sedang tidak waspada. Senang bahwa
ia ternyata sangat sayang padaku, dan bahwa ia berkepribadian tangguh.
Mulai
saat itu aku sepenuhnya menjadi miliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar