Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 22 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 5 : Kota Bonjour


5
KOTA BONJOUR 

KETIKA Khmer Merah sudah semakln meningkat kekuatannya, mereka mulai menggantikan peran pihak komunis Vietnam Utara dalam memerangi rezim sayap kanan Lon Nol. Menjelang akhir tahun 1972 pasukan Khmer Merah berhasil merebut wilayah sebelah selatan Sam rong Yong. Para gerilyawan itu pada siang hari bersembunyi dalam hutan-hutan di dekat sana, lalu malam-malam masuk ke desa.

Pada suatu pagi aku pergi dengan mobil ke Samrong Yong untuk mengungsikan orangtuaku. Mereka pun berkemas-kemas. Kami buru-buru meninggalkan desa itu ketika hari masih siang, sebelum Khmer Merah bermunculan dari dalam hutan. Kami baru berhenti ketika sudah sampai di rumah Ayah yang satu lagi, dekat pabrik penggergajian kayunya di kota Takhmau. Tempat itu lebih dekat ke Phnom Penh, dan termasuk wilayah yang masih dikuasai tentara pemerintah.

Tapi hati ayahku masih tertambat pada rumahnya yang di Samrong Yong. Ia membangun rumah itu dengan uang hasil jerih-payahnya, dan sebenarnya ia tidak ingin pergi dari situ. Selama beberapa minggu ia setiap hari bolak-balik dari pabrik penggergajian ke rumah itu, untuk mengangkut pergi segala perabot dan barang-barang lainnya yang ada di situ. Tapi akhirnya ia sial. Para gerilyawan masuk ke desa ketika hari masih siang, dan Ayah terjebak di situ.

Ayahku bertekad, tidak mau lari dengan tangan kosong. Dimasukkannya barang-barang berharga yang masih tersisa ke dalam dua buah koper besar, lalu menunggu datangnya kesempatan baginya. Kemudian pasukan-pasukan tentara Lon Nol melancarkan serangan balasan. Sebuah peluru artileri meluncur jatuh dari langit dan mengenai sebatang pohon yang besar di sisi rumah. Pohon itu hancur berserpih-serpih. Ayahku menyambar selembar kelambu, selembar selimut, dan sebuah bantal, lalu pergi ke pintu belakang sambil menuntun sepeda. Dengan sepeda itu ia menuju ke selatan, menjauhi tembakan-tembakan artileri, semakin jauh memasuki wilayah yang dikuasai komunis. Koper-koper yang sudah dikemas ditinggalkannya.

Keesokan harinya, ketika aku sedang kuliah, orang-orang desa dari Samrong Yong yang tiba di Phnom Penh memberitahu abangku Pheng Huor tentang kejadian itu. Tanpa menunggu aku lagi, abangku itu langsung pergi dengan sepeda motor ke desa itu, yang saat itu sudah menjadi daerah tak bertuan. Di sana ia mendengar bahwa ayahku pergi ke Chambak, lalu ketika abangku sampai di Chambak ia mendapat keterangan bahwa Ayah pergi lebih jauh lagi ke arah selatan.

Akhirnya abangku berhasil menemukan Ayah, dan mereka lantas menempuh perjalanan pulang. Mereka menjauhi jalan-jalan beraspal, untuk menghindari kemungkinan berjumpa dengan patroli musuh. Mereka mendorong sepeda lewat jalan-jalan setapak beralas pasir dalam hutan, dan menaikinya di lintasan-lintasan gerobak sapi menyusur pematang sawah. Ketika mereka akhirnya tiba di Phnom Penh empat hari kemudian, kami mendengar berita bahwa sebuah pesawat T-28 pemerintah menjatuhkan bom di atas rumah kami sehingga rumah itu rata dengan tanah. Tapi kami tidak kembali ke sana untuk melihatnya.

Ayah sudah pernah mengalami kehilangan harta benda dalam perang saudara yang pecah pada awal tahun lima puluhan, yakni ketika pihak gerilyawan dan serdadu-serdadu pemerintahberganti menculiknya. Kini, pada masa awal tahun tujuh puluhan, dalam perang saudara yang untuk kedua kalinya pecah di Kamboja, yang berlangsung dengan skala jauh lebih besar karena kekuatan-kekuatan luar sama-sama mengirimkan persenjataan untuk membantu orang-orang Kamboja yang berbunuh-bunuhan, ia kehilangan rumahnya dan nyaris saja juga nyawanya sendiri. la masih memiliki pabrik penggergajian kayu, tapi akhir karirnya sebagai pengusaha sudah nampak membayang. Perjalanan dari pabrik ke Phnom Penh yang dulunya bisa ditempuh dalam setengah jam saja kini memakan waktu setengah hari, karena serdadu-serdadu yang menjaga di pos-pos pemeriksaan semuanya minta uang suap. Apabila ia mengirimkan kayu pesanan tokoh-tokoh politik yang penting atau kepada perwira-perwira tentara, ia tidak berani menagih pembayaran. Ia membayar uang suap kepada walikota setempat, kepada kepala polisi dan komandan militer, supaya mereka tidak menutup usahanya.

Bonjour, pembayaran uang suap, sudah senantiasa merupakan bagian dari kegiatan bisnis di Kamboja, tapi belum pernah sampai segila saat itu. Gejalanya semakin meningkat, seirama dengan peperangan. Sebagian dari penyebabnya adalah Lon Nol sendiri, orang yang berada di puncak hirarki kekuasaan. Berlainan dengan Sihanouk, yang melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya, Lon Nol tetap bercokol di dalam kantornya. Ia kelihatannya hanya sedikit sekali tahu tentang hal-hal yang terjadi di daerah pedesaan, atau bahkan di Phnom Penh sendiri. Pada tahun 1971 ia mengalami infark otak yang mengakibatkan sisi kanan tubuhnya lumpuh, dan itu menyebabkan ia semakin tidak berkutik. Bicaranya menjadi tidak bisa ditangkap dengan jelas, dan orang-orang yang memperhatikan dirinya dengan cermat, seperti misalnya kawanku Sam Kwil yang wartawan itu, merasa bahwa daya berpikirnya pun ikut terganggu.

Lon Nol tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan tindak-tindak korupsi. Ia seolah-olah tidak menyadari bahwa bonjour ada kaitannya dengan perang, bahwa perwira-perwira yang cuma berminat menerima uang suap saja takkan mau berperang. Lon Nol tidak mempunyai strategi yang jelas untuk memerangi komunis. Ia cuma mendekam saja di kantornya, menyusun rencana-rencana samar dan serba mistis untuk memulihkan Kamboja ke keagungan masa kerajaan kuno di Angkor dulu. Ia berkonsultasi dengan para astrolog. Ia mensponsori sebuah organisasi dengan nama Institut Khmer-Mon, yang bertujuan membuktikan bahwa ras Khmer yang berkulit sawo matang lebih unggul ketimbang bangsa-bangsa berkulit kuning seperti misalnya orang Cina dan Vietnam. Di Phnom Penh, dengan penduduknya yang terdiri dari campuran berbagai ras dan berorientasi ke Barat, ide-idenya ditanggapi sebagai lelucon yang tidak lucu. Kami waktu itu belum sadar, bahwa ia sangat berbahaya. Di bawah rezimnya berkobar prasangka rasial terhadap warga Kamboja keturunan Cina, dan pasukan-pasukannya membantai ribuan orang Kamboja dari golongan etnis Vietnam.

Setelah rekan-rekannya sesama pemimpin kudeta Kemudian meninggalkannya dan rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan kepadanya, Amerika Serikat masih saja terus mendukung Lon Nol. Mereka memberinya uang dan persenjataan untuk melanjutkan peperangan, dan karena mereka tampaknya tidak peduli apa yang dilakukannya dengan segala pemberian itu, Lon Nol pun lebih-lebih tak peduli lagi. Para jenderalnya menjual persenjataan itu kepada musuh. Mereka menerakan nama-nama fiktif, atau "serdadu-serdadu siluman", dalam daftar gaji, dan uang kelebihan pembayaran mereka kantongi sendiri. Jenderal-jenderal itu membangun vila-vila besar untuk mereka sendiri, sementara anak buah mereka di medan perang kelaparan karena beras perbekalan tidak mencukupi. Para jenderal itu tidak berniat memenangkan peperangan : yang mereka inginkan ialah bahwa perang terus berlarut, agar mereka bisa mengeruk keuntungan sebanyak mungkin sebelum lari ke luar negeri dengan pesawat terakhir.

Kamboja sudah bukan merupakan "pulau kedamaian" lagi, melainkan sudah menjelma jadi negeri yang berperang melawan dirinya sendiri.

Kukatakan pada ayahku, sebaiknya pabrik penggergajian dijual saja dan ia sendiri pergi dari Kamboja. la dan ibuku memilih tinggal di mana saja mereka mau, dengan bekal uang yang cukup untuk keperluan mereka selama hidup.

Tapi ayahku menolak. la suka tinggal di Kamboja, katanya. Malah aku yang disarankannya agar pergi ke luar negeri. Ia bahkan menawarkan padaku untuk menyelesaikan pendidikan kedokteran di Perancis atas biayanya.

Ini lain dari biasanya : ayahku menawarkan untuk membiayai pendidikanku. Tapi aku menolak. Kukatakan kepada ayah dan ibuku, andaikata komunis berhasil merebut kekuasaan, para dokter pasti takkan mereka apa-apakan. Mustahil. Khmer Merah itu memang komunis, tapi mereka juga orang Kamboja. Sesama orang Kamboja takkan saling menyakiti tanpa alasan. Itu keyakin anku waktu itu, dan teman-temanku pun berpendapat begitu pula.

Bagi Ayah, aku, dan orang-orang seperti kami, Kamboja adalah kampung halaman, satu-satunya tempat tinggal bagi kami. Kami tidak ingin pergi meninggalkannya. Kami sama sekali tidak mengenal dunia di luar Kamboja. Bagi kami rasanya lebih besar risikonya jika lari ke luar negeri, ketimbang tetap bertahan di Kamboja dan menunggu sampai perang berakhir. Lagi pula, meski kami tidak menyukai rezim Lon Nol, kami hidup makmur di bawah kekuasaannya. Salah satu hal yang aneh sehubungan dengan peperangan itu adalah sementara keadaan di daerah pedesaan tmakin memburuk, kehidupan di Phnom Penh malah menjadi semakin baik. Bukan untuk kaum pengungsi, yang hidup di perkampungan darurat yang terus tumbuh seperti cendawan dari minggu ke minggu di pinggiran kota. Bukan untuk kalangan prajurit, yang bertelanjang kaki karena sepatu jatah mereka dijual para perwira mereka di pasar gelap. Juga bukan untuk orang-orang dusun yang diwajibmiliterkan oleh pihak yang satu atau yang lainnya. Tapi kalangan "orang kaya baru" dan golongan elite-lah yang hidup bermewah-mewah. Peperangan secara mendadak mendatangkan kemakmuran dalam ukuran yang tidak pernah dialami sebelumnya di Phnom Penh . Belum pernah kami lihat begitu banyaknya pesta, klub malam, mobil Mercedes, dan pelayan-pelayan seperti pada waktu itu.
*************

Aku sendiri menjadi kaya semasa kekuasaan rezim Lon Nol. Kekayaanku itu berawal dari suatu pertengkaran dalam keluargaku - katakanlah, dari satu di antara sekian banyak pertempuran dalam perang saudara yang berlarut-larut di lingkungan keluargaku.

Setelah Samrong Yong jatuh ke tangan Khmer Merah, ayahku memutuskan untuk menetap di Phnom Penh. Mulanya ia dan ibuku tinggal bersama abangku Pheng Huor, yang menikah dengan seorang wanita pengusaha bernama Lon Nay Chhun. Anak mereka tiga orang, di antaranya seorang anak lelaki yang masih kecil. Ayahku sangat sayang pada anak itu, melebihi kesayangannya kepada siapa pun juga di duma ini. Ayahku sudah selalu mengidam-idamkan cucu lelaki untuk menemaninya apabila ia sudah tua.

Ayahku bahkan kelihatannya lebih memperhatikan cucu lelakinya itu, dibandingkan dengan ibu anak itu sendiri. Ipar perempuanku itu lebih suka pergi ke pabrik penggergajian bersama abangku menghitung uang dan menyuruh-nyuruh para pegawai, ketimbang tinggal di rumah dan mengurus anak-anak.

Pada suatu hari, ketika ayahku memintanya agar tingga! saja di rumah dan mengurus anak-anak, Nay Chhun melakukan suatu tindakan yang luar biasa: ia mendorong ayahku dengan tangannya. Ayahku, yang sudah tidak teguh lagi berdirinya, jatuh terjengkang ke sebuah pagar kawat berduri sehingga luka-luka karenanya.

Dalam masyarakat Kamboja, membantah ayah atau mertua lelaki merupakan perbuatan tidak tahu adat. Jadi nyaris tidak bisa dibayangkan perbuatan mendorongnya, seperti yang dilakukan iparku itu. Pelanggaran terhadap tatakrama seperti itu bisa disamakan dengan perbuatan Lon Nol menggulingkan Sihanouk beberapa tahun sebelum itu. Dan serupa halnya dengan kudeta terhadap Sihanouk, perbuatan iparku mendorong Ayah menyebabkan timbulnya rangkaian panjang peristiwa-peristiwa susulan.

Aku mengantar Ayah untuk dirawat di rumah sakit, dan dari situ kubawa pulang ke apartemen di mana aku tinggal seorang diri. Orangtua Nay Chhun datang untuk minta maaf, disusul kemudian oleh Nay Chhun sendiri. Kututup pintu di depan hidung mereka. Malamnya abangku datang. la berdiri di ambang pintu. Penampilannya serupa dengan Ayah: berwajah lebar, bersikap tenang dan serius.

Kukatakan kepada abangku itu, ia boleh masuk jika ingin membantu Ayah . Tapi ia harus memilih memihak Ayah, atau istrinya. Loyal kepada kcdua-duanya, itu tidak mungkin.

Abangku membisu sesaat, mendengarkan kata-kataku. Kusangka ia paling tidak akan minta maaf atas perbuatan Nay Chhun.

Tapi ia ternyata hanya· mengatakan, "Aku datang ini untuk membawa Ayah pulang."

"Supaya istrimu bisa menuntaskan perbuatannya, membunuh Ayah?" kataku. "Aku baru saja kembali dari rumah sakit, di mana luka-lukanya kujahit-lima belas jahitan, tahu!"

Abangku tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berbalik, lalu pergi.

Di dalam, ayahku berbaring di dipan. Wajahnya pucat. Ia kelihatan tua dan lesu. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa cemburu dan tidak senangku kepada abangku. "Anak lelakimu yang mana yang memperlakukan dirimu dengan baik sekarang, Ayah?" kataku. "Sesudah sekian tahun ini, tahukah Ayah putra yang mana yang benar-benar ingin menolongmu, dan yang mana yang berhati batu?"

"Aku tahu, aku tahu," kata ayahku menggumam. "Tapi lebih baik soal-soal seperti itu jangan dibicarakan."

"Sekarang Ayah tahu, tapi sudah terlambat, Ayah masih ingat ketika Ayah menghajarku ketika aku masih kecil, ketika Ayah menyangka bahwa aku yang mencuri kotak berisi kartu-kartu permainan itu? Ayah tahu, siapa sebenarnya yang mengambil? Ayah tahu siapa yang mengambil milik Ayah dengan diam-diam sejak Ayah membeli pabrik penggergajian?"

Ayah memalingkan mukanya ke dinding. Ia tahu. Dengan tersingkirnya Pheng Huor dan Nay Chhun dari posisi mereka semula, aku mendapat kesempatan untuk melakukan sesuatu yang sudah sejak lama kuinginkan, yakni menelanjangi penggelapan yang dilakukan abangku di pabrik.

Aku mengadakan rapat keluarga yang dihadiri para anggota yang tergolong dituakan, termasuk para paman dan sepupu. Karena perang, mereka semua ada di Phnom Penh. Dan mereka semua datang, begitu pula Ayah dan abangku. Di depan rapat kubacakan daftar harta milik Ayah yang oleh abangku secara diam-diam dialihkan menjadi miliknya: lima mobil tangki besar pengangkut bensin, dua buah bus, sebuah Land-Rover, dan sebuah rumah dekat pabrik penggergajian yang disewakan oleh ayahku pada orang-orang lain. Sambil berbicara aku menggenggam surat-surat pemilikan dari semua yang kusebutkan itu. Tidak jelas berapa banyak uang tunai yang digelapkan abangku dari pabrik, kataku, karena pembukuan masih ada di tangannya.

Selanjutnya kuketengahkan pokok persoalan warisan Ayah yang tidak sedikit. Aku sendiri tidak perlu mendapat bagian, karena sudah memperoleh nafkah dari pekerjaanku sebagai dokter. Yang perlu mendapat bagian adalah adik-adik kami, kataku. Jika mereka bisa dipastikan akan memperoleh bagian secara adil, maka Pheng Huor boleh mengambil bagianku. Jasanya demi keberhasilan usaha pabrik lebih besar dari siapa pun juga kecuali ayahku. Bagianku boleh diambilnya, asal ia mau memulangkan semua harta milik yang dikangkanginya selama itu kepada Ayah.

Kupandangi sanak-kerabatku yang ada dalam ruangan. Mereka mengangguk-angguk setuju. Segala kata-kata tadi kuucapkan dengan perhitungan bahwa ketamakan Pheng Huor akan mendorongnya untuk mengaku bahwa ia sudah berbuat salah. Tapi aku ternyata salah duga.

Ketika ditanya kenapa ia mengalihkan pemilikan atas segala harta kekayaan itu menjadi atas namanya, ia menjawab dengan tenang, "Aku sudah bekerja keras. Jadi sudah selayaknya kujadikan milikku. Dan aku perlu memiliki sesuatu untuk anak-anakku, untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu dengan diriku."

"Kau tidak berpikir tentang orang lain, yang juga punya anak-anak?" tukasku pedas.

Abangku menyilangkan kedua tangannya sambil mengangkat bahu. "Alasan lainnya adalah peraturan pemerintah, " katanya. "Ayah orang Cina, tapi ia tidak mau memiliki kartu identitas Cina. Ada beberapa kontrak tertentu yang urusannya lebih mudah jika aku yang menandatanganinya.”

Itu tidak benar, dan kau sendiri juga mengetahuinya," kataku. "Aku kan membantumu menangani urusan administrasi. Hanya sedikit sekali bidang usaha yang tidak diizinkan pemerintah dimasuki orang-orang Cina, baik dengan maupun tanpa kartu identitas. Memang bukan tidak ada masalah rasial di negeri ini, tapi tidak sampai sejauh itu.”

Ini bukan saat yang baik untuk membicarakan urusan bisnis," kata abangku. "Kurasa kita semestinya bersyukur, aku berhasil menyelamatkan Ayah dari tangan komunis. Jika bukan karena aku, mungkin ia sekarang sudah tidak ada lagi."

Meski sudah berusaha, tak seorang pun dari kami bisa membuat abangku itu mengaku bahwa ia sudah berbuat salah. Setiap kali ia selalu saja mampu membelokkan pertanyaan. Ia tidak mau membalik-namakan mobil-mobil tangki bensin dan milik yang lain-lainnya kembali kepada Ayah. Tawaranku, bahwa ia boleh memiliki bagianku dari warisan kami, sama sekali tidak digubrisnya.

Rapat itu berakhir tanpa hasil kongkret. Ayahku sedikit pun tidak bicara. Ia tidak tahu tindakan apa yang harus diambil. Ia dihina menantu perempuannya, dengan perbuatan mendorongnya sampai jatuh. Anak lelakinya mencuri harta miliknya. Tapi mungkin ia beranggapan lebih baik anak lelakinya sendiri yang mencuri, ketimbang orang lain.

Sebulan kemudian ayahku sendiri yang mengadakan rapat keluarga. Anak-anaknya hadir semua, kecuali Pheng Huor, anak lelakinya yang nomor dua, dan anak lelakinya yang nomor satu, yang berotak lamban; dia ini pergi meninggalkan lingkungan keluarga setelah bertengkar dengan ayah. Ada enam anak Ayah dalam ruangan tempat rapat itu. Semuanya sudah dewasa dan sudah menikah, kecuali aku. Di atas sebuah piring ada dua belas potong kertas yang masing-masing digumpalkan. Keenam anak Ayah mengambil gumpalan kertas itu, masing-masing dua buah. Pada sisi dalam dari setiap kertas tertulis nomor kendaraan mobil-mobil tangki bensin yang berukuran dua ribu lima ratus galon. Mobil-mobil itu menjadi milik kami sekarang, begitu pula halnya dengan kontrak-kontrak pengangkutan, hubungan-hubungan bisnis, dan para pegawai. Ayah sudah mulai membagi-bagikan harta warisannya.

Usaha pengangkutan bensin ternyata merupakan cara yang gampang untuk mendapat uang. Kami menjalankan mobil-mobil tangki kami secara bekerjasama, termasuk pula dengan Pheng Huor. Dalam waktu yang tidak lama, dengan keuntungan yang kuperoleh dari bisnis itu, ditambah uang tabungan yang berasal dari pekerjaan sambilanku sebagai dokter, aku sudah bisa membayar harga yang diminta untuk menjadi pemilik klinik bersalin di mana aku selama itu bekerja. Tanpa banyak membuang kata-kata, aku berdamai dengan Pheng Huor. Aku menaruh respek terhadap kemampuannya sebagai pengusaha. Ia menaruh respek padaku karena berani membuka mulut terhadapnya. Ia tidak pernah mencurangi aku, dan sejak itu kami tidak pernah bertengkar lagi.

Aku mampu menjalankan usaha pengangkutan bahan bakar, melakukan dua pekerjaan di bidang kedokteran sambil kuliah terus, adalah berkat Huoy. Ia sendiri sudah bekerja sebagai guru sekolah, tapi ia juga menangani urusan pembukuan bagiku serta mengawasi pegawai-pegawaiku. Kami sama-sama bekerja keras. Dalam memberi instruksi-instruksi kepada para pengawai, Huoy harus memaksa diri mengatasi sifat pemalunya. Ia merasa kesal jika harus menjumlahkan deretan angka-angka yang panjang apabila sedang capek. Tapi bagaimanapun juga ia leb h bisa menangani urusan bisnis ketimbang aku. Aku masih tetap saja manusia berangasan, yang langsung naik darah apabila ada pejabat pemerintah minta uang semir. Huoy menenangkan aku, dan ia yang mengatakan padaku kapan kita mau tidak mau harus membayar, dan kapan kita bisa menghindarinya.

Aku dan Huoy, bersama-sama berhasil mengumpulkan uang dalam jumlah yang jauh lebih banyak ketimbang yang pernah kaini bayangkan sebelumnya. Kami mulai biasa makan-makan di restoran setiap malam. Aku membeli sebuah mobil Mercedes. Huoy kubelikan gaun-gaun buatan Perancis, gelang emas, giwang bermata intan . Aku yang membayar sewa apartemennya. ltu sudah sepantasnya, karena kami berniat akan menikah. Satu-satunya yang menjadi pikiran kami adalah kapan niat itu bisa dilaksanakan.

Ayah tidak berkeberatan terhadap Huoy, tapi menurut keyakinannya seorang gadis calon menantunya harus bisa membuktikan bahwa ia pantas menjadi menantu . Karenanya aku dan Huoy mengorbankan waktu bersama kami berdua saat makan siang untuk mencoba melunakkan sikap Ayah. Setiap hari Huoy datang ke rumah orangtuaku pada saat tengah hari, untuk. membuatkan hidangan pencuci mulut sebagai teman makan siang. Jika ayahku merasa tidak enak badan , pasti Huoy sudah siap untuk mengurut rengkuk atau pinggangnya.

Ayahku memakan hidangan pencuci mulut yang dibuarkan Huoy. Ia juga mau saja diurut. Tapi Huoy sendiri tidak diacuhkannya. Pelayan ayahku banyak, dan baginya Huoy cuma salah satu dari mereka. Kecuali itu juga banyak sanak kerabatnya yang berdatangan ke Phnom Penh dan masing-masing hendak mengambil muka padanya. Ayahku kaya, dan semua menginginkan sesuatu dari dia.
*************

Orang-orang membanjir masuk ke Phnom Penh dari seluruh wilayah Kamboja, dari kota-kota lain dan dari daerah-daerah pedesaan yang jauh. Penduduknya yang semula enam atau tujuh ratus ribu jiwa sudah menjadi berlipat dua, dan masih akan berlipat dua lagi. Para pendatang itu membangun gubuk-gubuk dengan menggunakan bahan seng, atau kardus, atau kajang. Mereka mengemis di jalanan, atau bekerja sebagai pelayan arau buruh kasar dengan imbalan upah yang reramat rendah. Jika punya kerabat di Phnom Penh mereka lantas menumpang tinggal di situ, berliina sampai bersepuluh sekamar, atau kalau tidak mereka datang meminjam uang. Banyak sanak-keluarga Ayah yang bermunculan di rumahnya. Saudara-saudara lelaki dan perempuannya datang dari kota tempat kelahiran mereka, Tonie Bati, yang tidak jauh letaknya dari Samrong Yong.

Saudara tirinya, Kim, yang paling sering datang. Wanita itu meminta ayahku agar dipinjami uang untuk memulai usaha baru. Ayahku rela saja memberinya. Sudah merupakan kewajiban di antara keluarga umuk saling membantu, apalagi pada waktu-waktu seperti saat itu. Selain itu ayahku juga naik gengsinya, karena menjadi andalan bagi yang lain-lainnya.

Bibi Kim tajam penciumannya kalau soal uang: ia lebih ramah terhadap ibuku ketimbang pada saudara-saudara perempuanku. Ia lebih ramah pada mereka ini ketimbang kepada Huoy. Keramahannya ditahapkan bertingkat-tingkat. Tapi sikapnya terhadap Huoy tidak bisa terlalu kasar, karena ia memerlukan aku untuk mmberinya bantuan pengobatan.

Permintaan Bibi Kim kuturuti sebisa-bisaku; karena alasan yang serupa dengan ayahku. Aku merawat suaminya yang mengidap TBC. Aku juga mengobati penyakit-penyakit ringan yang diderita anak lelaki mereka, Haing Seng. Dia ini bersikap hormat terhadapku, yang disapanya dengan sebutan, "Bang" . Berulangkali ia menyatakan rasa terima kasihnya padaku.

Dengan uang yang diperoleh dari ayahku, Bibi Kim membeli pakaian tentanra - baju, celana panjang, kaus oblong-yang kemudian dijajakannya di pasar. Ada ratusan kios seperti kepunyaannya di situ, yang secara terang-terangan menawarkan bahan-bahan perbekalan militer buatan Amerika Serikat: makanan dalam kaleng, obat pengusir nyamuk, kelambu, tempat tidur gantung, tempat tidur lipat, pisau, tas tempat peluru, magasin peluru untuk senapan M- 16, ransel, topi baja, dan pakaian tentara. Serdadu-serdadu Kamboja yang bertelanjang kaki hanya bisa dengan pandangan kepingin saja menatap sepatu-sepatu bot baru yang ditawarkan, karena tidak punya uang untuk membelinya. Hanya senjata saja satu-satunya yang tidak diperjualbelikan di kios-kios pasar yang terbuka itu, karena sudah dijual para perwira kepada komunis.

Bibi Kim belum puas dengan penghasilan yang didapatnya dari berjualan di kiosnya. Ia memintaku agar menyalurkan beras pembagian pemerintah kepadanya. Beras waktu itu merupakan barang langka karena sebagian besar dari daerah pedesaan berada di tangan komunis. Untuk menanggulangi masalah itu, pemerintah Amerika Serikat mengirim beras dari Korea. Para pegawai pemerintah, termasuk pula dokter-dokter yang melakukan pekerjaan setengah waktu dalam dinas ketentaraan seperti aku, mendapat jatah beras dua karung sebulan yang isinya masing-masing dua puluh lima kilo dengan harga jauh di bawah nilainya di pasar. Aku tidak pernah mengambil jatahku, karena aku merasa tidak layak mendapat beras dengan harga murah sementara aku mampu membelinya dengan harga penuh dari para pedagang. Tapi Bibi Kim mendesak terus. Ia mengatakan, orang-orang yang lain semuanya menjual beras pembagian pemerintah. Akhirnya aku mengalah, meski dengan perasaan enggan. Aku mengambil jatahku yang dua karung dengan harga masing-masing tujuh ribu riel, dan kujual kepadanya dengan harga pokok. Bibi Kim kemudian menjual beras itu dengan harga lima belas ribu riel sekarung. Jadi ia menarik keuntungan lebih dari seratus persen.

Di Phnom Penh, harga-harga melambung tinggi sebagai akibat langkanya barang-barang, ditambah lagi biaya pembayaran uang suap kepada para pejabat. Segala macam permainan dilakukan orang untuk mendapatkan uang. Apabila bensin yang diangkut mobil-mobil tangkiku sudah diantarkan kepada pihak yang memesan, selalu ada sedikit genangan bensin yang tersisa dalam tangki-tangki muatannya. Sopir-sopirnya menyedot bensin yang tersisa itu dan dimasukkan ke dalam botol-botol anggur. Bensin itu kemudian dicampur dengan minyak tanah, yang harganya lebih murah daripada bensin tapi menyebabkan mesin batuk-batuk, lalu dijual di pinggir jalan . Penjual bensin seperti mereka bisa dijumpai beraksi pada setiap waktu, mengacung-acungkan botol-botol mereka, berusaha menambah penghasilan. Guru-guru menjadi sopir taksi. Para dokter, mantri, perawat, tidak hadir di tempat kerja mereka, karena bekerja di klinik-klinik swasta atau berjualan obat-obatan yang dicuri dari temp at. penyimpanannya di rumah sakit. Perwira-perwira militer yang memerlukan anak buah yang benar-benar ada dan bukan "serdadu-serdadu siluman" mengerahkan truk-truk disertai pasukan-pasukan tentara malam-malam untuk menunggu di luar gedunggedung bioskop. Apabila pertunjukan film bubar, para pemuda yang keluar dipaksa naik ke atas truk-truk itu dan diangkut pergi, kecuali mereka yang punya uang sehingga bisa memberikan uang suap agar dibebaskan.

Phnom Penh sudah menjelma jadi kota bonjour. Tidak ada yang kebal terhadap gejala itu. Pada suatu hari, waktu itu tahun 1974, ayahku pergi makan angin di luar rumahnya dengan ditemani cucu lelakinya, Chy Kveng. Ayahku mengenakan kaus oblong tentara berwarna hijau yang sudah pudar, seperti yang dijual Bibi Kim di pasar. Ketika mereka berdua sedang yang dikendarai seorang polisi militer. Orang itu menjulurkan kepalanya ke luar sambil berkata, "He, Cina keparat! Berhenti! Dari mana kau mendapat baju itu? Hanya tentara yang boleh memakainya!"

Ayahku mengejap-ngejapkan matanya yang sembap dan berkata. "Tidak, baju ini sudah tua. Aku membelinya dulu, di pasar. Aku boleh saja memakainya. “

Tidak boleh, Cina bangsat, " kata polisi militer ltu.

"Kalau begitu pasar harus kalian tutup. Jangan bolehkan orang-orang menjual barang-barang militer. Selama masih dijual di pasar, orang akan membelinya. “

“Kau melanggar peraturan. Ayo naik!"

Ayahku naik ke atas truk, bersama cucunya yang berumur dua tahun. Polisi militer itu menjalankan kendaraannya berkeliling-keliling kota, sambil mengucapkan kata-kata ancaman bahwa ayah dan keponakanku akan ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Akhirnya ayahku dibebaskan lagi, setelah menyodorkan uang sebanyak delapan ribu riel.

Aku diberitahu tentang kejadian yang menimpa ayahku itu oleh Haing Seng, anak Bibi Kim, yang mendatangi aku di rumah sakit.

Habislah kesabaranku menghadapi rezim yang berkuasa. Sesudah Samrong Yong terlepas ke tangan komunis, sesudah menjatuhkan bom yang memusnahkan rumah keluargaku, sesudah membiarkan korupsi merajalela, seperti infeksi menjalari seluruh kehidupan masyarakat.

Kutukar pakaianku yang sehari-hari dengan seragam tentara yang jarang sekali kukenakan. Sementara itu pangkatku sudah dinaikkan menjadi kapten, dengan tiga palang di bahu. Aku pergi mendatangi markas besar polisi militer. Perwira yang bertugas jaga saat itu berpangkat letnan, dengan dua palang di bahunya. Ia memberi hormat dengan sikap tegak.

Aku berbicara padanya dengan suara dingin.

"Aku ingin tahu siapa yang berwenang mengawasi kawasan tempat tinggal orangtuaku. Baru saja ada orang naik truk memeras ayahku karena memakai kaus oblong tentara. Dan orang itu menghinanya, karena ia keturunan Cina. “

Akan saya periksa, Pak. “

Ya, memang, periksalah, Bangsat! Dan masih ada satu hal lagi. Kenapa kalian terus saja melakukan pemerasan di jalanan terhadap orang-orang yang tidak bersalah? Kenapa sih kalian? Belum cukup juga uang yang sudah kalian curi? Kenapa tidak hanya para pedagang di pasar saja yang kalian mintai uang suap? Atau lebih baik lagi, kenapa tidak kalian hentikan pencurian dari gudang-gudang militer yang kalian lakukan selama ini dan perangi komunis, tugas yang seharusnya kalian lakukan?”

Maaf jika ayah Anda mengalami gangguan, Pak-”

Dengar dulu, Keparat! " bentakku. "Aku tidak peduli tentang soal tidak bisa kudiamkan! Coba lihat warna kulitmu sendiri. Sarna seperti warna kulitku. Kau juga berdarah Cina. Lalu kenapa kaubiarkan saja terjadinya diskriminasi? Dasar goblok!"

Letnan itu merapatkan kedua tangannya dengan sikap memohon. Dikatakan olehnya, ia menyadari bahwa bawahannya telah berbuat salah. Ia meminta maaf, berulang-ulang. Dikatakannya, akan diselidikinya siapa orangnya yang melakukan perbuatan itu.

Akhirnya aku pergi dari situ.

Tentu saja aku tak pernah mendengar kabar siapa polisi militer yang mengendarai truk itu. Tidak ada yang dihukum. Begitulah keadaan di Phnom Penh waktu itu. Lon Nol cuma namanya saja pemimpin. Di bawahnya, ketidakbecusan dan bonjour merajalela. Mereka yang bersalah tetap bebas berkeliaran, sementara kalangan yang tidak berdaya menderita. Masyarakat kami sudah kehilangan pedoman dalam hal moral. Dan itulah sebabnya kenapa musuh bisa mengalahkan kami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar