5
KOTA BONJOUR
KETIKA Khmer Merah sudah semakln meningkat kekuatannya, mereka
mulai menggantikan peran pihak komunis Vietnam Utara dalam memerangi rezim
sayap kanan Lon Nol. Menjelang akhir tahun 1972 pasukan Khmer Merah berhasil
merebut wilayah sebelah selatan Sam rong Yong. Para gerilyawan itu pada siang
hari bersembunyi dalam hutan-hutan di dekat sana, lalu malam-malam masuk ke
desa.
Pada suatu pagi aku pergi dengan mobil ke Samrong
Yong untuk mengungsikan orangtuaku. Mereka pun berkemas-kemas. Kami buru-buru meninggalkan
desa itu ketika hari masih siang, sebelum Khmer Merah bermunculan dari dalam hutan.
Kami baru berhenti ketika sudah sampai di rumah Ayah yang satu lagi, dekat
pabrik penggergajian kayunya di kota Takhmau. Tempat itu lebih dekat ke Phnom
Penh, dan termasuk wilayah yang masih dikuasai tentara pemerintah.
Tapi hati ayahku masih tertambat pada rumahnya yang di Samrong
Yong. Ia membangun rumah itu dengan uang hasil jerih-payahnya, dan sebenarnya
ia tidak ingin pergi dari situ. Selama beberapa minggu ia setiap hari
bolak-balik dari pabrik penggergajian ke rumah itu, untuk mengangkut pergi
segala perabot dan barang-barang lainnya yang ada di situ. Tapi akhirnya ia
sial. Para gerilyawan masuk ke desa ketika hari masih siang,
dan Ayah terjebak di situ.
Ayahku bertekad, tidak mau lari dengan tangan kosong.
Dimasukkannya barang-barang berharga yang masih tersisa ke dalam dua buah koper
besar, lalu menunggu datangnya kesempatan baginya. Kemudian pasukan-pasukan
tentara Lon Nol melancarkan serangan balasan. Sebuah peluru artileri
meluncur jatuh dari langit dan mengenai sebatang pohon yang besar di sisi
rumah. Pohon itu hancur berserpih-serpih. Ayahku menyambar selembar kelambu,
selembar selimut, dan sebuah bantal, lalu pergi ke pintu belakang sambil
menuntun sepeda. Dengan sepeda itu ia menuju ke selatan, menjauhi
tembakan-tembakan artileri, semakin jauh memasuki wilayah yang dikuasai
komunis. Koper-koper yang sudah dikemas ditinggalkannya.
Keesokan harinya, ketika aku sedang kuliah, orang-orang desa
dari Samrong Yong yang tiba di Phnom Penh memberitahu abangku Pheng Huor tentang
kejadian itu. Tanpa menunggu aku lagi, abangku itu langsung pergi dengan sepeda
motor ke desa itu, yang saat itu sudah menjadi daerah tak bertuan. Di sana ia
mendengar bahwa ayahku pergi ke Chambak, lalu ketika abangku sampai di Chambak
ia mendapat keterangan bahwa Ayah pergi lebih jauh
lagi ke arah selatan.
Akhirnya abangku berhasil menemukan Ayah, dan mereka lantas
menempuh perjalanan pulang. Mereka menjauhi jalan-jalan beraspal, untuk menghindari
kemungkinan berjumpa dengan patroli musuh. Mereka mendorong sepeda lewat jalan-jalan
setapak beralas pasir dalam hutan, dan menaikinya di lintasan-lintasan gerobak
sapi menyusur pematang sawah. Ketika mereka akhirnya tiba di Phnom Penh empat
hari kemudian, kami mendengar berita bahwa sebuah pesawat T-28 pemerintah
menjatuhkan bom di atas rumah kami sehingga rumah itu rata dengan
tanah. Tapi kami tidak kembali ke sana untuk melihatnya.
Ayah sudah pernah mengalami kehilangan harta benda dalam perang
saudara yang pecah pada awal tahun lima puluhan, yakni ketika pihak gerilyawan dan
serdadu-serdadu pemerintahberganti menculiknya. Kini, pada masa awal tahun
tujuh puluhan, dalam perang saudara yang untuk kedua kalinya pecah di Kamboja,
yang berlangsung dengan skala jauh lebih besar karena kekuatan-kekuatan
luar sama-sama mengirimkan persenjataan untuk membantu orang-orang Kamboja yang
berbunuh-bunuhan, ia kehilangan rumahnya dan nyaris saja juga nyawanya sendiri.
la masih memiliki pabrik penggergajian kayu, tapi akhir
karirnya sebagai pengusaha sudah nampak membayang. Perjalanan dari pabrik ke
Phnom Penh yang dulunya bisa ditempuh dalam setengah jam saja kini memakan
waktu setengah hari, karena serdadu-serdadu yang menjaga di pos-pos pemeriksaan
semuanya minta uang suap. Apabila ia mengirimkan kayu pesanan tokoh-tokoh
politik yang penting atau kepada perwira-perwira tentara, ia tidak berani
menagih pembayaran. Ia membayar uang suap kepada walikota setempat, kepada
kepala polisi dan komandan militer, supaya mereka tidak menutup usahanya.
Bonjour,
pembayaran uang suap, sudah senantiasa merupakan bagian dari kegiatan bisnis di
Kamboja, tapi belum pernah sampai segila saat itu. Gejalanya semakin meningkat,
seirama dengan peperangan. Sebagian dari penyebabnya adalah Lon Nol sendiri,
orang yang berada di puncak hirarki kekuasaan. Berlainan dengan Sihanouk, yang
melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari rakyatnya, Lon Nol tetap bercokol
di dalam kantornya. Ia kelihatannya hanya sedikit sekali tahu tentang hal-hal
yang terjadi di daerah pedesaan, atau bahkan di Phnom Penh sendiri. Pada tahun
1971 ia mengalami infark otak yang mengakibatkan sisi kanan tubuhnya lumpuh,
dan itu menyebabkan ia semakin tidak berkutik. Bicaranya menjadi tidak bisa
ditangkap dengan jelas, dan orang-orang yang memperhatikan dirinya dengan
cermat, seperti misalnya kawanku Sam Kwil yang wartawan itu, merasa bahwa daya berpikirnya
pun ikut terganggu.
Lon Nol tidak berbuat apa-apa untuk menghentikan tindak-tindak
korupsi. Ia seolah-olah tidak menyadari bahwa bonjour ada kaitannya dengan perang, bahwa perwira-perwira yang cuma
berminat menerima uang suap saja takkan mau berperang. Lon Nol tidak mempunyai strategi
yang jelas untuk memerangi komunis. Ia cuma mendekam saja di kantornya,
menyusun rencana-rencana samar dan serba mistis untuk memulihkan Kamboja ke
keagungan masa kerajaan kuno di Angkor dulu. Ia berkonsultasi dengan para
astrolog. Ia mensponsori sebuah organisasi dengan nama Institut Khmer-Mon, yang
bertujuan membuktikan bahwa ras Khmer yang berkulit sawo matang
lebih unggul ketimbang bangsa-bangsa berkulit kuning seperti misalnya orang
Cina dan Vietnam. Di Phnom Penh, dengan penduduknya yang terdiri dari campuran
berbagai ras dan berorientasi ke Barat, ide-idenya ditanggapi
sebagai lelucon yang tidak lucu. Kami waktu itu belum sadar, bahwa ia
sangat berbahaya. Di bawah rezimnya berkobar prasangka rasial terhadap warga
Kamboja keturunan Cina, dan pasukan-pasukannya membantai ribuan
orang Kamboja dari golongan etnis Vietnam.
Setelah rekan-rekannya sesama pemimpin kudeta Kemudian meninggalkannya
dan rakyat tidak lagi menaruh kepercayaan kepadanya, Amerika Serikat
masih saja terus mendukung Lon Nol. Mereka memberinya uang dan persenjataan
untuk melanjutkan peperangan, dan karena mereka tampaknya
tidak peduli apa yang dilakukannya dengan segala pemberian itu, Lon Nol pun
lebih-lebih tak peduli lagi. Para jenderalnya menjual persenjataan itu kepada
musuh. Mereka menerakan nama-nama fiktif, atau "serdadu-serdadu siluman",
dalam daftar gaji, dan uang kelebihan pembayaran mereka kantongi sendiri.
Jenderal-jenderal itu membangun vila-vila besar untuk mereka sendiri, sementara
anak buah mereka di medan perang kelaparan karena beras perbekalan tidak
mencukupi. Para jenderal itu tidak berniat memenangkan peperangan : yang mereka
inginkan ialah bahwa perang terus berlarut, agar mereka bisa mengeruk
keuntungan sebanyak mungkin sebelum lari ke luar negeri dengan pesawat terakhir.
Kamboja sudah bukan merupakan "pulau kedamaian" lagi,
melainkan sudah menjelma jadi negeri yang berperang melawan dirinya sendiri.
Kukatakan pada ayahku, sebaiknya pabrik penggergajian dijual
saja dan ia sendiri pergi dari Kamboja. la dan ibuku memilih tinggal di mana saja
mereka mau, dengan bekal uang yang cukup untuk keperluan mereka selama hidup.
Tapi ayahku menolak. la suka tinggal di Kamboja, katanya. Malah
aku yang disarankannya agar pergi ke luar negeri. Ia bahkan menawarkan padaku
untuk menyelesaikan pendidikan kedokteran di Perancis atas biayanya.
Ini lain dari biasanya : ayahku menawarkan untuk membiayai
pendidikanku. Tapi aku menolak. Kukatakan kepada ayah dan ibuku, andaikata komunis
berhasil merebut kekuasaan, para dokter pasti takkan mereka apa-apakan.
Mustahil. Khmer Merah itu memang komunis, tapi mereka juga
orang Kamboja. Sesama orang Kamboja takkan saling menyakiti tanpa alasan. Itu
keyakin anku waktu itu, dan teman-temanku pun berpendapat begitu pula.
Bagi Ayah, aku, dan orang-orang seperti kami, Kamboja adalah
kampung halaman, satu-satunya tempat tinggal bagi kami. Kami tidak ingin pergi meninggalkannya.
Kami sama sekali tidak mengenal dunia di luar Kamboja. Bagi kami rasanya lebih
besar risikonya jika lari ke luar negeri, ketimbang tetap bertahan di Kamboja
dan menunggu sampai perang berakhir. Lagi pula, meski kami tidak menyukai rezim
Lon Nol, kami hidup makmur di bawah kekuasaannya. Salah satu hal yang aneh
sehubungan dengan peperangan itu adalah sementara keadaan di
daerah pedesaan tmakin memburuk, kehidupan di Phnom Penh malah menjadi semakin
baik. Bukan untuk kaum pengungsi, yang hidup di perkampungan darurat yang
terus tumbuh seperti cendawan dari minggu ke minggu di pinggiran kota. Bukan
untuk kalangan prajurit, yang bertelanjang kaki karena sepatu jatah mereka
dijual para perwira mereka di pasar gelap. Juga bukan untuk orang-orang dusun yang
diwajibmiliterkan oleh pihak yang satu atau yang lainnya. Tapi kalangan
"orang kaya baru" dan golongan elite-lah yang hidup bermewah-mewah.
Peperangan secara mendadak mendatangkan kemakmuran dalam ukuran yang
tidak pernah dialami sebelumnya di Phnom Penh . Belum pernah kami lihat begitu
banyaknya pesta, klub malam, mobil Mercedes, dan pelayan-pelayan seperti pada waktu
itu.
*************
Aku sendiri menjadi kaya semasa kekuasaan rezim Lon Nol.
Kekayaanku itu berawal dari suatu pertengkaran dalam keluargaku - katakanlah,
dari satu di antara sekian banyak pertempuran dalam perang saudara yang
berlarut-larut di lingkungan keluargaku.
Setelah Samrong Yong jatuh ke tangan Khmer Merah, ayahku
memutuskan untuk menetap di Phnom Penh. Mulanya ia dan ibuku tinggal bersama
abangku Pheng Huor, yang menikah dengan seorang wanita pengusaha bernama Lon Nay
Chhun. Anak mereka tiga orang, di antaranya seorang anak lelaki yang masih
kecil. Ayahku sangat sayang pada anak itu, melebihi kesayangannya kepada siapa
pun juga di duma ini. Ayahku sudah selalu mengidam-idamkan cucu lelaki untuk menemaninya
apabila ia sudah tua.
Ayahku bahkan kelihatannya lebih memperhatikan cucu
lelakinya itu, dibandingkan dengan ibu anak itu sendiri. Ipar perempuanku itu
lebih suka pergi ke pabrik penggergajian bersama abangku menghitung uang dan
menyuruh-nyuruh para pegawai, ketimbang tinggal di rumah dan mengurus anak-anak.
Pada suatu hari, ketika ayahku memintanya agar tingga! saja di
rumah dan mengurus anak-anak, Nay Chhun melakukan suatu tindakan yang luar
biasa: ia mendorong ayahku dengan tangannya. Ayahku, yang sudah
tidak teguh lagi berdirinya, jatuh terjengkang ke sebuah pagar kawat berduri
sehingga luka-luka karenanya.
Dalam masyarakat Kamboja, membantah ayah atau mertua lelaki merupakan
perbuatan tidak tahu adat. Jadi nyaris tidak bisa dibayangkan perbuatan
mendorongnya, seperti yang dilakukan iparku itu. Pelanggaran terhadap tatakrama
seperti itu bisa disamakan dengan perbuatan Lon Nol menggulingkan Sihanouk
beberapa tahun sebelum itu. Dan serupa halnya dengan kudeta terhadap Sihanouk,
perbuatan iparku mendorong Ayah menyebabkan timbulnya rangkaian panjang
peristiwa-peristiwa susulan.
Aku mengantar Ayah untuk dirawat di rumah sakit, dan dari situ
kubawa pulang ke apartemen di mana aku tinggal seorang diri. Orangtua Nay Chhun
datang untuk minta maaf, disusul kemudian oleh Nay Chhun sendiri. Kututup pintu
di depan hidung mereka. Malamnya abangku datang. la berdiri di ambang pintu.
Penampilannya serupa dengan Ayah: berwajah lebar, bersikap tenang
dan serius.
Kukatakan kepada abangku itu, ia boleh masuk jika ingin membantu
Ayah . Tapi ia harus memilih memihak Ayah, atau istrinya. Loyal kepada kcdua-duanya,
itu tidak mungkin.
Abangku membisu sesaat, mendengarkan kata-kataku. Kusangka ia
paling tidak akan minta maaf atas perbuatan Nay Chhun.
Tapi ia ternyata hanya· mengatakan,
"Aku datang ini untuk membawa Ayah pulang."
"Supaya istrimu bisa menuntaskan perbuatannya, membunuh
Ayah?" kataku. "Aku baru saja kembali dari rumah sakit, di mana
luka-lukanya kujahit-lima belas jahitan, tahu!"
Abangku tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia berbalik, lalu pergi.
Di dalam, ayahku berbaring di dipan. Wajahnya pucat. Ia
kelihatan tua dan lesu. Aku tidak bisa lagi menyembunyikan rasa cemburu dan tidak
senangku kepada abangku. "Anak lelakimu yang mana yang memperlakukan
dirimu dengan baik sekarang, Ayah?" kataku. "Sesudah sekian tahun
ini, tahukah Ayah putra yang mana yang benar-benar ingin menolongmu, dan yang
mana yang berhati batu?"
"Aku tahu, aku tahu," kata ayahku menggumam.
"Tapi lebih baik soal-soal seperti itu jangan dibicarakan."
"Sekarang Ayah tahu, tapi sudah terlambat, Ayah masih ingat
ketika Ayah menghajarku ketika aku masih kecil, ketika Ayah menyangka bahwa
aku yang mencuri kotak berisi kartu-kartu permainan itu? Ayah tahu, siapa
sebenarnya yang mengambil? Ayah tahu siapa yang mengambil milik Ayah dengan
diam-diam sejak Ayah membeli pabrik penggergajian?"
Ayah memalingkan mukanya ke dinding. Ia tahu. Dengan
tersingkirnya Pheng Huor dan Nay Chhun dari posisi mereka semula, aku mendapat kesempatan
untuk melakukan sesuatu yang sudah sejak lama kuinginkan, yakni
menelanjangi penggelapan yang dilakukan abangku di pabrik.
Aku mengadakan rapat keluarga yang dihadiri para anggota yang tergolong
dituakan, termasuk para paman dan sepupu. Karena perang, mereka semua
ada di Phnom Penh. Dan mereka semua datang, begitu pula Ayah dan abangku. Di
depan rapat kubacakan daftar harta milik Ayah yang oleh abangku secara
diam-diam dialihkan menjadi miliknya: lima mobil tangki besar pengangkut bensin,
dua buah bus, sebuah Land-Rover, dan sebuah rumah dekat pabrik
penggergajian yang disewakan oleh ayahku pada orang-orang lain. Sambil
berbicara aku menggenggam surat-surat pemilikan dari semua yang kusebutkan itu.
Tidak jelas berapa banyak uang tunai yang digelapkan abangku dari pabrik,
kataku, karena pembukuan masih ada di tangannya.
Selanjutnya kuketengahkan pokok persoalan warisan
Ayah yang tidak sedikit. Aku sendiri tidak perlu mendapat bagian, karena sudah
memperoleh nafkah dari pekerjaanku sebagai dokter. Yang perlu mendapat bagian
adalah adik-adik kami, kataku. Jika mereka bisa dipastikan akan memperoleh
bagian secara adil, maka Pheng Huor boleh mengambil bagianku.
Jasanya demi keberhasilan usaha pabrik lebih besar dari siapa pun juga kecuali
ayahku. Bagianku boleh diambilnya, asal ia mau memulangkan semua
harta milik yang dikangkanginya selama itu kepada Ayah.
Kupandangi sanak-kerabatku yang ada dalam ruangan.
Mereka mengangguk-angguk setuju. Segala kata-kata tadi kuucapkan dengan
perhitungan bahwa ketamakan Pheng Huor akan mendorongnya untuk mengaku bahwa ia
sudah berbuat salah. Tapi aku ternyata salah duga.
Ketika ditanya kenapa ia mengalihkan pemilikan atas segala harta
kekayaan itu menjadi atas namanya, ia menjawab dengan tenang, "Aku sudah
bekerja keras. Jadi sudah selayaknya kujadikan milikku. Dan aku perlu memiliki
sesuatu untuk anak-anakku, untuk berjaga-jaga kalau terjadi sesuatu dengan
diriku."
"Kau tidak berpikir tentang orang lain, yang juga punya
anak-anak?" tukasku pedas.
Abangku menyilangkan kedua tangannya sambil mengangkat bahu.
"Alasan lainnya adalah peraturan pemerintah, " katanya. "Ayah
orang Cina, tapi ia tidak mau memiliki kartu identitas Cina. Ada beberapa
kontrak tertentu yang urusannya lebih mudah jika aku yang menandatanganinya.”
“Itu tidak benar, dan kau sendiri juga mengetahuinya,"
kataku. "Aku kan membantumu menangani urusan administrasi. Hanya sedikit
sekali bidang usaha yang tidak diizinkan pemerintah dimasuki orang-orang Cina,
baik dengan maupun tanpa kartu identitas. Memang bukan tidak ada masalah
rasial di negeri ini, tapi tidak sampai sejauh itu.”
“Ini bukan saat yang baik untuk membicarakan urusan bisnis,"
kata abangku. "Kurasa kita semestinya bersyukur, aku berhasil
menyelamatkan Ayah dari tangan komunis. Jika bukan karena aku, mungkin ia
sekarang sudah tidak ada lagi."
Meski sudah berusaha, tak seorang pun dari kami bisa membuat
abangku itu mengaku bahwa ia sudah berbuat salah. Setiap kali ia selalu saja mampu
membelokkan pertanyaan. Ia tidak mau membalik-namakan mobil-mobil tangki bensin dan
milik yang lain-lainnya kembali kepada Ayah. Tawaranku, bahwa
ia boleh memiliki bagianku dari warisan kami, sama sekali tidak digubrisnya.
Rapat itu berakhir tanpa hasil kongkret. Ayahku sedikit pun
tidak bicara. Ia tidak tahu tindakan apa yang harus diambil. Ia dihina menantu perempuannya,
dengan perbuatan mendorongnya sampai jatuh. Anak lelakinya mencuri harta miliknya.
Tapi mungkin ia beranggapan lebih baik anak lelakinya sendiri yang mencuri,
ketimbang orang lain.
Sebulan kemudian ayahku sendiri yang mengadakan rapat keluarga.
Anak-anaknya hadir semua, kecuali Pheng Huor, anak lelakinya yang nomor dua,
dan anak lelakinya yang nomor satu, yang berotak lamban; dia ini pergi
meninggalkan lingkungan keluarga setelah bertengkar dengan ayah. Ada
enam anak Ayah dalam ruangan tempat rapat itu. Semuanya sudah dewasa dan sudah
menikah, kecuali aku. Di atas sebuah piring ada dua belas potong kertas yang
masing-masing digumpalkan. Keenam anak Ayah mengambil gumpalan kertas itu,
masing-masing dua buah. Pada sisi dalam dari setiap kertas tertulis nomor kendaraan
mobil-mobil tangki bensin yang berukuran dua ribu lima ratus galon. Mobil-mobil
itu menjadi milik kami sekarang, begitu pula halnya dengan kontrak-kontrak
pengangkutan, hubungan-hubungan bisnis, dan para pegawai. Ayah sudah mulai
membagi-bagikan harta warisannya.
Usaha pengangkutan bensin ternyata merupakan cara yang gampang
untuk mendapat uang. Kami menjalankan mobil-mobil tangki kami secara bekerjasama,
termasuk pula dengan Pheng Huor. Dalam waktu yang tidak lama, dengan keuntungan
yang kuperoleh dari bisnis itu, ditambah uang tabungan yang berasal dari
pekerjaan sambilanku sebagai dokter, aku sudah bisa membayar harga yang diminta
untuk menjadi pemilik klinik bersalin di mana aku selama itu bekerja. Tanpa
banyak membuang kata-kata, aku berdamai dengan Pheng Huor. Aku menaruh respek terhadap
kemampuannya sebagai pengusaha. Ia menaruh respek padaku karena berani membuka mulut
terhadapnya. Ia tidak pernah mencurangi aku, dan sejak itu kami tidak pernah
bertengkar lagi.
Aku mampu menjalankan usaha pengangkutan bahan bakar, melakukan
dua pekerjaan di bidang kedokteran sambil kuliah terus, adalah berkat Huoy. Ia
sendiri sudah bekerja sebagai guru sekolah, tapi ia juga menangani urusan
pembukuan bagiku serta mengawasi pegawai-pegawaiku. Kami sama-sama bekerja
keras. Dalam memberi instruksi-instruksi kepada para pengawai, Huoy harus memaksa
diri mengatasi sifat pemalunya. Ia merasa kesal jika harus menjumlahkan deretan
angka-angka yang panjang apabila sedang capek. Tapi bagaimanapun juga ia leb h
bisa menangani urusan bisnis ketimbang aku. Aku masih tetap saja manusia
berangasan, yang langsung naik darah apabila ada pejabat pemerintah minta uang semir.
Huoy menenangkan aku, dan ia yang mengatakan padaku kapan kita mau tidak mau harus
membayar, dan kapan kita bisa menghindarinya.
Aku dan Huoy, bersama-sama berhasil mengumpulkan uang dalam
jumlah yang jauh lebih banyak ketimbang yang pernah kaini bayangkan sebelumnya.
Kami mulai biasa makan-makan di restoran setiap malam. Aku membeli sebuah mobil
Mercedes. Huoy kubelikan gaun-gaun buatan Perancis, gelang emas, giwang bermata
intan . Aku yang membayar sewa apartemennya. ltu sudah sepantasnya, karena kami
berniat akan menikah. Satu-satunya yang menjadi pikiran kami adalah kapan niat
itu bisa dilaksanakan.
Ayah tidak berkeberatan terhadap Huoy, tapi menurut keyakinannya
seorang gadis calon menantunya harus bisa membuktikan bahwa ia pantas menjadi
menantu . Karenanya aku dan Huoy mengorbankan waktu bersama kami berdua saat
makan siang untuk mencoba melunakkan sikap Ayah. Setiap hari Huoy datang ke
rumah orangtuaku pada saat tengah hari, untuk. membuatkan
hidangan pencuci mulut sebagai teman makan siang. Jika ayahku merasa tidak enak
badan , pasti Huoy sudah siap untuk mengurut rengkuk atau pinggangnya.
Ayahku memakan hidangan pencuci mulut yang dibuarkan Huoy. Ia
juga mau saja diurut. Tapi Huoy sendiri tidak diacuhkannya. Pelayan ayahku
banyak, dan baginya Huoy cuma salah satu dari mereka. Kecuali itu juga banyak
sanak kerabatnya yang berdatangan ke Phnom Penh dan masing-masing hendak
mengambil muka padanya. Ayahku kaya, dan semua menginginkan sesuatu dari dia.
*************
Orang-orang membanjir masuk ke Phnom Penh dari seluruh wilayah
Kamboja, dari kota-kota lain dan dari daerah-daerah pedesaan yang jauh.
Penduduknya yang semula enam atau tujuh ratus ribu jiwa sudah menjadi berlipat
dua, dan masih akan berlipat dua lagi. Para pendatang itu membangun gubuk-gubuk
dengan menggunakan bahan seng, atau kardus, atau kajang. Mereka mengemis di
jalanan, atau bekerja sebagai pelayan arau buruh kasar dengan imbalan upah yang
reramat rendah. Jika punya kerabat di Phnom Penh mereka lantas menumpang
tinggal di situ, berliina sampai bersepuluh sekamar, atau kalau tidak mereka
datang meminjam uang. Banyak sanak-keluarga Ayah yang bermunculan di rumahnya.
Saudara-saudara lelaki dan perempuannya datang dari kota tempat kelahiran mereka,
Tonie Bati, yang tidak jauh letaknya dari Samrong Yong.
Saudara tirinya, Kim, yang paling sering datang. Wanita itu
meminta ayahku agar dipinjami uang untuk memulai usaha baru. Ayahku rela saja memberinya.
Sudah merupakan kewajiban di antara keluarga umuk saling membantu, apalagi pada
waktu-waktu seperti saat itu. Selain itu ayahku juga naik gengsinya, karena menjadi andalan
bagi yang lain-lainnya.
Bibi Kim tajam penciumannya kalau soal uang: ia lebih ramah
terhadap ibuku ketimbang pada saudara-saudara perempuanku. Ia lebih ramah pada mereka
ini ketimbang kepada Huoy. Keramahannya ditahapkan bertingkat-tingkat. Tapi
sikapnya terhadap Huoy tidak bisa terlalu kasar, karena ia memerlukan aku untuk
mmberinya bantuan pengobatan.
Permintaan Bibi Kim kuturuti sebisa-bisaku; karena alasan yang serupa
dengan ayahku. Aku merawat suaminya yang mengidap TBC. Aku juga mengobati
penyakit-penyakit ringan yang diderita anak lelaki mereka, Haing Seng. Dia ini bersikap
hormat terhadapku, yang disapanya dengan sebutan, "Bang" . Berulangkali
ia menyatakan rasa terima kasihnya padaku.
Dengan uang yang diperoleh dari ayahku, Bibi Kim membeli pakaian
tentanra - baju, celana panjang, kaus oblong-yang kemudian dijajakannya di
pasar. Ada ratusan kios seperti kepunyaannya di situ, yang secara terang-terangan
menawarkan bahan-bahan perbekalan militer buatan Amerika Serikat: makanan
dalam kaleng, obat pengusir nyamuk, kelambu, tempat tidur gantung,
tempat tidur lipat, pisau, tas tempat peluru, magasin peluru untuk senapan M-
16, ransel, topi baja, dan pakaian tentara. Serdadu-serdadu Kamboja yang bertelanjang
kaki hanya bisa dengan pandangan kepingin saja menatap sepatu-sepatu bot baru yang
ditawarkan, karena tidak punya uang untuk membelinya. Hanya senjata saja
satu-satunya yang tidak diperjualbelikan di kios-kios pasar yang terbuka itu,
karena sudah dijual para perwira kepada komunis.
Bibi Kim belum puas dengan penghasilan yang didapatnya dari
berjualan di kiosnya. Ia memintaku agar menyalurkan beras pembagian pemerintah kepadanya.
Beras waktu itu merupakan barang langka karena sebagian besar dari daerah pedesaan
berada di tangan komunis. Untuk menanggulangi masalah itu, pemerintah Amerika Serikat
mengirim beras dari Korea. Para pegawai pemerintah, termasuk pula dokter-dokter
yang melakukan pekerjaan setengah waktu dalam dinas ketentaraan seperti aku,
mendapat jatah beras dua karung sebulan yang isinya masing-masing dua puluh
lima kilo dengan harga jauh di bawah nilainya di pasar. Aku tidak pernah
mengambil jatahku, karena aku merasa tidak layak mendapat beras dengan harga
murah sementara aku mampu membelinya dengan harga penuh dari para pedagang. Tapi
Bibi Kim mendesak terus. Ia mengatakan, orang-orang yang lain
semuanya menjual beras pembagian pemerintah. Akhirnya aku mengalah, meski
dengan perasaan enggan. Aku mengambil jatahku yang dua karung dengan harga masing-masing
tujuh ribu riel, dan kujual kepadanya dengan harga pokok. Bibi Kim kemudian menjual
beras itu dengan harga lima belas ribu riel sekarung. Jadi ia menarik
keuntungan lebih dari seratus persen.
Di Phnom Penh, harga-harga melambung tinggi sebagai akibat
langkanya barang-barang, ditambah lagi biaya pembayaran uang suap kepada para pejabat.
Segala macam permainan dilakukan orang untuk mendapatkan uang. Apabila bensin
yang diangkut mobil-mobil tangkiku sudah diantarkan kepada pihak yang memesan,
selalu ada sedikit genangan bensin yang tersisa dalam tangki-tangki muatannya.
Sopir-sopirnya menyedot bensin yang tersisa itu dan dimasukkan ke dalam botol-botol
anggur. Bensin itu kemudian dicampur dengan minyak tanah, yang harganya lebih
murah daripada bensin tapi menyebabkan mesin batuk-batuk, lalu dijual di
pinggir jalan . Penjual bensin seperti mereka bisa dijumpai beraksi pada setiap
waktu, mengacung-acungkan botol-botol mereka, berusaha menambah penghasilan.
Guru-guru menjadi sopir taksi. Para dokter, mantri, perawat, tidak hadir di
tempat kerja mereka, karena bekerja di klinik-klinik swasta atau berjualan
obat-obatan yang dicuri dari temp at. penyimpanannya
di rumah sakit. Perwira-perwira militer yang memerlukan anak buah yang
benar-benar ada dan bukan "serdadu-serdadu siluman" mengerahkan truk-truk
disertai pasukan-pasukan tentara malam-malam untuk menunggu di luar
gedunggedung bioskop. Apabila pertunjukan film bubar, para pemuda yang keluar
dipaksa naik ke atas truk-truk itu dan diangkut pergi, kecuali mereka yang
punya uang sehingga bisa memberikan uang suap agar dibebaskan.
Phnom Penh sudah menjelma jadi kota bonjour. Tidak ada yang kebal terhadap gejala itu. Pada suatu hari, waktu
itu tahun 1974, ayahku pergi makan angin di luar rumahnya dengan ditemani cucu lelakinya,
Chy Kveng. Ayahku mengenakan kaus oblong tentara berwarna hijau yang sudah
pudar, seperti yang dijual Bibi Kim di pasar. Ketika mereka berdua sedang yang
dikendarai seorang polisi militer. Orang itu menjulurkan kepalanya ke luar
sambil berkata, "He, Cina keparat! Berhenti! Dari mana kau mendapat baju
itu? Hanya tentara yang boleh memakainya!"
Ayahku mengejap-ngejapkan matanya yang sembap dan berkata.
"Tidak, baju ini sudah tua. Aku membelinya dulu, di pasar. Aku boleh saja memakainya.
“
“Tidak boleh, Cina bangsat, " kata polisi militer ltu.
"Kalau begitu pasar harus kalian tutup. Jangan bolehkan
orang-orang menjual barang-barang militer. Selama masih dijual di pasar, orang
akan membelinya. “
“Kau melanggar peraturan. Ayo naik!"
Ayahku naik ke atas truk, bersama cucunya yang berumur dua
tahun. Polisi militer itu menjalankan kendaraannya berkeliling-keliling kota,
sambil mengucapkan kata-kata ancaman bahwa ayah dan keponakanku akan ditangkap
dan dijebloskan ke penjara. Akhirnya ayahku dibebaskan lagi, setelah menyodorkan
uang sebanyak delapan ribu riel.
Aku diberitahu tentang kejadian yang menimpa ayahku itu oleh
Haing Seng, anak Bibi Kim, yang mendatangi aku di rumah sakit.
Habislah kesabaranku menghadapi rezim yang berkuasa. Sesudah
Samrong Yong terlepas ke tangan komunis, sesudah menjatuhkan bom yang memusnahkan
rumah keluargaku, sesudah membiarkan korupsi merajalela, seperti infeksi
menjalari seluruh kehidupan masyarakat.
Kutukar pakaianku yang sehari-hari dengan seragam tentara yang
jarang sekali kukenakan. Sementara itu pangkatku sudah dinaikkan menjadi kapten,
dengan tiga palang di bahu. Aku pergi mendatangi markas besar polisi militer.
Perwira yang bertugas jaga saat itu berpangkat letnan, dengan dua palang di
bahunya. Ia memberi hormat dengan sikap tegak.
Aku berbicara padanya dengan suara dingin.
"Aku ingin tahu siapa yang berwenang mengawasi kawasan
tempat tinggal orangtuaku. Baru saja ada orang naik truk memeras ayahku karena memakai
kaus oblong tentara. Dan orang itu menghinanya, karena ia keturunan Cina. “
“Akan saya periksa, Pak. “
“Ya, memang, periksalah, Bangsat! Dan masih ada satu hal lagi.
Kenapa kalian terus saja melakukan pemerasan di jalanan terhadap orang-orang yang
tidak bersalah? Kenapa sih kalian? Belum cukup juga uang yang sudah kalian
curi? Kenapa tidak hanya para pedagang di pasar saja yang kalian mintai uang
suap? Atau lebih baik lagi, kenapa tidak kalian hentikan pencurian dari gudang-gudang
militer yang kalian lakukan selama ini dan perangi komunis, tugas yang
seharusnya kalian lakukan?”
“Maaf jika ayah Anda mengalami gangguan, Pak-”
“Dengar dulu, Keparat! " bentakku. "Aku tidak peduli
tentang soal tidak bisa kudiamkan! Coba lihat warna kulitmu sendiri. Sarna
seperti warna kulitku. Kau juga berdarah Cina. Lalu kenapa kaubiarkan saja terjadinya
diskriminasi? Dasar goblok!"
Letnan itu merapatkan kedua tangannya dengan sikap memohon.
Dikatakan olehnya, ia menyadari bahwa bawahannya telah berbuat salah. Ia
meminta maaf, berulang-ulang. Dikatakannya, akan diselidikinya siapa orangnya
yang melakukan perbuatan itu.
Akhirnya aku pergi dari situ.
Tentu saja aku tak pernah mendengar kabar siapa polisi militer
yang mengendarai truk itu. Tidak ada yang dihukum. Begitulah keadaan di Phnom
Penh waktu itu. Lon Nol cuma namanya saja pemimpin. Di bawahnya,
ketidakbecusan dan bonjour
merajalela. Mereka yang bersalah tetap bebas berkeliaran, sementara kalangan
yang tidak berdaya menderita. Masyarakat kami sudah kehilangan pedoman dalam
hal moral. Dan itulah sebabnya kenapa musuh bisa mengalahkan kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar