6
PHNOM
PENH JATUH
SELAMA
sekian tahun berkecamuknya perang saudara, tidak banyak yang kuketahui tentang Khmer
Merah. Bahkan punya perasaan ingin tahu saja pun tidak. Seperti kebanyakan
orang Kamboja, aku tidak mau repot-repot berusaha mengetahui tentang hal-hal
yang berada di luar jangkauan cakrawalaku. Selain itu informasi mengenainya memang
tidak banyak, kecuali yang bertujuan propaganda- Khmer Merah mempunyai sebuah pemancar
radio gelap, tapi siaran-siarannya tidak menyebutkan bagaimana sebenarnya
kelompok gerilyawan itu, begitu pula apa sebetulnya yang mereka kehendaki. Di
Phnom Penh, rezim Lon Nol mengontrol sebagian besar dari media massa yang ada:
mereka memiliki stasiun TV dan stasiun radio yang ada dua, sementara dengan
jalan tindakan sensor dan penekanan mereka bisa membuat kebanyakan surat kabar
milik swasta tetap jinak dan patuh. Untungnya masih ada segelintir wartawan
yang berani mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka, meski itu tidak selalu.
bisa dituliskan.
Salah
seorang wartawan itu temanku Sam Kwil. Ia selalu keluyuran dengan sepeda
motomya mendatangi berbagai medan pertempuran, jadi karenanya ia sedikit-banyak
tahu secara langsung tentang Khmer Merah. Ia bercerita padaku, para gerilyawan
itu banyak sekali tipu dayanya. Misalnya saja, apabila satuan-satuan mereka
kalah bertempur, kadang-kadang para gerilyawan itu lantas menguburkan pakaian
seragam dan senjata mereka, mengenakan pakaian penduduk biasa dan bersikap seolah-olah
mereka petani yang tidak tahu apa-apa. Apabila ada yang tewas dalam
pertempuran, mayat mereka buru-buru diangkut pergi oleh rekan-rekan sesama
gerilyawan agar serdadu-serdadu Lon Nol tidak menemukan satu korban pun di
pihak lawan. Orang-orang komunis itu sangat menguasai siasat perang saraf, kata
Sam Kwil padaku. Pasukan-pasukan Lon Nol yang bergerak maju untuk menyergap
suara ramai di kawasan pedesaan yang kedengarannya seperti rapat besar dan
bersemangat yang diadakan oleh Khmer Merah, sesampai di lokasi itu hanya akan
menemukan sebuah tape recorder dan
sejumlah alat pengeras suara - serta ranjau-ranjau darat yang dipasang di
sekitar pohon temp at perlengkapan pembangkit suara itu digantungkan. Pasukan-pasukan
pemerintah yang datang kemudian akan menjumpai mayat-mayat prajurit Lon Nol
dengan perut dirobek dan isinya diganti dengan rumput dan dedaunan yang
dijejalkan ke dalamnya. Kadang-kadang dibunuh pula penduduk sipil yang tidak
tahu apa-apa dan dirusak mayatnya, untuk membuat ngeri penduduk yang
selebihnya.
Cerita
Sam Kwil padaku tentang praktek-praktek mengerikan yang dilakukan oleh Khmer Merah
sesuai dengan desas-desus yang pada tahun 1974 mulai beredar di Phnom Penh.
Orang-orang di pasar mengatakan bahwa para gerilyawan membunuhi penduduk dengan
jalan menggergaji leher mereka dengan pelepah daun pohon aren yang berduri-duri
tajam. Tapi justru desas-desus seperti itulah yang sudah kuperkirakan akan tersebar
di pasar-pasar, diteruskan dan semakin dibesar-besarkan oleh orang-orang yang
gampang percaya.
Jika
aku tidak banyak berpikir tentang Khmer Merah, sebabnya adalah karena menurutku
mereka takkan lebih buruk ketimbang rezim Lon Nol. Bahkan Sam Kwil pun
sependapat dengan aku tentang itu. Untuk setiap cerita yang kami dengar tentang
kekejaman Khmer Merah, ada beberapa tandingannya yang mengenai rezim Lon Nol umumnya
tindakan pembantaian terhadap penduduk sipil dari golongan etnis Vietnam, yang nampaknya
lebih dibenci serdadu-serdadu Lon Nol ketimbang golongan etnis Cina. Setiap
hari selalu ada saja cerita tentang serdadu-serdadu pemerintah yang mencuri
ayam dan ternak lainnya dari kaum penduduk di desa-desa, atau memasang
rintangan di jalan-jalan untuk mengumpulkan bonjour,
Tapi tidak pernah terdengar cerita tentang Khmer Merah 'mencuri apa pun juga,
bahkan secarik kertas atau sebutir beras saja pun tidak, Para gerilyawan ltu
kabarnya sangat mematuhi pedoman perilaku yang ketat: tidak boleh berjudi,
tidak boleh menganiaya petani, dan yang paling utama, tidak boleh korupsi.
Setelah mengalami rezim Lon Nol yang berbau busuk, kaum komunis itu kesannya
seperti embusan angin segar dan. bersih.
Selain
itu aku juga mengenal beberapa orang yang menjadi anggota Khmer Merah, meski
tidak bisa dibilang kenaI baik: Chea Huon, guruku dulu di sekolah menengah,
yang masuk ke hutan setelah dibebaskan dari penjara; anak lelaki Bibi Kim,
Haing Meng (abang Haing Seng), yang lari masuk hutan pada tahun 1967; dan
beberapa rekan di sekolah kedokteran yang menghilang setelah terjadi kudeta
oleh kelompok Lon Nol. Ada seorang sepupu Huoy dari Kampot yang menjadi perwira
Khmer Merah, tapi Huoy sejak beberapa tahun belakangan tidak pernah lagi bertemu
dengan sepupunya itu. Hampir setiap orang di Phnom Penh punya kawan atau
sanakkerabat yang berada di pihak lawan.
Lalu
ada pula Sihanouk. Dibandingkan dengan Lon Nol, yang bahkan oleh kalangan
bawahannya yang terdekat pun dibenci, Sihanouk merupakan tokoh yang sangat
dihormati. Meski Sihanouk oleh Khmer Merah hanya dijadikan pemimpin boneka
saja, sulit rasanya membayangkan kemungkinan bahwa ia mau menjadi lambang perjuangan
yang kejam atau bersifat laknat. Sihanouk mendatangi kawasan-kawasan Kamboja yang
sudah "dibebaskan". Ia masih terus berpidato pada kami lewat radio, dari
Peking. Yang menjadi perdana menteri pada pemerintahan dalam pengasingannya
adalah Penn Nouth, pengacara yang mengusahakan dibebaskannya kembali abangku
menyusul kejadian di pabrik penggergajian milik ayahku waktu itu. Memang, ada
juga berita-berita yang mengatakan bahwa Sihanouk, Penn Nouth, dan kelompok
mereka mulai kehilangan pengaruh dalam Khmer Merah. Kabarnya, pemimpin mereka
yang sebenarnya adalah seseorang bernama Khieu Samphan. Berita itu tidak mengusik
perasaanku. Khieu Samphan itu dulunya editor surat kabar, anggota badan
legislatif, dan pernah menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Ia hidup
sederhana dan membenci korupsi. Pada masa silam aku pernah melihatnya sedang
naik sepeda di Phnom Penh.
Pada
tahun 1973 Amerika Serikat menghentikan operasi-operasi pemboman udaranya di
atas Phnom Penh, dan sejak itu hanya memberikan perbekalan senjata dan uang
saja. Sampai dengan tahun 1974 Khmer Merah sudah mengambil-alih hampir seluruh peranan
Vietnam Utara di pihak komunis dalam perang di Kamboja. Serangan yang dilancarkan
Khmer Merah umumnya secara kecil-kecilan, belasan orang tewas terbunuh di sini,
dua puluhan di sana; tapi ketika mereka mulai mengepung Phnom Penh dan
menghadapi keseluruhan divisi Lon Nol, mereka melakukan serangan secara besar-besaran,
gelombang demi gelombang. Korban yang jatuh di kedua pihak sangat besar.
Khmer
Merah semakin sering saja melakukan serangan langsung terhadap kota Phnom Penh;
itu merupakan bagian dari perang saraf mereka. Mereka mempergunakan artileri
buatan Cina atau Amerika Serikat. Kami yang berada di dalam kota bisa mendengar
bunyi tembakan-tembakan meriam di kejauhan, disusul bunyi ledakan bertubi-tubi.
Mereka juga menggunakan senjata roket. Itu lebih mengerikan lagi karena
bunyinya sewaktu melayang di udara: klekklekklek-klek-klek
klek klek, bertambah lambat pada saat mulai menukik, klek, klek, klek, lalu jedum!
Begitu peluru-peluru artileri dan roket sudah mencapai sasaran, kami bergegas
keluar untuk melihat apa yang kena; kadang-kadang itu sebuah rurnah di blok
sebelah, di mana para tetangga sernentara itu sudah ribm berusaha rnengeluarkan
para korban dari dalarn relUntuhan. Kernudian biasanya angkatan udara rnengerahkan
pesawat-pesawat T-28-nya untuk mernbungkam serangan artileri dan roket itu, dan
karni melihat pesawat-pesawat kecil itu menukik di seberang sungai ke arah
pucuk-pucuk pepohonan yang ada di sana lalu rnelepaskan bom-bom, dan kernudian
dengan cepat rnenanjak lagi sementara dari arah seberang sungai terdengar bunyi
ledakan bertubi-tubi. Pohon-pohon kelapa dan rumah-rumah nampak terang di
tengah kobaran api, dan asap hitam rnengepul ke udara. Pemerintah melakukan
perlawanan, dan pasukan-pasukannya bertempur dengan gigih; tapi setiap kali
kepungan Khmer Merah menjadi sedikit bertambah erat. Takhmau, kota tempat pabrik
penggergajian ayahku, jatuh ke tangan gerilyawan, dan bisnis ayahku tamat untuk
selama-Iamanya.
Sementara
jalan-jalan sudah terputus semuanya, sementara konvoi terakhir dengan kawalan
bersenjata menyeberangi sungai, sementara para pedagang mengirimkan emas dan
anak-anak gadis mereka ke Iuar negeri dan pesawat-pesawat terbang yang mendarat
dan tinggal-landas di bandar udara melakukannya dengan melingkar-lingkar dengan
garis tengah sempit, kami yang tetap tinggal mulai berusaha menyesuaikan diri.
Aku sendiri heran jika mengingatnya Iagi sekarang, tapi waktu itu kebanyakan dari
kami berbuat seolah-olah kehidupan berjalan seperti biasa saja, hampir-hampir
normal. Kami berpegang teguh pada keyakinan bahwa Phnom Penh merupakan pulau
kecil yang damai dan keadaannya akan tetap begitu terus. Bahkan dalam bulan
Maret dan awal April 1975 pun masih bisa dijumpai serdadu-serdadu tanpa sepatu
asyik menenggak arak pada siang hari dan terkapar tidur di tempat-tempat yang
teduh. Hampir setiap malam aku dan Huoy pergi makan-makan di restoran, naik
Mercedes. Hidangan yang disajikan masih tetap Iezat. Minuman cognac berlimpah. Aku waktu itu yakin
seyakin-yakinnya bahwa pasti nanti akan ada negosiasi, bahwa pada saat terakhir
kedua pihak yang bersengketa akan sama-sama memperlunak sikap dan mau
mengadakan kompromi. Berkompromi, menghindari konflik, sompeah dengan kedua tangan dirapatkan: kehalusan itu sudah selalu
memainkan peran utama dalam pola kehidupan Kamboja. Sisi gelap dari kebudayaan
kami, yang keji dan ganas, merupakan hal yang aku tidak suka memikirkannya.
"Sayang,"
kata Huoy padaku ketika pada suatu kali kami sedang makan malam, "kenapa
tidak kau jual saja mobil-mobil tangki itu dan kau cepat-cepat pergi sekarang,
mumpung masih· bisa? Kau kan mampu membeli karcis pesawat terbang untuk pergi
ke mana pun juga di luar negeri."
Aku
memandang ke arahnya dengan jengkel. "Phnom Penh takkan jatuh, itulah
sebabnya," kataku ketus. Sudah seminggu lamanya aku tidak sempat tidur
sepanjang malam, sibuk mengoperasi serdadu-serdadu yang luka di rumah sakit
teritara. "Aku ini sekarang sedang capek. Bagaimana jika kita tidak
membicarakan soal itu ? Kita makan saja dengan nikmat, ya?"
Bahkan
ketika Khmer Merah sudah mengepung daerah pinggiran kota dan serangan artileri
terjadi setiap hari, ada suatu rintangan mental yang menyebabkan aku masih saja
belum bisa menerima kenyataan yang tidak bisa dielakkan lagi. Pada tanggal 12
April 1975 isi kota diungsikan oleh Amerika dengan menggunakan pesawat-pesawat
helikopter. Seorang temanku, pilot angkatan udara rezim Lon Nol, menawarkan
diri untuk mengatur agar aku, Huoy, dan Emak bisa ikut pergi dengan helikopter
Amerika, tapi aku menolak. Aku memperhatikan helikopter-helikopter itu
membubung ke udara di kejauhan, seperti capung-capung raksasa, mengambang lalu
meluncur pergi dengan derunya yang nyaring dan berisik.
Tanggal
16 April, aku diundang makan malam di rumah seorang kawan lama. Kawanku itu mengatakan,
"lni malam terakhir bagi kita semua, dan bagi kebahagiaan dalam
keluarga-keluarga kiq. Mungkin ini terakhir kalinya kita bisa berkumpul seperti
ini." Terdengar jelas bunyi tembakan-tembakan artileri di luar, tapi aku masih
saja tidak mau percaya. ltu sifat kepala batuku. Jika ada orang mengatakan
sesuatu kepadaku, aku pasti langsung yakin bahwa sebaliknyalah yang benar.
Sesudah
acara makan-makan itu aku pergi ke rumah Huoy, dan tiba di situ sekitar pukul sepuluh.
Kujumpai Huoy dalam keadaan gugup. Tembakan artileri menghujan di segala arah, ledakan-Iedakan
menyebabkan langit malam nampak benderang. Huoy memohon-mohon agar aku menginap
saja di situ. Ibunya juga berusaha menahanku. Kukatakan pada mereka, masih ada beberapa
pasien yang menunggu dan mereka tidak perlu cemas.
Dengan
Vespa 150 cc-ku yang putih aku berangkat dari rumah Huoy yang letaknya dekat pasar
pusat menuju rumah orangtuaku, dekat Stadion Olimpik. Sejak pertengkaran besar
dalam keluargaku pada tahun 1972, hubunganku dengan orangtuaku baik-baik saja.
Kapan saja mereka minta, aku selalu siap mengantar dengan Mercedes-ku. Aku
merawat gangguan darah tinggi mereka serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya.
Gengsi mereka naik karena punya anak lelaki yang jadi dokter dan yang mengurus
mereka sebaik yang kulakukan. Ya, sementara itu aku sudah meraih gelar dokter.
Pada bulan Februari 1975, akhirnya aku mendapat gelarku. Dengan status
profesionalku yang baru, sikap Ayah pun melunak. Kurasa ia kini pasti mau
mengizinkan aku menikah dengan Huoy.
"Tidur
sajalah di sini malam ini , " kata Ayah ketika aku masuk, "supaya
kita jangan terpencar-pencar. "Kukatakan padanya bahwa aku masih harus ke
klinik untuk melihat pasien-pasienku di sana. Kuulangi kata-kata yang entah
sudah berapa kali kuucapkan, yakni apabila Khmer Merah masuk ke kota,
dokter-dokter takkan mereka apa-apakan. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku bahkan
menempelkan stiker Palang Merah di belakang Vespa-ku. Dengannya semua akan tahu
bahwa aku bekerja di bidang kesehatan. Takkan ada yang mencederai diriku.
Abangku
Pheng Huor datang dari rumahnya yang bersebelahan dengan rumah orangtuaku.
"Jika
kau harus pergi juga," katanya, "setidak-tidaknya berhati-hatilah.
Kami semua menunggumu di sini. Jika nanti terjadi sesuatu, kusarankan agar
kautinggalkan saja Vespa-mu. Dalam situasi seperti sekarang ini, lebih aman
jika berjalan kaki."
Dalam
situasi seperti apa? Kata-kata itu mengganggu pikiranku sementara aku menuju ke
apartemenku untuk berganti pakaian. Beberapa temanku menginap di situ. Mereka
tidur di lantai.
"Kelihatannya
gawat, " kata salah seorang dari mereka, sambil menegakkan tubuh dengan
bertopang siku. "Pemerintah takkan bisa bertahan terus."
"Mereka
pasti sanggup. Sudah, tidur sajalah kembali. Semuanya pasti akan beres."
Selesai
berganti pakaian, aku pergi lagi dengan Vespa-ku, sekali ini ke klinik.
Jalan-jalan yang kulalui sunyi. Hanya sekali-sekali saja terdengar bunyi
tembakan. Mesin Vespa-ku batuk-batuk, tapi kendaraan itu berjalan terus. Bahan
bakarnya payah, tercampur minyak tanah. Seluruh staf klinik ada di tempat,
empat perawat, empat bidan, dan penjaga klinik; tapi dokter-dokter, tidak seorang
pun muncul. "Mungkin mereka takut kena peluru," kata perawat yang
paling kecil tubuhnya, yang bernama Srei.· "Saya juga takut, Dokter: Jika
Anda nanti pergi, saya ingin ikut."
"Jangan
bicara begitu! " tukasku. "Tidak seorang pun boleh pergi! Kita semua
terus bekerja di sini, seperti biasa."
Setengah
lusin orang yang luka-luka dan beberapa wanita yang akan melahirkan sudah
menungguku ·di klinik malam itu. Aku harus bekerja. Tanganku seolah-olah
bekerja secara otomatIs, sementara aku memeriksa dan meraba, membedah dan
menjahit. Aku mulai berpikir. Apa sebabnya orang-orang dengan siapa aku bicara
malam itu semuanya mengatakan hal yang sama? Naluri apakah yang mereka punyai
tetapi yang tidak ada padaku? Apakah yang mereka ketahui, sementara aku sendiri
tidak tahu ? Mungkin kota akan jatuh besok. Ah, tidak, itu mustahil!
Malam
itu aku tidur di klinik. Tidak lama sesudah matahari terbit tanggal 17 April
1975, aku pergi dengan Vespa-ku ke rumah orangtuaku. Aku mampir sebentar di
situ, lalu terus ke rumah Huoy.
Huoy
sudah berdandan, siap untuk pergi bekerja. Ia mengenakan blus putih dan sampot. Penampilannya rapi, tapi
wajahnya tegang. Pucat. Kami pergi ke cafe kecil di lantai dasar bangunan tempat
tinggalnya. Kami sarapan seperti biasa, dengan hidangan teh dan semangkuk bakmi
dengan daging yang diiris-iris dan sayur-sayuran yang sedap. "Kau jangan
pergi-pergi dari sekolah hari ini, " kataku pada Huoy, "kecuali jika
hendak pulang. Jangan sampai kita terpencar. Nanti jika terjadi sesuatu,
cepat-cepatlah pulang agar ibumu tidak khawatir. Tapi tentang diriku, kau tidak
usah cemas. Kedua pihak sama-sama takkan mungkin sampai membunuh dokter. Aku
aman. "
Tapi
sementara itu aku sudah tidak lagi sepenuhnya mempercayai kata-kataku sendiri,
bahwa aku pasti aman.
Aku
menghidupkan mesin Vespa-ku. Huoy sudah duduk di boncengan dengan posisi
miring; ujung bawah sampot-nya
tergerai di bawah lutut, sementara ia duduk dengan satu kaki diletakkan di atas
tempat kaki dan pergelangannya disilangkan. Kuantarkan dia ke Lycee Sisowath
tempat dia mengajar, lalu kuteruskan perjalanan ke klinikku. Selama aku dalam
perjalanan, peluru-peluru artileri berjatuhan sekenanya di kawasan pemukiman. Tinggal
beberapa gelintir orang Barat saja yang masih bertahan di Phnom Penh.
Orang-orang Kamboja yang menghuni kota itu sudah meningkat jadi tiga sampai
empat juta jiwa. Ada di antaranya yang sudah bersiap-siap menyambut masuknya
Khmer Merah; yang lain-lainnya ketakutan; sisanya, orang-orang seperti aku, masih
berharap akan bisa terus hidup normal.
Aku
terpaksa berulang kali mengambil jalan memutar karena banyaknya puing-puing
reruntuhan berserakan di mana-mana; tapi sekitar pukul setengah delapan aku
akhirnya sampai juga di klinik. Orang berkerumun tidak jauh dari situ, menonton
kios-kios terbakar di pasar. Kepulan asap menyesakkan napas. Beberapa orang
wanita yang berjualan sayur atau daging di pasar menggotong sanak-kerabat dan
tetangga mereka yang luka-luka ke klinikku. Ada sekitar selusin yang perlu mendapat
perawatanku, di antaranya beberap a orang yang luka berat.
Aku
sudah selesai menangani kasus-kasus terberat ketika aku ditelepon seorang
dokter berpangkat jenderal. Ia menyuruhku datang ke rumah sakit untuk
mengoperasi beberapa prajurit yang mengalami cedera dalam pertempuran dekat pelabuhan
udara. Aku buru-buru menyelesaikan pekerjaan di klinik. Kemudian datang seorang
sopir tentara menjemputku dengan kendaraan jip. Di rumah sakit kuminta seorang
juru tulis yang ada di situ untuk menelepon penjaga di klinikku dan memintanya
agar mengantarkan Vespa-ku ke rumah sakit. Setelah itu aku pergi ke Blok A,
untuk melakukan operasi besar. Sesampai di situ aku menjenguk lewat jendela ke
dalam ruang bedah. Orang yang akan kutangani sudah dibaringkan di meja bedah.
Aku
pergi mencuci tangan di ruang khusus untuk itu. Seorang mantri yang namanya
tidak pernah bisa kuingat membantuku memakai baju bedah. Diikatkannya tali-tali
pengancing di bagian punggung bajuku itu, sementara aku sendiri masih terus
mencuci tangan.
"Pak,
" kata mantri itu, "bagaimana pendapat Anda? Situasinya cukup payah,
ya? Anda mendengar apa-apa tentang kemungkinan pemerintah akan berembuk dengan
pihak komunis?"
"Tidak,
aku tidak mendengar apa-apa tentang itu. Aku baru saja datang dari klinikku.
"
"Yah
situasinya payah,'" kata mantri itu. Seakan- akan itu kabar baru.
Kukenakan
sarung tangan karet, lalu bersama-sama kami masuk ke ruang bedah. Pasien sudah dibaringkan
di atas meja dalam keadaan tidak sadar. Slang-slang sudah disambungkan dengan pembuluh
darah pada lengannya, satu untuk darah dan yang lainnya untuk glukose. Staf
bedah sudah siap : dokter anestesi, perawat-perawat, dan seorang dokter lagi
yang namanya Pok Saradath. Foto sinar-X sudah dijepitkan di tempatnya pada gelas
tembus cahaya di atas meja bedah. Aku pergi untuk melihat foto itu. Pasien yang
akan di bedah terkena granat. Pada muka dan bahunya ada luka-luka bakar,
sementara pada perutnya ada lubang-lubang tembusan serpihan granat berukuran
sejari tangan. Perutnya kembung sebagai akibat luka dan perdarahan di sebelah
dalam. Orang itu mengerang dengan suara lemah. Aku menginstruksikan agar lebih
banyak bahan pembius disuntikkan ke dalam slang karet dari tabung nomor IV atau
tabung infus.
Mantri
yang membantuku tadi keluar lewat pintu depan.
Ruang
bedah sunyi-senyap. Kami mendengar bunyi tembakan-tembakan yang datangnya dari berbagai
arah di luar. Pok Saradath , kawan dan juga rekanku sejak lama, bekerja
berdampingan dengan aku, dengan baju dan masker bedah seperti aku. Ia membuat
sayatan panjang untuk keperluan pemeriksaan rongga perut, dan kami mulai
bercakap-cakap dengan kata-kata jorok yang sudah selalu merupakan bagian dari
kebiasaan dalam ruang bedah.
"...
pemerintah Lon Nol diancuk, "
kata Saradath. "Jika Lon Nol tidak sanggup, kenapa ia tidak turun saja
untuk memudahkan hidup kita?" Kuhentikan sebentar kesibukanku membersihkan
luka-luka tembus di sebelah luar. Kuangkat lengan kananku dan kugerakkan meniru
Lon Nol. Saradath langsung mengerti. Sinar matanya berkilat jenaka di atas
masker bedah yang menutupi hidung dan mulutnya. "ltu tidak bisa, karena begitu
melangkah sedikit ia pasti jatuh," kataku.
"Dan
apa sebabnya. kau beranggapan ia pasti jatuh, dilihat dengan kacamata kedokteran?
Tahu tidak, kudengar ia mengidap sifilis stadium ketiga" kata Saradath.
"Tidak,
ia terlalu banyak jajan. Saraf punggungnya jebol."
"Bangsat
korup itu. Terus saja ingin berkuasa, sementara semuanya menderita.
Keluarga-keluarga terpencar-pencar semua karena perang dan tidak ada yang bisa
mencari nafkah. "
"Itu
tidak benar; Gampang sekali mendapat duit jika tidak segan-segan mengancam oran-gorang
yang tidak bersalah dan memaksa minta uang mereka. Di Phnom Penh sini ada
beberapa jenis pekerjaan yang sangat menguntungkan. Jika kau polisi atau
perwira tentara, kau bisa cepat sekali menjadi kaya."
Mantri
yang tadi muncul di pintu dan menjengukkan kepalanya ke dalam. "Ada kabar
baru: serdadu-serdadu dekat jembatan sudah menyerah. Semuanya
melambai-lambaikan bendera putih. Di jalan-jalan, di gedung-gedung, di
mana-mana." katanya, lalu pergi lagi.
Kami
terus saja bekerja. Ruang bedah sunyi-senyap. Bunyi dentuman artileri masih
terus terdengar di balik tembok.
Lagi-lagi
mantri itu menjengukkan kepalanya ke dalam. "Khmer Merah sudah memasuki Phnom
Penh!"
Kusingkirkan
pecahan granat dari dalam tubuh pasien, lalu bersama Saradath kujahit luka-luka
pada bagian dinding perut. Satu jahitan kuselesaikan dan kuikat. Perawat
menyodorkan jarum lain yang berbeda ukurannya, dan aku kembali menekuni pasien.
"Yah,"
kata Saradath, "biar saja Khmer Merah itu masuk dan membereskan urusan,
supaya kita bisa bergabung lagi dengan keluarga masing-masing."
"Apa
pun juga masih lebih baik daripada begini Terus." kataku.
Mantri
yang tadi masuk. Ia mengatakan bahwa ia melihat dua orang gerilyawan Khmer
Merah yang masih muda melompati pagar dan lari memasuki pekarangan rumah sakit.
Seorang di antaranya bersenjata M- 16, sedangkan yang lainnya AK-47.
Ada
sekitar selusin orang di dalam ruang bedah. Kukatakan kepada mereka, "Jika
Khmer Merah itu nanti masuk, kalian jangan ribut. Tapi berhati-hatilah. Kita
tidak tahu apa yang akan mereka lakukan."
Kami
mendengar langkah orang berlari-lari di gang dan bunyi pimu-pintu dibuka dengan
keras.
"Jangan
bergerak!" teriak seseorang dengan marah. Suaranya melengking.
"Jangan bergerak! Angkat tangan!"
Saat
itu aku berdiri di depan pasien, menghadap ke dinding. Kuletakkan jarum yang
sedang kupegang, lalu lambat-lambat kubalikkan tubuh dengan kedua tangan
terangkat. Sarung tangan karet yang kupakai berlumur darah. Tapi yang lain-lainnya
di ruangan itu juga mengangkat tangan mereka, dan sarung tangan mereka pun
berbekas darah.
Gerilyawan
itu memakai baju hitam yang compang-camping, celana panjang hitam, dan sandal
karet berwarna itam, terbuat dari ban mobil.
Orang itu berkulit sawo matang. Orang Khmer asli. Ia mengacungkan senapan M-16 buatan
Amerika. Pintu-pintu terbuka lagi dengan mendadak dan seorang gerilyawan lagi
masuk. Pakaiannya serupa dengan yang pertama, tapi ia membawa senjata AK-47
buatan Cina. Ia menekankan laras senjatanya itu ke pelipisku.
"Kau
dokter? " katanya. "Kau dokter?"
"Bukan;
dokter baru saja keluar lewat pintu belakang, " kataku.
"Bohong!
" Matanya membelalak galak, dan suaranya tinggi.
Umurnya
paling banyak baru dua belas tahun.
Aku
sedikit pun tidak berkutik.
Gerilyawan
cilik itu mendorong tali pengikat topi bedahku dengan laras senapannya. Ia
membuka mulut lagi, melontarkan kata-kata seperti rentetan tembakan. "Kau
bohong! Jika dokter itu tidak kutemukan aku akan balik lagi kemari dan kau akan
kubunuh!"
Aku
tetap tenang. Tapi cuma di luar saja. Seluruh naluriku mengatakan bahwa saat
itu aku harus tetap diam dan jangan sedikit pun menampakkan perasaan takut.
Tatapan
mata gerilyawan itu berubab dari galak menjadi seperti ragu.
"Ayo,
kita pergi, " katanya kepada gerilyawan yang satu lagi. Mereka keluar
lewat pintu belakang.
Kami
menurunkan tangan kami. Para perawat menangis.
"Kita
harus lari, Pak," kata seorang dari mereka padaku."Jika mereka tidak
menemukan dokter di luar, mereka akan membunuh kita."
Aku
berpikir sekejap. Pasien masih terbaring di atas meja di belakangku, dalam
keadaan tidak sadar. lsi perutnya sudah dimasukkan kembali ke tempat yang
seharusnya, tapi kami belum selesai menjahitnya.
"Diam."
kataku pada mereka yang ada di dalam ruangan. "Jangan ada yang
bergerak."
Kami
mendengar bunyi langkah kedua gerilyawan yang memakai sandal itu semakin
menjauh di dalam gang. Bermacam-macam pikiran berlintasan dalam benakku, lebih
cepat ketimbang kemampuanku mengutarakannya dengan kata-kata. Rasanya seperti
sedang terlibat dalam perkelahian keroyokan semasa aku masih kecil. Segala
ilusiku yang semula buyar. Mereka telah melanggar kesucian ruang bedah. Mereka
lebih kuat, dan kami hanya bisa mencoba mengakali mereka. Atau menghindar.
Satu
menit sudah berlalu. Kami tidak lagi mendengar bunyi langkah.
"Oke,"
kataku kepada yang lain-lainnya, "semua harus pergi saat ini juga. Cepat,
jangan tunggu-tunggu lagi. Biarkan pasien di sini."
Saradath
berpaling dengan cepat ke arahku. "Bangsat! " katanya. "Kita
harus menyelesaikan pasien ini dulu!"
"Menyelesaikan
apa, Cukimai? Kita harus sekarang ini juga pergi dari sini!" Meski
pangkatku sarna dengan Saradath, tapi ia menurut juga karena aku kedengarannya
seperti yakin tentang apa yang kuperbuat. Semua bergegas meninggalkan ruangan,
kecuali aku dan Saradath. Kami lemparkan pandangan terakhir pada prajurit muda yang
malang itu, yang tergeletak di atas meja dengan kulit pucat seperti lilin dan
luka sayatan panjang yang masih terbuka di bagian perutnya. Ia pasti mati. Aku
dan Saradath keluar dari ruang bedah lewat pintu depan, dan bergegas-gegas menyusur
gang. Gang itu masih sama saja seperti biasanya, tapi meski begitu kelihatan
lain; aku masih tetap belum bisa percaya bahwa yang tadi itu benar-benar
terjadi. Aku berjalan sambil merangkul bahu Saradath. Kutepuk belakang kepala
kawanku itu, dan ia membalas dengan menepuk bagian belakang kepalaku. Kami
masuk ke bilik tempat berganti pakaian dan cuci tangan. Celanaku masih tergantung
di situ, tapi kemejaku sudah tidak ada lagi. Ada blus wanita tergantung pada
sangkutan lain, dengan bagian ekor pendek dan lengan yang panjangnya tiga
perempat.
"Kau
tidak mau ini, kan?" kataku. Saradath menggeleng, lalu aku cepat-cepat
mengenakannya. Kami buru-buru berpakaian.
Setelah
itu aku pergi ke kantorku yang letaknya di bagian sayap lain dari rumah sakit
itu. Tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Kusambar tasku lalu pergi ke luar.
Vespa-ku diparkir di situ, dengan stiker Palang Merah tertempel pada sisi
belakang tempat duduk. Kumasukkan kunci starter.
Gerilyawan
dengan seragam kumuh berwarna serba hitam berkeliaran di halaman rumah sakit. Kebanyakan
dari mereka menyandang AK-47, senapan serbu pihak komunis dengan magasin yang
mencuat di bagian bawah popornya, melengkung seperti pisang. Mereka berwajah
galak dan sengit, seperti kedua rekan mereka yang masuk ke ruang bedah tadi.
Aku berhenti sebentar untuk memperhatikan mereka. Ada sesuatu yang berlebihan
dalam penampilan marah mereka. Ada sesuatu yang terjadi dengan orang-orang ini selama
sekian tahun menjadi penghuni hutan rimba. Mereka sudah berubah, bukan lagi
manusia- manusia Kamboja yang kukenal pemalu, agak malas-malasan, dan sopan.
"Keluar!
" teriak mereka. "Keluar!" Semua harus pergi! Sekarang ini
juga!"
Kuhidupkan
mesin Vespa-ku lalu kukendarai sejauh beberapa ratus meter sampai ke pintu gerbang.
Penjaga keamanan di situ sudah tidak ada lagi, dan pintu gerbang tertutup.
Kumatikan mesin Vespa. Kubuka sendiri pintu gerbang, lalu berjalan ke luar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar