Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 23 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 6 : Pnom Penh Jatuh


6
PHNOM PENH JATUH 

SELAMA sekian tahun berkecamuknya perang saudara, tidak banyak yang kuketahui tentang Khmer Merah. Bahkan punya perasaan ingin tahu saja pun tidak. Seperti kebanyakan orang Kamboja, aku tidak mau repot-repot berusaha mengetahui tentang hal-hal yang berada di luar jangkauan cakrawalaku. Selain itu informasi mengenainya memang tidak banyak, kecuali yang bertujuan propaganda- Khmer Merah mempunyai sebuah pemancar radio gelap, tapi siaran-siarannya tidak menyebutkan bagaimana sebenarnya kelompok gerilyawan itu, begitu pula apa sebetulnya yang mereka kehendaki. Di Phnom Penh, rezim Lon Nol mengontrol sebagian besar dari media massa yang ada: mereka memiliki stasiun TV dan stasiun radio yang ada dua, sementara dengan jalan tindakan sensor dan penekanan mereka bisa membuat kebanyakan surat kabar milik swasta tetap jinak dan patuh. Untungnya masih ada segelintir wartawan yang berani mengatakan apa yang ada dalam pikiran mereka, meski itu tidak selalu. bisa dituliskan.

Salah seorang wartawan itu temanku Sam Kwil. Ia selalu keluyuran dengan sepeda motomya mendatangi berbagai medan pertempuran, jadi karenanya ia sedikit-banyak tahu secara langsung tentang Khmer Merah. Ia bercerita padaku, para gerilyawan itu banyak sekali tipu dayanya. Misalnya saja, apabila satuan-satuan mereka kalah bertempur, kadang-kadang para gerilyawan itu lantas menguburkan pakaian seragam dan senjata mereka, mengenakan pakaian penduduk biasa dan bersikap seolah-olah mereka petani yang tidak tahu apa-apa. Apabila ada yang tewas dalam pertempuran, mayat mereka buru-buru diangkut pergi oleh rekan-rekan sesama gerilyawan agar serdadu-serdadu Lon Nol tidak menemukan satu korban pun di pihak lawan. Orang-orang komunis itu sangat menguasai siasat perang saraf, kata Sam Kwil padaku. Pasukan-pasukan Lon Nol yang bergerak maju untuk menyergap suara ramai di kawasan pedesaan yang kedengarannya seperti rapat besar dan bersemangat yang diadakan oleh Khmer Merah, sesampai di lokasi itu hanya akan menemukan sebuah tape recorder dan sejumlah alat pengeras suara - serta ranjau-ranjau darat yang dipasang di sekitar pohon temp at perlengkapan pembangkit suara itu digantungkan. Pasukan-pasukan pemerintah yang datang kemudian akan menjumpai mayat-mayat prajurit Lon Nol dengan perut dirobek dan isinya diganti dengan rumput dan dedaunan yang dijejalkan ke dalamnya. Kadang-kadang dibunuh pula penduduk sipil yang tidak tahu apa-apa dan dirusak mayatnya, untuk membuat ngeri penduduk yang selebihnya.

Cerita Sam Kwil padaku tentang praktek-praktek mengerikan yang dilakukan oleh Khmer Merah sesuai dengan desas-desus yang pada tahun 1974 mulai beredar di Phnom Penh. Orang-orang di pasar mengatakan bahwa para gerilyawan membunuhi penduduk dengan jalan menggergaji leher mereka dengan pelepah daun pohon aren yang berduri-duri tajam. Tapi justru desas-desus seperti itulah yang sudah kuperkirakan akan tersebar di pasar-pasar, diteruskan dan semakin dibesar-besarkan oleh orang-orang yang gampang percaya.

Jika aku tidak banyak berpikir tentang Khmer Merah, sebabnya adalah karena menurutku mereka takkan lebih buruk ketimbang rezim Lon Nol. Bahkan Sam Kwil pun sependapat dengan aku tentang itu. Untuk setiap cerita yang kami dengar tentang kekejaman Khmer Merah, ada beberapa tandingannya yang mengenai rezim Lon Nol umumnya tindakan pembantaian terhadap penduduk sipil dari golongan etnis Vietnam, yang nampaknya lebih dibenci serdadu-serdadu Lon Nol ketimbang golongan etnis Cina. Setiap hari selalu ada saja cerita tentang serdadu-serdadu pemerintah yang mencuri ayam dan ternak lainnya dari kaum penduduk di desa-desa, atau memasang rintangan di jalan-jalan untuk mengumpulkan bonjour, Tapi tidak pernah terdengar cerita tentang Khmer Merah 'mencuri apa pun juga, bahkan secarik kertas atau sebutir beras saja pun tidak, Para gerilyawan ltu kabarnya sangat mematuhi pedoman perilaku yang ketat: tidak boleh berjudi, tidak boleh menganiaya petani, dan yang paling utama, tidak boleh korupsi. Setelah mengalami rezim Lon Nol yang berbau busuk, kaum komunis itu kesannya seperti embusan angin segar dan. bersih.

Selain itu aku juga mengenal beberapa orang yang menjadi anggota Khmer Merah, meski tidak bisa dibilang kenaI baik: Chea Huon, guruku dulu di sekolah menengah, yang masuk ke hutan setelah dibebaskan dari penjara; anak lelaki Bibi Kim, Haing Meng (abang Haing Seng), yang lari masuk hutan pada tahun 1967; dan beberapa rekan di sekolah kedokteran yang menghilang setelah terjadi kudeta oleh kelompok Lon Nol. Ada seorang sepupu Huoy dari Kampot yang menjadi perwira Khmer Merah, tapi Huoy sejak beberapa tahun belakangan tidak pernah lagi bertemu dengan sepupunya itu. Hampir setiap orang di Phnom Penh punya kawan atau sanakkerabat yang berada di pihak lawan.

Lalu ada pula Sihanouk. Dibandingkan dengan Lon Nol, yang bahkan oleh kalangan bawahannya yang terdekat pun dibenci, Sihanouk merupakan tokoh yang sangat dihormati. Meski Sihanouk oleh Khmer Merah hanya dijadikan pemimpin boneka saja, sulit rasanya membayangkan kemungkinan bahwa ia mau menjadi lambang perjuangan yang kejam atau bersifat laknat. Sihanouk mendatangi kawasan-kawasan Kamboja yang sudah "dibebaskan". Ia masih terus berpidato pada kami lewat radio, dari Peking. Yang menjadi perdana menteri pada pemerintahan dalam pengasingannya adalah Penn Nouth, pengacara yang mengusahakan dibebaskannya kembali abangku menyusul kejadian di pabrik penggergajian milik ayahku waktu itu. Memang, ada juga berita-berita yang mengatakan bahwa Sihanouk, Penn Nouth, dan kelompok mereka mulai kehilangan pengaruh dalam Khmer Merah. Kabarnya, pemimpin mereka yang sebenarnya adalah seseorang bernama Khieu Samphan. Berita itu tidak mengusik perasaanku. Khieu Samphan itu dulunya editor surat kabar, anggota badan legislatif, dan pernah menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Ia hidup sederhana dan membenci korupsi. Pada masa silam aku pernah melihatnya sedang naik sepeda di Phnom Penh.

Pada tahun 1973 Amerika Serikat menghentikan operasi-operasi pemboman udaranya di atas Phnom Penh, dan sejak itu hanya memberikan perbekalan senjata dan uang saja. Sampai dengan tahun 1974 Khmer Merah sudah mengambil-alih hampir seluruh peranan Vietnam Utara di pihak komunis dalam perang di Kamboja. Serangan yang dilancarkan Khmer Merah umumnya secara kecil-kecilan, belasan orang tewas terbunuh di sini, dua puluhan di sana; tapi ketika mereka mulai mengepung Phnom Penh dan menghadapi keseluruhan divisi Lon Nol, mereka melakukan serangan secara besar-besaran, gelombang demi gelombang. Korban yang jatuh di kedua pihak sangat besar.

Khmer Merah semakin sering saja melakukan serangan langsung terhadap kota Phnom Penh; itu merupakan bagian dari perang saraf mereka. Mereka mempergunakan artileri buatan Cina atau Amerika Serikat. Kami yang berada di dalam kota bisa mendengar bunyi tembakan-tembakan meriam di kejauhan, disusul bunyi ledakan bertubi-tubi. Mereka juga menggunakan senjata roket. Itu lebih mengerikan lagi karena bunyinya sewaktu melayang di udara: klekklekklek-klek-klek klek klek, bertambah lambat pada saat mulai menukik, klek, klek, klek, lalu jedum! Begitu peluru-peluru artileri dan roket sudah mencapai sasaran, kami bergegas keluar untuk melihat apa yang kena; kadang-kadang itu sebuah rurnah di blok sebelah, di mana para tetangga sernentara itu sudah ribm berusaha rnengeluarkan para korban dari dalarn relUntuhan. Kernudian biasanya angkatan udara rnengerahkan pesawat-pesawat T-28-nya untuk mernbungkam serangan artileri dan roket itu, dan karni melihat pesawat-pesawat kecil itu menukik di seberang sungai ke arah pucuk-pucuk pepohonan yang ada di sana lalu rnelepaskan bom-bom, dan kernudian dengan cepat rnenanjak lagi sementara dari arah seberang sungai terdengar bunyi ledakan bertubi-tubi. Pohon-pohon kelapa dan rumah-rumah nampak terang di tengah kobaran api, dan asap hitam rnengepul ke udara. Pemerintah melakukan perlawanan, dan pasukan-pasukannya bertempur dengan gigih; tapi setiap kali kepungan Khmer Merah menjadi sedikit bertambah erat. Takhmau, kota tempat pabrik penggergajian ayahku, jatuh ke tangan gerilyawan, dan bisnis ayahku tamat untuk selama-Iamanya.

Sementara jalan-jalan sudah terputus semuanya, sementara konvoi terakhir dengan kawalan bersenjata menyeberangi sungai, sementara para pedagang mengirimkan emas dan anak-anak gadis mereka ke Iuar negeri dan pesawat-pesawat terbang yang mendarat dan tinggal-landas di bandar udara melakukannya dengan melingkar-lingkar dengan garis tengah sempit, kami yang tetap tinggal mulai berusaha menyesuaikan diri. Aku sendiri heran jika mengingatnya Iagi sekarang, tapi waktu itu kebanyakan dari kami berbuat seolah-olah kehidupan berjalan seperti biasa saja, hampir-hampir normal. Kami berpegang teguh pada keyakinan bahwa Phnom Penh merupakan pulau kecil yang damai dan keadaannya akan tetap begitu terus. Bahkan dalam bulan Maret dan awal April 1975 pun masih bisa dijumpai serdadu-serdadu tanpa sepatu asyik menenggak arak pada siang hari dan terkapar tidur di tempat-tempat yang teduh. Hampir setiap malam aku dan Huoy pergi makan-makan di restoran, naik Mercedes. Hidangan yang disajikan masih tetap Iezat. Minuman cognac berlimpah. Aku waktu itu yakin seyakin-yakinnya bahwa pasti nanti akan ada negosiasi, bahwa pada saat terakhir kedua pihak yang bersengketa akan sama-sama memperlunak sikap dan mau mengadakan kompromi. Berkompromi, menghindari konflik, sompeah dengan kedua tangan dirapatkan: kehalusan itu sudah selalu memainkan peran utama dalam pola kehidupan Kamboja. Sisi gelap dari kebudayaan kami, yang keji dan ganas, merupakan hal yang aku tidak suka memikirkannya.

"Sayang," kata Huoy padaku ketika pada suatu kali kami sedang makan malam, "kenapa tidak kau jual saja mobil-mobil tangki itu dan kau cepat-cepat pergi sekarang, mumpung masih· bisa? Kau kan mampu membeli karcis pesawat terbang untuk pergi ke mana pun juga di luar negeri."

Aku memandang ke arahnya dengan jengkel. "Phnom Penh takkan jatuh, itulah sebabnya," kataku ketus. Sudah seminggu lamanya aku tidak sempat tidur sepanjang malam, sibuk mengoperasi serdadu-serdadu yang luka di rumah sakit teritara. "Aku ini sekarang sedang capek. Bagaimana jika kita tidak membicarakan soal itu ? Kita makan saja dengan nikmat, ya?"

Bahkan ketika Khmer Merah sudah mengepung daerah pinggiran kota dan serangan artileri terjadi setiap hari, ada suatu rintangan mental yang menyebabkan aku masih saja belum bisa menerima kenyataan yang tidak bisa dielakkan lagi. Pada tanggal 12 April 1975 isi kota diungsikan oleh Amerika dengan menggunakan pesawat-pesawat helikopter. Seorang temanku, pilot angkatan udara rezim Lon Nol, menawarkan diri untuk mengatur agar aku, Huoy, dan Emak bisa ikut pergi dengan helikopter Amerika, tapi aku menolak. Aku memperhatikan helikopter-helikopter itu membubung ke udara di kejauhan, seperti capung-capung raksasa, mengambang lalu meluncur pergi dengan derunya yang nyaring dan berisik.

Tanggal 16 April, aku diundang makan malam di rumah seorang kawan lama. Kawanku itu mengatakan, "lni malam terakhir bagi kita semua, dan bagi kebahagiaan dalam keluarga-keluarga kiq. Mungkin ini terakhir kalinya kita bisa berkumpul seperti ini." Terdengar jelas bunyi tembakan-tembakan artileri di luar, tapi aku masih saja tidak mau percaya. ltu sifat kepala batuku. Jika ada orang mengatakan sesuatu kepadaku, aku pasti langsung yakin bahwa sebaliknyalah yang benar.

Sesudah acara makan-makan itu aku pergi ke rumah Huoy, dan tiba di situ sekitar pukul sepuluh. Kujumpai Huoy dalam keadaan gugup. Tembakan artileri menghujan di segala arah, ledakan-Iedakan menyebabkan langit malam nampak benderang. Huoy memohon-mohon agar aku menginap saja di situ. Ibunya juga berusaha menahanku. Kukatakan pada mereka, masih ada beberapa pasien yang menunggu dan mereka tidak perlu cemas.

Dengan Vespa 150 cc-ku yang putih aku berangkat dari rumah Huoy yang letaknya dekat pasar pusat menuju rumah orangtuaku, dekat Stadion Olimpik. Sejak pertengkaran besar dalam keluargaku pada tahun 1972, hubunganku dengan orangtuaku baik-baik saja. Kapan saja mereka minta, aku selalu siap mengantar dengan Mercedes-ku. Aku merawat gangguan darah tinggi mereka serta gangguan-gangguan kesehatan lainnya. Gengsi mereka naik karena punya anak lelaki yang jadi dokter dan yang mengurus mereka sebaik yang kulakukan. Ya, sementara itu aku sudah meraih gelar dokter. Pada bulan Februari 1975, akhirnya aku mendapat gelarku. Dengan status profesionalku yang baru, sikap Ayah pun melunak. Kurasa ia kini pasti mau mengizinkan aku menikah dengan Huoy.

"Tidur sajalah di sini malam ini , " kata Ayah ketika aku masuk, "supaya kita jangan terpencar-pencar. "Kukatakan padanya bahwa aku masih harus ke klinik untuk melihat pasien-pasienku di sana. Kuulangi kata-kata yang entah sudah berapa kali kuucapkan, yakni apabila Khmer Merah masuk ke kota, dokter-dokter takkan mereka apa-apakan. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Aku bahkan menempelkan stiker Palang Merah di belakang Vespa-ku. Dengannya semua akan tahu bahwa aku bekerja di bidang kesehatan. Takkan ada yang mencederai diriku.

Abangku Pheng Huor datang dari rumahnya yang bersebelahan dengan rumah orangtuaku.

"Jika kau harus pergi juga," katanya, "setidak-tidaknya berhati-hatilah. Kami semua menunggumu di sini. Jika nanti terjadi sesuatu, kusarankan agar kautinggalkan saja Vespa-mu. Dalam situasi seperti sekarang ini, lebih aman jika berjalan kaki."

Dalam situasi seperti apa? Kata-kata itu mengganggu pikiranku sementara aku menuju ke apartemenku untuk berganti pakaian. Beberapa temanku menginap di situ. Mereka tidur di lantai.

"Kelihatannya gawat, " kata salah seorang dari mereka, sambil menegakkan tubuh dengan bertopang siku. "Pemerintah takkan bisa bertahan terus."

"Mereka pasti sanggup. Sudah, tidur sajalah kembali. Semuanya pasti akan beres."

Selesai berganti pakaian, aku pergi lagi dengan Vespa-ku, sekali ini ke klinik. Jalan-jalan yang kulalui sunyi. Hanya sekali-sekali saja terdengar bunyi tembakan. Mesin Vespa-ku batuk-batuk, tapi kendaraan itu berjalan terus. Bahan bakarnya payah, tercampur minyak tanah. Seluruh staf klinik ada di tempat, empat perawat, empat bidan, dan penjaga klinik; tapi dokter-dokter, tidak seorang pun muncul. "Mungkin mereka takut kena peluru," kata perawat yang paling kecil tubuhnya, yang bernama Srei.· "Saya juga takut, Dokter: Jika Anda nanti pergi, saya ingin ikut."

"Jangan bicara begitu! " tukasku. "Tidak seorang pun boleh pergi! Kita semua terus bekerja di sini, seperti biasa."

Setengah lusin orang yang luka-luka dan beberapa wanita yang akan melahirkan sudah menungguku ·di klinik malam itu. Aku harus bekerja. Tanganku seolah-olah bekerja secara otomatIs, sementara aku memeriksa dan meraba, membedah dan menjahit. Aku mulai berpikir. Apa sebabnya orang-orang dengan siapa aku bicara malam itu semuanya mengatakan hal yang sama? Naluri apakah yang mereka punyai tetapi yang tidak ada padaku? Apakah yang mereka ketahui, sementara aku sendiri tidak tahu ? Mungkin kota akan jatuh besok. Ah, tidak, itu mustahil!

Malam itu aku tidur di klinik. Tidak lama sesudah matahari terbit tanggal 17 April 1975, aku pergi dengan Vespa-ku ke rumah orangtuaku. Aku mampir sebentar di situ, lalu terus ke rumah Huoy.

Huoy sudah berdandan, siap untuk pergi bekerja. Ia mengenakan blus putih dan sampot. Penampilannya rapi, tapi wajahnya tegang. Pucat. Kami pergi ke cafe kecil di lantai dasar bangunan tempat tinggalnya. Kami sarapan seperti biasa, dengan hidangan teh dan semangkuk bakmi dengan daging yang diiris-iris dan sayur-sayuran yang sedap. "Kau jangan pergi-pergi dari sekolah hari ini, " kataku pada Huoy, "kecuali jika hendak pulang. Jangan sampai kita terpencar. Nanti jika terjadi sesuatu, cepat-cepatlah pulang agar ibumu tidak khawatir. Tapi tentang diriku, kau tidak usah cemas. Kedua pihak sama-sama takkan mungkin sampai membunuh dokter. Aku aman. "

Tapi sementara itu aku sudah tidak lagi sepenuhnya mempercayai kata-kataku sendiri, bahwa aku pasti aman.

Aku menghidupkan mesin Vespa-ku. Huoy sudah duduk di boncengan dengan posisi miring; ujung bawah sampot-nya tergerai di bawah lutut, sementara ia duduk dengan satu kaki diletakkan di atas tempat kaki dan pergelangannya disilangkan. Kuantarkan dia ke Lycee Sisowath tempat dia mengajar, lalu kuteruskan perjalanan ke klinikku. Selama aku dalam perjalanan, peluru-peluru artileri berjatuhan sekenanya di kawasan pemukiman. Tinggal beberapa gelintir orang Barat saja yang masih bertahan di Phnom Penh. Orang-orang Kamboja yang menghuni kota itu sudah meningkat jadi tiga sampai empat juta jiwa. Ada di antaranya yang sudah bersiap-siap menyambut masuknya Khmer Merah; yang lain-lainnya ketakutan; sisanya, orang-orang seperti aku, masih berharap akan bisa terus hidup normal.

Aku terpaksa berulang kali mengambil jalan memutar karena banyaknya puing-puing reruntuhan berserakan di mana-mana; tapi sekitar pukul setengah delapan aku akhirnya sampai juga di klinik. Orang berkerumun tidak jauh dari situ, menonton kios-kios terbakar di pasar. Kepulan asap menyesakkan napas. Beberapa orang wanita yang berjualan sayur atau daging di pasar menggotong sanak-kerabat dan tetangga mereka yang luka-luka ke klinikku. Ada sekitar selusin yang perlu mendapat perawatanku, di antaranya beberap a orang yang luka berat.

Aku sudah selesai menangani kasus-kasus terberat ketika aku ditelepon seorang dokter berpangkat jenderal. Ia menyuruhku datang ke rumah sakit untuk mengoperasi beberapa prajurit yang mengalami cedera dalam pertempuran dekat pelabuhan udara. Aku buru-buru menyelesaikan pekerjaan di klinik. Kemudian datang seorang sopir tentara menjemputku dengan kendaraan jip. Di rumah sakit kuminta seorang juru tulis yang ada di situ untuk menelepon penjaga di klinikku dan memintanya agar mengantarkan Vespa-ku ke rumah sakit. Setelah itu aku pergi ke Blok A, untuk melakukan operasi besar. Sesampai di situ aku menjenguk lewat jendela ke dalam ruang bedah. Orang yang akan kutangani sudah dibaringkan di meja bedah.

Aku pergi mencuci tangan di ruang khusus untuk itu. Seorang mantri yang namanya tidak pernah bisa kuingat membantuku memakai baju bedah. Diikatkannya tali-tali pengancing di bagian punggung bajuku itu, sementara aku sendiri masih terus mencuci tangan.

"Pak, " kata mantri itu, "bagaimana pendapat Anda? Situasinya cukup payah, ya? Anda mendengar apa-apa tentang kemungkinan pemerintah akan berembuk dengan pihak komunis?"

"Tidak, aku tidak mendengar apa-apa tentang itu. Aku baru saja datang dari klinikku. "

"Yah situasinya payah,'" kata mantri itu. Seakan- akan itu kabar baru.

Kukenakan sarung tangan karet, lalu bersama-sama kami masuk ke ruang bedah. Pasien sudah dibaringkan di atas meja dalam keadaan tidak sadar. Slang-slang sudah disambungkan dengan pembuluh darah pada lengannya, satu untuk darah dan yang lainnya untuk glukose. Staf bedah sudah siap : dokter anestesi, perawat-perawat, dan seorang dokter lagi yang namanya Pok Saradath. Foto sinar-X sudah dijepitkan di tempatnya pada gelas tembus cahaya di atas meja bedah. Aku pergi untuk melihat foto itu. Pasien yang akan di bedah terkena granat. Pada muka dan bahunya ada luka-luka bakar, sementara pada perutnya ada lubang-lubang tembusan serpihan granat berukuran sejari tangan. Perutnya kembung sebagai akibat luka dan perdarahan di sebelah dalam. Orang itu mengerang dengan suara lemah. Aku menginstruksikan agar lebih banyak bahan pembius disuntikkan ke dalam slang karet dari tabung nomor IV atau tabung infus.

Mantri yang membantuku tadi keluar lewat pintu depan.

Ruang bedah sunyi-senyap. Kami mendengar bunyi tembakan-tembakan yang datangnya dari berbagai arah di luar. Pok Saradath , kawan dan juga rekanku sejak lama, bekerja berdampingan dengan aku, dengan baju dan masker bedah seperti aku. Ia membuat sayatan panjang untuk keperluan pemeriksaan rongga perut, dan kami mulai bercakap-cakap dengan kata-kata jorok yang sudah selalu merupakan bagian dari kebiasaan dalam ruang bedah.

"... pemerintah Lon Nol diancuk, " kata Saradath. "Jika Lon Nol tidak sanggup, kenapa ia tidak turun saja untuk memudahkan hidup kita?" Kuhentikan sebentar kesibukanku membersihkan luka-luka tembus di sebelah luar. Kuangkat lengan kananku dan kugerakkan meniru Lon Nol. Saradath langsung mengerti. Sinar matanya berkilat jenaka di atas masker bedah yang menutupi hidung dan mulutnya. "ltu tidak bisa, karena begitu melangkah sedikit ia pasti jatuh," kataku.

"Dan apa sebabnya. kau beranggapan ia pasti jatuh, dilihat dengan kacamata kedokteran? Tahu tidak, kudengar ia mengidap sifilis stadium ketiga" kata Saradath.

"Tidak, ia terlalu banyak jajan. Saraf punggungnya jebol."

"Bangsat korup itu. Terus saja ingin berkuasa, sementara semuanya menderita. Keluarga-keluarga terpencar-pencar semua karena perang dan tidak ada yang bisa mencari nafkah. "

"Itu tidak benar; Gampang sekali mendapat duit jika tidak segan-segan mengancam oran-gorang yang tidak bersalah dan memaksa minta uang mereka. Di Phnom Penh sini ada beberapa jenis pekerjaan yang sangat menguntungkan. Jika kau polisi atau perwira tentara, kau bisa cepat sekali menjadi kaya."

Mantri yang tadi muncul di pintu dan menjengukkan kepalanya ke dalam. "Ada kabar baru: serdadu-serdadu dekat jembatan sudah menyerah. Semuanya melambai-lambaikan bendera putih. Di jalan-jalan, di gedung-gedung, di mana-mana." katanya, lalu pergi lagi.

Kami terus saja bekerja. Ruang bedah sunyi-senyap. Bunyi dentuman artileri masih terus terdengar di balik tembok.

Lagi-lagi mantri itu menjengukkan kepalanya ke dalam. "Khmer Merah sudah memasuki Phnom Penh!"

Kusingkirkan pecahan granat dari dalam tubuh pasien, lalu bersama Saradath kujahit luka-luka pada bagian dinding perut. Satu jahitan kuselesaikan dan kuikat. Perawat menyodorkan jarum lain yang berbeda ukurannya, dan aku kembali menekuni pasien.

"Yah," kata Saradath, "biar saja Khmer Merah itu masuk dan membereskan urusan, supaya kita bisa bergabung lagi dengan keluarga masing-masing."

"Apa pun juga masih lebih baik daripada begini Terus." kataku.

Mantri yang tadi masuk. Ia mengatakan bahwa ia melihat dua orang gerilyawan Khmer Merah yang masih muda melompati pagar dan lari memasuki pekarangan rumah sakit. Seorang di antaranya bersenjata M- 16, sedangkan yang lainnya AK-47.

Ada sekitar selusin orang di dalam ruang bedah. Kukatakan kepada mereka, "Jika Khmer Merah itu nanti masuk, kalian jangan ribut. Tapi berhati-hatilah. Kita tidak tahu apa yang akan mereka lakukan."

Kami mendengar langkah orang berlari-lari di gang dan bunyi pimu-pintu dibuka dengan keras.

"Jangan bergerak!" teriak seseorang dengan marah. Suaranya melengking. "Jangan bergerak! Angkat tangan!"

Saat itu aku berdiri di depan pasien, menghadap ke dinding. Kuletakkan jarum yang sedang kupegang, lalu lambat-lambat kubalikkan tubuh dengan kedua tangan terangkat. Sarung tangan karet yang kupakai berlumur darah. Tapi yang lain-lainnya di ruangan itu juga mengangkat tangan mereka, dan sarung tangan mereka pun berbekas darah.

Gerilyawan itu memakai baju hitam yang compang-camping, celana panjang hitam, dan sandal karet berwarna  itam, terbuat dari ban mobil. Orang itu berkulit sawo matang. Orang Khmer asli. Ia mengacungkan senapan M-16 buatan Amerika. Pintu-pintu terbuka lagi dengan mendadak dan seorang gerilyawan lagi masuk. Pakaiannya serupa dengan yang pertama, tapi ia membawa senjata AK-47 buatan Cina. Ia menekankan laras senjatanya itu ke pelipisku.

"Kau dokter? " katanya. "Kau dokter?"

"Bukan; dokter baru saja keluar lewat pintu belakang, " kataku.

"Bohong! " Matanya membelalak galak, dan suaranya tinggi.

Umurnya paling banyak baru dua belas tahun.

Aku sedikit pun tidak berkutik.

Gerilyawan cilik itu mendorong tali pengikat topi bedahku dengan laras senapannya. Ia membuka mulut lagi, melontarkan kata-kata seperti rentetan tembakan. "Kau bohong! Jika dokter itu tidak kutemukan aku akan balik lagi kemari dan kau akan kubunuh!"

Aku tetap tenang. Tapi cuma di luar saja. Seluruh naluriku mengatakan bahwa saat itu aku harus tetap diam dan jangan sedikit pun menampakkan perasaan takut.

Tatapan mata gerilyawan itu berubab dari galak menjadi seperti ragu.

"Ayo, kita pergi, " katanya kepada gerilyawan yang satu lagi. Mereka keluar lewat pintu belakang.

Kami menurunkan tangan kami. Para perawat menangis.

"Kita harus lari, Pak," kata seorang dari mereka padaku."Jika mereka tidak menemukan dokter di luar, mereka akan membunuh kita."

Aku berpikir sekejap. Pasien masih terbaring di atas meja di belakangku, dalam keadaan tidak sadar. lsi perutnya sudah dimasukkan kembali ke tempat yang seharusnya, tapi kami belum selesai menjahitnya.

"Diam." kataku pada mereka yang ada di dalam ruangan. "Jangan ada yang bergerak."

Kami mendengar bunyi langkah kedua gerilyawan yang memakai sandal itu semakin menjauh di dalam gang. Bermacam-macam pikiran berlintasan dalam benakku, lebih cepat ketimbang kemampuanku mengutarakannya dengan kata-kata. Rasanya seperti sedang terlibat dalam perkelahian keroyokan semasa aku masih kecil. Segala ilusiku yang semula buyar. Mereka telah melanggar kesucian ruang bedah. Mereka lebih kuat, dan kami hanya bisa mencoba mengakali mereka. Atau menghindar.

Satu menit sudah berlalu. Kami tidak lagi mendengar bunyi langkah.

"Oke," kataku kepada yang lain-lainnya, "semua harus pergi saat ini juga. Cepat, jangan tunggu-tunggu lagi. Biarkan pasien di sini."

Saradath berpaling dengan cepat ke arahku. "Bangsat! " katanya. "Kita harus menyelesaikan pasien ini dulu!"

"Menyelesaikan apa, Cukimai? Kita harus sekarang ini juga pergi dari sini!" Meski pangkatku sarna dengan Saradath, tapi ia menurut juga karena aku kedengarannya seperti yakin tentang apa yang kuperbuat. Semua bergegas meninggalkan ruangan, kecuali aku dan Saradath. Kami lemparkan pandangan terakhir pada prajurit muda yang malang itu, yang tergeletak di atas meja dengan kulit pucat seperti lilin dan luka sayatan panjang yang masih terbuka di bagian perutnya. Ia pasti mati. Aku dan Saradath keluar dari ruang bedah lewat pintu depan, dan bergegas-gegas menyusur gang. Gang itu masih sama saja seperti biasanya, tapi meski begitu kelihatan lain; aku masih tetap belum bisa percaya bahwa yang tadi itu benar-benar terjadi. Aku berjalan sambil merangkul bahu Saradath. Kutepuk belakang kepala kawanku itu, dan ia membalas dengan menepuk bagian belakang kepalaku. Kami masuk ke bilik tempat berganti pakaian dan cuci tangan. Celanaku masih tergantung di situ, tapi kemejaku sudah tidak ada lagi. Ada blus wanita tergantung pada sangkutan lain, dengan bagian ekor pendek dan lengan yang panjangnya tiga perempat.

"Kau tidak mau ini, kan?" kataku. Saradath menggeleng, lalu aku cepat-cepat mengenakannya. Kami buru-buru berpakaian.

Setelah itu aku pergi ke kantorku yang letaknya di bagian sayap lain dari rumah sakit itu. Tidak ada siapa-siapa lagi di situ. Kusambar tasku lalu pergi ke luar. Vespa-ku diparkir di situ, dengan stiker Palang Merah tertempel pada sisi belakang tempat duduk. Kumasukkan kunci starter.

Gerilyawan dengan seragam kumuh berwarna serba hitam berkeliaran di halaman rumah sakit. Kebanyakan dari mereka menyandang AK-47, senapan serbu pihak komunis dengan magasin yang mencuat di bagian bawah popornya, melengkung seperti pisang. Mereka berwajah galak dan sengit, seperti kedua rekan mereka yang masuk ke ruang bedah tadi. Aku berhenti sebentar untuk memperhatikan mereka. Ada sesuatu yang berlebihan dalam penampilan marah mereka. Ada sesuatu yang terjadi dengan orang-orang ini selama sekian tahun menjadi penghuni hutan rimba. Mereka sudah berubah, bukan lagi manusia- manusia Kamboja yang kukenal pemalu, agak malas-malasan, dan sopan.

"Keluar! " teriak mereka. "Keluar!" Semua harus pergi! Sekarang ini juga!"

Kuhidupkan mesin Vespa-ku lalu kukendarai sejauh beberapa ratus meter sampai ke pintu gerbang. Penjaga keamanan di situ sudah tidak ada lagi, dan pintu gerbang tertutup. Kumatikan mesin Vespa. Kubuka sendiri pintu gerbang, lalu berjalan ke luar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar