Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Senin, 24 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 7 : Roda Sejarah


7 
RODA SEJARAH

  
BERIBU-RIBU orang memenuhi jalanan, bergerak lamban ke arah selatan, menuruti perintah para gerilyawan Khmer Merah. Ribuan orang lagi berdiri di belakang jendela dan di ambang pintu, enggan meninggalkan temp at mereka; banyak pula yang keluar dari rumah mereka dan menyodorkan bunga atau mangkuk berisi nasi, yang oleh beberapa di antara para gerilyawan itu diterima dengan senyuman malu orang desa sementara yang lain-lainnya lewat saja dengan wajah dingin. Bunyi klakson mobil-mobil berlengkingan. Dari arah bagian-bagian kota yang jauh terdengar bunyi rentetan senapan-senapan serbu, sekali-sekali ditimpali dentuman meriam. Pertempuran masih terus berlanjut, tapi kain-kain seprai putih bergelantungan di luar gedung-gedung sebagai tanda menyerah dan permintaan agar tembak-menembak dihentikan.

Pasukan-pasukan Khmer Merah berbaris menyusur jalan-jalan raya, nampak capek dan cepat sekali marah, bersenjatakan senapan AK-47 dan granat-granat bulat buatan Cina yang digantungkan sekeliling pinggang. Seragam mereka yang berwarna hitam kotor berdebu, penuh lumpur kering. Sepanjang malam mereka bertempur, di antaranya ada yang bergerak mengarungi parit-parit. Beberapa prajurit spesialis memanggul tabung- tabung besar peluncur roket, berjalan seiring dengan rekan-rekan mereka yang membawa roket-roket dalam ransel besar yang dipanggul di punggung. Di sana-sini nampak mit neary, wanita- wanita pejuang gerilya, menembak-nembakkan pistol mereka ke udara sambil membentak-bentak menyuruh penduduk sipil bergegas pergi. Para anggota Khmer Merah itu muda-muda, kebanyakan baru belasan tahun. Warna kulit mereka sangat gelap. Ras mereka asli Khmer, anak-anak pedesaan. Phnom Penh merupakan tempat yang asing bagi mereka.

Persis di depanku ada seorang gerilyawan. Dengan senyuman bahagia seorang anak. yang mendapat permainan baru, ia mencoba menaiki sebuah sepeda motor. Diputarnya gas kendaraan beroda dua itu sampai mentok. Ketika kopling kemudian dilepaskan, roda depan sepeda motor ini menggelincir ke kiri dan ke kanan, dan tahu-tahu kendaraan itu menerjang maju tanpa dia, melesat ke arah orang banyak. Gerilyawan itu terjerembap. Ia berdiri lagi lalu pergi dengan tampang masam, meninggalkan sepeda motor yang tergeletak dan orang-orang lain kesakitan sambil memegang kaki masing-masing.

Kumasukkan gigi Vespa-ku ke netral lalu kutuntun kendaraan itu ke jalan. Tidak ada gunanya menghidupkan mesinnya, karena cuma membuang-buang bensin saja. Jalan-jalan penuh dengan manusia. Aku takkan mungkin bisa lewat.

Seorang gerilyawan Khmer Merah berteriak, "Kalian harus pergi dari kota selama paling sedikit tiga jam. Kalian harus pergi selama tiga jam, Kalian harus pergi demi keselamatan kalian sendiri, karena orang-orang Amerika tidak bisa dipercaya. Sebentar lagi mereka akan menjatuhkan bom-bom di atas kita. Pergilah sekarang juga, dan tidak usah membawa apa-apa."

Haruskah aku mempercayainya? Aku bingung. Setelah mengalami kejadian di rumah sakit tadi? Naluriku melarang. Tampang para gerilyawan di jalanan itu sama galaknya seperti kedua rekan mereka yang menyerbu masuk ke dalam ruang bedah. Penampilan mereka sama sekali tidak seperti orang Kamboja biasa, selain bentuk muka mereka yang bulat dan berkulit gelap. Meski begitu ada sebagian dari diriku yang ingin percaya bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya.

Orang bersuara galak itu berteriak lagi, "Jika ada yang membawa senjata, letakkan di pinggir jalan, biar dikumpulkan nanti oleh Angka. Perang sudah selesai dan tidak ada perlunya lagi membawa- bawa senjata. Semua senjata menjadi milik Angka!"

Aku memandang sekilas ke arab pinggir jalan. Benarlah, beberapa orang sipil yang kelihatannya pereaya muncul dari rumah masing-masing dan meletakkan senjata-senjata mereka, AK-47, M-16, pistol, di trotoar. Aku bertanya-tanya dalam hati: Angka itu siapa? Atau, Angka itu apa?

Dalam bahasa Khmer, angka berarti "organisasi". Angka adalah Organisasi-jadi mestinya gugus komando Khmer Merah, begitulah pikirku. Tapi apa artinya itu? Apakah para gerilyawan hendak berusaha mengorganisasikan rakyat Kamboja? Kemungkinan itu sangat kecil. Kami merupakan rakyat yang sama sekali tidak bisa diatur. Petani bercocok tanam di mana saja mereka mau, para pegawai yang bersikap seenaknya saja tentang keharusan hadir di tempar kerja, suatu masyarakat yang begini santai dan tidak pedulian sehingga tidak ada sesuatu yang bisa selesai dengan beres. Bahkan Sihanouk saja pun tidak sanggup mengatur kami ketika ia masih berkuasa. Padahal ia sudah berusaha ke arah itu. Di manakah Sihanouk sekarang? tanyaku dalam hati. Apakah ia turut berperan dalam Angka? Bukankah ia pemimpin Khmer Merah? Kapankah ia kembali ke Phnom Penh? Kenapa namanya sama sekali tidak disebut-sebut?

Di sekelilingku terdengar suara-suara menggerutu.

"Untuk apa mengungsi ke luar kota? Kami tidak mau pergi. Perang sudah selesai. Amerika takkan mengebom kita. Kita tidak mau pergi." Orang-orang itu melangkah, lalu berhenti; berjalan satu-dua langkah, lalu berhenti lagi. Orang-orang yang membawa sepeda motor menuntun kendaraan mereka, seperti yang kulakukan. Mere ka yang bermobil mendorongnya dengan bamuan ternan-ternan atau sanak-kerabat. Tidak ada yang menghidupkan mesin kendaraannya. Tidak ada tempat luang di jalanan yang bisa, dilewati. Bensin juga tinggal sedikit. Kapankah bensin bisa dibeli lagi? Bagaimanakah nasib perusahaan pengangkut bensinku nanti?

Aku tersaruk-saruk menuju selatan mengikuti arus manusia, kurang-lebih ke arah klinikku. Dari arah berlawanan muncul segerombolan gerilyawan Khmer Merah. Mereka menggiring seorang lelaki yang nampak ketakutan. Kedua tangannya terikat di belakang punggung. Ia didorong-dorong seorang mit neary yang bersenjata pistol. Wanita itu berbuah dada besar tapi berusaha sedapat mungkin agar tidak kentara kewanitaannya. Ia memakai blus yang dikancingkan sampai ke leher; lengan kemejanya digulung sampai menampakkan lengan atas, sementara kepalanya dibungkus dengan krama berpola kotak-kotak. Penampilannya sama dekil dan sengitnya seperti rekan-rekannya yang pria. Ketika ia sudah hampir sampai di tempatku berada, ia mengacung-acungkan pistolnya orang banyak. "Roda sejarah berputar, " katanya.

"Roda sejarah berputar terus. Jika ada yang mencoba menghentikannya dengan tangan. tangan itu akan terjepit di antara ruji-rujinya. Jika kaki yang dipergunakan, kaki pun akan putus. Tidak ada jalan kembali. Sejarah dunia tidak akan menunggu. Revolusi sudah datang. Kalian harus memilih, ikut dengan Angka atau tidak. Jika kalian memilih tidak mau ikut dengan Angka, kami tidak bertanggung- jawab atas keselamatan kalian."

Didorongnya lagi lelaki tawanan yang ada di depannya dengan kasar. Lelaki itu terhuyung. Matanya yang terbelalak dengan jelas menampakkan bahwa ia ketakutan. Ketika rombongan itu melewati aku, wanita tadi mengacung-acungkan pistolnya lagi sambil berteriak-teriak, "Sekarang semuanya sederajat! Semuanya sama! Tidak ada lagi sompeah-sompeah! Tidak ada lagi tuan dan pelayan! Roda sejarah berputar! Kalian harus mematuhi peraturan-peraturan Angka! "

Kulanjutkan langkahku sambi! mendorong Vespa. Segala harapanku sehubungan dengan Khmer Merah, lenyap sama sekali. Mereka itu mestinya membebaskan, bukan mengikat kami dan meneriakkan ancaman-ancaman bahwa kami harus mematuhi perintah-perintah Angka. Siapapun, atau apa pun juga Angka itu.

Hawa terasa menyesakkan napas. Jalan-jalan penuh sesak. Kami sudah bukan lagi penghuni kota Phnom Penh. Kami sudah menjadi pengungsi, membawa apa saja yang bisa dibawa. Mereka yang kaya mendorong mobil atau gerobak sorong berisi beras berkarung-karung, koper-koper, segala macam panci, pesawat televisi, dan kipas angin. Orang-orang yang miskin hanya membawa periuk nasi. Penjual bahan pangan mengangkut bahan pangan, pedagang buku mendorong gerobak-gerobak dengan buku bertumpuk-tumpuk di dalamnya. Aneh, kataku dalam hati, kalau melihat barang-barang yang dinilai berharga oleh orang-orang. Pesawat televisi dan kipas angin takkan banyak gunanya di luar kota, di mana aliran listrik tidak ada.

Aku sampai di sebuah klinik swasta yang serupa dengan klinik milikku. Letaknya beberapa blok dari rumah sakit. Pasien-pasien di situ pergi semua meninggalkan klinik itu, disuruh oleh Khmer Merah. Seorang serdadu yang tinggal satu kakinya berjalan terpincang-pincang dengan disangga tongkat, sambil menggenggam sendok dan piring kalengnya. Di belakangnya seseorang dengan mata dibalut dan kaki diamputasi terkapar di atas ranjang rumah sakit beroda yang didorong di trotoar, dengan tabung infus masih tergantung pada rak yang menempel ke ranjang. Yang paling lambat jalannya seorang wanita berumur yang dengan satu tangannya memegang erat-erat bagian depan sarungnya supaya jangan terlepas, sementara dengan tangan yang satu lagi ia bertopang pada seorang wanita yang berjalan menemani. Wanita tua itu berkata dengan suara lemah, "Aku capek sekali. Berhentilah, aku capek sekali. Aku tidak mampu lagi." Wanita yang menemani, yang memegang tabung infus wanita itu menjawab "Paksakan diri, Bu. Teruslah berjalan. Ayo, berjalanlah sebisa mungkin. Aku tahu Anda capek, tapi Anda pasti bisa."

Kutanyakan pada wanlta tua ltu tentang pe- nyakitnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak tahu, karena catatan-catatan rumah sakit mengenainya tidak dibawa olehnya. Kawannya mengatakan bahwa wanita itu menderita sakit di perutnya.

"Biarkan dia beristirahat dulu," kataku pada wanita yang menemani. "Jangan dia disuruh bergegas-gegas. Biarkan dia tiap kali berjalan beberapa langkah saja, jika cuma begitu kemampuannya. Tapi jika bisa, bawa dia ke klinik Sokchea, dekat pasar Tuol Tumpoung. Saya akan ada di sana."

Aku berdiri di ambang sebuah pintu. Kupegang pergelangan tangan wanita tua itu. Denyut nadinya pelan sekali, nyaris tak terasa. Kemudian kutarik kelopak matanya yang sebelah bawah untuk melihat keadaan darahnya. Jaringan pada bagian dalam kelopak itu nampak pucat kekurangan darah. Jika keadaannya sehat, jaringan itu seharusnya berwarna merah. Saat itu seorang gerilyawan Khmer Merah yang masih muda dan' bertubuh pendek datang menghampiri. Tatapan matanya galak, dan pakaiannya yang serba hitam nampak berlumpur. Gerilyawan itu berteriak, "Jalan terus! Jangan berhenti di situ! " Suaranya melengking kekanak-kanakan. Tingginya tidak lebih dari senapan yang dibawanya.

Aku menanggapi bentakannya dengan sopan, "Ya, kami pergi sekarang." Gerilyawan yang masih anak-anak itu berjalan terus sambil berteriak-teriak, "Kalian harus pergi! Sekarang juga!", dengan suaranya yang tinggi kepada orang-orang yang berada di ambang pintu rumah-rumah lain. Ia baru beberapa langkah meninggalkan kami ketika tahu-tahu ia mengangkat AK-47-nya dan melepaskan serentetan tembakan ke udara. Wanita tua itu gemetar, sehingga aku harus cepat-cepat menopangnya supaya jangan jatuh. Sementara itu gerilyawan muda tadi berjalan terus di trotoar, berteriak-teriak sambil melepaskan tembakan berulang- ulang ke udara.

Kutunjukkan jalan ke klinikku kepada kedua Wanita itu dan kuucapkan selamat jalan. Setelah itu kuteruskan melangkah, dengan perasaan getir. Kenapa para gerilyawan itu menyuruh para pasien meninggalkan rumah sakit dan klinik tempat mereka sedang dirawat? Apa untungnya tindakan itu? Mungkin saja Khmer Merah punya alasan tertentu bagi tindakan mereka mengosongkan kota, tapi mereka tidak perlu memaksa orang-orang yang lemah dan sakit agar bergegas-gegas. Terlintas dalam ingatanku meja bedah di rumah sakit. Terbayang pasien yang terbaring di atasnya, dengan sayatan panjang pada bagian perutnya. Seorang prajurit muda yang kutinggal menghadapi ajal seorang diri.

Aku membelok ke arah barat lalu ke selatan menuju Boulevard Monivong, salah satu jalan utama kota Phnom Penh. Arus lalu lintas di situ lebih lamban lagi geraknya. Banjir manusia di situ beringsut-ingsut maju dengan susah-payah. Aku terkurung di tengah-tengah sekian banyak kaki, bahu, dan kepala. Di setiap pojok jalan ada gerilyawan Khmer Merah yang berseru-seru menyuruh kami terus, dan masih ada lagi gerilyawan-gerilyawan lain berwajah masam yang lewat naik jip atau truk-truk terbuka, melambaikan kain atau selampai berwarna merah yang diikatkan ke bayonet mereka. Orang-orang sipil di jalanan memakai pengikat lengan atau kepala berwarna putih dan membelitkan handuk putih ke pinggang. Selampai-selampai putih diikatkan ke antena radio mobil mereka, dan seprai-seprai putih bergelantungan di luar jendela rumah-rumah. Tapi kesan kegembiraan semula bahwa perang sudah berakhir sementara itu sudah lenyap, digantikan perasaan takut. Di trotoar, seorang lelaki membuka seragam tentara Lon Nol yang semula dipakai dan menggantinya dengan pakaian piama hitam.

Ada sesuatu yang terjadi. saat itu, yang tidak terjangkau akal sehat. Antara harapan kami akan adanya pembebasan dan kemasaman wajah para gerilyawan, antara perintah mereka pada kami untuk meninggalkan kota "selama tiga jam" dan kesadaran yang timbul kemudian bahwa diperlukan waktu tiga jam untuk bergerak maju sejauh tiga blok saja, menganga jurang lebar yang tidak bisa diseberangi akal sehat kami. Kami hanya bisa merasakan bahwa saat itu sedang berlangsung suatu peristiwa maha besar dan kami merupakan bagian dari padanya; bahwa kami sama sekali sudah tidak berdaya lagi menentukan nasib kami sendiri.

Ketika aku melihat ada lubang sedikit di tengah banjir manusia di dekatku, aku cepat-cepat menyusup lewat situ ke sebuah jalan samping. Kuparkir Vespa-ku dan kukunci. Kutangguhkan niatku semula untuk pergi ke klinik. Aku harus mencari Huoy dan orangtuaku dulu.

Aku menyusuri jalan-jalan kecil, lalu masuk lagi ke Boulevard Monivong, menuju ke arah utara. Karena sudah tidak lagi menuntun skuterku aku bisa bergerak lebih leluasa, berjalan melawan arus, menghindari serdadu-serdadu Khmer Merah agar jangan sampai ketahuan. Tapi kepala dan bahu sekian banyak manusia yang bergerak-gerak menyembunyikan diriku dari pengamatan Khmer Merah, di pihak lain juga menyebabkan aku sulit melihat. Kutelusuri terus wajah-wajah manusia yang ribuan banyaknya. Tapi aku tidak menemukan Huoy. Ayah dan ibuku juga tidak.

Aku melihat sekian banyak keluarga berjalan berkeliling blok, berkeliling-keliling terus supaya kelihatan bergerak, dengan harapan bahwa waktu keharusan mengungsi "selama tiga jam" akan segera berakhir. Kulihat wanita-wanita menangis, mencari anak-anak mereka yang tercecer. Lelaki-lelaki melesat lari masuk kembali ke rumah, karena tiba-tiba teringat lagi, bahwa di dalam masih ada setumpuk pakaian lagi, atau sekarung beras, atau emas yang ditaruh di tempat tersembunyi. Mereka menumpukkan koper-koper di tempat bagasi mobil mereka, lalu lari masuk ke rumah dan kembali lagi ke mobil sambil berseru menyuruh yang lain-lainnya bergegas.

Menjelang saat matahari terbenam aku kembali lagi ke tempat skuterku tadi kuparkir lalu mendorongnya ke arah selatan lewat Boulevard Monivong menuju ke Wat Tuol Tumpoung yang letaknya dekat klinikku. Kompleks kuil itu, yang dikelilingi tembok tinggi yang dikapur putih dan sisi atasnya bertakik-takik, membentuk satu blok tersendiri. Biksu-biksu berwajah cemas bermunculan dari gerbangnya yang berukir-ukir, mendorong gerobak berisi barang-barang mereka yang lidak banyak: jubah kuning, berapa perkakas masak; sebuah periuk nasi. Mereka juga disuruh pergi oleh Khmer Merah.

Setelah melewati kuil, kulihat seorang serdadu Khmer Merah yang sambil tertawa-tawa berusaha menghidupkan mesin sebuah Vespa seperti skuterku. Aku memandangnya sekilas, tapi langsung terpana. Aku mengenali bahwa remaja dengan seragam hitam berlumpur itu seorang anak dari desa asalku, dari Samrong Yong. Aku tidak tahu namanya, tapi aku ingat pernah melihatnya di pasar dan di lapangan sepakbola.

Remaja itu terus saja tertawa, rupanya heran sendiri bahwa ia kini punya skuter, setelah sekian tahun hidup penuh penderitaan di dalam rimba. Vespa itu merupakan permainan baginya, suatu keisengan dari kehidupan kota yang dijauhinya selama itu. Tawa lebarnya langsung lenyap begitu ia melihat aku memandang ke arahnya. " Halo, Kawan," sapaku. Ia tidak menjawab. Kakinya terus digerak-gerakkan tunin-naik, berusaha menstarter skuter itu. Akhirnya ia berhasil, mesin kendaraan itu hidup. Ia duduk di atas sadel lalu meluncur pergi tanpa sedikit pun melirik ke arahku lagi. Mungkin ia merasa bahwa orang-orang dari desanya tidak ada lagi artinya kini bagi dirinya, setelah roda sejarah mulai bergerak.

Malam sudah meremang ketika aku akhirnya tiba di klinikku. Dilihat dari luar tempat itu nampak lengang dan tertutup. Tapi ketika kubuka pintu dorong berterali yang semula dikunci lalu cepat-cepat masuk, ternyata ada sekitar selusin pasien di dalam. Mereka memberi hormat kepadaku dengan ·sikap menyembah. "Tolong periksa saya dulu, Luk Dokter." "Tolong selamatkan nyawa saya," kata mereka. Aku membalas sompeah mereka satu demi satu, sambil mengatakan bahwa semua akan mendapat giliran tapi kasus-kasus terparah harus didulukan. Perasaan sedih dan kecewa menusuk lubuk hatiku sementara aku memperhatikan wajah mereka satu-satu. Wanita tua yang kuperiksa denyut nadi pergelangan tangannya di jalan tadi tidak ada di antara mereka. Yah, apa boleh buat.

Aku pergi ke ruang perawat. Kutanyakan kepada Srei, perawat kesayanganku, apakah Huoy tadi meninggalkan pesan untukku. Srei yang mungil itu sudah kuanggap seperti adik saja. Sambil tersenyum merajuk ia menjawab, "Jangan pikirkan pacar Anda, urus dulu pasien-pasien kita. Cepat, di dalam ada yang sudah hampir melahirkan. "

"Sudah seberapa jauh?"

"Leher rahimnya sudah melebar sampai delapan senti," kata Srei. Jadi sudah tidak banyak waktu lagi.

Mula-mula klinik harus dibereskan dulu. Di luar sudah hampir gelap. Listrik sudah tidak ada, begitu pula air ledeng sudah berhenti mengalir. Staf hadir semua, tapi dokter satunya yang seharusnya dinas saat itu, tidak ada. Kusuruh Srei mencari lilin dan air. Ia harus mensterilkan instrumen-instrumen kebidanan dengan cara menaruhnya dalam baki dan menuanginya dengan alkohol yang kemudian dibakar. Srei bergegas pergi. Ia berhasil menyiapkan instrumen-instrumen ketika aku kemudian memerlukannya.

Aku berganti pakaian, membersihkan badan, lalu membantu wanita yang sudah hampir melahirkan itu. Ketika bayinya sudah keluar, para perawat mengingatkan aku tentang persoalan air yang belum juga terpecahkan. Aku keluar ke ruang tunggu dan meminta kepada pasien-pasien yang ada di situ agar yang masih bisa pergi mencari air di luar. Thoeun, penjaga klinik; akan mengawasi orang-orang yang keluar-masuk.

Setelah itu aku kembali bekerja. Pasien yang berikut, seorang penduduk sipil, menderita luka kena pecahan peluru artileri. h mengerang kesakitan. Pecahan itu menembus punggungnya. Lukanya sudah meradang, di bawah krama dekil yang dipakai sebagai pembalut sejak beberapa hari. Kami tidak bisa mempergunakan peralatan sinar-X untuk mengetahui posisi serpihan pecahan itu; yang ada hanya lilin dan le'ntera. Kubersihkan bagian luar luka itu dengan alkohol dan yodium, lahi kusuntikkan xylocain di pinggirnya untuk menghilangkan rasa nyeri di situ. Kemudian, dengan hati-hati sekali kukorek-korek bagian dalam luka dengan gunting berujung bulat, sementara orang itu terus merintih-rintih. Akhirnya kutemukan beberapa serpih pecahan berukuran lumayan besar dekat tulang punggung, lalu kusingkirkan.

Pasien malam itu dua puluh orang, dan banyak di antaranya wanita dalam keadaan sudah hampir saatnya melahirkan. Suatu ironi yang kejam: bayi mereka dilahirkan pada salah satu saat yang paling tidak membahagiakan dalam perjalanan sejarah Kamboja. Aku terus bekerja, dari pasien yang satu ke pasien berikut, dibantu para bidan dan perawar. Pintu-pintu kami biarkan tetap dalam keadaan terkunci. Kami jaga jangan sampai sinar lilin dan lentera menyebabkan adanya kami di situ ketahuan dari luar. Biar begitu, sekian jam sekali ada saja orang-orang Khmer Merah yang datang menggedor-gedor terali pintu sambi! berteriakteriak, "Ada orang di dalam? Kalian harus pergi!" Kami semua membisu. Tidak ada yang menjawab, baik staf, para pasien, maupun sanak-keluarga mereka; Setelah lama sekali rasanya kami menunggu di dalam, terdengar langkah orang Khmer Merah itu pergi lagi, berteriak-teriak kepada orang-orang di jalan menyuruh mereka terus. Kami mengintip dari balik jendela tertutup, memandang arus pengungsi yang tidak habis-habisnya mengalir.

Menjeleng fajar, ketika aku sudah selesai menangani pasien terakhir, aku menyelinap ke luar lalu berjalan ke arah utara, ke arah apartemen tempat tinggal Huoy serta rumah orangtuaku. Karena hari masih gelap, mestinya tidak sulit bagiku untuk menyelinap ke arah kebalikan dari yang diperintahkan oleh Khmer Merah. Tapi rupanya selain aku masih ada orang-orang lain yang berniat melakukan hal yang serupa. Aku melihat ada seorang lelaki berjalan di depanku. Ketika ia sampai di suatu persimpangan yang diterangi lampu jalan, terdengar suara seorang gerilyawan Khmer Merah menyuruhnya berhenti. Orang itu tidak segera menurut. Gerilyawan yang berseru tadi mengangkat senapannya, membidik, lalu menembak. Lelaki itu roboh ke jalan, terkejat-kejat sebentar, dan akhirnya terkapar. Ia tidak bergerak -gerak lagi.

Aku cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah mobil yang diparkir. Orang-orang lain yang juga berniat menyelinap seperti aku berdiri seperti terpaku di tempat masing-masing, tidak satu pun berani bergerak.

"Kalian tidak mau patuh kepada Angka!" teriak serdadu Khmer Merah itu memecah kesunyian, terarah pada orang-orang yang berada di dekatnya. "Kalian harus menurut. Putaran roda sejarah takkan menunggu kalian. Jika kalian berjalan, harus menuju arah yang benar. Kalian harus menuju ke luar kota, ke pedalaman."

Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri serdadu itu. "Tolonglah, Luk," kataku, menggunakan kata sapaan hormat yang biasanya ditujukan kepada orang yang lebih tinggi kedudukannya dalam masyarakat, "istri dan anak-anakku tertinggal. Aku harus menjemput mereka. Mereka tidak jauh dari sini, cuma sedikit saja di sebelah sana jalan ini."

"Jangan meminta-minta," jawab serdadu itu dengan kasar. "Sekarang tidak ada lagi cara-cara begitu. Dan tidak ada lagi luk. Kita semua sederajat sekarang. Sama-sama setingkat. Kenapa masih kaupakai juga adat-istiadat masyarakat lama? Tidak ada lagi masyarakat lama sekarang! Pergi dari sini."

"Tolonglah, Kawan, istri dan anak-anakku pasti bingung kalau aku tidak ada bersama mereka." Dusta itu dengan enak saja meluncur keluar dari mulutku.

"Tidak bisa!" teriak serdadu itu. "Angka tidak mengizinkannya! Aku tidak bertanggung-jawab atas keselamatanmu, jika kau· masih juga berani mencoba pergi ke seberang jalan. Sana, pergi!"

Aku menyurutkan langkah, dengan perasaan kecut. Entah di mana mereka, Huoy dan orangtuaku Saat itu pasti sedang bertanya-tanya sendiri, bingung memikirkan aku. Sama dengan aku, yang saat itu bingung memikirkan mereka, bertanya-tanya dalam hati di mana mereka berada.

Tapi percuma saja mencari-cari mereka saat itu, selama manusia fanatik yang menghadang itu bisa menembak dengan leluasa. Orang yang dijadikannya sasaran tadi tergeletak di atas aspal jalanan, di tengah genangan darah yang nampak mengkilat kena sinar lampu jalan. Orang-orang sipil yang berjalan dengan lamban melintasi persimpangan menuju selatan, semuanya tidak berani lewat dekat sosok tubuh yang terkapar itu. Tidak ada yang berani menghampiri untuk melihat apakah ia sudah mati, atau untuk mengangkutnya pergi dari situ.

Sementara mataku masih terus menatap tubuh yang tidak berkutik lagi itu, dalam ingatanku terus terbayang pasien yang sudah hampir mati, yang kutinggalkan di atas meja bedah.

Ketika aku sampai lagi di klinik, pasien-pasien yang tadi ada di situ sudah pergi semua. Stafku sibuk berkemas-kemas, dikepalai oleh Thoeun. Dia ini dulunya serdadu dalam tentara Lon Nol, sampai cedera yang dialaminya dalam salah satu pertempuran menyebabkan ia diangkut ke rumah sakit di mana ia kurawat. Ia mengalami kerusakan saraf yang tidak bisa disembuhkan lagi: matanya selalu setengah terpejam dan kepalanya bergerak-gerak terus, tersentak-sentak menyamping. Tapi ia tidak pernah kehabisan akal. Karena ia tidak bisa lagi kembali menjadi tentara, aku lantas. mengambilnya jadi pegawaiku. Dan aku tidak pernah menyesali keputusanku itu.

Thoeun sudah mengusahakan sebuah gerobak pengangkut air. Tong berukuran lima puluh lima galon yang ada di atasnya disingkirkan. Kemudian gerobak itu digandengkannya ke belakang sebuah sepeda motor Yamaha yang ditinggalkan salah seorang pasien di klinik, lalu dimuatinya dengan keranjang-keranjang berisi makanan dan obatobatan, lilin dan lentera, serta setumpuk sarung yang ditemukannya entah di mana. Barang-barang lain ditumpukkannya dalam rak yang ada pada skuterku. Sementara itu para perawat mengemaskan barang-barang bawaan pula; ada yang dimasukkan dalam keranjang-keranjang, dan ada yang dibungkus dalam kain-kain. Mereka melilitkan krama mereka membungkus kepala dengan gaya orang desa, untuk dijadikan alas jika nanti berjalan dengan menjunjung barang-barang bawaan. Mereka mengerumuni aku di dalam gang. "Anda sudah siap untuk berangkat, Luk Dokter?" "Masih ada lagi yang harus kita bawa, Dokter?”.

Mereka bersembilan: delapan wanita muda dan setengah umur, ditambah dengan Thoeun, yang berdiri dengan murung di samping sepeda motor Yamaha yang ditinggalkan pemiliknya yang lama.

"Mulai saat ini kita harus berhati-hati," kataku kepada mereka. "Jika kalian ingin aku bisa terus bersama kalian, jangan lagi menyapa aku dengan Luk dan 'Dokter'. Sapa saja aku dengan sebutan 'Saudara'. Bagaimana - sudah mengerti?" Mereka mengangguk, sambil mengusap air mata. "Jika ada yang bertanya kenapa kalian ikut dengan aku, Jangan katakan aku majikan kalian. Bilang saja kita semuanya teman. Tapi jangan cemas, kita takkan apa-apa. Kita takkan mati. Berhentilah menangis, setelah itu kita berangkat."

Kami meninggalkan klinik ketika langit mulai terang. Pintu-pintu kami kunci semua. Aku memakai blus wanita yang kutemukan di rumah sakit dan kulilitkan selembar krama membungkus kepala, agar aku lebih sulit lagi dikenali. Srei tidak mau jauh-jauh dari aku. Ia berpegangan pada rak barang yang terpasang di belakang skuterku. Kami berjalan menuju selatan, lewat sebuah jalan kecil yang sejajar dengan Boulevard Monivong.

Jalanan masih terus penuh dengan manusia. lewat alat pengeras suara, penguasa yang baru berulang-ulang menyerukan perintah mereka: Kalian harus meninggalkan kota. Beri kesempatan pada Angka untuk membereskan musuh-musuh yang masih bersembunyi dan menumpas mereka. Kalian harus meninggalkan kota selama tiga jam. Kalian harus dengan segera meninggalkan kota... " Tapi sementara itu mulai ada serdadu-serdadu Khmer Merah yang meneriakkan perintah yang lain bunyinya, yaitu kami harus pergi selama tiga hari, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang mereka teriakkan itu bertentangan dengan seruan-seman yang terdengar lewat alat pengeras suara.

Kami merasa kelu karena tidak tidur sepanjang malam. Rasanya seperti sedang berjalan dalam mimpi buruk. Kami semua tahu bahwa Khmer Merah berbohong, tapi ada sebagian dari kesadaran kami yang masih selalu berharap bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya. Jika kami masih bisa kembali, entah setelah tiga jam atau tiga hari, maka tidak ada gunanya bergegas-gegas, karena nanti harus menempuh jarak yang sama lagi saat hendak kembali ke kota. Sebab itu kami berjalan lambat-lambat. Semua yang ada di jalan juga begitu. Tidak ada yang bergegas.

Sementara itu langit sudah terang. Sosok-sosok tubuh di sekeliling kami mulai nampak jelas. Di sampingku berjalan seorang wanita menjunjung tas besar di atas kepalanya. Satu tangannya memegang tas itu supaya jangan jatuh. Di belakang wanita itu berjalan anak-anaknya yang masih kecil. Aku menoleh ke arahnya. Ternyata aku mengenalnya. Ia pernah bekerja sebagai perawat di rumah sakit tentara. Kami sama-sama bekerja di situ selama beberapa tahun.

"Dokter Ngor-” katanya.

"Jangan sapa aku dengan sebutan itu, karena aku bukan dokter lagi sekarang," kataku dengan cepat. "Sebut aku ‘Saudara'."

"Dokter Ngor," kata wanita itu mengulangi. Ia kelihatannya seperti sudah hampir menangis. Mungkin ia tidak mendengar kata-kataku tadi. Atau mungkin pikirannya sudah kalut. Itu bisa dimaklumi. Phnom Penh sudah jatuh. Kami semua berangkat, memulai perjalanan tanpa mengetahui ke mana kami harus pergi. Wanita itu perlu bicara dengan seseorang yang dikenalnya. Wajahnya mengerenyot. "Kita tidak tahu kapan kita bisa berjumpa lagi. Mungkin takkan pernah lagi," katanya. "Mungkin kita takkan pernah saling bertemu lagi." Setelah itu ia bergegas pergi dengan anak-anaknya mengikuti di belakang. Rupanya ia tidak mau aku melihatnya menangis.

"Jangan putus asa!" seruku kepadanya. "Harapan masih selalu ada selama matahari masih terbit di timur!"

Rombongan kami yang terdiri dari sepuluh orang sampai di sebuah persimpangan, dan dari situ menuju ke timur. Saat itu matahari yang besar dan berwarna merah muncul menembus asap di kaki langit. Kami akan berharap. Kami akan terus berharap. Tapi wanita tadi benar: aku tidak pernah lagi melihatnya sejak itu. Aku juga tidak pernah lagi melihat sebagian besar dari orang-orang yang pernah kukenal pada masa lampau di Phnom Penh.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar