7
RODA
SEJARAH
BERIBU-RIBU
orang memenuhi jalanan, bergerak lamban ke arah selatan, menuruti perintah para
gerilyawan Khmer Merah. Ribuan orang lagi berdiri di belakang jendela dan di
ambang pintu, enggan meninggalkan temp at mereka; banyak pula yang keluar dari
rumah mereka dan menyodorkan bunga atau mangkuk berisi nasi, yang oleh beberapa
di antara para gerilyawan itu diterima dengan senyuman malu orang desa sementara
yang lain-lainnya lewat saja dengan wajah dingin. Bunyi klakson mobil-mobil
berlengkingan. Dari arah bagian-bagian kota yang jauh terdengar bunyi rentetan
senapan-senapan serbu, sekali-sekali ditimpali dentuman meriam. Pertempuran
masih terus berlanjut, tapi kain-kain seprai putih bergelantungan di luar
gedung-gedung sebagai tanda menyerah dan permintaan agar tembak-menembak
dihentikan.
Pasukan-pasukan
Khmer Merah berbaris menyusur jalan-jalan raya, nampak capek dan cepat sekali
marah, bersenjatakan senapan AK-47 dan granat-granat bulat buatan Cina yang
digantungkan sekeliling pinggang. Seragam mereka yang berwarna hitam kotor
berdebu, penuh lumpur kering. Sepanjang malam mereka bertempur, di antaranya
ada yang bergerak mengarungi parit-parit. Beberapa prajurit spesialis memanggul
tabung- tabung besar peluncur roket, berjalan seiring dengan rekan-rekan mereka
yang membawa roket-roket dalam ransel besar yang dipanggul di punggung. Di
sana-sini nampak mit neary, wanita- wanita
pejuang gerilya, menembak-nembakkan pistol mereka ke udara sambil
membentak-bentak menyuruh penduduk sipil bergegas pergi. Para anggota Khmer
Merah itu muda-muda, kebanyakan baru belasan tahun. Warna kulit mereka sangat
gelap. Ras mereka asli Khmer, anak-anak pedesaan. Phnom Penh merupakan tempat
yang asing bagi mereka.
Persis
di depanku ada seorang gerilyawan. Dengan senyuman bahagia seorang anak. yang mendapat
permainan baru, ia mencoba menaiki sebuah sepeda motor. Diputarnya gas
kendaraan beroda dua itu sampai mentok. Ketika kopling kemudian dilepaskan,
roda depan sepeda motor ini menggelincir ke kiri dan ke kanan, dan tahu-tahu kendaraan
itu menerjang maju tanpa dia, melesat ke arah orang banyak. Gerilyawan itu terjerembap.
Ia berdiri lagi lalu pergi dengan tampang masam, meninggalkan sepeda motor yang
tergeletak dan orang-orang lain kesakitan sambil memegang kaki masing-masing.
Kumasukkan
gigi Vespa-ku ke netral lalu kutuntun kendaraan itu ke jalan. Tidak ada gunanya
menghidupkan mesinnya, karena cuma membuang-buang bensin saja. Jalan-jalan
penuh dengan manusia. Aku takkan mungkin bisa lewat.
Seorang
gerilyawan Khmer Merah berteriak, "Kalian harus pergi dari kota selama
paling sedikit tiga jam. Kalian harus pergi selama tiga jam, Kalian harus pergi
demi keselamatan kalian sendiri, karena orang-orang Amerika tidak bisa dipercaya.
Sebentar lagi mereka akan menjatuhkan bom-bom di atas kita. Pergilah sekarang
juga, dan tidak usah membawa apa-apa."
Haruskah
aku mempercayainya? Aku bingung. Setelah mengalami kejadian di rumah sakit
tadi? Naluriku melarang. Tampang para gerilyawan di jalanan itu sama galaknya
seperti kedua rekan mereka yang menyerbu masuk ke dalam ruang bedah. Penampilan
mereka sama sekali tidak seperti orang Kamboja biasa, selain bentuk muka mereka
yang bulat dan berkulit gelap. Meski begitu ada sebagian dari diriku yang ingin
percaya bahwa mereka mengatakan yang sebenarnya.
Orang
bersuara galak itu berteriak lagi, "Jika ada yang membawa senjata,
letakkan di pinggir jalan, biar dikumpulkan nanti oleh Angka. Perang sudah
selesai dan tidak ada perlunya lagi membawa- bawa senjata. Semua senjata
menjadi milik Angka!"
Aku
memandang sekilas ke arab pinggir jalan. Benarlah, beberapa orang sipil yang
kelihatannya pereaya muncul dari rumah masing-masing dan meletakkan
senjata-senjata mereka, AK-47, M-16, pistol, di trotoar. Aku bertanya-tanya
dalam hati: Angka itu siapa? Atau, Angka itu apa?
Dalam
bahasa Khmer, angka berarti
"organisasi". Angka adalah Organisasi-jadi mestinya gugus komando
Khmer Merah, begitulah pikirku. Tapi apa artinya itu? Apakah para gerilyawan hendak
berusaha mengorganisasikan rakyat Kamboja? Kemungkinan itu sangat kecil. Kami
merupakan rakyat yang sama sekali tidak bisa diatur. Petani bercocok tanam di
mana saja mereka mau, para pegawai yang bersikap seenaknya saja tentang keharusan
hadir di tempar kerja, suatu masyarakat yang begini santai dan tidak pedulian sehingga
tidak ada sesuatu yang bisa selesai dengan beres. Bahkan Sihanouk saja pun
tidak sanggup mengatur kami ketika ia masih berkuasa. Padahal ia sudah berusaha
ke arah itu. Di manakah Sihanouk sekarang? tanyaku dalam hati. Apakah ia turut
berperan dalam Angka? Bukankah ia pemimpin Khmer Merah? Kapankah ia kembali ke
Phnom Penh? Kenapa namanya sama sekali tidak disebut-sebut?
Di
sekelilingku terdengar suara-suara menggerutu.
"Untuk
apa mengungsi ke luar kota? Kami tidak mau pergi. Perang sudah selesai. Amerika
takkan mengebom kita. Kita tidak mau pergi." Orang-orang itu melangkah,
lalu berhenti; berjalan satu-dua langkah, lalu berhenti lagi. Orang-orang yang
membawa sepeda motor menuntun kendaraan mereka, seperti yang kulakukan. Mere ka
yang bermobil mendorongnya dengan bamuan ternan-ternan atau sanak-kerabat.
Tidak ada yang menghidupkan mesin kendaraannya. Tidak ada tempat luang di
jalanan yang bisa, dilewati. Bensin juga tinggal sedikit. Kapankah bensin bisa
dibeli lagi? Bagaimanakah nasib perusahaan pengangkut bensinku nanti?
Aku
tersaruk-saruk menuju selatan mengikuti arus manusia, kurang-lebih ke arah
klinikku. Dari arah berlawanan muncul segerombolan gerilyawan Khmer Merah.
Mereka menggiring seorang lelaki yang nampak ketakutan. Kedua tangannya terikat
di belakang punggung. Ia didorong-dorong seorang mit neary yang bersenjata pistol. Wanita itu berbuah dada besar tapi
berusaha sedapat mungkin agar tidak kentara kewanitaannya. Ia memakai blus yang
dikancingkan sampai ke leher; lengan kemejanya digulung sampai menampakkan
lengan atas, sementara kepalanya dibungkus dengan krama berpola kotak-kotak. Penampilannya
sama dekil dan sengitnya seperti rekan-rekannya yang pria. Ketika ia sudah hampir
sampai di tempatku berada, ia mengacung-acungkan pistolnya orang banyak. "Roda
sejarah berputar, " katanya.
"Roda
sejarah berputar terus. Jika ada yang mencoba menghentikannya dengan tangan.
tangan itu akan terjepit di antara ruji-rujinya. Jika kaki yang dipergunakan,
kaki pun akan putus. Tidak ada jalan kembali. Sejarah dunia tidak akan menunggu.
Revolusi sudah datang. Kalian harus memilih, ikut dengan Angka atau tidak. Jika
kalian memilih tidak mau ikut dengan Angka, kami tidak bertanggung- jawab atas
keselamatan kalian."
Didorongnya
lagi lelaki tawanan yang ada di depannya dengan kasar. Lelaki itu terhuyung. Matanya
yang terbelalak dengan jelas menampakkan bahwa ia ketakutan. Ketika rombongan
itu melewati aku, wanita tadi mengacung-acungkan pistolnya lagi sambil
berteriak-teriak, "Sekarang semuanya sederajat! Semuanya sama! Tidak ada lagi
sompeah-sompeah! Tidak ada lagi tuan
dan pelayan! Roda sejarah berputar! Kalian harus mematuhi peraturan-peraturan
Angka! "
Kulanjutkan
langkahku sambi! mendorong Vespa. Segala harapanku sehubungan dengan Khmer
Merah, lenyap sama sekali. Mereka itu mestinya membebaskan, bukan mengikat kami
dan meneriakkan ancaman-ancaman bahwa kami harus mematuhi perintah-perintah
Angka. Siapapun, atau apa pun juga Angka itu.
Hawa
terasa menyesakkan napas. Jalan-jalan penuh sesak. Kami sudah bukan lagi
penghuni kota Phnom Penh. Kami sudah menjadi pengungsi, membawa apa saja yang
bisa dibawa. Mereka yang kaya mendorong mobil atau gerobak sorong berisi beras
berkarung-karung, koper-koper, segala macam panci, pesawat televisi, dan kipas angin.
Orang-orang yang miskin hanya membawa periuk nasi. Penjual bahan pangan
mengangkut bahan pangan, pedagang buku mendorong gerobak-gerobak dengan buku
bertumpuk-tumpuk di dalamnya. Aneh, kataku dalam hati, kalau melihat barang-barang
yang dinilai berharga oleh orang-orang. Pesawat televisi dan kipas angin takkan
banyak gunanya di luar kota, di mana aliran listrik tidak ada.
Aku
sampai di sebuah klinik swasta yang serupa dengan klinik milikku. Letaknya
beberapa blok dari rumah sakit. Pasien-pasien di situ pergi semua meninggalkan
klinik itu, disuruh oleh Khmer Merah. Seorang serdadu yang tinggal satu kakinya
berjalan terpincang-pincang dengan disangga tongkat, sambil menggenggam sendok
dan piring kalengnya. Di belakangnya seseorang dengan mata dibalut dan kaki
diamputasi terkapar di atas ranjang rumah sakit beroda yang didorong di trotoar,
dengan tabung infus masih tergantung pada rak yang menempel ke ranjang. Yang
paling lambat jalannya seorang wanita berumur yang dengan satu tangannya
memegang erat-erat bagian depan sarungnya supaya jangan terlepas, sementara dengan
tangan yang satu lagi ia bertopang pada seorang wanita yang berjalan menemani.
Wanita tua itu berkata dengan suara lemah, "Aku capek sekali. Berhentilah,
aku capek sekali. Aku tidak mampu lagi." Wanita yang menemani, yang memegang
tabung infus wanita itu menjawab "Paksakan diri, Bu. Teruslah berjalan.
Ayo, berjalanlah sebisa mungkin. Aku tahu Anda capek, tapi Anda pasti
bisa."
Kutanyakan
pada wanlta tua ltu tentang pe- nyakitnya. Ia mengatakan bahwa ia tidak tahu, karena
catatan-catatan rumah sakit mengenainya tidak dibawa olehnya. Kawannya
mengatakan bahwa wanita itu menderita sakit di perutnya.
"Biarkan
dia beristirahat dulu," kataku pada wanita yang menemani. "Jangan dia
disuruh bergegas-gegas. Biarkan dia tiap kali berjalan beberapa langkah saja,
jika cuma begitu kemampuannya. Tapi jika bisa, bawa dia ke klinik Sokchea,
dekat pasar Tuol Tumpoung. Saya akan ada di sana."
Aku
berdiri di ambang sebuah pintu. Kupegang pergelangan tangan wanita tua itu.
Denyut nadinya pelan sekali, nyaris tak terasa. Kemudian kutarik kelopak
matanya yang sebelah bawah untuk melihat keadaan darahnya. Jaringan pada bagian
dalam kelopak itu nampak pucat kekurangan darah. Jika keadaannya sehat,
jaringan itu seharusnya berwarna merah. Saat itu seorang gerilyawan Khmer Merah
yang masih muda dan' bertubuh pendek datang menghampiri. Tatapan matanya galak,
dan pakaiannya yang serba hitam nampak berlumpur. Gerilyawan itu berteriak, "Jalan
terus! Jangan berhenti di situ! " Suaranya melengking kekanak-kanakan.
Tingginya tidak lebih dari senapan yang dibawanya.
Aku
menanggapi bentakannya dengan sopan, "Ya, kami pergi sekarang."
Gerilyawan yang masih anak-anak itu berjalan terus sambil berteriak-teriak,
"Kalian harus pergi! Sekarang juga!", dengan suaranya yang tinggi
kepada orang-orang yang berada di ambang pintu rumah-rumah lain. Ia baru
beberapa langkah meninggalkan kami ketika tahu-tahu ia mengangkat AK-47-nya dan
melepaskan serentetan tembakan ke udara. Wanita tua itu gemetar, sehingga aku
harus cepat-cepat menopangnya supaya jangan jatuh. Sementara itu gerilyawan
muda tadi berjalan terus di trotoar, berteriak-teriak sambil melepaskan
tembakan berulang- ulang ke udara.
Kutunjukkan
jalan ke klinikku kepada kedua Wanita itu dan kuucapkan selamat jalan. Setelah itu
kuteruskan melangkah, dengan perasaan getir. Kenapa para gerilyawan itu
menyuruh para pasien meninggalkan rumah sakit dan klinik tempat mereka sedang
dirawat? Apa untungnya tindakan itu? Mungkin saja Khmer Merah punya alasan tertentu
bagi tindakan mereka mengosongkan kota, tapi mereka tidak perlu memaksa orang-orang
yang lemah dan sakit agar bergegas-gegas. Terlintas dalam ingatanku meja bedah
di rumah sakit. Terbayang pasien yang terbaring di atasnya, dengan sayatan
panjang pada bagian perutnya. Seorang prajurit muda yang kutinggal menghadapi ajal
seorang diri.
Aku
membelok ke arah barat lalu ke selatan menuju Boulevard Monivong, salah satu
jalan utama kota Phnom Penh. Arus lalu lintas di situ lebih lamban lagi
geraknya. Banjir manusia di situ beringsut-ingsut maju dengan susah-payah. Aku terkurung
di tengah-tengah sekian banyak kaki, bahu, dan kepala. Di setiap pojok jalan
ada gerilyawan Khmer Merah yang berseru-seru menyuruh kami terus, dan masih ada
lagi gerilyawan-gerilyawan lain berwajah masam yang lewat naik jip atau
truk-truk terbuka, melambaikan kain atau selampai berwarna merah yang diikatkan
ke bayonet mereka. Orang-orang sipil di jalanan memakai pengikat lengan atau
kepala berwarna putih dan membelitkan handuk putih ke pinggang. Selampai-selampai
putih diikatkan ke antena radio mobil mereka, dan seprai-seprai putih bergelantungan
di luar jendela rumah-rumah. Tapi kesan kegembiraan semula bahwa perang sudah
berakhir sementara itu sudah lenyap, digantikan perasaan takut. Di trotoar,
seorang lelaki membuka seragam tentara Lon Nol yang semula dipakai dan
menggantinya dengan pakaian piama hitam.
Ada
sesuatu yang terjadi. saat itu, yang tidak terjangkau akal sehat. Antara
harapan kami akan adanya pembebasan dan kemasaman wajah para gerilyawan, antara
perintah mereka pada kami untuk meninggalkan kota "selama tiga jam"
dan kesadaran yang timbul kemudian bahwa diperlukan waktu tiga jam untuk
bergerak maju sejauh tiga blok saja, menganga jurang lebar yang tidak bisa
diseberangi akal sehat kami. Kami hanya bisa merasakan bahwa saat itu sedang
berlangsung suatu peristiwa maha besar dan kami merupakan bagian dari padanya;
bahwa kami sama sekali sudah tidak berdaya lagi menentukan nasib kami sendiri.
Ketika
aku melihat ada lubang sedikit di tengah banjir manusia di dekatku, aku
cepat-cepat menyusup lewat situ ke sebuah jalan samping. Kuparkir Vespa-ku dan
kukunci. Kutangguhkan niatku semula untuk pergi ke klinik. Aku harus mencari
Huoy dan orangtuaku dulu.
Aku
menyusuri jalan-jalan kecil, lalu masuk lagi ke Boulevard Monivong, menuju ke
arah utara. Karena sudah tidak lagi menuntun skuterku aku bisa bergerak lebih
leluasa, berjalan melawan arus, menghindari serdadu-serdadu Khmer Merah agar
jangan sampai ketahuan. Tapi kepala dan bahu sekian banyak manusia yang
bergerak-gerak menyembunyikan diriku dari pengamatan Khmer Merah, di pihak lain
juga menyebabkan aku sulit melihat. Kutelusuri terus wajah-wajah manusia yang
ribuan banyaknya. Tapi aku tidak menemukan Huoy. Ayah dan ibuku juga tidak.
Aku
melihat sekian banyak keluarga berjalan berkeliling blok, berkeliling-keliling
terus supaya kelihatan bergerak, dengan harapan bahwa waktu keharusan mengungsi
"selama tiga jam" akan segera berakhir. Kulihat wanita-wanita
menangis, mencari anak-anak mereka yang tercecer. Lelaki-lelaki melesat lari
masuk kembali ke rumah, karena tiba-tiba teringat lagi, bahwa di dalam masih
ada setumpuk pakaian lagi, atau sekarung beras, atau emas yang ditaruh di
tempat tersembunyi. Mereka menumpukkan koper-koper di tempat bagasi mobil
mereka, lalu lari masuk ke rumah dan kembali lagi ke mobil sambil berseru
menyuruh yang lain-lainnya bergegas.
Menjelang
saat matahari terbenam aku kembali lagi ke tempat skuterku tadi kuparkir lalu
mendorongnya ke arah selatan lewat Boulevard Monivong menuju ke Wat Tuol
Tumpoung yang letaknya dekat klinikku. Kompleks kuil itu, yang dikelilingi
tembok tinggi yang dikapur putih dan sisi atasnya bertakik-takik, membentuk satu
blok tersendiri. Biksu-biksu berwajah cemas bermunculan dari gerbangnya yang
berukir-ukir, mendorong gerobak berisi barang-barang mereka yang lidak banyak:
jubah kuning, berapa perkakas masak; sebuah periuk nasi. Mereka juga disuruh pergi
oleh Khmer Merah.
Setelah
melewati kuil, kulihat seorang serdadu Khmer Merah yang sambil tertawa-tawa
berusaha menghidupkan mesin sebuah Vespa seperti skuterku. Aku memandangnya
sekilas, tapi langsung terpana. Aku mengenali bahwa remaja dengan seragam hitam
berlumpur itu seorang anak dari desa asalku, dari Samrong Yong. Aku tidak tahu namanya,
tapi aku ingat pernah melihatnya di pasar dan di lapangan sepakbola.
Remaja
itu terus saja tertawa, rupanya heran sendiri bahwa ia kini punya skuter,
setelah sekian tahun hidup penuh penderitaan di dalam rimba. Vespa itu
merupakan permainan baginya, suatu keisengan dari kehidupan kota yang
dijauhinya selama itu. Tawa lebarnya langsung lenyap begitu ia melihat aku
memandang ke arahnya. " Halo, Kawan," sapaku. Ia tidak menjawab. Kakinya
terus digerak-gerakkan tunin-naik, berusaha menstarter skuter itu. Akhirnya ia
berhasil, mesin kendaraan itu hidup. Ia duduk di atas sadel lalu meluncur pergi
tanpa sedikit pun melirik ke arahku lagi. Mungkin ia merasa bahwa orang-orang dari
desanya tidak ada lagi artinya kini bagi dirinya, setelah roda sejarah mulai
bergerak.
Malam
sudah meremang ketika aku akhirnya tiba di klinikku. Dilihat dari luar tempat
itu nampak lengang dan tertutup. Tapi ketika kubuka pintu dorong berterali yang
semula dikunci lalu cepat-cepat masuk, ternyata ada sekitar selusin pasien di
dalam. Mereka memberi hormat kepadaku dengan ·sikap menyembah. "Tolong
periksa saya dulu, Luk Dokter."
"Tolong selamatkan nyawa saya," kata mereka. Aku membalas sompeah mereka satu demi satu, sambil
mengatakan bahwa semua akan mendapat giliran tapi kasus-kasus terparah harus
didulukan. Perasaan sedih dan kecewa menusuk lubuk hatiku sementara aku memperhatikan
wajah mereka satu-satu. Wanita tua yang kuperiksa denyut nadi pergelangan tangannya
di jalan tadi tidak ada di antara mereka. Yah, apa boleh buat.
Aku
pergi ke ruang perawat. Kutanyakan kepada Srei, perawat kesayanganku, apakah Huoy
tadi meninggalkan pesan untukku. Srei yang mungil itu sudah kuanggap seperti
adik saja. Sambil tersenyum merajuk ia menjawab, "Jangan pikirkan pacar Anda,
urus dulu pasien-pasien kita. Cepat, di dalam ada yang sudah hampir melahirkan.
"
"Sudah
seberapa jauh?"
"Leher
rahimnya sudah melebar sampai delapan senti," kata Srei. Jadi sudah tidak
banyak waktu lagi.
Mula-mula
klinik harus dibereskan dulu. Di luar sudah hampir gelap. Listrik sudah tidak
ada, begitu pula air ledeng sudah berhenti mengalir. Staf hadir semua, tapi
dokter satunya yang seharusnya dinas saat itu, tidak ada. Kusuruh Srei mencari
lilin dan air. Ia harus mensterilkan instrumen-instrumen kebidanan dengan cara
menaruhnya dalam baki dan menuanginya dengan alkohol yang kemudian dibakar.
Srei bergegas pergi. Ia berhasil menyiapkan instrumen-instrumen ketika aku
kemudian memerlukannya.
Aku
berganti pakaian, membersihkan badan, lalu membantu wanita yang sudah hampir
melahirkan itu. Ketika bayinya sudah keluar, para perawat mengingatkan aku
tentang persoalan air yang belum juga terpecahkan. Aku keluar ke ruang tunggu
dan meminta kepada pasien-pasien yang ada di situ agar yang masih bisa pergi mencari
air di luar. Thoeun, penjaga klinik; akan mengawasi orang-orang yang
keluar-masuk.
Setelah
itu aku kembali bekerja. Pasien yang berikut, seorang penduduk sipil, menderita
luka kena pecahan peluru artileri. h mengerang kesakitan. Pecahan itu menembus
punggungnya. Lukanya sudah meradang, di bawah krama dekil yang dipakai sebagai
pembalut sejak beberapa hari. Kami tidak bisa mempergunakan peralatan sinar-X
untuk mengetahui posisi serpihan pecahan itu; yang ada hanya lilin dan
le'ntera. Kubersihkan bagian luar luka itu dengan alkohol dan yodium, lahi
kusuntikkan xylocain di pinggirnya untuk menghilangkan rasa nyeri di situ.
Kemudian, dengan hati-hati sekali kukorek-korek bagian dalam luka dengan
gunting berujung bulat, sementara orang itu terus merintih-rintih. Akhirnya kutemukan
beberapa serpih pecahan berukuran lumayan besar dekat tulang punggung, lalu kusingkirkan.
Pasien
malam itu dua puluh orang, dan banyak di antaranya wanita dalam keadaan sudah
hampir saatnya melahirkan. Suatu ironi yang kejam: bayi mereka dilahirkan pada
salah satu saat yang paling tidak membahagiakan dalam perjalanan sejarah Kamboja.
Aku terus bekerja, dari pasien yang satu ke pasien berikut, dibantu para bidan
dan perawar. Pintu-pintu kami biarkan tetap dalam keadaan terkunci. Kami jaga
jangan sampai sinar lilin dan lentera menyebabkan adanya kami di situ ketahuan
dari luar. Biar begitu, sekian jam sekali ada saja orang-orang Khmer Merah yang
datang menggedor-gedor terali pintu sambi! berteriakteriak, "Ada orang di
dalam? Kalian harus pergi!" Kami semua membisu. Tidak ada yang menjawab, baik
staf, para pasien, maupun sanak-keluarga mereka; Setelah lama sekali rasanya
kami menunggu di dalam, terdengar langkah orang Khmer Merah itu pergi lagi,
berteriak-teriak kepada orang-orang di jalan menyuruh mereka terus. Kami mengintip
dari balik jendela tertutup, memandang arus pengungsi yang tidak habis-habisnya
mengalir.
Menjeleng
fajar, ketika aku sudah selesai menangani pasien terakhir, aku menyelinap ke
luar lalu berjalan ke arah utara, ke arah apartemen tempat tinggal Huoy serta
rumah orangtuaku. Karena hari masih gelap, mestinya tidak sulit bagiku untuk
menyelinap ke arah kebalikan dari yang diperintahkan oleh Khmer Merah. Tapi
rupanya selain aku masih ada orang-orang lain yang berniat melakukan hal yang
serupa. Aku melihat ada seorang lelaki berjalan di depanku. Ketika ia sampai di
suatu persimpangan yang diterangi lampu jalan, terdengar suara seorang
gerilyawan Khmer Merah menyuruhnya berhenti. Orang itu tidak segera menurut.
Gerilyawan yang berseru tadi mengangkat senapannya, membidik, lalu menembak.
Lelaki itu roboh ke jalan, terkejat-kejat sebentar, dan akhirnya terkapar. Ia
tidak bergerak -gerak lagi.
Aku
cepat-cepat bersembunyi di balik sebuah mobil yang diparkir. Orang-orang lain
yang juga berniat menyelinap seperti aku berdiri seperti terpaku di tempat
masing-masing, tidak satu pun berani bergerak.
"Kalian
tidak mau patuh kepada Angka!" teriak serdadu Khmer Merah itu memecah
kesunyian, terarah pada orang-orang yang berada di dekatnya. "Kalian harus
menurut. Putaran roda sejarah takkan menunggu kalian. Jika kalian berjalan,
harus menuju arah yang benar. Kalian harus menuju ke luar kota, ke
pedalaman."
Aku
menarik napas dalam-dalam, lalu menghampiri serdadu itu. "Tolonglah, Luk," kataku, menggunakan kata
sapaan hormat yang biasanya ditujukan kepada orang yang lebih tinggi
kedudukannya dalam masyarakat, "istri dan anak-anakku tertinggal. Aku
harus menjemput mereka. Mereka tidak jauh dari sini, cuma sedikit saja di sebelah
sana jalan ini."
"Jangan
meminta-minta," jawab serdadu itu dengan kasar. "Sekarang tidak ada
lagi cara-cara begitu. Dan tidak ada lagi luk.
Kita semua sederajat sekarang. Sama-sama setingkat. Kenapa masih kaupakai juga
adat-istiadat masyarakat lama? Tidak ada lagi masyarakat lama sekarang! Pergi
dari sini."
"Tolonglah,
Kawan, istri dan anak-anakku pasti bingung kalau aku tidak ada bersama mereka."
Dusta itu dengan enak saja meluncur keluar dari mulutku.
"Tidak bisa!" teriak serdadu itu.
"Angka tidak mengizinkannya! Aku tidak bertanggung-jawab atas
keselamatanmu, jika kau· masih juga berani mencoba pergi ke seberang jalan.
Sana, pergi!"
Aku
menyurutkan langkah, dengan perasaan kecut. Entah di mana mereka, Huoy dan
orangtuaku Saat itu pasti sedang bertanya-tanya sendiri, bingung memikirkan
aku. Sama dengan aku, yang saat itu bingung memikirkan mereka, bertanya-tanya dalam
hati di mana mereka berada.
Tapi
percuma saja mencari-cari mereka saat itu, selama manusia fanatik yang
menghadang itu bisa menembak dengan leluasa. Orang yang dijadikannya sasaran
tadi tergeletak di atas aspal jalanan, di tengah genangan darah yang nampak
mengkilat kena sinar lampu jalan. Orang-orang sipil yang berjalan dengan lamban
melintasi persimpangan menuju selatan, semuanya tidak berani lewat dekat sosok
tubuh yang terkapar itu. Tidak ada yang berani menghampiri untuk melihat apakah
ia sudah mati, atau untuk mengangkutnya pergi dari situ.
Sementara
mataku masih terus menatap tubuh yang tidak berkutik lagi itu, dalam ingatanku terus
terbayang pasien yang sudah hampir mati, yang kutinggalkan di atas meja bedah.
Ketika
aku sampai lagi di klinik, pasien-pasien yang tadi ada di situ sudah pergi
semua. Stafku sibuk berkemas-kemas, dikepalai oleh Thoeun. Dia ini dulunya
serdadu dalam tentara Lon Nol, sampai cedera yang dialaminya dalam salah satu pertempuran
menyebabkan ia diangkut ke rumah sakit di mana ia kurawat. Ia mengalami
kerusakan saraf yang tidak bisa disembuhkan lagi: matanya selalu setengah terpejam
dan kepalanya bergerak-gerak terus, tersentak-sentak menyamping. Tapi ia tidak
pernah kehabisan akal. Karena ia tidak bisa lagi kembali menjadi tentara, aku
lantas. mengambilnya jadi pegawaiku. Dan aku tidak pernah menyesali keputusanku
itu.
Thoeun
sudah mengusahakan sebuah gerobak pengangkut air. Tong berukuran lima puluh
lima galon yang ada di atasnya disingkirkan. Kemudian gerobak itu
digandengkannya ke belakang sebuah sepeda motor Yamaha yang ditinggalkan salah seorang
pasien di klinik, lalu dimuatinya dengan keranjang-keranjang berisi makanan dan
obatobatan, lilin dan lentera, serta setumpuk sarung yang ditemukannya entah di
mana. Barang-barang lain ditumpukkannya dalam rak yang ada pada skuterku.
Sementara itu para perawat mengemaskan barang-barang bawaan pula; ada yang dimasukkan
dalam keranjang-keranjang, dan ada yang dibungkus dalam kain-kain. Mereka
melilitkan krama mereka membungkus kepala dengan gaya orang desa, untuk
dijadikan alas jika nanti berjalan dengan menjunjung barang-barang bawaan. Mereka
mengerumuni aku di dalam gang. "Anda sudah siap untuk berangkat, Luk Dokter?" "Masih ada lagi
yang harus kita bawa, Dokter?”.
Mereka
bersembilan: delapan wanita muda dan setengah umur, ditambah dengan Thoeun,
yang berdiri dengan murung di samping sepeda motor Yamaha yang ditinggalkan
pemiliknya yang lama.
"Mulai
saat ini kita harus berhati-hati," kataku kepada mereka. "Jika kalian
ingin aku bisa terus bersama kalian, jangan lagi menyapa aku dengan Luk dan 'Dokter'. Sapa saja aku dengan
sebutan 'Saudara'. Bagaimana - sudah mengerti?" Mereka mengangguk, sambil
mengusap air mata. "Jika ada yang bertanya kenapa kalian ikut dengan aku, Jangan
katakan aku majikan kalian. Bilang saja kita semuanya teman. Tapi jangan cemas,
kita takkan apa-apa. Kita takkan mati. Berhentilah menangis, setelah itu kita
berangkat."
Kami
meninggalkan klinik ketika langit mulai terang. Pintu-pintu kami kunci semua.
Aku memakai blus wanita yang kutemukan di rumah sakit dan kulilitkan selembar
krama membungkus kepala, agar aku lebih sulit lagi dikenali. Srei tidak mau
jauh-jauh dari aku. Ia berpegangan pada rak barang yang terpasang di belakang
skuterku. Kami berjalan menuju selatan, lewat sebuah jalan kecil yang sejajar
dengan Boulevard Monivong.
Jalanan
masih terus penuh dengan manusia. lewat alat pengeras suara, penguasa yang baru
berulang-ulang menyerukan perintah mereka: Kalian harus meninggalkan kota. Beri
kesempatan pada Angka untuk membereskan musuh-musuh yang masih bersembunyi dan
menumpas mereka. Kalian harus meninggalkan kota selama tiga jam. Kalian harus
dengan segera meninggalkan kota... " Tapi sementara itu mulai ada serdadu-serdadu
Khmer Merah yang meneriakkan perintah yang lain bunyinya, yaitu kami harus pergi
selama tiga hari, tanpa menyadari bahwa kata-kata yang mereka teriakkan itu
bertentangan dengan seruan-seman yang terdengar lewat alat pengeras suara.
Kami
merasa kelu karena tidak tidur sepanjang malam. Rasanya seperti sedang berjalan
dalam mimpi buruk. Kami semua tahu bahwa Khmer Merah berbohong, tapi ada sebagian
dari kesadaran kami yang masih selalu berharap bahwa mereka mengatakan yang
sebenarnya. Jika kami masih bisa kembali, entah setelah tiga jam atau tiga
hari, maka tidak ada gunanya bergegas-gegas, karena nanti harus menempuh jarak
yang sama lagi saat hendak kembali ke kota. Sebab itu kami berjalan lambat-lambat.
Semua yang ada di jalan juga begitu. Tidak ada yang bergegas.
Sementara
itu langit sudah terang. Sosok-sosok tubuh di sekeliling kami mulai nampak
jelas. Di sampingku berjalan seorang wanita menjunjung tas besar di atas
kepalanya. Satu tangannya memegang tas itu supaya jangan jatuh. Di belakang wanita
itu berjalan anak-anaknya yang masih kecil. Aku menoleh ke arahnya. Ternyata aku
mengenalnya. Ia pernah bekerja sebagai perawat di rumah sakit tentara. Kami sama-sama
bekerja di situ selama beberapa tahun.
"Dokter
Ngor-” katanya.
"Jangan
sapa aku dengan sebutan itu, karena aku bukan dokter lagi sekarang,"
kataku dengan cepat. "Sebut aku ‘Saudara'."
"Dokter
Ngor," kata wanita itu mengulangi. Ia kelihatannya seperti sudah hampir menangis.
Mungkin ia tidak mendengar kata-kataku tadi. Atau mungkin pikirannya sudah
kalut. Itu bisa dimaklumi. Phnom Penh sudah jatuh. Kami semua berangkat,
memulai perjalanan tanpa mengetahui ke mana kami harus pergi. Wanita itu perlu
bicara dengan seseorang yang dikenalnya. Wajahnya mengerenyot. "Kita tidak
tahu kapan kita bisa berjumpa lagi. Mungkin takkan pernah lagi," katanya.
"Mungkin kita takkan pernah saling bertemu lagi." Setelah itu ia
bergegas pergi dengan anak-anaknya mengikuti di belakang. Rupanya ia tidak mau
aku melihatnya menangis.
"Jangan
putus asa!" seruku kepadanya. "Harapan masih selalu ada selama
matahari masih terbit di timur!"
Rombongan
kami yang terdiri dari sepuluh orang sampai di sebuah persimpangan, dan dari situ
menuju ke timur. Saat itu matahari yang besar dan berwarna merah muncul
menembus asap di kaki langit. Kami akan berharap. Kami akan terus berharap.
Tapi wanita tadi benar: aku tidak pernah lagi melihatnya sejak itu. Aku juga
tidak pernah lagi melihat sebagian besar dari orang-orang yang pernah kukenal
pada masa lampau di Phnom Penh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar