Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Rabu, 23 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 19 : Angka Leu


19

ANGKA LEU


SEBAGAI mata-mata, umur mereka sudah agak tua. Sekitar dua belas, menurut taksiranku. Mereka hanya memakai celana pendek komprang berwarna hitam. Di daerah kami di Battambang, anak-anak seumur mereka banyak yang memakai seragam Khmer Merah dan menyandang senapan. Mungkin orangtua kedua anak itu kader-kader di dekat situ, dan mereka menggunakan pengaruh mereka untuk mengulur saat anak-anak mereka itu harus pergi meninggalkan rumah. Ya, rnungkin begitulah kenyataannya.

Aneh, pikirku selama saat yang panjang ketika aku belum berdiri setelah melihat kedua chhlop itu memandang diriku: kini anak-anak menjadi mata-mata sewaktu masih kecil, dan sesudah dekat ke akil-balik menjadi serdadu. Sudah tidak ada lagi yang namanya masa kanak-kanak. Sebelum revolusi anak-anak ini pasti sedang belajar cara menanam padi dari ayah-ayah mereka, atau pergi ke sekolah, atau membantu-bantu para bhiksu di kuil. Mereka pasti belajar bersikap horrnat terhadap orang-orang yang lebih tua.

"Cepat sedikit, Kawan!" Suara yang menjengkelkan, melengking tinggi. Jika mereka itu anak anakku, pasti sudah kupukul karena kurang ajar.

"Sebentar," kataku sambil turun dari tempat tidur gantung. "Aku kan sedang memakai baju. Aku akan segera ke sana."

"Suamiku akan ke sana," kata Huoy. Nada suaranya kesal. Sewaktu masih menjadi guru, ia biasa memarahi anak-anak seumur mereka. "Kenapa kalian menuduhnya? la kan sedang memakai. baju. la akan pergi sekarang."

"Aku akan kembali," kataku kepada Huoy.

Aku berjalan dengan langkah santai, diikuti oleh kedua anak itu. Aku tidak merasa cemas. Jika aku melakukan kesalahan berat, pasti serdadu-serdadu yang disuruh Angka menjemput diriku, nanti sore. Kedua, chhlop ini terlalu muda untuk diserahi kepercayaan melakukan tugas penting.

"Angka" yang harus kudatangi dengan diantar oleh kedua chhlop itu ternyata Chev, ketua koperasi. la sedang duduk di tempat tidur gantung di sebuah rumah bergaya Khmer Merah yang wujudnya hanya berupa rumah atap tanpa dinding di dekat dapur umum. Sikapnya lurus dengan kaki menginjak tanah. la bertelanjang dada. Sebentar-sebentar disedotnya asap rokok yang dipilin-pilinnya dengan lambat. Orangnya bertubuh kurus, berkulit coklat tua, dengan rambut lurus dan halus, bibir tebal dan bermulut lebar. Sinar matanya tidak kejam. la tersenyum.

"Kau Kawan ... ?" katanya dengan nada bertanya.

"Samnang," kataku, menyebutkan nama yang kupergunakan.

"Baiklah. Kawan Samnang, kau harus berterus terang terhadap Angka. Pagi ini chhlop kami datang ke bukit-bukit untuk melihat siapa-siapa saja yang punya makanan. Mereka memeriksa. Mereka menemukan bahwa kau punya keranjang besar berisi ubi garut. Pertanyaanku ini: jika kau punya makanan, kenapa tidak kauserahkan kepada Angka untuk dimakan bersama-sama? Kenapa tidak kauberikan kepada kelompok? Kenapa kau berniat memakannya sendiri saja?"

Nah. Jadi mata-mata itu yang mencuri makanan itu. Mestinya aku sudah tahu dengan sendirinya.

"Kawan Chev," kataku, "kemarin malam aku pergi mencari makanan, tapi jumlahnya hanya sedikit saja. Tidak mencukupi untuk seluruh anggota kelompok."

"Kau cuma ingin punya milik pribadi," katanya mengecam dengan suaranya yang lembut . "Dan ilu dilarang."

Aku tidak menjawab. Percuma saja membantah..

"Lalu ada satu hai lagi," kata Chev, masih sambil tersenyum. "Chhlop itu mengatakan, kau menyapa binimu dengan sebutan 'sayang'. Di sini tidak ada 'sayang-sayang', itu dilarang."

Dua orang serdadu bergegas datang ke arah kami, seperti terlambat tiba di rapat yang hendak mereka hadiri. Chev duduk dengan sikap tenang di tempat tidur gantungnya, tersenyum padaku dengan mulutnya yang lebar berbibir tebal. la sudah mengatakan bahwa aku melakukan pelanggaran kecil, dan aku saat itu hendak mengatakan bahwa itu takkan terjadi lagi.

Serdadu-serdadu itu menyela dengan suara berat berwibawa. "Siapa mengizinkanmu pergi mencari makanan di luar? Siapa yang memberi izin padamu, Kawan?"

"Tidak ada yang memberi izin, Kawan," jawabku. "Aku melakukannya tanpa izin. Aku salah. Aku menyesal."

Salah satu serdadu itu berkata padaku dengan sikap muak, "Itulah, kalian terlalu banyak diberi kebebasan. Kalian menganggap bahwa kalian sebebas burung, tapi kalian sebenarnya reaksioner."

"Aku sama sekali tidak punya pikiran begitu, Kawan-kawan. Aku selalu mematuhi peraturan Angka. Aku menerima jika Angka mengatakan bahwa aku salah, dan aku takkan berbuat seperti itu lagi."

Chev, yang masih tetap duduk, berkata dengan suara lembut, "Ya, kau sendiri menyadari bahwa kau sudah berbuat salah, tapi itu belum cukup.”

"Kirim dia ke Angka Leu, Kawan Chev!" desak serdadu yang sudah berbicara tadi. "Kirim dia ke Angka Leu! Ke Chhleav!"

Selama itu Houy memandang dari jauh. la lari menghampiri ketika melihat Chev mengangguk dan serdadu-serdadu itu mengikat kedua lenganku erat-erat di belakang punggung. Huoy menanyakan apa yang terjadi, dan Chev menjawab, "Lakimu berkhianat terhadap Angka. Sekarang dia kami kirimkan ke pihak yang lebih tinggi untuk diadili."

Secara otomatis Huoy merapatkan kedua telapak tangannya, menyembah kepada Chev. Sompeah itu merupakan penunjukan sikap hormat yang tradisional. Tapi perbuatannya itu tidak pada tempatnya saat itu, suatu tanda yang tidak bisa diragukan lagi bahwa latar belakang kehidupannya tidak revolusioner. "Suamiku jangan dibunuh," katanya memohon. "Izinkanlah ia kembali. Anda tentukan apa yang harus dilakukan terhadapnya, tapi jangan kirimkan dia ke Angka Leu. la tidak berbuat apa-apa terhadap Angka Leu."

"Tidak," kata Chev dengan senyumnya yang tidak pernah berubah, yang tetap terpasang seperti topeng di wajahnya. Aku tidak bisa memutuskan. Itu terserah pada Angka Leu."

Huoy berdiri di sampingku. "Kalau begitu, jika Anda mengirimnya ke Angka Leu, kirimlah aku pula. Aku akan tetap di sampingnya."

"Tidak. Samnang yang melakukan kesalahan, bukan kamu. 'Rambutnya ada di kepalanya. Rambutnya bukan di kepalamu.' Siapa pun juga yang mencuri harus mempertanggungjawabkannya sendiri. Orang lain tidak ikut bertanggungjawab. Kau tetap di sini."

Aku tidak berontak ketika mereka mengikat diriku. Kukatakan kepada Huoy agar ia menjaga dirinya sendiri, dan nada suaraku ketika mengatakan itu menyebabkan Huoy melangkah mundur ketakutan, dengan tangan mendekap mulut. la mengerti apa maksudku yang sebenarnya, yaitu bahwa tidak ada gunanya ia ikut terlibat.

Aku digiring pergi oleh serdadu-serdadu itu.

Kami berjalan menyusur hutan lalu melintasi persawahan, menuju ke Phum Chhleav. Serdadu-serdadu itu berjalan di belakangku, memegang seutas tali panjang yang diikatkan padaku. Lenganku kesemutan karena eratnya tali yang mengikat siku, menyebabkan aliran darah terganggu. .

Kami menghampiri Phum Chhleav. Tapi tidak sampai ke jalan kereta api, dan juga tidak ke perkampungan gubuk-gubuk kumuh yang pernah merupakan tempat tinggalku beberapa bulan sebelumnya. Kami berhenti di sekumpulan bangunan yang tidak pernah kulihat dulu, di tempat yang terbuka di dalam hutan. Penjaranya sendiri adalah sebuah bangunan memanjang dengan atap kajang dan dinding terbuat dari gedek dan lembaran-Iembaran seng bergelombang. Serdadu-serdadu itu menyuruh aku duduk dan menunggu.

Aku duduk, sementara mereka pergi.

Di sini kurasa perlu kusampaikan peringatan: banyak orang yang sangat terguncang hatinya ketika mengetahui kenyataan tentang keadaan di penjara-penjara Khmer Merah. Karenanya pembaca yang tidak terlalu kuat hatinya kuanjurkan agar jangan membaca halaman-halaman berikut, dan langsung pindah ke bagian akhir bab ini.

•••••••••

 Samar-samar terdengar bunyi kesibukan manusia. Datangnya dari dalam penjara. Aku mencium bau tidak enak yang dibawa angin ke tempatku. Sejumlah benda hitam keriput tergantung pada pinggiran atap. Tapi tempatku duduk terlalu jauh, jadi aku tidak bisa mengenali apa sebenarnya benda-benda itu.

Sekitar satu jam kemudian seorang penjaga penjara datang menjemput. Aku digiringnya ke sebuah kebun mangga yang luas. Pepohonan di situ tinggi-tinggi dan teratur letak tumbuhnya. Di kaki masing-masing pohon duduk seorang terhukum dalam keadaan terikat ke batangnya.

Kami berjalan melewati sederetan pohon. Aku melihat seorang wanita setengah baya berbaring menelungkup di atas bangku kayu. dengan kaki dan tangan terentang. Pergelangan tangan dan kakinya diborgol dengan jepitan logam ke sudut-sudut bangku. Sampot-nya robek sehingga menampakkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup. Bajunya juga robek. memperlihatkan payudaranya yang sebelah. la memalingkan kepala ketika kami lewat. rnemandang ke arah kami dengan tatapan kabur.

"Tolonglah aku,” katanya dengan suara lemah.

la tidak melihat bahwa kedua lenganku terikat di belakang punggung, dan orang yang satu lagi sebenarnya penjaga. Semut merah berkeliaran merayapi rangan dan lengannya. Ujung-ujung jari tangannya berlumur darah.

Aku dibawa oleh penjaga itu ke sebatang pohon lain, kira-kira sepuluh meter dari tempat itu. Dilonggarkannya tali pengikat sikuku. Darah bisa mengalir lagi dengan lancar ke Iengan yang sebelah bawah. Orang itu mengikatkan seutas tali yang lebih panjang ke pergelangan tanganku, Ialu ke barang pohon. Aku duduk membelakangi pohon mangga.

Penjaga itu pergi.

Aku berdoa.

Jika aku harus mati, kataku dalam hari, setidaknya biarlah aku mari dengan tabah dan terhormat. Ada sesuatu merayap naik ke bagian tengkukku. Kemudian aku digigit.

Gawat-semut merah! Kujulurkan kepala ke belakang lalu kuputar-putar, dengan maksud menggencet semut itu. Kemudian ada semut lain naik ke bahuku. Binatang-binatang itu datang dari atas pohon. Siku dan pergelangan tanganku terikat di belakang punggungku, tapi bagian-bagian tubuhku yang selebihnya masih bisa kugerak-gerakkan. Sementara itu aku sudah dikerumuni semut. Mereka berkeliaran di pergelangan tanganku, lalu kupencet dengan jari-jariku; menggerayangi bagian atas dada dan bahu, kusingkirkan dengan dagu yang kugerakkan menyamping. Mereka juga berkeliaran di betis. Kedua betis saling kugosokkan, lalu kutarik kakiku ke atas untuk membantu. Semut-semut itu menggigit kulit kepalaku-aku menggosok-gosokkannya ke pohon. Tapi semakin banyak saja semut yang turun dari pohon untuk menyerang.

Semakin aku meronta-ronta, semakin banyak saja semut yang datang mengerumuni. Aku berusaha melonggarkan ikatan, menggaruk-garuk dan menggerak-gerakkan kaki yang tidak bisa digerakkan dengan cukup Ieluasa. Aku bahkan sampai merasa digigit saat mereka sedang tidak menggigit.

Itu saja sudah cukup menyiksa.

Ketika matahari sore sudah rendah sehingga sinarnya menimpa diriku yang berada di bawah kerimbunan pepohonan, seorang lelaki kekar berambut ikal masuk ke kebun mangga ini. la memakai pakaian hitam yang nampak baru, dengan sandal hitam dari ban mobil, serta arloji tangan. Di balik kemejanya yang hitam kulihat sekilas warna biru. Kemeja Montagut, pikirku menduga. Di Phnom Penh, sebelum revolusi, kemeja Montagut merupakan obyek gengsi-gengsian, seperti memakai kemeja merek Alligator. Kemeja itu buatan Prancis, sejuk dan enak dipakai di kawasan beriklim tropik. Dan kini kemeja Montagut menjadi obyek gengsi-gengsian di kalangan orang-orang Khmer Merah, seperti krama dari bahan sutera yang mereka curi dari orang-orang "baru". Lambang masyarakat lama yang mereka benci, tapi juga ingin mereka samai.

Lelaki berambut ikal itu membawa parang dan Tang.

Ia berjalan menyusur deretan pohon, lalu duduk di bangku kayu tempat wanita tadi ditelungkupkan dengan kaki dan tangan terentang.

"Mana lakimu?" tanya lelaki itu kepadanya. Aku bisa mendengar suaranya. "Kau harus mengatakan yang sebenarnya kepada Angka. Apa pangkatnya di bawah Lon Nol? Kapten? Letnan? Katakan yang sebenarnya!"

Wanita itu menjawab dengan suara tidak jelas. "Aku tetap saja tidak tahu di mana ia berada," katanya. "Dan ia bukan serdadu. Bukan kapten. Bukan letnan. sama sekali bukan."

"Kau masih juga bohong pada Angka?"

Lelaki kekar itu naik ke atas bangku. Salah satu tangan wanita itu diinjaknya, lalu ia membungkuk, menyemakkan sesuatu dengan tang yang ada di tangannya. Wanita itu menjerit kesakitan, tapi Ielaki itu sedikit pun tak peduli.

"Jika kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya, besok kucabut lagi satu kuku jarimu," katanya. "Jika kau mengatakan yang sebenarnya sekarang, kau akan dilepaskan oleh Angka."

Wanita itu menggeliat-geliat di bangku, sampotnya terangkat sampai ke pinggul. la menjerit lagi. "Bunuh saja aku sekarang! Kenapa aku dibeginikan? Aku tidak bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak bohong. Aduh, lbu, Ibu, Ibu, selamatkanlah nyawaku!"

Kami orang Kamboja, biasa berseru-seru minta tolong pada ibu kami jika berada dalam bahaya. Kami percaya bahwa roh mereka mengawasi dan melindungi diri kami.

Lelaki kekar itu mendatangi aku. Dugaanku tadi benar: yang kulihat tadi nampak sekilas di balik baju seragam hitamnya memang kemeja Montagut berwarna biru. Dan dua pena tersembul dari kantong kemeja seragamnya.

la berdiri di hadapanku lalu berkata, "Katakan yang sebenarnya. Siapa memberi izin padamu umuk pergi mencari makanan di luar?"

"Aku pergi atas kemauan sendiri, Kawan. Aku lapar."

"Angka tidak cukup memberimu makan?"

"Cukup, tapi aku masih merasa lapar."

"Kalau begitu kenapa kau pergi, sementara yang lain-lain tidak? Kau seharusnya kan bekerja. Jika kau tidak bekerja, itu tidak adil terhadap yang lain-Iainnya."

Aku hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak diacuhkan olehnya. la memotong dengan penanyaan apakah aku orang Vietnam, atau orang Cina. Aku katakan, kedua-duanya bukan.

"Kau jadi apa dulu? Serdadu? Guru? Pejabat? Apa pekerjaanmu dalam rezim Lon NoI?"

"Sopir taksi."

"Taksi yang bagaimana? Merek apa taksimu?"

"’404'. Peugeot model 404."

"Ke mana saja kau menarik muatan?"

"Umumnya jarak jauh. Dari Phnom Penh ke Takeo, atau ke Battambang. Ke mana saja tergantung penumpangnya, sampai jalan-jalan ditutup karena peperangan. Sejak itu hanya sekitar Phnom Penh saja."

"TIDAK!!" teriak lelaki itu. "Kau bukan sopir taksi. Aku tahu, kau bohong!"

"Aku ini sopir taksi, Kawan. Sungguh! Bukan orang kelas atas. Biniku berjualan sayur di pasar. Jika tidak ada sayur, ia berjualan kue dan jajanan manis bikinannya sendiri."

"TIDAK! Kau bukan orang macam begitu! Kau harus mengatakan yang sebenarnya kepada Angka! Jika kau berterus-terang kepada Angka, sekarang ini juga kau boleh kembali ke binimu."

"Aku mengatakan yang sebenarnya, Kawan," kataku berkeras.

la memanggil seseorang. Orang itu bergegas datang. Mereka lantas memperkencang tali pengikat sikuku, lalu mendorong tubuhku sehingga jatuh dan terbaring miring. Sementara orang yang Satu lagi menekan tengkukku ke tanah, Ielaki kekar itu meletakkan tangan kananku ke atas akar pohon mangga lalu menginjak pergelangan tanganku itu. la berlutut dan mengayunkan parangnya. Aku merasakan kenyerian yang luar biasa pada jari kelingkingku. Kenyerian itu menyebar ke sekujur tubuhku. Napasku tersentak dan tubuhku langsung mengejang. Tapi bagaimanapun juga aku berusaha menahannya, rasa nyeri itu tidak bisa hilang, menyambar dari ujung jari lewat lengan dan meledak dalam benakku.

"Lain kali," kata lelaki kekar itu, "jangan mencuri makanan lagi. Jika kau masih melakukannya, Angka takkan mengenal ampun. Angka takkan mengizinkanmu melakukannya lagi."

Tengkukku dilepaskan dan aku didorong bangkit. Tapi aku meronta melawan ikatan sehingga nyaris jatuh. Tapi tali pengikat menahan tubuhku, dan punggungku terhenyak ke batang pohon.

"Kenapa tidak kita potong saja satu jari kakinya?" kata lelaki yang satu lagi. "Dia tidak boleh dibiarkan berkeliaran. Orangnya terlalu tamak."

"Betul," kata Ielaki dengan dua batang pena di kantongnya. "Itu ide yang bagus. Tolong pegangkan kakinya yang ini."

Lelaki kekar itu mengarahkan parang ke pergelangan kakiku yang kanan lalu mengayunkannya;tidak sekuat tenaga, karena itu pasti akan menyebabkan pergelanganku itu putus, tapi cukup untuk menampakkan tulang di sebelah dalamnya.

Mataku yang langsung kabur masih bisa melihat wajahnya didekatkan ke mukaku. "Satu hal lagi" katanya. "Jangan sapa binimu dengan sebutan 'sayang'. Sebut dia 'kawan wanita'. Dia harus menyebutmu 'kawan lelaki' .

Setelah itu mereka pergi.

Aku bisa melihat pergelangan kakiku, tulangnya yang putih nampak di tengah-tengah luka yang menganga, daging merah berdarah di pinggirnya. Aku tidak bisa melihat tanganku yang terikat di belakang punggung. Aku mencoba menggerak-gerakkan kelingking. Meski rasa nyeri terasa di mana-mana, tapi aku tahu bahwa kelingkingku sudah tidak ada lagi. Semut merah menyerbu tanganku karena tertarik oleh bau darah. Gigitan mereka terasa menusuk-nusuk seperti jarum yang membara, tapi aku tidak peduli tentang itu.

Terpikir olehku bahwa luka-luka itu nanti pasti kena infeksi, dan aku harus menghentikan perdarahan di situ. Kugosok-gosokkan tumit kakiku yang tidak diapa-apakan ke tanah dan kulumuri pergelangan kakiku dengan debu. Hai yang sama kulakukan dengan luka di jariku dengan menggunakan tangan yang satu lagi. Tidak kupedulikan rasa nyeri yang menjalar mulai dari ujung-ujung saraf yang terbuka di situ.

Tidak banyak yang kuingat dari waktu sore dan saat matahari terbenam. Pergelangan kakiku nyeri sekali rasanya. Jariku berdenyut-denyut. Ketika malam tiba aku terlena, sampai bangun lagi karena semut-semut merah menggigiti kulit muka di sekitar mata. Semut-semut itu kusingkirkan dengan cara memalingkan muka ke samping dan menggosok-gosokkan mata ke bahuku.

Malam itu kurasakan panjang sekali. Wanita yang ditelungkupkan di atas bangku itu merintih-rintih. la terberak dan terkencing-kencing, baunya menghambur dibawa angin ke tempatku.

Keesokan paginya lelaki kekar yang memeriksa aku datang lagi. Tali yang mengikat tanganku dibukanya, lalu diberinya aku air tajin semangkuk.

Baru saat itu aku bisa melihat apa yang dilakukannya terhadap kelingking tangan kananku. la memotongnya di tengah-tengah. Sisanya masih satu setengah ruas, ujungnya berlapis debu, dengan tulang nampak putih di tengah-tengah. Satu setengah ruas selebihnya sudah tidak ada lagi.

Lelaki itu menyuruhku tetap tinggal di situ. Aku menurut saja. Aku tidak mampu melarikan diri, dan selain itu kelihatannya ada kemungkinan aku akan dibebaskan lagi. Setelah Ielaki itu pergi aku memutar tubuh dalam keadaan duduk untuk melihat ke belakang. Aku melihat potongan jari tanganku terletak di tanah, dikerumuni semut merah. Pomngan jari itu bukan bagian tubuhku lagi, dan aku tidak merasa ngeri melihatnya. Aku berbalik lagi ke posisiku yang semula, lalu mulai berpikir.

Dengan tangan kiriku yang tidak apa-apa kuraba-kuraba kelenjar getah bening yang terdapat di selangkangan. Kelenjar-kelenjar di situ terasa membengkak sebagai akibat aktivitas tubuhku melawan kuman-kuman infeksi. Kurobek sebagian dari kain kemejaku, kujadikan bahan pembalut jari dan pergelangan kaki.

Siangnya para penjaga mengencangkan tali-tali yang mengikat diriku, tapi tidak terlalu erat. Kemudian mereka menggiring tahanan baru ke deretan pohon mangga, seorang wanita yang hamil. Sewaktu mereka lewat kudengar wanita itu mengatakan bahwa suaminya bukan tentara.· Nampaknya itu merupakan kesalahan yang paling umum di penjara situ, yakni menjadi istri tentara rezim Lon NoI. Wanita itu memohon-mohon agar ia jangan dibunuh. Para penjaga mengatakan bahwa ia masih juga berhohong. Mereka mengikatkan pergelangan tangannya ke sebatang pohon yang tidak jauh letaknya dari tempatku. Setelah mengikat pergelangan kakinya, mereka kemudian pergi.

Setelah itu muncul seorang pemeriksa yang baru saat itu kulihat. la datang dengan pisau panjang yang tajam di tangan. la berbicara kepada wanita hamil itu, dan wanita itu menjawab. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Apa yang terjadi setelah itu, membuat aku ingin muntah jika mengingatnya lagi. Aku hanya mampu menceritakannya secara singkat saja: lelaki pemeriksa itu merobek-robek pakaian wanita hamil itu dengan pisaunya, lalu diirisnya perut wanita itu dan dikeluarkan bayi yang ada di dalamnya. Aku cepat-cepat membuang muka. Tapi aku tidak bisa mengelakkan diri dari penderitaan wanita itu, jeritannya yang berlanjut dengan rintihan, dan akhirnya, terlalu lama menurut perasaanku, berujung dalam kesunyian maut yang membebaskan. Lelaki yang melakukan pembunuhan, dengan tenang lewat didekatku sambil mencengkeram leher janin yang direnggutkan dari dalam perut ibunya tadi. Sesampai di bangunan penjara, di pinggir jangkauan penglihatanku, janin itu diikatnya dengan tali lalu digantungkannya ke pinggiran atap menemani janin-janin yang lain, yang sudah keriput dan hitam karena mengering.

Pada setiap batang pohon ada seorang terhukum, dan tiap-tiap terhukum berlainan corak hukuman atau kematiannya. Lelaki keras yang memarang jariku sampai putus dan yang satu lagi, yang merobek perut wanita hamil itu, hanya dua saja dari para spesilis yang ada di antara petugas penjara itu.

Tidak pernah sebelumnya kulihat pembunuhan dengan sengaja yang dilakukan oleh orang-orang yang profesional, di hadapan orang-orang yang ketakutan setengah mati, yang tahu bahwa tidak lama lagi akan tiba giliran mereka sendiri untuk mati. Sama sekali tidak pernah aku melihatnya sebelum itu. Di bawah Sihanouk dan Lon Noi, bukan tidak dikenal kekejaman di Kamboja. Di dalam penjara-penjara mereka dilakukan penyiksaan. Pasukan-pasukan Lon Noi melakukan tindakan-tindakan biadab terhadap penduduk sipil keturunan Vietnam, dan juga terhadap orang-orang Khmer Merah yang tertangkap. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang perbuatan seperti ini, kesenangan yang keji dan tidak berperasaan untuk melakukan tindakan-tindakan penyiksaan dan pembunuhan yang begitu banyak ragamnya.

Malam itu aku tidak bisa tidur. Kubiarkan saja semut-semut menggigiti diriku semaunya. Cahaya remang lampu minyak merembes ke luar lewat celah-celah dinding gedek bangunan penjara. Batang-batang pohon dengan para terhukum yang diikatkan ke situ nampak berupa sosok-sosok hitam di bawah sinar bulan yang keperak-perakan. Terdengar suara burung-burung hantu. Suara jangkrik membentuk paduan suara ramai, dan dari sana dan sini di kebun rnangga itu terdengar suara rintihan orang-orang yang terhukum.

Saat malam buta, suaru kawanan anjing hutan masuk ke kebun mangga itu sambil mengendus-endus. Mereka berlari mendatangi mayat wanita yang hamil lalu mulai menggerogoti dagingnya dengan lahap. Aku bisa melihat mereka diterangi cahaya bulan. Binatang-binatang itu ada tiga atau empar ekor, menyentak-nyentak tubuh wanita itu, menarik-narik, sambil saling menggeram. Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika anjing-anjing hutan itu berniat menyerang diriku. Rasa takutku yang luar biasa menyebabkan aku kehilangan segala kendali atas tubuhku. Aku terberak dan terkencing-kencing.

Penyiksa bertubuh kekar itu datang lagi keesokan harinya. Dicabutnya lagi satu kuku jari wanita yang tertelungkup di atas bangku, tapi aku tidak diapa-apakannya. Siangnya muncul dua penjaga yang belum pernah kulihat. Mereka bertanya apa pekerjaanku sebelum revolusi. Mereka nampaknya puas ketika kukatakan bahwa aku waktu itu sopir taksi. Mereka melepaskan aku dari batang pohon dan menyuruh aku berdiri. Aku mencoba berdiri, tapi langsung terjungkal. Aku mencoba lagi dan berhasil sampai ke posisi merangkak. Aku lantas mereka sentakkan sehingga berdiri.

Kami meninggalkan penjara lewat jalan setapak yang kulalui ketika aku digiring ke sana. Kaki bengkak, mulai dari jari-jari sampai ke betis. Setiap kali kaki itu kupijakkan, rasa nyeri langsung menusuk sampai ke pinggul. Dalam berjalan itu aku bertumpu ke kaki kiri; kaki kanan kuletakkan pelan-pelan ke tanah, lalu meloncat ke kaki kiri kembali.

Kami sampai di sebuah tempat yang merupakan campuran antara daerah hutan dan tanah sawah . yang tidak diolah. Penjara sudah tidak kelihatan lagi.

"Di atas bukit kecil berikut yang di sana itu," kata salah seorang pengawalku, "kau akan mengatakan yang sebenarnya kepada kami. Kalau tidak, kau akan tidur panjang di sana."

Aku pasrah saja jika mereka hendak membunuhku di bukit itu. Asal mereka melakukannya dengan cepat.

Aku berjalan terpincang-pincang ke bukit rendah yang panjang itu, yang ditumbuhi pohon-pohon dan semak-belukar di atasnya. Tapi kami terus berjalan. Mereka tidak menyuruh aku berhenti.

"Kita akan berhenti di bukit kecil berikut," kata mereka sesudah beberapa waktu. Tapi bukit yang itu pun kami lewati. Mereka lantas mengucapkan kata-kata serupa tentang bukit yang selanjutnya.

Kami bertiga berjalan dengan pelan sekali di atas pematang sawah. Kedua pengawalku mengatakan kapan aku harus membelok ke kiri dan ke kanan. Dengan lambat sekali kami melintasi tanah persawahan itu.

Aku kini tahu bahwa mereka tidak bermaksud membebaskan aku kembali. lni merupakan bagian dari penyiksaan, membiarkan aku menyangka akan dilepaskan. Tapi aku sudah tidak peduli. Bukit ini atau yang itu, bagiku sama saja.

Aku memusatkan diri pada langkahku berjalan: langkah pendek lalu berjingkat, langkah pendek lalu berjingkat lagi. Kedua pengawal berjalan di belakangku. Mereka akan melakukan apa pun juga yang mereka niatkan, dan aku tidak bisa mencegahnya.

"Berhenti di sini!"

Aku berhenti.

Kami berada di dekat sebuah bukit kecil.

Mereka menendang tubuhku dari belakang, sehingga aku terguling di atas pematang. Mereka berdiri di dekatku sambil memandang diriku. "Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya? Cepat! Sekarang kau akan kami bunuh!"

"Aku sopir taksi," kataku lambat-lambat. "Aku mengatakan yang sebenarnya."

Mereka mengatakan bahwa aku masih saja berbohong, lalu menendang rusukku. Aku jatuh dari pematang ke sawah. Aku terkapar di situ dcngan muka tertusuk batang-batang padi yang sudah dituai. Kemudian mereka menarik diriku lagi ke atas pematang. Salah satu pengawal itu menginjak tengkukku lalu menggerak-gerakkan kakinya seperti hendak mematikan puntung rokok yang masih menyala. Setelah itu bergantian mereka menendang-nendang rusukku.

"Kau ingin mati atau ingin hidup? Kau akan mati menit berikut ini jika kau masih juga tidak mau mengatakan yang sebenarnya!"

Aku terbaring di tanah tanpa mengatakan apa-apa. Hanya bunyi napasku saja yang terdengar.

Kedua orang itu nongkrong tidak jauh dari tempatku, dengan popor senapan terletak di tanah.

"Tidak ada untungnya jika ia hidup," kata yang seorang menggumam kepada temannya, mengutip suatu peribahasa Khmer Merah. ''Tidak ada ruginya jika ia mati."

Sesudah mengaso sebentar, mereka menyentakkan diriku sehingga berdiri, lalu aku berjalan terpincang-pincang menuju bukit kecil yang berikut.

"Stop."

Aku berhenti lagi.

"Kau ingin pulang alau bagaimana? Kau ìngin bergabung lagi dengan binimu?"

Aku berpaling menghadap mereka tapi dengan mata menatap ke bawah, seperti sikap pelayan terhadap tuannya. "Ya," kataku. "Aku mau, jika kalian mengizinkan aku pergi. Tapi jika kalian tidak mengizinkan, jika kalian bunuh aku, terserahlah.

Mereka membuka tali pengikatku. Rupanya aku memberikan jawaban yang benar. Aku mengatakan kepada mereka bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup-matiku. Mendengar aku mengucapkan kata-kata yang mengakui hal itu, bagi mereka hampir sama memuaskan rasanya seperti membunuh aku.

"Jangan tengok ke belakang," kata mereka.

"Terus saja berjalan. Pulanglah."

**************

Aku melayangkan pandang ke atas pucuk-pucuk pepohonan. Kulihat punggung gunung yang ada dua bintik putihnya di bawah puncak. Itu kujadikan pecloman arah.

"Rumah", lokasi terakhir tempat koperasi garis depan, terletak di arah selatan, sekitar satu setengah kilometer dari tempatku berada. Aku tidak mampu berjalan cepat-cepat. Menarik napas saja rasanya sudah sakit sekali. Kelingkingku yang tinggal sepotong membengkak sampai tiga kali ukuran biasanya. Tapi karena tanganku sudah tidak diikat lagi, aku bisa membengkokkan sikuku dan mengangkat lenganku ke atas, sehingga agak berkurang rasa sakit yang berdenyut-denyut. Aku memungut sebatang bambu yang kulihat tergeletak di tanah. Barang bambu itu kujadikan tongkat yang kugenggam dengan tangan kiriku, sementara aku meneruskan langkah dengan terpincang-pincang.

Aku sampai di sebuah saluran yang berair keruh di dasarnya. Kubuka pakaianku, lalu kuhenyakkan tubuhku ke situ. Dengan tanganku yang tidak apa-apa kucuci tubuh dan kubersihkan dengan sebisa-bisanya kotoran yang menempeI ke luka-Iukaku. Darah masih terus mengalir dengan peIan dari luka di ujung kelingking kananku yang tinggal sepotong. Rusukku memar-memar, tapi tidak ada tulang yang patah. Tinja dan air kencing mengotori celanaku. Aku mencuci pakaianku dengan satu tangan, tapi tidak bisa sampai benar-benar bersih. Aku mengenakannya kembali dalam keadaan basah. Kugulung bagian pinggang celanaku supaya jangan merosot.

Aku berjalan lagi. Kaki kiri; lalu langkah pendek dan ringan dengan kaki kanan sementara badan ditumpukan pada tongkat bambu; lalu melangkah lagi dengan kaki kiri.

Kaki kanan. Kaki kiri. Kaki kanan, kaki kiri.

Aku berhenti sebentar unruk mengaso. Lalu mulai berjalan lagi. Tubuhku yang memar terasa kaku. Matahari mulai terbenam.

Hari sudah senja ketika aku akhimya sampai di perkemahan koperasi. Tugas bekerja hari itu sudah berakhir. Orang-orang "baru" yang ada di bukit-bukit kecil melihat aku datang. Tapi mereka ragu-ragu apakah aku harus dibantu, dan aku juga tidak meminta mereka. Huoy ada di tempat tidur gantung kami. Pandangannya menerawang jauh, merenung. Ketika para tetangga memberi tahu bahwa aku datang. ia buru-buru meloncat turun dari tempat tidur dan lari menyongsong. Disingkirkannya tongkat bambuku lalu dipapahnya tubuhku. Dibantunya aku berjalan sampai di bukit tempat kami.

Huoy memapahku ke tempat tidur gantung. Tapi aku tidak mau duduk di situ, karena tubuhku kotor. Ada orang datang membawakan selembar gedek, lalu aku berbaring di atasnya. Para tetangga datang mengerumuni. Semuanya membisu, kecuali Huoy. la menangis.

Orang-orang memasakkan air, lalu Huoy dengan dibantu wanita-wanita yang lain memakai krama mereka sebagai lap untuk membersihkan tubuhku. Sementara itu kebanyakan dari mereka sudah menangis, karena mereka kini tahu apa yang terjadi apabila ada orang lenyap. Tidak ada lagi kemungkinan berpura-pura. Hal yang menimpa diriku bisa pula terjadi atas diri mereka. Orang-orang datang membawakan obat-obatan. Seorang memberikan sebuah kapsul ampisilin yang lain menyodorkan satu kapsul tetrasiklin, dan yang selebihnya memberi aspirin atau jamu. Kedua kapsul berisi obat antibiotika itu kubuka lalu kutaburkan separuh isinya langsung ke luka-lukaku. Sisanya kusimpan untuk nanti.

Salah seorang wanita agak tua yang datang membawakan jamu akhirnya mengatakan hal yang ada dalam pikiran setiap orang di situ.

"Samnang." katanya, "mungkin kau melakukan sesuatu yang buruk dalam kehidupanmu sebelum yang ini. Mungkin kau sekarang dihukum atas perbuatanmu itu." "Ya," kataku. "Kurasa kamaku tidak baik." 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar