19
ANGKA LEU
SEBAGAI
mata-mata, umur mereka sudah agak tua. Sekitar dua belas, menurut taksiranku.
Mereka hanya memakai celana pendek komprang berwarna hitam. Di daerah kami di
Battambang, anak-anak seumur mereka banyak yang memakai seragam Khmer Merah dan
menyandang senapan. Mungkin orangtua kedua anak itu kader-kader di dekat situ,
dan mereka menggunakan pengaruh mereka untuk mengulur saat anak-anak mereka itu
harus pergi meninggalkan rumah. Ya, rnungkin begitulah kenyataannya.
Aneh,
pikirku selama saat yang panjang ketika aku belum berdiri setelah melihat kedua
chhlop itu memandang diriku: kini anak-anak
menjadi mata-mata sewaktu masih kecil, dan sesudah dekat ke akil-balik menjadi serdadu.
Sudah tidak ada lagi yang namanya masa kanak-kanak. Sebelum revolusi anak-anak
ini pasti sedang belajar cara menanam padi dari ayah-ayah mereka, atau pergi ke
sekolah, atau membantu-bantu para bhiksu di kuil. Mereka pasti belajar bersikap
horrnat terhadap orang-orang yang lebih tua.
"Cepat
sedikit, Kawan!" Suara yang menjengkelkan, melengking tinggi. Jika mereka itu
anak anakku, pasti sudah kupukul karena kurang ajar.
"Sebentar,"
kataku sambil turun dari tempat tidur gantung. "Aku kan sedang memakai baju.
Aku akan segera ke sana."
"Suamiku
akan ke sana," kata Huoy. Nada suaranya kesal. Sewaktu masih menjadi guru,
ia biasa memarahi anak-anak seumur mereka. "Kenapa kalian menuduhnya? la
kan sedang memakai. baju. la akan pergi sekarang."
"Aku
akan kembali," kataku kepada Huoy.
Aku
berjalan dengan langkah santai, diikuti oleh kedua anak itu. Aku tidak merasa
cemas. Jika aku melakukan kesalahan berat, pasti serdadu-serdadu yang disuruh Angka
menjemput diriku, nanti sore. Kedua, chhlop
ini terlalu muda untuk diserahi kepercayaan melakukan tugas penting.
"Angka"
yang harus kudatangi dengan diantar oleh kedua chhlop itu ternyata Chev, ketua koperasi. la sedang duduk di tempat
tidur gantung di sebuah rumah bergaya Khmer Merah yang wujudnya hanya berupa
rumah atap tanpa dinding di dekat dapur umum. Sikapnya lurus dengan kaki menginjak
tanah. la bertelanjang dada. Sebentar-sebentar disedotnya asap rokok yang dipilin-pilinnya
dengan lambat. Orangnya bertubuh kurus, berkulit coklat tua, dengan rambut lurus
dan halus, bibir tebal dan bermulut lebar. Sinar matanya tidak kejam. la
tersenyum.
"Kau
Kawan ... ?" katanya dengan nada bertanya.
"Samnang,"
kataku, menyebutkan nama yang kupergunakan.
"Baiklah.
Kawan Samnang, kau harus berterus terang terhadap Angka. Pagi ini chhlop kami datang ke bukit-bukit untuk
melihat siapa-siapa saja yang punya makanan. Mereka memeriksa. Mereka menemukan
bahwa kau punya keranjang besar berisi ubi garut. Pertanyaanku ini: jika kau punya
makanan, kenapa tidak kauserahkan kepada Angka untuk dimakan bersama-sama?
Kenapa tidak kauberikan kepada kelompok? Kenapa kau berniat memakannya sendiri
saja?"
Nah.
Jadi mata-mata itu yang mencuri makanan itu. Mestinya aku sudah tahu dengan sendirinya.
"Kawan
Chev," kataku, "kemarin malam aku pergi mencari makanan, tapi jumlahnya
hanya sedikit saja. Tidak mencukupi untuk seluruh anggota kelompok."
"Kau
cuma ingin punya milik pribadi," katanya mengecam dengan suaranya yang lembut
. "Dan ilu dilarang."
Aku
tidak menjawab. Percuma saja membantah..
"Lalu
ada satu hai lagi," kata Chev, masih sambil tersenyum. "Chhlop itu mengatakan, kau menyapa
binimu dengan sebutan 'sayang'. Di sini tidak ada 'sayang-sayang', itu dilarang."
Dua
orang serdadu bergegas datang ke arah kami, seperti terlambat tiba di rapat yang
hendak mereka hadiri. Chev duduk dengan sikap tenang di tempat tidur
gantungnya, tersenyum padaku dengan mulutnya yang lebar berbibir tebal. la sudah
mengatakan bahwa aku melakukan pelanggaran kecil, dan aku saat itu hendak
mengatakan bahwa itu takkan terjadi lagi.
Serdadu-serdadu
itu menyela dengan suara berat berwibawa. "Siapa mengizinkanmu pergi mencari
makanan di luar? Siapa yang memberi izin padamu, Kawan?"
"Tidak
ada yang memberi izin, Kawan," jawabku. "Aku melakukannya tanpa izin.
Aku salah. Aku menyesal."
Salah
satu serdadu itu berkata padaku dengan sikap muak, "Itulah, kalian terlalu
banyak diberi kebebasan. Kalian menganggap bahwa kalian sebebas burung, tapi
kalian sebenarnya reaksioner."
"Aku
sama sekali tidak punya pikiran begitu, Kawan-kawan. Aku selalu mematuhi
peraturan Angka. Aku menerima jika Angka mengatakan bahwa aku salah, dan aku
takkan berbuat seperti itu lagi."
Chev,
yang masih tetap duduk, berkata dengan suara lembut, "Ya, kau sendiri
menyadari bahwa kau sudah berbuat salah, tapi itu belum cukup.”
"Kirim
dia ke Angka Leu, Kawan Chev!" desak serdadu yang sudah berbicara tadi. "Kirim
dia ke Angka Leu! Ke Chhleav!"
Selama
itu Houy memandang dari jauh. la lari menghampiri ketika melihat Chev mengangguk
dan serdadu-serdadu itu mengikat kedua lenganku erat-erat di belakang punggung.
Huoy menanyakan apa yang terjadi, dan Chev menjawab, "Lakimu berkhianat
terhadap Angka. Sekarang dia kami kirimkan ke pihak yang lebih tinggi untuk
diadili."
Secara
otomatis Huoy merapatkan kedua telapak tangannya, menyembah kepada Chev. Sompeah
itu merupakan penunjukan sikap hormat yang tradisional. Tapi perbuatannya itu
tidak pada tempatnya saat itu, suatu tanda yang tidak bisa diragukan lagi bahwa
latar belakang kehidupannya tidak revolusioner. "Suamiku jangan
dibunuh," katanya memohon. "Izinkanlah ia kembali. Anda tentukan apa
yang harus dilakukan terhadapnya, tapi jangan kirimkan dia ke Angka Leu. la
tidak berbuat apa-apa terhadap Angka Leu."
"Tidak,"
kata Chev dengan senyumnya yang tidak pernah berubah, yang tetap terpasang seperti
topeng di wajahnya. Aku tidak bisa memutuskan. Itu terserah pada Angka
Leu."
Huoy
berdiri di sampingku. "Kalau begitu, jika Anda mengirimnya ke Angka Leu,
kirimlah aku pula. Aku akan tetap di sampingnya."
"Tidak.
Samnang yang melakukan kesalahan, bukan kamu. 'Rambutnya ada di kepalanya. Rambutnya
bukan di kepalamu.' Siapa pun juga yang mencuri harus mempertanggungjawabkannya
sendiri. Orang lain tidak ikut bertanggungjawab. Kau tetap di sini."
Aku
tidak berontak ketika mereka mengikat diriku. Kukatakan kepada Huoy agar ia menjaga
dirinya sendiri, dan nada suaraku ketika mengatakan itu menyebabkan Huoy
melangkah mundur ketakutan, dengan tangan mendekap mulut. la mengerti apa
maksudku yang sebenarnya, yaitu bahwa tidak ada gunanya ia ikut terlibat.
Aku
digiring pergi oleh serdadu-serdadu itu.
Kami
berjalan menyusur hutan lalu melintasi persawahan, menuju ke Phum Chhleav.
Serdadu-serdadu itu berjalan di belakangku, memegang seutas tali panjang yang diikatkan
padaku. Lenganku kesemutan karena eratnya tali yang mengikat siku, menyebabkan
aliran darah terganggu. .
Kami
menghampiri Phum Chhleav. Tapi tidak sampai ke jalan kereta api, dan juga tidak
ke perkampungan gubuk-gubuk kumuh yang pernah merupakan tempat tinggalku beberapa
bulan sebelumnya. Kami berhenti di sekumpulan bangunan yang tidak pernah kulihat
dulu, di tempat yang terbuka di dalam hutan. Penjaranya sendiri adalah sebuah
bangunan memanjang dengan atap kajang dan dinding terbuat dari gedek dan lembaran-Iembaran
seng bergelombang. Serdadu-serdadu itu menyuruh aku duduk dan menunggu.
Aku
duduk, sementara mereka pergi.
Di
sini kurasa perlu kusampaikan peringatan: banyak orang yang sangat terguncang hatinya
ketika mengetahui kenyataan tentang keadaan di penjara-penjara Khmer Merah.
Karenanya pembaca yang tidak terlalu kuat hatinya kuanjurkan agar jangan
membaca halaman-halaman berikut, dan langsung pindah ke bagian akhir bab ini.
•••••••••
Samar-samar terdengar bunyi kesibukan manusia.
Datangnya dari dalam penjara. Aku mencium bau tidak enak yang dibawa angin ke
tempatku. Sejumlah benda hitam keriput tergantung pada pinggiran atap. Tapi
tempatku duduk terlalu jauh, jadi aku tidak bisa mengenali apa sebenarnya benda-benda
itu.
Sekitar
satu jam kemudian seorang penjaga penjara datang menjemput. Aku digiringnya ke sebuah
kebun mangga yang luas. Pepohonan di situ tinggi-tinggi dan teratur letak
tumbuhnya. Di kaki masing-masing pohon duduk seorang terhukum dalam keadaan
terikat ke batangnya.
Kami
berjalan melewati sederetan pohon. Aku melihat seorang wanita setengah baya
berbaring menelungkup di atas bangku kayu. dengan kaki dan tangan terentang.
Pergelangan tangan dan kakinya diborgol dengan jepitan logam ke sudut-sudut bangku.
Sampot-nya robek sehingga menampakkan bagian-bagian tubuh yang biasanya tertutup.
Bajunya juga robek. memperlihatkan payudaranya yang sebelah. la memalingkan
kepala ketika kami lewat. rnemandang ke arah kami dengan tatapan kabur.
"Tolonglah
aku,” katanya dengan suara lemah.
la
tidak melihat bahwa kedua lenganku terikat di belakang punggung, dan orang yang
satu lagi sebenarnya penjaga. Semut merah berkeliaran merayapi rangan dan lengannya.
Ujung-ujung jari tangannya berlumur darah.
Aku
dibawa oleh penjaga itu ke sebatang pohon lain, kira-kira sepuluh meter dari
tempat itu. Dilonggarkannya tali pengikat sikuku. Darah bisa mengalir lagi
dengan lancar ke Iengan yang sebelah bawah. Orang itu mengikatkan seutas tali yang
lebih panjang ke pergelangan tanganku, Ialu ke barang pohon. Aku duduk
membelakangi pohon mangga.
Penjaga
itu pergi.
Aku
berdoa.
Jika
aku harus mati, kataku dalam hari, setidaknya biarlah aku mari dengan tabah dan
terhormat. Ada sesuatu merayap naik ke bagian tengkukku. Kemudian aku digigit.
Gawat-semut
merah! Kujulurkan kepala ke belakang lalu kuputar-putar, dengan maksud menggencet
semut itu. Kemudian ada semut lain naik ke bahuku. Binatang-binatang itu datang
dari atas pohon. Siku dan pergelangan tanganku terikat di belakang punggungku,
tapi bagian-bagian tubuhku yang selebihnya masih bisa kugerak-gerakkan. Sementara
itu aku sudah dikerumuni semut. Mereka berkeliaran di pergelangan tanganku, lalu
kupencet dengan jari-jariku; menggerayangi bagian atas dada dan bahu, kusingkirkan
dengan dagu yang kugerakkan menyamping. Mereka juga berkeliaran di betis. Kedua
betis saling kugosokkan, lalu kutarik kakiku ke atas untuk membantu.
Semut-semut itu menggigit kulit kepalaku-aku menggosok-gosokkannya ke pohon.
Tapi semakin banyak saja semut yang turun dari pohon untuk menyerang.
Semakin
aku meronta-ronta, semakin banyak saja semut yang datang mengerumuni. Aku berusaha
melonggarkan ikatan, menggaruk-garuk dan menggerak-gerakkan kaki yang tidak
bisa digerakkan dengan cukup Ieluasa. Aku bahkan sampai merasa digigit saat
mereka sedang tidak menggigit.
Itu
saja sudah cukup menyiksa.
Ketika
matahari sore sudah rendah sehingga sinarnya menimpa diriku yang berada di
bawah kerimbunan pepohonan, seorang lelaki kekar berambut ikal masuk ke kebun mangga
ini. la memakai pakaian hitam yang nampak baru, dengan sandal hitam dari ban
mobil, serta arloji tangan. Di balik kemejanya yang hitam kulihat sekilas warna
biru. Kemeja Montagut, pikirku menduga. Di Phnom Penh, sebelum revolusi, kemeja
Montagut merupakan obyek gengsi-gengsian, seperti memakai kemeja merek
Alligator. Kemeja itu buatan Prancis, sejuk dan enak dipakai di kawasan beriklim
tropik. Dan kini kemeja Montagut menjadi obyek gengsi-gengsian di kalangan orang-orang
Khmer Merah, seperti krama dari bahan sutera yang mereka curi dari orang-orang "baru".
Lambang masyarakat lama yang mereka benci, tapi juga ingin mereka samai.
Lelaki
berambut ikal itu membawa parang dan Tang.
Ia
berjalan menyusur deretan pohon, lalu duduk di bangku kayu tempat wanita tadi ditelungkupkan
dengan kaki dan tangan terentang.
"Mana
lakimu?" tanya lelaki itu kepadanya. Aku bisa mendengar suaranya.
"Kau harus mengatakan yang sebenarnya kepada Angka. Apa pangkatnya di
bawah Lon Nol? Kapten? Letnan? Katakan yang sebenarnya!"
Wanita
itu menjawab dengan suara tidak jelas. "Aku tetap saja tidak tahu di mana ia
berada," katanya. "Dan ia bukan serdadu. Bukan kapten. Bukan letnan. sama
sekali bukan."
"Kau
masih juga bohong pada Angka?"
Lelaki
kekar itu naik ke atas bangku. Salah satu tangan wanita itu diinjaknya, lalu ia
membungkuk, menyemakkan sesuatu dengan tang yang ada di tangannya. Wanita itu
menjerit kesakitan, tapi Ielaki itu sedikit pun tak peduli.
"Jika
kau tidak mau mengatakan yang sebenarnya, besok kucabut lagi satu kuku jarimu,"
katanya. "Jika kau mengatakan yang sebenarnya sekarang, kau akan dilepaskan
oleh Angka."
Wanita
itu menggeliat-geliat di bangku, sampotnya terangkat sampai ke pinggul. la
menjerit lagi. "Bunuh saja aku sekarang! Kenapa aku dibeginikan? Aku tidak
bisa mengatakan apa-apa. Aku tidak bohong. Aduh, lbu, Ibu, Ibu, selamatkanlah nyawaku!"
Kami
orang Kamboja, biasa berseru-seru minta tolong pada ibu kami jika berada dalam
bahaya. Kami percaya bahwa roh mereka mengawasi dan melindungi diri kami.
Lelaki
kekar itu mendatangi aku. Dugaanku tadi benar: yang kulihat tadi nampak sekilas
di balik baju seragam hitamnya memang kemeja Montagut berwarna biru. Dan dua
pena tersembul dari kantong kemeja seragamnya.
la
berdiri di hadapanku lalu berkata, "Katakan yang sebenarnya. Siapa memberi
izin padamu umuk pergi mencari makanan di luar?"
"Aku
pergi atas kemauan sendiri, Kawan. Aku lapar."
"Angka
tidak cukup memberimu makan?"
"Cukup,
tapi aku masih merasa lapar."
"Kalau
begitu kenapa kau pergi, sementara yang lain-lain tidak? Kau seharusnya kan
bekerja. Jika kau tidak bekerja, itu tidak adil terhadap yang lain-Iainnya."
Aku
hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak diacuhkan olehnya. la memotong dengan
penanyaan apakah aku orang Vietnam, atau orang Cina. Aku katakan, kedua-duanya
bukan.
"Kau
jadi apa dulu? Serdadu? Guru? Pejabat? Apa pekerjaanmu dalam rezim Lon
NoI?"
"Sopir
taksi."
"Taksi
yang bagaimana? Merek apa taksimu?"
"’404'.
Peugeot model 404."
"Ke
mana saja kau menarik muatan?"
"Umumnya
jarak jauh. Dari Phnom Penh ke Takeo, atau ke Battambang. Ke mana saja tergantung
penumpangnya, sampai jalan-jalan ditutup karena peperangan. Sejak itu hanya
sekitar Phnom Penh saja."
"TIDAK!!"
teriak lelaki itu. "Kau bukan sopir taksi. Aku tahu, kau bohong!"
"Aku
ini sopir taksi, Kawan. Sungguh! Bukan orang kelas atas. Biniku berjualan sayur
di pasar. Jika tidak ada sayur, ia berjualan kue dan jajanan manis bikinannya
sendiri."
"TIDAK!
Kau bukan orang macam begitu! Kau harus mengatakan yang sebenarnya kepada Angka!
Jika kau berterus-terang kepada Angka, sekarang ini juga kau boleh kembali ke
binimu."
"Aku
mengatakan yang sebenarnya, Kawan," kataku berkeras.
la
memanggil seseorang. Orang itu bergegas datang. Mereka lantas memperkencang tali
pengikat sikuku, lalu mendorong tubuhku sehingga jatuh dan terbaring miring.
Sementara orang yang Satu lagi menekan tengkukku ke tanah, Ielaki kekar itu
meletakkan tangan kananku ke atas akar pohon mangga lalu menginjak pergelangan
tanganku itu. la berlutut dan mengayunkan parangnya. Aku merasakan kenyerian yang
luar biasa pada jari kelingkingku. Kenyerian itu menyebar ke sekujur tubuhku.
Napasku tersentak dan tubuhku langsung mengejang. Tapi bagaimanapun juga aku
berusaha menahannya, rasa nyeri itu tidak bisa hilang, menyambar dari ujung jari
lewat lengan dan meledak dalam benakku.
"Lain
kali," kata lelaki kekar itu, "jangan mencuri makanan lagi. Jika kau
masih melakukannya, Angka takkan mengenal ampun. Angka takkan mengizinkanmu
melakukannya lagi."
Tengkukku
dilepaskan dan aku didorong bangkit. Tapi aku meronta melawan ikatan sehingga nyaris
jatuh. Tapi tali pengikat menahan tubuhku, dan punggungku terhenyak ke batang
pohon.
"Kenapa
tidak kita potong saja satu jari kakinya?" kata lelaki yang satu lagi.
"Dia tidak boleh dibiarkan berkeliaran. Orangnya terlalu tamak."
"Betul,"
kata Ielaki dengan dua batang pena di kantongnya. "Itu ide yang bagus.
Tolong pegangkan kakinya yang ini."
Lelaki
kekar itu mengarahkan parang ke pergelangan kakiku yang kanan lalu
mengayunkannya;tidak sekuat tenaga, karena itu pasti akan menyebabkan pergelanganku
itu putus, tapi cukup untuk menampakkan tulang di sebelah dalamnya.
Mataku
yang langsung kabur masih bisa melihat wajahnya didekatkan ke mukaku. "Satu
hal lagi" katanya. "Jangan sapa binimu dengan sebutan 'sayang'. Sebut
dia 'kawan wanita'. Dia harus menyebutmu 'kawan lelaki' .
Setelah
itu mereka pergi.
Aku
bisa melihat pergelangan kakiku, tulangnya yang putih nampak di tengah-tengah
luka yang menganga, daging merah berdarah di pinggirnya. Aku tidak bisa melihat
tanganku yang terikat di belakang punggung. Aku mencoba menggerak-gerakkan
kelingking. Meski rasa nyeri terasa di mana-mana, tapi aku tahu bahwa kelingkingku
sudah tidak ada lagi. Semut merah menyerbu tanganku karena tertarik oleh bau darah.
Gigitan mereka terasa menusuk-nusuk seperti jarum yang membara, tapi aku tidak
peduli tentang itu.
Terpikir
olehku bahwa luka-luka itu nanti pasti kena infeksi, dan aku harus menghentikan
perdarahan di situ. Kugosok-gosokkan tumit kakiku yang tidak diapa-apakan ke tanah
dan kulumuri pergelangan kakiku dengan debu. Hai yang sama kulakukan dengan
luka di jariku dengan menggunakan tangan yang satu lagi. Tidak kupedulikan rasa
nyeri yang menjalar mulai dari ujung-ujung saraf yang terbuka di situ.
Tidak
banyak yang kuingat dari waktu sore dan saat matahari terbenam. Pergelangan
kakiku nyeri sekali rasanya. Jariku berdenyut-denyut. Ketika malam tiba aku
terlena, sampai bangun lagi karena semut-semut merah menggigiti kulit muka di sekitar
mata. Semut-semut itu kusingkirkan dengan cara memalingkan muka ke samping dan menggosok-gosokkan
mata ke bahuku.
Malam
itu kurasakan panjang sekali. Wanita yang ditelungkupkan di atas bangku itu
merintih-rintih. la terberak dan terkencing-kencing, baunya menghambur dibawa
angin ke tempatku.
Keesokan
paginya lelaki kekar yang memeriksa aku datang lagi. Tali yang mengikat
tanganku dibukanya, lalu diberinya aku air tajin semangkuk.
Baru
saat itu aku bisa melihat apa yang dilakukannya terhadap kelingking tangan
kananku. la memotongnya di tengah-tengah. Sisanya masih satu setengah ruas,
ujungnya berlapis debu, dengan tulang nampak putih di tengah-tengah. Satu
setengah ruas selebihnya sudah tidak ada lagi.
Lelaki
itu menyuruhku tetap tinggal di situ. Aku menurut saja. Aku tidak mampu melarikan
diri, dan selain itu kelihatannya ada kemungkinan aku akan dibebaskan lagi.
Setelah Ielaki itu pergi aku memutar tubuh dalam keadaan duduk untuk melihat ke
belakang. Aku melihat potongan jari tanganku terletak di tanah, dikerumuni
semut merah. Pomngan jari itu bukan bagian tubuhku lagi, dan aku tidak merasa
ngeri melihatnya. Aku berbalik lagi ke posisiku yang semula, lalu mulai berpikir.
Dengan
tangan kiriku yang tidak apa-apa kuraba-kuraba kelenjar getah bening yang
terdapat di selangkangan. Kelenjar-kelenjar di situ terasa membengkak sebagai
akibat aktivitas tubuhku melawan kuman-kuman infeksi. Kurobek sebagian dari
kain kemejaku, kujadikan bahan pembalut jari dan pergelangan kaki.
Siangnya
para penjaga mengencangkan tali-tali yang mengikat diriku, tapi tidak terlalu
erat. Kemudian mereka menggiring tahanan baru ke deretan pohon mangga, seorang
wanita yang hamil. Sewaktu mereka lewat kudengar wanita itu mengatakan bahwa
suaminya bukan tentara.· Nampaknya itu merupakan kesalahan yang paling umum di
penjara situ, yakni menjadi istri tentara rezim Lon NoI. Wanita itu
memohon-mohon agar ia jangan dibunuh. Para penjaga mengatakan bahwa ia masih
juga berhohong. Mereka mengikatkan pergelangan tangannya ke sebatang pohon yang
tidak jauh letaknya dari tempatku. Setelah mengikat pergelangan kakinya, mereka
kemudian pergi.
Setelah
itu muncul seorang pemeriksa yang baru saat itu kulihat. la datang dengan pisau
panjang yang tajam di tangan. la berbicara kepada wanita hamil itu, dan wanita
itu menjawab. Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Apa yang
terjadi setelah itu, membuat aku ingin muntah jika mengingatnya lagi. Aku hanya
mampu menceritakannya secara singkat saja: lelaki pemeriksa itu merobek-robek
pakaian wanita hamil itu dengan pisaunya, lalu diirisnya perut wanita itu dan
dikeluarkan bayi yang ada di dalamnya. Aku cepat-cepat membuang muka. Tapi aku
tidak bisa mengelakkan diri dari penderitaan wanita itu, jeritannya yang
berlanjut dengan rintihan, dan akhirnya, terlalu lama menurut perasaanku, berujung
dalam kesunyian maut yang membebaskan. Lelaki yang melakukan pembunuhan, dengan
tenang lewat didekatku sambil mencengkeram leher janin yang direnggutkan dari dalam
perut ibunya tadi. Sesampai di bangunan penjara, di pinggir jangkauan
penglihatanku, janin itu diikatnya dengan tali lalu digantungkannya ke pinggiran
atap menemani janin-janin yang lain, yang sudah keriput dan hitam karena
mengering.
Pada
setiap batang pohon ada seorang terhukum, dan tiap-tiap terhukum berlainan
corak hukuman atau kematiannya. Lelaki keras yang memarang jariku sampai putus
dan yang satu lagi, yang merobek perut wanita hamil itu, hanya dua saja dari
para spesilis yang ada di antara petugas penjara itu.
Tidak
pernah sebelumnya kulihat pembunuhan dengan sengaja yang dilakukan oleh
orang-orang yang profesional, di hadapan orang-orang yang ketakutan setengah
mati, yang tahu bahwa tidak lama lagi akan tiba giliran mereka sendiri untuk mati.
Sama sekali tidak pernah aku melihatnya sebelum itu. Di bawah Sihanouk dan Lon
Noi, bukan tidak dikenal kekejaman di Kamboja. Di dalam penjara-penjara mereka
dilakukan penyiksaan. Pasukan-pasukan Lon Noi melakukan tindakan-tindakan
biadab terhadap penduduk sipil keturunan Vietnam, dan juga terhadap orang-orang
Khmer Merah yang tertangkap. Tapi aku tidak tahu apa-apa tentang perbuatan seperti
ini, kesenangan yang keji dan tidak berperasaan untuk melakukan tindakan-tindakan
penyiksaan dan pembunuhan yang begitu banyak ragamnya.
Malam
itu aku tidak bisa tidur. Kubiarkan saja semut-semut menggigiti diriku semaunya.
Cahaya remang lampu minyak merembes ke luar lewat celah-celah dinding gedek
bangunan penjara. Batang-batang pohon dengan para terhukum yang diikatkan ke
situ nampak berupa sosok-sosok hitam di bawah sinar bulan yang keperak-perakan.
Terdengar suara burung-burung hantu. Suara jangkrik membentuk paduan suara
ramai, dan dari sana dan sini di kebun rnangga itu terdengar suara rintihan
orang-orang yang terhukum.
Saat
malam buta, suaru kawanan anjing hutan masuk ke kebun mangga itu sambil mengendus-endus.
Mereka berlari mendatangi mayat wanita yang hamil lalu mulai menggerogoti
dagingnya dengan lahap. Aku bisa melihat mereka diterangi cahaya bulan.
Binatang-binatang itu ada tiga atau empar ekor, menyentak-nyentak tubuh wanita itu,
menarik-narik, sambil saling menggeram. Aku tidak bisa berbuat apa-apa jika
anjing-anjing hutan itu berniat menyerang diriku. Rasa takutku yang luar biasa
menyebabkan aku kehilangan segala kendali atas tubuhku. Aku terberak dan terkencing-kencing.
Penyiksa
bertubuh kekar itu datang lagi keesokan harinya. Dicabutnya lagi satu kuku jari
wanita yang tertelungkup di atas bangku, tapi aku tidak diapa-apakannya. Siangnya
muncul dua penjaga yang belum pernah kulihat. Mereka bertanya apa pekerjaanku
sebelum revolusi. Mereka nampaknya puas ketika kukatakan bahwa aku waktu itu
sopir taksi. Mereka melepaskan aku dari batang pohon dan menyuruh aku berdiri. Aku
mencoba berdiri, tapi langsung terjungkal. Aku mencoba lagi dan berhasil sampai
ke posisi merangkak. Aku lantas mereka sentakkan sehingga berdiri.
Kami
meninggalkan penjara lewat jalan setapak yang kulalui ketika aku digiring ke
sana. Kaki bengkak, mulai dari jari-jari sampai ke betis. Setiap kali kaki itu
kupijakkan, rasa nyeri langsung menusuk sampai ke pinggul. Dalam berjalan itu aku
bertumpu ke kaki kiri; kaki kanan kuletakkan pelan-pelan ke tanah, lalu
meloncat ke kaki kiri kembali.
Kami
sampai di sebuah tempat yang merupakan campuran antara daerah hutan dan tanah
sawah . yang tidak diolah. Penjara sudah tidak kelihatan lagi.
"Di
atas bukit kecil berikut yang di sana itu," kata salah seorang pengawalku,
"kau akan mengatakan yang sebenarnya kepada kami. Kalau tidak, kau akan tidur
panjang di sana."
Aku
pasrah saja jika mereka hendak membunuhku di bukit itu. Asal mereka
melakukannya dengan cepat.
Aku
berjalan terpincang-pincang ke bukit rendah yang panjang itu, yang ditumbuhi
pohon-pohon dan semak-belukar di atasnya. Tapi kami terus berjalan. Mereka
tidak menyuruh aku berhenti.
"Kita
akan berhenti di bukit kecil berikut," kata mereka sesudah beberapa waktu.
Tapi bukit yang itu pun kami lewati. Mereka lantas mengucapkan kata-kata serupa
tentang bukit yang selanjutnya.
Kami
bertiga berjalan dengan pelan sekali di atas pematang sawah. Kedua pengawalku
mengatakan kapan aku harus membelok ke kiri dan ke kanan. Dengan lambat sekali kami
melintasi tanah persawahan itu.
Aku
kini tahu bahwa mereka tidak bermaksud membebaskan aku kembali. lni merupakan
bagian dari penyiksaan, membiarkan aku menyangka akan dilepaskan. Tapi aku
sudah tidak peduli. Bukit ini atau yang itu, bagiku sama saja.
Aku
memusatkan diri pada langkahku berjalan: langkah pendek lalu berjingkat, langkah
pendek lalu berjingkat lagi. Kedua pengawal berjalan di belakangku. Mereka akan
melakukan apa pun juga yang mereka niatkan, dan aku tidak bisa mencegahnya.
"Berhenti
di sini!"
Aku
berhenti.
Kami
berada di dekat sebuah bukit kecil.
Mereka
menendang tubuhku dari belakang, sehingga aku terguling di atas pematang. Mereka
berdiri di dekatku sambil memandang diriku. "Kenapa kau tidak mengatakan
yang sebenarnya? Cepat! Sekarang kau akan kami bunuh!"
"Aku
sopir taksi," kataku lambat-lambat. "Aku mengatakan yang
sebenarnya."
Mereka
mengatakan bahwa aku masih saja berbohong, lalu menendang rusukku. Aku jatuh dari
pematang ke sawah. Aku terkapar di situ dcngan muka tertusuk batang-batang padi
yang sudah dituai. Kemudian mereka menarik diriku lagi ke atas pematang. Salah
satu pengawal itu menginjak tengkukku lalu menggerak-gerakkan kakinya seperti
hendak mematikan puntung rokok yang masih menyala. Setelah itu bergantian mereka
menendang-nendang rusukku.
"Kau
ingin mati atau ingin hidup? Kau akan mati menit berikut ini jika kau masih
juga tidak mau mengatakan yang sebenarnya!"
Aku
terbaring di tanah tanpa mengatakan apa-apa. Hanya bunyi napasku saja yang
terdengar.
Kedua
orang itu nongkrong tidak jauh dari tempatku, dengan popor senapan terletak di tanah.
"Tidak
ada untungnya jika ia hidup," kata yang seorang menggumam kepada temannya,
mengutip suatu peribahasa Khmer Merah. ''Tidak ada ruginya jika ia mati."
Sesudah
mengaso sebentar, mereka menyentakkan diriku sehingga berdiri, lalu aku
berjalan terpincang-pincang menuju bukit kecil yang berikut.
"Stop."
Aku
berhenti lagi.
"Kau
ingin pulang alau bagaimana? Kau ìngin bergabung lagi dengan binimu?"
Aku
berpaling menghadap mereka tapi dengan mata menatap ke bawah, seperti sikap
pelayan terhadap tuannya. "Ya," kataku. "Aku mau, jika kalian
mengizinkan aku pergi. Tapi jika kalian tidak mengizinkan, jika kalian bunuh
aku, terserahlah.
Mereka
membuka tali pengikatku. Rupanya aku memberikan jawaban yang benar. Aku
mengatakan kepada mereka bahwa mereka memiliki kekuasaan atas hidup-matiku.
Mendengar aku mengucapkan kata-kata yang mengakui hal itu, bagi mereka hampir sama
memuaskan rasanya seperti membunuh aku.
"Jangan
tengok ke belakang," kata mereka.
"Terus
saja berjalan. Pulanglah."
**************
Aku
melayangkan pandang ke atas pucuk-pucuk pepohonan. Kulihat punggung gunung yang
ada dua bintik putihnya di bawah puncak. Itu kujadikan pecloman arah.
"Rumah",
lokasi terakhir tempat koperasi garis depan, terletak di arah selatan, sekitar
satu setengah kilometer dari tempatku berada. Aku tidak mampu berjalan cepat-cepat.
Menarik napas saja rasanya sudah sakit sekali. Kelingkingku yang tinggal sepotong
membengkak sampai tiga kali ukuran biasanya. Tapi karena tanganku sudah tidak diikat
lagi, aku bisa membengkokkan sikuku dan mengangkat lenganku ke atas, sehingga
agak berkurang rasa sakit yang berdenyut-denyut. Aku memungut sebatang bambu
yang kulihat tergeletak di tanah. Barang bambu itu kujadikan tongkat yang
kugenggam dengan tangan kiriku, sementara aku meneruskan langkah dengan terpincang-pincang.
Aku
sampai di sebuah saluran yang berair keruh di dasarnya. Kubuka pakaianku, lalu
kuhenyakkan tubuhku ke situ. Dengan tanganku yang tidak apa-apa kucuci tubuh
dan kubersihkan dengan sebisa-bisanya kotoran yang menempeI ke luka-Iukaku.
Darah masih terus mengalir dengan peIan dari luka di ujung kelingking kananku
yang tinggal sepotong. Rusukku memar-memar, tapi tidak ada tulang yang patah.
Tinja dan air kencing mengotori celanaku. Aku mencuci pakaianku dengan satu
tangan, tapi tidak bisa sampai benar-benar bersih. Aku mengenakannya kembali dalam
keadaan basah. Kugulung bagian pinggang celanaku supaya jangan merosot.
Aku
berjalan lagi. Kaki kiri; lalu langkah pendek dan ringan dengan kaki kanan
sementara badan ditumpukan pada tongkat bambu; lalu melangkah lagi dengan kaki kiri.
Kaki
kanan. Kaki kiri. Kaki kanan, kaki kiri.
Aku
berhenti sebentar unruk mengaso. Lalu mulai berjalan lagi. Tubuhku yang memar
terasa kaku. Matahari mulai terbenam.
Hari
sudah senja ketika aku akhimya sampai di perkemahan koperasi. Tugas bekerja
hari itu sudah berakhir. Orang-orang "baru" yang ada di bukit-bukit
kecil melihat aku datang. Tapi mereka ragu-ragu apakah aku harus dibantu, dan
aku juga tidak meminta mereka. Huoy ada di tempat tidur gantung kami.
Pandangannya menerawang jauh, merenung. Ketika para tetangga memberi tahu bahwa
aku datang. ia buru-buru meloncat turun dari tempat tidur dan lari menyongsong.
Disingkirkannya tongkat bambuku lalu dipapahnya tubuhku. Dibantunya aku berjalan
sampai di bukit tempat kami.
Huoy
memapahku ke tempat tidur gantung. Tapi aku tidak mau duduk di situ, karena
tubuhku kotor. Ada orang datang membawakan selembar gedek, lalu aku berbaring
di atasnya. Para tetangga datang mengerumuni. Semuanya membisu, kecuali Huoy.
la menangis.
Orang-orang
memasakkan air, lalu Huoy dengan dibantu wanita-wanita yang lain memakai krama
mereka sebagai lap untuk membersihkan tubuhku. Sementara itu kebanyakan dari
mereka sudah menangis, karena mereka kini tahu apa yang terjadi apabila ada
orang lenyap. Tidak ada lagi kemungkinan berpura-pura. Hal yang menimpa diriku
bisa pula terjadi atas diri mereka. Orang-orang datang membawakan obat-obatan. Seorang
memberikan sebuah kapsul ampisilin yang lain menyodorkan satu kapsul tetrasiklin,
dan yang selebihnya memberi aspirin atau jamu. Kedua kapsul berisi obat
antibiotika itu kubuka lalu kutaburkan separuh isinya langsung ke luka-lukaku. Sisanya
kusimpan untuk nanti.
Salah
seorang wanita agak tua yang datang membawakan jamu akhirnya mengatakan hal yang
ada dalam pikiran setiap orang di situ.
"Samnang."
katanya, "mungkin kau melakukan sesuatu yang buruk dalam kehidupanmu sebelum
yang ini. Mungkin kau sekarang dihukum atas perbuatanmu itu." "Ya,"
kataku. "Kurasa kamaku tidak baik."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar