20
WAT
CHEV
membebaskan diriku dari kewajiban bekerja sampai luka-lukaku sembuh. Aku
berbaring dalam tempat tidur gantung yang disangkutkan di antara dua batang
pohon di sebuah bukit kecil. Aku beristirahat di situ, sambil melihat-lihat.
Aku
berusaha tidak terlalu banyak mengingat pengalamanku di penjara. Wanita yang
hamil, kawanan anjing hutan, lelaki kekar dengan kemeja Montagut—aku berusaha menyingkirkan
semuanya itu dari ingatan. Tapi memar-memar di tubuhku, luka-Iuka yang kena
infeksi, dan jari kelingkingku yang tinggal sepotong merupakan hal-hal yang
selalu saja mengingatkan aku pada sesuatu yang tidak bisa dianggap tidak ada.
Aku mulai menganalisis apa yang kuketahui mengenai sistem keadilan Khmer Merah.
Atau lebih cocok jika dikatakan ketidakadilan.
Aku
baru tahu bahwa penjara itu ada ketika aku dibawa ke sana. Sebelumnya aku tidak
pernah mendengar apa-apa mengenainya. Penyebabnya sederhana saja: dari mereka
yang dibawa ke sana, hanya sedikit sekali yang kemudian kembali. Aku tidak tahu
apa sebabnya aku dibebaskan lagi dengan begitu gampang. Aku juga tidak tahu apa
sebabnya mereka mau repot-repot menggiring aku ke sana, dan bukan membawa aku
ke dalam hutan lalu membunuh aku di situ, seperti yang biasanya dilakukan oleh
serdadu-serdadu dengan para korban yang mereka jemput saat sore hari. Apa
sebabnya sebagian dibawa ke penjara, dan sisanya digiring ke dalam hutan?
Mungkin,
begitu kataku dalam hati, penjara merupakan hukuman untuk kejahatan politik,
dan kematian dalam hutan merupakan hukuman bagi orang-orang yang melakukan
pelanggaran hukum yang lebih enteng, seperti bersantai-santai di tempat kerja.
Tapi itu tidak mungkin. Apa sebabnya mencari makanan di luar merupakan kejahatan
politik, dan bukan pelanggaran kecil? Apa sebabnya menjadi istri perwira rezim
Lon Nol merupakan kejahatan politik? Pertanyaan yang lebih langsung lagi: apa sebabnya
kedua hal itu dianggap merupakan kejahatan?
Tapi
pertanyaan-pertanyaan itu tidak ada jawabannya.
Mungkin,
demikian pikirku, ada dua sistem penghukuman yang berjalan sejajar. Suatu sistem
penjara, bagian dari birokrasi yang perlu diberi masukan untuk rncmberikan
pengesahan atas eksistensinya. Lalu ada lagi suatu sistem lain, yang informal,
yang memberi keleluasaan kepada pemimpin koperasi untuk memberikan hukuman, meski
efek yang dialami orang-orang yang terhukum pada hakikatnya 5ama saja.
Dalam
kedua hai irt, yakni penjara atau hutan, orang yang berkedudukan menentukan
adalah ketua koperasi, karena setiap orang di garis depan menerima perintah
dari dia. Dalam koperasi kami, Chev yang merupakan ketuanya, tidak melakukan sendiri
pembunuhan, atau setidak-tidaknya tidak kami lihat ia sendiri membunuh orang.
la juga tidak pernah mengizinkan serdadu-serdadunya membunuh orang di depan
mata umum. Itu satu sisa lagi dari pedoman Khmer Merah di masa silam, ketika
mereka selaku gerilyawan masih berusaha meraih dukungan rakyat: "Kalian
harus bersikap lemah lembut terhadap kaum buruh dan petani serta seluruh
rakyat," begitulah bunyi pedoman itu. Kini, ketika Khmer Merah sudah memenangkan
peperangan dan sikap muak mereka terhadap orang-orang "baru" begitu
jelas nampak, terasa aneh bahwa mereka masih juga pura-pura berpegang teguh pada
pedoman-pedoman mereka yang lama. Pada hakikatnya, pedoman baru mereka
berbunyi, "Jangan bunuh orang di depan umum."
Dan
Chev sendiri sebenarnya juga pembunuh. Ketika aku masih beristirahat menunggu
luka-lukaku sembuh, Iebih dari sekali aku melihat Chev ikut dengan
serdadu-serdadu yang melakukan penangkapan saat sore hari. la berdiri di dekat mereka,
pura-pura sedang memeriksa saluran, sampai serdadu-serdadu dengan orang
tangkapan mereka sudah tidak kelihatan lagi. la pun lantas dengan santai
menyusul mereka dengan cangkul tersandang di bahu, sekali-sekali berhenti
sebentar dengan wajah senang seseorang yang sedang menikmati keisengan
berjalan-jalan saat sore. Setelah itu tidak pemah terdengar bunyi tembakan. Chev
membunuh dengan menggunakan cangkuInya. Keesokan harinya ia selalu nampak
riang, berkeliling dengan langkah-langkah bersemangat, tanpa cangkulnya. la
membunuh untuk mendapat kepuasan hati. Hatinya lega jika cukup banyak musuh
yang dibasmi olehnya. la sudah menunaikan tugasnya untuk Angka.
Kenapa?
Apa sebabnya mereka membunuhi begitu banyak orang? Bagi Khmer Merah pada umumnya,
mulai dari serdadu yang paling rendah sampai dengan pemeriksa bertubuh kekar
yang memotong jariku dengan parangnya, sampai dengan Chev yang mulutnya selalu
tersenyum, perbuatan membunuh manusia merupakan urusan rutin. Hanya merupakan
bagian dari tugas. Tidak perlu dijadikan pikiran. Tapi ada perbedaan-perbedaan dalam
latar belakang mereka., dan dalam mortivasi mereka. Para serdadu rendahan misalnya,
mereka masih muda-muda dan tidak berpendidikan. Hanya sedikit sekali di antara mereka
yang bisa membeda-bedakan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Dalam perang
saudara, mereka dilatih untuk membunuhi pasukan-pasukan Lon NoI. Apabila
diperintahkan membunuh orang-orang "baru" di garis depan, secara
otomatis mereka akan mematuhi perintah itu, tanpa banyak berpikir tentang
perbedaannya. Tentu saja bagi sebagian dari mereka, dan bagi para pemeriksa di
penjara, terdapat unsur kum-monuss
dalam tindakan yang mereka lakukan. Tapi para pemeriksa di penjara lebih tua umurnya
dan berkedudukan lebih tinggi daripada para serdadu, seperti lelaki kekar
berpena dua di kantongnya yang memotong jariku dengan parang. Perwira tidak
melakukan pembunuhan karena mematuhi perintah, atau untuk membalas dendam.
Mereka menyukai perbuatan itu. Mereka itu sadis: menyiksa orang lain merupakan
bukti yang paling hebat dari kekuasaan mereka.
Tapi
bagi Chev dan pemimpin-pemimpin lainnya di garis depan ada satu alasan lain
yang lebih tinggi tingkat penalarannya untuk melakukan tindakan pembunuhan, dan
itu adalah keharusan politis. Apabila berbicara tentang mengorbankan segala-galanya
untuk Angka, mereka menafsirkannya secara harfiah. Apa saja yang merintangi pelaksanaan
proyek-proyek Angka harus disingkirkan, termasuk pula manusia. Namun bagi mereka
kami tidak sepenuhnya dinilai manusia. Kami merupakan makhluk-makhluk yang
lebih rendah daripada manusia seiati, karena kami musuh. Membunuh kami bisa
dipersamakan dengan menepuk lalat, satu cara menyingkirkan untuk menyingkirkan
hal-hal yang tidak disukai. Bagi mereka kami mengecewakan karena tidak pernah
menyelesaikan proyek-proyek pada waktunya, karena kami tidak bekerja keras dua
puluh jam sehari, karena kami selalu saja ambruk dan selalu sakit.
Yang paling
parah ialah kenyataan bahwa segala pembunuhan itu rasanya seperti haI yang
biasa-biasa saja. Mungkin bukan biasa, tapi tidak bisa dielakkan. Melihat
kenyataan yang ada. Para bhiksu yang dengan tenang pergi berkeliling pada waktu
pagi, kini sudah tidak ada lagi. Keluarga-keluarga yang terdiri dari tiga
generasi, di mana anak-anak yang masih kecil diasuh oleh kakek, tidak tidak ada
lagi. Berbelanja bahan makanan di Pasar dan mengobrol dengan kenalan di situ,
mengundang teman-teman untuk makan malam dan bercakap-cakap—semuanya sudah
lenyap. Dan tanpa pola itu, tidak ada lagi yang bisa kami jadikan pegangan.
Karena semangat sudah hilang dan terpecah-pecah, seperti atom-atom yang
dipisahkan dari senyawa kimianya, kami biarkan saja Khmer Merah berbuat sekehendak
hati mereka terhadap kami. Kami tidak melawan. Jumlah kami yang ada di lapangan
dua ribu pria dan wanita yang memegang cangkul, sementara Angka hanya terdiri
dari dua atau tiga remaja yang sudah diindoktrinasi dan bersenjata senapan.
Tapi kami biarkan saja serdadu-serdadu itu menggiring kami pergi. Kenapa?
Karena sudah watak kami, patuh kepada pemimpin. Karena kami berada dalam keadaan
lemah, sakit, dan kelaparan. Karena itu merupakan kama. Kami bahkan tidak tahu kenapa, tapi kenyataannya kami tunduk
terhadap mereka.
Pernah
pada suatu malam, sebelum aku digiring ke penjara, beberapa orang di antara kami
berbicara tentang berontak. Percakapan di antara kami itu terjadi pada suatu
malam yang jarang terjadi, saat kami tidak perlu kembali pergi bekerja setelah rapat
politik selesai. Sekitar selusin dari kami yang dulunya termasuk golongan atas
duduk mengelilingi api unggun. Kami mengucapkan sumpah tutup mulut, lalu bicara
tentang kemungkinan memberontak terhadap Khmer Merah. Pemimpin kami bernama Thai.
Dia itu orang "baru", dan pernah menjadi tentara dalam rezim Lon NoI.
Selain itu ada pula Pen Tip, teknisi ruang Rontgen bertubuh kecil dari Phnom
Penh yang berulang kali berjumpa dengan aku di berbagai tempat. Kami berbicara
tentang kemungkinan merampas senjata. Kami berbicara tentang pergi menuju perbatasan
Thailand untuk menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan, dengan Khmer
Serei, yang kabarnya ada di sana. Tapi itu saja yang kami lakukan, hanya bicara
saja. Lama-kelamaan, sementara malam semakin larut, kami semakin lama saja
menatap nyala api, tanpa mengatakan apa-apa. Percuma saja mengadakan perlawanan,
dan itu kami sadari sendiri. Khmer Merah sudah menang. Sambil menatap nyala
api, pikiran kami menerawang dengan sedih. Seperti setiap malam, di setiap api
unggun di garis depan. Menatap api dengan perasaan capek dan kalah.
Tapi
meski kami sudah kalah, dan meski kami bisa merasa diri kami makin lama makin
terbenam dalam perbudakan, kami tidak kehilangan pengharapan. Setidak-tidaknya begitulah
halnya dengan banyak orang di antara kami. Misalnya saja aku dan Huoy. Aku
pernah masuk penjara, tapi aku tetap hidup. ltu suatu haI yang perlu disyukuri.
Dan sementara aku ada di penjara, Huoy mengalami sesuatu yang sangat baik: dari
pekerjaan mengangkut keranjang-keranjang berisi tanah di saluran, ia
dipindahkan ke dapur umum dengan tugas menyiapkan makanan. Para pekerja di
dapur tidak perlu bekerja pada malam hari. Beban kerjanya juga tidak terlalu
berat. Dan yang paling penting, mereka selalu bisa memperoleh jatah makanan
yang mencukupi. Ketika aku masih beristirahat setelah kembali dari penjara, dua
kali sehari Huoy datang membawakan nasi untukku, disembunyikannya dalam bagian
pinggang sarungnya yang digulung. Yang dibawakannya itu benar-benar nasi, dan
bukan tajin encer. Huoy bercerita bahwa nasi yang begitulah yang selalu dimakan
oleh Chev dan serdadu-serdadunya, sebanyak yang mereka inginkan.
Seperti
ketika aku sakit disentri, sekali lagi Huoy membuktikan dirinya sebagai perawat
yang benar-benar sempurna. Selain membawakan nasi dan menyiapkan makanan, ia
juga menjahitkan pakaianku yang robek-robek. Untuk menghiburku, ia menyanyi
dengan suaranya yang jernih dan lembut. la tidak bisa menghentikan infeksiku karena
tidak ada sabun atau antibiotika, tapi dua kali sehari digantinya kain pembalut
luka-lukaku. Kain pembalut yang kotor direbusnya dalam air mendidih untuk
membuatnya suci hama, lalu dijemur biar kering. Sejak meninggalkan Phnom Penh
aku melihat adanya satu segi baru dalam kepribadian Huoy, dan itu menyebabkan
aku bertambah menghargainya: apabila ada sesuatu yang perlu dilakukan. Huoy
langsung belajar sendiri sampai bisa melakukannya, tanpa perlu disuruh lagi. la
mahir melakukan apa saja yang ditanganinya. Kecuali kehilangan ibunya, yang menyebabkan
ia setiap hari merasa sedih, ia ternyata lebih berhasil menyesuaikan diri
dengan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan rezim yang baru, jika dibandingkan
dengan kebanyakan orang lain. Apalagi dibandingkan dengan diriku. Dari kami
berdua, yang kuat mestinya aku. Tapi kenyataannya kemudian tidak begitu. Akulah
yang selalu saja dilanda kesulitan, atau jatuh sakit.
Ketika
keadaanku sudah cukup pulih sehingga bisa berjalan tanpa tongkat, aku disuruh
bekerja kembali. Aku dimasukkan dalam sebuah regu yang kerjanya
berpindah-pindah. Regu itu terdiri atas delapan orang, dan anggota-anggotanya
tidak seorang pun sudah kukenal sebelumnya. Pada hari pertama kami mulai bertugas,
kami dipanggil ke dapur umum, di mana Chev kemudian berbicara kepada kami. Saat
itu Huoy hanya beberapa meter saja dari tempatku, sedang menuangkan beras ke dalam
gentong-gemong yang besar. la memandang ke arahku dengan kening dikerutkan
sebagai tanda menyuruh aku diam saja. la sebenarnya tidak perlu khawatir tentang
itu—aku begitu takut kepada Chev, sehingga takkan mengatakan apa pun juga. Tapi
aku tidak bisa menyembunyikan diriku dari orang itu. Dengan sekilas melihat pergelangan
kaki dan potongan jariku yang dibalut, ia sudah tahu apa yang terjadi sewaktu aku
dikirim olehnya ke Angka Leu. Aku membuang mata, dengan wajah yang tidak
menampakkan gerak perasaan. Ekspresiku yang biasa.
Chev
tersenyum dan mengangguk dengan ramah kepada kami.
Ia
mengatakan bahwa koperasi perlu membangun sebuah jembatan. Karena kayu untuk
itu tidak ada, kami bertugas pergi ke kuil tua yang ada di atas gunung,
merobohkannya dan mengangkut kayu-kayunya ke bawah. "Aku yakin kalian
sependapat bahwa ini merupakan rencana yang sangat baik. Betul atau
tidak?"
"Betul,"
kata semua anggota regu.
"Tepat,"
kata Chev. "Lebih baik kuil yang tidak ada gunanya dirobohkan, daripada
tidak punya jembatan. Kita tidak memerlukan Budha. Yang kita perlukan adalah
jembatan untuk keperIuan pengangkutan bagi rakyat. Dewa-dewa tidak bisa
membangun jembatan untuk kita. Kita harus mampu dengan teguh mengendalikan
nasib kita.”
Wajahku
menampakkan sikap setuju. Tapi dalam hati aku berkata, kita tidak memerlukan Budha
saat ini? Kau gila, ya? Justru sekarang Inilah kita amat sangat memerlukannya.
Chev
masih tetap tersenyum kepada kami, dengan bibirnya yang lebar dan tebal.
Keparat,
pikirku, pernahkah Budha berbuat jahat terhadapmu? Jika kau memusnahkan
kuilnya, Budha akan melakukan pembalasan terhadap dirimu. Mungkin bukan dalam
kehidupan yang sekarang ini, mungkin juga belum dalam kehidupanmu yang akan
datang:Tapi pada suatu waktu nanti. Dan mudah-mudahan saja itu bisa terjadi dengan
segera, karena aku ingin melihatmu menderita. Aku ingin melihatmu mati dengan
cara yang sangat tidak enak, seperti orang-orang hukuman di Chhleav itu.
Tidak
ada seorang pun dari kami yang bergerak.
Chev
memandang kami satu per saru. Ditatapnya aku lama-lama. la hendak menguji
diriku, untuk melihat apakah aku sudah menarik pelajaran dari pengalaman
sewaktu di penjara.
Akhirnya
ia menyuruh kami berangkat.
Regu
kami berjalan tanpa pengawalan, dari dapur umum ke jalan, dan dari situ menuju
ke Phum Phnom. Sebuah jalan kecil di dekat markas Khmer Merah membawa kami
masuk ke dalam hutan di kaki punggung gunung.
Kami
mulai mendaki, menusur jalan setapak yang naik-turun. Kemudian tanah menjadi
lebih rata di pinggir dataran tinggi yang kami tuju, kami melihat sejumlah
tempat kediaman bhiksu yang terbuat dari beton dan berdiri di aras tiang-tiang.
Bangunan-bangunan itu masih utuh. Sedikit lebih jauh lagi kami melewati
sisa-sisa tempat kediaman yang terbuat dari kayu, yang sudah dibongkar oleh
orang-orang semacam kami yang mencari kayu. Dari arah atas terdengar bunyi
samar genta-genta bergemerincing dipermainkan angin.
Hari
itu langit cerah, Sebentar lagi musim kemarau akan berakhir. Pemandangan di
sekeliling nampak terang karena bunga-bunga berwarna kuning yang mekar di situ.
Burung-burung merpati dan tekukur terbang dari dahan ke dahan pepohonan yang
hampir tak berdaun lagi, Dataran rendah terbentang jauh di bawah, terlihat
lewat pucuk-pucuk pepohonan di lereng yang lebih rendah. Di kejauhan terdengar
bunyi peluit kereta api. Kereta yang memakai tenaga uap itu bergerak di atas relnya,
lokomotif yang kecil memuntahkan kepulan asap hitam, menarik iringan panjang gerbong-gerbong
yang meliuk-liuk seperti ular ketika lewat di tikungan, Kereta api seperti itu yang
dulu membawa kami ke Battambang.
Kami
beristirahat sebentar. Aneh rasanya, tidak ada yang mengawasi, bisa duduk kapan
saja kami mau. Kami mendengarkan bunyi kereta yang mendengus-dengus,
mendengarkan bunyi detak-detik roda-rodanya, bunyi peluit uapnya yang makin
lama makin jauh. Kemudian kami mendengar lagi bunyi genta-genta angin yang
datang dari arah sebelah atas kami.
Kami
berjalan ke wat. Di sisi kuil itu ada sebuah stupa atau monumen makam yang
tingginya kurang-lebih dua pertiga kuil. Stupa itulah yang nampak berupa bintik
putih yang lebih kecil dari kedua bintik yang kulihat saat aku sedang membajak
sawah di Phum Chhleav. Di dalam stupa yang besar itu terdapat abu jenazah salah
seorang tokoh terkemuka. Mungkin orang yang menyumbangkan dana untuk membangun
wat.
Wat
itu sendiri umurnya sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun, dengan dinding
beton dan balok-balok kayu, serta papan-papan yang menunjang atap yang
gentengnya berwarna pudar. Hatiku pedih melihat bahwa bangunan itu bukan roboh
karena tua, melainkan dirusak dengan sengaja. Di luar, patung-patung Budha
bergelimpangan dalam keadaan pecah berantakan. Tanah di situ ditumbuhi rumput
liar dan sulur-sulur. Di mana-mana nampak sobekan-sobekan kain berwarna kuning
kunyit seperti yang dipakai sebagai bahan jubah oleh para bhiksu serta yang
dibelitkan pada batang pohon-pohon bodhi yang suci.
Salah
satu dinding sudah hampir tidak ada lagi. Betonnya dibongkar dan batang-batang
besi penguat yang ada di dalamnya sudah diambil orang. Khmer Merah memakainya
sebagai bahan pembuat paku. Pimu-pintu kayu tebal dan berukir- ukir yang
terdapat di setiap kuil sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan
kosen-kosen pintu dan jendela serta daun-daun jendela. Semua sudah tidak ada
lagi, meninggalkan lubang-Iubang yang menganga. Susuran berbentuk naga yang mengapit
tangga dari teras sudah dibongkar pula untuk diambil batang-batang besi
penguatnya. Para penjarah merusak bagian bawah atap dan mengambil kayu-kayunya;
meninggalkan tumpukan genteng pecah di teras.
Kami
masuk ke dalam. Puing-puing dan kotoran burung bertebaran di lantai.
Merpati-merpati beterbangan keluar-masuk lewat lubang-Iubang di atap.
Patung-patung Budha yang dulunya terjejer bertingkat-tingkat sepanjang dinding
seberang sudah tidak ada lagi semuanya, kecuali patung Budha paling besar yang
ada di tempat paling atas. Kepala dan lengan kanannya putus dipotong para penjarah.
Tapi sisanya dibiarkan saja. Rupanya mereka malas menghancurkannya.
Aku
mendengar nada-nada gemerincing genta-genta angin yang tergantung pada
pinggiran atap di luar.
Kami
berdiri seperti terpaku. Delapan lelaki compang-camping berkaki telanjang.
Tanpa
mengatakan apa-apa kami berlutut lalu berdoa.
Sang
Budha, kataku dalam hati, ampuni kami atas perbuatan yang akan kami lakukan.
Kami sendiri tidak ingin merusak kuilMu. Kami melakukannya dengan perasaan
enggan. Hati kami tertambat padaMu. Kami patuh, hanya karena ingin menyelamatkan
nyawa kami, karena kami lemah dan takut. Janganlah kami dihukum. Lindungilah
kami. Hukumlah meraka yang memberikan perintah ini kepada kami. Hukumlah mereka
yang tidak membolehkan kami datang kemari untuk beribadat atau membersihkan pekarangan
untuk memperoleh pahala.
Selain
kami tidak ada orang lain di sekitar kuil itu. Tidak ada orang lain yang
memperhatikan. Para penjarah sebelum kami meninggalkan tangga- tangga bambu di
luar. Dengan lambat dan segan-segan, dengan sikap meminta permisi kepada patung
Budha yang tidak berkepala lagi. kami memanjat tangga-tangga itu ke suatu
bagian dari atap sebelah bawah yang genteng-gemengnya sudah terbongkar,
menampakkan kayu-kayu yang ada di bawahnya. Kasau-kasau itu kami cungkil dengan
kapak-kapak kami sehingga terlepas. Kami mengambilnya sesedikit mungkin. Kemudian
kami buru-buru pergi lagi dari kuil itu. Kayu-kayu kasau kami luncurkan
menuruni lereng gunung yang curam.
************
Umung
saja kami tidak perlu lagi kembali ke kuil itu keesokan harinya. Kami sama
sekali tidak disuruh ke sana lagi. Pihak yang berkuasa selalu saja berubah-ubah
pikirannya.
Kami
kembali disuruh bekerja di saluran. Pekerjaan menyebalkan yang sama seperti
sebelumnya. Dentangan lonceng siang dan malam. Berbaris satu-satu ke tempat
kerja sebelum matahari terbit, dengan musik rekaman yang dikumandangkan lewat
alat pengeras suara dan yang tidak bisa dihindari, bekerja terus sampai
terdengar bunyi lonceng tanda makan siang, berbaris satu-satu kembali ke dapur
umum, begitu saja terus-menerus. Bekerja terlalu banyak, kurang tidur, kurang
makan. Tidak ada persahabatan sejati. Aku lebih beruntung dibandingkan dengan
yang lain-Iainnya. Tidak adanya sahabat bukan masalah bagiku, selama Huoy ada
di sampingku. Kami berbagi segala-galanya. Antara kami berdua ada ikatan
naluriah, seperti ikatan antara sepasang hewan.
Yang
memberatkan hati adalah rasa ngeri. Aku sudah pernah sekali masuk penjara.
Setiap pagi aku bertanya-tanya sendiri, apakah aku bisa tetap selamat hari itu.
Setiap malam aku bertanya-tanya apakah aku akan terus selamat sampai pagi, atau
apakah suara lengkingan seorang anak akan menyebabkan diriku dikelilingi
orang-orang yang menuduh-nuduh. Orang-orang "baru", semuanya dihinggapi
perasaan yang sama. Kami tidak pernah menjadi terbiasa pada kengerian itu. Kami
memendamnya dalam hati sanubari kami. Lengan dan tungkai kami bisa saja sekurus
batang bambu. Rambut kami bisa saja berubah warnanya menjadi coklat kusam atau
putih, tapi kengerian itu tidak kami nampakkan ke luar. Di dalam hati, setiap saat
kami berpikir: mungkin jam berikut. Mungkin malam ini. Kemungkinan bahwa kami
akan digiring pergi oleh serdadu-serdadu selalu menghantui pikiran kami.
"Hati-hati—tubuh
bisa dengan begitu saja lenyap." Itu salah satu ungkapan yang timbul di kalangan
orang-orang "baru" sebagai peringatan agar jangan bersikap yang
menarik perhatian. Ungkapan lain yang berbunyi Dam doeum kor, secara harfiah berarti ''Tanamlah pohon kapuk".
Kor berarti "kapuk", rapi
juga "bungkam". Jadi diam sajalah. Tanam pohon kapuk. Tubuh-tubuh lenyap.
Kata-kata peringatan itu diucapkan sambil menggumam dan tidak secara langsung, tapi
maknanya jelas: hindari serdadu-serdadu. Jangan beri mereka alasan mengenali
dirimu di tengah orang banyak. Apabila reguku sedang berjalan menuju ke salah
satu rempat, kami selalu mengubah arah apabiIa ada kemungkinan kami akan berpapasan
dengan serdadu-serdadu.
Selain
untuk menjawab jika ditanya, aku tidak pernah berbicara dengan serdadu Khmer
Merah sejak dengan yang bersama aku dulu naik Vespaku pergi ke Phnom Penh dan
kembali lagi. Serdadu-serdadu rendahan di garis depan banyak sekali keserupaannya
dengan mit yang kuboncengkan waktu
itu: buta huruf, kotor, tidak mengenal benda-benda modern seperti mesin, toilet,
begitu pula televisi. Mereka berbicara dengan logat orang gunung daerah
Battambang. Mereka kuat sekali berjalan kaki. Telapak kaki mereka terlaIu lebar
untuk sandal karet ban yang mereka pakai. Tapi mereka bangga bisa memakainya, begitu
pula pakaian seragam mereka, serta krama sutera dan kemeja Montagut mereka, karena
kebanyakan dari mereka baru bisa berpakaian selengkapnya setelah menggabungkan
diri dengan Khmer Merah.
Di
tempat kerja di saluran kami, orang-orang "baru", bergerak dengan
kelunglaian yang menimbulkan kesan bahwa kami sudah uzur. Tidak ada gerak-gerik
yang tidak perlu, tidak ada langkah bersemangat, tidak ada keisengan. Di sana-sini
ada di antara kami yang sudah menjadi gila. Orang-orang itu menyanyikan
lagu-Iagu lama secara sepotong-sepotong, lalu tahu-tahu menangis. Atau mereka
dengan enak saja duduk di tanah, padahal saat itu belum waktu istirahat. Serdadu-serdadu
datang dan menggiring mereka pergi: hari ini enam orang, besoknya dua, besoknya
lagi tidak ada, lalu tiga orang hari berikutnya, menyingkirkan orang-orang yang
gila dan yang dicurigai dari tengah-tengah kami apabila hari sudah sore.
Tubuh-tubuh lenyap.
Aku
bekerja dengan lebih giat, atas permintaan Huoy. la mengatakan, kami memiliki
peluang paling baik untuk bisa tetap selamat apabila menjadi pekerja teladan.
Jika aku bekerja keras. demikian dikatakan oleh Huoy, itu mungkin akan bisa
menyebabkan Chev percaya bahwa aku sudah berubah sikap setelah dikirim ke
penjara. Atas saran Huoy, aku juga mengurangi kegiatanku mencari makanan di
luar. Karena ia kini di dapur, kami memang tidak begitu 'banyak lagi memerlukan
tambahan bahan pangan di luar. Aku masih terus melakukannya hanya jangan sampai
timbul kecurigaan di antara teman-teman kerjaku tentang berapa banyaknya makanan
yang dibawa pulang oleh Huoy.
Karena
kegiatanku bekerja (yang dimungkinkan karena adanya makanan yang dicuri Huoy dari
dapur), aku diangkat menjadi pemimpin regu, mengepalai sembilan orang pekerja.
Kedudukan itu tidak disertai pemberian jatah ekstra atau kelebihan-kelebihan
lain. Kini aku yang dipersalahkan dan dikatakan tidak adil saat aku
membagi-bagikan jatah air tajin ke dalam mangkuk-mangkuk mereka. Aku pergi
menghadiri rapat-rapat bersama para pemimpin regu-regu lainnya untuk
mendengarkan pidato para atasan kami, pemimpin-pemimpin kelompok, atau tepatnya
pemimpin-pemimpin seksi. Aku selalu saja menyetujui apa pun juga yang dikatakan
oleh pemimpin-pemimpin seksi itu, meski kedengarannya tidak masuk akal.
Para
pemimpin regu-regu yang lainnya juga terdiri dari orang-orang "baru"
yang di dalam hati menentang revolusi, tapi bersikap patuh karena ingin tetap
hidup. Hanya seorang saja di antara mereka yang tidak kuketahui dengan pasti pendiriannya.
Orang itu Pen Tip, yang seperti aku juga diangkat menjadi pemimpin regu.
Pen
Tip itu berpenampilan aneh. Gayanya berjalan mengangkang, seperti Charlie
Chaplin. la suka bergaul dengan orang-orang "lama" dan juga dengan
Khmer Merah. la bercanda dengan mereka dan memuji-muji, mencari muka. Entah
kenapa, ia tidak diapa-apakan. Orang lain yang berusaha mendekati
serdadu-serdadu, pasti kemudian digiring ke dalam hutan. Pen Tip menguasai cara
memanipulasi orang, dan membuat mereka merasa berutang budi. Sikapnya
membangkitkan kesan bahwa karena ia mempunyai hubungan baik dengan Angka, kami
para pemimpin regu-regu yang selebihnya perlu tetap bersikap baik kepadanya. Seiak
itu aku sedapat mungkin selalu menghindarinya.
Aku
tahu, Pen Tip takkan melapor kepada Angka tentang rapat rĂ hasia kami
malam-malam waktu itu, merundingkan rencana menggabungkan diri dengan gerakan
perlawanan, karena ia sendiri ikut serta di dalamnya. Meski begitu, bisa saja
ia membuka rahasia tentang latar belakangku kepada Angka. Pen Tip pernah
melihat aku di rumah-rumah sakit di Phnom Penh. la tahu bahwa aku ini dokter.
Tapi selain itu ia tidak tahu apa-apa. la tidak tahu namaku yang sebenarnya. Suatu
hari aku dipanggilnya, ketika ia sedang duduk di sebuah bangku dari bambu di
dekat dapur umum, yang kadang-kadang ditempati oleh serdadu-serdadu. Pen Tip
begitu pendek orangnya. sehingga kakinya tidak mencapai tanah. la menggoyang-goyang
kaki seperti anak kecil sambil memilin-milin rokok dengan ujung jari-jarinya.
“Aku
ingin tahu sesuatu, eh, 'Samnang'," katanya. Nama itu disebutnya dengan
nada menyindir. la mempunyai kebiasaan mengangkat alis dengan sikap kaget atau
heran, serta tidak pernah menatap secara langsung. Matanya selalu bergerak kian
kemari. "Eh, terus-terang sajalah. Kau dokter sewaktu masih di Phnom Penh,
tapi" — ia mengepulkan asap rokoknya—"kau orang baik dan, eh, aku
suka sekali padamu."
la
tidak meneruskan kalimatnya. Dan itu memang tidak perlu. la mengancam akan
membeberkan rahasiaku, jika aku tidak memberikan apa-apa kepadanya sebagai
sogokan.
"Begini,
Pen Tip," kataku, "aku pernah menolong orang sakit sewaktu di Phum
Chhleav, serupa seperti yang kaulakukan. Kau bukan dokter, dan aku juga bukan
dokter. Kita cuma prihatin melihat keadaan kesehatan rakyat."
"Kudengar
kau, eh, pernah punya masalah dengan kesehatanmu sendiri," katanya.
Matanya ditatapkan ke kelingkingku yang buntung, lalu cepat-cepar dialihkan.
Aku merasa bahwa aku tahu-tahu berkeringat dingin.
"Aku
benar-benar tidak punya waktu untuk mengobrol sekarang, Pen Tip," kataku.
"Aku harus mengambil tambahan keranjang pengangkut tanah untuk reguku.
Tapi kau keliru tentang diriku, Jadi dam
doeum kor, ya?"
"Orang-orang
tahu-tahu lenyap," jawabnya.
Aku
melangkah pergi dengan sikap tenang, padahal dalam hati aku marah. Merendahkan
diri terhadap Khmer Merah saja sudah cukup tidak enak. Aku tidak berniat
merendahkan diriku kepada orang yang tergolong orang "baru". Dan aku
tidak suka kepada orang-orang yang menjilat kepada Khmer Merah. Bibi Kim di
Tonle Bati, Pen Tip di sini—orang-orang seperti mereka membuat aku muak.
Selama
minggu-minggu selanjutnya Pen Tip berhasil memaksakan datangnya pemberian
"upeti" dari semua pemimpin regu yang lain. Makanan, atau tembakau,
atau tanda upeti lain-lainnya. Tapi aku tetap bertahan. Antara aku dan Pen Tip terjadi
pertarungan kemauan. Aku tidak bercerita apa pun juga mengenainya kepada Huoy.
Tidak ada perlunya membuat dia cemas.
Kemudian,
suatu siang saat mengaso untuk merokok, ketika beberapa regu sedang
beristirahat bersama-sama di sebuah bukit kecil dekat saluran, Pen Tip
membeberkan pertarungan tersembunyi yang berlangsung antara kami berdua. Saat
itu sedang tidak ada serdadu atau pengawas yang lebih tinggi di sekitar kami.
Kami sedang mengisap rokok lintingan kami sambil bercanda tentang pekerjaan
kami sesama rezim lama, untuk meringankan perasaan tertekan. Seseorang di antara
kami mengatakan bahwa ia dulu raja, tapi kemudian turun takhta untuk menjadi
pengawas wc. Seseorang lagi mengatakan bahwa ia beruntung, karena ia sendiri
cuma asisten pengawas wc. Kami semua tertawa, lalu mulai saling berusaha lebih-melebihi
dengan cerita-cerita konyol.
"Kalian
mau mendengar cerita lucu?" kata Pen Tip. "Akan kuceritakan suatu
cerita lucu. Samnang dulunya dokter." Nada suaranya menyebabkan kami
semuanya terdiam.
"Tidak,
Pen Tip," kataku dengan lesu, "itu tidak benar. Dan jangan kaubilang
begitu. Bisa-bisa aku mati dibunuh Angka."
"Jangan
khawatir," jawab Pen Tip. "Semua orang tahu bahwa kau dokter."
"Jangan
bilang begitu, Kawan Pen Tip." kataku. "Jika terus saja iseng seperti
begitu dan Angka percaya, aku akan mengalami kesulitan besar. Jangan suka
iseng."
Saat
istirahat singkat berakhir dan kami mulai bekerja lagi. Sejak itu sudah menjadi
rahasia umum bahwa ada tuduhan bahwa aku sebenarnya dokter, tapi tidak seorang
pun tahu apakah tuduhan itu benar atau ridak.
Sekitar
seminggu kemudian, ketika aku sedang beristirahat di atas tikar dan Huoy
berbaring di tempat tidur gantung, dua orang serdadu berumur belasan tahun
datang menghampiri kami. Aku belum pernah melihat mereka. Mereka bukan serdadu-serdadu
yang biasanya bertugas di koperasi kami. Seorang dari mereka memegang seutas tali.
Dengan susah-payah aku memohon mereka agar menunggu sebentar sementara aku
menukar celanaku dengan yang lain. Dalam celana yang saat ini kupakai ada emas,
dan karena sudah jelas aku akan dibawa ke mana, rasanya lebih baik jika Huoy
yang menyimpan emas itu. Lenganku diikat lagi di bagian siku ke belakang
punggung. Kemudian aku ditendang oleh serdadu-serdadu itu, saat aku sedang
berdiri di pinggir bukit kecil tempat kediaman kami. Aku jatuh tertelungkup ke
sawah yang belum lagi ditanami. Huoy histeris. Aku digiring pergi lewat dapur
umum, disaksikan beratus-ratus orang. Mungkin saja Pen Tip ada di amara mereka,
tapi aku tidak melihatnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar