Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Selasa, 29 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 20 : Wat


20

WAT


CHEV membebaskan diriku dari kewajiban bekerja sampai luka-lukaku sembuh. Aku berbaring dalam tempat tidur gantung yang disangkutkan di antara dua batang pohon di sebuah bukit kecil. Aku beristirahat di situ, sambil melihat-lihat.

Aku berusaha tidak terlalu banyak mengingat pengalamanku di penjara. Wanita yang hamil, kawanan anjing hutan, lelaki kekar dengan kemeja Montagut—aku berusaha menyingkirkan semuanya itu dari ingatan. Tapi memar-memar di tubuhku, luka-Iuka yang kena infeksi, dan jari kelingkingku yang tinggal sepotong merupakan hal-hal yang selalu saja mengingatkan aku pada sesuatu yang tidak bisa dianggap tidak ada. Aku mulai menganalisis apa yang kuketahui mengenai sistem keadilan Khmer Merah. Atau lebih cocok jika dikatakan ketidakadilan.

Aku baru tahu bahwa penjara itu ada ketika aku dibawa ke sana. Sebelumnya aku tidak pernah mendengar apa-apa mengenainya. Penyebabnya sederhana saja: dari mereka yang dibawa ke sana, hanya sedikit sekali yang kemudian kembali. Aku tidak tahu apa sebabnya aku dibebaskan lagi dengan begitu gampang. Aku juga tidak tahu apa sebabnya mereka mau repot-repot menggiring aku ke sana, dan bukan membawa aku ke dalam hutan lalu membunuh aku di situ, seperti yang biasanya dilakukan oleh serdadu-serdadu dengan para korban yang mereka jemput saat sore hari. Apa sebabnya sebagian dibawa ke penjara, dan sisanya digiring ke dalam hutan?

Mungkin, begitu kataku dalam hati, penjara merupakan hukuman untuk kejahatan politik, dan kematian dalam hutan merupakan hukuman bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran hukum yang lebih enteng, seperti bersantai-santai di tempat kerja. Tapi itu tidak mungkin. Apa sebabnya mencari makanan di luar merupakan kejahatan politik, dan bukan pelanggaran kecil? Apa sebabnya menjadi istri perwira rezim Lon Nol merupakan kejahatan politik? Pertanyaan yang lebih langsung lagi: apa sebabnya kedua hal itu dianggap merupakan kejahatan?

Tapi pertanyaan-pertanyaan itu tidak ada jawabannya.

Mungkin, demikian pikirku, ada dua sistem penghukuman yang berjalan sejajar. Suatu sistem penjara, bagian dari birokrasi yang perlu diberi masukan untuk rncmberikan pengesahan atas eksistensinya. Lalu ada lagi suatu sistem lain, yang informal, yang memberi keleluasaan kepada pemimpin koperasi untuk memberikan hukuman, meski efek yang dialami orang-orang yang terhukum pada hakikatnya 5ama saja.

Dalam kedua hai irt, yakni penjara atau hutan, orang yang berkedudukan menentukan adalah ketua koperasi, karena setiap orang di garis depan menerima perintah dari dia. Dalam koperasi kami, Chev yang merupakan ketuanya, tidak melakukan sendiri pembunuhan, atau setidak-tidaknya tidak kami lihat ia sendiri membunuh orang. la juga tidak pernah mengizinkan serdadu-serdadunya membunuh orang di depan mata umum. Itu satu sisa lagi dari pedoman Khmer Merah di masa silam, ketika mereka selaku gerilyawan masih berusaha meraih dukungan rakyat: "Kalian harus bersikap lemah lembut terhadap kaum buruh dan petani serta seluruh rakyat," begitulah bunyi pedoman itu. Kini, ketika Khmer Merah sudah memenangkan peperangan dan sikap muak mereka terhadap orang-orang "baru" begitu jelas nampak, terasa aneh bahwa mereka masih juga pura-pura berpegang teguh pada pedoman-pedoman mereka yang lama. Pada hakikatnya, pedoman baru mereka berbunyi, "Jangan bunuh orang di depan umum."

Dan Chev sendiri sebenarnya juga pembunuh. Ketika aku masih beristirahat menunggu luka-lukaku sembuh, Iebih dari sekali aku melihat Chev ikut dengan serdadu-serdadu yang melakukan penangkapan saat sore hari. la berdiri di dekat mereka, pura-pura sedang memeriksa saluran, sampai serdadu-serdadu dengan orang tangkapan mereka sudah tidak kelihatan lagi. la pun lantas dengan santai menyusul mereka dengan cangkul tersandang di bahu, sekali-sekali berhenti sebentar dengan wajah senang seseorang yang sedang menikmati keisengan berjalan-jalan saat sore. Setelah itu tidak pemah terdengar bunyi tembakan. Chev membunuh dengan menggunakan cangkuInya. Keesokan harinya ia selalu nampak riang, berkeliling dengan langkah-langkah bersemangat, tanpa cangkulnya. la membunuh untuk mendapat kepuasan hati. Hatinya lega jika cukup banyak musuh yang dibasmi olehnya. la sudah menunaikan tugasnya untuk Angka.

Kenapa? Apa sebabnya mereka membunuhi begitu banyak orang? Bagi Khmer Merah pada umumnya, mulai dari serdadu yang paling rendah sampai dengan pemeriksa bertubuh kekar yang memotong jariku dengan parangnya, sampai dengan Chev yang mulutnya selalu tersenyum, perbuatan membunuh manusia merupakan urusan rutin. Hanya merupakan bagian dari tugas. Tidak perlu dijadikan pikiran. Tapi ada perbedaan-perbedaan dalam latar belakang mereka., dan dalam mortivasi mereka. Para serdadu rendahan misalnya, mereka masih muda-muda dan tidak berpendidikan. Hanya sedikit sekali di antara mereka yang bisa membeda-bedakan sendiri, mana yang benar dan mana yang salah. Dalam perang saudara, mereka dilatih untuk membunuhi pasukan-pasukan Lon NoI. Apabila diperintahkan membunuh orang-orang "baru" di garis depan, secara otomatis mereka akan mematuhi perintah itu, tanpa banyak berpikir tentang perbedaannya. Tentu saja bagi sebagian dari mereka, dan bagi para pemeriksa di penjara, terdapat unsur kum-monuss dalam tindakan yang mereka lakukan. Tapi para pemeriksa di penjara lebih tua umurnya dan berkedudukan lebih tinggi daripada para serdadu, seperti lelaki kekar berpena dua di kantongnya yang memotong jariku dengan parang. Perwira tidak melakukan pembunuhan karena mematuhi perintah, atau untuk membalas dendam. Mereka menyukai perbuatan itu. Mereka itu sadis: menyiksa orang lain merupakan bukti yang paling hebat dari kekuasaan mereka.

Tapi bagi Chev dan pemimpin-pemimpin lainnya di garis depan ada satu alasan lain yang lebih tinggi tingkat penalarannya untuk melakukan tindakan pembunuhan, dan itu adalah keharusan politis. Apabila berbicara tentang mengorbankan segala-galanya untuk Angka, mereka menafsirkannya secara harfiah. Apa saja yang merintangi pelaksanaan proyek-proyek Angka harus disingkirkan, termasuk pula manusia. Namun bagi mereka kami tidak sepenuhnya dinilai manusia. Kami merupakan makhluk-makhluk yang lebih rendah daripada manusia seiati, karena kami musuh. Membunuh kami bisa dipersamakan dengan menepuk lalat, satu cara menyingkirkan untuk menyingkirkan hal-hal yang tidak disukai. Bagi mereka kami mengecewakan karena tidak pernah menyelesaikan proyek-proyek pada waktunya, karena kami tidak bekerja keras dua puluh jam sehari, karena kami selalu saja ambruk dan selalu sakit.

Yang paling parah ialah kenyataan bahwa segala pembunuhan itu rasanya seperti haI yang biasa-biasa saja. Mungkin bukan biasa, tapi tidak bisa dielakkan. Melihat kenyataan yang ada. Para bhiksu yang dengan tenang pergi berkeliling pada waktu pagi, kini sudah tidak ada lagi. Keluarga-keluarga yang terdiri dari tiga generasi, di mana anak-anak yang masih kecil diasuh oleh kakek, tidak tidak ada lagi. Berbelanja bahan makanan di Pasar dan mengobrol dengan kenalan di situ, mengundang teman-teman untuk makan malam dan bercakap-cakap—semuanya sudah lenyap. Dan tanpa pola itu, tidak ada lagi yang bisa kami jadikan pegangan. Karena semangat sudah hilang dan terpecah-pecah, seperti atom-atom yang dipisahkan dari senyawa kimianya, kami biarkan saja Khmer Merah berbuat sekehendak hati mereka terhadap kami. Kami tidak melawan. Jumlah kami yang ada di lapangan dua ribu pria dan wanita yang memegang cangkul, sementara Angka hanya terdiri dari dua atau tiga remaja yang sudah diindoktrinasi dan bersenjata senapan. Tapi kami biarkan saja serdadu-serdadu itu menggiring kami pergi. Kenapa? Karena sudah watak kami, patuh kepada pemimpin. Karena kami berada dalam keadaan lemah, sakit, dan kelaparan. Karena itu merupakan kama. Kami bahkan tidak tahu kenapa, tapi kenyataannya kami tunduk terhadap mereka.

Pernah pada suatu malam, sebelum aku digiring ke penjara, beberapa orang di antara kami berbicara tentang berontak. Percakapan di antara kami itu terjadi pada suatu malam yang jarang terjadi, saat kami tidak perlu kembali pergi bekerja setelah rapat politik selesai. Sekitar selusin dari kami yang dulunya termasuk golongan atas duduk mengelilingi api unggun. Kami mengucapkan sumpah tutup mulut, lalu bicara tentang kemungkinan memberontak terhadap Khmer Merah. Pemimpin kami bernama Thai. Dia itu orang "baru", dan pernah menjadi tentara dalam rezim Lon NoI. Selain itu ada pula Pen Tip, teknisi ruang Rontgen bertubuh kecil dari Phnom Penh yang berulang kali berjumpa dengan aku di berbagai tempat. Kami berbicara tentang kemungkinan merampas senjata. Kami berbicara tentang pergi menuju perbatasan Thailand untuk menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan, dengan Khmer Serei, yang kabarnya ada di sana. Tapi itu saja yang kami lakukan, hanya bicara saja. Lama-kelamaan, sementara malam semakin larut, kami semakin lama saja menatap nyala api, tanpa mengatakan apa-apa. Percuma saja mengadakan perlawanan, dan itu kami sadari sendiri. Khmer Merah sudah menang. Sambil menatap nyala api, pikiran kami menerawang dengan sedih. Seperti setiap malam, di setiap api unggun di garis depan. Menatap api dengan perasaan capek dan kalah.

Tapi meski kami sudah kalah, dan meski kami bisa merasa diri kami makin lama makin terbenam dalam perbudakan, kami tidak kehilangan pengharapan. Setidak-tidaknya begitulah halnya dengan banyak orang di antara kami. Misalnya saja aku dan Huoy. Aku pernah masuk penjara, tapi aku tetap hidup. ltu suatu haI yang perlu disyukuri. Dan sementara aku ada di penjara, Huoy mengalami sesuatu yang sangat baik: dari pekerjaan mengangkut keranjang-keranjang berisi tanah di saluran, ia dipindahkan ke dapur umum dengan tugas menyiapkan makanan. Para pekerja di dapur tidak perlu bekerja pada malam hari. Beban kerjanya juga tidak terlalu berat. Dan yang paling penting, mereka selalu bisa memperoleh jatah makanan yang mencukupi. Ketika aku masih beristirahat setelah kembali dari penjara, dua kali sehari Huoy datang membawakan nasi untukku, disembunyikannya dalam bagian pinggang sarungnya yang digulung. Yang dibawakannya itu benar-benar nasi, dan bukan tajin encer. Huoy bercerita bahwa nasi yang begitulah yang selalu dimakan oleh Chev dan serdadu-serdadunya, sebanyak yang mereka inginkan.

Seperti ketika aku sakit disentri, sekali lagi Huoy membuktikan dirinya sebagai perawat yang benar-benar sempurna. Selain membawakan nasi dan menyiapkan makanan, ia juga menjahitkan pakaianku yang robek-robek. Untuk menghiburku, ia menyanyi dengan suaranya yang jernih dan lembut. la tidak bisa menghentikan infeksiku karena tidak ada sabun atau antibiotika, tapi dua kali sehari digantinya kain pembalut luka-lukaku. Kain pembalut yang kotor direbusnya dalam air mendidih untuk membuatnya suci hama, lalu dijemur biar kering. Sejak meninggalkan Phnom Penh aku melihat adanya satu segi baru dalam kepribadian Huoy, dan itu menyebabkan aku bertambah menghargainya: apabila ada sesuatu yang perlu dilakukan. Huoy langsung belajar sendiri sampai bisa melakukannya, tanpa perlu disuruh lagi. la mahir melakukan apa saja yang ditanganinya. Kecuali kehilangan ibunya, yang menyebabkan ia setiap hari merasa sedih, ia ternyata lebih berhasil menyesuaikan diri dengan kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan rezim yang baru, jika dibandingkan dengan kebanyakan orang lain. Apalagi dibandingkan dengan diriku. Dari kami berdua, yang kuat mestinya aku. Tapi kenyataannya kemudian tidak begitu. Akulah yang selalu saja dilanda kesulitan, atau jatuh sakit.

Ketika keadaanku sudah cukup pulih sehingga bisa berjalan tanpa tongkat, aku disuruh bekerja kembali. Aku dimasukkan dalam sebuah regu yang kerjanya berpindah-pindah. Regu itu terdiri atas delapan orang, dan anggota-anggotanya tidak seorang pun sudah kukenal sebelumnya. Pada hari pertama kami mulai bertugas, kami dipanggil ke dapur umum, di mana Chev kemudian berbicara kepada kami. Saat itu Huoy hanya beberapa meter saja dari tempatku, sedang menuangkan beras ke dalam gentong-gemong yang besar. la memandang ke arahku dengan kening dikerutkan sebagai tanda menyuruh aku diam saja. la sebenarnya tidak perlu khawatir tentang itu—aku begitu takut kepada Chev, sehingga takkan mengatakan apa pun juga. Tapi aku tidak bisa menyembunyikan diriku dari orang itu. Dengan sekilas melihat pergelangan kaki dan potongan jariku yang dibalut, ia sudah tahu apa yang terjadi sewaktu aku dikirim olehnya ke Angka Leu. Aku membuang mata, dengan wajah yang tidak menampakkan gerak perasaan. Ekspresiku yang biasa.

Chev tersenyum dan mengangguk dengan ramah kepada kami.

Ia mengatakan bahwa koperasi perlu membangun sebuah jembatan. Karena kayu untuk itu tidak ada, kami bertugas pergi ke kuil tua yang ada di atas gunung, merobohkannya dan mengangkut kayu-kayunya ke bawah. "Aku yakin kalian sependapat bahwa ini merupakan rencana yang sangat baik. Betul atau tidak?"

"Betul," kata semua anggota regu.

"Tepat," kata Chev. "Lebih baik kuil yang tidak ada gunanya dirobohkan, daripada tidak punya jembatan. Kita tidak memerlukan Budha. Yang kita perlukan adalah jembatan untuk keperIuan pengangkutan bagi rakyat. Dewa-dewa tidak bisa membangun jembatan untuk kita. Kita harus mampu dengan teguh mengendalikan nasib kita.”

Wajahku menampakkan sikap setuju. Tapi dalam hati aku berkata, kita tidak memerlukan Budha saat ini? Kau gila, ya? Justru sekarang Inilah kita amat sangat memerlukannya.

Chev masih tetap tersenyum kepada kami, dengan bibirnya yang lebar dan tebal.

Keparat, pikirku, pernahkah Budha berbuat jahat terhadapmu? Jika kau memusnahkan kuilnya, Budha akan melakukan pembalasan terhadap dirimu. Mungkin bukan dalam kehidupan yang sekarang ini, mungkin juga belum dalam kehidupanmu yang akan datang:Tapi pada suatu waktu nanti. Dan mudah-mudahan saja itu bisa terjadi dengan segera, karena aku ingin melihatmu menderita. Aku ingin melihatmu mati dengan cara yang sangat tidak enak, seperti orang-orang hukuman di Chhleav itu.

Tidak ada seorang pun dari kami yang bergerak.

Chev memandang kami satu per saru. Ditatapnya aku lama-lama. la hendak menguji diriku, untuk melihat apakah aku sudah menarik pelajaran dari pengalaman sewaktu di penjara.

Akhirnya ia menyuruh kami berangkat.

Regu kami berjalan tanpa pengawalan, dari dapur umum ke jalan, dan dari situ menuju ke Phum Phnom. Sebuah jalan kecil di dekat markas Khmer Merah membawa kami masuk ke dalam hutan di kaki punggung gunung.

Kami mulai mendaki, menusur jalan setapak yang naik-turun. Kemudian tanah menjadi lebih rata di pinggir dataran tinggi yang kami tuju, kami melihat sejumlah tempat kediaman bhiksu yang terbuat dari beton dan berdiri di aras tiang-tiang. Bangunan-bangunan itu masih utuh. Sedikit lebih jauh lagi kami melewati sisa-sisa tempat kediaman yang terbuat dari kayu, yang sudah dibongkar oleh orang-orang semacam kami yang mencari kayu. Dari arah atas terdengar bunyi samar genta-genta bergemerincing dipermainkan angin.

Hari itu langit cerah, Sebentar lagi musim kemarau akan berakhir. Pemandangan di sekeliling nampak terang karena bunga-bunga berwarna kuning yang mekar di situ. Burung-burung merpati dan tekukur terbang dari dahan ke dahan pepohonan yang hampir tak berdaun lagi, Dataran rendah terbentang jauh di bawah, terlihat lewat pucuk-pucuk pepohonan di lereng yang lebih rendah. Di kejauhan terdengar bunyi peluit kereta api. Kereta yang memakai tenaga uap itu bergerak di atas relnya, lokomotif yang kecil memuntahkan kepulan asap hitam, menarik iringan panjang gerbong-gerbong yang meliuk-liuk seperti ular ketika lewat di tikungan, Kereta api seperti itu yang dulu membawa kami ke Battambang.

Kami beristirahat sebentar. Aneh rasanya, tidak ada yang mengawasi, bisa duduk kapan saja kami mau. Kami mendengarkan bunyi kereta yang mendengus-dengus, mendengarkan bunyi detak-detik roda-rodanya, bunyi peluit uapnya yang makin lama makin jauh. Kemudian kami mendengar lagi bunyi genta-genta angin yang datang dari arah sebelah atas kami.

Kami berjalan ke wat. Di sisi kuil itu ada sebuah stupa atau monumen makam yang tingginya kurang-lebih dua pertiga kuil. Stupa itulah yang nampak berupa bintik putih yang lebih kecil dari kedua bintik yang kulihat saat aku sedang membajak sawah di Phum Chhleav. Di dalam stupa yang besar itu terdapat abu jenazah salah seorang tokoh terkemuka. Mungkin orang yang menyumbangkan dana untuk membangun wat.

Wat itu sendiri umurnya sekitar sepuluh sampai dua puluh tahun, dengan dinding beton dan balok-balok kayu, serta papan-papan yang menunjang atap yang gentengnya berwarna pudar. Hatiku pedih melihat bahwa bangunan itu bukan roboh karena tua, melainkan dirusak dengan sengaja. Di luar, patung-patung Budha bergelimpangan dalam keadaan pecah berantakan. Tanah di situ ditumbuhi rumput liar dan sulur-sulur. Di mana-mana nampak sobekan-sobekan kain berwarna kuning kunyit seperti yang dipakai sebagai bahan jubah oleh para bhiksu serta yang dibelitkan pada batang pohon-pohon bodhi yang suci.

Salah satu dinding sudah hampir tidak ada lagi. Betonnya dibongkar dan batang-batang besi penguat yang ada di dalamnya sudah diambil orang. Khmer Merah memakainya sebagai bahan pembuat paku. Pimu-pintu kayu tebal dan berukir- ukir yang terdapat di setiap kuil sudah tidak ada lagi. Begitu pula halnya dengan kosen-kosen pintu dan jendela serta daun-daun jendela. Semua sudah tidak ada lagi, meninggalkan lubang-Iubang yang menganga. Susuran berbentuk naga yang mengapit tangga dari teras sudah dibongkar pula untuk diambil batang-batang besi penguatnya. Para penjarah merusak bagian bawah atap dan mengambil kayu-kayunya; meninggalkan tumpukan genteng pecah di teras.

Kami masuk ke dalam. Puing-puing dan kotoran burung bertebaran di lantai. Merpati-merpati beterbangan keluar-masuk lewat lubang-Iubang di atap. Patung-patung Budha yang dulunya terjejer bertingkat-tingkat sepanjang dinding seberang sudah tidak ada lagi semuanya, kecuali patung Budha paling besar yang ada di tempat paling atas. Kepala dan lengan kanannya putus dipotong para penjarah. Tapi sisanya dibiarkan saja. Rupanya mereka malas menghancurkannya.

Aku mendengar nada-nada gemerincing genta-genta angin yang tergantung pada pinggiran atap di luar.

Kami berdiri seperti terpaku. Delapan lelaki compang-camping berkaki telanjang.

Tanpa mengatakan apa-apa kami berlutut lalu berdoa.

Sang Budha, kataku dalam hati, ampuni kami atas perbuatan yang akan kami lakukan. Kami sendiri tidak ingin merusak kuilMu. Kami melakukannya dengan perasaan enggan. Hati kami tertambat padaMu. Kami patuh, hanya karena ingin menyelamatkan nyawa kami, karena kami lemah dan takut. Janganlah kami dihukum. Lindungilah kami. Hukumlah meraka yang memberikan perintah ini kepada kami. Hukumlah mereka yang tidak membolehkan kami datang kemari untuk beribadat atau membersihkan pekarangan untuk memperoleh pahala.

Selain kami tidak ada orang lain di sekitar kuil itu. Tidak ada orang lain yang memperhatikan. Para penjarah sebelum kami meninggalkan tangga- tangga bambu di luar. Dengan lambat dan segan-segan, dengan sikap meminta permisi kepada patung Budha yang tidak berkepala lagi. kami memanjat tangga-tangga itu ke suatu bagian dari atap sebelah bawah yang genteng-gemengnya sudah terbongkar, menampakkan kayu-kayu yang ada di bawahnya. Kasau-kasau itu kami cungkil dengan kapak-kapak kami sehingga terlepas. Kami mengambilnya sesedikit mungkin. Kemudian kami buru-buru pergi lagi dari kuil itu. Kayu-kayu kasau kami luncurkan menuruni lereng gunung yang curam.

************

Umung saja kami tidak perlu lagi kembali ke kuil itu keesokan harinya. Kami sama sekali tidak disuruh ke sana lagi. Pihak yang berkuasa selalu saja berubah-ubah pikirannya.

Kami kembali disuruh bekerja di saluran. Pekerjaan menyebalkan yang sama seperti sebelumnya. Dentangan lonceng siang dan malam. Berbaris satu-satu ke tempat kerja sebelum matahari terbit, dengan musik rekaman yang dikumandangkan lewat alat pengeras suara dan yang tidak bisa dihindari, bekerja terus sampai terdengar bunyi lonceng tanda makan siang, berbaris satu-satu kembali ke dapur umum, begitu saja terus-menerus. Bekerja terlalu banyak, kurang tidur, kurang makan. Tidak ada persahabatan sejati. Aku lebih beruntung dibandingkan dengan yang lain-Iainnya. Tidak adanya sahabat bukan masalah bagiku, selama Huoy ada di sampingku. Kami berbagi segala-galanya. Antara kami berdua ada ikatan naluriah, seperti ikatan antara sepasang hewan.

Yang memberatkan hati adalah rasa ngeri. Aku sudah pernah sekali masuk penjara. Setiap pagi aku bertanya-tanya sendiri, apakah aku bisa tetap selamat hari itu. Setiap malam aku bertanya-tanya apakah aku akan terus selamat sampai pagi, atau apakah suara lengkingan seorang anak akan menyebabkan diriku dikelilingi orang-orang yang menuduh-nuduh. Orang-orang "baru", semuanya dihinggapi perasaan yang sama. Kami tidak pernah menjadi terbiasa pada kengerian itu. Kami memendamnya dalam hati sanubari kami. Lengan dan tungkai kami bisa saja sekurus batang bambu. Rambut kami bisa saja berubah warnanya menjadi coklat kusam atau putih, tapi kengerian itu tidak kami nampakkan ke luar. Di dalam hati, setiap saat kami berpikir: mungkin jam berikut. Mungkin malam ini. Kemungkinan bahwa kami akan digiring pergi oleh serdadu-serdadu selalu menghantui pikiran kami.

"Hati-hati—tubuh bisa dengan begitu saja lenyap." Itu salah satu ungkapan yang timbul di kalangan orang-orang "baru" sebagai peringatan agar jangan bersikap yang menarik perhatian. Ungkapan lain yang berbunyi Dam doeum kor, secara harfiah berarti ''Tanamlah pohon kapuk". Kor berarti "kapuk", rapi juga "bungkam". Jadi diam sajalah. Tanam pohon kapuk. Tubuh-tubuh lenyap. Kata-kata peringatan itu diucapkan sambil menggumam dan tidak secara langsung, tapi maknanya jelas: hindari serdadu-serdadu. Jangan beri mereka alasan mengenali dirimu di tengah orang banyak. Apabila reguku sedang berjalan menuju ke salah satu rempat, kami selalu mengubah arah apabiIa ada kemungkinan kami akan berpapasan dengan serdadu-serdadu.

Selain untuk menjawab jika ditanya, aku tidak pernah berbicara dengan serdadu Khmer Merah sejak dengan yang bersama aku dulu naik Vespaku pergi ke Phnom Penh dan kembali lagi. Serdadu-serdadu rendahan di garis depan banyak sekali keserupaannya dengan mit yang kuboncengkan waktu itu: buta huruf, kotor, tidak mengenal benda-benda modern seperti mesin, toilet, begitu pula televisi. Mereka berbicara dengan logat orang gunung daerah Battambang. Mereka kuat sekali berjalan kaki. Telapak kaki mereka terlaIu lebar untuk sandal karet ban yang mereka pakai. Tapi mereka bangga bisa memakainya, begitu pula pakaian seragam mereka, serta krama sutera dan kemeja Montagut mereka, karena kebanyakan dari mereka baru bisa berpakaian selengkapnya setelah menggabungkan diri dengan Khmer Merah.

Di tempat kerja di saluran kami, orang-orang "baru", bergerak dengan kelunglaian yang menimbulkan kesan bahwa kami sudah uzur. Tidak ada gerak-gerik yang tidak perlu, tidak ada langkah bersemangat, tidak ada keisengan. Di sana-sini ada di antara kami yang sudah menjadi gila. Orang-orang itu menyanyikan lagu-Iagu lama secara sepotong-sepotong, lalu tahu-tahu menangis. Atau mereka dengan enak saja duduk di tanah, padahal saat itu belum waktu istirahat. Serdadu-serdadu datang dan menggiring mereka pergi: hari ini enam orang, besoknya dua, besoknya lagi tidak ada, lalu tiga orang hari berikutnya, menyingkirkan orang-orang yang gila dan yang dicurigai dari tengah-tengah kami apabila hari sudah sore. Tubuh-tubuh lenyap.

Aku bekerja dengan lebih giat, atas permintaan Huoy. la mengatakan, kami memiliki peluang paling baik untuk bisa tetap selamat apabila menjadi pekerja teladan. Jika aku bekerja keras. demikian dikatakan oleh Huoy, itu mungkin akan bisa menyebabkan Chev percaya bahwa aku sudah berubah sikap setelah dikirim ke penjara. Atas saran Huoy, aku juga mengurangi kegiatanku mencari makanan di luar. Karena ia kini di dapur, kami memang tidak begitu 'banyak lagi memerlukan tambahan bahan pangan di luar. Aku masih terus melakukannya hanya jangan sampai timbul kecurigaan di antara teman-teman kerjaku tentang berapa banyaknya makanan yang dibawa pulang oleh Huoy.

Karena kegiatanku bekerja (yang dimungkinkan karena adanya makanan yang dicuri Huoy dari dapur), aku diangkat menjadi pemimpin regu, mengepalai sembilan orang pekerja. Kedudukan itu tidak disertai pemberian jatah ekstra atau kelebihan-kelebihan lain. Kini aku yang dipersalahkan dan dikatakan tidak adil saat aku membagi-bagikan jatah air tajin ke dalam mangkuk-mangkuk mereka. Aku pergi menghadiri rapat-rapat bersama para pemimpin regu-regu lainnya untuk mendengarkan pidato para atasan kami, pemimpin-pemimpin kelompok, atau tepatnya pemimpin-pemimpin seksi. Aku selalu saja menyetujui apa pun juga yang dikatakan oleh pemimpin-pemimpin seksi itu, meski kedengarannya tidak masuk akal.

Para pemimpin regu-regu yang lainnya juga terdiri dari orang-orang "baru" yang di dalam hati menentang revolusi, tapi bersikap patuh karena ingin tetap hidup. Hanya seorang saja di antara mereka yang tidak kuketahui dengan pasti pendiriannya. Orang itu Pen Tip, yang seperti aku juga diangkat menjadi pemimpin regu.

Pen Tip itu berpenampilan aneh. Gayanya berjalan mengangkang, seperti Charlie Chaplin. la suka bergaul dengan orang-orang "lama" dan juga dengan Khmer Merah. la bercanda dengan mereka dan memuji-muji, mencari muka. Entah kenapa, ia tidak diapa-apakan. Orang lain yang berusaha mendekati serdadu-serdadu, pasti kemudian digiring ke dalam hutan. Pen Tip menguasai cara memanipulasi orang, dan membuat mereka merasa berutang budi. Sikapnya membangkitkan kesan bahwa karena ia mempunyai hubungan baik dengan Angka, kami para pemimpin regu-regu yang selebihnya perlu tetap bersikap baik kepadanya. Seiak itu aku sedapat mungkin selalu menghindarinya.

Aku tahu, Pen Tip takkan melapor kepada Angka tentang rapat rĂ hasia kami malam-malam waktu itu, merundingkan rencana menggabungkan diri dengan gerakan perlawanan, karena ia sendiri ikut serta di dalamnya. Meski begitu, bisa saja ia membuka rahasia tentang latar belakangku kepada Angka. Pen Tip pernah melihat aku di rumah-rumah sakit di Phnom Penh. la tahu bahwa aku ini dokter. Tapi selain itu ia tidak tahu apa-apa. la tidak tahu namaku yang sebenarnya. Suatu hari aku dipanggilnya, ketika ia sedang duduk di sebuah bangku dari bambu di dekat dapur umum, yang kadang-kadang ditempati oleh serdadu-serdadu. Pen Tip begitu pendek orangnya. sehingga kakinya tidak mencapai tanah. la menggoyang-goyang kaki seperti anak kecil sambil memilin-milin rokok dengan ujung jari-jarinya.

“Aku ingin tahu sesuatu, eh, 'Samnang'," katanya. Nama itu disebutnya dengan nada menyindir. la mempunyai kebiasaan mengangkat alis dengan sikap kaget atau heran, serta tidak pernah menatap secara langsung. Matanya selalu bergerak kian kemari. "Eh, terus-terang sajalah. Kau dokter sewaktu masih di Phnom Penh, tapi" — ia mengepulkan asap rokoknya—"kau orang baik dan, eh, aku suka sekali padamu."

la tidak meneruskan kalimatnya. Dan itu memang tidak perlu. la mengancam akan membeberkan rahasiaku, jika aku tidak memberikan apa-apa kepadanya sebagai sogokan.

"Begini, Pen Tip," kataku, "aku pernah menolong orang sakit sewaktu di Phum Chhleav, serupa seperti yang kaulakukan. Kau bukan dokter, dan aku juga bukan dokter. Kita cuma prihatin melihat keadaan kesehatan rakyat."

"Kudengar kau, eh, pernah punya masalah dengan kesehatanmu sendiri," katanya. Matanya ditatapkan ke kelingkingku yang buntung, lalu cepat-cepar dialihkan. Aku merasa bahwa aku tahu-tahu berkeringat dingin.

"Aku benar-benar tidak punya waktu untuk mengobrol sekarang, Pen Tip," kataku. "Aku harus mengambil tambahan keranjang pengangkut tanah untuk reguku. Tapi kau keliru tentang diriku, Jadi dam doeum kor, ya?"

"Orang-orang tahu-tahu lenyap," jawabnya.

Aku melangkah pergi dengan sikap tenang, padahal dalam hati aku marah. Merendahkan diri terhadap Khmer Merah saja sudah cukup tidak enak. Aku tidak berniat merendahkan diriku kepada orang yang tergolong orang "baru". Dan aku tidak suka kepada orang-orang yang menjilat kepada Khmer Merah. Bibi Kim di Tonle Bati, Pen Tip di sini—orang-orang seperti mereka membuat aku muak.

Selama minggu-minggu selanjutnya Pen Tip berhasil memaksakan datangnya pemberian "upeti" dari semua pemimpin regu yang lain. Makanan, atau tembakau, atau tanda upeti lain-lainnya. Tapi aku tetap bertahan. Antara aku dan Pen Tip terjadi pertarungan kemauan. Aku tidak bercerita apa pun juga mengenainya kepada Huoy. Tidak ada perlunya membuat dia cemas.

Kemudian, suatu siang saat mengaso untuk merokok, ketika beberapa regu sedang beristirahat bersama-sama di sebuah bukit kecil dekat saluran, Pen Tip membeberkan pertarungan tersembunyi yang berlangsung antara kami berdua. Saat itu sedang tidak ada serdadu atau pengawas yang lebih tinggi di sekitar kami. Kami sedang mengisap rokok lintingan kami sambil bercanda tentang pekerjaan kami sesama rezim lama, untuk meringankan perasaan tertekan. Seseorang di antara kami mengatakan bahwa ia dulu raja, tapi kemudian turun takhta untuk menjadi pengawas wc. Seseorang lagi mengatakan bahwa ia beruntung, karena ia sendiri cuma asisten pengawas wc. Kami semua tertawa, lalu mulai saling berusaha lebih-melebihi dengan cerita-cerita konyol.

"Kalian mau mendengar cerita lucu?" kata Pen Tip. "Akan kuceritakan suatu cerita lucu. Samnang dulunya dokter." Nada suaranya menyebabkan kami semuanya terdiam.

"Tidak, Pen Tip," kataku dengan lesu, "itu tidak benar. Dan jangan kaubilang begitu. Bisa-bisa aku mati dibunuh Angka."

"Jangan khawatir," jawab Pen Tip. "Semua orang tahu bahwa kau dokter."

"Jangan bilang begitu, Kawan Pen Tip." kataku. "Jika terus saja iseng seperti begitu dan Angka percaya, aku akan mengalami kesulitan besar. Jangan suka iseng."

Saat istirahat singkat berakhir dan kami mulai bekerja lagi. Sejak itu sudah menjadi rahasia umum bahwa ada tuduhan bahwa aku sebenarnya dokter, tapi tidak seorang pun tahu apakah tuduhan itu benar atau ridak.

Sekitar seminggu kemudian, ketika aku sedang beristirahat di atas tikar dan Huoy berbaring di tempat tidur gantung, dua orang serdadu berumur belasan tahun datang menghampiri kami. Aku belum pernah melihat mereka. Mereka bukan serdadu-serdadu yang biasanya bertugas di koperasi kami. Seorang dari mereka memegang seutas tali. Dengan susah-payah aku memohon mereka agar menunggu sebentar sementara aku menukar celanaku dengan yang lain. Dalam celana yang saat ini kupakai ada emas, dan karena sudah jelas aku akan dibawa ke mana, rasanya lebih baik jika Huoy yang menyimpan emas itu. Lenganku diikat lagi di bagian siku ke belakang punggung. Kemudian aku ditendang oleh serdadu-serdadu itu, saat aku sedang berdiri di pinggir bukit kecil tempat kediaman kami. Aku jatuh tertelungkup ke sawah yang belum lagi ditanami. Huoy histeris. Aku digiring pergi lewat dapur umum, disaksikan beratus-ratus orang. Mungkin saja Pen Tip ada di amara mereka, tapi aku tidak melihatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar