Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Selasa, 29 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 21 : Raja Maut

21

RAJA MAUT


PERHATIAN : Dalam bab ini dipaparkan penderitaan luar biasa yang dilihat dan dialami sendiri oleh orang-orang seperti aku di bawah rezim Khmer Merah. Bagian ini penting artinya dalam penuturanku, tapi sangat menyiksa perasaan. Jadi jika Anda tidak ingin atau merasa tidak mampu membacanya, kupersilakan melewatinya dan melanjutkan dengan bab yang berikut.

Serdadu-serdadu itu menyuruhku membelok ke kiri dan ke kanan sementara kami berjalan beriringan, dan dengan segera sudah tidak ada keraguan lagi dalam diriku bahwa kami menuju ke penjara di Phum Chhleav. Kemudian mereka menyuruh aku berhenti. Kami menunggu selama kira-kira satu jam, sampai akhirnya datang tujuh atau delapan tawanan lagi bersama penjaga-penjaga mereka. Para tawanan diikat berderet-deret, Ialu disuruh berjalan lagi.

Ketika kami sampai di penjara ternyata sudah lebih dulu ada serombongan orang "baru" dalam keadaan terikat di sana. Seperti kami, mereka itu korban penggerebekan yang sudah direncanakan. Para penjaga kami menyambungkan kedua tali yang mengikat para tawanan, tapi tali yang mengikat siku kami dilonggarkan sedikit, cukup untuk memungkinkan darah mengalir dengan leluasa lagi dalam lengan. Kami duduk menyandar ke dinding penjara yang terbuat dari gedek dan lembaran-lembaran seng. Kami berusaha untuk tidak memandang ke arah pohon-pohon mangga, di mana terdapat orang-orang hukuman yang sedang mengalami siksaan yang bermacam-macam coraknya.

"Apa kesalahanmu?" bisikku kepada wanita yang duduk disebelahku.

"Tidak ada. Aku bahkan tidak tahu kenapa mereka menggiring aku kemari," katanya. "Selama ini aku bekerja sekuat tenaga untuk mereka di garis depan." Wanita itu hamil, satu dari lima wanita yang nampak hamil di garis depan.

Tawanan selebihnya juga tidak ada yang tahu kenapa mereka ditangkap. Sambil saling berbisik, kami semuanya setuju tidak akan mengatakan apa-apa kepada Khmer Merah.

Seorang penjaga yang masih muda, berumur lima belas atau enam belas tahun, bertanya dengan nada menghina apakah kami lapar atau haus. Ketika semua mengiakan, serdadu itu lantas mengambil sebuah mangkuk besar yang penuh berisi air. la memegang mangkuk itu sementara orang yang paling dulu diberi kesempatan membungkuk lalu minum dengan mulut dimasukkan ke air, seperti kuda. Setelah itu mangkuk diletakkan ke tangan orang yang sudah minum itu, yang tangannya terikar di belakangnya, Orang itu memutar tubuh sambil memegang mangkuk di belakang punggung untuk memungkinkan orang yang berikut minum seperti kuda; lalu orang ini mengambil mangkuk dan menyodorkannya ke mulut orang yang ketiga, dan begitu seterusnya sambung-menyambung.

"Takkan ada orang lain mengurus diri kalian." kata penjaga itu mengucapkan salah satu ungkapan yang populer di kalangan rezim Khmer Merah. Nadanya terdengar senang. "Kalian harus mengurus diri kalian sendiri."

Malam itu kami dimasukkan ke dalam penjara, sebuah bangunan sempit dan panjang yang di tengah-tengahnya ada lorong dan orang-orang hukuman berderet-deret di kedua sisi. Kami berbaring telentang dengan kepala menghadap dinding dan kaki terkunci dalam borgol yang dipasangkan pada kayu panjang yang terjulur di samping lorong tengah. Dinding-dinding kayu yàng rendah memberi masing-masing dari kami tempat berbaring, seperti di kandang babi, yang sudah tercemar kotoran. Hawa di situ berbau busuk karena tinja, air kencing, ditambah bau seperti amoniak. Berat rasanya bernapas. Aku tidak mampu tidur. Ada sekitar delapan puluh orang "baru" di dalam penjara itu, dan di antaranya ada yang tidak henti-hentinya mengerang.

Pagi-pagi keesokan harinya terdengar bunyi sepeda motor datang lalu berhenti di luar. Ada orang penting datang, kataku dalam hati. Di kawasan Phnom Tippeday, kurir dan kader rendahan biasanya naik sepeda atau menunggang kuda, kader tingkat menengah dan agak tinggi naik sepeda motor, sementara mereka yang paling tinggi kedudukannya naik jip. Orang yang naik sepeda motor mestinya berkedudukan seperti... seperti perwira dinas keamanan negara, kataku menarik kesimpulan. Ya, mestinya begitulah. Semuanya sudah diatur terlebih dulu, ada tahanan-tahanan politik yang baru dilangkap dan pemeriksaan terhadap kami keesokan harinya.

Rombongan kami yang terdiri dari delapan belas tahanan dibawa ke luar, melewati sebuah sepeda motor Honda 90 yang diparkir, masuk ke bangunan sebelah. Di situ dugaanku tentang orang yang datang itu ternyata benar.

Salah satu tokoh mitologis yang utama dalam kepercayaan rakyat Kamboja bernama Raja Maut. Tokoh itu hakim yang menentukan apakah arwah seseorang boleh masuk ke surga atau harus ke neraka, dan ia tahu segala-galanya tentang perbuatan manusia, yang baik dan yang buruk. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari pengetahuannya. Arwah yang dikirimnya ke neraka menjadi pret, roh yang terkutuk, korban siksaan dahsyat yang kekal, yang disebabkan oleh segala perbuatan buruk mereka sendiri. Setelah aku melihat berkeliling memandang rombongan kami yang terdiri atas delapan belas orang tahanan, semuanya ketakutan, dengan pakaian yang compang-camping dan menusuk hidung baunya, aku menarik kesimpulan bahwa kami sudah menjadi pret; nasib kami sudah diputuskan. Khmer Merah yang tadi datang naik Honda 90-nya dan yang kini duduk sambil tersenyum kepada kami—dia itulah Raja Maut.

Orangnya berotot dan nampak tidak pernah kurang makan. la mengepit kertas-kertas dokumen dan sebuah buku catatan berwarna hitam. la memakai topi pet hijau model Mao dan krama berwarna hijau dan putih yang sudah tua, yang dililitkan ke leher. Pakaiannya yang hitam dan sandal karet bannya nampak berdebu, dari perjalanannya dengan sepeda mator. la duduk di kursi dekat sebuah meja kecil, lalu dimintanya kami duduk. Kami duduk di lantai sementara orang itu memeriksa kertas-kertas dokumen. Beberapa penjaga dengan pistol tergantung di pinggang berdiri di sisinya.

Raja Maut bersikap tenang dan manis. la seperti Chev, tapi lebih terpelajar. Kemungkinannya dia itu tamatan lycee, atau sekolah menengah.

"Katakanlah yang sebenarnya kepada Angka,” katanya kepada kami. "Jika mengaku, kalian takkan dihukum. Angka tidak pernah membunuh tanpa perlu, atau membunuh orang yang tidak bersalah. Mereka yang mau berterus-terang hanya akan dididik kembali."

Para tahanan disuruh silih berganti duduk di depan kakinya. la membacakan catatan tentang diri kami masing-masing. la mengenal nama beberapa orang di antaranya. Kesalahan mereka adalah: menjadi agen CIA, menjadi perwira rezim Lon Nol, menjadi istri seorang perwira Lon Nol, menjadi pejabat pemerintahan Lon Nol. Para tahanan semuanya menyangkal kebenaran dakwaan terhadap diri mereka. Atas perintah hakim itu, yang isyaratnya tidak nampak olehku meski aku sudah bersikap waspada, para penjaga melangkah maju lewat samping meja lalu menendang tahanan mereka. Tidak semua tahanan mereka tendang, tapi mereka menendang rusuk dan perut wanita hamil yang di sebelahku karena menyangkal bahwa ia istri seorang kapten dalam tentara rezim Lon Nol. Mereka menyeretnya kembali ke tempat kami semuanya duduk, dan kini giliranku tiba.

Aku duduk menghadap hakim dengan topi di pangkuan dan kramaku terlipat rapi di atas lutut. Dari tempatku duduk aku hanya bisa melihat celana dan kakinya,yang bersandal karet ban berwarna hitam.

"Samnang, Angka tahu siapa kau sebenarnya," kata Raja Maut memulai dengan suara lembut. "Kau dokter tentara. Kau berpangkat kapten. Jadi katakanlah yang sebenarnya kepada Angka. Itu akan sangat memudahkan bagimu sendiri."

Kini aku tahu dengan pasti bahwa Pen Tip melaporkan diriku. Di Phnom Penh tidak banyak yang tahu bahwa aku berdinas dalam tentara, karena aku boleh dibilang tidak pernah mengenakan pakaian seragam. Sejak itu aku tidak pernah mengatakan kepada siapa pun juga mengenainya. Hanya orang yang dulu pernah bekerja di rumah Sakit, seperti Pen Tip, yang bisa mengetahui bahwa seorang dokter pemerintah seumur aku berpangkat kapten. Saru-satunya yang tidak diketahui Pen Tip hanyalah namaku yang sebenarnya. Dan itu juga tidak diketahui oleh Angka.

Aku diam saja.

"Jika kau mengaku," kata Raja Maut, "Angka. mau melupakan hal-hal yang sudah lewat dan memberimu kedudukan tinggi. Kau akan diizinkan mengoperasi prajurit-prajurit yang luka, dan mengajarkan ilmu kedokteran kepada generasi muda. Para siswa akan bersikap hormat terhadapmu karena kau memberikan pengetahuan kepada mereka. Kau akan menjadi tokoh pahlawan. Tapi," katanya, "jika kau tidak mau berterus-terang terhadap Angka, kau sendiri yang bertanggung jawab:"

Aku mendeham, membersihkan kerongkongan.

"Kawan yang baik budi," kataku, "aku bukan kapten, dan juga bukan dokter. Aku dulu sopir taksi. Nomor taksiku 213755." (ltu nomor pelat Vespaku.) "Aku pergi ke Takeo, Battambang, Kampot, ke mana saja yang disuruh penumpangku. Aku mengatakan yang sebenarnya. Ini kedua kalinya aku masuk penjara, dan Angka masih saja tidak mau percaya padaku. Aku bekerja keras untuk Angka. Aku berjuang untuk menguasai kekuatan alam, untuk Angka. Aku melakukan segala-galanya untuk Angka, dan aku tidak pernah menimbulkan kesulitan, Apa sebabnya Angka tidak mau percaya padaku?"

"Karena kau pembohong," jawab hakim itu dengan suaranya yang tenang dan lembut. "Katakanlah yang sebenarnya kepada Angka. Jika itu kaulakukan, Angka akan memberimu pekerjaan yang sangat baik. Kau orang yang terpelajar. Kau bisa memimpin orang-orang. Kau bisa membantu membangun negara. Kau bisa membantu negara menegakkan kemerdekaannya yang berdaulat."

Aku mengatakan, "Kawan, jika aku ini dokter, aku akan mengatakannya. Aku ingin membantu Angka. Jika kau tidak percaya juga, pergilah ke Phnom Penh dan periksa dokumen-dokumen di sekolah kedokteran. Jika nanti ternyata aku ini memang dokter, Angka boleh berbuat semaunya terhadap aku."

BUK! Tendangan menyambar rusukku. Aku terguling ke samping. Kemudian penjaga yang satu lagi menendang tubuhku dengan ujung sandal karet bannya yang keras. BUK! Aku melengkung kesakitan. Kedua penjaga itu silih berganti menendangi tubuhku. Kemudian hakim itu mengetuk daun meja, dan penjaga-penjaga itu menghentikan tendangan mereka. Kakiku diseret, kembali ke deretan para tahanan.

Sementara aku menghitung-hitung bagian tubuhku yang memar, hakim itu sudah mulai memeriksa tahanan yang berikut. Para penjaga itu menendang diriku di bagian rusuk, bahu, paha, dan tengkukku. Mereka itu profesional. Mereka tahu apa yang mereka lakukan. Orang yang sehat pun pasti akan sangat kesakitan, ditendang seperti itu.

Ketika para tahahan yang delapan belas orang sudah semuanya berbicara dengan hakim, kami digiring oleh para penjaga ke luar. Kami beriringan satu-satu, menjauhi kebun mangga, melewati sebuah kebun buah-buahan yang lain, dan masuk ke sawah yang tidak ditanami.

Di situ kami melihat konstruksi-konstruksi dari kayu dengan tiang-tiang tegak dan membujur; kelihatannya seperti gawang untuk permainan sepak bola, tapi lebih sempit dan juga lebih tinggi. Konstruksi-konstruksi itu berderet-deret dua baris, dan semuanya serupa. Di tengah masing-masing gawang di mana penjaga gawang biasanya berdiri, ada tumpukan sekam padi dan kayu. Di depan setiap gawang terletak sebuah salib kayu dan seutas tali.

Mulanya aku tidak tahu untuk apa semuanya itu. Kemudian kulayangkan pandangan lebih jauh menyusur deretan konstruksi-konstruksi itu, yang memanjang lewat beberapa pematang sampai jauh ke tengah sawah. Di ujung deretan itu nampak orang-orang hukuman yang disiksa dengan cara yang belum pernah kudengar. Mereka diikatkan dengan tubuh tergantung ke salib. Salib-salib itu tergantung tegak pada palang gawang yang melintang. Asap dan nyala api menjilat-jilat dari tumpukan sekam dan kayu yang terbakar di sekeliling kaki orang yang dihukum.

Serdadu-serdadu menegakkan salib yang ada di belakang masing-masing tahanan lalu mengikatkan kami ke situ.

Moga-moga saja Huay takkan pernah tahu tentang ini, kataku dalam hati. Aku tidak bercerita tentang hai-haI yang paling mengerikan di penjara waktu itu, tentang bagaimana wanita malang itu dirobek perutnya. Aku tidak ingin Huoy mengetahuinya, karena perasaannya pasti akan terluka. la begitu Iembut. la menyelamatkan nyawaku. Aku sangat mencintainya. Jika aku nanti sudah tidak ada lagi, siapakah yang akan menjaganya? Aduh Dewata, seiamatkanlah Huoy dan jauhkan dirinya dari siksaan semacam ini. Tapi kecil sekali kemungkinannya ia bisa terus terhindar. Kemungkinannya serdadu-serdadu akan muncul juga menjemputnya, karena mereka memburu para istri tentara dan dokter. Soalnya tinggal menunggu waktunya saja lagi, kecuali jika Dewata turun tangan untuk mencegah hal itu terjadi.

Dan tolonglah, Dewata, doaku, jika aku nanti pergi ke neraka atau ke surga, jauhkanlah aku dari Khmer Merah. Jika aku dilahirkan lagi nanti, janganlah aku dikirim ke dekat mereka. Aku tidak ingin berada di dekat-dekat Kamboja. Jika aku melakukan kesalahan dalam hidupku yang Ialu, aku akan membayarnya sekarang; tapi tolonglah, Dewata, ini mestinya sudah merupakan pembayaran lunas. Berilah aku kebahagiaan dalam hidupku yang berikut.

Aku masih di tanah dan serdadu-serdadu sedang mengikatkan pergelangan tanganku ke salib. "Tembak saja Aku!” teriakku pada mereka. "Tembak saja! Biar selesai urusannya!" Aku meronta-ronta, tapi serdadu-serdadu itu lebih kuat dan mereka lebih banyak. Mereka mengikatkan lenganku yang sebelah atas ke salib, dan setelah itu paha dan kakiku. Kemudian tali yang terikat pada salib mereka lemparkan melewati palang gawang yang melintang, Ialu aku ditarik ke atas sampai kakiku mengambang di atas tumpukan kayu dan sekam padi. Aku terayun-ayun mundur maju, dengan pandangan ke arah deretan gawang yang berjajar dua dan sawah yang tidak ditanami.

Setelah selesai mengikat semua tahanan, serdadu- serdadu itu mendatangi tumpukan-tumpukan sekam yang satu demi satu dinyalakan dengan geretan.

Sekam padi memiliki kepadatan yang serupa dengan serbuk gergaji. Sekam yang dinyalakan akan terbakar dengan lambat, berhari-hari, dengan asap tebal yang terasa pedih di mata.

***************

Ketika salib sudah terayun-ayun lagi, posisiku bersudut empat puluh lima derajat ke arah kiri terhadap kedua deretan tiang-tiang gawang. Melihat letak matahari, aku menghadap tepat ke barat, sementara gawang-gawang berjejer dari barat daya ke timur laut. Kebun buah-buahan yang kami lewati ketika berjalan dari penjara terdapat di belakangku. Di sebelah kiri, di pinggir batas penglihatanku, nampak puncak atap sebuah bangunan yang terpisah letaknya, tempat pengurungan gadis-gadis belasan tahun yang dipersalahkan melakukan "kejahatan" terhadap Angka, seperti misalnya melakukan hubungan seks sebelum menikah. Di hadapanku terbentang sawah, dengan rumput liar yang tumbuh di dalam petak-petak dan di atas pematang-pematangnya. Dan juga pemandangan seram yang tidak bisa dihindari: tahanan-tahanan lain yang juga tergantung seperti aku.

Di antara mereka yang sudah lebih lama disalibkan, beberapa orang sudah mati karena kelaparan atau kehausan-umumnya wanita, dengan kepala terkulai ke dada, tubuh bergayut ke tali, dengan kaki-kaki melepuh dan hangus terbakar. Sarung mereka merosot sampai ke batas tali yang mengikat erat paha mereka. Wanita-wanita itu tidak memakai pakaian dalam. Tubuh mereka tercemar kotoran mereka sendiri, karena sudah tidak bisa lagi menahannya. Api membara di bawah mereka.

Aduh, Huoy, Huoy, aku bersyukur kau tidak ada di sini, sehingga tidak melihat hal-hal ini.

Kaki-kakiku menggelantung hampir dua meter di atas tanah dan sekitar satu meter di atas tumpukan kayu dan sekam padi. Api belum menyebar sampai ke kayu yang ada di dalamnya, tapi asap yang mengepul masuk ke lubang hidung dan mataku.

Rombongan kami yang berdelapan belas sudah tidak berbicara lagi. Kerongkongan kami kering karena haus, sehingga tidak lagi mampu berbicara. Kami terlalu sibuk berdoa.

Sinar matahari yang terik membakar tengkukku. Bobot tubuhku menyebabkan semakin eratnya ikatan tali yang membelit tengan dan tungkaiku. Kaki-kakiku sudah mati rasa. Jari-jariku juga begitu, tapi masih bisa kugerak-gerakkan. Lalat hijau beterbangan mengelilingi kepalaku. Mereka kuusir, tapi selalu datang lagi lalu hingga di sudut mataku yang basah. Aku memoncongkan bibir dan meniup ke atas. Tapi lalat-lalat itu hanya pergi sebentar lalu hinggap lagi di mukaku, juga di punggungku yang pecah kulitnya kena pukulan-pukulan.

Dengungan lalat-lalat itu merupakan bunyi yang paling nyaring di sekelilingku. Seorang wanita berumur dua puluhan di sebelah kananku merintih-rintih, meminta kepada ibunya agar ia diselamatkan. Wanita itu hamil. Perutnya nampak membundar. Kurasa ia takkan mampu bertahan lama.

Lambat laun api sudah menjalar sampai ke kayu di dalam rumpukan sekam. Tidak nampak kobaran api, tapi tercium bau yang lain. Aku memandang ke bawah. Bulu-bulu kakiku nampak mengeriting dan hangus. Kaki-kakiku mestinya melepuh dati hangus terbakar, tapi aku tidak merasakannya. Mataku berair kena asap. Para penjaga menyalakan api itu agar timbul panas dan asap, bukan kobaran api. Maksud mereka bukan membakar kami sampai mati, tapi untuk mengulur dan meningkatkan rasa sakit karena terikat ke salib.

Menjelang petang. ketika mataku terpejam untuk menghindari cahaya matahari yang memancar langsung di depanku. aku merasa tubuhku berputar-putar di salib. Angin berubah arah. Aku membuka mataku. Angin meniup asap menjauhi aku, tapi juga menyebabkan nyala api semakin masuk ke dalam tumpukan sekam. Api bertambah panas, dan panasnya membubung sampai ke pahaku. Dari arah kiriku terdengar bunyi mengucur pelan. Lelaki yang tergantung pada salib di sebelahku kencing di celana dengan harapan akan bisa mengurangi kobaran api. Tapi percuma saja. Air kencing yang menetes lewat kakinya ke api langsung menguap. dan api tetap berkobar seperti semula. Lalat-lalat hinggap pada lengan dan tungkaiku, menunggu angin tidak bertiup lagi.

Matahari merangkak ke kaki langit lalu terbelam. Saat senja itulah angin berhenti dan nyamuk-nyamuk berdatangan.

Mereka terbang sampai dekat sekali, berdenging dekat telinga yang satu, lalu telinga yang satu lagi. Tapi aku bersikap masa bodoh saja.

Oh, Huoy, kauselamatkan nyawaku sewaktu aku sakit. Kau menyelamatkan nyawaku. Semoga dewa-dewa dan angin membawa pesan dariku ini kepadamu, bahwa saat ini aku masih hidup, bahwa rohku akan menjaga dan melindungi dirimu.

 ***************

Bulan sudah hampir purnama malam itu. Sinarnya sewaktu muncul di atas pepohonan di belakangku melemparkan bayangan memanjang dari tiang gawang dan sosokku yang tergantung pada salib di tengah-tengahnya. Ketika angin mulai meniup lagi, bara api yang ada di bawah menyala dan api terasa bertambah panas; ketika angin mereda, nyamuk-nyamuk berdatangan kembali, mendenging di telingaku dan menggigiti tubuhku di tempat-tempat yang masih terasa olehku. Bulan menanjak dengan tenang dan sunyi, dan bayangan gawang menjadi bertambah pendek. Angin menggerak-gerakkan pucuk-pucuk pepohonan, dan arang-arang yang disalib bergelantungan pada tiang-tiang gawang seperti binatang-binatang aneh yang dibantai.

Aduh, Ibu. Aduh, Huoy. Selamatkanlah diriku.

Hai, Dewa-dewa-dewa apa saja yang bisa mendengar. Dewa-dewa Hindu. Yesus. Allah. Budha. Roh-roh hutan rimba dan persawahan. Arwah para leluhurku. Dengarlah aku, Dewa-dewa, aku tidak pernah membunuh orang. Sama sekali belum pernah. Aku menyelamatkan nyawa. Aku ini dokter dan aku menyelamatkan nyawa serdadu-serdadu Lon Nol, dan Viet Cong, dan aku tidak peduli siapa mereka. Jadi kenapa aku harus menderita?

Roh-roh angin, doaku, jika dewa-dewa tidak bisa mendengar, tolong sampaikan berita kepada mereka. Kepada dewa apa saja yang memiliki kekuasaan. Sampaikan kepada dewa-dewa, apa yang terjadi dengan diriku.

Betapa pilunya tangisan Huoy apabila ia ada di sini. Aku bersyukur, ia tidak bisa melihat aku. Tolonglah, Dewa-dewa, janganlah dia dihukum. la tidak bersalah. Jangan sampai ia tahu apa yang menimpa diriku. Aku salah seorang yang terkutuk, menjadi pret. Aku sudah ada di neraka. Dan aku tidak tahu apa sebabnya. Aku tidak pernah berkhianat terhadap bangsa dan negara. Jika aku pernah membunuh orang dalam hidupku yang dulu, atau menyiksa, hukumlah aku dengan segera. Jika ini pembalasan, selesaikanlah, agar aku bebas dalam hidup yang berikut. Tapi kurasa aku tidak membunuh orang dalam hidupku yang sudah-sudah. Dan aku tidak mengerti apa sebabnya mereka menyiksa diriku. lni mestinya lebih gawat lagi daripada perlakuan Hitler terhadap orang-orang Yahudi. Hitler menganggap orang-orang Yahudi berbeda dengan dirinya, seperti ras lain. Tapi Khmer Merah membunuhi orang-orang yang merupakan bangsanya sendiri. Dan dewa-dewa tidak berbuat apa-apa umuk menghentikannya.

***************

Paginya para penjaga menurunkan orang-orang yang disalib sebelum kami. Mereka meletakkan piring-piring berisi nasi di hadapan orang-orang yang masih hidup dan menanyai mereka. Setelah itu mereka memasukkan kepala orang-orang itu ke dalam kantong plastik yang kemudian diikat. Para terhukum itu terkejat-kejat, berusaha membebaskan diri. Aku tidak sanggup melihat lama-lama, karena terlalu lemah. Aku juga tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa tengkuk serasa terbakar ditimpa sinar matahari terik, bahwa mulutku kering dan bibirku pecah-pecah. Apa pun yang terjadi antara penjaga-penjaga dan para terhukum, bagiku itu rasanya seperti jauh sekali, meski sebenarnya ada di depan mata. Aku nyaris tidak menyadari ketika para penjaga menyeret tubuh-tubuh itu pergi lalu menggantungkan orang-orang baru ke tiang gawang. Tinggal inti diriku saja yang masih tersisa, jantung yang masih berdenyut di dalam dada, mulut yang bernapas, mata yang terasa pedih kena asap dan tertusuk sinar matahari: Dan benak yang berdoa.

Sudah empat hari dan empat malam tanpa diberi makan dan minum, aku diturunkan dan tali yang mengikar tubuhku dibuka. Aliran darahku yang pulih lagi di bagian lengan dan tungkai menimbulkan kenyerian yang lebih parah ketimbang mati rasa dan lebih menusuk ketimbang nyala api. Aku jatuh telentang, tidak bisa berkutik.

Mereka mengikat tangan dan kakiku. Mereka mencoba membuat aku berlutut, tapi aku terjungkal lagi. Mereka menjambak rambutku dan menggoncang- goncangkan kepalaku, sampai aku melihat piring di hadapanku. Di piring itu ada nasi hangat dengan dua potong ikan asing di atasnya.

"Kau dokter?" tanya seseorang. Suaranya seperti jauh sekali. "Kapten?”'

Aku berusaha bicara, tapi bibirku tidak mampu bergerak membentuk kata-kata. Di hadapanku ada piring dengan nasi yang menumpuk.

"Bukan," bisikku dengan suara lemah. "Beri aku air. Latu tembak aku."

"Asal kau mengatakan yang sebenarnya. Jika kaukatakan yang sebenarnya kepada Angka, kau akan mendapat air dan nasi."

Darah menetes masuk ke mulut dari bibirku yang pecah-pecah. ''Tembak saja," kataku dengan suara serak. "Aku tak tahan lagi. Ayolah, Angka, jika kalian tidak mau percaya padaku, tembak saja. Aku senang jika bisa mati. Tembak saja."

"Besar mulut!" bentak penjaga itu. la berseru memanggil penjaga-penjaga yang lain. Mereka menarik tubuhku sampai aku terduduk. Sebelum kantong plastik disungkupkan ke kepalaku, aku masih sempat melihat wanita hamil yang di sebelahku. Kepalanya sudah dimasukkan ke dalam kantong, dan kedua kakinya bergerak terkejat- kejat. Kantong yang menyungkup kepalaku mereka ikatkan membungkus leherku. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi, dan mereka mendorong rubuhku sehingga terjungkal lagi. Aku berusaha bernapas, tapi kantong itu langsung menempel ke mulutku. Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan kantong yang tercekik, tapi tidak berhasil. Kakiku terkejat-kejat dan aku tidak bisa melihat. Mereka lantas melepaskan kantong yang menyungkup kepalaku, dan aku megap-megap menarik napas.

Para penjaga melepaskan kantong yang membungkus kepala wanita hamil di sebelahku, tapi sudah terlambat. Wanita itu sudah mati kehabisan napas. Seorang penjaga menarik bajunya sampai robek dan menyentakkan sarungnya ke bawah. Lalu ia mengambil senapannya yang bersangkur. Penjaga itu mengangkangkan kaki wanita itu lalu menusukkan sangkurnya ke kemaluannya. la hendak merobek perut wanita itu, rapi sangkurnya terhalang tulang kemaluan. Karenanya sangkur lantas dicaburnya lagi, lalu diirisnya perut wanita itu mulai dari tulang dada sampai ke bawah pusar. Penjaga itu mengambil janin yang ada di dalam, mengikat lehernya dengan tali lalu mencampakkannya ke tumpukan janin yang direnggutkan dari wanita-wanita hamil yang lain. Kemudian ia merogoh ke dalam rongga perut wanita tadi, memotong dan mengeluarkan hatinya, dan akhirnya mengiris kedua payudaranya dengan gerakan menggergaji.

"Makanan enak," katanya kepada penjaga-penjaga yang lain. Kemudian ia membungkukan kepala ke sela kedua paha wanita itu di mana luka bekas tusukan sangkur masih bergetar. Penjaga berkata, "Ha! lihatlah ini! Anunya tertawa." Penjaga-penjaga yang lain, yang muda-muda datang dan berkerumun melihat sambil meringis. Lalat beterbangan sekeliling tubuh wanita malang itu, yang kejahatannya adalah karena ia istri serdadu rezim Lon Nol.

Aku berbaring miring, tanpa bergerak. Setelah itu pasti perurku yang akan mereka sodet sehingga terburai isinya. hanya untuk iseng saja. Bagi mereka, menyobek tubuh orang bukan apa-apa. Hanya keisengan saja. Mereka pasti sebentar lagi akan mendatangi aku. Tapi detik-detik berlanjut menjadi menit-menit, dan kemudian mereka pergi membawa hati dan kedua payudara wanita tadi. "Cukup untuk dimakan malam ini?" kata penjaga yang paling dekat, lalu seseorang lagi suaranya terdengar lebih jauh menjawab, "Ya, kurasa mungkin cukup."

Waktu berlalu. Lima menit, atau lima jam-aku tidak tahu bedanya. Ada sandal karet ban mendorong bahuku, dan aku tahu-tahu sudah tergeletak menghadap ke atas, memandang seorang penjaga. la berkata, "Yang ini belum mati. Ambilkan air, akan kutuangkan ke dalam hidungnya."

Seorang penjaga lagi datang menghampiri. Tahu- tahu aku melihat air perwarna coklat mengucur turun dari sebuah ember.

Air berlumpur itu jatuh menimpa mukaku dekat lubang hidung dan sebagian masuk ke mulutku yang terbuka sedikit. Aku tersedak dan terbatuk-batuk; tapi sekaligus mulutku bergerak-gerak dan aku meneguk. Belum pernah kurasakan sesuatu senikmat itu. Terjadi perubahan dalam tubuhku, terasa ada kekuatan yang mulai timbul. Penjaga yang memegang ember terus saja mengucurkan air yang diarahkannya ke dalam lubang hidungku. Ada juga sebagian yang masuk, rapi aku mendongak sehingga air itu masuk ke mulutku, dan aku meneguk berulang-ulang. Air juga masuk ke mata, tapi aku mengejap-ngejap sambil memusatkan diri pada air berwarna coklat yang mengucur ke bawah.

Ketika ember sudah kosong dan penjaga itu pergi lagi, aku merasa diriku jauh lebih segar. Ketika hari sudah senja para penjaga melepaskan tubuh kami dari ikatan lalu membantu kami berjalan kembali ke penjara. Dari rombongan kami yang semula terdiri atas delapan belas orang. tinggal lima yang masih hidup, dan tidak ada wanita di antaranya. Kaki dan tungkaiku melepuh di mana-mana, dan bengkak-bengkak berisi air di telapak berpecahan saat aku melangkah.

Kami diberi tajin encer. Rasanya seperti hidangan pesta, sesudah empat hari tidak makan. Kemudian lengan kami dicengkeram dan kami diseret ke dalam penjara. Kami diborgol lagi dalam kandang-kandang kami. Keesokan harinya aku menyangka bahwa tiba saatnya aku dibunuh. Tapi ternyata aku diberi semangkuk air tajin lagi. begitu pula hari berikutnya.

Aku disuruh bekerja di sekitar penjara. Aku mengurus kebun, dan kulihat orang-orang "baru" datang, tapi hanya sedikit saja yang pergi dalam keadaan hidup. Siang hari burung-burung nasar melayang berputar-putar di atas kepala. Malam hari ajak-ajak menyergah dan menggeram-geram sambil merobek-robek daging mayat-mayat yang ada di luar.

Kemudian aku dimasukkan ke dalam sebuah gerobak sapi, diangkut ke sebuah penjara lain yang berdinding gedek. Di situ orang-orang hukuman membajak sawah, mengurus sapi-sapi dan memakan jatah air tajin. Keadaannya seperti di garis depan, tapi lebih berat; kami semua sudah kurus kering, dengan lengan dan tungkai seperti tongkat. Dua bulan lamanya aku mendekam di tempat itu, hidup dari hari ke hari berikutnya.

Kemudian aku dibebaskan. Serdadu-serdadu mengawal diriku serta beberapa orang hukuman lagi, kembali ke koperasi kami, yang sementara itu sudah pindah ke tempat baru yang semi permanen.

Mereka membawa kami ke dapur umum, Ialu menyuruh kami duduk, sementara penjaga-penjaga pergi melapor kepada Chev.

Huoy melihat kami datang. Tapi ia tidak mengenali diriku, dan aku tidak mau mengatakan apa-apa. la sedang merajang sayur untuk dimasak. Ketika selesai dengan pekerjaan itu, ia duduk di tanah membelakangi aku, lalu mulai memotong batang pisang menjadi irisan yang tebal-tebal. Semasa prarevolusi batang pisang dimanfaatkan untuk dijadikan makanan babi, tapi di garis depan dijadikan penambah jatah makanan kami.

Chev muncul, dan serdadu-serdadu membacakan daftar nama-nama. Huoy nampak terkejut ketika mendengar nama "Samnang". la membalikkan tubuh lalu berdiri. Tubuhnya menggigil. Ia berseru dengan suara seperti tercekik, "Lakiku ada di sini! Lakiku ada di sini!" la tidak sanggup menahan diri, meski nampak bahwa ia berusaha.

Chev mengatakan padaku, "Kau boleh pergi ke binimu. la menunggu."

Aku dan Huoy bergegas saling menghampiri tapi kami tidak berani berpelukan. Kurangkul bahunya dengan gaya seperti teman biasa, dan kuajak dia agak menjauh.

Aku berbisik, "Aku bisa bertahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini bersamamu."

Huoy hampir tidak bisa mengatakan apa-apa. "Apakah yang mereka lakukan terhadapmu?"

"Jangan bicara sekarang. Pokoknya aku masih hidup."

Seusai makan malam, ketika Huoy sudah selesai bekerja, ia membimbingku ke sebuah saluran. la membawa sabun yang entah dari mana diperolehnya. la memandikan dan menggosok tubuhku, sambil menahan tangis ketika melihat betapa kencangnya kulit melekat pada tulang rusukku. lnfeksi pada pergelangan kakiku bertambah parah keadaannya. Tungkaiku penuh koreng, begitu pula leher dan daguku. Huoy bertanya, apa yang sebetulnya terjadi. Aku menjawab, "Jangan tanyakan itu, Sayang. Aku tidak ingin melihat air mata lagi." Tapi Huoy berkeras. la ingin tahu apa sebabnya tubuhku menjadi begitu kurus, kenapa begitu banyak bagian tubuhku yang melepuh, apa yang mereka suruh agar kulakukan.

Aku berkata, "Jika kau cinta padaku, jangan bertanya. Aku cinta padamu dan aku tidak mau mengatakannya kepadamu."

 Pakaian yang selama itu membungkus tubuhku dihanyutkan oIeh Huoy, dibawa arus air. berlumpur. Aku mengenakan sarung, lalu kami melangkah lambat-lambat kembali ke tempat Huoy tidur selama itu, di sebuah pondok panjang dan sempit beratap kajang dan tak berdinding. Huoy menempati sebuah tempat tidur gantung untuk satu orang. Seseorang memberinya karung beras, lalu Huoy membuatkan tempat tidur gantung untuk kami berdua, dengan menggunakan jarum dan benang.

Malam itu ia berbaring merapatkan diri padaku. Aku diciuminya berulang-ulang. Kemudiari didekatkannya bibir ke telingaku, Ialu berbisik bahwa ia merasa pasti bahwa aku sudah mati. Ada pembersihan secara besar-besaran, katanya menjelaskan. Rarusan orang digiring pergi oIeh serdadu- serdadu, dalam keadaan tèrikat, setiap kali beberapa orang, tanpa mengatakan apa alasannya. Hanya sedikit saja yang kembali. Tempat mereka diisi oleh orang-orang dari koperasi-koperasi lain, termasuk —ia membisikkan nama beberapa orang.

Aku berbaring menengadah dalam tempat tidur gantung kami, menatap kegelapan. Di sekeliling kami ada rarusan orang yang tidur bersempit-sempit, dalam tempat tidur gantung atau menggeletak di tanah. Aku dan Huoy tak bisa bicara dengan leluasa saat itu. Itu harus menunggu.

Aku merasa heran. Heran bahwa aku masih hidup, bahwa dewa-dewa membiarkan aku tetap bisa hidup untuk kedua kalinya, meski harapan sangat tipis. Bisa merangkul tubuh istriku yang lembut, merasakan hembusan napasnya. Memeluknya. la begitu pemberi, begitu menghibur. la hidup. Dan ia menyampaikan berita yang membuat hatiku berbunga-bunga: ayahku juga masih hidup. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar