21
RAJA MAUT
PERHATIAN
: Dalam bab ini dipaparkan penderitaan luar biasa yang dilihat dan dialami
sendiri oleh orang-orang seperti aku di bawah rezim Khmer Merah. Bagian ini
penting artinya dalam penuturanku, tapi sangat menyiksa perasaan. Jadi jika Anda
tidak ingin atau merasa tidak mampu membacanya, kupersilakan melewatinya dan
melanjutkan dengan bab yang berikut.
Serdadu-serdadu
itu menyuruhku membelok ke kiri dan ke kanan sementara kami berjalan beriringan,
dan dengan segera sudah tidak ada keraguan lagi dalam diriku bahwa kami menuju ke
penjara di Phum Chhleav. Kemudian mereka menyuruh aku berhenti. Kami menunggu
selama kira-kira satu jam, sampai akhirnya datang tujuh atau delapan tawanan
lagi bersama penjaga-penjaga mereka. Para tawanan diikat berderet-deret, Ialu
disuruh berjalan lagi.
Ketika
kami sampai di penjara ternyata sudah lebih dulu ada serombongan orang
"baru" dalam keadaan terikat di sana. Seperti kami, mereka itu korban
penggerebekan yang sudah direncanakan. Para penjaga kami menyambungkan kedua
tali yang mengikat para tawanan, tapi tali yang mengikat siku kami dilonggarkan
sedikit, cukup untuk memungkinkan darah mengalir dengan leluasa lagi dalam
lengan. Kami duduk menyandar ke dinding penjara yang terbuat dari gedek dan lembaran-lembaran
seng. Kami berusaha untuk tidak memandang ke arah pohon-pohon mangga, di mana
terdapat orang-orang hukuman yang sedang mengalami siksaan yang bermacam-macam coraknya.
"Apa
kesalahanmu?" bisikku kepada wanita yang duduk disebelahku.
"Tidak
ada. Aku bahkan tidak tahu kenapa mereka menggiring aku kemari," katanya.
"Selama ini aku bekerja sekuat tenaga untuk mereka di garis depan."
Wanita itu hamil, satu dari lima wanita yang nampak hamil di garis depan.
Tawanan
selebihnya juga tidak ada yang tahu kenapa mereka ditangkap. Sambil saling berbisik,
kami semuanya setuju tidak akan mengatakan apa-apa kepada Khmer Merah.
Seorang
penjaga yang masih muda, berumur lima belas atau enam belas tahun, bertanya
dengan nada menghina apakah kami lapar atau haus. Ketika semua mengiakan,
serdadu itu lantas mengambil sebuah mangkuk besar yang penuh berisi air. la
memegang mangkuk itu sementara orang yang paling dulu diberi kesempatan
membungkuk lalu minum dengan mulut dimasukkan ke air, seperti kuda. Setelah itu
mangkuk diletakkan ke tangan orang yang sudah minum itu, yang tangannya terikar
di belakangnya, Orang itu memutar tubuh sambil memegang mangkuk di belakang
punggung untuk memungkinkan orang yang berikut minum seperti kuda; lalu orang
ini mengambil mangkuk dan menyodorkannya ke mulut orang yang ketiga, dan begitu
seterusnya sambung-menyambung.
"Takkan
ada orang lain mengurus diri kalian." kata penjaga itu mengucapkan salah
satu ungkapan yang populer di kalangan rezim Khmer Merah. Nadanya terdengar
senang. "Kalian harus mengurus diri kalian sendiri."
Malam
itu kami dimasukkan ke dalam penjara, sebuah bangunan sempit dan panjang yang
di tengah-tengahnya ada lorong dan orang-orang hukuman berderet-deret di kedua
sisi. Kami berbaring telentang dengan kepala menghadap dinding dan kaki
terkunci dalam borgol yang dipasangkan pada kayu panjang yang terjulur di samping
lorong tengah. Dinding-dinding kayu yàng rendah memberi masing-masing dari kami
tempat berbaring, seperti di kandang babi, yang sudah tercemar kotoran. Hawa di
situ berbau busuk karena tinja, air kencing, ditambah bau seperti amoniak.
Berat rasanya bernapas. Aku tidak mampu tidur. Ada sekitar delapan puluh orang
"baru" di dalam penjara itu, dan di antaranya ada yang tidak henti-hentinya
mengerang.
Pagi-pagi
keesokan harinya terdengar bunyi sepeda motor datang lalu berhenti di luar. Ada
orang penting datang, kataku dalam hati. Di kawasan Phnom Tippeday, kurir dan
kader rendahan biasanya naik sepeda atau menunggang kuda, kader tingkat
menengah dan agak tinggi naik sepeda motor, sementara mereka yang paling tinggi
kedudukannya naik jip. Orang yang naik sepeda motor mestinya berkedudukan
seperti... seperti perwira dinas keamanan negara, kataku menarik kesimpulan. Ya,
mestinya begitulah. Semuanya sudah diatur terlebih dulu, ada tahanan-tahanan
politik yang baru dilangkap dan pemeriksaan terhadap kami keesokan harinya.
Rombongan
kami yang terdiri dari delapan belas tahanan dibawa ke luar, melewati sebuah sepeda
motor Honda 90 yang diparkir, masuk ke bangunan sebelah. Di situ dugaanku
tentang orang yang datang itu ternyata benar.
Salah
satu tokoh mitologis yang utama dalam kepercayaan rakyat Kamboja bernama Raja
Maut. Tokoh itu hakim yang menentukan apakah arwah seseorang boleh masuk ke
surga atau harus ke neraka, dan ia tahu segala-galanya tentang perbuatan manusia,
yang baik dan yang buruk. Tidak ada yang bisa disembunyikan dari
pengetahuannya. Arwah yang dikirimnya ke neraka menjadi pret, roh yang terkutuk, korban siksaan dahsyat yang kekal, yang
disebabkan oleh segala perbuatan buruk mereka sendiri. Setelah aku melihat berkeliling
memandang rombongan kami yang terdiri atas delapan belas orang tahanan, semuanya
ketakutan, dengan pakaian yang compang-camping dan menusuk hidung baunya, aku
menarik kesimpulan bahwa kami sudah menjadi pret;
nasib kami sudah diputuskan. Khmer Merah yang tadi datang naik Honda 90-nya dan
yang kini duduk sambil tersenyum kepada kami—dia itulah Raja Maut.
Orangnya
berotot dan nampak tidak pernah kurang makan. la mengepit kertas-kertas dokumen
dan sebuah buku catatan berwarna hitam. la memakai topi pet hijau model Mao dan
krama berwarna hijau dan putih yang
sudah tua, yang dililitkan ke leher. Pakaiannya yang hitam dan sandal karet
bannya nampak berdebu, dari perjalanannya dengan sepeda mator. la duduk di
kursi dekat sebuah meja kecil, lalu dimintanya kami duduk. Kami duduk di lantai
sementara orang itu memeriksa kertas-kertas dokumen. Beberapa penjaga dengan
pistol tergantung di pinggang berdiri di sisinya.
Raja
Maut bersikap tenang dan manis. la seperti Chev, tapi lebih terpelajar.
Kemungkinannya dia itu tamatan lycee,
atau sekolah menengah.
"Katakanlah
yang sebenarnya kepada Angka,” katanya kepada kami. "Jika mengaku, kalian takkan
dihukum. Angka tidak pernah membunuh tanpa perlu, atau membunuh orang yang
tidak bersalah. Mereka yang mau berterus-terang hanya akan dididik
kembali."
Para
tahanan disuruh silih berganti duduk di depan kakinya. la membacakan catatan tentang
diri kami masing-masing. la mengenal nama beberapa orang di antaranya.
Kesalahan mereka adalah: menjadi agen CIA, menjadi perwira rezim Lon Nol,
menjadi istri seorang perwira Lon Nol, menjadi pejabat pemerintahan Lon Nol.
Para tahanan semuanya menyangkal kebenaran dakwaan terhadap diri mereka. Atas
perintah hakim itu, yang isyaratnya tidak nampak olehku meski aku sudah
bersikap waspada, para penjaga melangkah maju lewat samping meja lalu menendang
tahanan mereka. Tidak semua tahanan mereka tendang, tapi mereka menendang rusuk
dan perut wanita hamil yang di sebelahku karena menyangkal bahwa ia istri seorang
kapten dalam tentara rezim Lon Nol. Mereka menyeretnya kembali ke tempat kami
semuanya duduk, dan kini giliranku tiba.
Aku
duduk menghadap hakim dengan topi di pangkuan dan kramaku terlipat rapi di atas
lutut. Dari tempatku duduk aku hanya bisa melihat celana dan kakinya,yang
bersandal karet ban berwarna hitam.
"Samnang,
Angka tahu siapa kau sebenarnya," kata Raja Maut memulai dengan suara
lembut. "Kau dokter tentara. Kau berpangkat kapten. Jadi katakanlah yang
sebenarnya kepada Angka. Itu akan sangat memudahkan bagimu sendiri."
Kini
aku tahu dengan pasti bahwa Pen Tip melaporkan diriku. Di Phnom Penh tidak
banyak yang tahu bahwa aku berdinas dalam tentara, karena aku boleh dibilang
tidak pernah mengenakan pakaian seragam. Sejak itu aku tidak pernah mengatakan
kepada siapa pun juga mengenainya. Hanya orang yang dulu pernah bekerja di
rumah Sakit, seperti Pen Tip, yang bisa mengetahui bahwa seorang dokter
pemerintah seumur aku berpangkat kapten. Saru-satunya yang tidak diketahui Pen
Tip hanyalah namaku yang sebenarnya. Dan itu juga tidak diketahui oleh Angka.
Aku
diam saja.
"Jika
kau mengaku," kata Raja Maut, "Angka. mau melupakan hal-hal yang
sudah lewat dan memberimu kedudukan tinggi. Kau akan diizinkan mengoperasi
prajurit-prajurit yang luka, dan mengajarkan ilmu kedokteran kepada generasi muda.
Para siswa akan bersikap hormat terhadapmu karena kau memberikan pengetahuan
kepada mereka. Kau akan menjadi tokoh pahlawan. Tapi," katanya, "jika
kau tidak mau berterus-terang terhadap Angka, kau sendiri yang bertanggung jawab:"
Aku
mendeham, membersihkan kerongkongan.
"Kawan
yang baik budi," kataku, "aku bukan kapten, dan juga bukan dokter.
Aku dulu sopir taksi. Nomor taksiku 213755." (ltu nomor pelat Vespaku.)
"Aku pergi ke Takeo, Battambang, Kampot, ke mana saja yang disuruh
penumpangku. Aku mengatakan yang sebenarnya. Ini kedua kalinya aku masuk
penjara, dan Angka masih saja tidak mau percaya padaku. Aku bekerja keras untuk
Angka. Aku berjuang untuk menguasai kekuatan alam, untuk Angka. Aku melakukan segala-galanya
untuk Angka, dan aku tidak pernah menimbulkan kesulitan, Apa sebabnya Angka tidak
mau percaya padaku?"
"Karena
kau pembohong," jawab hakim itu dengan suaranya yang tenang dan lembut.
"Katakanlah yang sebenarnya kepada Angka. Jika itu kaulakukan, Angka akan
memberimu pekerjaan yang sangat baik. Kau orang yang terpelajar. Kau bisa
memimpin orang-orang. Kau bisa membantu membangun negara. Kau bisa membantu
negara menegakkan kemerdekaannya yang berdaulat."
Aku
mengatakan, "Kawan, jika aku ini dokter, aku akan mengatakannya. Aku ingin
membantu Angka. Jika kau tidak percaya juga, pergilah ke Phnom Penh dan periksa
dokumen-dokumen di sekolah kedokteran. Jika nanti ternyata aku ini memang
dokter, Angka boleh berbuat semaunya terhadap aku."
BUK!
Tendangan menyambar rusukku. Aku terguling ke samping. Kemudian penjaga yang satu
lagi menendang tubuhku dengan ujung sandal karet bannya yang keras. BUK! Aku melengkung
kesakitan. Kedua penjaga itu silih berganti menendangi tubuhku. Kemudian hakim itu
mengetuk daun meja, dan penjaga-penjaga itu menghentikan tendangan mereka.
Kakiku diseret, kembali ke deretan para tahanan.
Sementara
aku menghitung-hitung bagian tubuhku yang memar, hakim itu sudah mulai memeriksa
tahanan yang berikut. Para penjaga itu menendang diriku di bagian rusuk, bahu,
paha, dan tengkukku. Mereka itu profesional. Mereka tahu apa yang mereka lakukan.
Orang yang sehat pun pasti akan sangat kesakitan, ditendang seperti itu.
Ketika
para tahahan yang delapan belas orang sudah semuanya berbicara dengan hakim,
kami digiring oleh para penjaga ke luar. Kami beriringan satu-satu, menjauhi
kebun mangga, melewati sebuah kebun buah-buahan yang lain, dan masuk ke sawah
yang tidak ditanami.
Di
situ kami melihat konstruksi-konstruksi dari kayu dengan tiang-tiang tegak dan
membujur; kelihatannya seperti gawang untuk permainan sepak bola, tapi lebih
sempit dan juga lebih tinggi. Konstruksi-konstruksi itu berderet-deret dua
baris, dan semuanya serupa. Di tengah masing-masing gawang di mana penjaga
gawang biasanya berdiri, ada tumpukan sekam padi dan kayu. Di depan setiap
gawang terletak sebuah salib kayu dan seutas tali.
Mulanya
aku tidak tahu untuk apa semuanya itu. Kemudian kulayangkan pandangan lebih
jauh menyusur deretan konstruksi-konstruksi itu, yang memanjang lewat beberapa
pematang sampai jauh ke tengah sawah. Di ujung deretan itu nampak orang-orang
hukuman yang disiksa dengan cara yang belum pernah kudengar. Mereka diikatkan
dengan tubuh tergantung ke salib. Salib-salib itu tergantung tegak pada palang
gawang yang melintang. Asap dan nyala api menjilat-jilat dari tumpukan sekam
dan kayu yang terbakar di sekeliling kaki orang yang dihukum.
Serdadu-serdadu
menegakkan salib yang ada di belakang masing-masing tahanan lalu mengikatkan kami
ke situ.
Moga-moga
saja Huay takkan pernah tahu tentang ini, kataku dalam hati. Aku tidak
bercerita tentang hai-haI yang paling mengerikan di penjara waktu itu, tentang
bagaimana wanita malang itu dirobek perutnya. Aku tidak ingin Huoy
mengetahuinya, karena perasaannya pasti akan terluka. la begitu Iembut. la
menyelamatkan nyawaku. Aku sangat mencintainya. Jika aku nanti sudah tidak ada
lagi, siapakah yang akan menjaganya? Aduh Dewata, seiamatkanlah Huoy dan
jauhkan dirinya dari siksaan semacam ini. Tapi kecil sekali kemungkinannya ia
bisa terus terhindar. Kemungkinannya serdadu-serdadu akan muncul juga menjemputnya,
karena mereka memburu para istri tentara dan dokter. Soalnya tinggal menunggu waktunya
saja lagi, kecuali jika Dewata turun tangan untuk mencegah hal itu terjadi.
Dan
tolonglah, Dewata, doaku, jika aku nanti pergi ke neraka atau ke surga,
jauhkanlah aku dari Khmer Merah. Jika aku dilahirkan lagi nanti, janganlah aku
dikirim ke dekat mereka. Aku tidak ingin berada di dekat-dekat Kamboja. Jika
aku melakukan kesalahan dalam hidupku yang Ialu, aku akan membayarnya sekarang;
tapi tolonglah, Dewata, ini mestinya sudah merupakan pembayaran lunas. Berilah
aku kebahagiaan dalam hidupku yang berikut.
Aku
masih di tanah dan serdadu-serdadu sedang mengikatkan pergelangan tanganku ke salib.
"Tembak saja Aku!” teriakku pada mereka. "Tembak saja! Biar selesai
urusannya!" Aku meronta-ronta, tapi serdadu-serdadu itu lebih kuat dan
mereka lebih banyak. Mereka mengikatkan lenganku yang sebelah atas ke salib, dan
setelah itu paha dan kakiku. Kemudian tali yang terikat pada salib mereka
lemparkan melewati palang gawang yang melintang, Ialu aku ditarik ke atas
sampai kakiku mengambang di atas tumpukan kayu dan sekam padi. Aku terayun-ayun
mundur maju, dengan pandangan ke arah deretan gawang yang berjajar dua dan
sawah yang tidak ditanami.
Setelah
selesai mengikat semua tahanan, serdadu- serdadu itu mendatangi
tumpukan-tumpukan sekam yang satu demi satu dinyalakan dengan geretan.
Sekam
padi memiliki kepadatan yang serupa dengan serbuk gergaji. Sekam yang
dinyalakan akan terbakar dengan lambat, berhari-hari, dengan asap tebal yang
terasa pedih di mata.
***************
Ketika
salib sudah terayun-ayun lagi, posisiku bersudut empat puluh lima derajat ke
arah kiri terhadap kedua deretan tiang-tiang gawang. Melihat letak matahari,
aku menghadap tepat ke barat, sementara gawang-gawang berjejer dari barat daya
ke timur laut. Kebun buah-buahan yang kami lewati ketika berjalan dari penjara
terdapat di belakangku. Di sebelah kiri, di pinggir batas penglihatanku, nampak
puncak atap sebuah bangunan yang terpisah letaknya, tempat pengurungan gadis-gadis
belasan tahun yang dipersalahkan melakukan "kejahatan" terhadap
Angka, seperti misalnya melakukan hubungan seks sebelum menikah. Di hadapanku
terbentang sawah, dengan rumput liar yang tumbuh di dalam petak-petak dan di
atas pematang-pematangnya. Dan juga pemandangan seram yang tidak bisa
dihindari: tahanan-tahanan lain yang juga tergantung seperti aku.
Di
antara mereka yang sudah lebih lama disalibkan, beberapa orang sudah mati
karena kelaparan atau kehausan-umumnya wanita, dengan kepala terkulai ke dada,
tubuh bergayut ke tali, dengan kaki-kaki melepuh dan hangus terbakar. Sarung
mereka merosot sampai ke batas tali yang mengikat erat paha mereka.
Wanita-wanita itu tidak memakai pakaian dalam. Tubuh mereka tercemar kotoran
mereka sendiri, karena sudah tidak bisa lagi menahannya. Api membara di bawah
mereka.
Aduh,
Huoy, Huoy, aku bersyukur kau tidak ada di sini, sehingga tidak melihat hal-hal
ini.
Kaki-kakiku
menggelantung hampir dua meter di atas tanah dan sekitar satu meter di atas tumpukan
kayu dan sekam padi. Api belum menyebar sampai ke kayu yang ada di dalamnya, tapi
asap yang mengepul masuk ke lubang hidung dan mataku.
Rombongan
kami yang berdelapan belas sudah tidak berbicara lagi. Kerongkongan kami kering
karena haus, sehingga tidak lagi mampu berbicara. Kami terlalu sibuk berdoa.
Sinar
matahari yang terik membakar tengkukku. Bobot tubuhku menyebabkan semakin eratnya
ikatan tali yang membelit tengan dan tungkaiku. Kaki-kakiku sudah mati rasa.
Jari-jariku juga begitu, tapi masih bisa kugerak-gerakkan. Lalat hijau
beterbangan mengelilingi kepalaku. Mereka kuusir, tapi selalu datang lagi lalu
hingga di sudut mataku yang basah. Aku memoncongkan bibir dan meniup ke atas.
Tapi lalat-lalat itu hanya pergi sebentar lalu hinggap lagi di mukaku, juga di punggungku
yang pecah kulitnya kena pukulan-pukulan.
Dengungan
lalat-lalat itu merupakan bunyi yang paling nyaring di sekelilingku. Seorang wanita
berumur dua puluhan di sebelah kananku merintih-rintih, meminta kepada ibunya
agar ia diselamatkan. Wanita itu hamil. Perutnya nampak membundar. Kurasa ia
takkan mampu bertahan lama.
Lambat
laun api sudah menjalar sampai ke kayu di dalam rumpukan sekam. Tidak nampak
kobaran api, tapi tercium bau yang lain. Aku memandang ke bawah. Bulu-bulu
kakiku nampak mengeriting dan hangus. Kaki-kakiku mestinya melepuh dati hangus
terbakar, tapi aku tidak merasakannya. Mataku berair kena asap. Para penjaga menyalakan
api itu agar timbul panas dan asap, bukan kobaran api. Maksud mereka bukan
membakar kami sampai mati, tapi untuk mengulur dan meningkatkan rasa sakit
karena terikat ke salib.
Menjelang
petang. ketika mataku terpejam untuk menghindari cahaya matahari yang memancar langsung
di depanku. aku merasa tubuhku berputar-putar di salib. Angin berubah arah. Aku
membuka mataku. Angin meniup asap menjauhi aku, tapi juga menyebabkan nyala api
semakin masuk ke dalam tumpukan sekam. Api bertambah panas, dan panasnya
membubung sampai ke pahaku. Dari arah kiriku terdengar bunyi mengucur pelan.
Lelaki yang tergantung pada salib di sebelahku kencing di celana dengan harapan
akan bisa mengurangi kobaran api. Tapi percuma saja. Air kencing yang menetes
lewat kakinya ke api langsung menguap. dan api tetap berkobar seperti semula.
Lalat-lalat hinggap pada lengan dan tungkaiku, menunggu angin tidak bertiup
lagi.
Matahari
merangkak ke kaki langit lalu terbelam. Saat senja itulah angin berhenti dan
nyamuk-nyamuk berdatangan.
Mereka
terbang sampai dekat sekali, berdenging dekat telinga yang satu, lalu telinga
yang satu lagi. Tapi aku bersikap masa bodoh saja.
Oh,
Huoy, kauselamatkan nyawaku sewaktu aku sakit. Kau menyelamatkan nyawaku.
Semoga dewa-dewa dan angin membawa pesan dariku ini kepadamu, bahwa saat ini
aku masih hidup, bahwa rohku akan menjaga dan melindungi dirimu.
***************
Bulan
sudah hampir purnama malam itu. Sinarnya sewaktu muncul di atas pepohonan di belakangku
melemparkan bayangan memanjang dari tiang gawang dan sosokku yang tergantung pada
salib di tengah-tengahnya. Ketika angin mulai meniup lagi, bara api yang ada di
bawah menyala dan api terasa bertambah panas; ketika angin mereda,
nyamuk-nyamuk berdatangan kembali, mendenging di telingaku dan menggigiti tubuhku
di tempat-tempat yang masih terasa olehku. Bulan menanjak dengan tenang dan
sunyi, dan bayangan gawang menjadi bertambah pendek. Angin menggerak-gerakkan
pucuk-pucuk pepohonan, dan arang-arang yang disalib bergelantungan pada
tiang-tiang gawang seperti binatang-binatang aneh yang dibantai.
Aduh,
Ibu. Aduh, Huoy. Selamatkanlah diriku.
Hai,
Dewa-dewa-dewa apa saja yang bisa mendengar. Dewa-dewa Hindu. Yesus. Allah. Budha.
Roh-roh hutan rimba dan persawahan. Arwah para leluhurku. Dengarlah aku, Dewa-dewa,
aku tidak pernah membunuh orang. Sama sekali belum pernah. Aku menyelamatkan
nyawa. Aku ini dokter dan aku menyelamatkan nyawa serdadu-serdadu Lon Nol, dan
Viet Cong, dan aku tidak peduli siapa mereka. Jadi kenapa aku harus menderita?
Roh-roh
angin, doaku, jika dewa-dewa tidak bisa mendengar, tolong sampaikan berita
kepada mereka. Kepada dewa apa saja yang memiliki kekuasaan. Sampaikan kepada
dewa-dewa, apa yang terjadi dengan diriku.
Betapa
pilunya tangisan Huoy apabila ia ada di sini. Aku bersyukur, ia tidak bisa
melihat aku. Tolonglah, Dewa-dewa, janganlah dia dihukum. la tidak bersalah.
Jangan sampai ia tahu apa yang menimpa diriku. Aku salah seorang yang terkutuk,
menjadi pret. Aku sudah ada di
neraka. Dan aku tidak tahu apa sebabnya. Aku tidak pernah berkhianat terhadap
bangsa dan negara. Jika aku pernah membunuh orang dalam hidupku yang dulu, atau
menyiksa, hukumlah aku dengan segera. Jika ini pembalasan, selesaikanlah, agar aku
bebas dalam hidup yang berikut. Tapi kurasa aku tidak membunuh orang dalam hidupku
yang sudah-sudah. Dan aku tidak mengerti apa sebabnya mereka menyiksa diriku.
lni mestinya lebih gawat lagi daripada perlakuan Hitler terhadap orang-orang
Yahudi. Hitler menganggap orang-orang Yahudi berbeda dengan dirinya, seperti
ras lain. Tapi Khmer Merah membunuhi orang-orang yang merupakan bangsanya sendiri.
Dan dewa-dewa tidak berbuat apa-apa umuk menghentikannya.
***************
Paginya
para penjaga menurunkan orang-orang yang disalib sebelum kami. Mereka
meletakkan piring-piring berisi nasi di hadapan orang-orang yang masih hidup
dan menanyai mereka. Setelah itu mereka memasukkan kepala orang-orang itu ke
dalam kantong plastik yang kemudian diikat. Para terhukum itu terkejat-kejat, berusaha
membebaskan diri. Aku tidak sanggup melihat lama-lama, karena terlalu lemah.
Aku juga tidak peduli. Aku hanya tahu bahwa tengkuk serasa terbakar ditimpa
sinar matahari terik, bahwa mulutku kering dan bibirku pecah-pecah. Apa pun
yang terjadi antara penjaga-penjaga dan para terhukum, bagiku itu rasanya
seperti jauh sekali, meski sebenarnya ada di depan mata. Aku nyaris tidak menyadari
ketika para penjaga menyeret tubuh-tubuh itu pergi lalu menggantungkan
orang-orang baru ke tiang gawang. Tinggal inti diriku saja yang masih tersisa,
jantung yang masih berdenyut di dalam dada, mulut yang bernapas, mata yang terasa
pedih kena asap dan tertusuk sinar matahari: Dan benak yang berdoa.
Sudah
empat hari dan empat malam tanpa diberi makan dan minum, aku diturunkan dan
tali yang mengikar tubuhku dibuka. Aliran darahku yang pulih lagi di bagian
lengan dan tungkai menimbulkan kenyerian yang lebih parah ketimbang mati rasa
dan lebih menusuk ketimbang nyala api. Aku jatuh telentang, tidak bisa
berkutik.
Mereka
mengikat tangan dan kakiku. Mereka mencoba membuat aku berlutut, tapi aku
terjungkal lagi. Mereka menjambak rambutku dan menggoncang- goncangkan
kepalaku, sampai aku melihat piring di hadapanku. Di piring itu ada nasi hangat
dengan dua potong ikan asing di atasnya.
"Kau
dokter?" tanya seseorang. Suaranya seperti jauh sekali. "Kapten?”'
Aku
berusaha bicara, tapi bibirku tidak mampu bergerak membentuk kata-kata. Di
hadapanku ada piring dengan nasi yang menumpuk.
"Bukan,"
bisikku dengan suara lemah. "Beri aku air. Latu tembak aku."
"Asal
kau mengatakan yang sebenarnya. Jika kaukatakan yang sebenarnya kepada Angka,
kau akan mendapat air dan nasi."
Darah
menetes masuk ke mulut dari bibirku yang pecah-pecah. ''Tembak saja,"
kataku dengan suara serak. "Aku tak tahan lagi. Ayolah, Angka, jika kalian
tidak mau percaya padaku, tembak saja. Aku senang jika bisa mati. Tembak
saja."
"Besar
mulut!" bentak penjaga itu. la berseru memanggil penjaga-penjaga yang
lain. Mereka menarik tubuhku sampai aku terduduk. Sebelum kantong plastik
disungkupkan ke kepalaku, aku masih sempat melihat wanita hamil yang di sebelahku.
Kepalanya sudah dimasukkan ke dalam kantong, dan kedua kakinya bergerak
terkejat- kejat. Kantong yang menyungkup kepalaku mereka ikatkan membungkus
leherku. Aku tidak bisa melihat apa-apa lagi, dan mereka mendorong rubuhku
sehingga terjungkal lagi. Aku berusaha bernapas, tapi kantong itu langsung
menempel ke mulutku. Aku meronta-ronta, berusaha melepaskan kantong yang
tercekik, tapi tidak berhasil. Kakiku terkejat-kejat dan aku tidak bisa
melihat. Mereka lantas melepaskan kantong yang menyungkup kepalaku, dan aku
megap-megap menarik napas.
Para
penjaga melepaskan kantong yang membungkus kepala wanita hamil di sebelahku,
tapi sudah terlambat. Wanita itu sudah mati kehabisan napas. Seorang penjaga
menarik bajunya sampai robek dan menyentakkan sarungnya ke bawah. Lalu ia
mengambil senapannya yang bersangkur. Penjaga itu mengangkangkan kaki wanita
itu lalu menusukkan sangkurnya ke kemaluannya. la hendak merobek perut wanita itu,
rapi sangkurnya terhalang tulang kemaluan. Karenanya sangkur lantas dicaburnya
lagi, lalu diirisnya perut wanita itu mulai dari tulang dada sampai ke bawah pusar.
Penjaga itu mengambil janin yang ada di dalam, mengikat lehernya dengan tali lalu
mencampakkannya ke tumpukan janin yang direnggutkan dari wanita-wanita hamil
yang lain. Kemudian ia merogoh ke dalam rongga perut wanita tadi, memotong dan
mengeluarkan hatinya, dan akhirnya mengiris kedua payudaranya dengan gerakan
menggergaji.
"Makanan
enak," katanya kepada penjaga-penjaga yang lain. Kemudian ia membungkukan kepala
ke sela kedua paha wanita itu di mana luka bekas tusukan sangkur masih
bergetar. Penjaga berkata, "Ha! lihatlah ini! Anunya tertawa." Penjaga-penjaga
yang lain, yang muda-muda datang dan berkerumun melihat sambil meringis. Lalat
beterbangan sekeliling tubuh wanita malang itu, yang kejahatannya adalah karena
ia istri serdadu rezim Lon Nol.
Aku
berbaring miring, tanpa bergerak. Setelah itu pasti perurku yang akan mereka sodet
sehingga terburai isinya. hanya untuk iseng saja. Bagi mereka, menyobek tubuh
orang bukan apa-apa. Hanya keisengan saja. Mereka pasti sebentar lagi akan
mendatangi aku. Tapi detik-detik berlanjut menjadi menit-menit, dan kemudian
mereka pergi membawa hati dan kedua payudara wanita tadi. "Cukup untuk
dimakan malam ini?" kata penjaga yang paling dekat, lalu seseorang lagi
suaranya terdengar lebih jauh menjawab, "Ya, kurasa mungkin cukup."
Waktu
berlalu. Lima menit, atau lima jam-aku tidak tahu bedanya. Ada sandal karet ban
mendorong bahuku, dan aku tahu-tahu sudah tergeletak menghadap ke atas,
memandang seorang penjaga. la berkata, "Yang ini belum mati. Ambilkan air,
akan kutuangkan ke dalam hidungnya."
Seorang
penjaga lagi datang menghampiri. Tahu- tahu aku melihat air perwarna coklat
mengucur turun dari sebuah ember.
Air
berlumpur itu jatuh menimpa mukaku dekat lubang hidung dan sebagian masuk ke mulutku
yang terbuka sedikit. Aku tersedak dan terbatuk-batuk; tapi sekaligus mulutku
bergerak-gerak dan aku meneguk. Belum pernah kurasakan sesuatu senikmat itu.
Terjadi perubahan dalam tubuhku, terasa ada kekuatan yang mulai timbul. Penjaga
yang memegang ember terus saja mengucurkan air yang diarahkannya ke dalam
lubang hidungku. Ada juga sebagian yang masuk, rapi aku mendongak sehingga air itu
masuk ke mulutku, dan aku meneguk berulang-ulang. Air juga masuk ke mata, tapi
aku mengejap-ngejap sambil memusatkan diri pada air berwarna coklat yang
mengucur ke bawah.
Ketika
ember sudah kosong dan penjaga itu pergi lagi, aku merasa diriku jauh lebih
segar. Ketika hari sudah senja para penjaga melepaskan tubuh kami dari ikatan
lalu membantu kami berjalan kembali ke penjara. Dari rombongan kami yang semula
terdiri atas delapan belas orang. tinggal lima yang masih hidup, dan tidak ada wanita
di antaranya. Kaki dan tungkaiku melepuh di mana-mana, dan bengkak-bengkak
berisi air di telapak berpecahan saat aku melangkah.
Kami
diberi tajin encer. Rasanya seperti hidangan pesta, sesudah empat hari tidak
makan. Kemudian lengan kami dicengkeram dan kami diseret ke dalam penjara. Kami
diborgol lagi dalam kandang-kandang kami. Keesokan harinya aku menyangka bahwa
tiba saatnya aku dibunuh. Tapi ternyata aku diberi semangkuk air tajin lagi. begitu
pula hari berikutnya.
Aku
disuruh bekerja di sekitar penjara. Aku mengurus kebun, dan kulihat orang-orang
"baru" datang, tapi hanya sedikit saja yang pergi dalam keadaan
hidup. Siang hari burung-burung nasar melayang berputar-putar di atas kepala.
Malam hari ajak-ajak menyergah dan menggeram-geram sambil merobek-robek daging
mayat-mayat yang ada di luar.
Kemudian
aku dimasukkan ke dalam sebuah gerobak sapi, diangkut ke sebuah penjara lain yang
berdinding gedek. Di situ orang-orang hukuman membajak sawah, mengurus
sapi-sapi dan memakan jatah air tajin. Keadaannya seperti di garis depan, tapi
lebih berat; kami semua sudah kurus kering, dengan lengan dan tungkai seperti tongkat.
Dua bulan lamanya aku mendekam di tempat itu, hidup dari hari ke hari
berikutnya.
Kemudian
aku dibebaskan. Serdadu-serdadu mengawal diriku serta beberapa orang hukuman lagi,
kembali ke koperasi kami, yang sementara itu sudah pindah ke tempat baru yang
semi permanen.
Mereka
membawa kami ke dapur umum, Ialu menyuruh kami duduk, sementara penjaga-penjaga
pergi melapor kepada Chev.
Huoy
melihat kami datang. Tapi ia tidak mengenali diriku, dan aku tidak mau
mengatakan apa-apa. la sedang merajang sayur untuk dimasak. Ketika selesai
dengan pekerjaan itu, ia duduk di tanah membelakangi aku, lalu mulai memotong batang
pisang menjadi irisan yang tebal-tebal. Semasa prarevolusi batang pisang
dimanfaatkan untuk dijadikan makanan babi, tapi di garis depan dijadikan
penambah jatah makanan kami.
Chev
muncul, dan serdadu-serdadu membacakan daftar nama-nama. Huoy nampak terkejut ketika
mendengar nama "Samnang". la membalikkan tubuh lalu berdiri. Tubuhnya
menggigil. Ia berseru dengan suara seperti tercekik, "Lakiku ada di sini!
Lakiku ada di sini!" la tidak sanggup menahan diri, meski nampak bahwa ia
berusaha.
Chev
mengatakan padaku, "Kau boleh pergi ke binimu. la menunggu."
Aku
dan Huoy bergegas saling menghampiri tapi kami tidak berani berpelukan.
Kurangkul bahunya dengan gaya seperti teman biasa, dan kuajak dia agak menjauh.
Aku
berbisik, "Aku bisa bertahan. Jangan khawatir. Aku akan tetap di sini
bersamamu."
Huoy
hampir tidak bisa mengatakan apa-apa. "Apakah yang mereka lakukan
terhadapmu?"
"Jangan
bicara sekarang. Pokoknya aku masih hidup."
Seusai
makan malam, ketika Huoy sudah selesai bekerja, ia membimbingku ke sebuah
saluran. la membawa sabun yang entah dari mana diperolehnya. la memandikan dan
menggosok tubuhku, sambil menahan tangis ketika melihat betapa kencangnya kulit
melekat pada tulang rusukku. lnfeksi pada pergelangan kakiku bertambah parah
keadaannya. Tungkaiku penuh koreng, begitu pula leher dan daguku. Huoy
bertanya, apa yang sebetulnya terjadi. Aku menjawab, "Jangan tanyakan itu,
Sayang. Aku tidak ingin melihat air mata lagi." Tapi Huoy berkeras. la
ingin tahu apa sebabnya tubuhku menjadi begitu kurus, kenapa begitu banyak
bagian tubuhku yang melepuh, apa yang mereka suruh agar kulakukan.
Aku
berkata, "Jika kau cinta padaku, jangan bertanya. Aku cinta padamu dan aku
tidak mau mengatakannya kepadamu."
Pakaian yang selama itu membungkus tubuhku dihanyutkan
oIeh Huoy, dibawa arus air. berlumpur. Aku mengenakan sarung, lalu kami
melangkah lambat-lambat kembali ke tempat Huoy tidur selama itu, di sebuah
pondok panjang dan sempit beratap kajang dan tak berdinding. Huoy menempati sebuah
tempat tidur gantung untuk satu orang. Seseorang memberinya karung beras, lalu Huoy
membuatkan tempat tidur gantung untuk kami berdua, dengan menggunakan jarum dan
benang.
Malam
itu ia berbaring merapatkan diri padaku. Aku diciuminya berulang-ulang.
Kemudiari didekatkannya bibir ke telingaku, Ialu berbisik bahwa ia merasa pasti
bahwa aku sudah mati. Ada pembersihan secara besar-besaran, katanya
menjelaskan. Rarusan orang digiring pergi oIeh serdadu- serdadu, dalam keadaan
tèrikat, setiap kali beberapa orang, tanpa mengatakan apa alasannya. Hanya
sedikit saja yang kembali. Tempat mereka diisi oleh orang-orang dari
koperasi-koperasi lain, termasuk —ia membisikkan nama beberapa orang.
Aku
berbaring menengadah dalam tempat tidur gantung kami, menatap kegelapan. Di
sekeliling kami ada rarusan orang yang tidur bersempit-sempit, dalam tempat tidur
gantung atau menggeletak di tanah. Aku dan Huoy tak bisa bicara dengan leluasa
saat itu. Itu harus menunggu.
Aku
merasa heran. Heran bahwa aku masih hidup, bahwa dewa-dewa membiarkan aku tetap
bisa hidup untuk kedua kalinya, meski harapan sangat tipis. Bisa merangkul
tubuh istriku yang lembut, merasakan hembusan napasnya. Memeluknya. la begitu
pemberi, begitu menghibur. la hidup. Dan ia menyampaikan berita yang membuat
hatiku berbunga-bunga: ayahku juga masih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar