Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013

Neraka Kamboja - Bab 25 : Bendungan


25. BENDUNGAN


KHMER MERAH selalu mengadakan rapat sebelum memulai proyek baru, guna memastikan bahwa kami mempunyai pengertian revolusioner yang benar mengenai tugas-tugas kami. Bulan Januari 1977 mereka menyelenggarakan rapar umum. Kami diberi cuti setengah hari untuk menghadirinya. lru merupakan tindakan yang tidak lazim bagi rezim yang tidak pernah meliburkan kami pada akhir pekan, tidak pernah memberi izin cuti atau bentuk pembebasan mana pun juga dari tugas kerja rutin.

Pada hari rapat itu akan diadakan, aku menuangkan air tajin jatahku ke dalam pelplesku. lalu aku berangkat. Jalanan penuh dengan orang "baru" yang berjalan menuju ke tempat sama. Huoy sudah menunggu aku di situ. Kami duduk di atas sebuah bukit kecil. Kami menudungi kepala kami dengan krama milik Huoy,lalu kami keluarkan makanan bekal kami. Aku membawa beberapa jenis tumbuhan air yang dalam bahasa Khmer disebut truoy snor, slap chang wa, dan Kamping puoy. Huoy membuat hidangan tradisional berupa ketam yang digiling dengan asam dan lombok lombok. Kami makan dengan sendok. Itu merupakan hidangan daerah pedesaan yang lumayan, meski jika dengan nasi yang utuh pasti lebih enak rasanya.

Di sekeliling kami duduk budak-budak perang dengan pakaian compang-camping, makan air tajin dengan apa saja yang mereka temukan sebagai pelengkap. Baru sekali itu aku melihat pengunjung rapat yang begitu banyak di garis depan. Lebih dari sepuluh ribu orang, menurut taksiranku. Tapi kumpulan manusia sebanyak itu kelihatan kecil, dibandingkan dengan lingkungan di mana kami berada. Ke arah timur terbentang dataran tanah liat yang tidak menarik. Dataran itu sangat luas, dan hanya dua buah bukit teronggok di tengah-tengahnya. Di sebelah utara nampak punggung pegunungan yang menjulang nyaris tegak lurus, dengan kuil tua di baliknya, yang tidak kelihatan dari tempat kami. Punggung pegunungan itu melengkung di sebelah barat dan mengarah ke seIatan sampai ke suatu titik di hadapan kami, di mana punggung itu disambung dengan awal dari sebuah bendungan tanah yang akan dibangun.

Bagian bendungan yang sudah diselesaikan pembuatannya itu merupakan lereng dari tanah liat berwarna jingga yang tingginya sekitar tiga puluh meter, sedangkan panjangnya juga tiga puluh meter. Apabila sudah seIesai, menurut rencana bendungan itu akan menghubungkan bukit pertama dengan yang kedua, dan selanjutnya dengan punggung pegunungan, sehingga tercipta waduk berbentuk melingkar seperti cincin.

Bendera merah yang besar-besar terkulai pada tiang-tiang yang dipancangkan di atas bendungan yang baru selesai sepotong dan juga di atas punggung gunung. Serdadu-serdadu yang menyandang senjata berjalan dari tiang bendera yang satu ke tiang berikut, berjaga-jaga untuk menghadapi keributan yang tidak mungkin akan datang dari kami, orang-orang tanpa senjata yang begitu capek dan lesu. Di tempat bendungan memotong punggung gunung didirikan sebuah panggung, dengan bendera-bendera merah dan janur-janur menghiasi mimbar dan bagian atas atap. Sebuah jip nampak diparkir di sisi panggung, dan di sebelah jip itu ada seekor kuda yang diikatkan ke sebuah tiang. Sebuah generator sudah dihidupkan, menghasilkan arus listik untuk alar-alat pengeras suara.

Di atas panggung duduk Chea Huon, bawahannya, Kawan Ik-lelaki tua yang menunggang kuda itu-serta kepala-kepala desa, termasuk Chev dan juga Paman Seng yang baik hati itu. Pemimpin-pemimpin rendahan sudah menyampaikan pidato masing-masing, menyatakan kesetiaan mereka serta mengulang-ulang ungkapan-ungkapan revolusioner yang itu-itu juga. Saat itu pembawa acara yang sedang berbicara di depan mikrofon.

"Hari ini merupakan hari bersejarah," katanya. "Kita mendapat kesempatan mendengarkan kata-kata pemimpin kita mengenai ofensif baru untuk membangun bendungan. la akan berbicara tentang semangat perjuangan revolusioner serta kesediaan berkorban! Marilah kita tunjukkan betapa kita dengan penuh tekad menemukan nasib kita sendiri! Marilah kita pamerkan kesetiakawanan kita pada tujuan Angka untuk membangun kembali negara kita! Kita persilakan Sama Mit Vanh dan kita sambut dengan tepuk tangan meriah!"

Semua, ikut saja bertepuk tangan, sementara seseorang bertubuh bungkuk maju ke mikrofon. Di antara orang-orang yang sepuluh ribu di tempat itu, hanya aku dan Huoy saja yang mengetahui identitas orang itu yang sebenarnya, yaitu Chea Huon. Bagi yang selebihnya, dia itu Sama Mit Vanh. "Vanh" adalah nama samaran revolusionernya. "Sama Mit", yang berarti "Kawan Sesama", merupakan gelar kehormatan yang hanya diberikan kepada para pejabat tinggi. Aku sudah selalu heran, apa sebabnya para bos disebut Kawan Sesama; iru merupakan satu ketidakkonsekuenan gila lagi dari Khmer Merah.

"HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" Chea Huon berteriak di depan mikrofon. Suaranya yang dikumandangkan lewat alat-alar pengeras suara menggema dipantulkan dinding-dinding gunung.

Kami buru-buru berdiri dan menjawab, "Hidup Revolusi Kampuchea!" sambil memukulkan kepalan tangan kanan ke dada, lalu mengacungkan lengan lurus-Iurus.

"HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" seru Chea Huon mengulangi. Kami membalas. "HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" serunya untuk ketiga kali, dan kami menjawab lagi. Kemudian diserukannya slogan-slogan revolusioner yang lain-lain, masing-masing tiga kali; dan kami menjawab secara otomatis seperti gema yang dipantulkan gunung, sambil mengacung-acungkan tangan yang terkepal. "Hidup solidaritas besar!" "Hancurkan kapitalis Amerika!" "Hidup loncatan besar ke depan!" "Hidup kesejahteraan luhurl" "Hidup kegemilangan agung!"

Kemudian Chea Huon mulaì berpidato, ketika semua sudah duduk lagi. la berbicara dengan suara lembut, meski ia mengangkat-angkat kedua tangannya yang dikepalkan untuk memberi penekanan pada kata-katanya. Aku masih ingat gerak-geriknya itu yang juga sudah biasa dilakukannya sewaktu masih mengajar di Takeo dulu.

Perasaan heranku masih juga belum hilang. Bekas guruku, yang pernah membantuku ketika aku masih remaja dulu, kini muncul sebagai pemimpin musuh-musuhku.

Soalnya bukanlah bahwa Chea Huon yang membunuh ayah dan abangku. Tentang itu ia tidak bisa sepenuhnya dipersalahkan, Chev, yang duduk di atas panggung sambil tersenyum dan mengangguk-angguk - dialah yang lebih bertanggung- jawab secara langsung atas kematian mereka. Tentu saja Chea Huon sebenarnya bisa mencegah agar jangan sampai sebegitu banyak yang dibunuhi oleh Chev; tapi di garis depan ketua koperasi memiliki kewenangan yang besar. Kamilah yang sial, mendapat Chev sebagai pemimpin, dan bukan orang seperti Paman Seng yang pada dasarnya baik hari.

Tidak, yang paling menyebabkan aku heran mengenai Chea Huon adalah perubahan yang terjadi pada wataknya. Dia itu intelektual pertama yang kukenal. la sangat pintar. Tapi jika ia pintar, mustahil ia percaya akan kata-kata yang diucapkannya yang ditujukannya kepada kami dalam upacara peresmian bendungan itu.

la memulai dengan cerira temang kemenangan atas kaum kapitalis Amerika: bagaimana para patriot berjuang melawan agresor-agresor Amerika, mula-mula dengan "tangan kosong". kemudian dengan parang dan panah, dan berhasil mengusir mereka dari Kamboja, atau Kampuchea, menurut istilah yang dipakai Khmer Merah. Padahal itu bohong. Chea Huon tahu bahwa itu bohong. Amerika boleh dibilang tidak pernah bcrtempur secara langsung melawan Khmer Merah. Pasukan-pasukan darat Amerika hanya pernah beberapa bulan saja ada di Kamboja, pada tahun 1970, memerangi pasukan-pasukan Vietnam Utara. Serangan-serangan bom Amerika Serikar- sudah dihentikan tahun 1973, dua tahun sebelum pihak komunis merebut kekuasaan.

Tapi Chea Huon tidak peduli terhadap fakta-fakta. Khmer Merah terus-menerus mengulangi mitos bahwa mereka mengalahkan Amerika, sehingga akhirnya mereka sendiri ikut percaya bahwa itu benar. Mereka perlu mempercayainya, karena itu merupakan landasan program mereka untuk membangun negara. Bagi mereka, mengalahkan negara adikuasa merupakan bukti bahwa mereka, Khmer Merah, merupakan makhluk-makhluk unggul, mirip superman. Jika negara adikuasa terbesar di dunia bisa mereka kalahkan, maka itu berarti mereka mampu.berbuat apa saja. Tidak ada yang bisa menahan mereka. Tidak ada yang bisa merintangi. Logika tidak bisa. Akal sehat juga tidak. Bahkan kaidah-kaidah fisika pun tidak. Dan jika mereka itu superman, maka mestinya kami, budak-budak perang mereka, bisa bekerja dua puluh jam sehari tanpa mengeluh.

Chea Huon mengatakan bahwa meriam-meriam penangkis serangan udara akan menembak jatuh setiap pesawat terbang Amerika yang berani melintas di atas wilayah Kamboja, dan menguburnya ke dalam laut. Aku berpikir, begjtu ya, Keparat? Aku ingin melihat apa yang sesungguhnya akan terjadi seandainya orang-orang Amerika benar·benar datang Iagi. Kubayangkan pesawat-pesawat tempur jet Amerika muncul dan terbang rendah di atas pepohonan, lalu panggung itu hancur berantakan disertai kepulan asap hitam dan kobaran api. Jika aku juga ikut hancur, bagiku itu tidak apa-apa.

Chea Huon mengatakan, "Kampuchea Demokratik tidak takut terhadap agresor yang mana pun juga. Saat ini prajurit-prajurit kita berjaga-jaga di perbatasan, siap untuk menangkis agresor-agresor imperiaiis." O ya? kataku dalam hati. Kudoakan agresor-agresor imperialis itu, semoga mereka berhasil. Siapa pun juga mereka itu. Mungkin saja Khmer Serei. Aku mendengar desas-desus bahwa sementara itu mereka sudah menghimpun kekuatan di daerah dekat perbatasan dengan Thailand. Kenapa tidak kaukatakan kepada kami siapa agresor-agresor itu, Chea Huon? la tidak mengatakannya.

Satu jam lamanya ia bicara terus, lalu dua jam, dan semuanya propaganda. Persis sama dengan pidato-pidato di radio, kata demi kata. "Di bawah rezim Lon Nol yang biangnya fasis, biangnya imperialis, yang luar biasa korupnya, kita tertindas dan tidak pernah mengenal kebahagiaan." ltu juga omong kosong. "Di bawah pimpinan Angka yang gemilang, kita kini sudah memasuki zaman baru, sebagai tuan di negeri sendiri, berkuasa atas tanah, air, sawah. dan nasib kita sendiri, bekerja bahu-membahu untuk meraih kemerdekaan berdaulat." Bagi kami tidak ada hal-hal baru dalam pidato Chea Huon ilu. la hanya membuktikan kepatuhannya terhadap rezim. Seperti yang dikatakannya kepadaku ketika aku sedang menebang pohon untuk mendongkrak roda-roda jipnya yang terperosok dalam lumpur dan para. pengawalnya datang mendekat! "Kita harus berjuang di segala medan tempur. Kita harus berjuang menguasai alam." Kata-kata itu tidak ada maknanya sama sekali-kecuali menyatakan bahwa ia patuh terhadap Angka. Aku heran, apà sebabnya orang yang berkedudukan setinggi dia mau begitu sibuk memamerkan kepatuhannya.

Akhirnya, sesudah lebih dari dua jam berpidato, ia mulai bicara tentang bendungan. "Ini merupakan proyek besar," katanya. "Nanti jika sudah selesai dan gunung-gunung sudah kita sambung-sambungkan, kita akan memiliki persediaan air untuk setahun penuh. Air itu akan kita manfaatkan untuk menanam padi sebanyak dua atau bahkan tiga kalì setahun. Kita takkan pernah kelaparan lagi. Kita akan bisa makan nasi kapan saja kita mau, siang dan malam."

"Pembohong," gumamku.

'''Tapi,” demikian katanya, sambil mengepalkan kedua tangan yang terangkat, "bendungan itu tidak hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian saja. Tidak. Kawan-kawan! Airnya juga akan menggerakkan turbin-turbin untuk membangkitkan energi listrik! Rakyat dari sini sampai di perbatasan dengan Thailand, di kota-kota, di desa-desa dan di dalam rimba, semua akan bisa memanfaatkan aliran listrik!"

Kupandang sepotong kecil bendungan yang sudah selesai dibangun, lalu beralih ke bentangan luas tanah kering yang ada di sekeliling. Semen saja tidak ada, untuk membangun bendungan itu. Bahan yang tersedia hanya tanah liat. Kami tidak punya buldoser untuk menggali, yang ada cuma cangkul. Proyek-proyek kami di garis depan yang sebelum itu, semuanya gagal. Saluran-saluran ternyata tidak berhasil mencegah banjir. Ada juga percobaan yang dilakukan dengan asal-asalan untuk menggunakan air yang ada dalam saluran-saluran guna mengairi sawah untuk menanam padi pada musim kemarau, tapi tanaman padinya kemudian mati. Dan bendungan yang hendak dibangun itu menurut rencananya akan jauh lebih besar daripada proyek mana pun juga yang pernah kami usahakan pelaksanaannya- sama besar skalanya dengan bendungan-bendungan raksasa untuk membangkitkan energi listrik di Amerika dan Eropa. Aku disikut oleh Huoy, dan perhatianku kembali kuarahkan ke panggung.

"Lalu apabila energi listrik sudah kita miliki, kita akan membangun pabrik-pabrik," kata Chea Huon saat itu. "Kita bahkan tidak memerlukan gerobak-gcrobak sapi lagi! Setiap keluarga akan memiliki paling sedikit sebuah mobil. Dan setiap rumah akan diperlengkapi dengan lampu-lampu listrik, yang bisa kita nyalakan kapan saja kita mau! Tapi tidak hanya itu saja-sesudah pabrik-pabrik kita bangun, kita akan mcmbangun gedung-gedung pencakar langit di dekat bendungan! Siapa saja yang ingin tinggal di situ, akan mcndapat satu apartemen! Negara kita akan berkembang maju! Pabrik-pabrjk kita akan membuat buldoser-buldoser dan traktor-traktor untuk kira sendiri! Kita akan menggunakan mesin-mesin kira untuk melakukan segala pekerjaan yang perlu dilaksanakan! Dan kita takkan perlu lagi mengerahkan tenaga manusia untuk bertani!

"HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" teriaknya, dan kerumunan mahusia yang berpakaian compang-camping berdiri lalu dengan patuh menyerukan kara-kata yang ingin didengarnya.

"HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" Di atas panggung, lelaki tua bertubuh kurus itu, begiru pula Chev serta para pemimpin yang selebihnya saling berlomba-Iomba menunjukkan antusiasme mereka, mengacung-acungkan rangan yang terkepal.

 "HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" Di tempat yang dikarakan nanti akan ada kota dengan gedung-gedung pencakar langit, pabrik-pabrik, dan mobil-mobi! mengkilat, nampak dua mesin saja di atas tanah liat: sebuah generator, untuk mengumandangkan kata-kata Chea Huon, dan sebuah jip untuk membawanya pergi lagi nanti. Mudah-mudahan saja ia lekas-Iekas pergi, kataku dalam hati. Chea Huon yang dulu kukenal, kini sudah tidak ada lagi. Jasadnya kini menjelma menjadi boneka bernama Sama Mit Vanh.

"HIDUP KESEjAHTERAAN LUHUR!" Beri aku nasi untuk dimakan.

"HIDUP KEGEMILANGAN AGUNG!" Beri saja aku nasi. Dan persetan dengan impian konyolmu.

***************

Dalarn rangka penyediaan tenaga kerja untuk pelaksanaan proyek bendungan. sekali lagi dilakukan reorganisasi garis depan. Beberapa koperasi, termasuk pula kami, digabungkan menjadi satu koperasi besar yang pusatnya ditempatkan di sebelah lokasi bendungan. Huoy ditarik dari tempat kerjanya yang semula di dapur. la dijadikan tenaga kerja di bendungan, dengan tugas mengangkat keranjang-keranjang berisi tanah galian. la harus bekerja lebih keras dari sebelumnya, dengan waktu kerja yang lebih panjang, sementara jatah makanan lebih sedikit.

Nasibku lebih baik. Reguku - dengan orang-orang yang sama sejak kami membantu mengangkat jip Chea Huon yang terperosok dalam lumpur - ditugaskan membangun rumah-rumah di garis belakang. Karena kini sedang dibangun sebuah bendungan hidro-elektronik dan daerah situ sedang memasuki tahap pembangunan yang baru, di desa-desa yang dekat perlu disediakan perumahan permanen untuk orang-orang "baru" dan "lama". Bentuknya tetap rumah panggung yang tradisional, rapi cukup untuk ditempati riga sampai empat keluarga, tidak untuk satu keluarga saja. Pekerjaan pembuatannya gampang. Papan-papan bekas kami sambung-sambung dengan menggunakan paku-paku bekas. Kami masa bodoh saja jika tiang-tiangnya tegak di atas lumpur dan bukan di atas pondasi, atau jika kami sudah pindah ke rumah berikut sementara masih ada bagian atap yang belum selesai. Kami hanya mengikuti perintah saja. Kami tidak perlu bekerja pada malam hari. Kami tidak perlu terlalu sering menghadiri rapat politik. Kami bekerja berpindah- pindah dari desa yang satu ke desa berikut, dan tidur di rumah-rumah yang kami bangun.

Bagiku, kehidupan menjadi lebih enak dari sebelumnya. Kesehatanku baik. Tubuhku kurus tapi ulet; dan luka-luka karena infeksi yang terdapat di tubuhku sembuh juga akhirnya. Hanya ada satu yang kusesali, yaitu bahwa aku terpisah dari Huoy. Aku minta izin agar diperbolehkan kembali bergabung dengan dia. Aku menawarkan diri untuk dipekerjakan di bendungan. Tapi permintaanku sedikit pun tidak diacuhkan oleh pimpinan. Bagi mereka, orang-orang "baru" merupakan makhluk-makhluk rendah, musuh politik yang perlu dicurigai. Jika permintaanku mereka luluskan, maka itu secara tidak langsung berarti mengakui bahwa aku setingkat dengan mereka. Mereka tidak mungkin bisa meluluskan permintaanku, tanpa kehilangan muka.

Jika keadaan kami, aku dan Huoy, seperti kebanyakan suami-istri orang "baru", hidup terpisah itu takkan menjadi pikiran bagiku. Beban pekerjaan yang berat, kekurangan pangan, dan tidak adanya kehidupan berkeluarga yang normal, menyebabkan rusaknya kehidupan dari kebanyakan orang-orang itu sebagai suami-istri. Tidak banyak lagi yang tersisa, yang bisa membuat pernikahan tetap uruh. Hubungan seksual belum sampai sama sekali lenyap, tapi hanya seadanya saja, karena selain tenaga yang sudah hampir tidak ada, peluang untuk bisa menyendiri pun nyaris tak terdapar. Dalam hati setiap orang tersembunyi rasa takut. Mereka mencemaskan keselamatan diri sendiri, dan mereka tidak mempercayai siapa saja, termasuk teman hidup mereka sendiri.

Aku dan Huoy lain keadaannya. Setiap ada waktu luang, kami selalu bersama-sama. Kami berjalan-jalan sambil mengobrol dan mencari segala sesuatu yang bisa dimakan. Kami berbagi makanan yang ada. Kami juga bertengkar seperti biasanya suami dan istri, tapi tidak lebih dari itu. Takkan mungkin bisa kulupakan bagaimana Huoy merawat diriku ketika aku jatuh sakit dan ketika aku kembali dari penjara. Aku memerlukan dia. Aku mengandalkan diri pada kebijaksanaannya. Setiap hari ia menyuruh aku tutup mulut, menanam pohon kapuk. Dan ia memerlukan aku, untuk mencegah agar ia jangan sampai dikalahkan rasa takut dan kemurungan.

Beberapa minggu setelah aku dipindahkan ke tugasku yang baru, aku sudah mulai bolak-balik dari tempat kerjaku ke bendungan, unruk bisa tidur menemani Huoy. Aku tidak minta izin untuk itu. Jika sampai ketahuan serdadu-serdadu, mereka pasti membunuhku. Tapi keadaan relatif damai waktu itu di sana. Aksi pembersihan jarang terjadi, dan hampir tidak ada penjagaan pada malam hari. Selain itu aku juga tidak peduli apa yang mungkin terjadi dengan diriku, apabila tidak bisa bersama Huoy.

Penyelinapanku malam-malam itu kulakukan bersama seorang lelaki bernama Som, yang seregu dengan aku. Kami bersama-sama bekerja membetulkan jalan dan pematang, menanam padi, bercakap- cakap tentang makanan yang kami rindukan. Dan kini kami kerjakan bersama-sama lagi, membangun rumah-rumah. Sepeni aku juga, ia pun ingin tidur bersama istrinya, yang bekerja seregu dengan Huoy di bendungan.

Som berasal dari Phnom Penh. Dia itu tergolong intelektual. Kedua hai itu bisa kuketahui dari logat dan kata-kata yang dipakainya. Dari semula aku juga sudah merasakan bahwa dia itu idealis, dan juga pembangkang. Tapi ia tahu lebih banyak tentang diriku.

Suatu hari ketika kami sedang berdua saja, Som mengatakan bahwa aku dikenalinya. la pernah berjumpa aku dulu, di rumah sakit militer di Phnom Penh. Hatiku langsung kecut mendengarnya. Kukatakan bahwa itu tidak mungkin, karena aku dulu sopir taksi. Setiap kali terlintas dalam pikiranku untuk mengaku bahwa aku sebenarnya dokter, aku langsung teringat lagi kepada Pen Tip. Sekali-sekali aku masih berjumpa dengan dia, dan setiap kali terasa sulit sekali menahan kemarahan yang sudah nyaris meledak.

Som menyingsingkan lengan kanan kemejanya. Ditunjukkannya bekas luka yang ada di lengannya. Katanya ia luka kena pecahan peluru meriam Khmer Merah, dan aku yang melakukan pembedahan umuk memulihkan fungsi lengannya itu. Ketika serdadu-serdadu Khmer Merah menyerbu rumah-sakit rumah-sakit tanggal 17 ApriI 1975; waktu itu ia sedang menjalani terapi perenggangan. Penyerbuan itu menyebabkan ia terpaksa meninggalkan rumah sakit, dan tulangnya yang cedera tidak bisa sepenuhnya pulih. Kini kemampuan kerja lengan kanannya yang nampak bengkok dan mengecil hanya sekitar 70 persen.

Aku tidak ingat apakah aku pernah melakukan pembedahan terhadapnya, karenanya mula-mula aku menyangka bahwa ia berbohong. Tapi !amakelamaan nampak jelas bahwa Som tidak bermaksud membuat aku runduk kepadanya. la juga tidak berusaha mencari muka kepada Khmer Merah. Setiap kali ada kesempatan, ia memaki-maki di belakang punggung mereka karena menyebabkan kami sengsara. la jauh lebih blakblakan ketimbang aku. la bercerita bahwa ia pernah selama bertahun-tahun jadi bhiksu, tapi kemudian.keluar karena ingin kuliah. la menguasai beberapa bahasa asing. Kemudian ia menjadi guru bahasa di Kedutaan Besar Amerika di Phnom Penh.

Orang yang sebetulnya informan, takkan mungkin mau membeberkan latar belakangnya yang seperti itu. Menjadi bhiksu merupakan hal yang dinilai kontrarevolusioner. Pernah menjadi pegawai Kedutaan Besar Amerika sudah cukup sebagai alasan untuk digiring masuk ke hutan dan tidak kembali lagi. Aku mengamati-amati Som, unruk melihat tanda-tanda bahwa dia itu sebenarnya chhlop. Tapi aku tidak menemukannya. Kami kemudian menjadi teman. Kadang-kadang, apabila sedang tidak ada orang lain, ia berbicara dalam bahasa Inggris untukku. Kedengarannya mirip penyiar radio dari pemancar "Voice of America". Aku tidak memahami kata-katanya, kecuali sekali-sekali jika ada kata yang mirip bahasa Prancis. Tapi aku ingin bisa mengerti.

Di antara buku-buku yang kubungkus dengan plastik dan kusembunyikan dalam lubang di tanah, ada satu buku pelajaran dasar bahasa Inggris untuk orang yang berbahasa Prancis. Buku itu kuperoleh sewaktu masih di Phum Chhleav, kutukar dengan ketam. Entah apa sebabnya aku mau melakukan pertukaran itu. Huoy sudah sering menyuruh aku menyingkirkan buku itu, dengan alasan jika sampai ketahuan bahwa aku menyimpannya, ada kemungkinan aku akan dibunuh. Kini aku baru sadar, apa sebabnya aku menyimpannya terus. Aku ingin belajar bahasa Inggris.

Tentu saja itu niat yang edan. Aku ingin belajar apa saja, sesuatu yang baru, untuk menjaga jangan sampai otakku menjadi tumpul. Aku merasa lebih perlu memakai otakku, ketimbang memukul-mukul paku dengan martil untuk Angka. Tapi masih ada alasan lain. Inggris itu bahasa musuh. Mempelajarinya merupakan perbuatan subversif. Kuminta kepada Som agar ia mengajari.

Pada waktu kerja kami berdua sibuk membangun rumah, bersama sekitar tiga puluh orang lagi. Apabila hari sudah petang, ketika lonceng sudah berbunyi, para pekerja meletakkan peralatan mereka, lalu aku dan Som bersiap-siap mendatangi istri kami masing-masing.

Setelah makan dengan buru-buru di dapur umum, kami berjalan menuju danau yang ada di dekat situ, seolah-olah hendak mandi. Dari danau kami memotong ke sebuah saluran yang panjang dan lurus berisi air yang keruh. Matahari yang seperti bola berwarna jingga, yang sudah hampir terbenam, tercermin di permukaannya. Burung-burung berkicau, dan burung layang-Iayang beterbangan menukik dan membubung lagi di atas air, menyambar serangga. Suara kodok langsung lenyap ketika kami datang. lalu terdengar kembali begitu kami sudah lewat.

Ketika kami sudah jauh terjalan, kukeluarkan dari kantongku beberapa halaman yang kurobek dari buku pelajaran bahasa Inggrisku itu. Kami sudah sampai di Huitiéme leçon, atau seperti yang tertera dalam bahasa Inggris di halaman yang berhadapan, "Pelajaran Kedelapan". Dengan lancar kubaca kalimat-kalimat Prancis yang tertera: 1. Puis-je vaus aider?
2. Avez-vaus du thè?
3. Bien sur. En voulez-vouz?

Setelah itu kutunjuk kalimat-kalimat bahasa Inggrisnya dan kuminta, dalam Khmer, kepada Som untuk melafalkannya.

Dibacanya kalimat yang pertama. "Can I help you?'" ucapnya dalam bahasa Inggris yang mestinya beraksen Kamboja.

''Can I help you?'" ucapku mengikuti.

Setelah itu Som membacakan kalimat kedua: "Have you got any tea?'"

"Haf jou enny tea?'" kataku mengikuti. Tea, itu kata yang mudah. Serupa dengan thè dalam bahasa Prancis, hanya sedikit berbeda lafalnya. Dan juga mirip dengan dalam bahasa Khmer, dalam dialek Teochiew, dan tidak jauh bedanya dari cha dalam bahasa Mandarin. Pelajaran dilanjutkan: kalimat-kalimat Inggris diberi nomor berurutan dengan suku kata yang harus diberi penekanan dalam mengucapkannya ditulis dengan huruf-huruf tebal. Som menjelaskan bahwa yang diajarkan adalah bahasa Inggris orang Inggris. Jadi bukan bahasa orang Amerika.

3. Of course. Do you want some?
4. Yes, please. Give me two pounds. And a packet of biscuits.
5. Do you want some beans?
6. No, thanks. We've got some at home.
7. Well, some bread?
8. Yes, please. Two loaves. Oh, and a pound of butter. That's all.
9. How much is that?
10. That's one pound twenty.
11. Oh, dear, l've only got one pound.
12. You can pay the rest next time.
13. Thanks very much. Good-bye.
14. Good bye, madam.

Begitu banyak makanan! Makanan ekstra! Dan orang-orangnya, begitu sopan! Membayar lain kali pun boleh! Hanya agak membingungkan, orang inggris menggunakan kata "pound" untuk menyatakan bobot dan juga uang. Tapi menurut Som, dalam kehidupan sehari-hari kenyataannya tidak begitu.

"Mereka menggunakan dollar," kataku dalam bahasa Khmer. Som mengangguk dengan sikap serius.

"Aku suka dollar," kataku beberapa saat kemudian. Aku teringat pada uang dua ribu enam ratus dollar yang kubawa kembali dengan skuterku dari Phnom Penh, bersama obat-obatan dan emas. Di garis depan, beberapa kali aku menukarkan

lembaran uang seratus dollar dengan gadung. Yang mengherankan bagiku bukan bahwa uang Amerika begitu rendah nilainya, tapi sebaliknya -bahwa uang itu masih ada juga nilainya dalam masyarakat yapg menganggap sistem pembayaran dengan uang tidak berlaku lagi dan yang tidak mengadakan hubungan dengan dunia luar. Tapi begitulah kenyataannya - ada sesuatu yang sangat istimewa tentang Amerika, yang membangkitkan harapan dan kepercayaan. Amerika. Negara itu pasti bagus sekali, sangat menyenangkan. Begitu banyak yang bisa dimakan, dan cara bergaulnya begitu sopan.

"Yes, pliss,'" ucapku lagi sambil membaca,

" Two loaves. Oh, and half a pound of butter."

Saat itu aku merasa biasa-biasa saja, berjalan menyusur saluran bersama Som dan menanyakan cara melafalkan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris.

Kami sampai di bendungan. Kami mengitari tempat rapat dengan orang-orang "baru" yang mendengarkan pidato-pidato dengan sikap pasrah. Kata-kata yang disampaikan selalu yang itu itu saja: orang-orang yang malas merupakan musuh revolusi. Para pengkhianat itu menyebabkan keadaan ekonomi negara sangat payah. "Harap bertepuk tangan," kata orang yang berbicara, disusul bunyi tepuk tangan lesu.

Tidak ada yang melihat ketika kami berdua masuk ke rumah panjang yang boleh dibilang sedang kosong. Para penghuni kebanyakan masih ada di tempat kerja, atau sedang menghadiri rapat. Aku mendatangi tempat tidur gantung Huoy lalu berbaring di dalamnya. Kuturunkan kelambu rnenyelubungi diriku. Kelambu itu yang kami bawa dari Phnom Penh dulu. Kini sudah penuh tambalan, dan sudah hampir hitam warnanya karena kena asap api. Masih memiliki kelambu, merupakan kemewahan waktu itu. Orang-orang yang lain mengusir nyamuk dengan cara membakar tumpukan sekam. Sisi bawah atap yang rendah dan miring memantulkan sinar merah yang datang dari sekian banyak api yang dinyalakan, dan kepulan asap memenuhi ruangan.

Di luar terdengar lagi bunyi tepukan-tangan, dan akhirnya Huoy datang.

"Bagaimana kamu hari ini, Sayang?" tanyaku. "Cukup banyak jatah makananmu? Bagaimana dengan kesehatanmu?".

"Lumayanlah, hari ini. Kau sudah lama datang?" la mengambil kain handuknya serta sekaleng sabun buatan sendiri, lalu mencuci muka dan tangannya.

"Tidak. baru saja." Aku suka melihat Huoy membersihkan diri. la mendapat sebuah resep tradisional untuk membuat sabun: kulit buah kapuk yang banyak kandungan garam abunya dibakar, lalu abu itu direndam dalam air. Huoy selalu bersih. Bahkan pakaiannya pun bersih.

la menukar celana dan baju kerjanya yang berwama hitam dengan sarung yang dipakainya untuk tidur. la mencuci kaki, menyingkap tepi bawah kelambu lalu menyusup masuk sambil memeluk bantalnya. Seorang tetangga yang selengan jauhnya dari kami berkata, Asyiknya! Pasangan yang saling mencintai! Kau selalu datang menjenguk binimu, ya, Samnang?"

Aku tahu siapa Ielaki yang berbicara itu. Orangnya ramah, seperti kebanyakan yang seregu dengan Huoy.

"Kenapa tidak?" jawabku. "Sembilan puluh sembilan persen kuberikan kepada Angka, tapi saru persen sisanya kupertahankan. Biniku, untukku sendiri."

Orang yang ada di sisi lainnya dari tempar ridur kami berkata, .. Aiii! Mudah-mudahan yang satu persen dari dirimu itu eukup besar dan panjang untuk memuaskan binimu."

Aku nyengir dalam gelap. "Aku tidak semujur itu," kataku. "Biniku benci sekali padaku. Menyentuhnya saja aku tidak boleh. la mengatakan tidak mau diganggu."

Seisi rumah panjang tertawa mendengarnya. Aku selalu bercanda dengan mereka, untuk melewatkan waktu dan untuk mengusir pikiran-pikiran lain yang merongrong.

Tubuh Huoy yang lembut ditempelkan ke tubuhku, dan ia menciumi pipiku. Ini satu-satunya kesempatan bagi kami untuk berkumpul, sejak ia bekerja di bendungan. la mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berbisik, "Bagaimana jatah makananmu hari ini?"

Aku menjawab dengan berbisik pula, "Lumayan. Seperempat saat makan malam tadi." Nasi sekaleng susu dibagi empat, itulah maksudku dengan kata seperempat itu. Tapi pikiranku tidak ke situ saat itu.

"'Yang," bisikku dengan pelan sekali, sehingga bahkan Huoy pun nyaris tidak mendengarnya, "aku ingin ke Amerika." Kami sama-sama membalikkan kepala, sehingga kini mulutnya ada di dekat telingaku. "Kau gila," katanya.

Kami sama-sama membalikkan kepala lagi. "Aku tahu," bisikku di telinganya. "Tapi kita harus ke sana, pada suatu waktu nanti."

Pelajaran bahasa oleh Som menyebabkan aku mulai berpikir-pikir tentang Amerika. Di sana makanan berlimpah-ruah. Negara yang sangat maju. Di Amerika, bendungan dibangun dengan menggunakan beton yang sejati, di rumah-rumah benar-benar ada aliran listrik, gedung-gedung pencakar langit bukan hanya angan-angan belaka. Pekerjaan yang berat-berat dilakukan dengan mengerahkan buldoser dan traktor. Amerika begitu berbeda dari Kamboja, seperti sorga dan neraka.

"Aku mendingan jadi anjing di Amerika, ketimbang jadi manusia di Kamboja," kataku lagi.

Jari-jari tangan Huoy menyentuh pelipisku lalu didorongnya pelan, lalu ia berbisik lagi di telingaku. "Dari mana kau bisa tahu?" katanya. "Kau kan belum pernah pergi ke luar Kamboja."

"Pokoknya aku tahu. Biarkan aku berangan-angan sendiri." Kupejamkan mata, lalu kubayangkan betapa rasanya jadi anjing di Amerika. Asyiknya. Tangan-tangan manusia menepuk-nepuk tubuhku dan mengelus-elus buluku. Mereka takkan memukul atau menyiksaku. Majikanku akan menaruh makanan banyak-banyak di piringku, dan aku boleh makan kapan saja aku mau. Jika aku sakit, mereka akan membawaku ke dokter hewan. Aku sama sekali tidak perlu bekerja.

"Kau mau tahu angan-anganku?" bisik Huoy dengan suara mengantuk.

"Kau ingin punya toko yang menjual jajanan," kataku menebak.

"Pertama-tama, aku ingin punya anak. Jika rezim ini nanti sudah digulingkan, aku ingin punya anak banyak-banyak lalu bersamamu membesarkan mereka di rumah yang bagus, dengan makanan yang banyak. Tapi jika anak-anak nanti sudah sampai umurnya untuk bersekolah, aku akan membuka toko yang menjual jajanan. Aku akan masak makanan saja, punya makanan yang enak-enak, dan tinggal di kota."

"Aku lebih suka jadi anjing di Amerika," kataku.

Sementara sinar merah dari nyala api sekam untuk mengusir nyamuk memantul dari sisi bawah atap, terdengar suara orang-orang di sekeliling kami yang sudah masuk ke tempat ridur masing-masing. Dengkuran mulai terdengar. Kudekati Huoy lalu kucium, tapi ia tidak bereaksi. Bunyi napasnya teratur. Semenit kemudian la sudah tidur nyenyak.

Begitulah biasanya. Aku mendatanginya di tempat tidur gantung, lalu kami bercakap-cakap selama beberapa menit dan kemudian ia tertidur. la capek sekali. Tapi kami punya acara istimewa, beberapa minggu sekali. Setelah membungkam mulut pemimpin regu mereka dengan pemberian tembakau pembagian, malam-malam Huoy dan istri Som pergi mendatangi kami. Berempat kami menikmati makanan yang terdiri dari berbagai jenis bahan pangan paling sedap yang bisa ditemukan di luar. Setelah itu kami pergi tidur. Aku dan Huoy di satu sisi dari lantai sebuah rumah yang baru selesai sebagian, sementara Som dan istrinya di sisi yang lain. Kemudian hanya lantai papan di bawah kami saja yang terdengar berderik-derik. Tapi umumnya Huoy baru pukul sepuluh malam pulang ke rumah panjang. Ia begitu capek pada saat-saat itu, sehingga begitu berbaring langsung tertidur.

Pukul dua dinihari kami dibangunkan oleh pemimpin regu. "Bangun, bangun! Semuanya bangun! Kita bekerja kembali!" teriaknya. Agar bendungan cepat selesai, masing-masing pekerja hanya tidur empat jam sehari, dan dua puluh jam selebihnya bekerja atau pergi menghadiri rapat politik.

Huoy terhuyung-huyung bangun, mengenakan sandal jepit, mencuci muka lagi, menukar pakaian dan menyisir rambut. la temyata berhasil menyesuaikan diri dengan jadwal kerja itu, tanpa sampai jatuh sakit. la berjalan menyusul regu kerjanya, membawa cangkul dan sebuah tempat dari plastik berisi air mendidih. Aku ikut untuk menemaninya. Aku pun memang harus bangun, beberapa jam lagi.

Regu Huoy yang terdiri atas sekitar tiga puluh pria dan wanita mulai menggali dekat sisi sebelah dalam bendungan. Keadaan di sini mirip dengan sewaktu membuat saluran. Para pekerja yang lelaki mencangkuli tanah liat dengan gerakan lamban, sementara yang wanita mengumpulkan tanah yang sudah digali dengan cangkul mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang-keranjang. Aku duduk di tanah sambil memukul-mukul nyamuk yang hinggap di Iengan dan mukaku. Apabila sudah cukup banyak keranjang yang terisi, regu itu membentuk rantai manusia dan secara sambung-menyambung membawa keranjang- keranjang berisi tanah itu sampai ke atas bendungan. Jika pekerjaan itu sudah selesai mereka kembali lagi ke tempat-tempat semula lalu duduk memeluk lutut, dalam keadaan istirahat yang tidak bisa dibilang benar-benar tidur, karena sebagian dari kesadaran mereka masih tetap waspada, berjaga-jaga kalau ada serdadu datang.

Dari segala arah di dinding bendungan terdengar bunyi samar orang mencangkul dan bercakap- cakap dengan suara pelan. Ribuan orang yang bekerja di situ, meski dalam gelap mereka hanya nampak berupa bayangan gelap belaka. Sosok seorang serdadu memakai topi Mao muncuI, berjalan di atas bendungan. Saat.itu juga terdengar suara-suara para budak perang. Mereka berbicara dengan suara cukup keras, sehingga bisa didengar serdadu yang hanya seorang diri itu.

"Hei, Kawan, ayo bekerja! Nanti kau kuberi jatah ekstra!”

"Kawan, hati-hati jika melakukan lompatan besar ke depan! Nanti jatuh ke dalam lubang, bisa patah lehermu!'" ' Serdadu itu tidak menjawab. la terus saja berjaIan. la hanya seorang diri, dan dalam kegelapan itu ia tidak bisa mengetahui siapa-siapa saja yang berbicara itu.

Kukeluarkan arlojiku dari kantong kecil yang ada di sebelah dalam pinggang celanaku. Dengan mata terpicing, samar-samar masih bisa kulihat jarum-jarumnya untuk mengetahui waktu saat im. Hampir pukul empat.

“Aku harus pergi. Sayang." kataku kepada Huoy. Ucapanku itu didengar lelaki yang tidur bersebelahan dengan kami di rumah panjang.

"Kenapa buru-buru, Samnang? Kau tidak ingin tetap tinggal di sini, memukul-mukul nyamuk dan memaki serdadu-serdadu?"

Orang-orang itu tahu bahwa aku suka bercanda, Membanyol. Kulayani mereka. "Jangan begitu, dong," jawabku. "Berpalinglah sebentar, supaya aku bisa mencium biniku."

Bagi mereka aku ini orang yang sudah pasrah menerima nasib, tapi bisa membanyol mengenainya. Dan kenapa tidak? Semua sudah begitu capek, sehingga rasanya tidak ada apa-apa lagi yang perlu dijadikan pikiran. Apalagi bekerja, itu urusan yang paling sepele. Jika Raja Maut memutuskan hendak menjemput kami, kami tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghindari; tapi selama kami belum mati, ia tidak bisa melarang kami tertawa.

Kata-kataku mengundang jawaban-jawaban yang datang dari berbagai sudut gelap:

"Bolehkah aku melihat saat kau menciumnya? Sudah lama aku tidak melihat yang begituan.”/

"Kau boleh menciumku, jika kau tidak keberatan," kata seorang wamta sambil mencekikik. "Aku sudah gatal sekali, sampai bingung mau diapakan. "

"Kenapa kami harus berpaling? Kalian berdua, selalu saja peluk-pelukan dan cium-ciuman."

"Dan tolong," kataku kepada mereka, "tutup telinga kalian, supaya aku bisa mengatakan betapa besarnya cintaku kepadanya."

"Aiiih! Hebamya dia itu main cinta ... "

"Katakan padanya, Samnang."

"Aku pergi sekarang, Sayang," kataku dengan suara pelan kepada Huoy, yang membalikkan tubuhnya sedikit karena malu. "Kita akan bertemu lagi pada saat yang sama nanti malam." Kusentuh bahunya dengan lembut.

Aku kembali ke rumah panjang, untuk membangunkan Som yang masih tidur. Kami ke luar, lalu berjalan menyusur jalan tanah. Kami mengambil jalan pintas ke tempat kerja kami, karena tahu bahwa sepagi itu kami takkan berjumpa dengan serdadu-serdadu.

Langit di sebelah timur sudah mulai terang ketika aku dan Som sampai di tempat kerja kami. Aku menaiki tangga sebuah rumah yang baru setengah jadi, lalu langsung merebahkan diri ke lantai. Pukul setengah enam lonceng berbunyi, menyuruh kami mulai bekerja. Aku memukul-mukul lantai, menirukan bunyi orang memaku. Lalu aku tidur lagi selama beberapa menit. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar