25. BENDUNGAN
KHMER
MERAH selalu mengadakan rapat sebelum memulai proyek baru, guna memastikan
bahwa kami mempunyai pengertian revolusioner yang benar mengenai tugas-tugas
kami. Bulan Januari 1977 mereka menyelenggarakan rapar umum. Kami diberi cuti
setengah hari untuk menghadirinya. lru merupakan tindakan yang tidak lazim bagi
rezim yang tidak pernah meliburkan kami pada akhir pekan, tidak pernah memberi
izin cuti atau bentuk pembebasan mana pun juga dari tugas kerja rutin.
Pada
hari rapat itu akan diadakan, aku menuangkan air tajin jatahku ke dalam
pelplesku. lalu aku berangkat. Jalanan penuh dengan orang "baru" yang
berjalan menuju ke tempat sama. Huoy sudah menunggu aku di situ. Kami duduk di
atas sebuah bukit kecil. Kami menudungi kepala kami dengan krama milik
Huoy,lalu kami keluarkan makanan bekal kami. Aku membawa beberapa jenis
tumbuhan air yang dalam bahasa Khmer disebut truoy snor, slap chang wa,
dan Kamping puoy. Huoy membuat
hidangan tradisional berupa ketam yang digiling dengan asam dan lombok lombok.
Kami makan dengan sendok. Itu merupakan hidangan daerah pedesaan yang lumayan, meski
jika dengan nasi yang utuh pasti lebih enak rasanya.
Di
sekeliling kami duduk budak-budak perang dengan pakaian compang-camping, makan
air tajin dengan apa saja yang mereka temukan sebagai pelengkap. Baru sekali
itu aku melihat pengunjung rapat yang begitu banyak di garis depan. Lebih dari
sepuluh ribu orang, menurut taksiranku. Tapi kumpulan manusia sebanyak itu kelihatan
kecil, dibandingkan dengan lingkungan di mana kami berada. Ke arah timur
terbentang dataran tanah liat yang tidak menarik. Dataran itu sangat luas, dan
hanya dua buah bukit teronggok di tengah-tengahnya. Di sebelah utara nampak punggung
pegunungan yang menjulang nyaris tegak lurus, dengan kuil tua di baliknya, yang
tidak kelihatan dari tempat kami. Punggung pegunungan itu melengkung di sebelah
barat dan mengarah ke seIatan sampai ke suatu titik di hadapan kami, di mana
punggung itu disambung dengan awal dari sebuah bendungan tanah yang akan
dibangun.
Bagian
bendungan yang sudah diselesaikan pembuatannya itu merupakan lereng dari tanah liat
berwarna jingga yang tingginya sekitar tiga puluh meter, sedangkan panjangnya
juga tiga puluh meter. Apabila sudah seIesai, menurut rencana bendungan itu
akan menghubungkan bukit pertama dengan yang kedua, dan selanjutnya dengan
punggung pegunungan, sehingga tercipta waduk berbentuk melingkar seperti cincin.
Bendera
merah yang besar-besar terkulai pada tiang-tiang yang dipancangkan di atas
bendungan yang baru selesai sepotong dan juga di atas punggung gunung.
Serdadu-serdadu yang menyandang senjata berjalan dari tiang bendera yang satu
ke tiang berikut, berjaga-jaga untuk menghadapi keributan yang tidak mungkin
akan datang dari kami, orang-orang tanpa senjata yang begitu capek dan lesu. Di
tempat bendungan memotong punggung gunung didirikan sebuah panggung, dengan
bendera-bendera merah dan janur-janur menghiasi mimbar dan bagian atas atap.
Sebuah jip nampak diparkir di sisi panggung, dan di sebelah jip itu ada seekor
kuda yang diikatkan ke sebuah tiang. Sebuah generator sudah dihidupkan, menghasilkan
arus listik untuk alar-alat pengeras suara.
Di
atas panggung duduk Chea Huon, bawahannya, Kawan Ik-lelaki tua yang menunggang kuda
itu-serta kepala-kepala desa, termasuk Chev dan juga Paman Seng yang baik hati
itu. Pemimpin-pemimpin rendahan sudah menyampaikan pidato masing-masing,
menyatakan kesetiaan mereka serta mengulang-ulang ungkapan-ungkapan revolusioner
yang itu-itu juga. Saat itu pembawa acara yang sedang berbicara di depan mikrofon.
"Hari
ini merupakan hari bersejarah," katanya. "Kita mendapat kesempatan
mendengarkan kata-kata pemimpin kita mengenai ofensif baru untuk membangun
bendungan. la akan berbicara tentang semangat perjuangan revolusioner serta
kesediaan berkorban! Marilah kita tunjukkan betapa kita dengan penuh tekad
menemukan nasib kita sendiri! Marilah kita pamerkan kesetiakawanan kita pada
tujuan Angka untuk membangun kembali negara kita! Kita persilakan Sama Mit Vanh
dan kita sambut dengan tepuk tangan meriah!"
Semua,
ikut saja bertepuk tangan, sementara seseorang bertubuh bungkuk maju ke
mikrofon. Di antara orang-orang yang sepuluh ribu di tempat itu, hanya aku dan
Huoy saja yang mengetahui identitas orang itu yang sebenarnya, yaitu Chea Huon.
Bagi yang selebihnya, dia itu Sama Mit Vanh. "Vanh" adalah nama
samaran revolusionernya. "Sama Mit", yang berarti "Kawan Sesama",
merupakan gelar kehormatan yang hanya diberikan kepada para pejabat tinggi. Aku
sudah selalu heran, apa sebabnya para bos disebut Kawan Sesama; iru merupakan
satu ketidakkonsekuenan gila lagi dari Khmer Merah.
"HIDUP
REVOLUSI KAMPUCHEA!" Chea Huon berteriak di depan mikrofon. Suaranya yang
dikumandangkan lewat alat-alar pengeras suara menggema dipantulkan
dinding-dinding gunung.
Kami
buru-buru berdiri dan menjawab, "Hidup Revolusi Kampuchea!" sambil
memukulkan kepalan tangan kanan ke dada, lalu mengacungkan lengan lurus-Iurus.
"HIDUP
REVOLUSI KAMPUCHEA!" seru Chea Huon mengulangi. Kami membalas. "HIDUP
REVOLUSI KAMPUCHEA!" serunya untuk ketiga kali, dan kami menjawab lagi. Kemudian
diserukannya slogan-slogan revolusioner yang lain-lain, masing-masing tiga
kali; dan kami menjawab secara otomatis seperti gema yang dipantulkan gunung,
sambil mengacung-acungkan tangan yang terkepal. "Hidup solidaritas
besar!" "Hancurkan kapitalis Amerika!" "Hidup loncatan
besar ke depan!" "Hidup kesejahteraan luhurl" "Hidup
kegemilangan agung!"
Kemudian
Chea Huon mulaì berpidato, ketika semua sudah duduk lagi. la berbicara dengan suara
lembut, meski ia mengangkat-angkat kedua tangannya yang dikepalkan untuk
memberi penekanan pada kata-katanya. Aku masih ingat gerak-geriknya itu yang
juga sudah biasa dilakukannya sewaktu masih mengajar di Takeo dulu.
Perasaan
heranku masih juga belum hilang. Bekas guruku, yang pernah membantuku ketika aku
masih remaja dulu, kini muncul sebagai pemimpin musuh-musuhku.
Soalnya
bukanlah bahwa Chea Huon yang membunuh ayah dan abangku. Tentang itu ia tidak
bisa sepenuhnya dipersalahkan, Chev, yang duduk di atas panggung sambil
tersenyum dan mengangguk-angguk - dialah yang lebih bertanggung- jawab secara
langsung atas kematian mereka. Tentu saja Chea Huon sebenarnya bisa mencegah
agar jangan sampai sebegitu banyak yang dibunuhi oleh Chev; tapi di garis depan
ketua koperasi memiliki kewenangan yang besar. Kamilah yang sial, mendapat Chev
sebagai pemimpin, dan bukan orang seperti Paman Seng yang pada dasarnya baik
hari.
Tidak,
yang paling menyebabkan aku heran mengenai Chea Huon adalah perubahan yang terjadi
pada wataknya. Dia itu intelektual pertama yang kukenal. la sangat pintar. Tapi
jika ia pintar, mustahil ia percaya akan kata-kata yang diucapkannya yang
ditujukannya kepada kami dalam upacara peresmian bendungan itu.
la
memulai dengan cerira temang kemenangan atas kaum kapitalis Amerika: bagaimana
para patriot berjuang melawan agresor-agresor Amerika, mula-mula dengan
"tangan kosong". kemudian dengan parang dan panah, dan berhasil mengusir
mereka dari Kamboja, atau Kampuchea, menurut istilah yang dipakai Khmer Merah. Padahal
itu bohong. Chea Huon tahu bahwa itu bohong. Amerika boleh dibilang tidak
pernah bcrtempur secara langsung melawan Khmer Merah. Pasukan-pasukan darat
Amerika hanya pernah beberapa bulan saja ada di Kamboja, pada tahun 1970,
memerangi pasukan-pasukan Vietnam Utara. Serangan-serangan bom Amerika Serikar-
sudah dihentikan tahun 1973, dua tahun sebelum pihak komunis merebut kekuasaan.
Tapi
Chea Huon tidak peduli terhadap fakta-fakta. Khmer Merah terus-menerus
mengulangi mitos bahwa mereka mengalahkan Amerika, sehingga akhirnya mereka
sendiri ikut percaya bahwa itu benar. Mereka perlu mempercayainya, karena itu
merupakan landasan program mereka untuk membangun negara. Bagi mereka,
mengalahkan negara adikuasa merupakan bukti bahwa mereka, Khmer Merah,
merupakan makhluk-makhluk unggul, mirip superman. Jika negara adikuasa terbesar
di dunia bisa mereka kalahkan, maka itu berarti mereka mampu.berbuat apa saja. Tidak
ada yang bisa menahan mereka. Tidak ada yang bisa merintangi. Logika tidak
bisa. Akal sehat juga tidak. Bahkan kaidah-kaidah fisika pun tidak. Dan jika
mereka itu superman, maka mestinya kami, budak-budak perang mereka, bisa bekerja
dua puluh jam sehari tanpa mengeluh.
Chea
Huon mengatakan bahwa meriam-meriam penangkis serangan udara akan menembak jatuh
setiap pesawat terbang Amerika yang berani melintas di atas wilayah Kamboja,
dan menguburnya ke dalam laut. Aku berpikir, begjtu ya, Keparat? Aku ingin melihat
apa yang sesungguhnya akan terjadi seandainya orang-orang Amerika benar·benar
datang Iagi. Kubayangkan pesawat-pesawat tempur jet Amerika muncul dan terbang rendah
di atas pepohonan, lalu panggung itu hancur berantakan disertai kepulan asap
hitam dan kobaran api. Jika aku juga ikut hancur, bagiku itu tidak apa-apa.
Chea
Huon mengatakan, "Kampuchea Demokratik tidak takut terhadap agresor yang
mana pun juga. Saat ini prajurit-prajurit kita berjaga-jaga di perbatasan, siap
untuk menangkis agresor-agresor imperiaiis." O ya? kataku dalam hati. Kudoakan
agresor-agresor imperialis itu, semoga mereka berhasil. Siapa pun juga mereka
itu. Mungkin saja Khmer Serei. Aku mendengar desas-desus bahwa sementara itu
mereka sudah menghimpun kekuatan di daerah dekat perbatasan dengan Thailand.
Kenapa tidak kaukatakan kepada kami siapa agresor-agresor itu, Chea Huon? la tidak
mengatakannya.
Satu
jam lamanya ia bicara terus, lalu dua jam, dan semuanya propaganda. Persis sama
dengan pidato-pidato di radio, kata demi kata. "Di bawah rezim Lon Nol
yang biangnya fasis, biangnya imperialis, yang luar biasa korupnya, kita
tertindas dan tidak pernah mengenal kebahagiaan." ltu juga omong kosong.
"Di bawah pimpinan Angka yang gemilang, kita kini sudah memasuki zaman baru,
sebagai tuan di negeri sendiri, berkuasa atas tanah, air, sawah. dan nasib kita
sendiri, bekerja bahu-membahu untuk meraih kemerdekaan berdaulat." Bagi
kami tidak ada hal-hal baru dalam pidato Chea Huon ilu. la hanya membuktikan kepatuhannya
terhadap rezim. Seperti yang dikatakannya kepadaku ketika aku sedang menebang pohon
untuk mendongkrak roda-roda jipnya yang terperosok dalam lumpur dan para.
pengawalnya datang mendekat! "Kita harus berjuang di segala medan tempur.
Kita harus berjuang menguasai alam." Kata-kata itu tidak ada maknanya sama
sekali-kecuali menyatakan bahwa ia patuh terhadap Angka. Aku heran, apà
sebabnya orang yang berkedudukan setinggi dia mau begitu sibuk memamerkan
kepatuhannya.
Akhirnya,
sesudah lebih dari dua jam berpidato, ia mulai bicara tentang bendungan.
"Ini merupakan proyek besar," katanya. "Nanti jika sudah selesai
dan gunung-gunung sudah kita sambung-sambungkan, kita akan memiliki persediaan air
untuk setahun penuh. Air itu akan kita manfaatkan untuk menanam padi sebanyak
dua atau bahkan tiga kalì setahun. Kita takkan pernah kelaparan lagi. Kita akan
bisa makan nasi kapan saja kita mau, siang dan malam."
"Pembohong,"
gumamku.
'''Tapi,”
demikian katanya, sambil mengepalkan kedua tangan yang terangkat,
"bendungan itu tidak hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan pertanian
saja. Tidak. Kawan-kawan! Airnya juga akan menggerakkan turbin-turbin untuk membangkitkan
energi listrik! Rakyat dari sini sampai di perbatasan dengan Thailand, di kota-kota,
di desa-desa dan di dalam rimba, semua akan bisa memanfaatkan aliran
listrik!"
Kupandang
sepotong kecil bendungan yang sudah selesai dibangun, lalu beralih ke bentangan
luas tanah kering yang ada di sekeliling. Semen saja tidak ada, untuk membangun
bendungan itu. Bahan yang tersedia hanya tanah liat. Kami tidak punya buldoser
untuk menggali, yang ada cuma cangkul. Proyek-proyek kami di garis depan yang sebelum
itu, semuanya gagal. Saluran-saluran ternyata tidak berhasil mencegah banjir.
Ada juga percobaan yang dilakukan dengan asal-asalan untuk menggunakan air yang
ada dalam saluran-saluran guna mengairi sawah untuk menanam padi pada musim kemarau,
tapi tanaman padinya kemudian mati. Dan bendungan yang hendak dibangun itu menurut
rencananya akan jauh lebih besar daripada proyek mana pun juga yang pernah kami
usahakan pelaksanaannya- sama besar skalanya dengan bendungan-bendungan raksasa
untuk membangkitkan energi listrik di Amerika dan Eropa. Aku disikut oleh Huoy,
dan perhatianku kembali kuarahkan ke panggung.
"Lalu
apabila energi listrik sudah kita miliki, kita akan membangun
pabrik-pabrik," kata Chea Huon saat itu. "Kita bahkan tidak
memerlukan gerobak-gcrobak sapi lagi! Setiap keluarga akan memiliki paling
sedikit sebuah mobil. Dan setiap rumah akan diperlengkapi dengan lampu-lampu listrik,
yang bisa kita nyalakan kapan saja kita mau! Tapi tidak hanya itu saja-sesudah
pabrik-pabrik kita bangun, kita akan mcmbangun gedung-gedung pencakar langit di
dekat bendungan! Siapa saja yang ingin tinggal di situ, akan mcndapat satu
apartemen! Negara kita akan berkembang maju! Pabrik-pabrjk kita akan membuat
buldoser-buldoser dan traktor-traktor untuk kira sendiri! Kita akan menggunakan
mesin-mesin kira untuk melakukan segala pekerjaan yang perlu dilaksanakan! Dan
kita takkan perlu lagi mengerahkan tenaga manusia untuk bertani!
"HIDUP
REVOLUSI KAMPUCHEA!" teriaknya, dan kerumunan mahusia yang berpakaian compang-camping
berdiri lalu dengan patuh menyerukan kara-kata yang ingin didengarnya.
"HIDUP
REVOLUSI KAMPUCHEA!" Di atas panggung, lelaki tua bertubuh kurus itu, begiru
pula Chev serta para pemimpin yang selebihnya saling berlomba-Iomba menunjukkan
antusiasme mereka, mengacung-acungkan rangan yang terkepal.
"HIDUP REVOLUSI KAMPUCHEA!" Di tempat
yang dikarakan nanti akan ada kota dengan gedung-gedung pencakar langit,
pabrik-pabrik, dan mobil-mobi! mengkilat, nampak dua mesin saja di atas tanah
liat: sebuah generator, untuk mengumandangkan kata-kata Chea Huon, dan sebuah
jip untuk membawanya pergi lagi nanti. Mudah-mudahan saja ia lekas-Iekas pergi,
kataku dalam hati. Chea Huon yang dulu kukenal, kini sudah tidak ada lagi. Jasadnya
kini menjelma menjadi boneka bernama Sama Mit Vanh.
"HIDUP
KESEjAHTERAAN LUHUR!" Beri aku nasi untuk dimakan.
"HIDUP
KEGEMILANGAN AGUNG!" Beri saja aku nasi. Dan persetan dengan impian konyolmu.
***************
Dalarn
rangka penyediaan tenaga kerja untuk pelaksanaan proyek bendungan. sekali lagi
dilakukan reorganisasi garis depan. Beberapa koperasi, termasuk pula kami,
digabungkan menjadi satu koperasi besar yang pusatnya ditempatkan di sebelah
lokasi bendungan. Huoy ditarik dari tempat kerjanya yang semula di dapur. la
dijadikan tenaga kerja di bendungan, dengan tugas mengangkat
keranjang-keranjang berisi tanah galian. la harus bekerja lebih keras dari
sebelumnya, dengan waktu kerja yang lebih panjang, sementara jatah makanan
lebih sedikit.
Nasibku
lebih baik. Reguku - dengan orang-orang yang sama sejak kami membantu
mengangkat jip Chea Huon yang terperosok dalam lumpur - ditugaskan membangun
rumah-rumah di garis belakang. Karena kini sedang dibangun sebuah bendungan
hidro-elektronik dan daerah situ sedang memasuki tahap pembangunan yang baru,
di desa-desa yang dekat perlu disediakan perumahan permanen untuk orang-orang
"baru" dan "lama". Bentuknya tetap rumah panggung yang
tradisional, rapi cukup untuk ditempati riga sampai empat keluarga, tidak untuk
satu keluarga saja. Pekerjaan pembuatannya gampang. Papan-papan bekas kami
sambung-sambung dengan menggunakan paku-paku bekas. Kami masa bodoh saja jika tiang-tiangnya
tegak di atas lumpur dan bukan di atas pondasi, atau jika kami sudah pindah ke
rumah berikut sementara masih ada bagian atap yang belum selesai. Kami hanya mengikuti
perintah saja. Kami tidak perlu bekerja pada malam hari. Kami tidak perlu
terlalu sering menghadiri rapat politik. Kami bekerja berpindah- pindah dari
desa yang satu ke desa berikut, dan tidur di rumah-rumah yang kami bangun.
Bagiku,
kehidupan menjadi lebih enak dari sebelumnya. Kesehatanku baik. Tubuhku kurus tapi
ulet; dan luka-luka karena infeksi yang terdapat di tubuhku sembuh juga
akhirnya. Hanya ada satu yang kusesali, yaitu bahwa aku terpisah dari Huoy. Aku
minta izin agar diperbolehkan kembali bergabung dengan dia. Aku menawarkan diri
untuk dipekerjakan di bendungan. Tapi permintaanku sedikit pun tidak diacuhkan oleh
pimpinan. Bagi mereka, orang-orang "baru" merupakan makhluk-makhluk
rendah, musuh politik yang perlu dicurigai. Jika permintaanku mereka luluskan,
maka itu secara tidak langsung berarti mengakui bahwa aku setingkat dengan
mereka. Mereka tidak mungkin bisa meluluskan permintaanku, tanpa kehilangan muka.
Jika
keadaan kami, aku dan Huoy, seperti kebanyakan suami-istri orang
"baru", hidup terpisah itu takkan menjadi pikiran bagiku. Beban pekerjaan
yang berat, kekurangan pangan, dan tidak adanya kehidupan berkeluarga yang
normal, menyebabkan rusaknya kehidupan dari kebanyakan orang-orang itu sebagai
suami-istri. Tidak banyak lagi yang tersisa, yang bisa membuat pernikahan tetap
uruh. Hubungan seksual belum sampai sama sekali lenyap, tapi hanya seadanya saja,
karena selain tenaga yang sudah hampir tidak ada, peluang untuk bisa menyendiri
pun nyaris tak terdapar. Dalam hati setiap orang tersembunyi rasa takut. Mereka
mencemaskan keselamatan diri sendiri, dan mereka tidak mempercayai siapa saja, termasuk
teman hidup mereka sendiri.
Aku
dan Huoy lain keadaannya. Setiap ada waktu luang, kami selalu bersama-sama.
Kami berjalan-jalan sambil mengobrol dan mencari segala sesuatu yang bisa
dimakan. Kami berbagi makanan yang ada. Kami juga bertengkar seperti biasanya
suami dan istri, tapi tidak lebih dari itu. Takkan mungkin bisa kulupakan
bagaimana Huoy merawat diriku ketika aku jatuh sakit dan ketika aku kembali
dari penjara. Aku memerlukan dia. Aku mengandalkan diri pada kebijaksanaannya. Setiap
hari ia menyuruh aku tutup mulut, menanam pohon kapuk. Dan ia memerlukan aku, untuk
mencegah agar ia jangan sampai dikalahkan rasa takut dan kemurungan.
Beberapa
minggu setelah aku dipindahkan ke tugasku yang baru, aku sudah mulai
bolak-balik dari tempat kerjaku ke bendungan, unruk bisa tidur menemani Huoy.
Aku tidak minta izin untuk itu. Jika sampai ketahuan serdadu-serdadu, mereka
pasti membunuhku. Tapi keadaan relatif damai waktu itu di sana. Aksi pembersihan
jarang terjadi, dan hampir tidak ada penjagaan pada malam hari. Selain itu aku
juga tidak peduli apa yang mungkin terjadi dengan diriku, apabila tidak bisa
bersama Huoy.
Penyelinapanku
malam-malam itu kulakukan bersama seorang lelaki bernama Som, yang seregu dengan
aku. Kami bersama-sama bekerja membetulkan jalan dan pematang, menanam padi,
bercakap- cakap tentang makanan yang kami rindukan. Dan kini kami kerjakan
bersama-sama lagi, membangun rumah-rumah. Sepeni aku juga, ia pun ingin tidur
bersama istrinya, yang bekerja seregu dengan Huoy di bendungan.
Som
berasal dari Phnom Penh. Dia itu tergolong intelektual. Kedua hai itu bisa
kuketahui dari logat dan kata-kata yang dipakainya. Dari semula aku juga sudah
merasakan bahwa dia itu idealis, dan juga pembangkang. Tapi ia tahu lebih
banyak tentang diriku.
Suatu
hari ketika kami sedang berdua saja, Som mengatakan bahwa aku dikenalinya. la
pernah berjumpa aku dulu, di rumah sakit militer di Phnom Penh. Hatiku langsung
kecut mendengarnya. Kukatakan bahwa itu tidak mungkin, karena aku dulu sopir
taksi. Setiap kali terlintas dalam pikiranku untuk mengaku bahwa aku sebenarnya
dokter, aku langsung teringat lagi kepada Pen Tip. Sekali-sekali aku masih
berjumpa dengan dia, dan setiap kali terasa sulit sekali menahan kemarahan yang
sudah nyaris meledak.
Som
menyingsingkan lengan kanan kemejanya. Ditunjukkannya bekas luka yang ada di
lengannya. Katanya ia luka kena pecahan peluru meriam Khmer Merah, dan aku yang
melakukan pembedahan umuk memulihkan fungsi lengannya itu. Ketika serdadu-serdadu
Khmer Merah menyerbu rumah-sakit rumah-sakit tanggal 17 ApriI 1975; waktu itu
ia sedang menjalani terapi perenggangan. Penyerbuan itu menyebabkan ia terpaksa
meninggalkan rumah sakit, dan tulangnya yang cedera tidak bisa sepenuhnya
pulih. Kini kemampuan kerja lengan kanannya yang nampak bengkok dan mengecil
hanya sekitar 70 persen.
Aku
tidak ingat apakah aku pernah melakukan pembedahan terhadapnya, karenanya
mula-mula aku menyangka bahwa ia berbohong. Tapi !amakelamaan nampak jelas
bahwa Som tidak bermaksud membuat aku runduk kepadanya. la juga tidak berusaha
mencari muka kepada Khmer Merah. Setiap kali ada kesempatan, ia memaki-maki di
belakang punggung mereka karena menyebabkan kami sengsara. la jauh lebih
blakblakan ketimbang aku. la bercerita bahwa ia pernah selama bertahun-tahun
jadi bhiksu, tapi kemudian.keluar karena ingin kuliah. la menguasai beberapa
bahasa asing. Kemudian ia menjadi guru bahasa di Kedutaan Besar Amerika di Phnom
Penh.
Orang
yang sebetulnya informan, takkan mungkin mau membeberkan latar belakangnya yang
seperti itu. Menjadi bhiksu merupakan hal yang dinilai kontrarevolusioner.
Pernah menjadi pegawai Kedutaan Besar Amerika sudah cukup sebagai alasan untuk
digiring masuk ke hutan dan tidak kembali lagi. Aku mengamati-amati Som, unruk
melihat tanda-tanda bahwa dia itu sebenarnya chhlop. Tapi aku tidak menemukannya. Kami kemudian menjadi teman.
Kadang-kadang, apabila sedang tidak ada orang lain, ia berbicara dalam bahasa
Inggris untukku. Kedengarannya mirip penyiar radio dari pemancar "Voice of
America". Aku tidak memahami kata-katanya, kecuali sekali-sekali jika ada
kata yang mirip bahasa Prancis. Tapi aku ingin bisa mengerti.
Di
antara buku-buku yang kubungkus dengan plastik dan kusembunyikan dalam lubang
di tanah, ada satu buku pelajaran dasar bahasa Inggris untuk orang yang
berbahasa Prancis. Buku itu kuperoleh sewaktu masih di Phum Chhleav, kutukar dengan
ketam. Entah apa sebabnya aku mau melakukan pertukaran itu. Huoy sudah sering
menyuruh aku menyingkirkan buku itu, dengan alasan jika sampai ketahuan bahwa
aku menyimpannya, ada kemungkinan aku akan dibunuh. Kini aku baru sadar, apa
sebabnya aku menyimpannya terus. Aku ingin belajar bahasa Inggris.
Tentu
saja itu niat yang edan. Aku ingin belajar apa saja, sesuatu yang baru, untuk
menjaga jangan sampai otakku menjadi tumpul. Aku merasa lebih perlu memakai
otakku, ketimbang memukul-mukul paku dengan martil untuk Angka. Tapi masih ada
alasan lain. Inggris itu bahasa musuh. Mempelajarinya merupakan perbuatan
subversif. Kuminta kepada Som agar ia mengajari.
Pada
waktu kerja kami berdua sibuk membangun rumah, bersama sekitar tiga puluh orang
lagi. Apabila hari sudah petang, ketika lonceng sudah berbunyi, para pekerja
meletakkan peralatan mereka, lalu aku dan Som bersiap-siap mendatangi istri
kami masing-masing.
Setelah
makan dengan buru-buru di dapur umum, kami berjalan menuju danau yang ada di dekat
situ, seolah-olah hendak mandi. Dari danau kami memotong ke sebuah saluran yang
panjang dan lurus berisi air yang keruh. Matahari yang seperti bola berwarna
jingga, yang sudah hampir terbenam, tercermin di permukaannya. Burung-burung berkicau,
dan burung layang-Iayang beterbangan menukik dan membubung lagi di atas air,
menyambar serangga. Suara kodok langsung lenyap ketika kami datang. lalu terdengar
kembali begitu kami sudah lewat.
Ketika
kami sudah jauh terjalan, kukeluarkan dari kantongku beberapa halaman yang
kurobek dari buku pelajaran bahasa Inggrisku itu. Kami sudah sampai di Huitiéme leçon, atau seperti yang tertera
dalam bahasa Inggris di halaman yang berhadapan, "Pelajaran
Kedelapan". Dengan lancar kubaca kalimat-kalimat Prancis yang tertera: 1. Puis-je vaus aider?
2. Avez-vaus du thè?
3. Bien sur. En voulez-vouz?
2. Avez-vaus du thè?
3. Bien sur. En voulez-vouz?
Setelah
itu kutunjuk kalimat-kalimat bahasa Inggrisnya dan kuminta, dalam Khmer, kepada
Som untuk melafalkannya.
Dibacanya
kalimat yang pertama. "Can I help you?'"
ucapnya dalam bahasa Inggris yang mestinya beraksen Kamboja.
''Can I help you?'" ucapku
mengikuti.
Setelah
itu Som membacakan kalimat kedua: "Have
you got any tea?'"
"Haf jou enny tea?'" kataku
mengikuti. Tea, itu kata yang mudah.
Serupa dengan thè dalam bahasa
Prancis, hanya sedikit berbeda lafalnya. Dan juga mirip dengan té dalam bahasa Khmer, té dalam dialek Teochiew, dan tidak jauh
bedanya dari cha dalam bahasa
Mandarin. Pelajaran dilanjutkan: kalimat-kalimat Inggris diberi nomor berurutan
dengan suku kata yang harus diberi penekanan dalam mengucapkannya ditulis
dengan huruf-huruf tebal. Som menjelaskan bahwa yang diajarkan adalah bahasa
Inggris orang Inggris. Jadi bukan bahasa orang Amerika.
3. Of course. Do you
want some?
4. Yes, please. Give me two pounds. And a packet of biscuits.
5. Do you want some beans?
6. No, thanks. We've got some at home.
7. Well, some bread?
8. Yes, please. Two loaves. Oh, and a pound of butter. That's all.
9. How much is that?
10. That's one pound twenty.
11. Oh, dear, l've only got one pound.
12. You can pay the rest next time.
13. Thanks very much. Good-bye.
14. Good bye, madam.
4. Yes, please. Give me two pounds. And a packet of biscuits.
5. Do you want some beans?
6. No, thanks. We've got some at home.
7. Well, some bread?
8. Yes, please. Two loaves. Oh, and a pound of butter. That's all.
9. How much is that?
10. That's one pound twenty.
11. Oh, dear, l've only got one pound.
12. You can pay the rest next time.
13. Thanks very much. Good-bye.
14. Good bye, madam.
Begitu
banyak makanan! Makanan ekstra! Dan orang-orangnya, begitu sopan! Membayar lain
kali pun boleh! Hanya agak membingungkan, orang inggris menggunakan kata
"pound" untuk menyatakan bobot dan juga uang. Tapi menurut Som, dalam
kehidupan sehari-hari kenyataannya tidak begitu.
"Mereka
menggunakan dollar," kataku dalam bahasa Khmer. Som mengangguk dengan
sikap serius.
"Aku
suka dollar," kataku beberapa saat kemudian. Aku teringat pada uang dua
ribu enam ratus dollar yang kubawa kembali dengan skuterku dari Phnom Penh,
bersama obat-obatan dan emas. Di garis depan, beberapa kali aku menukarkan
lembaran
uang seratus dollar dengan gadung. Yang mengherankan bagiku bukan bahwa uang Amerika
begitu rendah nilainya, tapi sebaliknya -bahwa uang itu masih ada juga nilainya
dalam masyarakat yapg menganggap sistem pembayaran dengan uang tidak berlaku
lagi dan yang tidak mengadakan hubungan dengan dunia luar. Tapi begitulah
kenyataannya - ada sesuatu yang sangat istimewa tentang Amerika, yang
membangkitkan harapan dan kepercayaan. Amerika. Negara itu pasti bagus sekali,
sangat menyenangkan. Begitu banyak yang bisa dimakan, dan cara bergaulnya begitu
sopan.
"Yes, pliss,'" ucapku lagi sambil
membaca,
"
Two loaves. Oh, and half a pound of
butter."
Saat
itu aku merasa biasa-biasa saja, berjalan menyusur saluran bersama Som dan
menanyakan cara melafalkan kata-kata dan kalimat-kalimat dalam bahasa Inggris.
Kami
sampai di bendungan. Kami mengitari tempat rapat dengan orang-orang
"baru" yang mendengarkan pidato-pidato dengan sikap pasrah. Kata-kata
yang disampaikan selalu yang itu itu saja: orang-orang yang malas merupakan musuh
revolusi. Para pengkhianat itu menyebabkan keadaan ekonomi negara sangat payah.
"Harap bertepuk tangan," kata orang yang berbicara, disusul bunyi
tepuk tangan lesu.
Tidak
ada yang melihat ketika kami berdua masuk ke rumah panjang yang boleh dibilang sedang
kosong. Para penghuni kebanyakan masih ada di tempat kerja, atau sedang
menghadiri rapat. Aku mendatangi tempat tidur gantung Huoy lalu berbaring di
dalamnya. Kuturunkan kelambu rnenyelubungi diriku. Kelambu itu yang kami bawa
dari Phnom Penh dulu. Kini sudah penuh tambalan, dan sudah hampir hitam
warnanya karena kena asap api. Masih memiliki kelambu, merupakan kemewahan waktu
itu. Orang-orang yang lain mengusir nyamuk dengan cara membakar tumpukan sekam.
Sisi bawah atap yang rendah dan miring memantulkan sinar merah yang datang dari
sekian banyak api yang dinyalakan, dan kepulan asap memenuhi ruangan.
Di
luar terdengar lagi bunyi tepukan-tangan, dan akhirnya Huoy datang.
"Bagaimana
kamu hari ini, Sayang?" tanyaku. "Cukup banyak jatah makananmu?
Bagaimana dengan kesehatanmu?".
"Lumayanlah,
hari ini. Kau sudah lama datang?" la mengambil kain handuknya serta
sekaleng sabun buatan sendiri, lalu mencuci muka dan tangannya.
"Tidak.
baru saja." Aku suka melihat Huoy membersihkan diri. la mendapat sebuah
resep tradisional untuk membuat sabun: kulit buah kapuk yang banyak kandungan
garam abunya dibakar, lalu abu itu direndam dalam air. Huoy selalu bersih.
Bahkan pakaiannya pun bersih.
la
menukar celana dan baju kerjanya yang berwama hitam dengan sarung yang
dipakainya untuk tidur. la mencuci kaki, menyingkap tepi bawah kelambu lalu
menyusup masuk sambil memeluk bantalnya. Seorang tetangga yang selengan jauhnya
dari kami berkata, Asyiknya! Pasangan yang saling mencintai! Kau selalu datang
menjenguk binimu, ya, Samnang?"
Aku
tahu siapa Ielaki yang berbicara itu. Orangnya ramah, seperti kebanyakan yang
seregu dengan Huoy.
"Kenapa
tidak?" jawabku. "Sembilan puluh sembilan persen kuberikan kepada
Angka, tapi saru persen sisanya kupertahankan. Biniku, untukku sendiri."
Orang
yang ada di sisi lainnya dari tempar ridur kami berkata, .. Aiii! Mudah-mudahan
yang satu persen dari dirimu itu eukup besar dan panjang untuk memuaskan
binimu."
Aku
nyengir dalam gelap. "Aku tidak semujur itu," kataku. "Biniku
benci sekali padaku. Menyentuhnya saja aku tidak boleh. la mengatakan tidak mau
diganggu."
Seisi
rumah panjang tertawa mendengarnya. Aku selalu bercanda dengan mereka, untuk melewatkan
waktu dan untuk mengusir pikiran-pikiran lain yang merongrong.
Tubuh
Huoy yang lembut ditempelkan ke tubuhku, dan ia menciumi pipiku. Ini satu-satunya
kesempatan bagi kami untuk berkumpul, sejak ia bekerja di bendungan. la
mendekatkan mulutnya ke telingaku lalu berbisik, "Bagaimana jatah
makananmu hari ini?"
Aku
menjawab dengan berbisik pula, "Lumayan. Seperempat saat makan malam
tadi." Nasi sekaleng susu dibagi empat, itulah maksudku dengan kata seperempat
itu. Tapi pikiranku tidak ke situ saat itu.
"'Yang,"
bisikku dengan pelan sekali, sehingga bahkan Huoy pun nyaris tidak
mendengarnya, "aku ingin ke Amerika." Kami sama-sama membalikkan
kepala, sehingga kini mulutnya ada di dekat telingaku. "Kau gila,"
katanya.
Kami
sama-sama membalikkan kepala lagi. "Aku tahu," bisikku di telinganya.
"Tapi kita harus ke sana, pada suatu waktu nanti."
Pelajaran
bahasa oleh Som menyebabkan aku mulai berpikir-pikir tentang Amerika. Di sana makanan
berlimpah-ruah. Negara yang sangat maju. Di Amerika, bendungan dibangun dengan menggunakan
beton yang sejati, di rumah-rumah benar-benar ada aliran listrik, gedung-gedung
pencakar langit bukan hanya angan-angan belaka. Pekerjaan yang berat-berat
dilakukan dengan mengerahkan buldoser dan traktor. Amerika begitu berbeda dari
Kamboja, seperti sorga dan neraka.
"Aku
mendingan jadi anjing di Amerika, ketimbang jadi manusia di Kamboja,"
kataku lagi.
Jari-jari
tangan Huoy menyentuh pelipisku lalu didorongnya pelan, lalu ia berbisik lagi
di telingaku. "Dari mana kau bisa tahu?" katanya. "Kau kan belum
pernah pergi ke luar Kamboja."
"Pokoknya
aku tahu. Biarkan aku berangan-angan sendiri." Kupejamkan mata, lalu
kubayangkan betapa rasanya jadi anjing di Amerika. Asyiknya. Tangan-tangan
manusia menepuk-nepuk tubuhku dan mengelus-elus buluku. Mereka takkan memukul
atau menyiksaku. Majikanku akan menaruh makanan banyak-banyak di piringku, dan
aku boleh makan kapan saja aku mau. Jika aku sakit, mereka akan membawaku ke
dokter hewan. Aku sama sekali tidak perlu bekerja.
"Kau
mau tahu angan-anganku?" bisik Huoy dengan suara mengantuk.
"Kau
ingin punya toko yang menjual jajanan," kataku menebak.
"Pertama-tama,
aku ingin punya anak. Jika rezim ini nanti sudah digulingkan, aku ingin punya
anak banyak-banyak lalu bersamamu membesarkan mereka di rumah yang bagus, dengan
makanan yang banyak. Tapi jika anak-anak nanti sudah sampai umurnya untuk
bersekolah, aku akan membuka toko yang menjual jajanan. Aku akan masak makanan
saja, punya makanan yang enak-enak, dan tinggal di kota."
"Aku
lebih suka jadi anjing di Amerika," kataku.
Sementara
sinar merah dari nyala api sekam untuk mengusir nyamuk memantul dari sisi bawah
atap, terdengar suara orang-orang di sekeliling kami yang sudah masuk ke tempat
ridur masing-masing. Dengkuran mulai terdengar. Kudekati Huoy lalu kucium, tapi
ia tidak bereaksi. Bunyi napasnya teratur. Semenit kemudian la sudah tidur
nyenyak.
Begitulah
biasanya. Aku mendatanginya di tempat tidur gantung, lalu kami bercakap-cakap selama
beberapa menit dan kemudian ia tertidur. la capek sekali. Tapi kami punya acara
istimewa, beberapa minggu sekali. Setelah membungkam mulut pemimpin regu mereka
dengan pemberian tembakau pembagian, malam-malam Huoy dan istri Som pergi mendatangi
kami. Berempat kami menikmati makanan yang terdiri dari berbagai jenis bahan
pangan paling sedap yang bisa ditemukan di luar. Setelah itu kami pergi tidur. Aku
dan Huoy di satu sisi dari lantai sebuah rumah yang baru selesai sebagian,
sementara Som dan istrinya di sisi yang lain. Kemudian hanya lantai papan di
bawah kami saja yang terdengar berderik-derik. Tapi umumnya Huoy baru pukul sepuluh
malam pulang ke rumah panjang. Ia begitu capek pada saat-saat itu, sehingga
begitu berbaring langsung tertidur.
Pukul
dua dinihari kami dibangunkan oleh pemimpin regu. "Bangun, bangun!
Semuanya bangun! Kita bekerja kembali!" teriaknya. Agar bendungan cepat
selesai, masing-masing pekerja hanya tidur empat jam sehari, dan dua puluh jam
selebihnya bekerja atau pergi menghadiri rapat politik.
Huoy
terhuyung-huyung bangun, mengenakan sandal jepit, mencuci muka lagi, menukar
pakaian dan menyisir rambut. la temyata berhasil menyesuaikan diri dengan
jadwal kerja itu, tanpa sampai jatuh sakit. la berjalan menyusul regu kerjanya,
membawa cangkul dan sebuah tempat dari plastik berisi air mendidih. Aku ikut
untuk menemaninya. Aku pun memang harus bangun, beberapa jam lagi.
Regu
Huoy yang terdiri atas sekitar tiga puluh pria dan wanita mulai menggali dekat
sisi sebelah dalam bendungan. Keadaan di sini mirip dengan sewaktu membuat
saluran. Para pekerja yang lelaki mencangkuli tanah liat dengan gerakan lamban,
sementara yang wanita mengumpulkan tanah yang sudah digali dengan cangkul
mereka dan memasukkannya ke dalam keranjang-keranjang. Aku duduk di tanah
sambil memukul-mukul nyamuk yang hinggap di Iengan dan mukaku. Apabila sudah
cukup banyak keranjang yang terisi, regu itu membentuk rantai manusia dan secara
sambung-menyambung membawa keranjang- keranjang berisi tanah itu sampai ke atas
bendungan. Jika pekerjaan itu sudah selesai mereka kembali lagi ke
tempat-tempat semula lalu duduk memeluk lutut, dalam keadaan istirahat yang
tidak bisa dibilang benar-benar tidur, karena sebagian dari kesadaran mereka
masih tetap waspada, berjaga-jaga kalau ada serdadu datang.
Dari
segala arah di dinding bendungan terdengar bunyi samar orang mencangkul dan
bercakap- cakap dengan suara pelan. Ribuan orang yang bekerja di situ, meski
dalam gelap mereka hanya nampak berupa bayangan gelap belaka. Sosok seorang
serdadu memakai topi Mao muncuI, berjalan di atas bendungan. Saat.itu juga
terdengar suara-suara para budak perang. Mereka berbicara dengan suara cukup
keras, sehingga bisa didengar serdadu yang hanya seorang diri itu.
"Hei,
Kawan, ayo bekerja! Nanti kau kuberi jatah ekstra!”
"Kawan,
hati-hati jika melakukan lompatan besar ke depan! Nanti jatuh ke dalam lubang,
bisa patah lehermu!'" ' Serdadu itu tidak menjawab. la terus saja berjaIan.
la hanya seorang diri, dan dalam kegelapan itu ia tidak bisa mengetahui
siapa-siapa saja yang berbicara itu.
Kukeluarkan
arlojiku dari kantong kecil yang ada di sebelah dalam pinggang celanaku. Dengan
mata terpicing, samar-samar masih bisa kulihat jarum-jarumnya untuk mengetahui
waktu saat im. Hampir pukul empat.
“Aku
harus pergi. Sayang." kataku kepada Huoy. Ucapanku itu didengar lelaki
yang tidur bersebelahan dengan kami di rumah panjang.
"Kenapa
buru-buru, Samnang? Kau tidak ingin tetap tinggal di sini, memukul-mukul nyamuk
dan memaki serdadu-serdadu?"
Orang-orang
itu tahu bahwa aku suka bercanda, Membanyol. Kulayani mereka. "Jangan
begitu, dong," jawabku. "Berpalinglah sebentar, supaya aku bisa
mencium biniku."
Bagi
mereka aku ini orang yang sudah pasrah menerima nasib, tapi bisa membanyol mengenainya.
Dan kenapa tidak? Semua sudah begitu capek, sehingga rasanya tidak ada apa-apa
lagi yang perlu dijadikan pikiran. Apalagi bekerja, itu urusan yang paling
sepele. Jika Raja Maut memutuskan hendak menjemput kami, kami tidak bisa berbuat
apa-apa untuk menghindari; tapi selama kami belum mati, ia tidak bisa melarang
kami tertawa.
Kata-kataku
mengundang jawaban-jawaban yang datang dari berbagai sudut gelap:
"Bolehkah
aku melihat saat kau menciumnya? Sudah lama aku tidak melihat yang begituan.”/
"Kau
boleh menciumku, jika kau tidak keberatan," kata seorang wamta sambil
mencekikik. "Aku sudah gatal sekali, sampai bingung mau diapakan. "
"Kenapa
kami harus berpaling? Kalian berdua, selalu saja peluk-pelukan dan
cium-ciuman."
"Dan
tolong," kataku kepada mereka, "tutup telinga kalian, supaya aku bisa
mengatakan betapa besarnya cintaku kepadanya."
"Aiiih!
Hebamya dia itu main cinta ... "
"Katakan
padanya, Samnang."
"Aku
pergi sekarang, Sayang," kataku dengan suara pelan kepada Huoy, yang
membalikkan tubuhnya sedikit karena malu. "Kita akan bertemu lagi pada
saat yang sama nanti malam." Kusentuh bahunya dengan lembut.
Aku
kembali ke rumah panjang, untuk membangunkan Som yang masih tidur. Kami ke
luar, lalu berjalan menyusur jalan tanah. Kami mengambil jalan pintas ke tempat
kerja kami, karena tahu bahwa sepagi itu kami takkan berjumpa dengan serdadu-serdadu.
Langit
di sebelah timur sudah mulai terang ketika aku dan Som sampai di tempat kerja
kami. Aku menaiki tangga sebuah rumah yang baru setengah jadi, lalu langsung
merebahkan diri ke lantai. Pukul setengah enam lonceng berbunyi, menyuruh kami
mulai bekerja. Aku memukul-mukul lantai, menirukan bunyi orang memaku. Lalu aku
tidur lagi selama beberapa menit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar