Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 19 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 34 : Daerah Berbahaya



34. DAERAH BERBAHAYA


KETIKA aku sedang bergegas di jalan yang menuju ke luar kota, ada seseorang yang melihat aku lalu berseru memanggil-manggil, "Luk! Luk!" Itu sapaan cara lama, yang dialamatkan kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dalam masyarakat. Orang itu merapatkan kedua kakinya dan memberi hormat secara militer.

"Anak setan!" seruku dengan gembira dan sekaligus heran. Orang itu Sok, sopirku yang dulu, ketika aku masih di Phnom Penh. Aku menepuk bahunya, lalu mengatakan bahwa ia sekarang tidak usah menyapaku lagi dengan sebutan itu.

"Mana nyonya majikan?" tanya Sok. Orang yang ditanyakannya itu Huoy. Kukatakan kepadanya bahwa Huoy sudah meninggal dunia. Sok mengangguk dengan wajah serius, seakan kematian itu sudah bisa diperkirakan. Kemudian diajaknya aku makan di rumahnya. Aku tidak punya waktu, jawabku menolak. "Aku sekarang ini hendak ke perbatasan, tapi jika kau mau, ikut saja dengan aku," kataku.

"Sanak keluargaku terlalu banyak, Bos. Kapan- kpan aku akan pergi juga, tapi sekarang ini Anda harus mampir ke rumahku, untuk makan." Dipegangnya pergelangan tanganku, lalu aku ditariknya ke sebuah pondok kecil di dekat situ.

Sejak berpisah sewaktu mengungsi dari Phnom Penh, aku selalu bertanya-tanya sendiri, apa yang kemudian terjadi dengan Sok. Ternyata setelah ia pergi dengan Mercedes-ku untuk menjemput keluarganya, jalan-jalan ditutup oleh Khmer Merah. Karenanya ia tidak bisa kembali untuk menjemput Huoy seperti rencana semula. Ia telalu menyesalinya, dan sejak itu ia senantiasa bertanya-tanya pada dirinya sendiri tentang nasibku serta Huoy.

Pagi itu untukku ia menghidangkan santapan terbaik yang bisa diberikan keluarganya, yaitu nasi dan ayam panggang. Ia memperlakukan diriku dengan sangat hormat. Aku sebenarnya ingin mengajaknya ikut ke perbatasan. Tapi ia benar. Sanak keluarga yang hidup bersama dia banyak, terdiri dari sekian orang bibi, sepupu, bayi, kakek dan nenek -jumlah mereka yang selamat bisa menimbulkan iri- dan mereka tidak mungkin bisa siap berangkat saat itu juga.

Kemudian aku meneruskan langkah. Meski mengalami keterlambatan sedikit, tapi perasaanku gembira. Sekitar pukul dua siang aku berhasil menyusul rombongan keluargaku. Kami tinggal bertujuh sekarang: Balam, istrinya, kedua anak mereka dan seorang keponakan, lalu aku dan Ngim. Kami berhenti sebentar untuk makan di bawah naungan pohon kapuk, dekat sebuah kolam. Ngim menyerahkan ransel yang selama itu disandangnya kepadaku, dan setelah itu kami melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan lewat jalan Nasional 5 menuju ke barat itu kami seiring dengan orang-orang lain yang mendorong gerobak beroda kayu serta sejumlah lagi yang mengendarai gerobak sapi. Perjalanan kami nampak lebih berat, karena barang-barang bawaan kami panggul sendiri. Tapi itu nanti akan lebih menguntungkan, begitu jalan besar sudah ditinggalkan. Mengingat tujuan perjalanan kami itu, lebih baik jika hanya membawa barang-barang seperlunya saja.

Menjelang petang kami dicegat serdadu-serdadu Heng Samrin yang menjaga di suatu pos pemeriksaan. Mereka mengatakan bahwa demi keamanan kami sendiri lebih baik jika kami menginap di desa yang ada di dekat situ. Kami menurut, meski dengan perasaan enggan. Emas milikku sebagian kusimpan di balik pinggang celana, sementara selebihnya ada di dalam dompet Huoy, yang kutaruh di bawah tungkaiku. Orang lain kebanyakan menyembunyikan emas mereka dalam bungkusan yang mereka jadikan alas kepala saat tidur Tapi ternyata itu keliru. Saat tengah malam serdadu-serdadu Heng Samrin muncul, lalu dengan todongan senjata memaksa agar segala bungkusan yang dijadikan bantal itu diserahkan kepada mereka. Itulah rupanya yang mereka maksudkan dengan keamanan.

Keesokan harinya kami sampai di Sisophon, kota besar terakhir sebelum perbatasan. Di situ serdadu-serdadu Heng Samrin menyita barang-barang yang mereka inginkan. Mereka melakukannya secara terang-terangan, saat siang hari. Dari diriku mereka menyita sepasang baju dan celana. Dari yang lain-lainnya mereka merampas pakaian, pelples, beras, pokoknya apa saja yang ada gunanya bagi mereka.

Di sebelah barat Sisophon terbentang daerah persawahan yang datar dan kering kerontang. Di beberapa tempat jarang nampak pepohonan. Di bawah sebatang pohon yang sangat besar ada pos pemeriksaan yang didirikan serdadu-serdadu Heng Samrin, lengkap dengan karung-karung pasir dan senapan mesin. Di tempat yang teduh di dekat situ nampak serdadu-serdadu Vietnam yang sedang duduk-duduk dengan santai. Agak terlalu santai. Ketika kami sampai di pos penjagaan itu, serdadu-serdadu Heng Samrin langsung saja membentak, menuduh kami hendak lari ke luar negeri. Kami tidak mungkin bisa membantah, karena yang ada di depan memang hanya perbatasan dengan Thailand. Serdadu-serdadu itu menyuruh kami berbalik. Kami mulai berjalan lagi ke arah timur. Tapi ada seseorang yang mengajukan penawaran agar kami diperbolehkan terus, lalu serdadu-serdadu itu memanggil agar kami kembali ke tempat mereka. Permainan sandiwara berakhir, dan dimulailah tawar-menawar.

Akhirnya aku menyerahkan emas sebanyak satu chi -sekitar tiga gram- sebagai sogokan agar rombonganku diizinkan lewat. Kami merasa bahwa kami pasti bisa sampai dengan selamat di perbatasan, jika serdadu-serdadu itu ternyata hanya menginginkan emas saja.

Di daerah situ lintasan jalan raya sejajar letaknya dengan rel kereta api. Semasa kejayaan kereta api, yakni sebelum perang saudara pecah, ada hubungan kereta melintasi perbatasan, menuju Bangkok, ibukota Thailand. Kini, setelah sekian tahun terbengkalai di tengah kekalutan peperangan, kereta-kereta yang menuju ke barat berakhir di Nimitt, sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari perbatasan, dan dari sana kembali lagi. Ketika kami sedang berjalan, kami dilewati iring-iringan kereta yang menuju ke barat, membawa penumpang yang memenuhi gerbong-gerbong sampai ke atapnya; kebanyakan dari mereka itu hendak pergi ke perbatasan, seperti kami. Kereta-kereta menuju ke timur yang kemudian berpapasan dengan kami, mengangkut barang-barang sslundupan dari Thailand. Kami sendiri sampai di desa Nimitt ketika matahari sudah hampir terbenam.

Di desa itu ada beberapa ratus pengembara seperti kami, yang berusaha pergi meninggalkan Kamboja. Orang-orang yang mengaku penunjuk jalan berkeliaran, saling bersaing menawarkan jasa sceara terbuka. "Ikut saja dengan rombonganku. Keselamatan kalian kujamin!" seru seseorang dari mereka. "Jangan! Kemari saja! Aku lebih murah!" kata seseorang lagi. Orang-orang yang ribut menawar-nawarkan jasa sebagai pemandu itu dari golongan etnis Khmer yang berkulit sawo matang. Beberapa dari mereka bertelanjang kaki.

Balam sendiri kaget ketika mengenali salah seorang dari mereka. seorang lelaki yang sudah tua dan bertubuh kurus. Orang itu berdarah campuran Khmer dan Cina. Dulu ia bertempat tinggal di Phnom Penh, sebelum Khmer Merah merebut kekuasaan. Ia juga mengenal Balam, walau tidak ingat namanya.

"Sahabat-sahabatku," kata lelaki tua itu dengan Dada meyakinkan, "aku sudah biasa mengantarkan rombongan sampai ke perbatasan. Setiap malam aku melakukannya. Daerahnya kukenal baik, dan setiap orang menaruh kepercayaan padaku. Jika aku yang mengantar kalian ke perbatasan, kalian takkan diperas bandit-bandit di dalam hutan. Aku akan mengatur segala-galanya. Akan kubayar mereka agar jangan merongrong. Cuma aku saja yang bisa melakukannya. Bukannya aku ini bisa segala-galanya, tapi jika kalian mau percaya padaku, ikutlah denganku. Setiap malam aku pergi ke perbatasan, dan belum pernah ada kesulitan. Tapi jika kalian tidak percaya padaku, silakan saja ikut dengan orang lain."

Aku diam saja. Segala ocehannya sudah bisa kutebak lebih dulu, kata demi kata: bahwa dia sudah berpengalaman. bahwa tidak ada yang perlu kami khawatirkan. bahwa tanpa kami pun sudah banyak orang yang meminta agar ia mau menjadi penunjuk jalan mereka, dan sebagainya. Jika aku ini pemandu jalan. tepat kata-kata begitu pulalah yang akan kuucapkan. Jadi aku diam saja sambil mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu yang bisa kupercayai. Tapi aku tidak mendengarnya.

Walau begitu, aku lebih tidak percaya lagi terhadap para pemandu yang selebihnya, dengan memperharikan sorot mata mereka. Mereka selalu melirik barang-barang bawaan kami dengan sikap menaksir, dan bukan menatap ke arah kami. Pandangan mereka diarahkan ke selangkangan para wanita. Seakan-akan mata mereka memiliki kemampuan seperti sinar Rontgen, bisa menemukan emas yang disembunyikan.

Aku kini sudah memiliki kemampuan yang besar dalam menduga watak orang, sesudah empat tahun hidup dibawah rezim Khmer Merah. Aku berkeliling sambil mendengarkan para pemandu jalan yang saling bersaing menawarkan jasa. Diam-diam aku menaksir mereka. Kuperhatikan nada suara mereka, sikap mereka; kuperhatikan segala-galanya yang memancar dari kepribadian mereka, tapi yang paling kuamati adalah mata mereka.

Akhirnya aku kembali ke lelaki tua kenalan Balam di Phnom Penh dulu. Menurut taksiranku. peluangnya sekitar sepuluh persen bahwa ia akan memperlakukan kami dengan selayaknya. Aku memilih lelaki tua itu karena dia berdarah Cina, seperti aku juga, dan karena ia masih ingat pada Balam. Mungkin itu akan menyebabkan dia tidak berbuat sembarangan terhadap kami. Nilai kepercayaanku terhadap pemandu-pemandu yang lain. hanya sekitar dua persen saja.

Tawar-menawar berlangsung di balik pintu tertutup, dalam sebuah ruangan yang penuh sesak di rumah lelaki tua itu. Mula-mula ia minta bayaran satu damleung emas untuk setiap kepala. Lalu ia menurunkan harganya menjadi empat perlima damleung. Aku berembuk sebentar dengan Balam. Ngim berumur sembilan tahun, sama dengan anak lelaki Balam yang paling kecil.

"Anak-anak setengah harga," kataku kemudian kepada pemandu itu. Ia setuju.

"Tapi kalian harus membayarnya sekarang." kalanya menambahkan. sambil menjalari sekujur tubuhku dengan matanya.

Biaya yang harus dibayar untuk rombonganku 4,8 damleung emas, yang nilainya sekitar 1.000 dollar Amerika.

Aku pergi ke luar, meninggalkan Balam di dalam ruangan yang penuh sesak itu. Aku membawa emas dalam berbagai bentuk: beberapa lembar emas kertas 24 karat yang tergulung berbentuk tabung-tabung kecil dan kuselipkan di balik pinggang celana; rantai yang 22 atau 24 karat; dan beberapa batang dan keping 24 karat berukuran kecil-kecil. Aku menggabungkan diri kembali dengan rombonganku yang sedang duduk di sekeliling api. Kami mengobrol dengan santai, sementara Ngim memanaskan makanan untukku. Kramaku terlilit seperti selendang di leherku. Kemudian aku membungkuk sedikit ke depan, sehingga ujung kramaku terjulur menutupi bagian atas celanaku. Dengan cepat kurogoh saku di sebelah dalam pinggang celana. Kugenggam emas yang ada di situ. lalu secara tidak mencolok mata kubungkus dengan ujung krama yang kemudian kusimpulkan. Ngim dan istri Balam melihat perbuatanku itu, tapi yang lain-lainnya tidak. Sehabis makan aku masuk lagi ke rumah pemandu jalan itu untuk menyerahkan emas yang kukeluarkan itu kepadanya.

Pukul satu tengah malam semua yang akan ikut dengan pemandu jalan itu sudah berkumpul di depan rumahnya, membentuk barisan panjang. Bintang-bintang kemerlip di langit Bulan sabit nampak mengambang di sebelah barat. Malam itu sunyi, hanya suara jangkrik saja yang terdengar. Kami berangkat, dengan tempo yang jauh lebih lambat dari yang kuingini. Kami melewati jalan setapak lalu menyusuri lintasan gerobak, memotong daerah persawahan dan menembus hutan. Arah yang akan kami tempuh mula-mula ke utara dan baru kemudian ke barat, menjauhi jalan-jalan dan desa-desa, memasuki daerah yang tidak didiami orang. Kami tidak tahu berapa jauhnya kami harus berjalan, sebelum sampai di perbatasan.

Ketika fajar mulai menyingsing di sebelah timur, iring-iringan itu berhenti. lstri Balam berpaling lalu berbisik-bisik kepadaku yang ada di belakang Ngim, "Khmer Merah. Beri tahu orang di belakangmu."

Aku berpaling dan meneruskannya kepada orang yang ada di belakangku.

Dari arah depan terdengar suara lantang seseorang yang berbicara dengan nada masam. "Kenapa kalian hendak meninggalkan negeri ini? Kenapa? Kalian tidak setia kepada negeri sendiri!"

Tidak ada yang menjawab.

Matahari muncul di langit. Barisan bergerak maju, beringsut-ingsut. Aku melihat empat sampai lima orang Khmer Merah di depan, berpakaian serba hitam dan menggenggam senapan. Mereka memungut kepingan-kepingan emas dari orang-orang dalam rombongan kami, sebagai pembayaran.

Aku menyembunyikan emasku di berbagai tempat-keping-keping kecil di balik pinggang celana untuk menghadapi kemungkinan harus membayar pungutan liar seperti ini, beberapa lagi dalam sepatu kanvas hijau model Vietnam yang kutemukan waktu itu, dan beberapa chi kutempelkan di bawah ketiak Ngim. Sementara sebagian besar dari emas simpananku sudah kuserahkan kepada istri Balam, dan disembunyikannya di balik pakaian dalam yang dipakainya.

Segenap anggota rombonganku berbaris di depanku. Aku berjalan di samping barisan sejauh beberapa langkah, lalu menyelip masuk lagi di depan seluruh anggota keluargaku. Sementara itu seluruh barisan maju terus, beringsut-ingsut.

Serdadu-serdadu Khmer Merah itu menggeledah ranselku.

Kusodorkan emas sebanyak dua chi kepada mereka.

"Buka mulutmu," kata mereka. Mereka meneliti rongga mulutku, kalau-kalau ada emas di situ. Mereka menggeledah tubuhku, dan ranselku mereka lemparkan ke sebuah tumpukan. Setelah aku, mereka memeriksa mulut Ngim dengan senter, sementara keranjang yang dibawanya dilemparkan ke tumpukan yang tadi. Kemudian tiba giliran Balam. Ketika serdadu-serdadu itu sedang sibuk memeriksa barang-barangnya, kuambil lagi ranselku serta keranjang Ngim. Sewaktu tas yang dibawa Balam juga dirampas, ia meniru perbuatanku dan mengambilnya lagi ketika perhatian serdadu-serdadu itu sedang terarah ke tempat lain.

Serdadu-serdadu itu mematahkan tongkat-tongkat pikulan untuk memeriksa kalau-kalau ada emas disembunyikan di dalamnya. Mereka mengaduk- aduk beras yang ditaruh di dalam panci-panci, untuk melihat apakah ada sesuatu yang ditaruh di situ. Mereka merampas baju-baju Montagut, yang memang sangat disukai orang-orang Khmer Merah.

Tapi Khmer Merah yang sejati takkan mau melepaskan kami pergi. Dan serdadu-serdadu Khmer Merah yang sejati takkan menaruh minat pada emas. Mereka ini Khmer Merah gadungan, serdadu-serdadu Heng Samrin yang menyamar dengan seragam hitam-hitam. Pasti ada serdadu-serdadu Vietnam di dekat situ, menunggu sambil mengamat-amati.

*************

Kami sudah memasuki suatu daerah yang berbahaya, jauh di sudut barat laut Kamboja. Kepercayaanku yang semula ada sepuluh persen kepada pemandu yang memimpin rombongan merosot, tinggal satu persen. Ketika hari sudah terang, kulihat bahwa bukan dia sendiri yang memandu kami, tapi anak buahnya.

Sejam setelah serdadu-serdadu Khmer Merah gadungan yang tadi, kami dicegat lagi oleh kawanan yang serupa. Mereka berteriak-teriak sambil mengancam. Mereka membidikkan senapan ke arah kami, dan melihat sorot mata mereka yang liar nyaris saja aku percaya bahwa mereka benar-benar akan menembak. Padahal ternyata bahwa itu lagi-lagi gertakan belaka. Mereka menyuruh semuanya meletakkan barang-barang menjadi satu tumpukan besar, lalu mereka mengacak- acak isinya, mencari emas. Banyak juga yang mereka temukan, ditaruh di dalam cerek-eerek tempat memasak air yang rupanya ada dua lapis dasarnya. Setelah barang-barang bawaan diperiksa, mereka lantas menggeledah orang-orang yang lelaki. Tapi para wanita tidak. Rombonganku diperbolehkan lewat setelah aku menyodorkan emas sebanyak dua chi kepada mereka; tapi orang lain yang tidak membawa emas disuruh berbalik, kembali ke arah Nimitt.

Lintasan yang kami lewati menuju ke hutan-hutan hujan di daerah Pegunungan Dangrek. Pohon-pohon berkayu keras dari jenis-jenis choeu teal, khlong, dan theng menjulang tinggi di atas kepala; aku mengenalinya, dari pengalaman bekerja di perusahaan kayu keluargaku dulu. Barang-barang rotan sebesar pergelanganku berjuluran dari dahan-dahan.

Keadaan di dalam hutan sunyi-senyap. Hanya kicau burung saja yang terdengar, dan bunyi gemerisik kadal yang lari menyelusup di bawah belukar. Di puncak-puncak bukit yang ditaburi batu-batu besar, kami bergerak meloncat dari batu ke batu. Kami merambah rumpun-rumpun bambu yang tumbuh lebat di lereng-lerengnya. Kami bergerak menyusur lintasan yang naik turun.

Kami sampai di sebuah sungai yang mengalir di dasar sebuah lembah. Buih berwarna hijau mengambang di atas permukaan airnya yang berwarna coklat. Kami mengarunginya. Sesampai di seberang, kami meneguk air bersih yang kami bawa dalam bermacam-macam tempat. Seorang wanita tua menyembah kepadaku, minta dibagi. Kutuangkan air ke tutup pelplesku untuknya. Tapi hanya sebegitu saja yang kuberikan.

Setelah itu kami berjalan lagi. Rombongan kami bergerak membentuk deretan panjang yang berkelok-kelok mengikuti alur lintasan yang dilewati. Tiba-tiba dari arah depan terdengar bunyi ledakan samar, seperti tembakan artileri. Kami terus saja berjalan. Beberapa menit kemudian dari ujung depan rombongan datang berita bahwa ada ranjau yang meledak. Banyak yang tewas sebagai akibatnya.

Iring-iringan kami berhenti. Tidak seorang pun berani berkutik. Tidak ada yang berani duduk di pinggir jalan setapak itu.

Kemudian datang kabar baru dari depan: para penunjuk jalan minggat semuanya, meninggalkan kami.

Kami menunggu selama satu jam. Kemudian iring-iringan manusia itu bergerak maju lagi. Kusuruh Ngim melangkah dengan hati-hati, menginjak tanah yang sudah dilalui kakiku.

Kami berjalan dengan hati-hati sekali. Setelah suatu tikungan dilewati, kami sampai di tempat ledakan yang terdengar tadi terjadi. Di mana-mana nampak darah bercipratan. Aku melihat sepotong lengan tersangkut di dahan sebatang pohon, potongan kaki menyusup di tengah rumpun bambu. Lebih dari sepuluh orang tergeletak mati di tepi jalan setapak itu, dan masih banyak lagi yang luka-luka. Aku memberikan bantuan sebisa-bisaku, dan memberi petunjuk kepada sanak-keluarga orang-orang yang cedera mengenai cara mencegah terjadinya infeksi. Hanya itu yang bisa dilakukan, karena kami tidak membawa bekal obat-obatan. Sangat memilukan, harus mati atau mcngalami cedera seperti itu, padahal sudah begitu dekat dengan kebebasan setelah berhasil mempertahankan nyawa selama sekian tahun berada di bawah kungkungan kekuasaan Khmer Merah.

Ranjau-ranjau itu rupanya dipasang di kiri-kanan jalan setapak. Ada juga yang dipasang di tengah. Ranjau-ranjau itu dilengkapi dengan tombol peledak berukuran sebesar mata uang dan berwarna putih atau kelabu. Dari tombol-tombol peledak itu dipasangkan kawat penjebak kaki yang direntangkan ke berbagai tempat, ke batu atau batang pohon yang ada di dekat-dekat situ. Kawat itu dari nilon berwarna putih, jadi nyaris tidak kelihatan.

Kami bergerak maju dengan sangat hati-hati. berkelok-kelok naik-turun; kemudian terdengar lagi bunyi ledakan di depan. Ketika kami sampai di sebuah sungai setelah menuruni lereng sebuah bukit, kami melihat orang-orang sudah sibuk melakukan penguburan. Para korban yang luka-luka diletakkan di atas apa saja yang bisa dijadikan pembungkus tubuhnya. Bungkusan berisi manusia itu digantungkan pada tongkat bambu lalu dipikul. Beberapa orang yang luka kena pecahan ranjau duduk dengan pandangan nanar karena kaget. Sekali ini ranjau itu dipasang di bawah air. Ngim pandai berenang. Tapi kusuruh dia merangkul leherku, lalu aku berenang ke seberang membawanya.

Kami tidak tahu, pihak Vietnam atau Khmer Merah-kah yang memasang ranjau itu. Tapi bagi kami itu juga tidak penting. Kami hanya tahu bahwa kami harus mengamat-amati lintasan yang akan dilewati dengan sangat waspada, kalau-kalau ada kawat halus berwarna putih melintang di situ. Daun-daun kering terhampar di jalan dan beterbangan tertendang kaki orang-orang yang lewat di atasnya, sehingga menambah kesulitan kami melihat tali penjebak itu.

Untuk ketiga kalinya terdengar ledakan lagi, jauh di depan kami. Ketika kami sampai di tempat itu, nampak jalan setapak itu berlubang besar di tengah-tengahnya. Lalat beterbangan mengerumuni darah manusia. Tidak jauh dari situ nampak sejumlah kuburan yang ditumpuki tanaman berduri, untuk mencegah binatang buas menggalinya.

Kami terus saja berjalan. Hawa panas dan berdebu. Orang-orang yang berhenti di pinggir jalan mengemis-ngemis minta dibagi air dan makanan. Tapi aku hanya membagi air sedikit-sedikit saja, dan itu pun hanya pada para wanita yang sudah tua.

Ketika hari mulai gelap, kami memeriksa suatu tempat yang kami pilih di samping lintasan. Setelah memastikan bahwa di situ tidak dipasang ranjau, kami pun berkemah. Kami tidak menyalakan api, karena tidak berani mengambil risiko mencari kayu bakar. Nyamuk mengerumuni lengan dan kaki kami; hampir sepanjang malam kami sibuk menepuk-nepuk, berusaha mengusir mereka. Sinar bulan menerobos lewat puncak- puncak pepohonan yang menjulang jauh di atas kepala.

Keesokan paginya kami meneruskan langkah lagi, membuntuti orang yang berada di depan dan sambil berharap bahwa orang·orang yang paling depan tahu ke mana mereka harus menuju. Tapi kurasa mereka tidak tahu. Matahari pagi ada di sisi kiri kami, dan itu berarti bahwa kami menuju ke selatan. Padahal, menurut rencana kami harus menuju ke utara dan kemudian ke barat. Jadi karena saat itu masih pagi, letak matahari seharusnya di kanan, atau kalau tidak, di belakang kami. Tapi aku sudah capek. Aku juga tidak yakin lagi tentang kemampuanku mengenali arah.

Menjelang tengah hari iring-iringan berhenti sebentar, lalu bergerak maju lagi. Setelah itu semua disuruh berkumpul di sebuah tempat yang lapang. Delapan orang membawa senapan umuk berburu mendatangi kami. Mereka bercakap- cakap dalam bahasa yang menurut dugaanku pasti bahasa Thai.

Aku tidak tahu dengan pasti apakah mereka itu orang Thai, begitu pula halnya dengan orang- orang yang muncul kemudian. Mungkin saja beberapa di antara mereka itou orang Kamboja yang bisa berbahasa Thai, karena tinggal dekat perbatasan. Aku hanya tahu bahwa perbuatan mereka kemudian menyebabkan aku mengucap syukur bahwa Huoy tidak ikut bersamaku.

Orang-orang itu menyuruh para wanita membuka pakaian mereka, termasuk pakaian dalam; tapi wanita-wanita itu diperbolehkan menukarnya dengan sarung sebagai penutup tubuh. Dengan cekatan para perampok itu kemudian menggerayangi kutang-kutang, pinggiran gaun-gaun dan celana panjang. Mereka menemukan sebagian besar dari emas bawaanku yang kutitipkan pada istri Balam dan yang disembunyikannya di balik pakaian dalamnya.

Setelah itu mereka melakukan penggeledahan. Para wanita itu disuruh membuka mulut. Lubang telinga diperiksa. Rambut. Jari-jari kasar menggerayangi tubuh-tubuh wanita.

Kemudian mereka menggeledah tubuh kami. Perbuatan yang serupa. Mereka menemukan emas yang kusimpan di balik pinggang celanaku. Tapi yang kusembunyikan dalam sepatu tetap aman.

Setelah itu para wanita dipisahkan dari kaum lelaki, dan dimulailah aksi-aksi perkosaan secara terang-terangan. Wanita-wanita muda yang paling cantik diperkosa berulangkali. Bandit-bandit yang sedang menunggu giliran menjaga kami dengan senapan teracung. Kami sama sekali tidak berdaya untuk berbuat apa pun juga.

Mereka tidak memperkosa istri Balam, dan Ngim tidak diganggu. Digeledah saja pun tidak.

Kami berjalan lagi. Setengah mil kemudian berhenti kembali, ketika ada lagi sejumlah orang bersenjata menghadang. Sekali ini tidak terjadi perkosaan. Ketika sudah selesai menggeledah kami, mereka menyuruh kami terus. Kami ambil barang-barang kami yang masih tersisa, lalu terseok-seok lagi sejauh setengah mil. Untuk ketiga kalinya kami kembali harus berhenti.

Kami bergerak dari pencegatan yang satu ke pencegatan berikut, lalu yang berikut lagi. Kami benar-benar nanar karenanya. Bandit-bandit itu kadang-kadang berbahasa Thai, dan kadang-kadang Khmer. Mereka menyita tongkat-tongkat dan batang-batang bambu yang dipakai untuk mengusung orang-orang yang cedera, karena mengira bahwa ada emas yang disembunyikan di dalamnya. Kain pembalut luka mereka buka, kalau-kalau ada emas disembunyikan di situ. Seorang gadis cantik berumur tujuh belas tahun mereka robek-robek pakaiannya. Ia sama sekali tidak menyembunyikan emas. Tapi ia meronta-ronta karena ingin melindungi diri. Dan sikapnya itu menyebabkan ia diseret ke dalam hutan dan di situ ditembak kepalanya.

Dihitung mulai dari Nimitt, termasuk dua kali kami digeledah oleh serdadu-serdadu Khmer Merah gadungan, dalam keseluruhannya tiga puluh tujuh kali kami dicegat dan digeledah. Sepatuku dengan emas yang kusembunyikan di dalamnya dirampas, begitu pula geretan Zippo yang selalu kubawa sejak mengungsi dari Phnom Penh. Dalam kejadian pencegatan terakhir, ketika tinggal sedikit sekali barang kami yang masih tersisa, bandit-bandit itu merampasi pisau, parang, sepatu, topi, dan pakaian yang masih baru.

Seluruh rombongan seperti terpana. Kami tidak mampu menerima kenyataan bahwa semuanya itu benar-benar terjadi, bahwa segala barang milik Iwni sudah dirampas. Selama sekian tahun di bawah rezim Khmer Merah, tidak pernah tubuh kami digeledah, dan jarang terdengar bahwa ada wanita yang diperkosa.

Kami tersaruk-saruk dengan perasaan nanar, melewati bangkai seekor sapi yang menginjak ranjau. Sejak kami disergap bandit-bandit itu, jarang kami jumpai ranjau-ranjau lagi.

Alam lingkungan yang dilewati mulai mendatar. Wujud tumbuhan beralih dari hutan hujan menjadi hutan kering yang terbuka, dengan sedikit belukar di bawahnya. Daun pohon-pohon berkayu keras yang menaungi jauh di atas kepala nyaris saling bersentuhan, tapi batang-batangnya tumbuh berjarak jarang-jarang.

Seorang Thai berpakaian sipil berdiri di jalan setapak itu, menunggu kedatangan kami. Orang itu ternyata perwira intelijen pemerintah Thaiand. Dalam bahasa Khmer yang bagus tapi berlogat asing ditanyakannya kepada kami tentang orang-orang Vietnam, tentang Khmer Merah, dan tentang pengalaman kami sewaktu berjalan menuju perbatasan. Dikatakannya bahwa nanti kami akan berjumpa dengan tentara Thailand, tapi kami tidak perlu khawatir. Ditambahkannya bahwa di tempat itu nanti juga ada petugas-petugas Palang Merah Thailand dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Kami meneruskan langkah, dan kemudian sampai di tempat tentara Thailand menunggu kami. Mereka melakukan penggeledahan untuk mencari senjata, lalu membolehkan kami lewat. Jika ada tanda-tanda pengenal di tapal batas itu, kami sama sekali tidak melihatnya.

Matahari sudah hampir terbenam ketika kami sampai di sebuah perkampungan yang terdiri atas tenda-tenda dan pondok-pondok darurat. Warna biru nampak di mana-mana: badan-badan bantuan membagi-bagikan lembaran plastik berwarna biru, yang kemudian dipakai oleh para pengungsi sebagai atap dan tirai tenda-tenda mereka.

Itulah Nong Chan, salah satu tempat penampungan di perbatasan. Tak kukira sudah sebanyak itu orang yang datang sebelum kami.

Kami menemukan suatu tempat di tepi sungai lalu duduk di situ.

Aku berpikir: kami sudah selamat. Emas kami dirampas, tapi itu tidak penting. Mulai saat itu takkan ada lagi pembantaian, tidak ada lagi perkosaan. Masa lalu akan kami singkirkan dari ingatan kami.

Mimpi buruk sudah berlalu.

Kami sudah selamat. Kami sudah bebas.

Ngim duduk di sisiku. Ia tersenyum senang. Selama itu ia tidak pernah rewei, dan aku sudah memutuskan untuk mengangkatnya sebagai anakku.

Aku duduk sambil berpikir-pikir tentang masa depan. Tentang memulai kehidupan yang baru, dan bekerja lagi sebagai dokter.

Kemudian aku berpikir lagi: ya, tapi aku takkan melupakan masa empat tahun yang sudah berlalu. Dan suatu hari nanti, dengan salah satu cara, akan kuceritakan kepada dunia luar apa yang terjadi waktu itu.

**********

Aku masih memiliki beberapa keping emas, yang ditempelkan di bawah ketiak Ngim. Aku mengambilnya, lalu bersama Balam aku mendatangi seorang penukar uang yang membawa-bawa timbangan. Untuk keping emas yang kusodorkan kepadanya, kami diberi uang kertas Thailand sebanyak empat ratus baht, yang waktu itu nilainya sekitar dua puluh dollar Amerika. Uang yang kami peroleh itu kami belikan beras, ikan asin, kecap ikan, dan sayur-sayuran dari para pedagang yang berjualan di dekat situ. Setelah itu masih ada sedikit uang yang tersisa.

Kami berdua berjalan lambat-lambat, hendak kembali ke tempat keluarga kami. Tapi kami berhenti ketika melihat seorang lelaki yang mendorong gerobak. Di sisi gerobaknya ada lambang berwarna merah, biru, dan putih. Gerobak itu berisi es dan botol-botol Pepsi-Cola.

"Siep baht! Siep baht!" seru orang itu menawar- nawarkan dagangannya. Kata siep itu kedengarannya seperti "sepuluh" dalam bahasa Mandarin, dan juga bahasa Cina dialek Teochiew. Aku menanyakannya kepada beberapa orang Kamboja yang ada di situ. Mereka mengatakan, betul, harganya sepuluh baht.

"Bang," kataku dengan bergairah kepada Balam, "kita beli, yuk. Kau dulu yang minum. Ayolah."

"Terlalu mahal, ah," kata Balam, yang berwatak hati-hati.

"Tidak. Empat tahun lamanya aku tidak pernah mmum es atau Pepsi."

"Jangan kauhambur-hambur duitmu," kata Balam.

"Ini bukan menghambur-hamburkan. Ini hidup, namanya! Ayolah, Bang!"

Kuacungkan dua jariku. Penjual itu mengangguk tanda mengerti, lalu bertanya padaku dalam bahasa Thai. Orang-orang Kamboja yang ada di dekat kami menerjemahkan: Apakah aku mau meminumnya dengan sedotan, atau dituangkan ke dalam kantong plastik?

"Bilang padanya, aku minta dua botol," kataku. "Aku minta botol yang paling dingin isinya."

Pedagang itu mengambil dua buah botol yang basah dari dasar gerobaknya. Label pada botol-botol itu tertulis dengan aksara Thai, yang agak berbeda sedikit dari aksara Kamboja; tapi aku masih bisa mengenali bahwa yang tertulis itu Pepsi-Cola.

"Yang paling dingin," kataku mengulangi. "Dua botol."

Si penjual membuka kedua botol itu, lalu menyodorkannya kepada kami yang langsung meneguk isinya.

Setelah minum beberapa teguk aku harus berhemi sebemar, karena minuman itu dingin sekali. Aku bisa merasakannya menuruni kerongkongan, dingin dan menyegarkan, terus sampai masuk ke perut. Aku langsung merasa tubuhku segar kembali. Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuangkat lagi botol itu ke mulutku.

Minuman itu seakan obat kuat rasanya bagiku. Aku merasa bertambah kuat karenanya. Mungkin penyebabnya gula dan kafein yang mengalir masuk ke dalam tubuhku yang sudah begitu lama kekurangan gizi; tapi kurasa bukan itu yang menyebabkan aku merasa menjadi segar. Bagiku, Pepsi berarti bahwa akhirnya kami benar-benar berhasil sampai di Barat.

Kuminum isi botol itu sampai habis, lalu kujilat jilat bibirku.

"Enak sekali kan, Bang," kataku. Balam mengangguk. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa, karena masih asyik minum. "Dua lagi!" seruku kepada si pedagang.

Sekali ini dituangkannya minuman segar itu ke dalam dua kantong plastik, dengan ditambahi es banyak-banyak. Dimasukkannya sedotan ke dalam kantong-kantong itu yang kemudian diikatnya dengan karet, supaya bisa kami jinjing. Kuserahkan dua puluh baht lagi kepadanya.

Kusedot minuman yang sangat dingin itu. "Sedap!" kataku. "Seperti Pepsi-Cola yang asli!"

Di Phnom Penh ada Pepsi-Cola, Coca-Cola, dan bermacam-macam merek minuman segar lainnya. Tapi itu sebelum revolusi. Waktu itu aku menganggapnya biasa saja. Aku bahkan tidak begitu suka segala macam minuman itu, sebenarnya.

Tapi yang ini lain. Belum pernah aku mencicip minuman sesedap itu. Dan setelah itu tidak ada minuman yang rasanya seenak yang kuminum waktu itu.

Sambil tidak henti-hentinya berguman, "Enak sekali", aku berjalan kembali ke rombonganku, bersama sepupuku. Dan aku kepingin meminumnya lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar