34. DAERAH BERBAHAYA
KETIKA aku sedang
bergegas di jalan yang menuju ke luar kota, ada seseorang yang melihat aku lalu
berseru memanggil-manggil, "Luk! Luk!" Itu sapaan cara lama, yang
dialamatkan kepada orang yang kedudukannya lebih tinggi dalam masyarakat. Orang
itu merapatkan kedua kakinya dan memberi hormat secara militer.
"Anak
setan!" seruku dengan gembira dan sekaligus heran. Orang itu Sok, sopirku
yang dulu, ketika aku masih di Phnom Penh. Aku menepuk bahunya, lalu mengatakan
bahwa ia sekarang tidak usah menyapaku lagi dengan sebutan itu.
"Mana nyonya
majikan?" tanya Sok. Orang yang ditanyakannya itu Huoy. Kukatakan
kepadanya bahwa Huoy sudah meninggal dunia. Sok mengangguk dengan wajah serius,
seakan kematian itu sudah bisa diperkirakan. Kemudian diajaknya aku makan di
rumahnya. Aku tidak punya waktu, jawabku menolak. "Aku sekarang ini hendak
ke perbatasan, tapi jika kau mau, ikut saja dengan aku," kataku.
"Sanak
keluargaku terlalu banyak, Bos. Kapan- kpan aku akan pergi juga, tapi sekarang
ini Anda harus mampir ke rumahku, untuk makan." Dipegangnya pergelangan
tanganku, lalu aku ditariknya ke sebuah pondok kecil di dekat situ.
Sejak berpisah
sewaktu mengungsi dari Phnom Penh, aku selalu bertanya-tanya sendiri, apa yang kemudian
terjadi dengan Sok. Ternyata setelah ia pergi dengan Mercedes-ku untuk
menjemput keluarganya, jalan-jalan ditutup oleh Khmer Merah. Karenanya ia tidak
bisa kembali untuk menjemput Huoy seperti rencana semula. Ia telalu
menyesalinya, dan sejak itu ia senantiasa bertanya-tanya pada dirinya sendiri
tentang nasibku serta Huoy.
Pagi itu untukku ia
menghidangkan santapan terbaik yang bisa diberikan keluarganya, yaitu nasi dan
ayam panggang. Ia memperlakukan diriku dengan sangat hormat. Aku sebenarnya ingin
mengajaknya ikut ke perbatasan. Tapi ia benar. Sanak keluarga yang hidup
bersama dia banyak, terdiri dari sekian orang bibi, sepupu, bayi, kakek dan
nenek -jumlah mereka yang selamat bisa menimbulkan iri- dan mereka tidak mungkin
bisa siap berangkat saat itu juga.
Kemudian aku
meneruskan langkah. Meski mengalami keterlambatan sedikit, tapi perasaanku gembira.
Sekitar pukul dua siang aku berhasil menyusul rombongan keluargaku. Kami
tinggal bertujuh sekarang: Balam, istrinya, kedua anak mereka dan seorang
keponakan, lalu aku dan Ngim. Kami berhenti sebentar untuk makan di bawah
naungan pohon kapuk, dekat sebuah kolam. Ngim menyerahkan ransel yang selama
itu disandangnya kepadaku, dan setelah itu kami melanjutkan perjalanan.
Dalam perjalanan
lewat jalan Nasional 5 menuju ke barat itu kami seiring dengan orang-orang lain
yang mendorong gerobak beroda kayu serta sejumlah lagi yang mengendarai gerobak
sapi. Perjalanan kami nampak lebih berat, karena barang-barang bawaan kami
panggul sendiri. Tapi itu nanti akan lebih menguntungkan, begitu jalan besar
sudah ditinggalkan. Mengingat tujuan perjalanan kami itu, lebih baik jika hanya
membawa barang-barang seperlunya saja.
Menjelang petang kami
dicegat serdadu-serdadu Heng Samrin yang menjaga di suatu pos pemeriksaan.
Mereka mengatakan bahwa demi keamanan kami sendiri lebih baik jika kami menginap
di desa yang ada di dekat situ. Kami menurut, meski dengan perasaan enggan.
Emas milikku sebagian kusimpan di balik pinggang celana, sementara selebihnya
ada di dalam dompet Huoy, yang kutaruh di bawah tungkaiku. Orang lain
kebanyakan menyembunyikan emas mereka dalam bungkusan yang mereka jadikan alas
kepala saat tidur Tapi ternyata itu keliru. Saat tengah malam serdadu-serdadu
Heng Samrin muncul, lalu dengan todongan senjata memaksa agar segala bungkusan
yang dijadikan bantal itu diserahkan kepada mereka. Itulah rupanya yang mereka maksudkan
dengan keamanan.
Keesokan harinya kami
sampai di Sisophon, kota besar terakhir sebelum perbatasan. Di situ serdadu-serdadu
Heng Samrin menyita barang-barang yang mereka inginkan. Mereka melakukannya secara
terang-terangan, saat siang hari. Dari diriku mereka menyita sepasang baju dan celana.
Dari yang lain-lainnya mereka merampas pakaian, pelples, beras, pokoknya apa
saja yang ada gunanya bagi mereka.
Di sebelah barat
Sisophon terbentang daerah persawahan yang datar dan kering kerontang. Di beberapa
tempat jarang nampak pepohonan. Di bawah sebatang pohon yang sangat besar ada
pos pemeriksaan yang didirikan serdadu-serdadu Heng Samrin, lengkap dengan
karung-karung pasir dan senapan mesin. Di tempat yang teduh di dekat situ
nampak serdadu-serdadu Vietnam yang sedang duduk-duduk dengan santai. Agak
terlalu santai. Ketika kami sampai di pos penjagaan itu, serdadu-serdadu Heng
Samrin langsung saja membentak, menuduh kami hendak lari ke luar negeri. Kami
tidak mungkin bisa membantah, karena yang ada di depan memang hanya perbatasan dengan
Thailand. Serdadu-serdadu itu menyuruh kami berbalik. Kami mulai berjalan lagi
ke arah timur. Tapi ada seseorang yang mengajukan penawaran agar kami
diperbolehkan terus, lalu serdadu-serdadu itu memanggil agar kami kembali ke
tempat mereka. Permainan sandiwara berakhir, dan dimulailah tawar-menawar.
Akhirnya aku
menyerahkan emas sebanyak satu chi -sekitar tiga gram- sebagai sogokan agar rombonganku
diizinkan lewat. Kami merasa bahwa kami pasti bisa sampai dengan selamat di perbatasan,
jika serdadu-serdadu itu ternyata hanya menginginkan emas saja.
Di daerah situ
lintasan jalan raya sejajar letaknya dengan rel kereta api. Semasa kejayaan kereta
api, yakni sebelum perang saudara pecah, ada hubungan kereta melintasi
perbatasan, menuju Bangkok, ibukota Thailand. Kini, setelah sekian tahun
terbengkalai di tengah kekalutan peperangan, kereta-kereta yang menuju ke barat
berakhir di Nimitt, sebuah desa yang letaknya tidak jauh dari perbatasan, dan
dari sana kembali lagi. Ketika kami sedang berjalan, kami dilewati iring-iringan
kereta yang menuju ke barat, membawa penumpang yang memenuhi gerbong-gerbong sampai
ke atapnya; kebanyakan dari mereka itu hendak pergi ke perbatasan, seperti
kami. Kereta-kereta menuju ke timur yang kemudian berpapasan dengan kami,
mengangkut barang-barang sslundupan dari Thailand. Kami sendiri sampai di desa
Nimitt ketika matahari sudah hampir terbenam.
Di desa itu ada
beberapa ratus pengembara seperti kami, yang berusaha pergi meninggalkan Kamboja.
Orang-orang yang mengaku penunjuk jalan berkeliaran, saling bersaing menawarkan
jasa sceara terbuka. "Ikut saja dengan rombonganku. Keselamatan kalian
kujamin!" seru seseorang dari mereka. "Jangan! Kemari saja! Aku lebih
murah!" kata seseorang lagi. Orang-orang yang ribut menawar-nawarkan jasa
sebagai pemandu itu dari golongan etnis Khmer yang berkulit sawo matang. Beberapa
dari mereka bertelanjang kaki.
Balam sendiri kaget
ketika mengenali salah seorang dari mereka. seorang lelaki yang sudah tua dan
bertubuh kurus. Orang itu berdarah campuran Khmer dan Cina. Dulu ia bertempat tinggal
di Phnom Penh, sebelum Khmer Merah merebut kekuasaan. Ia juga mengenal Balam, walau
tidak ingat namanya.
"Sahabat-sahabatku,"
kata lelaki tua itu dengan Dada meyakinkan, "aku sudah biasa mengantarkan rombongan
sampai ke perbatasan. Setiap malam aku melakukannya. Daerahnya kukenal baik,
dan setiap orang menaruh kepercayaan padaku. Jika aku yang mengantar kalian ke perbatasan,
kalian takkan diperas bandit-bandit di dalam hutan. Aku akan mengatur
segala-galanya. Akan kubayar mereka agar jangan merongrong. Cuma aku saja yang
bisa melakukannya. Bukannya aku ini bisa segala-galanya, tapi jika kalian mau
percaya padaku, ikutlah denganku. Setiap malam aku pergi ke perbatasan, dan
belum pernah ada kesulitan. Tapi jika kalian tidak percaya padaku, silakan saja
ikut dengan orang lain."
Aku diam saja. Segala
ocehannya sudah bisa kutebak lebih dulu, kata demi kata: bahwa dia sudah
berpengalaman. bahwa tidak ada yang perlu kami khawatirkan. bahwa tanpa kami
pun sudah banyak orang yang meminta agar ia mau menjadi penunjuk jalan mereka,
dan sebagainya. Jika aku ini pemandu jalan. tepat kata-kata begitu pulalah yang
akan kuucapkan. Jadi aku diam saja sambil mendengarkan kalau-kalau ada sesuatu
yang bisa kupercayai. Tapi aku tidak mendengarnya.
Walau begitu, aku
lebih tidak percaya lagi terhadap para pemandu yang selebihnya, dengan memperharikan
sorot mata mereka. Mereka selalu melirik barang-barang bawaan kami dengan sikap
menaksir, dan bukan menatap ke arah kami. Pandangan mereka diarahkan ke
selangkangan para wanita. Seakan-akan mata mereka memiliki kemampuan seperti
sinar Rontgen, bisa menemukan emas yang disembunyikan.
Aku kini sudah
memiliki kemampuan yang besar dalam menduga watak orang, sesudah empat tahun
hidup dibawah rezim Khmer Merah. Aku berkeliling sambil mendengarkan para
pemandu jalan yang saling bersaing menawarkan jasa. Diam-diam aku menaksir
mereka. Kuperhatikan nada suara mereka, sikap mereka; kuperhatikan segala-galanya
yang memancar dari kepribadian mereka, tapi yang paling kuamati adalah mata mereka.
Akhirnya aku kembali
ke lelaki tua kenalan Balam di Phnom Penh dulu. Menurut taksiranku. peluangnya
sekitar sepuluh persen bahwa ia akan memperlakukan kami dengan selayaknya. Aku memilih
lelaki tua itu karena dia berdarah Cina, seperti aku juga, dan karena ia masih
ingat pada Balam. Mungkin itu akan menyebabkan dia tidak berbuat sembarangan
terhadap kami. Nilai kepercayaanku terhadap pemandu-pemandu yang lain. hanya
sekitar dua persen saja.
Tawar-menawar
berlangsung di balik pintu tertutup, dalam sebuah ruangan yang penuh sesak di
rumah lelaki tua itu. Mula-mula ia minta bayaran satu damleung emas untuk setiap kepala. Lalu ia menurunkan harganya
menjadi empat perlima damleung. Aku
berembuk sebentar dengan Balam. Ngim berumur sembilan tahun, sama dengan anak
lelaki Balam yang paling kecil.
"Anak-anak
setengah harga," kataku kemudian kepada pemandu itu. Ia setuju.
"Tapi kalian
harus membayarnya sekarang." kalanya menambahkan. sambil menjalari sekujur
tubuhku dengan matanya.
Biaya yang harus
dibayar untuk rombonganku 4,8 damleung
emas, yang nilainya sekitar 1.000 dollar Amerika.
Aku pergi ke luar,
meninggalkan Balam di dalam ruangan yang penuh sesak itu. Aku membawa emas
dalam berbagai bentuk: beberapa lembar emas kertas 24 karat yang tergulung berbentuk
tabung-tabung kecil dan kuselipkan di balik pinggang celana; rantai yang 22 atau
24 karat; dan beberapa batang dan keping 24 karat berukuran kecil-kecil. Aku
menggabungkan diri kembali dengan rombonganku yang sedang duduk di sekeliling
api. Kami mengobrol dengan santai, sementara Ngim memanaskan makanan untukku.
Kramaku terlilit seperti selendang di leherku. Kemudian aku membungkuk sedikit
ke depan, sehingga ujung kramaku terjulur menutupi bagian atas celanaku. Dengan
cepat kurogoh saku di sebelah dalam pinggang celana. Kugenggam emas yang ada di
situ. lalu secara tidak mencolok mata kubungkus dengan ujung krama yang
kemudian kusimpulkan. Ngim dan istri Balam melihat perbuatanku itu, tapi yang
lain-lainnya tidak. Sehabis makan aku masuk lagi ke rumah pemandu jalan itu
untuk menyerahkan emas yang kukeluarkan itu kepadanya.
Pukul satu tengah
malam semua yang akan ikut dengan pemandu jalan itu sudah berkumpul di depan
rumahnya, membentuk barisan panjang. Bintang-bintang kemerlip di langit Bulan
sabit nampak mengambang di sebelah barat. Malam itu sunyi, hanya suara jangkrik
saja yang terdengar. Kami berangkat, dengan tempo yang jauh lebih lambat dari
yang kuingini. Kami melewati jalan setapak lalu menyusuri lintasan gerobak,
memotong daerah persawahan dan menembus hutan. Arah yang akan kami tempuh
mula-mula ke utara dan baru kemudian ke barat, menjauhi jalan-jalan dan
desa-desa, memasuki daerah yang tidak didiami orang. Kami tidak tahu berapa
jauhnya kami harus berjalan, sebelum sampai di perbatasan.
Ketika fajar mulai
menyingsing di sebelah timur, iring-iringan itu berhenti. lstri Balam berpaling
lalu berbisik-bisik kepadaku yang ada di belakang Ngim, "Khmer Merah. Beri
tahu orang di belakangmu."
Aku berpaling dan
meneruskannya kepada orang yang ada di belakangku.
Dari arah depan
terdengar suara lantang seseorang yang berbicara dengan nada masam.
"Kenapa kalian hendak meninggalkan negeri ini? Kenapa? Kalian tidak setia
kepada negeri sendiri!"
Tidak ada yang
menjawab.
Matahari muncul di
langit. Barisan bergerak maju, beringsut-ingsut. Aku melihat empat sampai lima
orang Khmer Merah di depan, berpakaian serba hitam dan menggenggam senapan.
Mereka memungut kepingan-kepingan emas dari orang-orang dalam rombongan kami,
sebagai pembayaran.
Aku menyembunyikan
emasku di berbagai tempat-keping-keping kecil di balik pinggang celana untuk
menghadapi kemungkinan harus membayar pungutan liar seperti ini, beberapa lagi dalam
sepatu kanvas hijau model Vietnam yang kutemukan waktu itu, dan beberapa chi
kutempelkan di bawah ketiak Ngim. Sementara sebagian besar dari emas simpananku
sudah kuserahkan kepada istri Balam, dan disembunyikannya di balik pakaian
dalam yang dipakainya.
Segenap anggota
rombonganku berbaris di depanku. Aku berjalan di samping barisan sejauh beberapa
langkah, lalu menyelip masuk lagi di depan seluruh anggota keluargaku. Sementara
itu seluruh barisan maju terus, beringsut-ingsut.
Serdadu-serdadu Khmer
Merah itu menggeledah ranselku.
Kusodorkan emas
sebanyak dua chi kepada mereka.
"Buka
mulutmu," kata mereka. Mereka meneliti rongga mulutku, kalau-kalau ada
emas di situ. Mereka menggeledah tubuhku, dan ranselku mereka lemparkan ke
sebuah tumpukan. Setelah aku, mereka memeriksa mulut Ngim dengan senter, sementara
keranjang yang dibawanya dilemparkan ke tumpukan yang tadi. Kemudian tiba
giliran Balam. Ketika serdadu-serdadu itu sedang sibuk memeriksa
barang-barangnya, kuambil lagi ranselku serta keranjang Ngim. Sewaktu tas yang dibawa
Balam juga dirampas, ia meniru perbuatanku dan mengambilnya lagi ketika
perhatian serdadu-serdadu itu sedang terarah ke tempat lain.
Serdadu-serdadu itu
mematahkan tongkat-tongkat pikulan untuk memeriksa kalau-kalau ada emas
disembunyikan di dalamnya. Mereka mengaduk- aduk beras yang ditaruh di dalam
panci-panci, untuk melihat apakah ada sesuatu yang ditaruh di situ. Mereka
merampas baju-baju Montagut, yang memang sangat disukai orang-orang Khmer
Merah.
Tapi Khmer Merah yang
sejati takkan mau melepaskan kami pergi. Dan serdadu-serdadu Khmer Merah yang
sejati takkan menaruh minat pada emas. Mereka ini Khmer Merah gadungan, serdadu-serdadu
Heng Samrin yang menyamar dengan seragam hitam-hitam. Pasti ada serdadu-serdadu
Vietnam di dekat situ, menunggu sambil mengamat-amati.
*************
Kami sudah memasuki
suatu daerah yang berbahaya, jauh di sudut barat laut Kamboja. Kepercayaanku
yang semula ada sepuluh persen kepada pemandu yang memimpin rombongan merosot,
tinggal satu persen. Ketika hari sudah terang, kulihat bahwa bukan dia sendiri
yang memandu kami, tapi anak buahnya.
Sejam setelah
serdadu-serdadu Khmer Merah gadungan yang tadi, kami dicegat lagi oleh kawanan
yang serupa. Mereka berteriak-teriak sambil mengancam. Mereka membidikkan
senapan ke arah kami, dan melihat sorot mata mereka yang liar nyaris saja aku
percaya bahwa mereka benar-benar akan menembak. Padahal ternyata bahwa itu
lagi-lagi gertakan belaka. Mereka menyuruh semuanya meletakkan barang-barang menjadi
satu tumpukan besar, lalu mereka mengacak- acak isinya, mencari emas. Banyak
juga yang mereka temukan, ditaruh di dalam cerek-eerek tempat memasak air yang
rupanya ada dua lapis dasarnya. Setelah barang-barang bawaan diperiksa, mereka
lantas menggeledah orang-orang yang lelaki. Tapi para wanita tidak. Rombonganku
diperbolehkan lewat setelah aku menyodorkan emas sebanyak dua chi kepada
mereka; tapi orang lain yang tidak membawa emas disuruh berbalik, kembali ke
arah Nimitt.
Lintasan yang kami
lewati menuju ke hutan-hutan hujan di daerah Pegunungan Dangrek. Pohon-pohon
berkayu keras dari jenis-jenis choeu
teal, khlong, dan theng menjulang
tinggi di atas kepala; aku mengenalinya, dari pengalaman bekerja di perusahaan
kayu keluargaku dulu. Barang-barang rotan sebesar pergelanganku berjuluran dari
dahan-dahan.
Keadaan di dalam
hutan sunyi-senyap. Hanya kicau burung saja yang terdengar, dan bunyi gemerisik
kadal yang lari menyelusup di bawah belukar. Di puncak-puncak bukit yang
ditaburi batu-batu besar, kami bergerak meloncat dari batu ke batu. Kami
merambah rumpun-rumpun bambu yang tumbuh lebat di lereng-lerengnya. Kami
bergerak menyusur lintasan yang naik turun.
Kami sampai di sebuah
sungai yang mengalir di dasar sebuah lembah. Buih berwarna hijau mengambang di
atas permukaan airnya yang berwarna coklat. Kami mengarunginya. Sesampai di
seberang, kami meneguk air bersih yang kami bawa dalam bermacam-macam tempat.
Seorang wanita tua menyembah kepadaku, minta dibagi. Kutuangkan air ke tutup
pelplesku untuknya. Tapi hanya sebegitu saja yang kuberikan.
Setelah itu kami
berjalan lagi. Rombongan kami bergerak membentuk deretan panjang yang berkelok-kelok
mengikuti alur lintasan yang dilewati. Tiba-tiba dari arah depan terdengar
bunyi ledakan samar, seperti tembakan artileri. Kami terus saja berjalan.
Beberapa menit kemudian dari ujung depan rombongan datang berita bahwa ada ranjau
yang meledak. Banyak yang tewas sebagai akibatnya.
Iring-iringan kami berhenti.
Tidak seorang pun berani berkutik. Tidak ada yang berani duduk di pinggir jalan
setapak itu.
Kemudian datang kabar
baru dari depan: para penunjuk jalan minggat semuanya, meninggalkan kami.
Kami menunggu selama
satu jam. Kemudian iring-iringan manusia itu bergerak maju lagi. Kusuruh Ngim
melangkah dengan hati-hati, menginjak tanah yang sudah dilalui kakiku.
Kami berjalan dengan
hati-hati sekali. Setelah suatu tikungan dilewati, kami sampai di tempat ledakan
yang terdengar tadi terjadi. Di mana-mana nampak darah bercipratan. Aku melihat
sepotong lengan tersangkut di dahan sebatang pohon, potongan kaki menyusup di
tengah rumpun bambu. Lebih dari sepuluh orang tergeletak mati di tepi jalan
setapak itu, dan masih banyak lagi yang luka-luka. Aku memberikan bantuan sebisa-bisaku,
dan memberi petunjuk kepada sanak-keluarga orang-orang yang cedera mengenai cara
mencegah terjadinya infeksi. Hanya itu yang bisa dilakukan, karena kami tidak
membawa bekal obat-obatan. Sangat memilukan, harus mati atau mcngalami cedera
seperti itu, padahal sudah begitu dekat dengan kebebasan setelah berhasil mempertahankan
nyawa selama sekian tahun berada di bawah kungkungan kekuasaan Khmer Merah.
Ranjau-ranjau itu
rupanya dipasang di kiri-kanan jalan setapak. Ada juga yang dipasang di tengah.
Ranjau-ranjau itu dilengkapi dengan tombol peledak berukuran sebesar mata uang
dan berwarna putih atau kelabu. Dari tombol-tombol peledak itu dipasangkan
kawat penjebak kaki yang direntangkan ke berbagai tempat, ke batu atau batang
pohon yang ada di dekat-dekat situ. Kawat itu dari nilon berwarna putih, jadi
nyaris tidak kelihatan.
Kami bergerak maju
dengan sangat hati-hati. berkelok-kelok naik-turun; kemudian terdengar lagi
bunyi ledakan di depan. Ketika kami sampai di sebuah sungai setelah menuruni
lereng sebuah bukit, kami melihat orang-orang sudah sibuk melakukan penguburan.
Para korban yang luka-luka diletakkan di atas apa saja yang bisa dijadikan pembungkus
tubuhnya. Bungkusan berisi manusia itu digantungkan pada tongkat bambu lalu dipikul.
Beberapa orang yang luka kena pecahan ranjau duduk dengan pandangan nanar
karena kaget. Sekali ini ranjau itu dipasang di bawah air. Ngim pandai
berenang. Tapi kusuruh dia merangkul leherku, lalu aku berenang ke seberang membawanya.
Kami tidak tahu,
pihak Vietnam atau Khmer Merah-kah yang memasang ranjau itu. Tapi bagi kami itu
juga tidak penting. Kami hanya tahu bahwa kami harus mengamat-amati lintasan
yang akan dilewati dengan sangat waspada, kalau-kalau ada kawat halus berwarna
putih melintang di situ. Daun-daun kering terhampar di jalan dan beterbangan tertendang
kaki orang-orang yang lewat di atasnya, sehingga menambah kesulitan kami
melihat tali penjebak itu.
Untuk ketiga kalinya
terdengar ledakan lagi, jauh di depan kami. Ketika kami sampai di tempat itu,
nampak jalan setapak itu berlubang besar di tengah-tengahnya. Lalat beterbangan
mengerumuni darah manusia. Tidak jauh dari situ nampak sejumlah kuburan yang
ditumpuki tanaman berduri, untuk mencegah binatang buas menggalinya.
Kami terus saja
berjalan. Hawa panas dan berdebu. Orang-orang yang berhenti di pinggir jalan
mengemis-ngemis minta dibagi air dan makanan. Tapi aku hanya membagi air
sedikit-sedikit saja, dan itu pun hanya pada para wanita yang sudah tua.
Ketika hari mulai gelap,
kami memeriksa suatu tempat yang kami pilih di samping lintasan. Setelah
memastikan bahwa di situ tidak dipasang ranjau, kami pun berkemah. Kami tidak
menyalakan api, karena tidak berani mengambil risiko mencari kayu bakar. Nyamuk
mengerumuni lengan dan kaki kami; hampir sepanjang malam kami sibuk
menepuk-nepuk, berusaha mengusir mereka. Sinar bulan menerobos lewat puncak- puncak
pepohonan yang menjulang jauh di atas kepala.
Keesokan paginya kami
meneruskan langkah lagi, membuntuti orang yang berada di depan dan sambil
berharap bahwa orang·orang yang paling depan tahu ke mana mereka harus menuju.
Tapi kurasa mereka tidak tahu. Matahari pagi ada di sisi kiri kami, dan itu
berarti bahwa kami menuju ke selatan. Padahal, menurut rencana kami harus menuju
ke utara dan kemudian ke barat. Jadi karena saat itu masih pagi, letak matahari
seharusnya di kanan, atau kalau tidak, di belakang kami. Tapi aku sudah capek.
Aku juga tidak yakin lagi tentang kemampuanku mengenali arah.
Menjelang tengah hari
iring-iringan berhenti sebentar, lalu bergerak maju lagi. Setelah itu semua
disuruh berkumpul di sebuah tempat yang lapang. Delapan orang membawa senapan
umuk berburu mendatangi kami. Mereka bercakap- cakap dalam bahasa yang menurut
dugaanku pasti bahasa Thai.
Aku tidak tahu dengan
pasti apakah mereka itu orang Thai, begitu pula halnya dengan orang- orang yang
muncul kemudian. Mungkin saja beberapa di antara mereka itou orang Kamboja yang
bisa berbahasa Thai, karena tinggal dekat perbatasan. Aku hanya tahu bahwa
perbuatan mereka kemudian menyebabkan aku mengucap syukur bahwa Huoy tidak ikut
bersamaku.
Orang-orang itu
menyuruh para wanita membuka pakaian mereka, termasuk pakaian dalam; tapi
wanita-wanita itu diperbolehkan menukarnya dengan sarung sebagai penutup tubuh.
Dengan cekatan para perampok itu kemudian menggerayangi kutang-kutang,
pinggiran gaun-gaun dan celana panjang. Mereka menemukan sebagian besar dari
emas bawaanku yang kutitipkan pada istri Balam dan yang disembunyikannya di
balik pakaian dalamnya.
Setelah itu mereka
melakukan penggeledahan. Para wanita itu disuruh membuka mulut. Lubang telinga
diperiksa. Rambut. Jari-jari kasar menggerayangi tubuh-tubuh wanita.
Kemudian mereka
menggeledah tubuh kami. Perbuatan yang serupa. Mereka menemukan emas yang kusimpan
di balik pinggang celanaku. Tapi yang kusembunyikan dalam sepatu tetap aman.
Setelah itu para
wanita dipisahkan dari kaum lelaki, dan dimulailah aksi-aksi perkosaan secara terang-terangan.
Wanita-wanita muda yang paling cantik diperkosa berulangkali. Bandit-bandit
yang sedang menunggu giliran menjaga kami dengan senapan teracung. Kami sama
sekali tidak berdaya untuk berbuat apa pun juga.
Mereka tidak
memperkosa istri Balam, dan Ngim tidak diganggu. Digeledah saja pun tidak.
Kami berjalan lagi.
Setengah mil kemudian berhenti kembali, ketika ada lagi sejumlah orang bersenjata
menghadang. Sekali ini tidak terjadi perkosaan. Ketika sudah selesai
menggeledah kami, mereka menyuruh kami terus. Kami ambil barang-barang kami
yang masih tersisa, lalu terseok-seok lagi sejauh setengah mil. Untuk ketiga
kalinya kami kembali harus berhenti.
Kami bergerak dari
pencegatan yang satu ke pencegatan berikut, lalu yang berikut lagi. Kami benar-benar
nanar karenanya. Bandit-bandit itu kadang-kadang berbahasa Thai, dan kadang-kadang
Khmer. Mereka menyita tongkat-tongkat dan batang-batang bambu yang dipakai
untuk mengusung orang-orang yang cedera, karena mengira bahwa ada emas yang
disembunyikan di dalamnya. Kain pembalut luka mereka buka, kalau-kalau ada emas
disembunyikan di situ. Seorang gadis cantik berumur tujuh belas tahun mereka
robek-robek pakaiannya. Ia sama sekali tidak menyembunyikan emas. Tapi ia
meronta-ronta karena ingin melindungi diri. Dan sikapnya itu menyebabkan ia
diseret ke dalam hutan dan di situ ditembak kepalanya.
Dihitung mulai dari
Nimitt, termasuk dua kali kami digeledah oleh serdadu-serdadu Khmer Merah
gadungan, dalam keseluruhannya tiga puluh tujuh kali kami dicegat dan
digeledah. Sepatuku dengan emas yang kusembunyikan di dalamnya dirampas, begitu
pula geretan Zippo yang selalu kubawa sejak mengungsi dari Phnom Penh. Dalam
kejadian pencegatan terakhir, ketika tinggal sedikit sekali barang kami yang
masih tersisa, bandit-bandit itu merampasi pisau, parang, sepatu, topi, dan
pakaian yang masih baru.
Seluruh rombongan
seperti terpana. Kami tidak mampu menerima kenyataan bahwa semuanya itu benar-benar
terjadi, bahwa segala barang milik Iwni sudah dirampas. Selama sekian tahun di bawah
rezim Khmer Merah, tidak pernah tubuh kami digeledah, dan jarang terdengar
bahwa ada wanita yang diperkosa.
Kami tersaruk-saruk
dengan perasaan nanar, melewati bangkai seekor sapi yang menginjak ranjau.
Sejak kami disergap bandit-bandit itu, jarang kami jumpai ranjau-ranjau lagi.
Alam lingkungan yang
dilewati mulai mendatar. Wujud tumbuhan beralih dari hutan hujan menjadi hutan
kering yang terbuka, dengan sedikit belukar di bawahnya. Daun pohon-pohon berkayu
keras yang menaungi jauh di atas kepala nyaris saling bersentuhan, tapi
batang-batangnya tumbuh berjarak jarang-jarang.
Seorang Thai
berpakaian sipil berdiri di jalan setapak itu, menunggu kedatangan kami. Orang itu
ternyata perwira intelijen pemerintah Thaiand. Dalam bahasa Khmer yang bagus
tapi berlogat asing ditanyakannya kepada kami tentang orang-orang Vietnam, tentang
Khmer Merah, dan tentang pengalaman kami sewaktu berjalan menuju perbatasan.
Dikatakannya bahwa nanti kami akan berjumpa dengan tentara Thailand, tapi kami
tidak perlu khawatir. Ditambahkannya bahwa di tempat itu nanti juga ada petugas-petugas
Palang Merah Thailand dan badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kami meneruskan
langkah, dan kemudian sampai di tempat tentara Thailand menunggu kami. Mereka
melakukan penggeledahan untuk mencari senjata, lalu membolehkan kami lewat.
Jika ada tanda-tanda pengenal di tapal batas itu, kami sama sekali tidak
melihatnya.
Matahari sudah hampir
terbenam ketika kami sampai di sebuah perkampungan yang terdiri atas tenda-tenda
dan pondok-pondok darurat. Warna biru nampak di mana-mana: badan-badan bantuan membagi-bagikan
lembaran plastik berwarna biru, yang kemudian dipakai oleh para pengungsi sebagai
atap dan tirai tenda-tenda mereka.
Itulah Nong Chan,
salah satu tempat penampungan di perbatasan. Tak kukira sudah sebanyak itu
orang yang datang sebelum kami.
Kami menemukan suatu
tempat di tepi sungai lalu duduk di situ.
Aku berpikir: kami
sudah selamat. Emas kami dirampas, tapi itu tidak penting. Mulai saat itu takkan
ada lagi pembantaian, tidak ada lagi perkosaan. Masa lalu akan kami singkirkan
dari ingatan kami.
Mimpi buruk sudah
berlalu.
Kami sudah selamat.
Kami sudah bebas.
Ngim duduk di sisiku.
Ia tersenyum senang. Selama itu ia tidak pernah rewei, dan aku sudah memutuskan
untuk mengangkatnya sebagai anakku.
Aku duduk sambil
berpikir-pikir tentang masa depan. Tentang memulai kehidupan yang baru, dan
bekerja lagi sebagai dokter.
Kemudian aku berpikir
lagi: ya, tapi aku takkan melupakan masa empat tahun yang sudah berlalu. Dan
suatu hari nanti, dengan salah satu cara, akan kuceritakan kepada dunia luar
apa yang terjadi waktu itu.
**********
Aku masih memiliki
beberapa keping emas, yang ditempelkan di bawah ketiak Ngim. Aku mengambilnya,
lalu bersama Balam aku mendatangi seorang penukar uang yang membawa-bawa timbangan.
Untuk keping emas yang kusodorkan kepadanya, kami diberi uang kertas Thailand sebanyak
empat ratus baht, yang waktu itu nilainya sekitar dua puluh dollar Amerika.
Uang yang kami peroleh itu kami belikan beras, ikan asin, kecap ikan, dan
sayur-sayuran dari para pedagang yang berjualan di dekat situ. Setelah itu masih
ada sedikit uang yang tersisa.
Kami berdua berjalan
lambat-lambat, hendak kembali ke tempat keluarga kami. Tapi kami berhenti
ketika melihat seorang lelaki yang mendorong gerobak. Di sisi gerobaknya ada
lambang berwarna merah, biru, dan putih. Gerobak itu berisi es dan botol-botol
Pepsi-Cola.
"Siep baht! Siep baht!" seru orang itu menawar- nawarkan dagangannya. Kata
siep itu kedengarannya seperti "sepuluh" dalam bahasa Mandarin, dan
juga bahasa Cina dialek Teochiew. Aku menanyakannya kepada beberapa orang
Kamboja yang ada di situ. Mereka mengatakan, betul, harganya sepuluh baht.
"Bang,"
kataku dengan bergairah kepada Balam, "kita beli, yuk. Kau dulu yang
minum. Ayolah."
"Terlalu mahal,
ah," kata Balam, yang berwatak hati-hati.
"Tidak. Empat
tahun lamanya aku tidak pernah mmum es atau Pepsi."
"Jangan
kauhambur-hambur duitmu," kata Balam.
"Ini bukan
menghambur-hamburkan. Ini hidup, namanya! Ayolah, Bang!"
Kuacungkan dua
jariku. Penjual itu mengangguk tanda mengerti, lalu bertanya padaku dalam bahasa
Thai. Orang-orang Kamboja yang ada di dekat kami menerjemahkan: Apakah aku mau meminumnya
dengan sedotan, atau dituangkan ke dalam kantong plastik?
"Bilang padanya,
aku minta dua botol," kataku. "Aku minta botol yang paling dingin
isinya."
Pedagang itu
mengambil dua buah botol yang basah dari dasar gerobaknya. Label pada
botol-botol itu tertulis dengan aksara Thai, yang agak berbeda sedikit dari
aksara Kamboja; tapi aku masih bisa mengenali bahwa yang tertulis itu Pepsi-Cola.
"Yang paling
dingin," kataku mengulangi. "Dua botol."
Si penjual membuka
kedua botol itu, lalu menyodorkannya kepada kami yang langsung meneguk isinya.
Setelah minum
beberapa teguk aku harus berhemi sebemar, karena minuman itu dingin sekali. Aku
bisa merasakannya menuruni kerongkongan, dingin dan menyegarkan, terus sampai masuk
ke perut. Aku langsung merasa tubuhku segar kembali. Kutarik napas dalam-dalam,
lalu kuangkat lagi botol itu ke mulutku.
Minuman itu seakan
obat kuat rasanya bagiku. Aku merasa bertambah kuat karenanya. Mungkin penyebabnya
gula dan kafein yang mengalir masuk ke dalam tubuhku yang sudah begitu lama kekurangan
gizi; tapi kurasa bukan itu yang menyebabkan aku merasa menjadi segar. Bagiku, Pepsi
berarti bahwa akhirnya kami benar-benar berhasil sampai di Barat.
Kuminum isi botol itu
sampai habis, lalu kujilat jilat bibirku.
"Enak sekali
kan, Bang," kataku. Balam mengangguk. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa,
karena masih asyik minum. "Dua lagi!" seruku kepada si pedagang.
Sekali ini
dituangkannya minuman segar itu ke dalam dua kantong plastik, dengan ditambahi
es banyak-banyak. Dimasukkannya sedotan ke dalam kantong-kantong itu yang
kemudian diikatnya dengan karet, supaya bisa kami jinjing. Kuserahkan dua puluh
baht lagi kepadanya.
Kusedot minuman yang
sangat dingin itu. "Sedap!" kataku. "Seperti Pepsi-Cola yang
asli!"
Di Phnom Penh ada
Pepsi-Cola, Coca-Cola, dan bermacam-macam merek minuman segar lainnya. Tapi itu
sebelum revolusi. Waktu itu aku menganggapnya biasa saja. Aku bahkan tidak begitu
suka segala macam minuman itu, sebenarnya.
Tapi yang ini lain.
Belum pernah aku mencicip minuman sesedap itu. Dan setelah itu tidak ada minuman
yang rasanya seenak yang kuminum waktu itu.
Sambil tidak henti-hentinya
berguman, "Enak sekali", aku berjalan kembali ke rombonganku, bersama
sepupuku. Dan aku kepingin meminumnya lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar