35. MEDALION
SEJAK dulu kala, ada
dua negeri yang selalu bermusuhan dengan Kamboja, yaitu Vietnam di timur dan
Thailand di barat. Selama sekian abad yang silam kami selalu terlibat dalam
peperangan dan sengketa perbatasan dengan mereka.
Permusuhan itu
didasari oleh masalah rasial. Orang Khmer "asli" berkulit sawo
matang, sementara orang Vietnam dan Thai berkulit kuning. Bagi orang Asia pada
umumnya, termasuk pula kedua bangsa tetangga kami, semakin terang warna kulit
seseorang, semakin tinggi pula derajatnya. Mereka memandang rendah orang Kamboja,
karena lebih gelap warna kulitnya ketimbang mereka. Dan orang Kamboja, yang berwatak
penyegan, kadang-kadang kelihatannya menerima saja derajat yang dianggap lebih
rendah; padahal dalam hati ada rasa tidak senang.
Perbedaan bahasa dan
persaingan antar negara menambah ketajaman sengketa itu. Begitu pula adanya
ingatan yang panjang. Setiap murid sekolah di Kamboja mengerahui bahwa
runtuhnya kerajaan Kamboja kuno di Angkor disebabkan karena adanya penyerbuan
dari Negeri Siam. Setiap orang Kamboja mengenal kisah tentang orang-orang
Vietnam yang menggunakan kepala orang-orang Kamboja sebagai ganti batu-batu tungku
tempat memasak.
Tapi dari kedua
tetangga kami itu, kami lebih membenci orang Vietnam. Di segi kebudayaan, lebih
banyak kesamaan antara kami dan orang Thai. Kami menganut agama Budha yang
sejenis, yakni Budha Hinayana; patung-patung Budha, kuil-kuil, dan ritual
keagamaan kami hampir persis sama dengan yang ada di Thailand. Sementara di
Vietnam, kebanyakan penduduknya mempraktekkan budhisme aliran Mahayana, yang
baik kuil, patung Budha, maupun segala ritualnya jelas berbeda. Cukup banyak
kata-kata yang mirip dalam bahasa Khmer dan Thai, tapi antara bahasa Khmer dan
Vietnam hanya sedikir saja yang mirip. Rakyat pedesaan di Kamboja dan di Thailand
membangun rumah mereka di atas tiang-tiang, sementara perumahan rakyat desa di
Vietnam terletak di ranah.
Sehagai akibatnya,
antara orang-orang Thai dan Kamboja terjalin perasaan yang tidak jelas: kadang-
kadang bermusuhan, kadang-kadang bersahabat, tapi pada umumnya kedua perasaan
itu berbaur.
Macam-macam perasaan
yang ada di kalangan orang Thai di perbatasan Thailand-Kamboja, menyusul
runtuhnya rezim Khmer Merah. Orang-orang yang baik hati datang menghadiahkan pakaian
dan makanan kepada para pengungsi. (Ketika mereka memberikan pakaian kepada Ngim,
aku harus mengajarinya lagi ber-sompeah dengan kedua telapak tangan dirapatkan
-sekian tahun hidup dalam keke1aman semasa kekuasaan Khmer Merah menyebabkan
anak itu sudah lupa pada segala tatakrama kami.) Tapi ada juga orang-orang Thai
yang terus saja melakukan tindakan-tindakan perkosaan, perampokan, dan menteror
perkampungan pengungsi di perbatasan. Pihak pemerintah Thailand juga serba
bertentangan sikapnya. Mereka mengizinkan badan-badan internasional datang
membantu kami, tapi kadang-kadang tentara mereka memperlakukan kami dengan
kasar. Kami tidak pernah bisa tahu apa yang kami alami.
Sementara berada di
perkampungan pengungsi Nong Chan itu, dalam keadaan compang-camping dan
kekurangan gizi, aku dan Balam berusaha mengingat-ingat nama orang-orang yang mungkin
bisa memberi bantuan kepada kami. Satu dari mereka adalah seorang pria Thailand
bernama Chana Samuthawanija. la pernah menjadi duta besar negaranya di Phnom
Penh, semasa rezim Loo Nol. Waktu itu Balam masih merupakan pemilik perusahaan
penerbangan yang kaya dan berkedudukan tinggi dalam masyarakat, sehingga bisa
kenal dan juga bergaul dengan tokoh itu. Balam masih ingat bahwa Chana bisa
berbahasa Khmer, tapi tidak menguasai aksaranya; karena itu aku lantas
menuliskan surat untuk Balam, dalam bahasa Perancis. Surat itu kami kirimkan
bersama sekian banyak surat yang dialamatkan kepada orang-orang lain, dan
dengan segera sudah kami lupakan lagi.
Beberapa minggu
kemudian, waktu itu bulan Juni 1979, nama kami dipanggil lewat sistem pengeras
suara. Kami pergi untuk mengetahui sebabnya. Ternyata ada kendaraan menjemput kami
sekeluarga, untuk dibawa ke Bangkok. Kami naik dengan perasaan tidak mengerti,
lalu dengan kendaraan itu kami menempuh perjalanan selama beberapa jam ke
Lumpini, sebuah tempat transit di kota Bangkok. Tempat itu dulunya asrama tentara,
dengan sejumlah bangunan panjang yang seperti gudang wujudnya. Tidak ada
penjelasan untuk apa kami ada di situ, atau kenapa kami dibawa ke situ.
Kami juga tidak tahu
bahwa kami nyaris saja celaka, jika tetap berada di Nong Chan. Satu hari setelah
kami meninggalkan perkampungan pengungsi itu, 110 bus datang, sebagai bagian
dari suatu program yang diadakan oleh pihak militer Thailand tanpa pengumuman
terlebih dulu. Perkampungan pengungsi lain-lainnya di perbatasan juga didatangi
bus-bus. Lebih dari 45.000 orang Kamboja naik ke dalam kendaraan-kendaraan itu,
karena mengira akan diangkut ke tempat penampungan lain yang lebih baik
kondisinya. Tapi bus-bus itu ternyata membawa mereka mengitari lereng utara
Pegunungan Dangrek, menuju suatu bagian lain dari perbatasan antara Thailand
dan Kamboja yang terletak dekat sebuah kuil kuno yang bernama Preah Vihear. Di
sana, dengan senjata dan cemeti, serdadu-serdadu Vietnam memaksa para pengungsi
menuruni sebuah tebing curam, kembali ke wilayah Kamboja. Di kaki tebing itu
ada medan ranjau. Ratusan orang mati kena ledakan, beribu-ribu tewas karena
haus dan terserang penyakit selama hari-hari berikutnya. Di antara mereka yang
selamat, ada yang kemudian kembali lagi menuju tempat-tempat penampungan yang pernah
mereka datangi -dan dirampok serta diperkosa lagi oleh orang-orang Thai dalam
perjalanan.
Baru kemudian hari
aku dan Balam mendengar bcrita temang kejadian di Preah Viehar itu. Waktu itu
kami sedang berada di Lumpini, berusaha menduga-duga apa yang sedang terjadi.
Tempat itu membingungkan. Begitu banyak bahasa yang terdengar sekaligus di
sana. Sclain para pengungsi Kamboja juga ada orang-orang Vietnam dan Laos, tennasuk
pula suku-suku pegunungan dari Laos. Mereka itu memakai ikat kepala yang aneh kclihatannya,
dan kaum wanitanya dengan seenaknya saja menyusui bayi mereka di depan orang
banyak. Kalau hendak kencing mereka langsung saja berjongkok dan mengangkat
bagian bawah pakaian mereka.
Sebemar-sebentar
terdengar daftar nama orang-orang diumumkan lewat sistem pengeras suara. Orang-orang
bergegas dengan barang-barang bawaan mereka, untuk memulai perjalanan menuju berbagai
negara Barat seperti Amerika dan Perancis. Aku duduk bersandar ke dinding,
memperhatikan kesibukan orang-orang. Saat itu aku memakai sarung. Satu-satunya
celana panjang yang masih kumiliki setelah dirampok habis-habisan oleh kawanan
bandit-bandit perbatasan, baru saja dicuci oleh Ngim. Aku duduk sambil terus mengawasi
celanaku itu yang sedang dijemur, agar tidak dicuri orang. Ketika hari sudah
agak siang, tiba-tiba suasana menjadi ribut. Polisi meniup peluit, pintu
gerbang buru-buru dibuka, dan para penjaga di situ memberi hormat sceara
militer. Beberapa menit kemudian, lewat pcngeras suara terdengar panggilan yang
ditujukan untukku dan Balam.
"Kita beruntung,
Bang!" kataku dengan gembira kepada Balam. "Hari ini kita akan
berangkat ke Amerika Serikat. Ngim, tolong ambilkan celanaku."
"Pujiku bagi
dewata," kata Balam sambil mengangkat matanya ke atas. "Kita telah di
bimbing keluar dari neraka, menuju ke keselamatan."
Ketika sudah
berpakaian selengkapnya, aku dan Balam mencrobos kerumunan orang, mendatangi tempat
orang yang membacakan panggilan tadi. Di sana ada seorang pria berbusana rapi,
berwajah bundar yang nampak ramah dan bijaksana. Balam langsung mengenalinya.
"Itu Dutabesar Chana," bisiknya padaku. Orang-orang di sekeliling
Chana sibuk membungkuk-bungkuk dengan sikap menghaturkan sembah. Kami ikut
ber-sompeah. Akhirnya kami tahu, atas prakarsa siapa kami dipindahkan dari tempat
penampungan pengungsi yang di perbatasan ke situ.
"Jangan, jangan,
berdirilah," kata Chana dalam bahasa Khmer kepada orang-orang di
sekelilingnya yang menyembah terbungkuk-bungkuk. Bahasa kami tidak dikuasainya
dengan lancar, tapi kami bisa memahaminya. Begitu melihat kami, ia langsung
menyapa.
"Balam, Dokter,
kalian tidak perlu khawatir," katanya. "Kalian masih hidup. Masa
silam jangan terlalu dipikirkan lagi. Kalian berhasil selamat. Masa silam sudah
berlalu. Aku akan mengurus kalian. Jika perlu apa-apa, minta saja."
Chana nampak hampir
tidak bisa menahan air matanya. Teman lamanya, Balam, kini nampak hancur-hancuran:
kurus-kering, berpakaian compang- camping, rambut sudah beruban sebelum waktunya.
la memandang diriku, dan melihat rongsokan manusia lagi. Ia berpaling kepada dirinya
yang ada di sisinya, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Thai. Istrinya
merogoh tasnya dan mengeluarkan uang kertas dua tumpuk yang masing-masing
beberapa semi tebalnya. Tumpukan yang satu diserahkan kepada Balam, dan yang
satunya disodorkan kepadaku. Uang pemberian itu kami terima sambil membungkuk.
Setelah itu aku
berembuk sebentar dengan Balam.
"Yang
Mulia," kataku kemudian kepada Chana, "Anda sangat baik hari. Anda
sudah memindahkan kami dari perbatasan ke sini, dan sekarang Anda membantu kami
dengan pemberian uang ini. Kami mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada Anda
berdua." Aku berhenti sebentar, untuk melihat apakah Chana memahami
kata-kataku itu. la memahaminya.
"Sebetulnya Anda
telah menganugerahkan hadiah yang paling tinggi nilainya kepada kami," kataku
melanjutkan. "Anda telah menyelamatkan nyawa kami. Hadiah uang ini kami
terima, tapi kami ingin mengemhalikannya. Ini terlalu banyak bagi kami. Kami
harapkan Anda sudi menerimanya kembali, agar Anda memiliki simpanan untuk hari
tua nanti."
Chana sebenamya
secara tulus menghadiahkan uang itu. la berusaha mendesak, tapi kami tetap bertahan
menolak, dan akhirnya uang itu diterima kembali oleh istrinya. Peristiwa itu
mengandung makna tersembunyi yang dalam, dan semua yang terlibat di situ
memahaminya. Aku dan Balam masih tetap memiliki martabat kami. Ketika mula-mula
menerimanya, itu kami lakukan untuk menghargai perasaan Chana, dan kemudian
kami mengembalikan agar kami tidak kehilangan muka, dan untuk menunjukkan
hormat kami kepadanya.
Ternyata ketika surat
kami tiba di tempatnya, Chana sedang berada di Peking, untuk berunding dengan
Sihanouk. Setelah kembali ia bingung ketika melihat surat itu. Selain tidak
bisa membaca tulisan dalam bahasa Khmer, ia juga tidak memahami tulisan dalam
bahasa Perancis. Karenanya ia minta surat itu diterjemahkan. Tapi ia sepenuhnya
menyadari keadaan gawat yang sedang dialami orang-orang Kamboja, dan
kemungkinannya ia lebih bersimpati terhadap para pengungsi dari Kamboja, dibandingkan
dengan rekan-rekan yang setingkat dengan dia dalam pemerintahan. Beberapa hari
setelah datang menjenguk kami, Chana- yang selain diplomat juga berpangkat
mayor Jenderal dalam kepolisian negara Thailand- mengirimkan surat-surat pas
untukku dan Balam. Dengan surat pas itu kami bisa keluar masuk Lumpini semau
kami. Tapi aku tidak memanfaatkannya.
Aku masih saja
dirundung kesedihan, seperti awan hitam yang menahan sinar matahari. Aku tidak
mau bicara dengan pengungsi-pengungsi lain, atau berkeliling melihat-lihat kota
Bangkok. Huoy dan keluargaku masih terus terbayang-bayang dalam ingatanku.
Aku teringat pada
sesuatu yang pernah dikatakan oleh Huoy kepadaku, ketika rezim Lon Nol masih
berkuasa. Katanya waktu itu, dengan menjual semua mobil tangki bensin milikku
dan membeli karcis pesawat terbang, aku bisa meninggalkan Kamboja dan pergi ke
mana saja yang kuinginkan. Begitulah watak Huoy. la sama sekali tidak minta
diajak ikut. la menyuruh aku pergi itu karena ingin aku selamat.
Jika waktu itu aku
mau mendengarkan sarannya dan pergi dari Kamboja sebelum Khmer Merah merebut
kekuasaan, dan aku pergi itu dengan mengajak dia, maka pasti kini ia masih hidup.
Kami bisa hidup berbahagia sebagai suami istri. Jika aku mau menerima sarannya,
dan seandainya aku menampilkan sikap yang lebih berinisiatif, kemungkinan
seluruh keluarga bisa kuselamatkan. Tapi itu tidak terjadi, dan mereka semuanya
mati.
Coba aku waktu itu
mau mendengarkan.
Selain Ngim dan
sepupuku Balam, ada satu orang lagi di Lumpini yang masih termasuk keluargaku.
Orang itu memiliki nama Cina, Lo Sun-main. Pertalian keluarga antara kami
berdua tidak secara langsung -dia itu ipar adikku Hok- tetapi sewaktu masih di
Phnom Penh dulu kami berteman; dan kini, ketika tinggal sedikit sekali keluarga
kami yang masih hidup, kami sama-sama merasa ada pertalian kerabat yang erat.
Sun-main melihat bahwa jiwaku masih selalu tertekan. Ia berusaha menghibur.
Diajaknya aku mengobrol, dan dibawakannya aku makanan. la mengatakan, makanan
itu hadiah seorang pamannya yang kaya, yang tinggal di Bangkok.
Berulang kali ia
mengajak aku datang bertamu ke pamannya itu, tapi aku selalu menolak. Alasanku,
aku tidak punya pakaian yang pantas untuk itu. Dan memang benar, penampilanku
saat itu berantakan, dengan rambut dan jenggot gondrong; aku tidak ingin
kehilangan muka, mendatangi orang yang belum dikenal dengan penampilan macam
begitu. Tapi alasanku yang sebenarnya adalah bahwa aku ingin terap terbenam
dalam penderitaan, menyiksa diriku sendiri atas segala kegagalanku.
Akhirnya paman itu
yang datang berkunjung ke Lumpini. Namanya Lo Pai-boon. Umurnya sekitar lima
puluh tahun dengan rambut tipis yang disisir lurus ke belakang. Istrinya
bertubuh gemuk, berambut panjang. Mereka membawakan makanan dan buah-buahan
untukku-untuk kerabat mereka yang dokter, yang baru mereka dengar kabarnya saja
selama itu. Ketika melihat aku, mereka langsung menangis. Mereka menyogok para
penjaga di gerbang, lalu mengajakku dengan mobil mereka ke rumah.
Paman Lo pindah dari
Kamboja ke Thailand sewaktu ia masih kecil. Ia bekerja keras, seperti lazimnya
orang Cina perantauan, dan kini ia memiliki sebuah toko tekstil yang besar. Ia
sudah hampir tidak bisa lagi berbahasa Khmer, sementara aku hanya bisa bahasa
Thai sedikit-sedikit. Tapi kami sama-sama bisa berbahasa Cina dialek Teochiew,
dan karenanya kami bisa bercakap-cakap dengan leluasa. Kenyataan bahwa aku warga
Kamboja dan dia orang Thai, tidak menjadi masalah sama sekali. Latar belakang
kekerabatan kami sudah cukup sebagai jembatan yang menghubungkan.
Sementara aku duduk
dengan pakaianku yang compang-camping di rumahnya, Paman Lo memanggil seorang
penjahit. Orang itu datang, lalu mengambil ukuranku. Setelah penjahit itu
pergi, para tetangga berdatangan dengan membawa buah tangan. Paman Lo
memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saudara dekat dan juga dokter. Beberapa
jam kemudian penjahit yang tadi sudah datang lagi dengan membawa lima pasang
baju dan celana, yang baru saja selesai dibuat. Setelah itu aku diajak oleh
Paman Lo beserta istrinya membeli sepatu, setelah itu berbelanja bahan makanan.
Dari sana aku diajak ke restoran Cina yang paling hebat di Bangkok. Aku diapit
Paman Lo serta istrinya, yang berulang kali menyendokkan hidangan ke piringku.
Itulah makanan paling enak yang pernah kurasakan selama lebih dari empat tahun.
Sebelum aku
diantarnya pulang ke Lumpini, Paman Lo memberi uang sebanyak 3.000 baht kepadaku.
Nilainya waktu itu 150 doliar Amerika. Tapi bukan itu saja pemberiannya: aku diundangnya
datang sekali lagi dan dibelikannya kacamata; selain itu aku juga diberi
pakaian serta uang lagi. Kecuali aku, Balam juga banyak menerima hadiah.
Dengan hadiah-hadiah
yang begitu besar dan kedua orang Thai itu -Dutabesar Chana yang menghadiahkan
kebebasan sepenuhnya bagiku, lalu Lo Pai-boon yang memberi pakaian dan uang-
aku mulai bisa melupakan kemurunganku. Tapi masih ada satu lagi yang perlu
kulakukan, sebelum harga diriku bisa pulih lagi.
Kuambil foto Huoy
yang berasal dari kartu tanda pengenalnya, yang selama itu kusimpan terus. Uang
pemberian Paman Lo kumasukkan semuanya ke dalam kantongku, kutunjukkan surat
pasku yang dibuatkan oleh Chana kepada para penjaga di gerbang, lalu aku
melangkah ke luar.
Di daerah Glodoknya
kota Bangkok, aku menyuruh foto Huoy dibuatkan kopinya di atas sekeping
porselin kecil yang berbentuk hati, dan kuminta agar kopi dari foto itu
diwarnai. Keping porselin itu kemudian kubawa ke tukang emas dan aku meminta
dibuatkan medalion sebagai bingkainya. Sesudah selesai, kugantungkan medalion
itu dengan rantai ke leherku.
Medalion itu
merupakan jimat bagiku. Aku selalu bisa merasakan bobotnya yang menenteramkan hati
di balik kemejaku, di atas jantungku. Aku sungguh-sungguh percaya bahwa Huoy
akan terus menuntun dan melindungi diriku, selama aku memakai medalion itu. Aku
tidak pernah melepaskannya. Huoy selalu ada bersamaku, siang dan malam.
Perasaanku kini tidak
begitu tertekan lagi. Kadang-kadang sudah merasa seperti manusia biasa. Tapi
kepiluanku belum lenyap sama sekali. Dalam mimpiku, aku kembali diseret ke
penjara untuk disiksa lagi, berulang kali. Tapi saat siang hari, pada umumnya
pikiranku jernih. Aku mulai menaruh perhatian terhadap tempatku berada, terhadap
pusat transit Lumpini, yang penghuninya semua merupakan orang-orang yang
melarikan dari rezim-rezim komunis.
Tikar yang
bersebelahan dengan tempatku diisi oleh keluarga Vietnam dari golongan etnis
Cina. Keluarga itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik. Dalam bahasa
Cina tinggi gadis itu menceritakan bagaimana keluarganya melarikan diri dari
Vietnam dengan perahu. Kisahnya menegangkan: ratusan orang bersesak-sesak dalam
perahu-perahu kecil, lalu badai datang melanda, ombak besar menghantam
bertalu-talu, semuanya panik dan sibuk menimba air laut yang membanjir masuk-
dan kemudian muncul bajak laut bangsa Thai. Tidak banyak yang diceritakan gadis
itu tentang para bajak laut itu, kecuali bahwa mereka merampas emas bawaan para
pelarian; tapi aku bisa menebak apa yang terjadi dengan dirinya dari hal-hal
yang tidak diceritakannya, dan dengan memperharikan air mukanya. Ceritanya itu
membuat aku mengucap syukur dalam hati bahwa aku waktu itu tidak jadi lari naik
perahu bersama Huoy, dari Kampot ke Thailand.
Lalu ada pula
orang-orang Laos yang bisa berbahasa Cina, pedagang-pedagang dari desa-desa dan
kota-kota di dataran rendah sana. Mereka bercerita, ketika kaum komunis Pathet Lao
mulai berkuasa tahun 1975, serdadu-serdadu rezim lama serta para pejabat tinggi
dikirim ke kamp-kamp di daerah pedesaan untuk "dididik kembali". Di
sana mereka dipaksa bekerja keras dan mengikuti rapat-rapat propaganda yang membosankan.
Mirip dengan keadaan garis depan di Kamboja, dengan perbedaan bahwa di Laos jauh
lebih sedikit orang yang mati. Itu disebabkan karena pihak komunis Pathet Lao
tidak begitu kejam, dan juga tidak begitu fanatik seperti Khmer Merah. Tapi
percobaan Pathet Lao untuk melakukan reorganisasi terhadap daerah pedesaan sama
saja gagalnya seperti percobaan yang diterapkan Khmer Merah, dan akhimya banyak
orang terpelajar dan juga banyak petani yang memutuskan minggat. Mereka lari ke
Thailand dengan cara menyeberangi Sungai Mekong. Ada yang berenang malam-malam,
lain-lainnya menyewa perahu atau menyogok petugas-petugas agar dibiarkan lari
secara terbuka.
Lain halnya dengan
orang-orang yang berasal dari dataran rendah, orang-orang dari suku pegunungan di
Laos tidak menguasai satu pun bahasa yang kukenal. Jadi aku tidak bisa
mendengar kisah pengalaman mereka secara langsung. Tapi aku mendengar kabar
bahwa mereka itu dulunya gerilyawan yang mendapat dukungan CIA. Mereka berjuang
memerangi pasukan-pasukan Vietnam Utara di daerah pegunungan Laos. Perang mereka
tidak berakhir dengan direbutnya Vietnam Selatan tahun 1975. Pasukan-pasukan
Vietnam setelah itu masih juga melancarkan serangan-serangan. Suku-suku
pegunungan itu terus mengadakan perlawanan selama perbekalan masih ada, dan
baru pergi ketika sudah tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Kaum Ielaki
suku-suku pegunungan itu bertubuh kekar dan ulet, dengan celana komprang hitam
yang panjangnya sampai ke betis. Anak-anak mereka kotor, dengan ingus yang
selalu berleleran. Mereka berasal dari bermacam -macam suku, seperti H'mong,
Yao, dan suku-suku lainnya.
Lumpini itu kesannya
seperti kawasan Indocina berukuran mini: orang-orang Vietnam, Kamboja, dan Laos
bercampur-baur di situ, orang-orang dari dataran rendah dan pegunungan,
orang-orang kota dan desa, kalangan terpelajar yang bisa berbahasa Perancis dan
kaum petani yang seumur hidup belum pernah memakai sepatu. Kaum remaja di situ
selalu saja berkelahi, sepeni orang-orang dewasa di tanah air masing-masing.
Dan yang paling agresif di antaranya adalah remaja Vietnam. Karena berlainan
bahasa, begitu pula berasal dari ras dan kebudayaan yang berbeda-beda, kami
tidak merasa diri kami "orang Indocina", atau "pengungsi
lndocina". Hanya sedikit sekali kesamaan yang ada di antara kami, selain menderita
di bawah komunisme.
Tapi tempat itu
menarik. Aku mulai bekerja sebagai tenaga sukarela di klinik perawatan
kesehatan bersama seorang dokter berbangsa Vietnam. Orangnya sangat ramah, dan
juga pengungsi seperti aku. Kami bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Kami
sependapat bahwa di kalangan pengungsi di situ orang-orang Vietnam-lah yang paling
baik kondisi jasmaninya, dan orang-orang Kamboja yang paling buruk. Masalah
kesehatan yang paling serius di Lumpini adalah gangguan jiwa yang berwujud
depresi. Kebanyakan dari para pengungsi -tidak peduli dari mana mereka berasal-dihinggapi
perasaan murung karena kehilangan sanak keluarga dan cara hidup yang lama.
Setelah bekerja di
klinik itu, aku mulai banyak mendapat teman. Bahkan orang-orang Thai penjaga tempat
penampungan itu mendatangi aku dengan masalah kesehatan mereka, yang biasanya penyakit
kelamin. Penjaga-penjaga itu suka padaku. Mereka mengatakan bahwa aku boleh
keluar masuk Lumpini kapan saja aku mau, apakah itu dengan surat pas atau
tidak. Dan pada suatu hari aku melakukannya. Aku pergi berjalan-jalan ke luar.
*********
Jalan-jalan di kota
Bangkok penuh sesak dengan beraneka ragam kendaraan: bus, mobil sedan, truk,
taksi-taksi samlor beroda tiga dengan mesin dieselnya yang berisik dan
mengepulkan asap hitam berminyak. Sepeda motor bergerak meliuk-liuk di
tengah-tengah keramaian lalulintas, dengan keberanian yang sudah mengarah ke
nekat. Taksi-taksi air menderu-deru menyusuri jaringan parit-parit kuno, dan
kapal-kapal tambang bolak-balik mengangkut muatan menyeberangi Sungai Chao
Phraya. Kota itu tidak bisa dibilang bersih. Udaranya penuh asap, dan air di parit-parit
nampak hitam dan menjijikkan. Tapi aku suka pada Bangkok. Kota itu
menggairahkan dan penuh energi. Di mana-mana menjulang gedung bertingkat,
pencakar langit, jalan-jalan layang. Bunyi berisik lalu lintas dan kegiatan pembangunan
datang dari segala arah, setiap saat, siang dan malam. Belum pernah aku melihat
begitu banyak pesawat televisi, radio, lemari es, restoran, bar, lapangan sepak
bola. Penduduknya berpakaian serba rapi. Taraf kehidupan mereka tinggi.
Penampilan Bangkok
seperti kota idam-idaman yang dibayangkan oleh Chea Huon dalam pidatonya saat
peresmian pembangunan bendungan; tapi Bangkok merupakan realitas masa kini, dan
bukan khayalan masa depan. Makanan berlimpah ruah. Jalan-jalan berlapis aspal.
Rumah-rumah memiliki penerangan listrik. Segala pekerjaan terberat dilakukan
dengan kran dan buldoser. Banyak keluarga yang memiliki mobil atau sepeda motor.
Dan yang paling penting, rakyat Thai bebas. Tidak ada "Angka" yang
mengatur kehidupan mereka. Tidak ada yang memaksa mereka menghadiri rapat-rapat
propaganda, atau memperlakukan mereka sebagai budak. Dan karena memiliki
kebebasan, mereka jauh lebih produktif ketimbang kami, budak-budak perang.
Aku pergi ke Istana
Raja. Bangunannya seperti i istana raja di Phnom Penh, dengan menara-menara lancip
dan atap bergenting warna-warni. Aku mendatangi kuil-kuil. Jumlahnya banyak, nampak
bersih dan terawat rapi, dengan patung patung Budha yang banyak jumlahnya serta
bhiksu-bhiksu berjubah kuning-jingga. Aku mampir di altar terbuka yang terdapat
di pojok jalan, di depan Hotel Erawan. Di altar itu, hanya beberapa meter saja
dari persimpangan jalan yang selalu ramai di mana para pengemudi mobil, sepeda
motor, dan samlor memainkan gas dengan tidak sabar dan kemudian melesat maju
sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, siang maupun malam selalu
nampak suasana ibadat yang khusyuk. Para pemusik memainkan instrumen mereka,
para penari klasik menari dengan gerakan lemah gemulai, dan orang-orang
berdesak-desak masuk untuk membakar hio dan berdoa. Kchidupan tradisional dan
modern berdampingan, dan kedua-duanya berjalan dengan baik.
Aku merasa iri kepada
rakyat Thailand. Aku benar-benar iri! Mereka melestarikan kebudayaan tradisional
mereka, sementara kebudayaan tradisional kami dimusnahkan. Kuil-kuil kami
dihancurkan, bhiksu-bhiksu kami dibunuhi, buku-buku kami dirobek-robek,
halaman-halamannya dijadikan kertas rokok. Rakyat Thailand memiliki masa silam,
dan masa depan mereka yang makmur sudah terjamin. Bagi kebanyakan rakyat
Kamboja, masa depan akan berarti mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan
di dalam hutan, tinggal di gubuk-gubuk tanpa listrik, dan mematuhi perintah
serdadu-serdadu. Kami tidak memiliki ibukota yang modern dan selalu sibuk,
seperti Bangkok. Dibandingkan dengannya, Phnom Penh itu kota sunyi di daerah.
Ketika sudah kembali
di Lumpini, aku lantas bercakap-cakap dengan kawan-kawanku di situ. Ternyata
kesan kami semua sama. Sebelum sampai di Bangkok, hanya sedikit saja di antara
kami yang tahu bahwa ada kota yang begitu modern di Asia, apalagi di negara
tetangga. Kepada kami selalu kebalikannya yang didengung-dengungkan, yakni
bahwa Kamboja jauh lebih maju daripada negara-negara tetangganya. Semua
pemimpin kami mengatakan begitu: Sihanouk, Lon Nol, dan juga Khmer Merah.
Kami semua sependapat
bahwa ada kontras yang aneh: dua negara dengan kebudayaan dan sumber daya yang
hampir serupa, tapi yang satu sangat sukses, sementara yang lainnya ambruk total.
Kami bisa mengerti apa sebabnya Thailand bisa berhasil, tapi apa yang
menyebabkan Kamboja sampai gagal? Kami punya berbagai jawaban mengenainya, tapi
semua jawaban itu tidak setimpal dengan kepiluan kami. Dan kemungkinannya kami
akan bertanya-tanya terus sepanjang hidup kami, dan tidak pernah merasa
dipuaskan oleh penjelasannya.
*********
Hanya ini kuketahui
dengan pasti: keambrukan Kamboja, sebenarnya bisa dihindari. Politiklah yang
merupakan biang keladinya.
Dengan politik,
maksudku bukan hanya Khmer Merah saja. Pukulan terberat yang dialami Kamboja memang
datang dari Khmer Merah, tapi bukan mereka sendiri saja yang menyebabkan kehancurannya.
Negara-negara lain ikut berperan di dalamnya, dan kebanyakan dari negara-negara
itu melakukannya tanpa menyadari efek yang ditimbulkan politik mereka. Kisahnya
rumit, dan berawal sekian tahun yang silam.
Pertama-tama,
Perancis, negara yang dulu menjajah kami, tidak mempersiapkan kami untuk menyongsong
kemerdekaan. Mereka tidak menciptakan golongan menengah yang tangguh dan terpelajar,
yang diperlukan agar kami bisa memerintah diri kami dengan baik. Lalu ada pula Amerika
Serikat, yang dukungannya mendorong haluan kami yang semula netral ke kanan
pada tahun 1970, hal mana mengawali proses keguncangan politik. Begitu Lon Nol
berkuasa, Amerika Serikat sebetulnya bisa memaksanya agar mengambil tindakan
keras terhadap korupsi, dan mereka juga menghentikan aksi-aksi pemboman yang
mereka lakukan; tapi itu baru mereka lakukan ketika sudah terlambat. Aksi-aksi
pemboman dan tindak-tindak korupsi ikut menyebabkan Kamboja kemudian terdorong
ke arah berlawanan, yakni ke kiri. Di pihak komunis, Cina menyodorkan senjata
dan ideologi kepada Khmer Merah. Pihak Cina sebetulnya bisa saja memaksa Khmer
Merah menghentikan pembunuhan terhadap penduduk sipil, tapi mereka sama sekali
tidak melakukannya. Lalu ada pula Vietnam. Semasa tahun enam puluhan dan
saat-saat awal tahun tujuh puluhan, ketika pihak komunis Vietnam menggunakan
kawasan timur Kamboja sebagai bagian dari jaringan Lintasan Ho Chi Minh mereka,
mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka sudah sejak dulu suka
memanfaatkan Kamboja untuk keuntungan mereka sendiri.
Tapi sedihnya, negeri
yang paling banyak menyebabkan kehancuran Kamboja adalah Kamboja sendiri. Pol
Pot itu orang Kamboja. Lon Nol juga orang Kamboja, dan begitu pula Sihanouk. Para
pemimpin ketiga rezim itu secara bersama-sama menyebabkan timbulnya reaksi
berantai politis yang mengakibatkan keambrukan dan mungkin punahnya negara
kami.
Kalau hanya dilihat
di luarnya saja, sedikir pun tidak ada persamaan di antara para pemimpin itu. Sihanouk,
raja yang populis; Lon Nol, diktaror berhaluan kanan; Pol Pot, tokoh
ultrakomunis. Tapi di dalam sanubari mereka, keriga-tiganya serupa dengan Chea
Huon, dengan idam-idaman yang membubung tinggi tentang pembangunan tanah air.
Mereka juga sama-sama memiliki satu ciri sifat khas Kamboja, yakni kebanggaan
nasional yang berlebih-lebihan. Di sini yang kumaksudkan bukan kebanggaan
patriotik yang sehat dan normal, melainkan perasaan bahwa bangsa Kamboja lebih
unggul dari siapa pun juga. Bangsa-bangsa lain tetangga kami memandang rendah
terhadap kami karena berwarna kulit lebih gelap dari mereka; kadang-kadang kami
memang merasa lebih rendah, tapi di pihak lain dalam hati kami orang Kamboja
juga merasa lebih unggul dari mereka, dan kami berusaha membuktikannya aabila
ada peluang untuk itu.
Berulang kali
Sihanouk mengatakan kepada kami bahwa Kamboja merupakan "pulau yang damai",
sehingga seluruh dunia merasa iri. Dikatakannya bahwa bangsa Kamboja jauh lebih
beradab ketimbang bangsa Vietnam dan Thai. Segala ucapannya untuk membuat kami
merasa bangga; tapi ia tidak pernah memberikan dorongan kepada kami untuk
meninjau ke luar Kamboja agar bisa membandingkan sendiri. Seandainya itu dulu
kami lakukan, maka kami akan bisa menyadari betapa parahnya kondisi ekonomi
kami, betapa lemahnya kemampuan militer kami, betapa tidak efisiennya birokrasi
kami. Seandainya semua itu kami ketahui, dan jika Sihanouk sungguh-sungguh memiliki
minat terhadap pembangunan, ada kemungkinan kami bisa berbuat sesuatu untuk
menanggulanginya.
Sihanouk kemudian
digantikan oleh Lon Nol yang tidak kompeten itu. Ia berkeinginan memurnikan segala-galanya
di Kamboja: bangsa, kebudaayaan, agamanya. la mempersalahkan Vietnam sebagai
penyebab masalah-masalah yang melanda Kamboja, dan ia berkeyakinan bahwa bangsa
Vietnam secara rasial lebih rendah ketimbang kami, itu sebabnya ia membiarkan
saja serdadu- serdadunya membantai penduduk Kamboja yang berasal-usul dari
Vietnam. Itu sebabnya ia meninitakkan aksi-aksi penyerangan terhadap pasukan pasukan
Vietnam di sepanjang perbatasan Kamboja- Vietnam, meski tentara Vietnam Utara
itu paling tangguh di kawasan Asia. Lon Nol itu pengkhayal, bahkan melebihi
Sihanouk.
Sesudah Lon Nol,
tampil tokoh Pol Pot. Pemerintahan yang berhaluan ekstrem kanan digeser oleh
rezim ekstrem kiri, tapi para pemimpin yang berkuasa pada hakikatnya sama saja coraknya.
Seperti Lon Nol juga, Pol Pot itu rasis dengan idam-idaman muluk, yakni
memulihkan keagungan Kamboja. Ia ingin menumpas semua orang yang bukan orang
Khmer murni dari pedesaan: kalangan cerdik-cendekia dan profesional yang hidup
di kota-kota, orang-orang Cham (golongan minoritas Kamboja yang beragama lslam),
golongan etnis Vietnam, dan sampai ukuran tertentu bahkan juga golongan etnis
Cina. Khmer Merah selalu mengunggul-unggulkan kehebatan mereka. Selain mereka,
semuanya dianggap lebih rendah, seperti makhluk-makhluk yang hina. Itu sebabnya
Khmer Merah tidak segan-segan membunuh dan menyiksa. Itu sebabnya Pol Pot
melakukan kesalahan besar saat awal tahun 1977, ketika ia memerintahkan
serangan terhadap wilayah Vietnam dan membantai penduduk di situ. Seperti Lon
Nol sebelum dia, Pol Pot pada hakikatnya mengira bahwa ia bisa menang.
Sihanouk, Lon Nol,
Pol Pot: masing-masing pemimpin itu memiliki gambaran idam-idaman mengenai
Kamboja sebagai negara yang gagah perkasa dan bebas merdeka, berlainan dari
negara- negara tetangga dan lebih baik dari mereka. Gambar idam-idaman mereka
itu meleset dari kenyataannya; dari pemimpin yang satu ke pemimpin yang
berikutnya, keadaan negara menjadi semakin parah. Tahun 1979 negara Kamboja sudah
benar-benar ambruk. Di Thailand yang bertetangga terdapat jalan-jalan beraspal
mulus, kuil-kuil yang indah dan beras berlimpah ruah, melebihi kebutuhan pangan
penduduknya. Sebagai pengungsi, semakin banyak yang kulihat di Thailand,
semakin bertambah pula kemarahan yang membakar sanubariku. Kemarahan orang yang
baru saat itu sadar bahwa selama itu ia dibohongi terus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar