Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 19 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 35 : Medalion



35. MEDALION


SEJAK dulu kala, ada dua negeri yang selalu bermusuhan dengan Kamboja, yaitu Vietnam di timur dan Thailand di barat. Selama sekian abad yang silam kami selalu terlibat dalam peperangan dan sengketa perbatasan dengan mereka.

Permusuhan itu didasari oleh masalah rasial. Orang Khmer "asli" berkulit sawo matang, sementara orang Vietnam dan Thai berkulit kuning. Bagi orang Asia pada umumnya, termasuk pula kedua bangsa tetangga kami, semakin terang warna kulit seseorang, semakin tinggi pula derajatnya. Mereka memandang rendah orang Kamboja, karena lebih gelap warna kulitnya ketimbang mereka. Dan orang Kamboja, yang berwatak penyegan, kadang-kadang kelihatannya menerima saja derajat yang dianggap lebih rendah; padahal dalam hati ada rasa tidak senang.

Perbedaan bahasa dan persaingan antar negara menambah ketajaman sengketa itu. Begitu pula adanya ingatan yang panjang. Setiap murid sekolah di Kamboja mengerahui bahwa runtuhnya kerajaan Kamboja kuno di Angkor disebabkan karena adanya penyerbuan dari Negeri Siam. Setiap orang Kamboja mengenal kisah tentang orang-orang Vietnam yang menggunakan kepala orang-orang Kamboja sebagai ganti batu-batu tungku tempat memasak.

Tapi dari kedua tetangga kami itu, kami lebih membenci orang Vietnam. Di segi kebudayaan, lebih banyak kesamaan antara kami dan orang Thai. Kami menganut agama Budha yang sejenis, yakni Budha Hinayana; patung-patung Budha, kuil-kuil, dan ritual keagamaan kami hampir persis sama dengan yang ada di Thailand. Sementara di Vietnam, kebanyakan penduduknya mempraktekkan budhisme aliran Mahayana, yang baik kuil, patung Budha, maupun segala ritualnya jelas berbeda. Cukup banyak kata-kata yang mirip dalam bahasa Khmer dan Thai, tapi antara bahasa Khmer dan Vietnam hanya sedikir saja yang mirip. Rakyat pedesaan di Kamboja dan di Thailand membangun rumah mereka di atas tiang-tiang, sementara perumahan rakyat desa di Vietnam terletak di ranah.

Sehagai akibatnya, antara orang-orang Thai dan Kamboja terjalin perasaan yang tidak jelas: kadang- kadang bermusuhan, kadang-kadang bersahabat, tapi pada umumnya kedua perasaan itu berbaur.

Macam-macam perasaan yang ada di kalangan orang Thai di perbatasan Thailand-Kamboja, menyusul runtuhnya rezim Khmer Merah. Orang-orang yang baik hati datang menghadiahkan pakaian dan makanan kepada para pengungsi. (Ketika mereka memberikan pakaian kepada Ngim, aku harus mengajarinya lagi ber-sompeah dengan kedua telapak tangan dirapatkan -sekian tahun hidup dalam keke1aman semasa kekuasaan Khmer Merah menyebabkan anak itu sudah lupa pada segala tatakrama kami.) Tapi ada juga orang-orang Thai yang terus saja melakukan tindakan-tindakan perkosaan, perampokan, dan menteror perkampungan pengungsi di perbatasan. Pihak pemerintah Thailand juga serba bertentangan sikapnya. Mereka mengizinkan badan-badan internasional datang membantu kami, tapi kadang-kadang tentara mereka memperlakukan kami dengan kasar. Kami tidak pernah bisa tahu apa yang kami alami.

Sementara berada di perkampungan pengungsi Nong Chan itu, dalam keadaan compang-camping dan kekurangan gizi, aku dan Balam berusaha mengingat-ingat nama orang-orang yang mungkin bisa memberi bantuan kepada kami. Satu dari mereka adalah seorang pria Thailand bernama Chana Samuthawanija. la pernah menjadi duta besar negaranya di Phnom Penh, semasa rezim Loo Nol. Waktu itu Balam masih merupakan pemilik perusahaan penerbangan yang kaya dan berkedudukan tinggi dalam masyarakat, sehingga bisa kenal dan juga bergaul dengan tokoh itu. Balam masih ingat bahwa Chana bisa berbahasa Khmer, tapi tidak menguasai aksaranya; karena itu aku lantas menuliskan surat untuk Balam, dalam bahasa Perancis. Surat itu kami kirimkan bersama sekian banyak surat yang dialamatkan kepada orang-orang lain, dan dengan segera sudah kami lupakan lagi.

Beberapa minggu kemudian, waktu itu bulan Juni 1979, nama kami dipanggil lewat sistem pengeras suara. Kami pergi untuk mengetahui sebabnya. Ternyata ada kendaraan menjemput kami sekeluarga, untuk dibawa ke Bangkok. Kami naik dengan perasaan tidak mengerti, lalu dengan kendaraan itu kami menempuh perjalanan selama beberapa jam ke Lumpini, sebuah tempat transit di kota Bangkok. Tempat itu dulunya asrama tentara, dengan sejumlah bangunan panjang yang seperti gudang wujudnya. Tidak ada penjelasan untuk apa kami ada di situ, atau kenapa kami dibawa ke situ.

Kami juga tidak tahu bahwa kami nyaris saja celaka, jika tetap berada di Nong Chan. Satu hari setelah kami meninggalkan perkampungan pengungsi itu, 110 bus datang, sebagai bagian dari suatu program yang diadakan oleh pihak militer Thailand tanpa pengumuman terlebih dulu. Perkampungan pengungsi lain-lainnya di perbatasan juga didatangi bus-bus. Lebih dari 45.000 orang Kamboja naik ke dalam kendaraan-kendaraan itu, karena mengira akan diangkut ke tempat penampungan lain yang lebih baik kondisinya. Tapi bus-bus itu ternyata membawa mereka mengitari lereng utara Pegunungan Dangrek, menuju suatu bagian lain dari perbatasan antara Thailand dan Kamboja yang terletak dekat sebuah kuil kuno yang bernama Preah Vihear. Di sana, dengan senjata dan cemeti, serdadu-serdadu Vietnam memaksa para pengungsi menuruni sebuah tebing curam, kembali ke wilayah Kamboja. Di kaki tebing itu ada medan ranjau. Ratusan orang mati kena ledakan, beribu-ribu tewas karena haus dan terserang penyakit selama hari-hari berikutnya. Di antara mereka yang selamat, ada yang kemudian kembali lagi menuju tempat-tempat penampungan yang pernah mereka datangi -dan dirampok serta diperkosa lagi oleh orang-orang Thai dalam perjalanan.

Baru kemudian hari aku dan Balam mendengar bcrita temang kejadian di Preah Viehar itu. Waktu itu kami sedang berada di Lumpini, berusaha menduga-duga apa yang sedang terjadi. Tempat itu membingungkan. Begitu banyak bahasa yang terdengar sekaligus di sana. Sclain para pengungsi Kamboja juga ada orang-orang Vietnam dan Laos, tennasuk pula suku-suku pegunungan dari Laos. Mereka itu memakai ikat kepala yang aneh kclihatannya, dan kaum wanitanya dengan seenaknya saja menyusui bayi mereka di depan orang banyak. Kalau hendak kencing mereka langsung saja berjongkok dan mengangkat bagian bawah pakaian mereka.

Sebemar-sebentar terdengar daftar nama orang-orang diumumkan lewat sistem pengeras suara. Orang-orang bergegas dengan barang-barang bawaan mereka, untuk memulai perjalanan menuju berbagai negara Barat seperti Amerika dan Perancis. Aku duduk bersandar ke dinding, memperhatikan kesibukan orang-orang. Saat itu aku memakai sarung. Satu-satunya celana panjang yang masih kumiliki setelah dirampok habis-habisan oleh kawanan bandit-bandit perbatasan, baru saja dicuci oleh Ngim. Aku duduk sambil terus mengawasi celanaku itu yang sedang dijemur, agar tidak dicuri orang. Ketika hari sudah agak siang, tiba-tiba suasana menjadi ribut. Polisi meniup peluit, pintu gerbang buru-buru dibuka, dan para penjaga di situ memberi hormat sceara militer. Beberapa menit kemudian, lewat pcngeras suara terdengar panggilan yang ditujukan untukku dan Balam.

"Kita beruntung, Bang!" kataku dengan gembira kepada Balam. "Hari ini kita akan berangkat ke Amerika Serikat. Ngim, tolong ambilkan celanaku."

"Pujiku bagi dewata," kata Balam sambil mengangkat matanya ke atas. "Kita telah di bimbing keluar dari neraka, menuju ke keselamatan."

Ketika sudah berpakaian selengkapnya, aku dan Balam mencrobos kerumunan orang, mendatangi tempat orang yang membacakan panggilan tadi. Di sana ada seorang pria berbusana rapi, berwajah bundar yang nampak ramah dan bijaksana. Balam langsung mengenalinya. "Itu Dutabesar Chana," bisiknya padaku. Orang-orang di sekeliling Chana sibuk membungkuk-bungkuk dengan sikap menghaturkan sembah. Kami ikut ber-sompeah. Akhirnya kami tahu, atas prakarsa siapa kami dipindahkan dari tempat penampungan pengungsi yang di perbatasan ke situ.

"Jangan, jangan, berdirilah," kata Chana dalam bahasa Khmer kepada orang-orang di sekelilingnya yang menyembah terbungkuk-bungkuk. Bahasa kami tidak dikuasainya dengan lancar, tapi kami bisa memahaminya. Begitu melihat kami, ia langsung menyapa.

"Balam, Dokter, kalian tidak perlu khawatir," katanya. "Kalian masih hidup. Masa silam jangan terlalu dipikirkan lagi. Kalian berhasil selamat. Masa silam sudah berlalu. Aku akan mengurus kalian. Jika perlu apa-apa, minta saja."

Chana nampak hampir tidak bisa menahan air matanya. Teman lamanya, Balam, kini nampak hancur-hancuran: kurus-kering, berpakaian compang- camping, rambut sudah beruban sebelum waktunya. la memandang diriku, dan melihat rongsokan manusia lagi. Ia berpaling kepada dirinya yang ada di sisinya, lalu mengatakan sesuatu dalam bahasa Thai. Istrinya merogoh tasnya dan mengeluarkan uang kertas dua tumpuk yang masing-masing beberapa semi tebalnya. Tumpukan yang satu diserahkan kepada Balam, dan yang satunya disodorkan kepadaku. Uang pemberian itu kami terima sambil membungkuk.

Setelah itu aku berembuk sebentar dengan Balam.

"Yang Mulia," kataku kemudian kepada Chana, "Anda sangat baik hari. Anda sudah memindahkan kami dari perbatasan ke sini, dan sekarang Anda membantu kami dengan pemberian uang ini. Kami mengucapkan beribu-ribu terima kasih pada Anda berdua." Aku berhenti sebentar, untuk melihat apakah Chana memahami kata-kataku itu. la memahaminya.

"Sebetulnya Anda telah menganugerahkan hadiah yang paling tinggi nilainya kepada kami," kataku melanjutkan. "Anda telah menyelamatkan nyawa kami. Hadiah uang ini kami terima, tapi kami ingin mengemhalikannya. Ini terlalu banyak bagi kami. Kami harapkan Anda sudi menerimanya kembali, agar Anda memiliki simpanan untuk hari tua nanti."

Chana sebenamya secara tulus menghadiahkan uang itu. la berusaha mendesak, tapi kami tetap bertahan menolak, dan akhirnya uang itu diterima kembali oleh istrinya. Peristiwa itu mengandung makna tersembunyi yang dalam, dan semua yang terlibat di situ memahaminya. Aku dan Balam masih tetap memiliki martabat kami. Ketika mula-mula menerimanya, itu kami lakukan untuk menghargai perasaan Chana, dan kemudian kami mengembalikan agar kami tidak kehilangan muka, dan untuk menunjukkan hormat kami kepadanya.

Ternyata ketika surat kami tiba di tempatnya, Chana sedang berada di Peking, untuk berunding dengan Sihanouk. Setelah kembali ia bingung ketika melihat surat itu. Selain tidak bisa membaca tulisan dalam bahasa Khmer, ia juga tidak memahami tulisan dalam bahasa Perancis. Karenanya ia minta surat itu diterjemahkan. Tapi ia sepenuhnya menyadari keadaan gawat yang sedang dialami orang-orang Kamboja, dan kemungkinannya ia lebih bersimpati terhadap para pengungsi dari Kamboja, dibandingkan dengan rekan-rekan yang setingkat dengan dia dalam pemerintahan. Beberapa hari setelah datang menjenguk kami, Chana- yang selain diplomat juga berpangkat mayor Jenderal dalam kepolisian negara Thailand- mengirimkan surat-surat pas untukku dan Balam. Dengan surat pas itu kami bisa keluar masuk Lumpini semau kami. Tapi aku tidak memanfaatkannya.

Aku masih saja dirundung kesedihan, seperti awan hitam yang menahan sinar matahari. Aku tidak mau bicara dengan pengungsi-pengungsi lain, atau berkeliling melihat-lihat kota Bangkok. Huoy dan keluargaku masih terus terbayang-bayang dalam ingatanku.

Aku teringat pada sesuatu yang pernah dikatakan oleh Huoy kepadaku, ketika rezim Lon Nol masih berkuasa. Katanya waktu itu, dengan menjual semua mobil tangki bensin milikku dan membeli karcis pesawat terbang, aku bisa meninggalkan Kamboja dan pergi ke mana saja yang kuinginkan. Begitulah watak Huoy. la sama sekali tidak minta diajak ikut. la menyuruh aku pergi itu karena ingin aku selamat.

Jika waktu itu aku mau mendengarkan sarannya dan pergi dari Kamboja sebelum Khmer Merah merebut kekuasaan, dan aku pergi itu dengan mengajak dia, maka pasti kini ia masih hidup. Kami bisa hidup berbahagia sebagai suami istri. Jika aku mau menerima sarannya, dan seandainya aku menampilkan sikap yang lebih berinisiatif, kemungkinan seluruh keluarga bisa kuselamatkan. Tapi itu tidak terjadi, dan mereka semuanya mati.

Coba aku waktu itu mau mendengarkan.

Selain Ngim dan sepupuku Balam, ada satu orang lagi di Lumpini yang masih termasuk keluargaku. Orang itu memiliki nama Cina, Lo Sun-main. Pertalian keluarga antara kami berdua tidak secara langsung -dia itu ipar adikku Hok- tetapi sewaktu masih di Phnom Penh dulu kami berteman; dan kini, ketika tinggal sedikit sekali keluarga kami yang masih hidup, kami sama-sama merasa ada pertalian kerabat yang erat. Sun-main melihat bahwa jiwaku masih selalu tertekan. Ia berusaha menghibur. Diajaknya aku mengobrol, dan dibawakannya aku makanan. la mengatakan, makanan itu hadiah seorang pamannya yang kaya, yang tinggal di Bangkok.

Berulang kali ia mengajak aku datang bertamu ke pamannya itu, tapi aku selalu menolak. Alasanku, aku tidak punya pakaian yang pantas untuk itu. Dan memang benar, penampilanku saat itu berantakan, dengan rambut dan jenggot gondrong; aku tidak ingin kehilangan muka, mendatangi orang yang belum dikenal dengan penampilan macam begitu. Tapi alasanku yang sebenarnya adalah bahwa aku ingin terap terbenam dalam penderitaan, menyiksa diriku sendiri atas segala kegagalanku.

Akhirnya paman itu yang datang berkunjung ke Lumpini. Namanya Lo Pai-boon. Umurnya sekitar lima puluh tahun dengan rambut tipis yang disisir lurus ke belakang. Istrinya bertubuh gemuk, berambut panjang. Mereka membawakan makanan dan buah-buahan untukku-untuk kerabat mereka yang dokter, yang baru mereka dengar kabarnya saja selama itu. Ketika melihat aku, mereka langsung menangis. Mereka menyogok para penjaga di gerbang, lalu mengajakku dengan mobil mereka ke rumah.

Paman Lo pindah dari Kamboja ke Thailand sewaktu ia masih kecil. Ia bekerja keras, seperti lazimnya orang Cina perantauan, dan kini ia memiliki sebuah toko tekstil yang besar. Ia sudah hampir tidak bisa lagi berbahasa Khmer, sementara aku hanya bisa bahasa Thai sedikit-sedikit. Tapi kami sama-sama bisa berbahasa Cina dialek Teochiew, dan karenanya kami bisa bercakap-cakap dengan leluasa. Kenyataan bahwa aku warga Kamboja dan dia orang Thai, tidak menjadi masalah sama sekali. Latar belakang kekerabatan kami sudah cukup sebagai jembatan yang menghubungkan.

Sementara aku duduk dengan pakaianku yang compang-camping di rumahnya, Paman Lo memanggil seorang penjahit. Orang itu datang, lalu mengambil ukuranku. Setelah penjahit itu pergi, para tetangga berdatangan dengan membawa buah tangan. Paman Lo memperkenalkan diriku kepada mereka sebagai saudara dekat dan juga dokter. Beberapa jam kemudian penjahit yang tadi sudah datang lagi dengan membawa lima pasang baju dan celana, yang baru saja selesai dibuat. Setelah itu aku diajak oleh Paman Lo beserta istrinya membeli sepatu, setelah itu berbelanja bahan makanan. Dari sana aku diajak ke restoran Cina yang paling hebat di Bangkok. Aku diapit Paman Lo serta istrinya, yang berulang kali menyendokkan hidangan ke piringku. Itulah makanan paling enak yang pernah kurasakan selama lebih dari empat tahun.

Sebelum aku diantarnya pulang ke Lumpini, Paman Lo memberi uang sebanyak 3.000 baht kepadaku. Nilainya waktu itu 150 doliar Amerika. Tapi bukan itu saja pemberiannya: aku diundangnya datang sekali lagi dan dibelikannya kacamata; selain itu aku juga diberi pakaian serta uang lagi. Kecuali aku, Balam juga banyak menerima hadiah.

Dengan hadiah-hadiah yang begitu besar dan kedua orang Thai itu -Dutabesar Chana yang menghadiahkan kebebasan sepenuhnya bagiku, lalu Lo Pai-boon yang memberi pakaian dan uang- aku mulai bisa melupakan kemurunganku. Tapi masih ada satu lagi yang perlu kulakukan, sebelum harga diriku bisa pulih lagi.

Kuambil foto Huoy yang berasal dari kartu tanda pengenalnya, yang selama itu kusimpan terus. Uang pemberian Paman Lo kumasukkan semuanya ke dalam kantongku, kutunjukkan surat pasku yang dibuatkan oleh Chana kepada para penjaga di gerbang, lalu aku melangkah ke luar.

Di daerah Glodoknya kota Bangkok, aku menyuruh foto Huoy dibuatkan kopinya di atas sekeping porselin kecil yang berbentuk hati, dan kuminta agar kopi dari foto itu diwarnai. Keping porselin itu kemudian kubawa ke tukang emas dan aku meminta dibuatkan medalion sebagai bingkainya. Sesudah selesai, kugantungkan medalion itu dengan rantai ke leherku.

Medalion itu merupakan jimat bagiku. Aku selalu bisa merasakan bobotnya yang menenteramkan hati di balik kemejaku, di atas jantungku. Aku sungguh-sungguh percaya bahwa Huoy akan terus menuntun dan melindungi diriku, selama aku memakai medalion itu. Aku tidak pernah melepaskannya. Huoy selalu ada bersamaku, siang dan malam.

Perasaanku kini tidak begitu tertekan lagi. Kadang-kadang sudah merasa seperti manusia biasa. Tapi kepiluanku belum lenyap sama sekali. Dalam mimpiku, aku kembali diseret ke penjara untuk disiksa lagi, berulang kali. Tapi saat siang hari, pada umumnya pikiranku jernih. Aku mulai menaruh perhatian terhadap tempatku berada, terhadap pusat transit Lumpini, yang penghuninya semua merupakan orang-orang yang melarikan dari rezim-rezim komunis.

Tikar yang bersebelahan dengan tempatku diisi oleh keluarga Vietnam dari golongan etnis Cina. Keluarga itu mempunyai seorang anak perempuan yang cantik. Dalam bahasa Cina tinggi gadis itu menceritakan bagaimana keluarganya melarikan diri dari Vietnam dengan perahu. Kisahnya menegangkan: ratusan orang bersesak-sesak dalam perahu-perahu kecil, lalu badai datang melanda, ombak besar menghantam bertalu-talu, semuanya panik dan sibuk menimba air laut yang membanjir masuk- dan kemudian muncul bajak laut bangsa Thai. Tidak banyak yang diceritakan gadis itu tentang para bajak laut itu, kecuali bahwa mereka merampas emas bawaan para pelarian; tapi aku bisa menebak apa yang terjadi dengan dirinya dari hal-hal yang tidak diceritakannya, dan dengan memperharikan air mukanya. Ceritanya itu membuat aku mengucap syukur dalam hati bahwa aku waktu itu tidak jadi lari naik perahu bersama Huoy, dari Kampot ke Thailand.

Lalu ada pula orang-orang Laos yang bisa berbahasa Cina, pedagang-pedagang dari desa-desa dan kota-kota di dataran rendah sana. Mereka bercerita, ketika kaum komunis Pathet Lao mulai berkuasa tahun 1975, serdadu-serdadu rezim lama serta para pejabat tinggi dikirim ke kamp-kamp di daerah pedesaan untuk "dididik kembali". Di sana mereka dipaksa bekerja keras dan mengikuti rapat-rapat propaganda yang membosankan. Mirip dengan keadaan garis depan di Kamboja, dengan perbedaan bahwa di Laos jauh lebih sedikit orang yang mati. Itu disebabkan karena pihak komunis Pathet Lao tidak begitu kejam, dan juga tidak begitu fanatik seperti Khmer Merah. Tapi percobaan Pathet Lao untuk melakukan reorganisasi terhadap daerah pedesaan sama saja gagalnya seperti percobaan yang diterapkan Khmer Merah, dan akhimya banyak orang terpelajar dan juga banyak petani yang memutuskan minggat. Mereka lari ke Thailand dengan cara menyeberangi Sungai Mekong. Ada yang berenang malam-malam, lain-lainnya menyewa perahu atau menyogok petugas-petugas agar dibiarkan lari secara terbuka.

Lain halnya dengan orang-orang yang berasal dari dataran rendah, orang-orang dari suku pegunungan di Laos tidak menguasai satu pun bahasa yang kukenal. Jadi aku tidak bisa mendengar kisah pengalaman mereka secara langsung. Tapi aku mendengar kabar bahwa mereka itu dulunya gerilyawan yang mendapat dukungan CIA. Mereka berjuang memerangi pasukan-pasukan Vietnam Utara di daerah pegunungan Laos. Perang mereka tidak berakhir dengan direbutnya Vietnam Selatan tahun 1975. Pasukan-pasukan Vietnam setelah itu masih juga melancarkan serangan-serangan. Suku-suku pegunungan itu terus mengadakan perlawanan selama perbekalan masih ada, dan baru pergi ketika sudah tidak ada pilihan lain lagi bagi mereka. Kaum Ielaki suku-suku pegunungan itu bertubuh kekar dan ulet, dengan celana komprang hitam yang panjangnya sampai ke betis. Anak-anak mereka kotor, dengan ingus yang selalu berleleran. Mereka berasal dari bermacam -macam suku, seperti H'mong, Yao, dan suku-suku lainnya.

Lumpini itu kesannya seperti kawasan Indocina berukuran mini: orang-orang Vietnam, Kamboja, dan Laos bercampur-baur di situ, orang-orang dari dataran rendah dan pegunungan, orang-orang kota dan desa, kalangan terpelajar yang bisa berbahasa Perancis dan kaum petani yang seumur hidup belum pernah memakai sepatu. Kaum remaja di situ selalu saja berkelahi, sepeni orang-orang dewasa di tanah air masing-masing. Dan yang paling agresif di antaranya adalah remaja Vietnam. Karena berlainan bahasa, begitu pula berasal dari ras dan kebudayaan yang berbeda-beda, kami tidak merasa diri kami "orang Indocina", atau "pengungsi lndocina". Hanya sedikit sekali kesamaan yang ada di antara kami, selain menderita di bawah komunisme.

Tapi tempat itu menarik. Aku mulai bekerja sebagai tenaga sukarela di klinik perawatan kesehatan bersama seorang dokter berbangsa Vietnam. Orangnya sangat ramah, dan juga pengungsi seperti aku. Kami bercakap-cakap dalam bahasa Perancis. Kami sependapat bahwa di kalangan pengungsi di situ orang-orang Vietnam-lah yang paling baik kondisi jasmaninya, dan orang-orang Kamboja yang paling buruk. Masalah kesehatan yang paling serius di Lumpini adalah gangguan jiwa yang berwujud depresi. Kebanyakan dari para pengungsi -tidak peduli dari mana mereka berasal-dihinggapi perasaan murung karena kehilangan sanak keluarga dan cara hidup yang lama.

Setelah bekerja di klinik itu, aku mulai banyak mendapat teman. Bahkan orang-orang Thai penjaga tempat penampungan itu mendatangi aku dengan masalah kesehatan mereka, yang biasanya penyakit kelamin. Penjaga-penjaga itu suka padaku. Mereka mengatakan bahwa aku boleh keluar masuk Lumpini kapan saja aku mau, apakah itu dengan surat pas atau tidak. Dan pada suatu hari aku melakukannya. Aku pergi berjalan-jalan ke luar.

*********

Jalan-jalan di kota Bangkok penuh sesak dengan beraneka ragam kendaraan: bus, mobil sedan, truk, taksi-taksi samlor beroda tiga dengan mesin dieselnya yang berisik dan mengepulkan asap hitam berminyak. Sepeda motor bergerak meliuk-liuk di tengah-tengah keramaian lalulintas, dengan keberanian yang sudah mengarah ke nekat. Taksi-taksi air menderu-deru menyusuri jaringan parit-parit kuno, dan kapal-kapal tambang bolak-balik mengangkut muatan menyeberangi Sungai Chao Phraya. Kota itu tidak bisa dibilang bersih. Udaranya penuh asap, dan air di parit-parit nampak hitam dan menjijikkan. Tapi aku suka pada Bangkok. Kota itu menggairahkan dan penuh energi. Di mana-mana menjulang gedung bertingkat, pencakar langit, jalan-jalan layang. Bunyi berisik lalu lintas dan kegiatan pembangunan datang dari segala arah, setiap saat, siang dan malam. Belum pernah aku melihat begitu banyak pesawat televisi, radio, lemari es, restoran, bar, lapangan sepak bola. Penduduknya berpakaian serba rapi. Taraf kehidupan mereka tinggi.

Penampilan Bangkok seperti kota idam-idaman yang dibayangkan oleh Chea Huon dalam pidatonya saat peresmian pembangunan bendungan; tapi Bangkok merupakan realitas masa kini, dan bukan khayalan masa depan. Makanan berlimpah ruah. Jalan-jalan berlapis aspal. Rumah-rumah memiliki penerangan listrik. Segala pekerjaan terberat dilakukan dengan kran dan buldoser. Banyak keluarga yang memiliki mobil atau sepeda motor. Dan yang paling penting, rakyat Thai bebas. Tidak ada "Angka" yang mengatur kehidupan mereka. Tidak ada yang memaksa mereka menghadiri rapat-rapat propaganda, atau memperlakukan mereka sebagai budak. Dan karena memiliki kebebasan, mereka jauh lebih produktif ketimbang kami, budak-budak perang.

Aku pergi ke Istana Raja. Bangunannya seperti i istana raja di Phnom Penh, dengan menara-menara lancip dan atap bergenting warna-warni. Aku mendatangi kuil-kuil. Jumlahnya banyak, nampak bersih dan terawat rapi, dengan patung patung Budha yang banyak jumlahnya serta bhiksu-bhiksu berjubah kuning-jingga. Aku mampir di altar terbuka yang terdapat di pojok jalan, di depan Hotel Erawan. Di altar itu, hanya beberapa meter saja dari persimpangan jalan yang selalu ramai di mana para pengemudi mobil, sepeda motor, dan samlor memainkan gas dengan tidak sabar dan kemudian melesat maju sebelum lampu lalu lintas berubah menjadi hijau, siang maupun malam selalu nampak suasana ibadat yang khusyuk. Para pemusik memainkan instrumen mereka, para penari klasik menari dengan gerakan lemah gemulai, dan orang-orang berdesak-desak masuk untuk membakar hio dan berdoa. Kchidupan tradisional dan modern berdampingan, dan kedua-duanya berjalan dengan baik.

Aku merasa iri kepada rakyat Thailand. Aku benar-benar iri! Mereka melestarikan kebudayaan tradisional mereka, sementara kebudayaan tradisional kami dimusnahkan. Kuil-kuil kami dihancurkan, bhiksu-bhiksu kami dibunuhi, buku-buku kami dirobek-robek, halaman-halamannya dijadikan kertas rokok. Rakyat Thailand memiliki masa silam, dan masa depan mereka yang makmur sudah terjamin. Bagi kebanyakan rakyat Kamboja, masa depan akan berarti mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan di dalam hutan, tinggal di gubuk-gubuk tanpa listrik, dan mematuhi perintah serdadu-serdadu. Kami tidak memiliki ibukota yang modern dan selalu sibuk, seperti Bangkok. Dibandingkan dengannya, Phnom Penh itu kota sunyi di daerah.

Ketika sudah kembali di Lumpini, aku lantas bercakap-cakap dengan kawan-kawanku di situ. Ternyata kesan kami semua sama. Sebelum sampai di Bangkok, hanya sedikit saja di antara kami yang tahu bahwa ada kota yang begitu modern di Asia, apalagi di negara tetangga. Kepada kami selalu kebalikannya yang didengung-dengungkan, yakni bahwa Kamboja jauh lebih maju daripada negara-negara tetangganya. Semua pemimpin kami mengatakan begitu: Sihanouk, Lon Nol, dan juga Khmer Merah.

Kami semua sependapat bahwa ada kontras yang aneh: dua negara dengan kebudayaan dan sumber daya yang hampir serupa, tapi yang satu sangat sukses, sementara yang lainnya ambruk total. Kami bisa mengerti apa sebabnya Thailand bisa berhasil, tapi apa yang menyebabkan Kamboja sampai gagal? Kami punya berbagai jawaban mengenainya, tapi semua jawaban itu tidak setimpal dengan kepiluan kami. Dan kemungkinannya kami akan bertanya-tanya terus sepanjang hidup kami, dan tidak pernah merasa dipuaskan oleh penjelasannya.

*********

Hanya ini kuketahui dengan pasti: keambrukan Kamboja, sebenarnya bisa dihindari. Politiklah yang merupakan biang keladinya.

Dengan politik, maksudku bukan hanya Khmer Merah saja. Pukulan terberat yang dialami Kamboja memang datang dari Khmer Merah, tapi bukan mereka sendiri saja yang menyebabkan kehancurannya. Negara-negara lain ikut berperan di dalamnya, dan kebanyakan dari negara-negara itu melakukannya tanpa menyadari efek yang ditimbulkan politik mereka. Kisahnya rumit, dan berawal sekian tahun yang silam.

Pertama-tama, Perancis, negara yang dulu menjajah kami, tidak mempersiapkan kami untuk menyongsong kemerdekaan. Mereka tidak menciptakan golongan menengah yang tangguh dan terpelajar, yang diperlukan agar kami bisa memerintah diri kami dengan baik. Lalu ada pula Amerika Serikat, yang dukungannya mendorong haluan kami yang semula netral ke kanan pada tahun 1970, hal mana mengawali proses keguncangan politik. Begitu Lon Nol berkuasa, Amerika Serikat sebetulnya bisa memaksanya agar mengambil tindakan keras terhadap korupsi, dan mereka juga menghentikan aksi-aksi pemboman yang mereka lakukan; tapi itu baru mereka lakukan ketika sudah terlambat. Aksi-aksi pemboman dan tindak-tindak korupsi ikut menyebabkan Kamboja kemudian terdorong ke arah berlawanan, yakni ke kiri. Di pihak komunis, Cina menyodorkan senjata dan ideologi kepada Khmer Merah. Pihak Cina sebetulnya bisa saja memaksa Khmer Merah menghentikan pembunuhan terhadap penduduk sipil, tapi mereka sama sekali tidak melakukannya. Lalu ada pula Vietnam. Semasa tahun enam puluhan dan saat-saat awal tahun tujuh puluhan, ketika pihak komunis Vietnam menggunakan kawasan timur Kamboja sebagai bagian dari jaringan Lintasan Ho Chi Minh mereka, mereka lebih mengutamakan kepentingan sendiri. Mereka sudah sejak dulu suka memanfaatkan Kamboja untuk keuntungan mereka sendiri.

Tapi sedihnya, negeri yang paling banyak menyebabkan kehancuran Kamboja adalah Kamboja sendiri. Pol Pot itu orang Kamboja. Lon Nol juga orang Kamboja, dan begitu pula Sihanouk. Para pemimpin ketiga rezim itu secara bersama-sama menyebabkan timbulnya reaksi berantai politis yang mengakibatkan keambrukan dan mungkin punahnya negara kami.

Kalau hanya dilihat di luarnya saja, sedikir pun tidak ada persamaan di antara para pemimpin itu. Sihanouk, raja yang populis; Lon Nol, diktaror berhaluan kanan; Pol Pot, tokoh ultrakomunis. Tapi di dalam sanubari mereka, keriga-tiganya serupa dengan Chea Huon, dengan idam-idaman yang membubung tinggi tentang pembangunan tanah air. Mereka juga sama-sama memiliki satu ciri sifat khas Kamboja, yakni kebanggaan nasional yang berlebih-lebihan. Di sini yang kumaksudkan bukan kebanggaan patriotik yang sehat dan normal, melainkan perasaan bahwa bangsa Kamboja lebih unggul dari siapa pun juga. Bangsa-bangsa lain tetangga kami memandang rendah terhadap kami karena berwarna kulit lebih gelap dari mereka; kadang-kadang kami memang merasa lebih rendah, tapi di pihak lain dalam hati kami orang Kamboja juga merasa lebih unggul dari mereka, dan kami berusaha membuktikannya aabila ada peluang untuk itu.

Berulang kali Sihanouk mengatakan kepada kami bahwa Kamboja merupakan "pulau yang damai", sehingga seluruh dunia merasa iri. Dikatakannya bahwa bangsa Kamboja jauh lebih beradab ketimbang bangsa Vietnam dan Thai. Segala ucapannya untuk membuat kami merasa bangga; tapi ia tidak pernah memberikan dorongan kepada kami untuk meninjau ke luar Kamboja agar bisa membandingkan sendiri. Seandainya itu dulu kami lakukan, maka kami akan bisa menyadari betapa parahnya kondisi ekonomi kami, betapa lemahnya kemampuan militer kami, betapa tidak efisiennya birokrasi kami. Seandainya semua itu kami ketahui, dan jika Sihanouk sungguh-sungguh memiliki minat terhadap pembangunan, ada kemungkinan kami bisa berbuat sesuatu untuk menanggulanginya.

Sihanouk kemudian digantikan oleh Lon Nol yang tidak kompeten itu. Ia berkeinginan memurnikan segala-galanya di Kamboja: bangsa, kebudaayaan, agamanya. la mempersalahkan Vietnam sebagai penyebab masalah-masalah yang melanda Kamboja, dan ia berkeyakinan bahwa bangsa Vietnam secara rasial lebih rendah ketimbang kami, itu sebabnya ia membiarkan saja serdadu- serdadunya membantai penduduk Kamboja yang berasal-usul dari Vietnam. Itu sebabnya ia meninitakkan aksi-aksi penyerangan terhadap pasukan pasukan Vietnam di sepanjang perbatasan Kamboja- Vietnam, meski tentara Vietnam Utara itu paling tangguh di kawasan Asia. Lon Nol itu pengkhayal, bahkan melebihi Sihanouk.

Sesudah Lon Nol, tampil tokoh Pol Pot. Pemerintahan yang berhaluan ekstrem kanan digeser oleh rezim ekstrem kiri, tapi para pemimpin yang berkuasa pada hakikatnya sama saja coraknya. Seperti Lon Nol juga, Pol Pot itu rasis dengan idam-idaman muluk, yakni memulihkan keagungan Kamboja. Ia ingin menumpas semua orang yang bukan orang Khmer murni dari pedesaan: kalangan cerdik-cendekia dan profesional yang hidup di kota-kota, orang-orang Cham (golongan minoritas Kamboja yang beragama lslam), golongan etnis Vietnam, dan sampai ukuran tertentu bahkan juga golongan etnis Cina. Khmer Merah selalu mengunggul-unggulkan kehebatan mereka. Selain mereka, semuanya dianggap lebih rendah, seperti makhluk-makhluk yang hina. Itu sebabnya Khmer Merah tidak segan-segan membunuh dan menyiksa. Itu sebabnya Pol Pot melakukan kesalahan besar saat awal tahun 1977, ketika ia memerintahkan serangan terhadap wilayah Vietnam dan membantai penduduk di situ. Seperti Lon Nol sebelum dia, Pol Pot pada hakikatnya mengira bahwa ia bisa menang.

Sihanouk, Lon Nol, Pol Pot: masing-masing pemimpin itu memiliki gambaran idam-idaman mengenai Kamboja sebagai negara yang gagah perkasa dan bebas merdeka, berlainan dari negara- negara tetangga dan lebih baik dari mereka. Gambar idam-idaman mereka itu meleset dari kenyataannya; dari pemimpin yang satu ke pemimpin yang berikutnya, keadaan negara menjadi semakin parah. Tahun 1979 negara Kamboja sudah benar-benar ambruk. Di Thailand yang bertetangga terdapat jalan-jalan beraspal mulus, kuil-kuil yang indah dan beras berlimpah ruah, melebihi kebutuhan pangan penduduknya. Sebagai pengungsi, semakin banyak yang kulihat di Thailand, semakin bertambah pula kemarahan yang membakar sanubariku. Kemarahan orang yang baru saat itu sadar bahwa selama itu ia dibohongi terus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar