36. SALOTH SAR
TAHUN 1928, di
propinsi Kompong Thom yang terletak di bagian utara Kamboja sebelah tengah,
-lahir seorang anak lelaki bernama Saloth Sar. Anak itu berdarah campuran Khmer
dan Cina, seperti aku. Orangtuanya petani berada yang memiliki tanah sendiri.
Tapi antara keluarganya dan Phnom Penh ada pertalian yang agak istimewa. Salah
seorang bibinya dijadikan selir oleh Raja Monivong. pendahulu Sihanouk. Seorang
sepupunya bahkan lebih hebat lagi kedudukannya, karena dijadikan garwa ampil.
Dengan bantuan mereka, abang Saloth Sar mendapat pekerjaan di bagian protokol
istana kerajaan.
Ketika sudah berumur
sekitar lima tahun, Saloth Sar dikirim ke Phnom Penh untuk dibesarkan oleh
abangnya. Ia sering datang ke istana dan di situ belajar bahasa istana, semacam
bahasa Khmer "tinggi" yang mengenal berbagai istilah dan gelar yang
serba rumit. la menjadi bhiksu selama beberapa bulan, serupa dengan yang
dialami sebagian besar dari anak lelaki Kamboja. Enam tahun lamanya ia menuntut
ilmu di sekolah kuil.
Prestasinya di situ
tidak baik. la tidak berhasil lulus dalam ujian yang memberi kemungkinan
laginya untuk mendaftarkan diri di sekolah- sekolah yang paling bermutu. Ia
lantas kembali ke keluarganya, dan kemudian bersekolah di propinsi Kompong
Cham. Ia tamat sekolah menengah ketika berumur sembilan belas. Setelah itu ia
kembali lagi ke Phnom Penh untuk belajar menjadi tukang kayu. la bergaul dengan
para siswa dan lulusan sekolah elite Lycee Sisowath, dimana aku bersekolah
sekitar dua puluh tahun kemudian, dan di mana Huoy mengajar beberapa tahun
setelah itu. Salah seorang sahabatnya yang paling akrab adalah seorang pemuda
berotak cerdas, organisator aksi-aksi protes mahasiswa. Namanya Ieng Sary.
Melalui saluran
koneksi, Saloth Sar mendapat beasiswa ke Paris, di mana ia menuntut ilmu di
sebuah sekolah teknik, yakni Ecole Francaise de Radiuelectricitte. Setahun
kemudian Ieng Sary juga tiba di Paris, dan bertempat tinggal di sebuah
apartemen di kawasan Latin Quarter. Kedua pemuda itu berkenalan dengan
tokoh-tokoh intelektual komunis Perancis, dan tidak lama kemudian mereka sudah
membentuk kelompok studi komunis mereka sendiri. Di antara mereka yang
menggabungkan diri terdapat seorang wanita berpenampilan menarik dan berjiwa
pemberontak. Namanya Khieu Thirith. la belajar sastra Inggris di Universitas
Sorbonne. Kemudian ia menikah dengan Ieng Sary, sementara saudaranya yang
bernama Khieu Ponnary menikah dengan Saloth Sar. Hubungan antara mereka
berempat, dua wanita bersaudara yang menikah dengan dua pria bersahabat karib,
membentuk inti organisasi yang kemudian dikenal dengan nama Khmer Merah.
Di Paris, Saloth Sar
kabarnya memasang sebuah foto Joseph Stalin di kamarnya. la menulis
artikel-artikel yang dimuat di sebuah majalah berbahasa Khmer untuk golongan
radikal, di bawah nama samaran "Khmer Sejati". Nama samaran ini aneh,
jika diingat bahwa ia berdarah campuran. Mungkin itu bisa dijadikan tanda adanya
kefanatikan rasial da1am dirinya, yang kemudian menandai perkembangan
kariernya. Satu hal sudah pasti: ia lebih banyak mencurahkan perhatian kepada
politik, ketimbang menuntut ilmu. Setelah tiga kali gagal dalam ujian di
sekolah teknik tempat dia belajar, beasiswanya dicabut. Dalam perjalanan pulang
ke Kamboja, ia sempat mampir di Yugoslavia yang waktu itu sudah berada di bawah
kepemimpinan Tito.
Saat itu perang sudah
berkecamuk di Vietnam, di mana tentara kolonial Perancis bertempur melawan
gerilyawan Vietminh di bawah pimpinan Ho Chi Minh. Saloth Sar memasuki suatu
organisasi bawah tanah yang menyebut dirinya Partai Komunis Indocina (PKIc) dan
yang didirikan ketika ia masih berada di Paris. Para anggota organisasi itu
terdiri dari orang-orang Vietnam dan Kamboja. Ketika menggabungkan diri dengan
sel organisasi Itu di kawasan timur Kamboja. Ia merasa kecewa setelah melihat
bahwa segalaanya berada dalam pengendalian para anggota yang orang Vietnam, dan
mereka ini memperlakukan anggota-anggota yang orang Kamboja sebagai bawahan.
Saloth Sar bekerja di dapur dan juga bertugas mengangkut kotoran manusia dari
jamban-jamban.
Pekerjaan kasar
itulah yang kemudian harus kulakukan bersama Huoy di bawah rezim Khmer Merah;
tapi berlainan dengan kami, Saloth Sar tidak merasa berterima kasih karena
mendapat tugas kerja yang enteng. "Khmer Sejati" itu merasa tidak
suka terhadap orang-orang Vietnam, dan pekerjaan yang mereka berikan kepadanya
waktu itu memperkuat dendam kesumatnya.
Tahun 1953, tanpa ada
bantuan langsung dari pihak komunis Indocina, Sihanouk berhasil memerdekakan
Kamboja dari penjajahan Perancis. Tahun berikutnya ia pergi menghadiri
Konferensi Jenewa, selaku pemimpin suatu negara merdeka. Perancis setuju untuk
memberikan kemerdekaan sepada Laos dan Vietnam, kedua daerah jajahannya di
kawasan Indocina. Sebuah garis ditarik memotong wilayah Vietnam pada lintang
utara tujuh belas derajat. Garis itu selama beberapa waktu membagi bumi Vietnam
menjadi Vietnam Utara yang komunis dan Vietnam Selatan yang nonkomunis.
Kemudian, ketika pihak Vietnam Selatan berkeras mengatakan bahwa pemisahan itu
bersifat permanen, terciptalah panggung tempat kancah peperangan yang
berlangsung selama tahun-tahun enam puluh dan tujuh puluhan, yakni ketika pihak
komunis di utara melancarkan kegiatan untuk menyatukan kembali negeri itu.
Bagi orang-orang
komunis Kamboja dimulailah suatu babak waktu yang panjang dan berat. Mereka
saban kali kalah siasat dari Sihanouk. Sihanouk mengumumkan bahwa ia turun
takhta, lalu mencalonkan diri menjadi perdana menteri dengan kedudukan sebagai
pangeran. Ia berhasil menang dengan mudah dalam pemilihan umum yang diadakan.
Politik luar negeri berhaluan netral tapi condong ke kiri yang dijalankannya
menyebabkan ia bersahabat dengan Cina dan Uni Soviet; kedua negara ini memberi
bantuan kepadanya, sementara PKlc sedikit pun tidak diacuhkan. Dalam percaturan
politik dalam negeri, Sihanouk menciptakan ilusi adanya kebebasan berpolitik.
Ia mengizinkan komunis berpartisipasi di dalam sebuah partai politik berhaluan
kiri yang diakui, yaitu Kelompok Pracheachon. Didekatinya tokoh-tokoh
intelektual mereka yang paling terpandang; dua di antaranya, yang berasal dari
kelompok studi semasa di Paris dulu, diajaknya duduk dalam kabinetnya.
Sementara itu, secara diam-diam, Sihanouk juga melancarkan "perang
gelap". Polisi rahasianya membunuhi orang-orang komunis tanpa diadili
dulu, dan tanpa ada pengumuman sebelum atau sesudahnya. Sihanouk bahkan
mempekerjakan tokoh pimpinan komunis itu, yang mengenal segala liku-liku
jaringan organisasi di pedesaan, sebagai mata-matanya.
Di Phnom Penh
sendiri, situasi yang dihadapi orang-orang komunis waktu itu cukup gawat, tapi
belum sampai tidak ada harapan lagi bagi mereka. Polisi nampaknya tidak
mengenal identitas para anggota partai lapisan bawah, seperti misalnya Saloth
Sar. Ia dan iparnya, Ieng Sary, mengajar di Kampuchea Bot, sebuah sekolah resmi
yang baik dan tinggi mutunya. (Aku pernah mengikuti kursus matematika di situ
dalam liburan, sewaktu aku masih tinggal di Takeo. Seingatku, aku tidak pernah
berjumpa dengan mereka.) Istri mereka mengajar di sekolah milik pemerintah.
Sebagian besar dari gaji yang diterima mereka sumbangkan kepada L 'Observateur,
scbuah surat kabar berbahasa Perancis kepunyaan seorang komunis. Editor surat
kabar itu salah seorang teman kelompok studi mereka dulu yang saat itu ikut
duduk dalam kabinet. Namanya Khieu Samphan. Orang ini terkenal memiliki
integritas dan berpikiran bebas.
Seperti Sihanouk.
tindak-tanduk yang ditampilkan pihak komunis di depan umum berbeda sama sekali
dari yang dilakukan sccara diam-diam. Dalam kehidupan tersembunyi mereka selaku
angota partai, mereka menyelenggarakan rapat-rapat rahasia untuk
mengindoktrinasi anggota-anggota baru yang berhasil ditarik masuk serta
mengorganisasikan kalangan buruh pabrik. Dalam kehidupan yang resmi, mereka itu
anggota masyarakat borjuis yang rajin bekerja. Mereka semuanya berdarah
campuran Khmer dan Cina. Mereka semua tergolong cerdik-cendekia dan bertempat
tinggal di kota. Justru itulah yang paling aneh: mereka itu borjuis,
berpendidikan, berdarah campuran, dan orang kota. Lima belas tahun kemudian
orang-orang itu menjelma menjadi tokoh-tokoh pemimpin gerakan yang antikota,
anti-intelektual, dan bercorak rasis. Dalam waktu lima belas tahun itu mereka menjadi
berubah sama sekali.
Dalam tahun 1960
mereka mengadakan pertemuan- pertemuan di dalam gerbong-gerbong kereta yang
kosong di dekat stasiun kereta api Phnom Penh, untuk membentuk organisasi yang
kemudian diberi nama Partai Komunis Kampuchea (PKK). Berlainan dengan Partai
Komunis Indocina yang dulu, tidak ada satu pun orang Vietnam menjadi anggota
PKK ini. Tidak lama kemudian pemimpin tertinggi mereka, yang selama itu
sebenarnya memata-matai mereka, secara terang-terangan menyeberang ke kubu
Sihanouk, lalu orang yang menggantikannya kemudian dibunuh. Tiba-tiba ada
tempat terluang di lapisan paling atas untuk orang-orang yang lebih muda dan
ambisius. Tahun 1963 Saloth Sar terpilih menjadi sekretaris partai, dengan lain
perkataan menjadi pemimpin mereka. Sementara itu ia sudah matang, menjadi orang
yang yakin pada dirinya sendiri, tertutup, dan menyukai intrik. la jarang
menggunakan namanya yang asli. Julukannya di kalangan anggota partai adalah
"Saudara Nomor Satu."
Beberapa bulan
kemudian, ketika Sihanouk melancarkan aksi pembersihan, Saudara Nomor Satu
pergi meninggalkan Phnom Penh bersama Ieng Sary dan sebagian besar dari
tokoh-tokoh komunis yang tinggi kedudukannya dalam hierarki mereka. Hanya
beberapa orang saja yang tetap bertahan, seperti misalnya Khieu Samphan, yang
didepak keluar dari kabinet Sihanouk, tapi tetap bisa duduk dalam Majelis
Nasional dan menjadi terkenal karena gaya hidupnya yang sangat bersahaja. Aku
yang waktu itu masih duduk di bangku sekolah, sering melihat Khieu Samphan
berkeliling kota naik sepeda, dan bukan dengan mobil. Kalangan intelektual
idealis seperti guruku Chea Huon mengaguminya, dan masuk menjadi anggota partai
sekitar waktu itu. Lalu ada lagi aksi penumpasan, tahun 1967. Khieu Samphan
berhasil lari dari Phnom Penh dengan cara bersembunyi di dalam gerobak petani.
Tapi Chea Huon tidak bernasib baik. Aku pernah menjenguknya ketika ia mendekam
dalam penjara, tanpa mengetahui kehidupannya yang tersembunyi, atau tentang
"perang gelap" yang waktu itu sedang berlangsung. Hanya sedikit saja
orang yang tahu apa-apa mengenalnya.
Setelah terpaksa lari
dari Phnom Penh, para pemimpin Khmer Merah lantas membentuk pangkalan di
kawasan yang bergunung-gunung di dekat perbatasan Vietnam. Waktu itu hanya
sedikit persenjataan yang mereka miliki, sementara kendaraan boleh dibilang
tidak ada. Kalau hendak mengadakan perjalanan, mereka berjalan kaki atau
menunggang gajah. Mereka merekrut penduduk pegunungan yang berkulit gelap, yang
sudah sejak dulu kala merasa ditindas oleh orang-orang dari dataran rendah dan
karenanya dengan senang menerima ajakan untuk berperang melawan Phnom Penh.
Kehidupan mereka berat dan jauh dari menyenangkan. Hutan-hutan pegunungan penuh
dengan nyamuk malaria dan ular. Mereka selalu kekurangan makan.
Semasa pertengahan
tahun enam puluhan, perang di Vietnam sedang sengit-sengitnya. Vietnam Utara
menggunakan kawasan timur Kamboja sebagai bagian dari lintasan Ho Chi Minh
mereka, tapi sebagai imbalan mereka hanya memberikan perbekalan sekadarnya saja
kepada Khmer Merah. Cina dan Uni Soviet juga tidak mengirimkan bantuan; mereka
masih mendukung rezim Sihanouk.
Seandainya tidak
terjadi kudeta tahuo 1970 itu, Khmer Merah pasti masih tetap merupakan kawanan
gerilyawan compang-camping di pegunungan yang tidak banyak artinya. Ketika
Sihanouk digulingkan, lalu secara tak terduga-duga menggabungkan diri dan
dijadikan pemimpin boneka mereka, dengan seketika Khmer Merah meningkat menjadi
faktor politik yang harus diperhitungkan. Mereka mendapat persenjataan dari
Cina dan Vietnam Utara. Mereka dilatih orang-orang Vietnam Utara dan
orang-orang komunis Kamboja yang sudah sejak bertahun- tahun tinggal di Vietnam
Utara. Kaum petani menggabungkan diri karena menyangka bergabung mendukung
Sihanouk. Dengan pesat Khmer Merah tumbuh menjadi besar. Selama babak waktu
yang rawan itu sebagian besar dari perjuangan mereka dilakukan oleh pihak
Vietnam Utara.
Khmer Merah
sebenarnya tidak pernah mempercayai Sihanouk, dan ia boleh dibilang selalu
dijauhkan dari kegiatan operasional mereka. Sihanouk hampir selalu berada di
Peking yang jauhnya lebih dari seribu lima ratus mil, dikelilingi orang-orang
seperti Penn Nouth-pengacara hukum yang beberapa tahun sebelumnya berhasil
membebaskan abangku Pheng Huor dari penjara.
Tahun 1973,
pemerintah Vietnam Utara dan Cina mengusahakan kunjungan Sihanouk ke
"wilayah yang sudah dibebaskan" di Kamboja. Sihanouk dibawa menyusuri
Lintasan Ho Chi Minh. Ia memakai pakaian hitam-hitam dan sandal dari karet ban
agar penampilannya di foto-foto nanti seperti Khmer Merah. Sebulan lamanya ia
sibuk menghadiri jamuan makan dan upacara-upacara penyambutan, dan selama itu
ia menyangka bahwa pemimpin Khmer Merah itu Khieu Samphan, karena memang itulah
kesan yang sengaja diketengahkan oleh pihak Khmer Merah. Bagi Sihanouk, Saloth
Sar bukan tokoh penting yang berada pada lapisan kedua atau ketiga dalam
hierarki kepemimpinan. Dalam kenangannya kemudian, Sihanouk menyatakan bahwa
Saloth Sar diingatnya sebagai tokoh Khmer Merah yang paling sopan dan
satu-satunya yang selalu memakai bahasa Khmer "tinggi" jika berbicara
dengan dia. Tipu muslihat berlapis-lapis: Sihanouk, pemimpin boneka, mengira
bahwa Khieu Samphan adalah pemimpin yang sebenarnya; padahal Khieu Samphan
hanya merupakan kedok saja bagi Saloth Sar, "Saudara Nomor satu".
Dalam hal memainkan
tipu muslihat, Khmer Merah benar-benar ahlinya. Mereka sebenarnya benci
terhadap pihak Vietnam Utara, tapi untuk sementara belum bisa menyingkirkan
mereka; karenanya mereka memutuskan untuk membersihkan barisan mereka sendiri
dari orang-orang komunis Kamboja yang baru kembali setelah lama tinggal di
Vietnam Utara. Mereka menyebarkan orang-orang itu ke berbagai tempat, lalu
mengundang mereka untuk menghadiri "rapat" dari mana mereka tidak
pernah kembali. Segala-galanya berlangsung secara rahasia, seperti "perang
gelap" semasa kekuasaan Sihanouk dulu. Tidak pernah ada pengumuman tentang
kematian-kematian, dan ketika kebanyakan dari kaum veteran itu sudah mati
dibunuh, barulah sisanya merasa bahwa jiwa mereka terancam.
Peraturan perilaku
serdadu-serdadu Khmer Merah juga merupakan tipu muslihat, meski tujuannya
nyata. Adanya peraturan itu menunjukkan kepada rakyat banyak bahwa Khmer Merah
bertingkah laku lebih baik ketimbang pejabat-pejabat rezim Lon Nol; dan ini
menyebabkan Khmer Merah berhasil meraih dukungan rakyat. Tapi ketika dukungan
itu sudah diperoleh, mereka lantas mulai menghilangkan hak-hak kaum petani di
daerah-daerah yang sudah "dibebaskan". Kaum petani di situ dimasukkan
dalam koperasi-koperasi yang diharuskan menanami lahan penanian yang luas.
Mereka disuruh mendengarkan pidato-pidato propaganda yang bertele-tele dan
membosankan, sementara hak milik pribadi mereka harus diserahkan kepada Angka.
Orang-orang yang berani membantah langsung digiring pergi dan dihukum mati.
Hanya sedikit saja yang bisa meloloskan diri, dan hanya sedikit saja dari kami
di Phnom Penh yang tahu betapa kejamnya orang-orang komunis itu pada
hakikatnya. Kami hanya mendengar hal-hal yang baik saja tentang mereka, seperti
bahwa Khmer tidak pernah merampas padi rakyat. bahkan sebutir saja pun tidak.
Di segi kemiliteran,
Khmer Merah jauh dari jenius; tapi mereka itu berani. Seperempat juta kilogram
bom menghujani daerah yang mereka duduki -ini terhitung serangan bom terdahsyat
dalam sejarah dunia- tapi itu tidak membuat mereka gentar. Kalau menyerang,
mereka biasa melakukannya secara bergelombang. Mereka tidak peduli berapa
banyak serdadu mereka yang mati; mereka terus saja menyerang dan menyerang
lagi, meski tidak ada kemungkinan mereka bisa memenangkan pertempuran. Mereka
bisa dengan mudah mendapat pengganti serdadu-serdadu mereka yang tewas
-pemboman yang dilakukan Amerika menyebabkan sekian banyak keluarga
tercerai-berai, sehingga anak-anak petani dari segala wilayah Kamboja
berdatangan untuk menggabungkan diri. Untuk meyakinkan serdadu- serdadu yang
baru direkrut itu tentang perlunya pengorbanan, Khmer Merah mengatakan bahwa
mereka itu manusia-manusia hebat, yang paling baik di dunia, satu-satunya yang
bisa mengalahkan kaum imperialis Amerika. Dan serdadu-serdadu yang masih muda
belia itu percaya saja. Remaja-remaja yang sudah mengalami "cuci
otak" inilah serdadu-serdadu Khmer Merah yang pertama-tama kulihat tanggal
17 April 1975, ketika mereka bergerak merebut kota Phnom Penh.
Tanggal 23 April
1975, enam hari setelah perebutan kekuasaan, panglima tertinggi Khmer Merah
tiba di ibukota dengan mengendarai jip. Tidak ada parade menyambut
kedatangannya, tidak ada perayaan. Para prajurit rendahan bahkan sama sekali
tidak mengetahui identitasnya yang memang dirahasiakan olehnya sendiri. Saloth
Sar, yang sebelumnya dikenal dengan julukan "Khmer Sejati" dan
"Saudara Nomor Satu", kemudian menggantinya lagi dengan nama samaran
yang terakhir: Pol Pot.
Selanjutnya sudah
diketahui: ia memutuskan untuk mengubah seluruh negeri menjadi
koperasi-koperasi, seperti yang sudah dilakukan dengan daerah-daerah yang sudah
dibebaskan terlebih dulu, tapi rencananya itu tidak dikatakannya kepada kami
secara terang-terangan. Kami ditipunya. Eksodus "sementara" dari
Phnom Penh lambat laun menjadi pengusiran permanen, dan kami orang-orang
"baru" secara bertahap dimukimkan kembali di koperasi-koperasi
pedesaan dan dicabut hak-hak asasi kami, agama, keluarga, dan hak milik pribadi
kami, seperti yang sebelumnya sudah dialami kaum petani di daerah yang sudah
lebih dulu dibebaskan.
Pol Pot dan kalangan
yang terdekat padanya merasa yakin bahwa rencana mereka pasti berhasil. Mereka
mengira pasti bisa mengubah negara pertanian yang bangkrut dan tercabik-cabik
peperangan menjadi negara industri yang perkasa, tanpa bantuan dari luar negeri
atau dari para "pakar" teknik. Mereka meminjam gagasan itu dari Mao
Tse-tung yang mereka kagumi, dan mungkin juga dari Stalin, yang pernah mencoba
mempraktekkan hal serupa di Uni Soviet. Dengan kebanggaan dan kedunguan yang
khas Kamboja, mereka memutuskan untuk mengembangkan pelaksanaan gagasan itu
sampai sejauh-jauhnya. Mereka berencana untuk mengerahkan segala energi yang
tersimpan di kalangan rakyat dengan cara memaksa kami bekerja lebih keras dan
"membebaskan" kami dari keharusan memasak dan membesarkan anak.
Malang bagi mereka, Pol Pot yang pembuat kebijaksanaan itu adalah Saloth Sar
yang sewaktu di sekolah tidak pintar. Ia tidak sadar bahwa Revolusi Kebudayaan
yang dilancarkan Mao sudah berakhir dengan kegagalan, dan eksperimen-eksperimen
yang dilakukan Stalin mengakibatkan perekonomian negaranya mundur satu
dasawarsa. Ia tidak meneliti gagasan itu apakah benar-benar bisa dilaksanakan.
Mustahil bisa dibangun sistem irigasi raksasa serta bendungan-bendungan tanpa
mengerahkan tenaga insinyur. Tapi begitulah manusia yang bernama Pol Pot itu:
ia mencoba mencocokkan realitas dengan politik, dan bukan sebaliknya.
Selama babak waktu
itu Pol Pot sama sekali tidak berbuat apa-apa untuk menolong sanak keluarganya
sendiri. Dari kedua selir raja yang masih berkerabat dengan dia, paling tidak
satu -kemungkinannya malah kedua-duanya- mati di pedesaan. Adiknya sendiri mati
kelaparan. Abangnya., yang dulu mengasuhnya di Phnom Penh ketika ia masih
keeil, berhasil selamat dari sekian tahun rezim Khmer Merah, tanpa pernah tahu
bahwa Saloth Sar dan kepala organisasi Angka orangnya yang itu-itu juga.
Jika benar
kabar-kabar yang tersiar mengenainya, Pol Pot memiliki sejumlah rumah di Phnom
Penh. Ia tinggal berpindah-pindah dari rumah yang satu ke rumah berikut tanpa
pernah memberi tahu di maana ia tinggal, untuk mencegah terjadinya percobaan
pemhunuhan terhadap dirinya. Ia tidak pernah menonjolkan diri, dan jarang
tampil di depan umum. Sampai bulan September 1977 ia tidak pernah mengumumkan
bahwa "Angka" adalah Partai Komunis Kampuchea, atau bahwa dialah
pemimpin negara. Ia tidak punya anak; ia tidak mengenal kehidupan keluarga yang
bagi kebanyakan orang dianggap normal. Istrinya kemudian menjadi gila, dan
ditempatkan dalam perawatan khusus.
Banyak yang
bertanya-tanya, apakah Pol Pot sendiii sebenarnya juga sudah gila. Jika dugaan
itu benar, maka bisa dimengerti keadaan rezim pimpinannya. Dan sudah pasti juga
sikapnya yang suka main rahasia-rahasiaan, kebiasaannya berbohong, dan tidak
adanya akal sehat, semuanya menunjuk kepada adanya masalah kejiwaan. Menurut
dugaanku, dia itu menderita delusi paranoid. Tapi orang-orang Kamboja yang
mengenalnya secara langsung mempunyai kesan yang jauh berbeda tentang dirinya.
Menurut mereka, dia berpenampilan selalu rapi, berturur bahasa lembut dan
sering tersenyum, seperti Chev. Kata mereka, tangannya kecil dan lembut,
seperti tangan wanita. Dan mereka paling ingat bahwa ada satu hal yang istimewa
dari wataknya. Kata mereka, orang bisa dengan cepat percaya kepadanya.
Karena Pol Pot tidak
pernah menonjolkan diri, "pasangan suami-istri pertama" yang tidak
resmi di Phnom Penh adalah Ieng Sary, yang menjadi menteri luar negeri, serta
istrinya, Thirith, yang menjadi menteri sosial. Mereka mempunyai pengawal
pribadi, serta sejumlah sopir, juru masak serta pelayan. Mereka punya sabun,
sepatu, obat- obatan; pokoknya segala-galanya yang tidak kami miliki, kami
budak-budak perang. Untuk mereka disajikan hidangan makanan yang paling enak,
di "dapur umum" khusus bersama tokoh-tokoh pemimpin lainnya yang paling
tinggi kedudukannya. Ieng Sary menjadi gemuk badannya. Anak perempuannya yang
paling tua menjadi "dokter" di Phnom Penh, tanpa menjalani pendidikan
seperti semestinya, sementara dokter-dokter yang sejati seperti aku tidak bisa
menjalankan profesi kami di pedesaan.
Para pemimpin Khmer
Merah tinggal di suatu kawasan kota Phnom Penh yang sudah dipulihkan lagi
keadaannya untuk keperluan mereka. Tingkah laku mereka di depan umum selalu
tenang, tidak mencolok mata. Mereka boleh dibilang tidak pernah meneguk minuman
yang mengandung alkohol. Mereka sering mandi dan selalu mengenakan pakaian
bersih. Mereka berbicara dengan nada sopan, dan jarang sekali menampakkan
kegembiraan atau kemarahan. Segala pembunuhan yang mereka perintahkan, bukan
mereka sendiri yang melakukannya.
Selain kawasan tempat
tinggal mereka, kota Phnom Penh yang selebihnya dibiarkan kosong. Lapangan di
sebelah pasar pusat yang dulunya dipenuhi tenda-tenda para pedagang kaki lima,
kini ditanami pohon pisang. Tempat di mana dulu terdapat katedral yang dibangun
orang-orang Perancis, kini sudah menjelma menjadi tanah lapang; tidak satu batu
pun dari bangunan gereja kuno itu yang masih tersisa di situ. Di mana-mana
nampak bangkai mobil yang sudah berkarat, di mana-mana bertumbuhan rumput liar.
Sementara itu
Sihanouk terkena tahanan rumah, di dalam sebuah apartemen di Istana Raja. Kisah
dirinya aneh dan menyedihkan.
Bulan September 1975
Sihanouk kembali sebentar dari Peking, hanya untuk menjenguk sanak kerabatnya
saja. Dalam kedudukan seremonialnya sebagai Presiden Kampuchea Demokratik. Ia
kemudian tampil di depan sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa, di mana ia
membantah kebenaran laporan-laporan tentang terjadinya tindak-tindak kekerasan
dan pembunuhan di Kamboja, yang dikatakannya hanya "desas-desus"
belaka. Karena mempercayai pernyataannya yang diucapkan di depan umum itu, tapi
tanpa mengetahui bahwa Sihanouk sebenarnya percaya bahwa laporan-laporan itu
benar, rarusan orang Kamboja hasil pendidikan luar negeri pulang untuk ikut
membangun tanah air mereka. Kebanyakan dari mereka kemudian mati dibunuh.
Sihanouk sendiri
kembali ke Istana Raja, dan langsung dikenakan tahanan rumah. Setahun setelah
itu ia mengundurkan diri dari kedudukannya yang hanya memiliki makna seremonial
itu. Oleh Khmer Merah, ia dan istrinya dibiarkan hidup di dalam apartemen
mereka yang dijaga ketat; tapi lima dari anak-anaknya dan sebelas orang cucunya
dikirim ke pedesaan, di mana mereka semua kemudian meninggal dunia atau
dibunuh.
Dari Khieu Samphan,
satu-satunya orang yang datang mengunjunginya, Sihanouk mendapat sebuah pesawat
radio merek Grundig yang sangat baik. Karena seluruh hubungan yang lain dengan
dunia luar terputus, dan ia tidak diperbolehkan meninggalkan apartemennya,
kerja Sihanouk sehari-hari
waktu itu hanya mendengarkan
siaran radio saja: mendengar lagu-lagu propaganda, pidato-pidato muluk tentang
keberhasilan "menguasai" daerah persawahan, angka-angka statistik
palsu yang disiarkan Radio Phnom Penh. Ia juga mendengarkan siaran pemancar
Voice of America dan Deutsche Welle. Direkamnya siaran-siaran berita luar
negeri dan didengarnya berulang- ulang, untuk berusaha memperoleh gambaran
tentang apa sebenarnya yang sedang terjadi di Kamboja. Tapi tidak ada yang tahu
apa yang sedang terjadi di Kamboja. Bahkan Khmer Merah pun tidak.
Markas Khmer Merah,
yang biasa disebut Pusat, mengeluarkan perintah-perintah dan mengumpulkan
laporan dari seluruh pelosok pedesaan. Tapi perintah-perintah yang dikeluarkan
banyak yang tidak benar-benar dilaksanakan, sementara laporan-laporan yang
masuk mengenai hasil produksi ternyata dipalsukan, agar sesuai dengan
angka-angka yang diperkirakan. Para kader di segala lapisan rezim dengan cepat
sudah mengetahui bahwa hasil-hasil nyata tidak begitu penting dibandingkan
dengan penyanjung-nyanjungan Angka, menampilkan sikap semangat membabi buta,
dan menggemakan "haluan yang benar".
Kondisi di koperasi
yang satu berbeda dari kondisi koperasi lainnya, begitu pula keadaan di daerah
-atau zone- yang satu dengan daerah lainnya; ini disebabkan karena para
pemimpin di masing-masing tempat itu sedikit banyak berbuat semau mereka
sendiri. Di Zone Barat Laut, di mana aku dan Huoy dulu tinggal, baik kalangan
pemimpin maupun keadaan koperasi-koperasinya termasuk paling parah. Di
daerah-daerah lain, para pemimpinnya lebih bersikap pragmatis. Selama mereka
bisa tetap berkuasa, tidak banyak orang di bawah mereka mati karena kelaparan
atau dibunuh. Tapi pemimpin-pemimpin ini tidak mungkin bisa mengharapkan dapat
terus berkuasa.
Bagi Pol Pot, para
pemimpin daerah dan kebanyakan anggota partai yang berkedudukan tinggi dianggap
saingan dan musuh potensial, tidak peduli apakah orang-orang yang dicurigainya
itu sama-sama veteran dari masa perjuangan revolusioner yang lama dan berat.
Orang yang paling dulu didepak pergi adalah Hou Youn, salah seorang anggota
kelompok studi komunis di Paris semasa awal tahun lima puluhan, dan yang
menganjurkan agar pelaksanaan reorganisasi daerah pedesaan dilakukan dengan
cara yang tidak terlalu ekstrem. Selanjutnya menyusul Hu Nim, yang juga anggota
kelompok studi di Paris dan kemudian menjadi menteri penerangan dalam
pemerintahan Kampuchea Demokratik, serta Nhim Ros, komandan Zone Barat Laut.
Tindakan pembersihan di Barat Laut dilakukan secara "vertikal",
seperti yang terjadi di banyak daerah lain; mulai dari atas, dan menyebar ke
lapisan-lapisan yang makin lama makin rendah. Adanya aksi pembersihan itu
sempat didengar oleh Chea Huon sebelum terlambat, sehingga ia masih sempat
melarikan diri. Tapi Chev dan Paman Seng tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Dalam kebanyakan aksi
pembersihan yang dilakukan, para pemimpin dan orang-orang bawahan mereka yang
ditangkapi tidak langsung dihukum mati. Sebelumnya mereka disiksa dulu, dipaksa
mengakui kejahatan-kejahatan yang tidak pernah mereka perbuat. Di Pbnom Penh,
markas tempat penyiksaan hanya beberapa blok saja jaraknya dari apartemen
tempat tinggalku sebagai bujangan, di kompleks sekolah yang kukenal dengan nama
Lycee Tuol Svay Prey. Tempat itu diubah namanya menjadi S.21, meski kemudian
menjadi lebih terkenal dengan nama Tuol Sleng, yang berarti "Bukit Pohon
Racun", yakni nama yang diberikan rezim yang berikut.
Berlainan halnya
dengan penjara-penjara di pedesaan kemana aku pernah dikirim, para penyiksa di
5.21 memiliki cataran terinci tentang segala perbuatan mereka.
Pengakuan-pengakuan palsu dari para korban yang mereka peroleh dengan cara
penyiksaan, begitu pula foto-foto para korban itu masih ada sampai sekarang.
Satu perbedaan lainnya lagi dengan penjara-penjara di mana aku pernah mendekam
adalah penghuni S.21 itu. Dari dua puluh ribu orang yang mati di situ,
kebanyakan bukan orang "baru", melainkan anggota-anggota Khmer Merah
sendiri. Bayangkan saja bagaimana rasanya mereka: mula-mula disuruh menuliskan
riwayat hidup mereka yang sebenarnya, lalu ketika sudah dilangsungkan
interogasi selama beberapa kali, disuruh mengaku bahwa mereka melakukan
tindakan mata-mata untuk kepentingan CIA atau Hanoi, mengakui apa saja yang
dituduhkan asal mereka tidak lagi dihajar oleh para penyiksa yang melakukan interogasi.
Sebelum mati mereka mestinya bertanya- tanya pada diri sendiri, seperti jeritan
yang menggema di dalam benak mereka: "Kenapa?" Kenapa Angka melakukan
hal ini terhadap mereka, padahal mereka selalu mematuhi segala peraturannya?
Dan mereka takkan pernah bisa mengetahui jawabannya, serupa saja dengan kami
yang selebihnya.
Tidak ada yang aman
dari risiko terkena aksi-aksi pembersihan itu-kecuali Pol Pot dan beberapa
orang kepercayaannya saja, seperti Ieng Sary dan istrinya.
Seorang rekan mereka
yang bernama So Phim, semula termasuk anggota klik inti pemegang kekuasaan,
yakni Komite Tetap dari Sentral Komite Partai Komunis Kampuchea, dan juga
komandan Zone Timur. Ia termasuk yang paling kejam di antara para pemimpin
Zone. la memerintahkan agar bhiksu-bhiksu dibunuhi. Ia menumpas penduduk
desa-desa orang Cham yang beragama Islam. Malang baginya, letak Zone Timur itu
bersebelahan dengan perbatasan Vietnam. Ketika Pol Pot memerintahkan padanya
agar melakukan serangan-serangan terhadap Vietnam di seberang perbatasan, So
Phim mematuhinya; tapi perintah itu tidak bisa dilaksanakannya dengan
memuaskan. Soalnya, tidak segampang itu mengalahkan orang Vietnam. Tapi menurut
Pol Pot yang pikirannya selalu diselimuti kecurigaan, kegagalan So Phim
disebabkan karena dia itu agen Vietnam. Empat ratus orang kader dari Zone Timur
diperintahkan datang ke Phnom Penh, lalu dipenjarakan serta disiksa di S.21.
Jadi mestinya So Phim juga bertanya-tanya kepada dirinya sendiri:
"Kenapa?" Dan ia pasti bertanya begitu Jagi di dalam hati, ketika
para bawahannya, komandan-komandan tentara tingkat menengah, dipanggil untuk
menghadiri rapat dan sejak itu tidak pernah kembali lagi. Ketika ia sendiri
kemudian dipanggil untuk "rapat", ia menolak. Selanjutnya dua brigade
yang loyal kepada Pusat melancarkan serangan.
So Phim
menyembunyikan diri, dan dengan perasaan bingung menghubungi Pol Pot lewat
radio. Ia tidak bisa percaya bahwa segala perintah itu datang dari Pol Pot.
Pasti ada orang lain yang keliru. Ia percaya kepada Pol Pot. Semuanya percaya
kepada Pol Pot. Mereka kan kawan seperjuangan, selama dua puluh tahun. Pol Pot
setuju untuk bertemu dan mengadakan pembicaraan secara langsung dengan dia; dua
tman lama yang akan membereskan masalah-masalah yang ada di antara mereka. Tapi
ternyata bukan Pol Pot yang kemudian muncul di pertemuan itu, melainkan
sejumlah besar serdadu yang langsung melepaskan tembakan. So Phim melakukan
tindakan bunuh diri. Istri dan anak-anaknya ditembak ketika mereka sedang
mengurus mayatnya, untuk dikuburkan. Dari pembantu-pembantu So Phim, hanya
beberapa orang saja yang berhasil meloloskan diri ke dalam hutan. Salah seorang
dari mereka bernama Heng Samrin, seorang komandan divisi.
Pol Pot menciptakan
musuh-musuh, dan sulit diketahui apa penyebabnya. Mungkin ia memerlukan kambing
hitam, apabila kenyataan yang ada ternyata tidak sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkannya. Atau mungkin juga ia menciptakan musuh-musuh itu untuk kemudian
dimusnahkan, suatu ciri khas orang yang benar-benar paranoid. Akhirnya begitu
banyak musuh yang diciptakannya sendiri, sehingga rezimnya mulai berantakan.
Karena pemerintahannya tidak mampu memenuhi segala target produksi yang
ditetapkan, Pol Pot memerlukan musuh yang makin lama makin banyak untuk
dipersalahkan sebagai penyebab segala kegagalan itu, dan akhirnya ia
menciptakan musuhnya yang paling besar, yaitu Vietnam.
Mulanya pihak Vietnam
tidak berminat untuk memerangi Khmer Merah. Mereka sedang sibuk dengari masalah
mereka sendiri: penggabungan kembali Utara dan Selatan, melaksanakan "pendidikan
kembali" terhadap rakyat, membangun kembali perekonomian yang masih
berantakan. Tapi Khmer Merah terus saja melancarkan serangan terhadap daerah
perbatasan mereka, membantai penduduk sipil di situ, memperkosa kaum wanita,
membunuhi anak-anak kecil. Akhirnya Vietnam mengambil keputusan, sekaligus
menyelesaikan dua masalah dengan satu pukulan: menyingkirkan rezim di Kamboja
yang merupakan penyebab rongrongan, dan menguasai wilayah baru yang subur.
Vietnam sendiri sudah terlalu padat penduduknya. Populasinya sekitar enam puluh
juta jiwa, dan memenuhi kebutuhan pangan mereka merupakan tugas yang sulit.
Sementara itu Kamboja berpenduduk sedikit. Populasinya paling-paling hanya
sepersepuluh dari Vietnam, dan kemampuannya menghasilkan beras dan ikan jauh
lebih banyak ketimbang kebutuhan konsumsi dalam negeri mereka.
Tanggal 25 Desember
1978, Vietnam menyerbu masuk ke Kamboja, dengan empat belas divisi yang
didukung kekuatan angkatan udara mereka. Tidak ada yang bisa membendung mereka.
Malam hari tanggal 5
Januari 1979, ketika bunyi pertempuran sudah bisa didengar di Phnom Penh. Pol
Pot meminta bicara dengan Sihanouk, yang masih terkena tahanan rumah. Ketika
kedua orang itu bertemu, Pol Pot memberi hormat dengan sompeah, sikap menyembah
yang dinyatakan terlarang oleh rezimnya sendiri. Kemudian ia berlutut seperti
yang dulu diajarkan kepadanya sewaktu masih anak-anak di Istana Raja. Dengan
suaranya yang lembut dan merayu, ia memohon maaf kepada Sihanouk karena tidak
bisa lebih dulu menerima kedatangannya. Katanya, selama itu ia sangat sibuk. Ia
mengharapkan, semoga Sihanouk sudi mengerti. Ia merasa yakin bahwa Vietnam
pasti bisa dikalahkan. Tapi ia memerlukan bantuan Sihanouk di medan diplomasi.
Bersediakah Sihanouk pergi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa, untuk mempertahankan
kursi Kampuchea Demokratik di situ? Sihanouk, meski sebenarnya tidak
menduga-duga datangnya permintaan itu, ternyata tetap berkepala dingin: ia
menyatakan kesediaannya. Ia meninggalkan Kamboja dengan pesawat terbang.
Pertama-tama ia menuju Peking. Keesokan harinya pasukan-pasukan Vietnam
memasuki kota Phnom Penh.
Sementara pihak
Vietnam bergerak maju, Khmer Merah mundur ke daerah pegunungan, di mana mereka
sudah menyiapkan perbekalan bahan pangan dan amunisi. Mereka membakari sawah
dan gudang-gudang beras, agar jangan sampai jatuh ke tangan orang-orang
Vietnam. Dan sementara kedua balatentara yang berperang bergerak semakin jauh
ke arah barat, penduduk yang mengungsi juga mulai bergerak. Dan dengan mata
sendiri mereka melihat betapa keadaan tanah air mereka.
Kamboja yang dulu
sudah tidak ada lagi. Bom atom pun takkan mungkin menimbulkan kerusakan yang
lebih dahsyat, dibandingkan dengan kemusnahan sebagai akibat perang saudara dan
komunisme. Segala-galanya yang rusak karena perang saudara yang berkecamuk
antara tahun 1970 sampai 1975 dibiarkan terbengkalai, sehingga menjadi semakin
hancur: desa-desa yang rata dengan tanah, jembatan-jembatan yang diledakkan,
badan-badan jalan yang penuh dengan lubang, lahan-lahan yang dihanyutkan air
hujan. Daerah persawahan yang luas tidak terawat lagi, penuh dengan lubang
besar karena ledakan bom yang dijatuhkan di situ. Saluran-saluran air dan
bendungan-bendungan yang dibangun budak- budak perang berubah karena pengaruh
erosi, menjadi parit-parit dangkal dan gundukan-gundukan tanah yang tidak ada
gunanya. Kota-kota lengang, ditinggalkan penghuninya yang dulu. Kuil-kuil
dirusak. Sampah dan bangkai mobil yang sudah berkarat berrumpuk-tumpuk.
Pelayanan pos dan telekomunikasi tidak ada lagi. Di Phnom Penh sendiri boleh
dibilang tidak ada lagi aliran air ledeng dan listrik, dan mesin-mesin tinggal
sedikit sekali yang masih bisa dipakai. Mesin tik tidak ada. Bahkan pena dan
kertas pun tidak ada. Boleh dibilang tidak ada keluarga yang tidak kehilangan
anggotanya yang mati di daerah pedesaan. Para janda dan anak-anak yang yatim
piatu berkeliaran di mana-mana dalam keadaan nanar, tanpa bisa menangis lagi.
Tidak ada yang
mengetahui berapa banyak yang selamat. Tidak ada taksiran yang jelas tentang
jumlah penduduk Kamboja sebelum perang saudara mulai berkecamuk: enam atau
tujuh juta jiwa, tapi mungkin juga delapan juta. Badan Amnesti International
memperkirakan satu juta jiwa atau lebih yang mati dalam perang saudara, sebelum
komunis berhasil merebut kekuasaan, dan antara satu dan dua juta orang lagi
yang menemui ajal mereka di bawah rezim Khmer Merah. Jika angka-angka itu
benar, maka kombinasi perang saudara dan revolusi telah meminta korban jiwa
seperempat sampai setengah dari seluruh penduduk Kamboja.
Di kalangan orang-orang
dan kelompok-kelompok yang penting artinya bagiku, angka kematian dibandingkan
dengan mereka yang selamat jauh lebih tinggi ketimbang angka perbandingan
seluruh penduduk. Dari 50.000 bhiksu yang semula ada, tidak sampai tiga ribu
yang masih hidup dan kembali ke kuil-kuil mereka yang dulu. Dari 527 lulusan
sekolah kedokteran di Phnom Penh (tesisku yang dinyatakan lulus awal lun 1975,
mendapat nomor 527, jadi lulusan sekolah tinggi itu mestinya paling sedikit ada
527 orang), hanya sekitar 40 orang saja yang selamat. Penghuni desa kampung
halamanku yang semula berjumlah sekitar 7.000 jiwa, hanya sekitar 550 orang
saja yang sepanjang pengetahuanku selamat.
Dari keluarga dekatku
yang berjumlah 41 orang, termasuk orangtuaku. saudara-saudara kandungku beserta
istri, suami dan anak-anak mereka, ditambah dengan Huoy, ibunya, dan aku
sendiri, hanya sembilan orang yang selamat. Itu berarti angka kematian sebesar
78 persen.
Setelah Vietnam
menyerbu, tiba saatnya untuk memulihkan keadaan negeri kami. Tapi orang-orang
komunis rupanya lebih hebat kalau disuruh berperang, ketimbang mengatur
kedamaian. Pihak penyerbu dengan "Front Kesatuan Nasional untuk
Menyelamatkan Kampuchea" mereka sama- sekali tidak mempunyai rencana
pembangunan kembali. Heng Samrin, tokoh boneka pemimpin front itu, setahun
sebelumnya masih merupakan anggota Khmer Merah. Menteri luar negerinya, seorang
pemuda bermata satu yang bernama Hun Sen, dulunya juga anggota Khmer Merah,
sebelum menyeberang ke pihak Vietnam untuk menghindari tindakan pembersihan
terhadap dirinya. Enam bulan sesudah Phnom Penh "dibebaskan", akhimya
Hun Sen mengadakan pertemuan dengan badan-badan internasional guna merembukkan
kemungkinan diterimanya bantuan darurat. Dunia luar ingin sekali memberikan
bantuan, tapi sebagian besar dari bantuan yang mengalir ke Phnom Penh langsung
dirampas oleh rezim yang baru, sehingga tidak pernah sampai di tangan rakyat.
Pihak Vietnam
menjarahi pabrik-pabrik dan mengangkut pergi perlengkapannya, merampok beras
dari gudang-gudang, mengambil segala perabotan yang masih ada di rumah-rumah
penduduk. Sementara Khmer Merah terus dipukul mundur, pasukan-pasukan Vietnam
memperketat kontrol mereka terhadap penduduk sipil yang ada di daerah-daerah
yang sudah "dibebaskan". Misalnya saja di propinsi Siem Reap, dekat
lokasi reruntuhan Angkor yang kuno, seseorang bernama Dith Pran menerima
penugasan dirinya menjadi walikota sebuah kota kecil, karena ia ingin membantu
bangsanya. Tapi kemudian pihak Vietnam meneliti latar be1akang politiknya, dan
berhasil mengetahui bahwa ia pernah bekerja untuk sebuah surat kabar Amerika.
Bagi mereka itu lebih buruk daripada jika ia pernah bekerja untuk Khmer Merah.
Dith Pran dipecat dari kedudukannya. Ia merasa keselamatan jiwanya terancam,
dan kemudian ia melarikan diri ke Thailand.
Satu contoh lain
tentang diperketatnya kontrol itu adalah rumah sakit yang ada di kota
Battambang. Setelah terjadi penyerbuan oleh Vietnam, mulanya rumah sakit itu
dikelola sepenuhnya oleh para dokter Kamboja sendiri. Aku bergabung dalam staf
di situ pada akhir babak waktu itu. Ketika gubernur rezim Heng Samrin kemudian
mengadakan rapat, aku melarikan diri ke Thailand. Kecurigaanku yang timbul
waktu itu kemudian ternyata benar. Menyusul rapat itu, para
"penasihat" Vietnam mengambil alih pengelolaan terhadap rumah sakit
itu. Dari dokter-dokter Kamboja yang masih tersisa, beberapa di antaranya
kemudian meloloskan diri ke Thailand. Selebihnya, yang lebih bersedia
bekerjasama dengan Vietnam, menggabungkan diri dalam staf mereka. Seorang di
antaranya adalah Pen Tip.
Di daerah pedesaan,
pihak Vietnam berusaha mengkolektifkan kegiatan pertanian. Mereka mengatakan
bahwa segala gerobak dan juga sapi, kerbau dan bajak yang masih ada, semuanya
merupakan milik orang-orang yang memeliharanya semasa rezim Khmer Merah, dan
bukan kepunyaan pemiliknya yang semula. Mereka mengatakan bahwa tanah pertanian
adalah milik pemerintah, bukan perorangan. Mereka mendesak para petani untuk
melakukan kegiatan bertani dalam "regu-regu gotong-royong" yang
masing-masing terdiri atas sepuluh sampai tiga puluh keluarga. Para petani sama
sekali tidak menyukai pengaturan itu. Mereka ingin bertani sendiri-sendiri,
seperti sudah sejak berabad-abad mereka lakukan, sebelum rezim Khmer Merah.
Langkanya bahan
pangan merupakan masalah yang paling gawat. Semua pabrik penggilingan beras
dikontrol oleh pihak Vietnam. Sebagian dari beras yang digiling di situ
dikirimkan ke Vietnam, sebagian diambil untuk keperluan mereka sendiri, dan
sisanya diberikan kepada pasukan-pasukan Heng Samrin. Sampai pertengahan tahun
1979, penduduk sipil sudah menderita kekurangan pangan. Sulit sekali bisa
bercocok tanam. Di beberapa daerah hal itu disebabkan karena tidak adanya bajak
atau sapi untuk membajak tanah; di daerah-daerah lain, benih padinya yang tidak
ada. Musim kemarau panjang menyebabkan padi yang sudah ditanam mati karena
kekurangan air.
Sepanjang tahun 1979,
pasukan-pasukan Vietnam terus mendesak Khmer Merah mundur semakin jauh ke
barat. Setiap kali pasukan-pasukan Pol Pot menanam bahan pangan, pihak Vietnam
kemudian melakukan serangan sebelum mereka sempat memanen hasilnya. Itulah
kama: Khmer Merah, yang sebelumnya telah menyebabkan timbulnya kelaparan
sehingga begitu banyak yang mati karenanya, kini tidak punya apa-apa yang bisa
dimakan, selain dedaunan yang tumbuh di dalam hutan. Satuan-satuan Khmer Merah
berkelahi sesama mereka, memperebutkan bahan pangan dan obat-obatan.
Kader-kader banyak yang minggat, dan beberapa dari mereka mati kelaparan.
Sememara itu,
lintasan-lintasan berupa jalan setapak yang kutelusuri menuju Thailand, sudah
menjadi jalan-jalan besar. Puluhan ribu, bahkan ratusan ribu kaki berjalan di
atas lintasan-lintasan itu. Jumlah pengungsi yang semakin meningkat itu,
menyebabkan mereka aman dari rongrongan perampok dan pemerkosa. Desas-desus
tentang adanya beras yang diberikan secara cuma-cuma di perbatasan Thailand,
hal mana kemudian ditegaskan lewat siaran-siaran yang dipancarkan oleh Voice of
America, menyebabkan banjir manusia mengalir ke barat. Rakyat kelaparan, dan
sudah bosan terhadap komunisme. Mereka mendambakan kebebasan. Mereka
menginginkan beras. Seluruh penduduk Kamboja bergerak: melarikan diri,
berbaris, tersaruk-saruk, membanjir ke seberang perbatasan, memasuki wilayah
Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar