Bab 41 : Kemasyuran
DALAM versi akhir dari film The Killing
Fields ada satu adegan yang pengambilannya dilakukan di Thailand; dalam
adegan itu aku dan Sam Waterston, masing-masing sebagai Dith Pran dan Sydney
Schanberg, sedang mendatangi pasukan-pasukan Lon Nol dan para penasihat militer
mereka dari Amerika. Tiba-tiba Khmer Merah melancarkan serangan. Aku dan Sam
meloncat masuk ke dalam sebuah lubang perlindungan. Kamera beralih ke rekaman
close-up yang diambil di Inggris, menampakkan kami berdua di dalam lubang
perlindungan, dan aku berseru, "Itu, Sydney! Khmer Merah!" Film
langsung beralih lagi ke adegan yang diambil di Thailand. Sambungan-
sambungannya begitu sempurna, sehingga penonton sedikit pun takkan menyadari
bahwa potongan-potongan adegan itu diambil di lokasi yang berbeda-beda.
Begitu pula halnya dengan adegan pengungsian
dari gedung Kedutaan Besar Amerika Serikat di Phnom Penh. Adegan itu dibuat di
Thailand, disisipi dengan rekaman yang menampakkan pesawat-pesawat helikopter
pasukan marinir Amerika Serikat yang besar-besar, dan diambil di San Diego.
Aku tercengang. Tapi itulah hakikat pembuatan
film: menyambung-nyambung berbagai potongan adegan yang diambil di berbagai
tempat dan waktu yang berlain-lainan, dengan pengambilan ulang, dubbing
suara, lalu menambahkan musik, judul film, dan nama para pelaku serta
macam-macam lagi. Para aktor hanya merupakan bagian saja dari keseluruhan
ilusi.
Babak pengambilan adegan-adegan yang pertama-
tama dan memakan waktu paling lama berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus
1983 di Thailand. Bulan November tahun itu juga, selama dua minggu kami berada
di lokasi lain, yakni di San Diego dan di Kanada. Bulan April 1984 aku pergi
lagi ke Thailand selama beberapa minggu, untuk pengambilan adegan-adegan
pelarian ke perbatasan. Bulan Agustus dan September aku berada di Inggris untuk
pengambilan beberapa adegan, seperti close-up di dalam lubang
perlindungan, dan untuk melakukan dubbing suara.
Perjalanan kian-kemari itu tidak apa-apa bagiku.
Itu malah merupakan kesempatan untuk datang dan melihat tempat-tempat yang
belum pemah kulihat, di tambah kemungkinan bergabung kembali dengan awak film.
Setiap kali satu babak pembuatan film sudah
selesai, aku selalu kembali ke tempat kerjaku yang lama di Los Angeles, yang
memberiku gaji empat ratus dollar seminggu. Setiap kali aku kembali ke situ,
aku merasa bersalah. Para rekanku di Chinatown Service Center baik-baik
semuanya. Mereka itu ada yang orang Vietnam, orang Kamboja, dan beberapa orang
Cina dari Taiwan dan Hong Kong. Tugas yang mereka kerjakan di situ penting dan
praktis sifatnya. Kami punya sasaran-sasaran yang harus dicapai. Setiap bulan
kami memberikan tempat kerja bagi sejumlah pengungsi setiap bulannya. Setiap
kali aku harus pergi lagi, pekerjaan yang harus ditanggulangi rekan-rekanku di
situ menjadi tambah berat.
Setiap kali atasan langsungku memberi izin cuti,
apabila aku harus pergi lagi. Wanita itu sangat baik hati. Dan hanya dia dan
kepala yang tertinggi di pusat itu yang mengetahui alasan sebenarnya dari
kepergianku meninggalkan tempat kerja. Aku tidak bercerita mengenainya kepada
siapa pun juga di Los Angeles, selain kepada Sophia. Kepada teman-teman dan
para rekan aku hanya mengatakan secara samar-samar saja bahwa aku harus pergi
karena suatu urusan dengan kaum pengungsi. Sebagian dari alasanku tidak
mengatakan apa-apa kepada mereka adalah untuk melindungi diriku seandainya film
itu nanti jika sudah selesai ternyata tidak bagus. Kuanggap tidak ada gunanya
menyebabkan mereka belum-belum sudah bergairah, tapi nantinya kecewa. Tapi ada
sebab lain yang mendasari sikapku itu: karena sekian lama berada di bawah
kungkungan rezim Khmer Merah, aku jadi punya kebiasaan untuk berahasia. Bagiku
masih saja sulit untuk bisa mempercayai orang lain. Bahkan pada Balam pun aku
tidak bercerita apa-apa, padahal tinggalnya dalam gedung yang sama. Begitu pula
halnya dengan adikku Hok, yang tinggal di luar kota Los Angeles, atau saudara
sepupuku Phillip Thong.
Aku waktu itu seperti menjalani kehidupan ganda.
Sekitar bulan November 1984, ketika aku sedang
duduk di belakang meja kerjaku di kantor, ada telepon untukku dari studio
Warner Bros, di Burbank. David Puttnam dan Roland Joffe ada di sana. Mereka
ingin mengajakku melihat preview film itu yang akan diputar di San Diego.
Setelah menerima kabar itu aku kembali bekerja seperti biasa, melayani
pertanyaan-pertanyaan para klienku dan membantu mereka mengurus berbagai hal.
Sehabis bekerja aku pulang ke rumah. Tidak lama kemudian sebuah mobil limousine
berhenti di luar gedung apartemen tempat tinggalku. Dengan mobil mentereng itu
aku pergi ke pelabuhan udara Burbank, langsung ke samping sebuah pesawat jet
pribadi berukuran kecil. David, Roland, dan beberapa orang lagi sudah lebih
dulu ada di dalamnya. Jet itu langsung berangkat, pramugari menghidangkan
minuman champagne, dan aku duduk bersandar sambil kagum sendiri
membayangkan perkembangan hidupku.
Selama pembuatan film itu, aku tidak pernah
merasa istimewa. Takkan kubiarkan perasaan seperti itu timbul dalam hatiku.
David dan Roland selalu bersikap wajar, biasa-biasa saja. Sam selalu
menyenangkan dan ramah terhadap siapa saja. Mereka itulah yang menentukan
suasana. Selama bekerja bersama mereka, aku tidak pernah berangan- angan
menjadi "bintang".
Aku bahkan tidak pernah kepingin menjadi aktor.
Aku tahu, siapa aku. Dalam batinku aku masih tetap seorang dokter dari Kamboja.
Tapi kini, sementara pesawat jet itu terbang menyusur pesisir selatan California,
aku mulai memikirkan siapa diriku sebenarnya, dan apa yang sedang kulakukan
saat itu. Tidak mungkin bagiku untuk tidak membanding-bandingkan kehidupanku
yang sengsara semasa masih menjadi budak perang, dengan kehidupan yang
sekarang. Tidak mungkin ada kehidupan yang lebih mewah lagi dari yang seperti
ini, bepergian ke mana-mana naik limousine dan pesawat jet pribadi.
Aku berpikir: dewa-dewa telah menyelamatkan aku.
Mereka memberi aku kesempatan yang sebelumnya tidak pernah kuimpikan. Mungkin
mereka mempunyai maksud tertentu dengan diriku, sesuatu yang harus
kulaksanakan.
Ketika kami tiba di teater yang dituju,
pertunjukan preview sudah hampir selesai. Kami hanya sempat melihat setengah
jam yang terakhir. Para hadirin kemudian mengisi formulir berisi berbagai
kategori mutu yang harus ditentukan: sangat baik, baik, lumayan, dan buruk.
Pada formulir-formulir yang sempat kulihat, penilaian untuk aku dan Sam
Waterston semuanya "sangat baik". Aku dikerumuni orang-orang yang
minta tandatangan. Baru sekali itu aku dimintai tandatangan.
Minggu-minggu berikutnya menyusul pertunjukan-
pertunjukan preview di Los Angeles. Karena satu dan lain sebab, aku selalu saja
datang terlambat. Hal itu menjengkelkan, karena aku belum pernah melihat film
itu selengkapnya, melainkan hanya sepenggal-sepenggal saja di ruang editing
Roland di Inggris. Ketika pemutaran film selesai, hadirin bertepuk tangan riuh
dan lama. Suatu kali, ketika aku sudah hendak meninggalkan tempat pemutaran
film itu di kampus University of Southern California, seorang mahasiswi datang
menghampiri lalu merangkul dan menciumku. Katanya, ia ingin jadi istriku.
Padahal baru sekali itu dia bertemu dengan aku.
Bulan Desember: pemutaran perdana di New York. World
premiere. Lagi-lagi aku tidak sempat melihat pemutarannya. Kunjunganku ke
kota itu benar-benar serba sibuk dan membingungkan: melayani kerumunan orang
yang meminta tandatangan, difoto, digiring dari satu tempat ke tempat lain
untuk diwawancarai di depan kamera televisi. Dalam suatu perjamuan makan namaku
dipanggil dan aku diminta berdiri, sementara hadirin menyambut dengan tepuk
tangan meriah sambil berdiri pula. Aku bersalaman dengan ribuan orang yang sama
sekali tidak kukenal. Selama itu aku bertanya-tanya pada diri sendiri: Kenapa
aku? Kenapa aku diperlakukan seperti ini? Aku baru saja datang di negeri ini.
Apakah sebetulnya yang sedang terjadi?
Bagiku, satu-satunya yang menyenangkan dari
acara pertunjukan perdana di New York itu adalah bahwa aku akhirnya bisa
berjumpa dengan Sydney Schanberg dan Dith Pran yang asli. Sydney yang asli
lebih pendek ketimbang Sam Waterston. Rambutnya sudah beruban, begitu pula
jenggotnya. Matanya besar dan bulat. Aku langsung merasa akrab dengan dia,
begitu pula dengan Dith Pran. Pran lebih pendek dari aku. Orangnya tenang dan
lemah lembut, tidak hiperaktif seperti aku. Ia bekerja sebagai wartawan foto
pada harian The New York Times, di mana Sydney juga bekerja. Aku dan
Pran mulanya bercakap-cakap dalam bahasa Inggris karena tidak ingin menyinggung
perasaan orang-orang lain yang ada di situ waktu itu; tapi dengan segera kami
sudah beralih ke bahasa Khmer. Banyak yang hendak kami perbincangkan.
Kutanyakan padanya, bagaimana perlakuan Khmer
Merah terhadap dirinya dalam kenyataannya, karena aku tahu bahwa dalam naskah
skenario film itu ada beberapa hal yang diubah. Ia mengatakan, ia pernah
tertangkap tangan sewaktu mencuri beras. Ia lantas dipukuli oleh
serdadu-serdadu. Mereka sebenarnya sudah hendak menggiringnya pergi untuk
dibunuh, tapi kepala desa sempat mencegah lalu mengusahakan pengirimannya
mengikuti "pendidikan kembali", di mana ia kemudian
"mengakui" segala kejahatan yang dituduhkan kepadanya, untuk
menyelamatkan nyawa. Selama sekian tahun itu istri dan anakanaknya sudah
selamat dan berada di Amerika Serikat. Tapi tentu saja ia tidak pernah menerima
kabar dari mereka, sementara sebagian besar dari sanak keluarganya yang
lain-lain kemudian mati, karena dibunuh atau karena kelaparan. Setelah terjadi
penyerbuan pasukan-pasukan Vietnam, ia selama beberapa waktu menjadi walikota
di sebuah kota kecil, untuk menolong penduduk di situ. Tapi kemudian pihak
Vietnam berhasil mengetahui latar belakangnya yang "tercemar", yakni
bahwa ia pernah bekerja untuk pihak pers Amerika. Situasi berkembang menjadi
berbahaya untuk keselamatannya, dan ia melarikan diri ke Thailand; ia tiba di
sana bulan Oktober 1979.
Aku dan Pran sependapat, film itu sebenarnya
harus lebih banyak menampilkan adegan kekerasan, untuk mencerminkan apa yang
merupakan kenyataan sebenarnya di Kamboja waktu itu. Kemudian secara
berkelakar, kami membanding-bandingkan: siapa yang lebih sengsara hidupnya
waktu itu. Pran mengatakan bahwa ia pernah makan tikus, keong, dan kadal.
"Anda juga pemah makan kadal?" kataku. "Enak sekali, seperti
daging T-bone steak di sini. Tapi yang paling enak bagiku adalah rayap dan
telur semut merah." Pran mengatakan, itu belum pemah dimakannya. Pada
hakikatnya, pengalamanku di bawah Khmer Merah lebih buruk ketimbang dia. Tapi
itu tidak penting. Berjumpa dengan dia, rasanya seperti berjumpa dengan saudara
kembar. Saat itu pun aku sudah langsung tahu bahwa kami akan tetap bersahabat
seumur hidup.
Bulan Januari menyusul pertunjukan perdana di
London. Aku hadir di sana, bersama Sydney Schanberg, Sam Waterston dan Dith
Pran. Kami semua mengenakan pakaian pesta resmi. Duchess of Kent,
saudara sepupu Ratu Elizabeth, duduk berdampingan dengan aku, hanya dipisahkan
oleh lorong tengah. Perhiasan intan berlian dan mutiara yang dipakainya
gemerlapan. Untuk pertama kalinya aku sempat melihat film itu dalam keseluruhannya.
Ketika film dimulai, hadirin masih sibuk berbicara sambil berbisik-bisik sesama
mereka. Orang-orang tertawa ketika John Malkovich, dalam peranan sebagai
fotografer Al Rockoff, mengatakan bahwa untuk kompres di keningnya guna
menghilangkan rasa pusing karena kebanyakan minum ia memakai pembalut wanita.
Kemudian menyusul kengerian perang saudara mulai mencengkam hadirin.
Orang-orang tidak tertawa lagi. Suasana di dalam gedung pertunjukan makin lama
makin hening.
Ketika tiba adegan penarikan mundur Amerika,
ketika istriku pergi dengan helikopter, aku mulai menangis. Aku tidak bisa
menjelaskan sebabnya. Mungkin karena melihatnya untuk pertama kali terpampang
di layar yang besar dan lebar, sehingga aku tidak tahan melihat dampaknya yang
begitu memukul. Mungkin juga karena adegan itu bagiku rasanya seperti ketika
Huoy meninggal dunia.
Seorang nyonya yang duduk di belakangku
menyodorkan kertas tisu kepadaku.
Aku menangis lagi ketika muncul adegan di
Kedutaan Besar Perancis, melihat diriku meninggalkan para wartawan Barat yang
tetap berada di sana, lalu pergi menuju ke pedesaan.
Aku tidak mampu mengendalikan perasaanku saat
itu. Air mataku bercucuran, sementara nyonya yang di belakangku terus saja
menyodorkan kertas tisu. Aku menangis ketika Khmer Merah menyungkupkan kantong
plastik ke kepala seorang tawanan. Aku menangis ketika aku mengisap darah sapi,
dan ketika aku terjatuh ke dalam lubang yang berisi tulang-tulang manusia
sewaktu aku melarikan diri.
Aku menangis melihat adegan penutup, ketika Pran
dan Sydney, atau tepatnya aku dan Sam, berjumpa lagi di sebuah tempat
penampungan pengungsi di Thailand. Adegan itu diambil di Khao-I-Dang, tepat di
depan tempat aku pernah bekerja sebagai dokter untuk organisasi ARC.
Tapi bukan aku saja yang menangis. Duchess of
Kent juga menangis. Ketika film sudah berakhir, para hadirin selama
beberapa saat masih tetap duduk terpaku di tempat masing-masing, beberapa di
antaranya masih mengusap air mata. Ketika lampu-lampu menyala lagi, nama-nama
kami: Sydney, Pran, Sam dan aku, dipanggil,
diperkenalkan kepada hadirin. Para hadirin
berdiri dan bertepuk tangan sampai lama sekali.
Pers Barat mulai menyajikan artikel-artikel
tentang The Killing Fields. Sebelumnya tidak banyak orang di sana yang
tahu tentang apa yang terjadi di Kamboja semasa rezim Khmer Merah;
paling-paling kaum intelektualnya, serta para pakar tentang masalah Asia, tapi
masyarakat umum tidak tahu banyak mengenainya. Film itu menampilkan kisah
tahun-tahun itu dalam bentuk yang bisa dimengerti oleh setiap orang, karena
kisahnya tentang persahabatan antara dua orang pria.
Aku sendiri heran jadinya ketika perhatian pers
kemudian terpusat pada diriku. Lewat film itu aku menjadi semacam simbol bagi
Kamboja dan penderitaan yang terjadi di sana. Atau tepatnya aku dan Pran
bersama-sama menjadi simbol negara kami, karena orang-orang selalu saja
mengelirukan nama kami berdua. Kenyataan bahwa aku seorang pengungsi yang
sebelum itu tidak pemah melakukan akting menyebabkan film itu menjadi lebih
menarik untuk diberitakan, ketimbang jika tokoh Dith Pran diperankan oleh
seorang aktor yang sudah berpengalaman.
Sementara itu aku selalu kembali ke tempat
kerjaku sebagai penasihat di Chinatown Service Center di Los Angeles. Kenyataan
bahwa aku ikut berperan dalam film itu sudah tidak merupakan rahasia lagi.
Berulang kali aku terpaksa meninggalkan tempat kerjaku untuk diwawancarai,
untuk bepergian, dan bahkan menerima tanda-tanda penghargaan. Pertama-tama aku
memenangkan hadiah Golden Globe sebagai pemain pendukung terbaik. Kemudian,
bulan Maret 1985, aku ke London lagi untuk menerima dua tanda penghargaan
sekaligus yang berwujud British Academy Award untuk Pendatang Baru Terbaik dan
untuk Aktor Terbaik.
Sophia ikut ketika aku ke London itu.
Prestasinya di sekolah sangat memuaskan, nilai rata-ratanya "A". Anak
itu sangat cerdas, seperti ayah dan ibunya; tapi pertumbuhannya menjadi dewasa
terlalu cepat, menurut perasaanku. Ia tidak menyukai rambutnya yang lurus dan
hitam, seperti lazimnya rambut orang Asia; ia mengeritingnya. Aku melihat bahwa
ia sering nampak gelisah dan tidak bahagia di rumah kami, di Los Angeles. Aku
tidak tahu apa sebabnya. Mungkin karena ia sudah menginjak masa remaja. Atau
mungkin juga karena aku terlalu sering pergi meninggalkannya. Mungkin pula sebabnya
karena cara berpikirku masih tradisional, masih tetap dengan pola Kamboja.
Sikapku keras terhadapnya, seperti ayahku dulu terhadapku. Hanya itulah
satu-satunya cara membesarkan anak yang kukenal. Tapi ia nampaknya senang jika
diajak bepergian, melihat tempat-tempat yang baru.
Dari London kami pulang ke tempat tinggal yang
baru. Kami sudah pindah dari apartemen yang semula, yang hanya ada satu
kamarnya dan menghadap lorong, ke apartemen lain di lantai yang lebih tinggi di
gedung itu juga. Di apartemen itu ada dua kamar tidur, dengan pemandangan
gedung-gedung yang menjulang tinggi di pusat kota Los Angeles. Ruang duduk kami
sudah penuh dengan berbagai tanda penghargaan dan piagam-piagam. Kedua tanda
penghargaan British Academy Award kutaruh saja di atas meja, tanpa terlalu
kupedulikan.
Dari cerita-cerita orang di Warner Bros
kepadaku, paling hebat adalah apabila memenangkan hadiah American Academy
Award, atau Oscar, menurut istilah populernya. Aku diunggulkan untuk kategori
Aktor Pendukung Terbaik; tapi reaksiku mengenainya adalah menganggap kecil
kemungkinan bahwa aku bisa menang. Unggulan lainnya adalah John Malkovich,
unruk peranannya dalam film Places in the Heart. Aku mengenal mutu
akting John. Aku sempat berulang kali mengamati adegan-adegan dari film The
Killing Fields sewaktu masih dalam proses penyuntingan, dan setiap kali aku
menemukan detil kecil lain yang benar-benar sempurna dalam aktingnya, yang
sebelum itu lolos dari pengamatanku. Selain itu aku masih tetap merasa kesal
pada Roland Joffe, karena tidak memberi kesempatan padaku untuk berjumpa dengan
Dith Pran sebelum pembuatan film dimulai. Coba waktu itu aku diberi kesempatan,
aku pasti akan bisa mengubah gaya aktingku sehingga lebih mirip Dith Pran.
Dua hari sebelum tiba saat penganugerahan Hadiah
Oscar, beberapa kru televisi muncul di Chinatown Center dan di apartemenku.
Mereka mulai membuntuti aku terus dengan kamera-kamera mereka. Aku
bertanya-tanya dalam hati, apakah mereka juga membuntuti John Malkovich. Aku
ingin sekali bisa berjumpa lagi dengan dia, mendengar lelucon-lelucon joroknya.
Belum pernah ada orang lain yang bisa membuat aku sampai begitu banyak tertawa,
selain dia.
Pada hari para pemenang Hadiah Oscar akan
diumumkan, aku menelepon atasanku di tempat kerja untuk minta izin cuti hari
itu. Aku terlalu gelisah saat itu, sehingga tidak bisa memusatkan perhatian
pada pekerjaan. Kusuruh Sophia untuk minta izin tidak bersekolah. Sejumlah kru
TV sudah menunggu di luar apartemenku. Mereka membuntuti ketika aku pergi
ketempat penyewaan pakaian pesta. Mereka merekamnya untuk disiarkan dalam warta
berita. Aku sampai heran: apa istimewanya, ada orang pergi menyewa pakaian
pesta?
Ketika aku kembali ke rumah, kulihat ada tiga
buah limousine hitam diparkir di seberang jalan. Ternyata Dith Pran yang
datang, naik limousine yang satu. Kedua mobil lainnya masing-masing membawa Pat
Golden dan Ed Crane dari Warner Bros., serta petugas-petugas dari Bagian Humas.
Mereka semua masuk ke dalam apartemenku. Para tetangga, yang umumnya
orang-orang Asia dan dari golongan menengah bawah, berkerumun menonton ketiga
mobil mewah itu dan para kru televisi.
Aku dan Sophia diajak oleh Pat Golden dan Ed
Crane naik salah satu mobil limousine itu menuju tempat acara penganugerahan
diselenggarakan. Para tetangga melambaikan tangan mereka padaku ketika kami
berangkat, sambiI menyerukan ucapan semoga menang. Acara penganugerahan Hadiah
Oscar diadakan di gedung yang bernama Dorothy Chandler Pavillion, yang letaknya
tidak begitu jauh. Kepadatan lalu lintas saat itu luar biasa. Mobil hanya bisa
maju beringsut-ingsut. Baru satu jam kemudian kami sampai di tempat tujuan.
Kalau kami tadi berjalan kaki dari apartemenku, pasti sudah lebih dulu sampai.
Aku gemar berjalan kaki, untuk menyalurkan energiku yang berlebihan.
Upacara di dalam gedung sudah dimulai ketika
kami masuk, setelah melewati tim-tim kamera televisi yang mengerubung dan juga
penjagaan polisi; hadiah-hadiah sudah mulai dibagi-bagikan. Di dalam auditorium
itu hadir pria berpakaian serba apik dan wanita-wanita berpenampilan kemilau,
duduk di kursi yang berderet-deret sampai ke depan. Pengantar tamu
mempersilakan aku dan Sophia duduk di beberapa kursi yang masih kosong di
deretan kedua, di sisi pinggir sebelah kiri panggung. Rasanya baru beberapa
menit saja kami duduk, ketika seorang wanita bernama Linda Hunt, yang tubuhnya
sangat pendek naik ke atas panggung untuk membacakan nama pemenang hadiah untuk
Aktor Pendukung Terbaik. Tahun sebelumnya ia yang memenangkan hadiah serupa,
untuk peranannya dalam film The Year of Living Dangerously, "Tahun
Vivere Pericoloso".
Ia berkata, "Selamat malam, Tuan-tuan dan
Nyonya-nyonya. Kelima aktor yang akan kita sambut penampilannya malam ini,
masing-masing menempuh jalur yang berlain-lainan. Saya tahu bahwa tidak seorang
pun dari mereka menganggap bahwa peristiwa malam ini merupakan tujuan akhir
dalam karier mereka. Tujuan itu, seandainya memang ada, terletak dalam
pekerjaannya sendiri, serta dalam perasaan adanya tantangan dan keinginan
meraih prestasi. Terpilih sebagai yang terbaik untuk prestasi kerja tertentu
merupakan hadiah yang menyenangkan, dan mengetahui bahwa pekerjaan itu
dilakukan dengan cara terbaik yang bisa dilakukan, juga sama menyenangkan
rasanya." Setelah itu ia membacakan nama-nama para unggulan. Ketika namaku
disebut, kamera-kamera televisi diputar arahnya dan mencari- cari di kalangan
hadirin. Tapi mereka tidak bisa menemukan diriku, karena kami tadi diantarkan
ke tempat duduk yang keliru. Di tabir monitor televisi muncul gambarku yang
diambil dari salah satu adegan The Killing Fields.
Mataku menelusuri deretan kursi-kursi, dan
kulihat Sam Waterston duduk dekat lorong tengah. Aku tidak ingat apa yang ada
dalam pikiranku saat itu, selain perasaan senang bahwa Sam ada di situ. Aku
sudah sering dibantunya. Perasaanku gugup sekali.
"Dan pemenangnya adalah ...
... Haing S. Ngor, dalam film The Killing
Fields!"
Aku berjalan menghampiri Sam lalu menyalaminya;
kucoba mengajaknya ikut naik ke atas panggung, tapi ia menyuruh aku terus.
Begitu sudah berada di atas panggung, otakku langsung seperti kosong rasanya.
Dengan tangan menggenggam patung Oscar, aku berdiri di balik mimbar.. Sorotan
lampu-Iampu panggung dan kamera-kamera televisi terarah padaku, tapi aku tidak
talm harus bilang apa. Sewaktu masih di dalam limousine, dalam perjalanan ke
situ, aku sempat melatih kata-kata yang akan kuucapkan seandainya aku ternyata
terpilih sebagai pemenang; tapi kini, semuanya pupus dari ingatan.
"Ini benar-benar di luar dugaan,"
kataku kemudian, ketika akhirnya aku ingat lagi. "Tapi begitulah seluruh
perjalanan hidup saya. Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh
anggota Motion Picture Academy atas kehormatan yang dilimpahkan ini. Saya
berterima kasih kepada David Puttnam, Roland Joffe, karena memberi saya
kesempatan ikut berperan untuk pertama kali dalam hidup saya, dalam The
Killing Fields. Saya ingin berbagi kehormatan ini dengan kawan saya Sam
Waterston, Dith Pran, Sydney Schanberg, dan juga dengan Pat Golden, direktur
yang menangani urusan pemilihan para pemeran -nyonya yang menemukan saya untuk
peranan ini." Kudengar suara hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Tertawa
karena logatku dan tatabahasaku yang kacau, tepuk tangan karena suara tertawa
tidak menyebabkan aku lantas berhenti. "Dan saya mengucapkan terima kasih"
- lagi-lagi terdengar suara tertawa dan tepuk tangan - "dan saya berterima
kasih kepada Warner Bros. karena telah membantu saya meneeritakan kisah saya
kepada dunia, memberitahu dunia tentang apa yang terjadi di negeri saya. Dan
saya mengucapkan terima kasih kepada Sang Budha bahwa saya malam ini bisa
berada di tempat ini. Terima kasih. Terima kasih banyak."
Hadirin berdiri sambil bertepuk tangan dan
bersorak-sorak; beberapa orang menghapus air mata. Kujunjung hadiah itu
tinggi-tinggi. Aku tidak mampu melukiskan perasaanku saat itu; rasanya seperti
mengambang. Kakiku tidak lagi menginjak tanah, rasanya.
Aku turun dari panggung, dan pengantar tamu
membawaku ke tempat yang seharusnya kududuki tadi, di deretan yang sama tapi di
sisi seberang sana. Seorang pengantar tamu lainnya mengantar Sophia ke tempat
itu pula. Di depan kami, di deretan kursi paling depan, duduk John Malkovich.
Ia berpaling, menatapku sambil memamerkan cengirannya.
"Ach anh neh," katanya sambil
menuding patung Oscar yang ada dalam genggamanku. "Rat boh anh teh."
Sophia kaget. Ia menoleh dengan cepat. Mulutnya
ternganga. Aku merasa bahwa aku tadi mungkin salah dengar. Karenanya aku lantas
membalas senyum John, sambil mendorong tubuhku maju. Senang rasanya melihat dia
lagi.
"Ach anh neh. Rar boh anh teh,"
kata John mengulangi kata-katanya tadi, sambil terus memamerkan cengiran dan
menunjuk patung Oscar. Sekali ini aku tidak mungkin keliru lagi. Sewaktu berada
di Thailand, aku pernah mengajari memaki dalam bahasa Khmer.
Dan ia mengatakan kepadaku, "Cium pantatku.
Itu milikku."
siang pak... bab 40nya gak ada ya..tks
BalasHapusSaya simpan Bab 1 s.d Bab 42 (termasuk juga Bab 40, yang tidak diteruskan oleh Mas Robert Haryono) di Drive google
BalasHapusSemoga bermanfaat.
Salam