Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 01 Juni 2013

Neraka Kamboja - Bab 42 (penutup) : Kama

Bab 42 (penutup) : Kama


SAMPAI saat namaku disebutkan dan kemudian aku naik ke alas panggung, sedikit pun aku tidak menyangka bahwa aku akan memenangkan hadiah Oscar. Orang seperti aku, yang baru sekali itu melakukan akting, yang baru saja pindah keAmerika Serikat, yang belum lancar berbahasa Inggris -kemungkinan bahwa aku bisa menang kecil sekali. Bahkan dalam film-film buatan Hollywood pun tidak ada akhir cerita yang begitu tidak masuk akal. Dan kalau pun ada, takkan ada penonton yang mau percaya.

Tapi justru itulah yang terjadi. Aku menang meski kemungkinannya begitu kecil. Patung Oscar ada padaku sebagai buktinya, patung berat dan bersepuh emas, sosok seorang pria jangkung dengan wajah kosong penuh misteri.

Sebenarnya lebih tepat jika dikatakan, aku menang lagi. Di negeri tempat "killing fields",tempat ladang-ladang pembantaian yang sebenarnya, kemungkinan bahwa aku akhirnya bisa menang bahkan jauh lebih kecil lagi.

Jika keajaiban demi keajaiban datang susul menyusul, sulit rasanya untuk tidak berpikir-pikir tentang kama.

Terkadang, orang-orang yang dipilih untuk melaksanakan tugas-tugas tertentu, tidak menyadari bahwa mereka terpilih. Mereka merupakan alat dalam permainan nasib, dipakai untuk suatu tujuan yang lebih besar dari diri mereka sendiri. Begitulah halnya bagiku. Dewa-dewa sudah terlebih dulu mengetahui segala-galanya, sementara aku sendiri tidak tahu apa-apa. Mereka merencanakan bahwa aku harus menderita dulu, merencanakan bahwa aku harus membaktikan diri, dan merencanakan bahwa kemudianlah aku baru menerima anugerah. Itu merupakan kama. Tanpa menyadarinya, aku sudah memenuhi tugas yang mereka sodorkan kepadaku. Aku sudah ikut membantu menceritakan kisah rentang Kamboja kepada dunia luar.

Sesudah menerima anugerah Academy Award, keesokan paginya aku darang di tempat kerjaku di Chinatown Service Center. Pukul delapan, seperti biasanya. Belok kanan, berjalan sampai ke ujung gang dan masuk ke dalam ruang kerja Bagian Indocina, lalu duduk di dalam bilik kerjaku yang sempit, di bawah lampu-lampu neon. Tapi tidak banyak tugas yang sempat kukerjakan. Semua ingin menyentuh patung Oscar yang kubawa kesitu. Para wartawan dan kru-kru TV berdesak-desak masuk; telepon terus-menerus berdering; satu hari kerja terbuang, karena sibuk terus melayani orang-orang yang hendak mewawancaraidan mengucapkan selamat.

Selama minggu-minggu selanjutnya masih saja tetap belum banyak tugas yang bisa kukerjakan. Berulangkali aku diminta tampil dalam berbagai show di pemancar televisi yang besar-besar, diwawancarai, mengadakan perjalanan ke Asia Timur dan Eropa untuk mempromosikan film itu. Aku dan Dith Pran diundang ke Gedung Putih untuk bertemu dengan Presiden Reagan. Kehidupanku saat itu luar biasa sibuknya. Bulan Juni 1985 aku minta cuti lagi dari tempat kerjaku di Chinatown Service Center. Tapi ketika masa cuti itu berakhir, aku tidak kembali lagi ke sana.

Aku sudah punya pekerjaan baru, menjadi juru bicara untuk orang-orang Kamboja dan organisator bantuan untuk kaum pengungsi. Sebagian besar dari waktuku terpakai untuk mengadakan perjalanan, berpidato, ikut serta dalam berbagai konferensi, dan berbicara dengan berbagai orang,orang pemerintah dan non pemerintah . Di LosAngeles aku bekerjasama dengan Khmer Humanitarian Organization,  Organisasi Kemanusiaan Khmer, yang memberikan bantuan kepada orang-orang Kamboja di tempat penampungan pengungsi dan di Amerika Serikat, dan juga dengan suatu organisasi lain yang bernama United Khmer Humanitarianism and Peace. Organisasi yang belakangan ini mendukung sebuah kuil sementara yang terdapat di sebuah rumah, dan berusaha mengumpulkan dana untuk membangun sebuah kuil yang asli dengan gaya tradisional Kamboja. Beberapa kali dalam setahun aku pergi mengunjungi perbatasan Thailand-Kamboja, dimana aku ikut membantu mendirikan sebuah pusat pendidikan medis. Di sana, dalam sebuah bangunan dari bambu dan kajang, aku bersama staf yang ada di situ akan mengajarkan keterampilan di segi kesehatan masyarakat kepada orang-orang desa yang kemudian akan dimukimkan kembali di Kamboja.

Seperti aku, kawanku Dith Pran juga melakukan kegiatan berbicara di depan umum. Ia bekerjasama dengan organisasi-organisasi yang menyelenggarakan bantuan untuk orang-orang Kamboja. Aku bersahabat karib dengan dia. Kami berusaha sekuat tenaga, membantu menyembuhkan luka-luka yang diderita Kamboja. Kami tidak sendiri saja: banyak orang Kamboia seperti kami yang secara sukarela menyuarakan masalah-masalah, bekerja di semua tingkatan; dan di antara kami semua terjalin ikatan kekerabatan, karena kami semua pernah mengalami peristiwa-peristiwa dahsyat yang sama.

Kadang-kadang ada orang yang bertanya padaku, apa arti memenangkan Hadiah Oscar bagiku.Bagiku secara pribadi itu berarti bisa mengakui bahwa aktingku dalam film The Killing Fields memang baik. Itu berarti terbukanya hatiku danmembiarkan puji-pujian mengalir masuk, setelah sedemikian lama aku menutup diri. Senang rasanya mendapat pengakuan. Aku tidak lagi menolaknya.

Dan bagiku sebagai juru bicara bangsaku, Oscar itu membukakan pintu. Ketika film itu belum diedarkan, tragedi yang melanda Kamboja tidak begitu dikenal oleh dunia luar. Berkat film dan Hadiah Oscar itu aku kini bisa pergi ke mana-mana, boleh dibilang siapa pun juga bersedia berbicara dengan aku. Itu juga dialami oleh Dith Pran. Bagi banyak orang Kamboja, kini pintu-pintu terbuka. Aku mengucap syukur bahwa orang kini mau mendengarkan kami, dan menjadi sadar akan eksistensi negeri kami serta masalah-masalahnya. Sebelumnya, tidak ada yang mau mendengarkan.

Dan Hadiah Oscar tentu saja membuka pintu-pintu bagiku selaku aktor. Karena aku kemudian ditawari berbagai peranan, dan tidak hanya di Hollywood saja. Selama waktu antara menerima Hadiah Oscar dan saat aku menulis buku ini, aku sudah bermain dalam dua buah film berbahasa Cina yang dibuat di Asia, selanjutnya sebuab film dokumenter Perancis mengenai Kamboja, sebuah film iklan perusahaan farmasi; aku juga pernah tampil dalam beberapa episode serial Hotel dan Miami Vice sebuah serial pendek berjudul In Love and War, dan menjadi pemandu dalam sebuah acara TV.

Aku menyukai pekerjaan sebagai aktor. Aku tidak merasa cemas tentang masa depanku. Selama ini aku selalu bisa selamat. Mobilku masih VW yang kubeli tahun 1980 dulu. Aku masih memakai pakaian yang dipesankan Paman Lo dulu, ketikaaku masih tinggal di Lumpini. Aku masih tinggal di apartemen yang dulu juga, sebelum aku memenangkan Hadiah Oscar. Kemungkinan aku akan pindah, tapi itu bisa kapan-kapan saja. Apakah aku akan terus menjadi aktor, atau kembali ke profesiku sebagai dokter, atau kembali ke tempat kerjaku yang lama di Chinatown Service Center: semuanya itu tidak terlalu penting bagiku.

Persoalan yang lebih penting ketimbang apa yang kulakukan, atau apa yang dilakukan oleh Dith Pran, yang dilakukan orang Kamboja yang mana pun juga, adalah nasib negeri asal kami. Kamboja kini dinamakan Republik Rakyat Kampuchea. Heng Samrin, yang dulu pernah menjadi salah seorang komandan Khmer Merah, masih tetap merupakan pemimpinnya sampai kini. Pemimpin boneka. Dalang yang ada di belakangnya masih tetap Vietnam. Para "penasihat" yangorang Vietnam-lah yang memegang tali-tali kendali, dan pasukan-pasukan Vietnam yang terdiri atas 150.000 serdadu bersenjata lengkap menjamin bahwa segala perintah mereka benar-benar dilaksanakan.

Dengan diam-diam, tanpa ada pengumuman resmi, Vietnam kini menjajah Kamboja. Mereka menguras isi Danau Tonle Sap, ikan yang ada disitu diangkut semua ke Vietnam. Mereka merampok karet alam, beras, segala macam harta bumi kami. Mereka memberikan dorongan kepada orang-orang Vietnam dan orang-orang Kamboja keturunan Vietnam untuk membangun pemukiman mereka di segala pelosok Kamboja. Orangorang lelaki Vietnam mengambil wanita-wanita Kamboja dan dijadikan istri mereka, tanpa peduli apakah wanitanya mau atau tidak. Tindak-tindak kejahatan yang dilakukan orang-orang Vietnam terhadap orang-orang Kamboja dibiarkan saja tanpa hukuman. Di sekolah-sekolah hanya sedikit sekali diajarkan tentang kebudayaan Kamboja. Disana diajarkan bahasa Vietnam dan Rusia; murid-murid yang paling pandai dikirim ke Hanoi atau ke Moskow, untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi.

Meski rakyat tidak diikat dan dicampakkan kedalam lubang kuburan massal oleh orang-orang Vietnam, sebagaimana yang dulu dilakukan oleh Khmer Merah, sistem 'peradilan' mereka banyak kemiripannya dengan sistem yang dianut Khmer Merah. Orang-orang ditangkapi karena mengatakan sesuatu yang bernada negatif terhadap rezim yang berkuasa, atau mendengarkan siaran pemancar-pemancar radio yang dinyatakan tidak boleh didengar, atau karena menikah tanpa izin. Orang-orang yang ditangkap tidak diberi kesempatan membela diri, atau diajukan ke pengadilan. Penjara-penjara jorok kondisinya, penuh dengan kotoran manusia. Penyiksaan masih terus saja terjadi. Para pemeriksa memukuli korban-korban mereka, melecuti dengan rantai dan selang karet, mengalirkan arus listrik ke tubuh mereka dan mencekik dengan kantong-kamong plastik yang disungkupkan ke kepala. Semuanya ini kuketahui dari cerita para pengungsi. Tapi itu juga bisa dibaca dalam laporan-Iaporan yang disusun oleh badan Amnesty International.

Vietnam mengerahkan tenaga kerja paksa, bukan untuk membangun saluran air dan bendungan seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah dulu, tapi untuk menebangi pohon-pohon di pinggir jalan, agar kaum gerilyawan anti pemerintah kehilangan tempat berlindung apabila hendak melancarkan sergapan. Budak-budak perang yang baru dikerahkan untuk membabat hutan, membangun rintangan-rintangan dan memasang ranjau, terutama dekat perbatasan dengan Thailand. Penyakit malaria merajalela di perkampungan kerja paksa. Banyak dari mereka ini yang kehilangan kakikarena menginjak ranjau.

Perang masih terus berlangsung di Kamboja. Apabila pasukan-pasukan Vietnam bergerak dalam jumlah besar saat siang hari, mereka bisa pergi ke mana saja; tapi begitu mereka sudah lewat atau hari sudah malam, daerah ped esaan kembaliberada dalam kekuasaan pasukan-pasukan perlawanan.Di segala kota diberla kukan jam malam.Perang di Kamboja dewasa ini me rupakan peranggerilya tanpa garis-garis front yang jelas, dan dengan keikutsertaan berbagai kelompok di dalamnya. Sebagian besar dari bantuan yang diperoleh kelompok-kelompok perlawanan berasal dari Cina. Vietnam menerima bantuan dari Uni Soviet. Dilihat dari sudut pandangan itu, yang kini sedang berlangsung di Kamboja adalah perang antara kedua negara komunis yang menjadi sponsor dari masing-masing pihak, yakni Cina dan Uni Soviet. Kamboja hanya merupakan satu bidak saja dalam pergulatan mereka, memperebutkan kekuasaan dan pengaruh di Asia.

Pihak perlawanan terdiri atas tiga kelompok, atau yang biasa disebut faksi. Lambat-laun semakin banyak orang Kamboja yang serius dan berjiwa patriot, menggabungkan diri dalam organisasi Khmer Serei yang terdiri atas tukang-tukang perang dan perampok itu. Mereka membentuk dua faksi antikomunis: Front Pembebasan Nasional Rakyat Kamboja (KPNLF), dan Front Kesatuan Nasional demi Kamboja yang Merdeka, Netral, Damai dan Koperatif (singkatannya dalam bahasa Perancis: FUNCINPEC). Payahnya, keduafaksi itu sama-sama menghadapi masalah kepemimpinan. FUNCINPEC dikepalai Pangeran Sihanouk, yang sudah kehilangan kredibilitasnya karena semasa tahun tujuh puluhan dulu memihak kepada Khmer Merah, dan kini tinggal di Cina dan di Korea Utara. Kepala KPNLF bernama Son Sann, seorang pria terhormat yang sudah tua dan bertubuh ringkih. Pengalamannya di bidang kemiliteran tidak banyak. Markas mereka yang terletak di wilayah Thailand sama-sama dirundung berbagai masalah: pertengkaran secara terbuka, pergulatan memperebutkan kekuasaan, dan laporan-Iaporan yang terus mengalir mengenai kasus-kasus bonjour. Tapi baik KPNLF maupun FUNCINPEC sama-sama memiliki orang-orang yang bermutu dalam organisasi mereka,terutama mereka yang terjun langsung kelapangan. Mereka itu, yang benar-benar mengucurkan keringat dan berjuang mati-matian, sungguh-sungguh kukagumi.

Faksi ketiga, dan yang paling kuat di antara mereka, adalah Khmer Merah, yang sementara ini sudah bisa makan berkecukupan dan memiliki persenjataan yang lengkap lagi. Mereka mengatakan bahwa mereka sudah bukan komunis lagi, melainkan nasionalis yang ingin mengusir Vietnam keluar dari bumi Kamboja. Mereka juga mengatakan bahwa Pol Pot sudah "pensiun". PolPot memang pernah sakit berat. Tapi selama ia masih hidup, ia akan tetap memegang tampuk pimpinan. Bagaimanapun, ia sudah sekian tahun biasa berpura-pura bahwa tali kendali pimpinan ada di tangan orang lain. Orang yang kemungkinan akan menjadi penggantinya adalah Son Sen, yang menjabat kedudukan menteri pertahanan sewaktu Khmer Merah masih berkuasa di Kamboja. Dialah yang memegang kewenangan atas sistem penjara waktu itu, termasuk penjara dimana aku pernah disiksa. Istri Son Sen menjabat kedudukan menteri kebudayaan. Dialah yang bertanggung jawab atas pembantaian terhadap para bhiksu, dan dia pula vang menghapuskan Budhisme sebagai agama di Kamboja. Tokoh lainyang juga masuk hitungan sebagai calon pengganti Pol Pot adalah Ta Mok, seorang komandan militer yang terkenal bengis. Ia memerintahkan pembunuhan terhadap saingan-saingan utamanya agar dia bisa mendapat kedudukan komandan Zone Barat Daya, sewaktu Pol Pot masih berkuasa.

Tahun 1982, para pendukung ketiga faksi perlawanan itu, yakni RRC, kelima negara anggota ASEAN yang nonkomunis, ditambah Amerika Serikat, mendesak Khmer Merah membentuk pemerintahan koalisi dalam pengasingan, bersama KPNLF dan FUNCINPEC. Koalisi ini, yang menyebut dirinya Kampuchea Demokratik, dan yang pada hakikatnya masih rezim Khmer Merah yang dulu juga, dibentuk dengan suatu tujuan praktis. Dengan adanya pemerintahan itu, kekuatan-kekuatan perlawanan yang bergabung bisa mempertahankan kursi Kamboja di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehadiran diplomatik itu turut berperan dalam tekanan yang terjadi terhadapVietnam agar angkat kaki dari Kamboja. Setiap tahun diajukan sebuah resolusi ke depan sidang umum PBB yang menyerukan kepada Vietnam agar pergi dari Kamboja, dan resolusi itu selalu diterima dengan mayoritas yang sangat besar. Disegi militer, ketiga faksi yang bekerjasama itu menyebabkan biaya pendudukan Kamboja menjadi berat sekali bagi Vietnam. Gabungan ketiga faksi itu sampai saat buku ini kutulis masih belum juga berhasil mengalahkan pasukan-pasukan Vietnam,tapi sebaliknya Vietnam juga tidak mampu mengalahkan mereka. Suatu waktu nanti, kombinasi situasi kemiliteran ini dan adanya tekanan dibidang diplomasi mungkin akan menghasilkan diadakannya suatu konferensi yang bisa merintis jalan ke arah penyelesaian politik. Tanda-tanda awal adanya sikap mengalah terhadap tekanan-tekanan,kini sudah mulai nampak.

Tapi dilihat dari segi moral, lain lagi urusannya dengan pemerintahan koalisi ini. Sungguh-sungguh tidak enak rasanya, terpaksa harus mau menerima Khmer Merah sebagai mitra perjuangan, hanya agar bisa mengusir Vietnam keluar dari Kamboja. Padahal, seperti yang tertulis di sebuah papan yang dipasang di Jalan Nasionalis, "Khmer Merah - Musuh Bebuyutan."

Hanya dengan perasaan yang sangat enggan sajaaku mau menerima bahwa memang perlu dilakukan perjuangan bahu-membahu bersama KhmerMerah, sampai Vietnam sudah terusir dari Kamboja. Tapi menurut hematku, tidak perlu ditunggu lebih lama untuk mengadili para pemimpin Khmer Merah atas segala kejahatan yang telah mereka lakukan. Mereka melakukan pembantaian terhadap bangsa mereka sendiri, dan untuk itu mereka harus dihukum. Belum lama berselang ada sebuah organisasi, yakni Komisi Dokumentasi tentang Kamboja (CDC) mengusahakan penyelenggaraan pengadilan terhadap para pemimpin tertinggi Khmer Merah di depan suatu tribunal internasional. Aku dengan sepenuhnya mendukung gagasan itu. Di samping demi keadilan, tersingkirnya para pemimpin tertinggi Khmer Merah itu akan membawa efek praktis di bidang diplomasi selanjutnya: dengan begitu tidak adalagi alasan bagi Vietnam untuk tetap bercokol di Kamboja, yang selama ini mereka katakan untuk melindungi Negeri Kamboja dari kemungkinan kembalinya Pol Pot.

Peperangan yang terus berkecamuk selama ini menyebabkan adanya pelarian berjumlah lebih dari tiga ratus ribu orang di sepanjang perbatasan Thailand-Kamboja dan di tempat-tempat penampungan pengungsi yang kini masih tersisa didalam wilayah Thailand. Negara ini kini sudah menutup sebagian besar dari tempat-tempat penampungan,dan ingin jika sisanya juga bisa ditutup. Negara-negara Barat sudah bosan menerima para pengungsi Kamboja untuk dimukimkan kembali di tempat mereka. Para pelarian tinggal digubuk-gubuk di sepanjang perbatasan, tanpa bisa ke mana-mana, sementara kembali ke Kamboja mereka tidak mau. Mereka tidak bisa bercocok tanam, karena tidak ada lahan, dan juga tidak ada keamanan untuk melakukannya. Jadi mereka terpaksa menunggu adanya sumbangan bahan pangan dari luar. Anak-anak sudah menjadi serdadu, sebelum mereka sempat menjadi dewasa. Di berbagai rumah sakit dan klinik yang didirikan, staf yang terdiri dari orang-orang Kamboja dan beberapa gelintir tenaga sukarela dari Barat masih terus melakukan tugas mereka, memberikan perawatan medis. Kasus-kasus yang membebani seakan tidak ada henti-hentinya: malaria, TBC, disentri, luka-luka kena tembakan. Di sana nampak orang-orang yang berjalan terpincang-pincang dengan kaki palsu murahan, karena kaki mereka hancur kena ranjau. Nampak para pengungsi yang dirundung depresi, mengalami trauma karena kehilangan sanak keluarga dan karena eksistensi mereka yang tanpa daya selaku pengungsi. Apabila aku berada di rumah-sakit rumah-sakitdi perkampungan para pengungsi dan aku melihat bahwa hampir tidak ada perubahan samasekali di situ sejak aku pergi dari sana, aku pun merasa bahwa aku tidak berdaya apa-apa. Karena tidak satu pun yang selama ini sudah kulakukan, mulai dari pekerjaanku di situ sebagai dokter, selanjutnya keikutsertaanku dalam film The Killing Fields, dan kemudian kegiatanku mengumpulkan dana; karena semua yang telah kulakukan itu ternyata tidak bisa mengubah kondisi dasar yang ada di sepanjang perbatasan. Pada saat-saat seperti itu, saat semua tempat tidur yang ada terisi pasien dan hampir tidak ada udara segar yang menghembus ke dalam lewat celah-celah dinding bambu, pada saat-saat seperti itu Hadiah Oscar sama sekali tidak ada artinya bagiku.

*************

Malapetaka Kamboja telah mencabik-cabik kehidupan kami, Mencampakkan kami ke segala penjuru, menyebabkan tidak ada seorang pun dari kami yang masih tetap seperti dulu. Kesalahan bisa ditimpakan kepada siapa saja: negara-negara asing karena campur tangan, atau cacat yang ada pada diri kami sendiri, seperti korupsi dan kum;tapi dengan begitu kita masih juga belum tahu kenapa semuanya itu harus terjadi. Negeri Kamboja masih terap porak-poranda, jutaan orang mati, dan yang masih hidup belum bisa melupakan kepedihan hati.

Sebagian besar dari orang-orang Kamboja kenalanku dulu, kini sudah tidak ada lagi. Mereka sudah mati. Itu juga dialami kebanyakan orang Kamboja yang selamat. Tapi informasi sangat sulit diperoleh. Aku tidak tahu bagaimana nasib Paman Kruy, sopir bis yang pernah menampungku sewaktu aku masih anak-anak; rekan-rekan dokterku, Pok Saradath dan Dav Kiet; Chea Huon, bekas guruku yang kemudian menjadi tokoh pemimpin Khmer Merah; Sangam, temanku dalam regu pupuk, dan masih banyak lagi yang lain-lainnya.

Tapi ini kuketahui dengan pasti: Pen Tip, yang beberapa kali berusaha agar aku dibunuh, kini ada di sekolah kedokteran di Phnom Penh. Pasti banyak temannya di kalangan tuan-tuannya yang baru, orang-orang Vietnam.

Bibi Kim, bibiku yang melapor kepada kepala desa Tonle Bati bahwa aku sebenamya dokter, sementara ini telah bermukim di sebuah kota diAmerika Serikat. Ia disertai anak-anak lelakinya: Haing Seng, yang pernah bertengkar dengan aku di Tonle Bari dulu, dan Haing Meng, yang sepanjang pengetahuanku (atau seperti dikatakan orang-orang Amerika, "katanya") dulu perwira Khmer Merah, yang kemudian berhasil lolos dari pemeriksaan Imigrasi Amerika. Sementara ini ia sudah mengganti namanya. Aku tidak tahu dimana ia kini berada.

Tentang sanak keluarga yang lain-lainnya: adikku Hong Srun masih ada di Kamboja, dengan dua anak abangku; adikku Hok, kini tinggal diluar kota Los Angeles bersama istri dan anaknya; kedua sepupuku, Balam dan Phillip Tong, masih bertempat tinggal di Los Angeles dan hidup sentosa di sana. Aku juga masih punya beberapa orang sepupu lelaki di Macao dan Perancis, dan seorang keponakan perempuan yang juga tinggal di Perancis. Dia saru-satunya anak perempuan kakakku Chhai Thau yang masih hidup.

Keponakanku Sophia merasa tidak senang tinggal bersama aku. Mungkin pembawaanku terlalu kuno dan terlalu kuat berpegang pada adat kebiasaan Kamboja, sehingga tidak bisa memahami apa yang sedang terjadi dalam dirinya sebagai gadis remaja Amerika. Suatu hari, ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan sepucuk surat yang dialamatkan kepadaku. Surat itu tidak pernah kubuka, jadi tidak kuketahui isinya. Dan Sophia sejak itu tidak pernah kembali.

Segala pertengkaranku dengan ayahku, segala pertengkaranku dengan abangku, dan sekarang ini-pukulan terakhir yang sangar menyakitkan dalam sejarah keluargaku yang penuh dengan keributan.

Aku merasa kehilangan Sophia.

Sementara ini aku masih tinggal di apartemenku dengan dua kamar tidur dan sebuah balkon diluar, dengan pemandangan gedung-gedung tinggi di pusat kota Los Angeles yang nampak dikejauhan. Dinding-dinding apartemen itu penuh dengan pajangan tanda-tanda penghargaan yang kuterima serta foto-foto adegan dari film TheKilling Fields. Pada posisi yang lebih tinggi dari semuanya, di tempat terhormat, terpasang foto Huoy, yang kusuruh besarkan dari foto kartu identitasnya yang kuperoleh kembali setelah aku memohon-mohon kepada kepala desa Phum Ra,sekian tahun yang lalu.

Medalion dengan foto Huoy masih tergantung dengan rantai emas di leherku. Arwahnya masih terus membimbingku. Ia pasti mau mengizinkan aku menikah lagi dan membina keluarga, tapi sejauh ini itu belum terjadi. Tidak mudah bagiku untuk menemukan wanita yang bisa menggantikan Huoy sebagai pendampingku.

Suatu waktu nanti, apabila Kamboja sudah bebas lagi, aku akan kembali ke Kamboja dan mendatangi pohon sdao yang tumbuh miring diatas bukit kecil di tengah daerah persawahan itu. Aku akan ke sana, disertai bhiksu-bhiksu Budha. Kami akan mengadakan upacara sembahyang arwah, lalu membangun stupa untuk Huoy, disamping kuil di atas lereng bukit. Kami akan mendoakan arwah Huoy, arwah ibunya, arwah orangtua dan keluargaku, dan mereka semua yang sudah meninggal dunia. Semoga dengan demikian arwah mereka bisa merasa tenang. Dan barangkali jiwaku setelah itu juga akan bisa tenang.

Aku masih ingat, berjalan-jalan sore hari bersama Huoy, menyusur tepi sungai di Phnom Penh. Cahaya lampu-lampu tercermin di atas permukaan air, dan angin yang bertiup menggerakgerakkan rambutnya. Kami berjalan dengan santai, tanpa ada pikiran yang membebani, bercakap-cakap tentang masa depan. Betapa cerah nampaknya masa depan waktu itu - bekerja keras dan menjadi makmur, mendapat beberapa orang anak,tetap dekat dengan sanak keluarga. Betapa cerah kesan semuanya waktu itu. Tapi kehidupan kami ternyata tidak berjalan seperti yang kami rencanakan. Kehidupan Huoy terlalu cepat berakhir. Dan tidak ada ampun bagiku, karena kenang-kenanganku sendiri yang selalu menghantui.

1 komentar: