Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Senin, 24 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 9 : Wat Kien Svay Krao


9
WAT KIEN SVAY KRAO

ENTAH berapa mil jauhnya aku berjalan hari itu. Aku melangkah secara otomatis, hanya mengikuti kemauan kaki.

Mendingan berjalan daripada berpikir. Boleh dibilang berbuat apa pun juga masih lebih baik, ketimbang berpikir. Kwil yang malang. Bagaimana mereka meringkus lalu meyeretnya pergi. Dan Aku tidak berbuat apa-apa. Jangan berpikir tentang itu, kataku pada. diri sendiri. Berjalan saja terus dan perhatikan wajah-wajah yang kaujumpai. Jika ia belum mati sekarang, pasti sebentar lagi. Jangan kaulibatkan emosimu, kataku pada diri sendiri. Simpan itu untuk nanti. Konsentrasikan dirimu untuk bertahan hidup dan menemukan keluarga. Mereka menyeretnya pergi dan aku tidak berbuat apa-apa. Apa boleh buat. Terus saja berjalan dan teliti wajah orang-orang. Menggebukinya dengan popor senapan. Sebelum dia, tindakan bunuh diri keluarga dalam mobil Peugeot itu. Sebelum bunuh diri itu, lelaki yang ditembak mati karena mencoba menyeberang persimpangan di Phnom Penh. Pasien yang kutinggalkan di atas meja bedah. Kami sama sekali tak berdaya. Kami tidak bisa melawan mereka. Kami hanya bisa menghindar dan berharap ada orang lain yang mati sebagai pengganti. Jangan berpikir tentang itu. Sembunyikan ernosi di dalam batin, dan terus saja berjalan. Agar bisa tetap bertahan.

Aku kembali ke bawah pohon mangga lalu menghitung: semua yang ikut dalarn rombonganku ada semua di situ, sembilan orang yang rebah melepaskan lelah di atas tikar di keteduhan. Tidak ada gunanya mengusik perasaan rnereka. Mereka itu menjadi tanggung-jawabku. Kembali berkeliaran lagi. Jalan Nasional 1 sudah penuh sesak lagi. Beribu-ribu wajah. Terlalu banyak di jalan dan terlalu banyak di Wat Kien Svay Krao. Terlalu banyak wajah yang harus diteliti.

Aku berjalan dan berjalan. Di lorong belakang desa sore itu kulihat ada satu keluarga yang meninggalkan tempat berkemah mereka di tanah, di antara tiang-tiang tonggak sebuah rumah. Dengan segera kupindahkan rombonganku dari bawah pohon mangga ke situ, supaya lebih terlindung jika hujan turun. Para perawat memilih bangku-bangku untuk dijadikan tempat tidur, lalu memasang kelambu-kelambu yang diikatkan pada tali. Aku memilih tempat tidur dalam sebuah gerobak sapi berlantai sempit. Setelah itu aku jalan lagi.

Aku berkeliaran di antara para tukang cukur yang siap melayani dengan sebuah kursi dan cermin yang digantungkan ke paku yang tertancap ke batang pohon, dengan para penjual ikan dan daging babi yang dikerumuni lalat, dengan para penjual buah-buahan. Warung-warung kecil menawarkan bakmi kuah, dengan harga 5.000 riel semangkuk. Harga itu merupakan takaran tentang kepercayaan para pedagang. kepada mata uang rezim Lon Nol: beberapa bulan sebelumnya, semangkuk bakmi kuah yang serupa harganya 500 sampai 600 riel, dan beberapa tahun sebelumnya, pada tahun 1972, harganya 150 riel. Tapi Khmer Merah tidak menampilkan mata uang lain sebagai pengganti.

Di samping kompleks kuil, Khmer Merah mendirikan tempat pendaftaran untuk masuk Lentara. Mereka menuliskan pengumuman dengan kapur: “Jika kau sebelum ini serdadu Lon Nol, daftarkanlah dirimu di sini dan kembalilah bekerja untuk Angka. Angka memerlukan tentara dari segala tingkatan. Daftarkan pula dirimu jika kau sebelum ini bekerja di bidang administrasi ketentaraan. Angka akan menerimamu bekerja kembali. Pendaftaran diri tenaga pengajar universitas, sekolah, dan para pelajar akan menyusul." Serdadu-serdadu Lon Nol berpakaian sipil antre untuk diwawancarai. Mereka nampak senang. Mereka tidak suka terpaksa meninggalkan kota tanpa membawa barang-barang milik mereka, tanpa tahu harus pergi ke mana. Kini mereka sudah punya tujuan. Mereka akan kembali melakukan dinas untuk negeri mereka dan mendapat nafkah. k etika mereka sampai di ujung depan barisan yang antre, mereka menuturkan riwayat hidup mereka kepada orang-orang yang mewawancarai dengan berkas catatan di tangan. Orang yang dulunya letnan mengaku kapten, yang kapten mengaku berpangkat mayor, dengan tujuan agar mendapat jabatan dalam tentara Khmer Merah dengan pangkat lebih tinggi. Ketika kemudian truk-truk datang untuk mengangkut mereka, orang-orang itu naik dengan senyuman gembira. Mereka berseru, "Sampaikan berita kepada orangtuaku! Aku akan bekerja kembali, untuk Angka!"

Kuperhatikan truk-truk itu berangkat lagi. Kecurigaanku timbul. Apa sebabnya Khmer Merah tidak mencari guru atau mahasiswa ? Atau dokter? Atau insinyur? Profesi-profesi itu mestinya diperlukan, jika mereka berniat membangun kembali Kamboja. Meski aku resminya juga perwira Lon Nol, aku hanya menonton saja di pinggir kerumunan orang banyak. Begitu pula yang dilakukan seseorang yang rupanya juga bekas serdadu. Teman-teman orang itu yang sudah ada di atas truk melihatnya lalu memanggil-manggil menyuruhnya ikut. Orang-orang Khmer Merah yang melakukan pendaftaran dengan cepat menghampiri lalu memegang lengannya. Orang itu berkeras mengatakan bahwa ia cuma kenalan para prajurit yang di atas truk itu. Tapi percuma, orang-orang Khmer Merah tetap saja membawanya ke tempat antre untuk diwawancarai. Orang itu berdiri dalam barisan dengan wajah seseorang yang terjebak tanpa ada kemungkinan lari. (Jauh kemudian kudengar kabar bahwa para perwira tentara Lon Nol kemudian dibawa ke pedalaman. Ketika berhenti "untuk istirahat" mereka itu turun dari truk-truk yang mengangkut mereka, tapi tahu-tahu truk-truk itu berjalan lagi meninggalkan para perwira itu, lalu Khmer Merah menembaki mereka dari tempat tersembunyi. Hampir semua perwira Lon Nol yang ada di situ tewas.)

Kutinggalkan tempat pendaftaran itu. Aku berhenti melangkah ketika seorang serdadu Khmer datang menghampiri:

"Coba lihat kacamatamu, " katanya.

Kuserahkan kacamataku padanya.

Dipegangnya kacamata itu. "Boleh ini untukku?" Ia tidak bertanya, melainkan menyatakan.

"Kacamata itu tidak cocok untuk matamu, kawan," kataku. "Mataku cadok. Jika itu kauambil, aku takkan bisa melihat apa-apa. "

Dicobanya kacamata itu, dibuka dan dipejamkannya mata beberapa kali dengan wajah heran. "Sakit! " katanya. " Kenapa aku tidak bisa melihat?"

"Kacamata itu tidak cocok untuk matamu, Kawan," kataku lagi. "Jika cocok, pasti kuberikan. Sungguh. "

Sambil mengembalikan kacamata itu ia melirik ke arah pergelangan tanganku, tapi arlojiku sudah lebih dulu kulepas dan kusembunyikan. Aku juga sudah menyembunyikan busi Vespa-ku, sehingga bisa kubuktikan bahwa kendaraanku itu tidak bisa jalan apabila ada yang hendak merampasnya. Peraturan Khmer Merah melarang para gerilyawan mengambil milik orang lain, tapi para gerilyawan tidak selalu mematuhinya, seperti halnya mereka tidak mematuhi ketentuan dalam peraturan itu yang melarang penganiayaan terhadap rakyat.

Aku pergi secepat mungkin meninggalkan serdadu itu, menuju ke sebuah jalan sempit yang tidak diaspal, menyusur tepi sungai. Orang-orang yang mengungsi dari kota menyejukkan tubuh di sungai itu, mandi tanpa melupakan kepantasan, dengan badan terbalut sarung. Tongkang-tongkang bermotor berangkat meninggalkan tepian, membawa penumpang kembali ke daerah-daerah asal mereka dalam program yang diselenggarakan oleh Khmer Merah. Ribuan orang yang berangkat pulang dengan menumpang tongkang-tongkang itu setiap harinya, tanpa menyebabkan berkurangnya jumlah pengungsi yang ada di Wat Kien Svay Krao.

Kehidupan tahu-tahu sudah menjelma menjadi rangkaian hari-hari yang habis untuk berkeliaran di jalan besar dan di desa. Phnom Penh sudah menjadi masa silam. Berita-berita tentang apa yang akan terjadi, serba kabur dan saling bertentangan. Mula-mula tersiar kabar bahwa kami akan diberi tanah oleh Angka untuk dibuka dan diolah menjadi lahan pertanian. Tapi kemudian ada kabar lain yang mengatakan, kami akan disuruh terus oleh Angka ke lokasi lain dan baru akan diurus kemudian. Kami tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Setiap hari aku dan Thoeun pergi berkeliaran mencari apa saja yang bisa dimakan. Dengan kegiatan itu, ditambah dengan memancing ikan dan melakukan kegiatan barter, aku kembali ke pola kehidupan yang pernah kujalani semasa kanak-kanak. Kehidupan begitu tidak terasa berat bagi kami. Dalam situasi berbeda, keberadaan kami di Wat Kien Svay Krao bisa saja menyenangkan. Tapi dalam situasi menunggu pada waktu itu, selalu ada saja kecemasan yang membayangi.

Menjelang akhir bulan April aku berjumpa dengan seorang kerabat jauh yang mengatakan bahwa ia melihat keluargaku. Dengan segera aku pergi ke arah yang ditunjukkannya, mendatangi satu bagian di pekarangan yang penuh sesak itu yang belum kuperiksa. Sesampai di situ kulihat dua buah mobil tangki bensin milik keluargaku, dengan barang-barang dan peti-peti berisi ayam yang masih hidup bertumpuk-tumpuk di atasnya. Bagaimana mungkin aku tidak melihatnya selama itu? Sementara aku berusaha menghampiri dengan menerobos orang banyak, Pheng Huor datang menyongsong. "Ke mana saja kamu?" katanya. Nadanya agak kesal, seolah-olah aku terlambat memenuhi janji. Tapi kemudian ia tersenyum. "Semua mencari-carimu selama ini. Kau sudah jumpa dengan Huoy?"

"Belum. Sampai sekarang aku belum berhasil menemukannya. Mana Ayah ?"

Pheng Huor menuding ke sebuah kemah darurat berupa kain terpal yang digantungkan di bawah sebatang pohon. Aku masuk ke situ. Ayahku duduk di samping sebuah meja. Ia masih seperti biasa, dengan kulit bagian bawah mata bergelambir dan perut buncit. Ia hanya memakai Kaus oblong yang sudah pudar dan celana pendek. Ia tersenyum lebar.

"Kenapa waktu itu kau tidak pulang ke rumah?" katanya. "Semuanya bingung karena kau tidak muncul-muncul juga. Kami menunggu sampai hampir pukul tiga siang. Akhirnya kami terpaksa pergi meninggalkan rumah, karena didesak- desak terus oleh Khmer Merah. Kau sendiri di sini?"

"Tidak, Ayah, bersamaku ada delapan perawat dan seorang penjaga dari klinikku. Tapi Huoy belum juga kutemukan sampai sekarang." Sementara itu para saudara lelakiku sudah masuk pula ke dalam kemah bersama para istri mereka. Ibuku datang menghampiri aku. Rambutnya yang disanggul nampak sudah bertamban banyak ubannya.

"Ya, aku sempat cemas juga memikirkan para perawatmu," kata ibuku dengan gayanya yang ramah. "Kami tidak tahu apa yang akan terjadi dengan mereka, karena tidak punya siapa-siapa yang bisa melindungi."

"Kalian tidak kekurangan beras?" tanya ayahku pada saat bersamaan. Kukatakan bahwa persediaan beras kami mencukupi. Ayah mengambil uang dari kantongnya, lalu menyodorkan lima puluh ribu riel kepadaku. Pemberian itu kuterima saja, untuk menyenangkan hatinya. Kemudian kutanyakan apakah ia mau pindah dari kemah itu ke sebuah rumah. Keluarga yang tinggal di atas tempat perkemahan rombonganku berniat hendak pergi dari situ dalam waktu dekat. Ayah mengatakan, tentu saja ia mau.

Beberapa hari kemudian orangtuaku, tiga dari keempat saudara lelakiku beserta anak-istri mereka pindah inenempati rumah di atas tempat perkemahan rombonganku. Tinggal mereka itu saja keluarga dekatku - abangku yang paling tua sudah sejak beberapa tahun tidak pernah berhubungan lagi-sejak ia bertengkar dengan Ayah; dan saudara-saudara perempuanku semua ikut dengan keluarga suami mereka masing- masing.

Tempat tinggal mereka yang baru itu rumah desa Kamboja yang biasa, dibangun di atas tiang-tiang yang tingginya dua setengah meter dari tanah. Lantai ruangan dalamnya terbuat dari papan yang bergerak-gerak jika ada orang berjalan di atasnya. Ruang tidur dalam wujud kamar-kamar khusus tidak ada di situ; yang ada hanya semacam panggung yang rendah dan panjang, di mana bisa digelar tikar-tikar dan digantungkan kelambu-kelambu. Di bagian belakang ada dapur yang lantai dan dindingnya bercelah-celah lebar untuk peredaran udara. Kendaraan-kendaraan keluargaku didorong oleh saudara-saudara lelakiku bersama para sopir dari pekarangan kuil ke tempat tinggal yang baru lalu diparkir di depan rumah : dua mobil pengangkut bensin yang kosong tangki-tangkinya, ditambah sebuah Land Rover, sebuah jip, dan sebuah Mercedes. Para sopir bersama anak-istri mereka, begitu pula sebagian besar dari para pelayan tetap tinggal di pekarangan kuil, karena di situ lebih banyak tempat untuk mereka.

Setelah bergabung lagi dengan keluargaku, aku sudah bisa dibilang puas. Keluarga merupakan perekat yang membuat masyarakat bisa tetap utuh. Kehidupan terasa lebih bermakna karena adanya pertalian ke masa silam lewat orangtua, dan ke masa depan lewat anak-anak. Hidup berkumpul juga ada manfaat praktisnya. Satu di antaranya ialah lebih banyak orang yang bisa dimintai bantuan dalam keadaan memaksa. Selain itu persediaan makanan menjadi lebih banyak, karena keluargaku menimbun bahan pangan yang kemudian mereka bawa ketika harus meninggalkan kota. Dan gengsiku juga meningkat dengan tindakanku memindahkan keluargaku ke rumah itu, karena dengannya aku telah menunaikan kewajiban selaku putra ayah dan ibuku; ayahku sendiri juga boleh bangga, karena aku secara harfiah menempatkan dirinya di atasku. Meski begitu aku belum sepenuhnya merasa puas. Huoy masih hidup. Atau setidak-tidaknya, besar kemungkinannya masih hidup, karena ia bukan orang yang suka mencari perkara, dan orang-orang seperti dia dan ibunya rasanya takkan diapa-apakan oleh Khmer Merah. Tapi aku, yang melihat dengan mata sendiri ketika Sam Kwil diseret pergi, bagaimana aku bisa merasa yakin mengenainya? Dan jika Huoy masih hidup, cii manakah ia saat itu? Bagaimana jika ia sempat memasuki Jalan Nasional 2 sebelum jalan itu ditutup? Kalau itu yang terjadi, pasti ia kemudian menuju ke pabrik penggergajian ayahku, atau pergi ke desaku. Dan kini ia menungguku di sana. Bagaimana jika ia tidak ikut hanyut dalam arus pengungsian ke arah selatan? Tempat tinggalnya di sebelah barat kota, di jalan yang menuju ke pelabuhan udara. Bisa saja ia pergi lewat jalan itu. Atau mungkin juga ia mengungsi ke selatan, dan aku tidak berhasil menemukannya di tengah banjir manusia, seperti halnya aku tidak melihat keluargaku selama lebih dari seminggu berada di Wat Kien Svay Krao.

Tempat itu makin lama makin tidak menyenangkan lagi. Hawa masih tetap saja panas, dan orang-orang yang ada di situ berkemah di atas tikar yang dihamparkan di tempat yang teduh. Lalat beterbangan di mana-mana. Lewat siaran radio terdengar berita-berita yang mengatakan hahwa pihak komunis Vietnam Utara sudah semakin dekat ke Saigon, ibukota Vietnam Selacan. Berita-berita itu membuat kami semakin merasa terasing dari dunia luar. Masih selalu terdengar bunyi deru jauh di atas langit yang ditimbulkan oleh pesawat-pesawat pengintai Amerika Serikat yang melint.as dengan kecepatan supersonik. Kami selama itu masih tetap berharap bahwa Amerika Serikat akan datang membantu, tapi jika Vietnam Selatan dibiarkan saja jatuh, maka bisa dibilang pasti bahwa mereka takkan membantu kami di Kamboja.

Ayahku yang paling pasrah sikapnya. "Ya," katanya dengan suaranya yang berat dan dalam, "kehidupan yang lama sudah berakhir. Kini semuanya sederajat. Seperti di Cina."

Ia berpaling padaku. "Kau mestinya pergi ke luar negeri ketika kemungkinan untuk itu masih ada," katanya dengan nada menyalahkan. "Sudah kukatakan agar meneruskan sekolah doktermu di Perancis, tapi kau tidak mau mendengar."

"Ayah," balasku dengan kesal, "ketika Samrong Yong jatuh, aku sudah mengatakan agar Ayah jual saja semua milik Ayah lalu pergi ke luar negeri. Kalau itu Ayah lakukan, Ayah akan bisa hidup enak seumur hidup di luar negeri. Tapi sekarang sudah terlambat. Dan itu karena Ayah tidak mau mendengar nasihatku."

Dengan segera kami sudah bertengkar lagi seperti dulu. Dan seakan-akan pertengkaran dalam keluargaku serta kebosanan hidup sehari-hari tanpa ada kegiatan apa pun juga belum cukup, rombonganku dari klinik yang sepuluh orang juga mulai pecah. Mereka sementara itu sudah kurasakan sebagai keluargaku yang kedua. Srei yang paling dulu memisahkan diri, setelah ia berjumpa keluarganya sendiri. Aku membekalinya obat-obatan dan beras. Uang juga kuberikan kepadanya. Tapi rasanya masih saja belum cukup. Perasaanku haru-biru ketika ia pergi, dan para perawat yang lain menangis. Bertahun-tahun mereka bekerja bersama-sama dengan rukun dan penuh kegembiraan. Lalu tidak lama sesudah Srei, perawat berikut juga meninggalkan rombongan kami.

Aku kembali berkeliaran tanpa tujuan dan tanpa benar-benar punya harapan. Karena kebiasaan, aku menyusuri jalan-jalan desa yang tidak beraspal menuju ke kompleks kuil, dan dari situ kembali menelusuri Jalan Nasional 1. Sementara itu arus manusia yang datang dari Phnom Penh sudah menipis. Aku sedang berada di luar desa, Dengan kepala terbalut krama berpola kotak-kotak, ketika aku mendengar suara yang kukenal baik.

"Sayang! " Suara wanita. "Sayang! Mak, aku menemukannya! "

Aku tidak tahu, bagaimana ia bisa mengenali diriku. Ia berada di seberang jalan, dengan tangan kiri memegang keranjang bambu yang dijunjung di atas kepala dengan dua botol berisi air di dalamnya, sementara tangan kanannya menenteng ember yang dibungkus plastik. "Aku menemukannya, Mak. Sayang, Sayang!" Ia memakai kaus oblong tua berwarna hijau dan celana panjang putih berkembang-kembang. Ibunya menjunjung keranjang yang dipegangi dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memeluk periuk nasi. Mereka kelihatan capek dan berdebu. Huoy meletakkan keranjangnya ke tanah lalu berlari-lari mendatangi aku. Kami berpelukan. Ia tidak mengatakan apa-apa, hanya dadanya saja yang nampak bergerak turun-naik karena napasnya yang memburu: ia tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Ibunya menghampiri kami dengan mata berkaca-kaca. Dengan suara seperti tercekik ia berkata, "Kau kami cari-cari terus selama ini."

"Aku juga mencari-cari kalian, " kataku. "Di mana saja kalian? Kalian baik-baik saja?" Huoy mengangguk, tapi ia tidak melepaskan pelukannya. Kami pergi ke pinggir jalan. Emak memindahkan barang-barang bawaan mereka lalu duduk berjongkok di samping kami; ia mengusap air matanya dengan tepi krama-nya, sementara aku berpelukan lagi dengan Huoy.

"Kami mencarimu sampai ke mana-mana, " kata Emak. "Kami tidak tahu di mana kamu berada. Kami takut kau sudah mati dibunuh Khmer Merah. Banyak mayat kami lihat dengan tangan diikat di belakang punggung."

Aku dan Huoy rasanya ingin terus saja berpelukan, tapi menurut adat kebiasaan kami itu tidak pantas jika dilakukan di depan umum. Sementara itu kami sudah dikerumuni orang yang ingin tahu kenapa kami begitu. Ada yang bertanya apakah ada sesuatu yang terjadi. Terdengar suara orang lain mengomentari, "Alangkah bahagianya mereka, sudah berkumpul lagi! Aku masih saja terpisah dari keluargaku! "

Kuangkat barang-barang bawaan Huoy dan ibunya lalu kuajak mereka lewat desa menuju ke rumah. Sesampai di sana aku langsung naik, membuka sandal dan melangkah masuk. Ayahku sedang berbaring-baring.

"lni Huoy, sudah kutemukan," kataku padanya.

Nampak senyuman menghiasi wajah ibuku yang sudah penuh kerut. "Siapkan makanan untuk mereka," serunya kepada para wanita yang ada di dapur.

Ayahku duduk. Nampak jelas dari air mukanya bahwa ia gembira. "Siapkan pesta!" serunya, lalu berdiri dan melangkah ke luar.

Huoy menunggu di bawah, di kaki tangga rumah. "Bagaimana kabarmu?" tanya ayahku sambil tersenyum, sementara ia dan ibuku menuruni tangga untuk menyambut. Huoy merapatkan kedua telapak tangannya lalu mengangkatnya ke kening. Ia berlutut dengan kaki kiri di depan yang kanan. Ayahku sampai di tempatnya ketika lutut kanan Huoy sudah hampir menyentuh tanah. Ayahku memegang siku pacarku itu dengan sikap lembut, menyuruhnya berdiri lagi.

Keluargaku, begitu pula para perawat, semua melihat Huoy hendak berlutut sambil menyembah di depan ayahku. Mereka terharu dan menangis. lbuku berkata pada Emak, ibu Huoy, “Kalian tinggal saja di sini bersama kami. Jangan khawatir, kita aman di sini." Sementara itu para pelayan bergegas turun dari rumah dengan membawa air minum dan makanan.


Akhirnya aku benar-benar merasa lega. Huoy sudah ada lagi bersamaku. Dan keluargaku sudah menerimanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar