Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Senin, 24 Desember 2012

Neraka Kamboja - Bab 8 : Terusir dari Phnom Penh


8
TERUSIR DARl PHNOM PENH

PADA hari itu, hari kedua terjadinya perubahan besar dalam kehidupan kami, begitu pula pada hari-hari berikutnya. cuaca panas dan berdebu. Langit cerah, tapi dari jauh di atas kami datang bunyi-bunyi samar seperti guruh, bunyi deru pesawat-pesawat jet supersonik yang terbang begitu tinggi sehingga kami yang di bawah tidak bisa melihatnya sama sekali.

Kami berdiri di bawah terik sinar matahari, beringsut selangkah demi selangkah. Serdadu-serdadu Khmer Merah melepaskan tembakan-tembakan ke arah atas kepala kami untuk memaksa kami mempercepat langkah, dan alat-alat pengeras suara mengumandangkan siaran stasiun radio pemerintah yang saat itu sudah jauh ke tangan gerilyawan:

"Tanggal 17 April 1975 adalah hari kemenangan gemilang yang mahabesar makna sejarahnya bagi kita, bangsa dan rakyat Kamboja!" kata seorang lelaki di radio, yang terdengar lewat alat pengeras suara.

"Pada hari itu rakyat kita berhasil secara mutlak membebaskan ibukota Phnom Penh dan Kamboja kita yang tercinta!" balas suara seorang wanita.

"Hidup rakyat Kamboja!" kata suara lelaki yang tadi.

"Hidup Revolusi Kamboja yang mahahebat!" katra suara yang wanita.

"Hidup Kamboja yang merdeka, damai, netral, tidak memihak, berdaulat, demokratis dan sejahtera dengan keutuhan wilayah yang sejati!" Aku mendapat kesan bahwa si lelaki itu bertekad tidak mau kalah bersemangat.

"Hidup haluan perjuangan mutlak, kemerdekaan, pengandalan pada kemampuan sendiri dan mengatasi segala rintangan dari organisasi revolusioner Kamboja yang benar dan berpandangan jernih!'' balas yang perempuan lagi, yang nampak nya juga berkeras tidak mau kalah. "Pertahankan terus dengan gigih semangat kewaspadaan revolusioner yang berkobar-kobar untuk senantiasa membela bangsa dan rakyat Kamboja!" teriak si lelaki.

"Pertahankan terus dengan gigih posisi perjuangan untuk tanpa ragu-ragu membela negara dan rakyat!" jerit temannya yang wanita.

Dan begitu seterusnya, dalam pertandingan adu teriak gaya komunis yang aneh itu.

Kemudian dari pengeras suara mulai berkumandang bunyi musik mars, Aku lantas teringat pada musik yang pernah kudengar dalam siaran radio Peking, sangat khas bergaya Cina; tapi kata-kata yang dinyanyikan mengiringinya merupakan ungkapan-ungkapan yang serupa dengan yang diteriakkan pasangan lelaki dan perempuan tadi. Belum pernah kudengar musik yang sejelek itu. Bayangkan saja bagaimana perasaan kami yang berjalan tersaruk-saruk di jalan raya yang penuh sesak di bawah sinar matahari yang panas, sementara ada suara sengau menusuk relinga menyanyikan lagu Bendera Merah Revolusi Berkibar di Atas Phnom Penh yang Sudah Dibebaskan:

"Balatentara pembebasan sudah bergerak maju dari segala arah bagaikan api yang dahsyat dan berkobar-kobar, menewaskan klik pengkhianat Phnom Penh yang bejat dan membebaskan Phnom Penh secara tuntas!"

(Bunyi canang dan gong menggembreng-gembreng. Aku bertanya dalam hati, "Ini dibilang musik ?")

"Seruan kemenangan yang berkumandang dari rakyat dan balatentara kita telah menamatkan riwayat musuh, membebaskan tanah air tercinta, dan secara tuntas menamatkan perang agresi imperialis Amerika yang kejam, yang semuanya terusir dari bumi Kamboja!"

(Suara canang dan gong menggembreng-gembreng lagi.)

"Bendera merah Revolusi berkibar tinggi di atas Phnom Penh, negeri Angkor."

(Maju setapak, lalu setapak lagi. Aku ingin kami punya air untuk diminum. Aku ingin sekali kami bisa merebahkan diri di tempat teduh.)

"Nasib. negara berada di tangan kaum pekerja dan petani. Inilah anugerah bagi berjuta-juta tetes darah yang tumpah dalam perjuangan demi kemenangan terakhir.. "

Benar-benar mematahkan semangat: sudah harus meninggalkan rumah karena dipaksa, lalu tcmbakan-tembakan senapan di atas kepala kami, dan kini masih ditambah lagi dengan musik yang menyakitkan kuping itu.

Musik akhirnya selesai, disusul dengan pidato. "Selama lima tahun terakhir," begitulah pembica- ra itu-yang tidak diketahui siapa namanya membuka pidatonya, "tentara revolusioner kita yang terdiri dari para pejuang pria dan wanita serta para kader telah berperang dengan gagah berani, melindas agresi buas dan kejam yang dilakukan imperialis Amerika sena antek-anteknya!"

Seperti lelaki dan wanita sebelum dia, yang menerlakkan slogan-slogan, dan seperti penyanyi yang mengiringi musik mars, orang yang berpidato ini nampaknya juga tidak bisa menggunakan kata-kata biasa untuk mengungkapkan pikirannya. Semuanya dalam kosakata khusus berupa sanjungan atau kutukan melangit, sehingga kedengarannya nyaris seperti bahasa asing. Pokok isi pidatonya, ketika akhirnya ia sampai juga ke situ, adalah bahwa kami semua sekarang berada di bawah suatu rezim baru, yang menamakan "diri Kampuchea Demokratik. ("Kampuchea" adalah "Kamboja" dalam bahasa Khmer.) Di bawall rezim yang demokratis ini tidak ada lagi kaya dan miskin. Kami semua sederajat. Dan kami semua harus pergi bekerja di pedesaan. "Negara kita masih harus meneruskan perjuangan," kata orang yang berpidato itu, "dengan senjata di tangan yang satu dan perkakas di tangan lainnya, melancarkan ofensif membangun bendungan, tanggul, dan menggali saluran-saluran air!" Ia terus saja berbicara, mengatakan bahwa kami semua akan membangun Kamboja sampai menjadi negara besar dan bahwa kami "rela berkorban demi Angka". Tidak dijelaskannya, siapa Angka itu.

Hari itu sekitar lima blok jauhnya kami berjalan.

Ketika malam tiba kami berkemah di jalan. Rombongan kami membentuk segi empat, dengan aku dan Thoeun dan kedua kendaraan roda dua kami di sisi luar, sementara para-perawat di dalam, demi keamanan. Para perawat itu mengambil sebuah anglo dan arang dari gerobak kami lalu menyalakan api, dan tidak lama kemudian mereka sudah berjongkok mengelilingi api dengan panci dan sendok, sibuk memasak makanan.

Aku duduk bersandar pada sebatang pohon randu. Kami berada di tengah lautan manusia yang semuanya capek. Di jalan-jalan, di trotoar, di pekarangan rumah-rumah, di mana-mana ada manusia. Boulevard yang anggun menjelma menjadi tempat berkemah, penuh asap api dapur-dapur darurat; tapi perubahan itu, entah kenapa, tidak terasa mengherankan. Jika begini wujud revolusi, kami tidak peduli saat itu, karena sudah terlalu capek. Anak-anak dan para wanita menangis, klakson mobil bersahut-sahutan, Khmer Merah berusaha memaksa kami lewat pengumuman-pengumuman yang dikumandangkan oleh alat-alat pengeras suara agar kami terus berjalan, tapi kami tetap saja duduk di tempat semula.

Para perawat menyajikan makan malam. Kami bercakap-cakap dengan suara pelan dan lesu, tentang kemungkinan menemukan keluarga masing-masing. Jika kami tidak bisa tetap berada di dalam kota, maka satu-satunya pilihan adalah mencari keselamatan di tempat-tempat di mana kami dikenal: plulang ke desa-desa tempat asal kami, karena kami semua memang berasal dari desa, meski kebanyakan dari kami punya anggota. anggota keluarga yang tercecer di tengah banjir manusia yang bergerak keluar dari Phnom Penh saat itu.

Kukatakan kepada Thoeun dan para perawat hahwa mereka boleh kapan saja pergi mencari sanak-keluarga mereka, asal selalu ada satu atau dua orang yang tinggal untuk menjaga perbekalan. Kemudian, sesudah makan, aku pergi untuk meneruskan pencarianku.

Aku berjalan menembus lautan manusia dan tabir asap api masakan yang memenuhi jalan besar itu, kembali ke arah pusat kota. Tidak mungkin bisa berjalan lurus, tapi berbelok-belok, melangkahi tubuh-tubuh manusia yang berkaparari tidur di atas aspal. Lampu-lampu jalan masih menyala, mungkin karena pihak Khmer Merah tidak tahu bagaimana memadamkannya. Serangga terbang berkerumun di bawah bola-bola lampu yang bersinar terang. Di timur laut muncul cahaya berwarna jingga di kaki langit. Kemudian di arah lain. Abu beterbangan di atas kepala. Kabarnya Khmer Merah membakari pasar-pasar, pusat sistem yang mereka sebut kapitalis dan laknat; padahal bagi kami, pasar-pasar selama itu merupakan pusat kehidupan sehari-hari, tempat kami membeli bahan pangan segar dan di mana kami bertukar berita dengan para tetangga.

**********

Saat matahari terbit lautan manusia berdiri lagi, tapi tidak beranjak dari tempat semula. Dari arah utara datang bunyi-bunyi pertempuran: rentetan nyaring tembakan senapan-senapan M-16 buatan Amerika membalas letusan beruntun yang lebih lambat dari senapan-senapan AK-47 buatan Cina. Di salah satu posisi di sebelah utara, ada seorang komandan pasukan Lon Nol yang masih bertahan.

Di bagian selatan Phnom Penh, di mana kami berada, tidak terjadi perlawanan fisik. Perintah-perintah gerilyawan kami turuti. Tapi kami bergerak maju selamban mungkin, jadi menurut tanpa benar-benar patuh. Kami melakukan perlawanan tanpa kekerasan, bergaya Budhis. Kenapa kami harus pergi? Kami memiliki tempat kediaman, di mana masih ada harta dan barang-barang berharga yang tidak sempat kami ambil untuk dibawa. Siapa yang nanti mengurus rumah kami? Kenapa anak-anak petani berkulit gelap ini masih juga mendesak-desak kami agar pergi? Apa pula omong kosong itu, tentang bertani? Kami ini orang kota! Perang sudah selesai! Kini waktunya bersatu kembali, untuk mencari sanak-keluarga yang terpencar.

Karena ada Vespa serta Yamaha bawaan Thoeun dengan gandengan gerobak perbekalan, kami tidak bisa bergerak. Seperti biasa, aku tidak bisa sabar. Kuparkir skuterku, dan kuminta Thoeun dan para perawat menjaganya, lalu aku sendiri menyusup di sela-sela manusia yang banyak itu, dengan susah-payah menuju ke satu sisi boulevard lalu berbalik ke sisi seberang, naik ke atas pagar dan pohon-pohon, supaya bisa melihat dengan lebih jelas.

Tapi aku tidak menemukan Huoy atau orangtuaku. Aku malah menemukan beras. Tiba-tiba kerumunan orang itu ribut dan mulai dorong-mlendorong. Aku hanyut di tengah desakan orang-orang yang berlari, dan tahu-tahu sampai di sebuah jalan samping, di depan sebuah gudang yang pintunya terpentang. Di dalam sudah ada ratusan orang yang sibuk menjarah apa saja yang bisa diambil di situ. Nafsu serakah merajalela. Karung-karung beras yang ditumpuk tinggi di atas landasan yang terbuat dari kayu roboh dan menimpa seorang lelaki yang langsung mati di tempat itu juga. Kedua kakinya nampak terjulur di bawah timbunan karung yang roboh. Tapi tidak ada yang mempedulikannya.

Kuangkat sebuah karung beras bertulisan "Sumbangan Pemerintah Amerika Serikat" dan kupikul, lalu kembali dengan langkah terhuyung-huyung ke rombonganku. Kemudian aku pergi lagi ke gudang itu bersama Thoeun, untuk mengambil lebih banyak lagi.

Di gudang itu, begitu· pula di jalan-jalan, muncul tatalaku yang baru. Menurut tatalaku baru itu mencuri merupakan perbuatan yang bisa dimaafkan, asal dilakukan tidak secara paksa atau dengan mencederai orang lain. Barang-barang yang ditinggal tanpa penjagaan merupakan barang- barang yang boleh diambil. Malamnya Thoeun pergi lagi, seorang diri. Ia kembali sambil tertawa lebar, memegang dua ekor ayam hidup. Ayam itu langsung kami sembelih, dicabuti bulunya lalu dimasak, tanpa bertanya lagi pada Thoeun di mana ia memperolehnya.

Pada hari keempat, tanggal 20 April, para serdadu Khmer Merah sudah tidak lagi menyuruh kami pergi meninggalkan kota selama tiga jam atau tiga hari; kini mereka memerintahkan kami agar pergi ke pedalaman. "Angka akan menyediakan segala-galanya bagi kalian," seru mereka mengumumkan lewat pengeras suara. "Angka akan menjamin bahwa penduduk memperoleh semua yang diperlukan. "

Jika harus meninggalkan kota, maka Jalan Nasional 2-lah yang harus kami ambil. Lewat jalan itu kami akan sampai di pabrik penggergajian milik ayahku, di mana kemungkinannya keluargaku berkumpul. Huoy pun mungkin ada di situ. Tapi jika mereka ternyata tidak ada di sana; kami bisa terus mengambil jalan itu, menuju ke Propinsi Takeo dan langsung ke Samrong Yong. Menurut penalaranku, kemungkinan terakhir bagi Huoy dan keluargaku mestinya adalah pergi ke Samrong Yong. Terlepas dari benar atau tidaknya hal itu, Jalan Nasional 2 itu juga merupakan lintasan yang harus diambil para perawat yang menyertaiku, karena mereka semua berasal dari Propinsi Takeo, dari desa-desa yang letaknya lebih ke selatan lagi dari Samrong Yong.

Aku berjalan sampai ke bundaran lalu-lintas di ujung selatan Boulevard Monivong. Dari bundaran itu beberapa jalan menuju ke berbagai arah, keluar dari Phnom Penh. Di situ ada sejumlah serdadu Khmer Merah yang sibuk mengatur arus manusia, yang semua mereka suruh masuk ke sebuah jalan yang mengarah ke sebuah jembatan, menyeberangi sungai dan masuk ke Jalan Nasional 1. Itu bukan arah yang hendak kami ambil. Tapi jalan yang menuju ke Jalan Nasiona1 2 masih terbuka, dan ada beberapa orang yang masih mengambil jalan itu.

Kami lantas menunggu. 'Maju selangkah, lalu menunggu lagi. Mendengar bunyi dentuman pesawat- pesawat terbang yang melintas dengan kecepatan supersonik jauh di atas kepala. Berdiri di bawah sinar matahari terik, merindukan kemungkinan mandi dan berganti pakaian dengan yang bersih.

Keesokan paginya, ketika kami sampai di bundaran lalu-lintas di ujung Boulevard Monivong itu, ternyata di mulut jalan masuk ke Jalan Nasional 2 sudah terpasang rintangan. Kami terlambat. "Jalan terus, " demikianlah perintah yang setiap kali berkumandang lewat alat-alat pengeras suara. "Angka akan memberikan bekal pada kalian di seberang jembatan. " Serdadu-serdadu bersenjata berjaga sambil mengamati. Tidak ada kemungkinan lain kecuali terus bergerak mengikuti arus lamban lautan manusia itu, meski itu membawa kami ke arah yang tidak kami kehendaki.

Di pangkal jembatan terkapar mayat beberapa orang, kebanyakan di antaranya serdadu Lon Nol, kalau melihat pakaian seragam yang dipakai. Tapi ada satu yang berambut panjang sampai ke bahu. Dia itu penyanyi klub malam yang terkenal di Phnom Penh, yang rupanya di benci penguasa yang baru. Kami memaksa diri tidak memperhatikan tubuh-tubuh yang terkapar itu dan melangkah naik ke jembatan yang membentuk lengkungan landai dari tepi sungai yang satu sampai ke titik tertinggi di tengah lalu dari situ melengkung turun lagi sampai ke seberang.

Ketika sampai di titik tertinggi di tengah-tengah jembatan, dengan napas agak memburu karena harus mendorong Vespa melewati lengkungan menanjak, tiba-tiba kudengar orang-orang ribut. Aku berjingkat, berusaha melihat lewat sebelah atas kepala lautan manusia yang ada di jembatan. ternyata yang terjadi adalah salah satu peristiwa yang berlangsungnya lebih cepat daripada kemampuan akal untuk meresapkan maknanya: aku melihat sebuah mobil Peugeot yang masih baru di seberang sungai, bergerak menuruni tebing dan langsung mencebur ke air. Mobil itu masih mengambang maju dengan lambat, sampai diputar arus sungai dan dihanyutkan dengan lambat ke hilir.

Ada beberapa orang di dalamnya. Seorang lelaki di belakang setir, seorang wanita di sampingnya, dan anak-anak di jok belakang, yang memandang ke luar dengan tangan ditempelkan ke kaca jendela. Semua pintu dan jendela mobil itu tetap tertutup. Tidak ada yang keluar.

Pelan-pelan mobil itu mulai tenggelam, sampai akhirnya hanya atapnya saja yang masih muncul di atas permukaan sungai. Kami hanya bisa menatap dengan nanar, sementara kendaraan itu semakin terbenam dalam air dan akhirnya lenyap dari penglihatan.

Seorang kaya bunuh diri bersama seluruh keluarganya.

**********

Di seberang jembatan ternyata tidak tersedia perbekalan bagi kami. Tentu saja tidak! Yang ada cuma lebih banyak lagi serdadu Khmer Merah berseragam hitam-hitam, yang berteriak-teriak menyuruh kami terus bergegas. Waktu itu tengah hari, saat hawa sedang panas-panasnya. Ribuan orang tidak mengacuhkan lagi seruan-seruan itu, dan duduk melepaskan lelah. Kuajak rombonganku berteduh di bawah kerai penaung di depan sebuah tako yang terkunci.

Aku pergi bersama Thoeun, untuk melihat-lihat keadaan. Di hulu sungai, tidak terlihat oleh serdadu-serdadu, nampak perahu -perahu menyeberangkan penumpang kembali ke Phnom Penh. Saat itu musim kemarau, permukaan sungai surut sampai tinggal berupa saluran yang tidak seberapa lebar. Nampak beberapa orang menyeberang dengan cara berenang. Rupanya tidak mampu membayar ongkos yang diminta para penambang. Kami memandang berkeliling. Ternyata tidak ada seorang serdadu pun di sekitar tempat kami berada saat itu. Kami lantas memutuskan untuk menyeberang kembali. Jika kami nanti berhasil menemukan bahan makanan lagi yang bisa dijadikan bekal, syukurlah. Tapi setidak- tidaknya mencemplungkan diri ke dalam air sungai sudah merupakan hal yang sangat kami perlukan. Sudah beberapa hari kami tidak mandi.

Ketika kami sampai di sisi dari mana kami datang tadi sebelum menyeberangi jembatan, kami lantas berjalan kembali, dengan pakaian basah kuyup, menuju ke tempat gudang-gudang beras. Gudang-gudang itu sebagian besar habis dijarah isinya. Tapi dalam satu di antaranya kami menemukan sebuah karung berisi lima puluh kilogram kacang hijau kering, terlalu berat jika harus diangkut seorang diri. Kami berenang lagi menyeberang sungai dengan membawa karung itu.

Begitu sampai di atas tebing, kami langsung dikerumuni orang-orang yang hendak membeli kacang hijau hasil jarahan kami itu. Mereka menyodor-nyodorkan tumpukan uang riel rezim Lon Nol. Tapi aku menolak. Kami tidak membutuhkan uang dari rezim yang sudah tidak ada lagi. Tapi ketika seseorang menawarkan gula sekantong sebagai penukar setengah karung kacang hijau, aku menerimanya. Malam itu para perawat memasak nasi dan kacang hijau. Rasanya sangat enak. Makanan hasil curian selalu enak rasanya; baru kemudian aku sampai pada kesimpulan itu.

Keesokan paginya kami meneruskan perjalanan lewat Jalan Nasional 1. Kami berjalan dengan langkah leebih cepat dari sebelumnya, tapi tanpa bergegas. Jalan yang kami tempuh menuju ke timur, melintasi kawasan segitiga yang dibatasi sungai Bassac dan Sungai Mekong. Dalam banjir manusia yang bergerak meninggalkan kota itu pedagang sayur berjalan seiring dengan pedagang sayur, tukang emas dengan tukang emas, petani yang berasal dari suatu propinsi seiring dengan petani dari propinsi yang sarna. Rombongan kami berhenti sebentar setiap kali berjumpa dengan rekan-rekan seprofesi dari Phnom Penh. Kalau berjumpa dokter, kami menyapa dengan salam hormat tradisional, menyampaikan sompeah dengan kedua telapak tangan dirapatkan, lalu saling bertukar kabar. Mereka kuwanti-wanti agar jangan mengatakan pada siapa pun juga bahwa mereka dokter, sambil menceritakan pengalamanku di ruang bedah rumah sakit. Beberapa di antara dokter-dokter itu sependapat dengan aku tentang bahayanya; tapi ada juga yang beranggapan bahwa aku melebih-lebihkan, meski itu tidak mereka katakan secara langsung, karena tidak ingin membuat aku malu.

Keesokan paginya kami meneruskan perjalanan lagi. Tidak lama kemudian kami sampai di Boeng Snor, daerah lampu merah Phnom Penh yang letaknya di pinggir Sungai Mekong. Jalan di situ letaknya lebih tinggi dari tanah sekelilingnya, di atas tanggul yang lebar. Rumah-rumah pelacuran dan klub-klub malam dibangun di atas tiang, supaya sarna tinggi letaknya dengan jalan. Pada posisi yang lebih rendah, terletak di tanah yang tergenang air sungai pada musim hujan, terdapat rumah-rumah terapung, dibangun di atas rakit-rakit yang dibuat dari drum-drum bekas minyak, dan ada pula yang dari bambu. Semasa prarevolusi, orang-orang biasa datang ke situ dengan membawa gundik atau pelacur. Mereka berjudi dan minum-minum bersama teman-teman mereka. !tu merupakan tempat di mana segala-galanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang punya uang, tempat di mana sisi sensual dari kepribadian Kamboja yang biasanya selalu bersopan-santun bisa tampi! dengan leluasa. Tapi itu kini tidak ada lagi. Tidak ada lagi wanita-wanita berdandan menor. Yang ada hanya para pemukim liar, dan para pemilik yang berusaha keras jangan sampai ada pemukim liar yang menerobos masuk. Sebagai kawasan lampu merah, Boeng Snor sudah tidak ada lagi. Pelacuran, kebiasaan mabuk-mabukan, perjudian, suap-menyuap- terlepas dari baik buruknya, kesemuanya itu merupakan hal yang terlarang di bawah rezim yang baru.

Lewat dari Boeng Snor, kedua jalur jalan masih penuh dengan orang-orang yang pergi meninggalkan kota. Semua menuju ke arah sama, dengan mendorong mobil atau memikul barang-barang milik mereka. Tapi untuk pertama kalinya cukup lapang tempat terluang untuk bisa bergerak dengan leluasa di tengah-tengahnya.

Di sana-sini, di tepi jalan, berkaparan mayat serdadu-serdadu Lon Nol. Tapi sementara itu kami sudah terbiasa melihatnya. Pemandangan yang lebih menimbulkan perasaan heran adalah pedagang-pedagang yang sibuk berjualan di pinggir jalan. Dengan bertempat di kios-kios yang dibangun asal jadi dan di atas terpal yang dihamparkan di atas tanah, para pedagang itu. menawarkan kue-kue, rokok, ayam panggang yang ditusuk seperti sate, telur, ayam dan bebek yang masih hidup, ikan segar dan ikan asin, daging, buah-buahan dan segala jenis sayuran, buku-buku dan kaset-kaset rekaman. Khmer Merah bisa saja memusnahkan pasar-pasar, tapi para pedagangnya sendiri tidak mungkin mereka lenyapkan. Besar juga rasanya hati melihat para pedagang itu tetap berusaha, memanfaatkan situasi yang baru.

Menjelang petang kami sudah menempuh jarak tiga sampai empat mil lagi, sampai di pinggir sebuah perkampungan besar para pengungsi dari Phnom Penh yang bersesak-sesak di dalamnya. Perkampungan darurat itu Wat Kien Svay Krao, menurut nama sebuah kompleks kuil besar yang dikelilingi tembok di tepi Sungai Mekong. Agak lebih jauh ke arah darat ada sebuah kuil lain yang lebih kecil. Di kedua kuil itu ada biksu-biksu, yang nampak berjalan di pekarangan yang penuh sesak dengan manusia, mobil, kemah dan tenda-tenda darurat. Di mana-mana ada orang berkemah: di desa yang terletak di antara kedua kuil, di bawah setiap pohon, di lapangan-lapangan di dekat situ, bahkan di pulau-pulau dan di atas gosong-gosong pasir di sungai yang sedang surut airnya. Kami memutuskan tinggal di situ pula untuk sementara waktu. Itu merupakan tempat pengungsian yang termasuk besar: di luar kota, tapi tidak terlalu jauh bagi mereka yang berharap akan kembali.

Kami memarkir skuter dan sepeda motor kami di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon mangga yang besar. Di atas kepala kami bergantungan buah mangga yang masih hijau. Jadi tinggal dipetik, jika kami menginginkannya. Di dekat situ ada pohon-pohon kelapa dan kebun pisang. Sedikit lebih jauh lagi terdapat kebun-kebun milik petani yang bisa kami petik tanamannya. Jika kami ingin makan ikan, aku dan Thoeun bisa membuat kail untuk mencoba untung di Sungai Mekong. Bekal kacang hijau dan beras bisa dijadikan modal untuk dipertukarkan dengan barang-barang lain. Jadi kami tidak khawatir tentang makanan dan tempat berteduh.

Sanak-keluargalah yang kami khawatirkan. Dalam perjalanan sampai ke tempat itu aku sempat berjumpa dengan beberapa saudara jauh, begitu pula dengan beberapa orang sepupu Huoy. Tapi tak seorang pun dari mereka tahu di mana Huoy dan keluargaku berada.

Selama berkeliaran setiap hari mencari-cari Huoy dan keluargaku, aku cukup sering berjumpa dengan orang-orang yang kukenal. Seorang di antaranya adalah kawan lamaku Sam Kwil, yang reporter dan juru foto surat kabar itu. Seperti banyak di antara para wartawan, Kwil pada hakikatnya tidak menyukai otoritas. Ia tidak pernah merasa senang pada rezim Lon Nol karena korupsi yang merajalela semasa itu, begitu pula karena adanya pengekangan ketat terhadap kebehasan pers. Tapi ia lebih merasa tidak sehang dengan rezim Khmer Merah, yang sama sekali tidak mengizinkan ada surat kabar diterbitkan. K wil paling suka mencari informasi tentang apa yang sedang terjadi dan meneruskan informasi itu kepada orang lain. Padaku ia memberitahukan sesuatu yang sejak semula sudah kuduga, yaitu bahwa bunyi samar seperti guruh yang datangnya dari jauh di atas langit itu ditimbulkan oleh pesawat-pesawat pengintai Amerika yang terbang tinggi sekali. Ia juga menceritakan hal yang saat itu tidak kuketahui, yaitu bahwa di Vietnam Selatan yang bertetangga dengan Kamboja, propinsi demi propinsi sudah jatuh ke tangan Vietnam Utara. "Tidak lama lagi komunis akan sudah berkuasa di mana-mana," katanya dengan suram.

Kwil masih saja belum melepaskan kebiasaan wartawannya, meski sudah tidak ada lagi surat kabar untuk siapa ia bisa bekerja. Setiap kali pergi ke Wat Kien Svay Krao, ia tidak pernah lupa membawa ranselnya yang berisi kamera-kamera foto, persediaan film, dan buku-buku catatan. Sementara berjalan seiring dengan aku menuju rumpun pohon pisang yang ada di tepi Jalan Nasional 1, ia mendorong sepeda motornya dengan ransel diikatkan ke rak bagasi.

Ketika kami sedang memetik pisang yang sudah ranum, suatu iring-iringan truk bertutup muncul di kejauhan, datang dari arah Phnom Penh. Sudah beberapa kali aku melihat iring-iringan semacam itu, dan selalu timbul rasa ingin tahu dalam hatiku ke mana tujuan mereka. Rupanya perasaan begitu juga timbul dalam hati Sam Kwil. Sepanjang Jalan Nasional 1 sampai di perbatasan Vietnam hanya ada sedikit tempat pemukiman yang bisa dibilang penting.

Kami mengintip lewat sela-sela daun pisang. Kami melihat jip pengawal berjalan paling depan, disusul iring-jringan panjang truk-truk buatan Cina di belakangnya. Kwil mengeluarkan kamera fotonya lalu melangkah maju untuk bisa melihat lebih baik, meski ia masih tetap tersembunyi dalam rumpun pisang.

"Hati-hati , " kataku. Tapi ia diam saja.

Jip pengawal sudah lewat, lalu setelah itu truk-truk terdepan. Sementara iring-iringan itu lewat, k ami melihat kain terpal penutup muatan pada beberapa truk terlepas ikatannya. Bagian yang teriepas itu melambai-lambai dipermainkan angin. Ketika ada truk lewat dengan terpal yang kebetulan tersingkap sebentar, kami melihat apa yang ada dalam kendaraan itu: kursi, lemari es, alat pengatur hawa, kipas angin, pesawat televisi, dan karung dan kantong dari berbagai macam ukuran. Sementara itu lebih banyak lagi truk yang lewat, dan muatannya sama saja. Rupanya Khmer Merah mengangkuti segala barang itu dari Phnom Penh. Idealnya sekarang, apakah barang-barang itu diangkut untuk diberikan kepada orang-orang Vietnam, atau dijual kepada mereka?

Kwil bergerak semakin maju Ke depan, sambil sibuk memotret bagian belakang truk-truk yang !ewat. Akhirnya ia membalikkan tubuh. Karena sampai saat itu sibuk terus memotret, tidak dilihatnya jip yang merupakan penutup iring-iringan itu. Ia baru sadar ketika jip itu tahu-tahu berhenti di sampingnya.

Aku cepat-cepat lari, kembali ke tengah kebun pisang. Reaksi Sam Kwil tidak begitu cepat. Tiga orang Khmer Merah berloncatan turun dari jip dan lari menghampirinya, satu ke sebelah kiri, satu lurus ke arahnya, dan yang ketiga ke sebelah kanannya. Sam Kwil terkepung.

Dari tempat persembunyianku di tengah kebun pisang, aku bisa mendengar suara orang-orang Khmer Merah itu.

"Siapa menyuruhmu memotret? Siapa saja yang memotret tanpa izin, dia itu musuh! Kau CIA!" Sebelum Sam Kwil sempat membantah, kedua tangannya sudah diputar ke belakang punggungnya. Salah satu dari ketiga orang itu menghajar rusuknya dengan popor senapan. Kwil roboh ke tanah. Mereka menegakkannya kembali, lalu menggiringnya secara setengah terseret ke jip. Sampai di situ mereka mengikat kedua tangannya di belakang punggung, lalu memukulinya dengan popor senapan dan menghajarnya dengan tendangan bertubi-tubi. Kemudian jip itu pergi dengan membawa Sam Kwil, menyusul iring-iringan truk tadi.

Kejadiannya begitu cepat. Satu menit sebelumnya Sam Kwil masih bercakap-cakap dengan aku, dan kini ia lenyap. Sukar rasanya bisa percaya bahwa itu tadi benar-benar terjadi. Aku terpana di tengah kebun pisang. Tidak ada sesuatu pun yang bisa kulakukan tadi. Atau-? Jip itu makin lama makin jauh dan kecil untuk akhirnya hilang dari pandangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar