8
TERUSIR DARl PHNOM PENH
PADA
hari itu, hari kedua terjadinya perubahan besar dalam kehidupan kami, begitu
pula pada hari-hari berikutnya. cuaca panas dan berdebu. Langit cerah, tapi
dari jauh di atas kami datang bunyi-bunyi samar seperti guruh, bunyi deru pesawat-pesawat
jet supersonik yang terbang begitu tinggi sehingga kami yang di bawah tidak bisa
melihatnya sama sekali.
Kami
berdiri di bawah terik sinar matahari, beringsut selangkah demi selangkah.
Serdadu-serdadu Khmer Merah melepaskan tembakan-tembakan ke arah atas kepala
kami untuk memaksa kami mempercepat langkah, dan alat-alat pengeras suara
mengumandangkan siaran stasiun radio pemerintah yang saat itu sudah jauh ke tangan
gerilyawan:
"Tanggal
17 April 1975 adalah hari kemenangan gemilang yang mahabesar makna sejarahnya
bagi kita, bangsa dan rakyat Kamboja!" kata seorang lelaki di radio, yang
terdengar lewat alat pengeras suara.
"Pada
hari itu rakyat kita berhasil secara mutlak membebaskan ibukota Phnom Penh dan
Kamboja kita yang tercinta!" balas suara seorang wanita.
"Hidup
rakyat Kamboja!" kata suara lelaki yang tadi.
"Hidup
Revolusi Kamboja yang mahahebat!" katra suara yang wanita.
"Hidup
Kamboja yang merdeka, damai, netral, tidak memihak, berdaulat, demokratis dan
sejahtera dengan keutuhan wilayah yang sejati!" Aku mendapat kesan bahwa
si lelaki itu bertekad tidak mau kalah bersemangat.
"Hidup
haluan perjuangan mutlak, kemerdekaan, pengandalan pada kemampuan sendiri dan mengatasi
segala rintangan dari organisasi revolusioner Kamboja yang benar dan
berpandangan jernih!'' balas yang perempuan lagi, yang nampak nya juga berkeras
tidak mau kalah. "Pertahankan terus dengan gigih semangat kewaspadaan
revolusioner yang berkobar-kobar untuk senantiasa membela bangsa dan rakyat Kamboja!"
teriak si lelaki.
"Pertahankan
terus dengan gigih posisi perjuangan untuk tanpa ragu-ragu membela negara dan
rakyat!" jerit temannya yang wanita.
Dan
begitu seterusnya, dalam pertandingan adu teriak gaya komunis yang aneh itu.
Kemudian
dari pengeras suara mulai berkumandang bunyi musik mars, Aku lantas teringat pada
musik yang pernah kudengar dalam siaran radio Peking, sangat khas bergaya Cina;
tapi kata-kata yang dinyanyikan mengiringinya merupakan ungkapan-ungkapan yang
serupa dengan yang diteriakkan pasangan lelaki dan perempuan tadi. Belum pernah
kudengar musik yang sejelek itu. Bayangkan saja bagaimana perasaan kami yang
berjalan tersaruk-saruk di jalan raya yang penuh sesak di bawah sinar matahari
yang panas, sementara ada suara sengau menusuk relinga menyanyikan lagu Bendera Merah Revolusi Berkibar di Atas
Phnom Penh yang Sudah Dibebaskan:
"Balatentara
pembebasan sudah bergerak maju dari segala arah bagaikan api yang dahsyat dan berkobar-kobar,
menewaskan klik pengkhianat Phnom Penh yang bejat dan membebaskan Phnom Penh
secara tuntas!"
(Bunyi
canang dan gong menggembreng-gembreng. Aku bertanya dalam hati, "Ini
dibilang musik ?")
"Seruan
kemenangan yang berkumandang dari rakyat dan balatentara kita telah menamatkan riwayat
musuh, membebaskan tanah air tercinta, dan secara tuntas menamatkan perang
agresi imperialis Amerika yang kejam, yang semuanya terusir dari bumi Kamboja!"
(Suara
canang dan gong menggembreng-gembreng lagi.)
"Bendera merah
Revolusi berkibar tinggi di atas Phnom Penh, negeri Angkor."
(Maju
setapak, lalu setapak lagi. Aku ingin kami punya air untuk diminum. Aku ingin
sekali kami bisa merebahkan diri di tempat teduh.)
"Nasib. negara
berada di tangan kaum pekerja dan petani. Inilah anugerah bagi berjuta-juta tetes
darah yang tumpah dalam perjuangan demi kemenangan terakhir.. "
Benar-benar
mematahkan semangat: sudah harus meninggalkan rumah karena dipaksa, lalu tcmbakan-tembakan
senapan di atas kepala kami, dan kini masih ditambah lagi dengan musik yang menyakitkan
kuping itu.
Musik
akhirnya selesai, disusul dengan pidato. "Selama lima tahun
terakhir," begitulah pembica- ra itu-yang tidak diketahui siapa namanya membuka
pidatonya, "tentara revolusioner kita yang terdiri dari para pejuang pria
dan wanita serta para kader telah berperang dengan gagah berani, melindas
agresi buas dan kejam yang dilakukan imperialis Amerika sena antek-anteknya!"
Seperti
lelaki dan wanita sebelum dia, yang menerlakkan slogan-slogan, dan seperti
penyanyi yang mengiringi musik mars, orang yang berpidato ini nampaknya juga
tidak bisa menggunakan kata-kata biasa untuk mengungkapkan pikirannya. Semuanya
dalam kosakata khusus berupa sanjungan atau kutukan melangit, sehingga kedengarannya
nyaris seperti bahasa asing. Pokok isi pidatonya, ketika akhirnya ia sampai
juga ke situ, adalah bahwa kami semua sekarang berada di bawah suatu rezim
baru, yang menamakan "diri Kampuchea Demokratik. ("Kampuchea"
adalah "Kamboja" dalam bahasa Khmer.) Di bawall rezim yang demokratis
ini tidak ada lagi kaya dan miskin. Kami semua sederajat. Dan kami semua harus
pergi bekerja di pedesaan. "Negara kita masih harus meneruskan
perjuangan," kata orang yang berpidato itu, "dengan senjata di tangan
yang satu dan perkakas di tangan lainnya, melancarkan ofensif membangun
bendungan, tanggul, dan menggali saluran-saluran air!" Ia terus saja berbicara,
mengatakan bahwa kami semua akan membangun Kamboja sampai menjadi negara besar
dan bahwa kami "rela berkorban demi Angka". Tidak dijelaskannya,
siapa Angka itu.
Hari
itu sekitar lima blok jauhnya kami berjalan.
Ketika
malam tiba kami berkemah di jalan. Rombongan kami membentuk segi empat, dengan aku
dan Thoeun dan kedua kendaraan roda dua kami di sisi luar, sementara
para-perawat di dalam, demi keamanan. Para perawat itu mengambil sebuah anglo
dan arang dari gerobak kami lalu menyalakan api, dan tidak lama kemudian mereka
sudah berjongkok mengelilingi api dengan panci dan sendok, sibuk memasak
makanan.
Aku
duduk bersandar pada sebatang pohon randu. Kami berada di tengah lautan manusia
yang semuanya capek. Di jalan-jalan, di trotoar, di pekarangan rumah-rumah, di
mana-mana ada manusia. Boulevard yang anggun menjelma menjadi tempat berkemah,
penuh asap api dapur-dapur darurat; tapi perubahan itu, entah kenapa, tidak
terasa mengherankan. Jika begini wujud revolusi, kami tidak peduli saat itu, karena
sudah terlalu capek. Anak-anak dan para wanita menangis, klakson mobil
bersahut-sahutan, Khmer Merah berusaha memaksa kami lewat pengumuman-pengumuman
yang dikumandangkan oleh alat-alat pengeras suara agar kami terus berjalan, tapi
kami tetap saja duduk di tempat semula.
Para
perawat menyajikan makan malam. Kami bercakap-cakap dengan suara pelan dan
lesu, tentang kemungkinan menemukan keluarga masing-masing. Jika kami tidak
bisa tetap berada di dalam kota, maka satu-satunya pilihan adalah mencari
keselamatan di tempat-tempat di mana kami dikenal: plulang ke desa-desa tempat
asal kami, karena kami semua memang berasal dari desa, meski kebanyakan dari
kami punya anggota. anggota keluarga yang tercecer di tengah banjir manusia
yang bergerak keluar dari Phnom Penh saat itu.
Kukatakan
kepada Thoeun dan para perawat hahwa mereka boleh kapan saja pergi mencari sanak-keluarga
mereka, asal selalu ada satu atau dua orang yang tinggal untuk menjaga perbekalan.
Kemudian, sesudah makan, aku pergi untuk meneruskan pencarianku.
Aku
berjalan menembus lautan manusia dan tabir asap api masakan yang memenuhi jalan
besar itu, kembali ke arah pusat kota. Tidak mungkin bisa berjalan lurus, tapi
berbelok-belok, melangkahi tubuh-tubuh manusia yang berkaparari tidur di atas
aspal. Lampu-lampu jalan masih menyala, mungkin karena pihak Khmer Merah tidak
tahu bagaimana memadamkannya. Serangga terbang berkerumun di bawah bola-bola
lampu yang bersinar terang. Di timur laut muncul cahaya berwarna jingga di kaki
langit. Kemudian di arah lain. Abu beterbangan di atas kepala. Kabarnya Khmer
Merah membakari pasar-pasar, pusat sistem yang mereka sebut kapitalis dan
laknat; padahal bagi kami, pasar-pasar selama itu merupakan pusat kehidupan
sehari-hari, tempat kami membeli bahan pangan segar dan di mana kami bertukar
berita dengan para tetangga.
**********
Saat
matahari terbit lautan manusia berdiri lagi, tapi tidak beranjak dari tempat semula.
Dari arah utara datang bunyi-bunyi pertempuran: rentetan nyaring tembakan
senapan-senapan M-16 buatan Amerika membalas letusan beruntun yang lebih lambat
dari senapan-senapan AK-47 buatan Cina. Di salah satu posisi di sebelah utara,
ada seorang komandan pasukan Lon Nol yang masih bertahan.
Di
bagian selatan Phnom Penh, di mana kami berada, tidak terjadi perlawanan fisik.
Perintah-perintah gerilyawan kami turuti. Tapi kami bergerak maju selamban
mungkin, jadi menurut tanpa benar-benar patuh. Kami melakukan perlawanan tanpa
kekerasan, bergaya Budhis. Kenapa kami harus pergi? Kami memiliki tempat kediaman,
di mana masih ada harta dan barang-barang berharga yang tidak sempat kami ambil
untuk dibawa. Siapa yang nanti mengurus rumah kami? Kenapa anak-anak petani
berkulit gelap ini masih juga mendesak-desak kami agar pergi? Apa pula omong
kosong itu, tentang bertani? Kami ini orang kota! Perang sudah selesai! Kini
waktunya bersatu kembali, untuk mencari sanak-keluarga yang terpencar.
Karena
ada Vespa serta Yamaha bawaan Thoeun dengan gandengan gerobak perbekalan, kami tidak
bisa bergerak. Seperti biasa, aku tidak bisa sabar. Kuparkir skuterku, dan
kuminta Thoeun dan para perawat menjaganya, lalu aku sendiri menyusup di
sela-sela manusia yang banyak itu, dengan susah-payah menuju ke satu sisi boulevard
lalu berbalik ke sisi seberang, naik ke atas pagar dan pohon-pohon, supaya bisa
melihat dengan lebih jelas.
Tapi
aku tidak menemukan Huoy atau orangtuaku. Aku malah menemukan beras. Tiba-tiba kerumunan
orang itu ribut dan mulai dorong-mlendorong. Aku hanyut di tengah desakan orang-orang
yang berlari, dan tahu-tahu sampai di sebuah jalan samping, di depan sebuah
gudang yang pintunya terpentang. Di dalam sudah ada ratusan orang yang sibuk
menjarah apa saja yang bisa diambil di situ. Nafsu serakah merajalela. Karung-karung
beras yang ditumpuk tinggi di atas landasan yang terbuat dari kayu roboh dan menimpa
seorang lelaki yang langsung mati di tempat itu juga. Kedua kakinya nampak
terjulur di bawah timbunan karung yang roboh. Tapi tidak ada yang
mempedulikannya.
Kuangkat
sebuah karung beras bertulisan "Sumbangan Pemerintah Amerika Serikat"
dan kupikul, lalu kembali dengan langkah terhuyung-huyung ke rombonganku.
Kemudian aku pergi lagi ke gudang itu bersama Thoeun, untuk mengambil lebih
banyak lagi.
Di
gudang itu, begitu· pula di jalan-jalan, muncul tatalaku yang baru. Menurut
tatalaku baru itu mencuri merupakan perbuatan yang bisa dimaafkan, asal
dilakukan tidak secara paksa atau dengan mencederai orang lain. Barang-barang yang
ditinggal tanpa penjagaan merupakan barang- barang yang boleh diambil. Malamnya
Thoeun pergi lagi, seorang diri. Ia kembali sambil tertawa lebar, memegang dua
ekor ayam hidup. Ayam itu langsung kami sembelih, dicabuti bulunya lalu
dimasak, tanpa bertanya lagi pada Thoeun di mana ia memperolehnya.
Pada
hari keempat, tanggal 20 April, para serdadu Khmer Merah sudah tidak lagi
menyuruh kami pergi meninggalkan kota selama tiga jam atau tiga hari; kini
mereka memerintahkan kami agar pergi ke pedalaman. "Angka akan menyediakan
segala-galanya bagi kalian," seru mereka mengumumkan lewat pengeras suara.
"Angka akan menjamin bahwa penduduk memperoleh semua yang diperlukan.
"
Jika
harus meninggalkan kota, maka Jalan Nasional 2-lah yang harus kami ambil. Lewat
jalan itu kami akan sampai di pabrik penggergajian milik ayahku, di mana
kemungkinannya keluargaku berkumpul. Huoy pun mungkin ada di situ. Tapi jika
mereka ternyata tidak ada di sana; kami bisa terus mengambil jalan itu, menuju ke
Propinsi Takeo dan langsung ke Samrong Yong. Menurut penalaranku, kemungkinan
terakhir bagi Huoy dan keluargaku mestinya adalah pergi ke Samrong Yong.
Terlepas dari benar atau tidaknya hal itu, Jalan Nasional 2 itu juga merupakan
lintasan yang harus diambil para perawat yang menyertaiku, karena mereka semua berasal
dari Propinsi Takeo, dari desa-desa yang letaknya lebih ke selatan lagi dari
Samrong Yong.
Aku
berjalan sampai ke bundaran lalu-lintas di ujung selatan Boulevard Monivong.
Dari bundaran itu beberapa jalan menuju ke berbagai arah, keluar dari Phnom
Penh. Di situ ada sejumlah serdadu Khmer Merah yang sibuk mengatur arus manusia,
yang semua mereka suruh masuk ke sebuah jalan yang mengarah ke sebuah jembatan,
menyeberangi sungai dan masuk ke Jalan Nasional 1. Itu bukan arah yang hendak
kami ambil. Tapi jalan yang menuju ke Jalan Nasiona1 2 masih terbuka, dan ada
beberapa orang yang masih mengambil jalan itu.
Kami
lantas menunggu. 'Maju selangkah, lalu menunggu lagi. Mendengar bunyi dentuman
pesawat- pesawat terbang yang melintas dengan kecepatan supersonik jauh di atas
kepala. Berdiri di bawah sinar matahari terik, merindukan kemungkinan mandi dan
berganti pakaian dengan yang bersih.
Keesokan
paginya, ketika kami sampai di bundaran lalu-lintas di ujung Boulevard Monivong
itu, ternyata di mulut jalan masuk ke Jalan Nasional 2 sudah terpasang
rintangan. Kami terlambat. "Jalan terus, " demikianlah perintah yang
setiap kali berkumandang lewat alat-alat pengeras suara. "Angka akan
memberikan bekal pada kalian di seberang jembatan. " Serdadu-serdadu bersenjata
berjaga sambil mengamati. Tidak ada kemungkinan lain kecuali terus bergerak mengikuti
arus lamban lautan manusia itu, meski itu membawa kami ke arah yang tidak kami kehendaki.
Di
pangkal jembatan terkapar mayat beberapa orang, kebanyakan di antaranya serdadu
Lon Nol, kalau melihat pakaian seragam yang dipakai. Tapi ada satu yang
berambut panjang sampai ke bahu. Dia itu penyanyi klub malam yang terkenal di
Phnom Penh, yang rupanya di benci penguasa yang baru. Kami memaksa diri tidak
memperhatikan tubuh-tubuh yang terkapar itu dan melangkah naik ke jembatan yang
membentuk lengkungan landai dari tepi sungai yang satu sampai ke titik tertinggi
di tengah lalu dari situ melengkung turun lagi sampai ke seberang.
Ketika
sampai di titik tertinggi di tengah-tengah jembatan, dengan napas agak memburu
karena harus mendorong Vespa melewati lengkungan menanjak, tiba-tiba kudengar
orang-orang ribut. Aku berjingkat, berusaha melihat lewat sebelah atas kepala
lautan manusia yang ada di jembatan. ternyata yang terjadi adalah salah satu
peristiwa yang berlangsungnya lebih cepat daripada kemampuan akal untuk
meresapkan maknanya: aku melihat sebuah mobil Peugeot yang masih baru di seberang
sungai, bergerak menuruni tebing dan langsung mencebur ke air. Mobil itu masih mengambang
maju dengan lambat, sampai diputar arus sungai dan dihanyutkan dengan lambat ke
hilir.
Ada
beberapa orang di dalamnya. Seorang lelaki di belakang setir, seorang wanita di
sampingnya, dan anak-anak di jok belakang, yang memandang ke luar dengan tangan
ditempelkan ke kaca jendela. Semua pintu dan jendela mobil itu tetap tertutup.
Tidak ada yang keluar.
Pelan-pelan
mobil itu mulai tenggelam, sampai akhirnya hanya atapnya saja yang masih muncul
di atas permukaan sungai. Kami hanya bisa menatap dengan nanar, sementara
kendaraan itu semakin terbenam dalam air dan akhirnya lenyap dari penglihatan.
Seorang
kaya bunuh diri bersama seluruh keluarganya.
**********
Di
seberang jembatan ternyata tidak tersedia perbekalan bagi kami. Tentu saja
tidak! Yang ada cuma lebih banyak lagi serdadu Khmer Merah berseragam hitam-hitam,
yang berteriak-teriak menyuruh kami terus bergegas. Waktu itu tengah hari, saat
hawa sedang panas-panasnya. Ribuan orang tidak mengacuhkan lagi seruan-seruan
itu, dan duduk melepaskan lelah. Kuajak rombonganku berteduh di bawah kerai
penaung di depan sebuah tako yang terkunci.
Aku
pergi bersama Thoeun, untuk melihat-lihat keadaan. Di hulu sungai, tidak
terlihat oleh serdadu-serdadu, nampak perahu -perahu menyeberangkan penumpang
kembali ke Phnom Penh. Saat itu musim kemarau, permukaan sungai surut sampai
tinggal berupa saluran yang tidak seberapa lebar. Nampak beberapa orang
menyeberang dengan cara berenang. Rupanya tidak mampu membayar ongkos yang
diminta para penambang. Kami memandang berkeliling. Ternyata tidak ada seorang
serdadu pun di sekitar tempat kami berada saat itu. Kami lantas memutuskan untuk
menyeberang kembali. Jika kami nanti berhasil menemukan bahan makanan lagi yang
bisa dijadikan bekal, syukurlah. Tapi setidak- tidaknya mencemplungkan diri ke
dalam air sungai sudah merupakan hal yang sangat kami perlukan. Sudah beberapa
hari kami tidak mandi.
Ketika
kami sampai di sisi dari mana kami datang tadi sebelum menyeberangi jembatan, kami
lantas berjalan kembali, dengan pakaian basah kuyup, menuju ke tempat
gudang-gudang beras. Gudang-gudang itu sebagian besar habis dijarah isinya.
Tapi dalam satu di antaranya kami menemukan sebuah karung berisi lima puluh kilogram
kacang hijau kering, terlalu berat jika harus diangkut seorang diri. Kami
berenang lagi menyeberang sungai dengan membawa karung itu.
Begitu
sampai di atas tebing, kami langsung dikerumuni orang-orang yang hendak membeli
kacang hijau hasil jarahan kami itu. Mereka menyodor-nyodorkan tumpukan uang
riel rezim Lon Nol. Tapi aku menolak. Kami tidak membutuhkan uang dari rezim
yang sudah tidak ada lagi. Tapi ketika seseorang menawarkan gula sekantong sebagai
penukar setengah karung kacang hijau, aku menerimanya. Malam itu para perawat memasak
nasi dan kacang hijau. Rasanya sangat enak. Makanan hasil curian selalu enak
rasanya; baru kemudian aku sampai pada kesimpulan itu.
Keesokan
paginya kami meneruskan perjalanan lewat Jalan Nasional 1. Kami berjalan dengan
langkah leebih cepat dari sebelumnya, tapi tanpa bergegas. Jalan yang kami
tempuh menuju ke timur, melintasi kawasan segitiga yang dibatasi sungai Bassac
dan Sungai Mekong. Dalam banjir manusia yang bergerak meninggalkan kota itu pedagang
sayur berjalan seiring dengan pedagang sayur, tukang emas dengan tukang emas,
petani yang berasal dari suatu propinsi seiring dengan petani dari propinsi
yang sarna. Rombongan kami berhenti sebentar setiap kali berjumpa dengan rekan-rekan
seprofesi dari Phnom Penh. Kalau berjumpa dokter, kami menyapa dengan salam hormat
tradisional, menyampaikan sompeah dengan
kedua telapak tangan dirapatkan, lalu saling bertukar kabar. Mereka
kuwanti-wanti agar jangan mengatakan pada siapa pun juga bahwa mereka dokter,
sambil menceritakan pengalamanku di ruang bedah rumah sakit. Beberapa di antara
dokter-dokter itu sependapat dengan aku tentang bahayanya; tapi ada juga yang
beranggapan bahwa aku melebih-lebihkan, meski itu tidak mereka katakan secara
langsung, karena tidak ingin membuat aku malu.
Keesokan
paginya kami meneruskan perjalanan lagi. Tidak lama kemudian kami sampai di
Boeng Snor, daerah lampu merah Phnom Penh yang letaknya di pinggir Sungai
Mekong. Jalan di situ letaknya lebih tinggi dari tanah sekelilingnya, di atas
tanggul yang lebar. Rumah-rumah pelacuran dan klub-klub malam dibangun di atas
tiang, supaya sarna tinggi letaknya dengan jalan. Pada posisi yang lebih
rendah, terletak di tanah yang tergenang air sungai pada musim hujan, terdapat rumah-rumah
terapung, dibangun di atas rakit-rakit yang dibuat dari drum-drum bekas minyak,
dan ada pula yang dari bambu. Semasa prarevolusi, orang-orang biasa datang ke
situ dengan membawa gundik atau pelacur. Mereka berjudi dan minum-minum bersama
teman-teman mereka. !tu merupakan tempat di mana segala-galanya bisa dilakukan
oleh orang-orang yang punya uang, tempat di mana sisi sensual dari kepribadian Kamboja
yang biasanya selalu bersopan-santun bisa tampi! dengan leluasa. Tapi itu kini
tidak ada lagi. Tidak ada lagi wanita-wanita berdandan menor. Yang ada hanya
para pemukim liar, dan para pemilik yang berusaha keras jangan sampai ada
pemukim liar yang menerobos masuk. Sebagai kawasan lampu merah, Boeng Snor
sudah tidak ada lagi. Pelacuran, kebiasaan mabuk-mabukan, perjudian,
suap-menyuap- terlepas dari baik buruknya, kesemuanya itu merupakan hal yang terlarang
di bawah rezim yang baru.
Lewat
dari Boeng Snor, kedua jalur jalan masih penuh dengan orang-orang yang pergi
meninggalkan kota. Semua menuju ke arah sama, dengan mendorong mobil atau
memikul barang-barang milik mereka. Tapi untuk pertama kalinya cukup lapang
tempat terluang untuk bisa bergerak dengan leluasa di tengah-tengahnya.
Di
sana-sini, di tepi jalan, berkaparan mayat serdadu-serdadu Lon Nol. Tapi
sementara itu kami sudah terbiasa melihatnya. Pemandangan yang lebih
menimbulkan perasaan heran adalah pedagang-pedagang yang sibuk berjualan di
pinggir jalan. Dengan bertempat di kios-kios yang dibangun asal jadi dan di
atas terpal yang dihamparkan di atas tanah, para pedagang itu. menawarkan
kue-kue, rokok, ayam panggang yang ditusuk seperti sate, telur, ayam dan bebek yang
masih hidup, ikan segar dan ikan asin, daging, buah-buahan dan segala jenis
sayuran, buku-buku dan kaset-kaset rekaman. Khmer Merah bisa saja memusnahkan
pasar-pasar, tapi para pedagangnya sendiri tidak mungkin mereka lenyapkan.
Besar juga rasanya hati melihat para pedagang itu tetap berusaha, memanfaatkan
situasi yang baru.
Menjelang
petang kami sudah menempuh jarak tiga sampai empat mil lagi, sampai di pinggir sebuah
perkampungan besar para pengungsi dari Phnom Penh yang bersesak-sesak di
dalamnya. Perkampungan darurat itu Wat Kien Svay Krao, menurut nama sebuah
kompleks kuil besar yang dikelilingi tembok di tepi Sungai Mekong. Agak lebih
jauh ke arah darat ada sebuah kuil lain yang lebih kecil. Di kedua kuil itu ada
biksu-biksu, yang nampak berjalan di pekarangan yang penuh sesak dengan
manusia, mobil, kemah dan tenda-tenda darurat. Di mana-mana ada orang berkemah:
di desa yang terletak di antara kedua kuil, di bawah setiap pohon, di
lapangan-lapangan di dekat situ, bahkan di pulau-pulau dan di atas gosong-gosong
pasir di sungai yang sedang surut airnya. Kami memutuskan tinggal di situ pula untuk
sementara waktu. Itu merupakan tempat pengungsian yang termasuk besar: di luar
kota, tapi tidak terlalu jauh bagi mereka yang berharap akan kembali.
Kami
memarkir skuter dan sepeda motor kami di pinggir jalan, di bawah sebatang pohon
mangga yang besar. Di atas kepala kami bergantungan buah mangga yang masih
hijau. Jadi tinggal dipetik, jika kami menginginkannya. Di dekat situ ada
pohon-pohon kelapa dan kebun pisang. Sedikit lebih jauh lagi terdapat
kebun-kebun milik petani yang bisa kami petik tanamannya. Jika kami ingin makan
ikan, aku dan Thoeun bisa membuat kail untuk mencoba untung di Sungai Mekong.
Bekal kacang hijau dan beras bisa dijadikan modal untuk dipertukarkan dengan barang-barang
lain. Jadi kami tidak khawatir tentang makanan dan tempat berteduh.
Sanak-keluargalah
yang kami khawatirkan. Dalam perjalanan sampai ke tempat itu aku sempat berjumpa
dengan beberapa saudara jauh, begitu pula dengan beberapa orang sepupu Huoy.
Tapi tak seorang pun dari mereka tahu di mana Huoy dan keluargaku berada.
Selama
berkeliaran setiap hari mencari-cari Huoy dan keluargaku, aku cukup sering
berjumpa dengan orang-orang yang kukenal. Seorang di antaranya adalah kawan
lamaku Sam Kwil, yang reporter dan juru foto surat kabar itu. Seperti banyak di
antara para wartawan, Kwil pada hakikatnya tidak menyukai otoritas. Ia tidak pernah
merasa senang pada rezim Lon Nol karena korupsi yang merajalela semasa itu,
begitu pula karena adanya pengekangan ketat terhadap kebehasan pers. Tapi ia
lebih merasa tidak sehang dengan rezim Khmer Merah, yang sama sekali tidak
mengizinkan ada surat kabar diterbitkan. K wil paling suka mencari informasi
tentang apa yang sedang terjadi dan meneruskan informasi itu kepada orang lain.
Padaku ia memberitahukan sesuatu yang sejak semula sudah kuduga, yaitu bahwa
bunyi samar seperti guruh yang datangnya dari jauh di atas langit itu ditimbulkan
oleh pesawat-pesawat pengintai Amerika yang terbang tinggi sekali. Ia juga
menceritakan hal yang saat itu tidak kuketahui, yaitu bahwa di Vietnam Selatan
yang bertetangga dengan Kamboja, propinsi demi propinsi sudah jatuh ke tangan
Vietnam Utara. "Tidak lama lagi komunis akan sudah berkuasa di
mana-mana," katanya dengan suram.
Kwil
masih saja belum melepaskan kebiasaan wartawannya, meski sudah tidak ada lagi
surat kabar untuk siapa ia bisa bekerja. Setiap kali pergi ke Wat Kien Svay
Krao, ia tidak pernah lupa membawa ranselnya yang berisi kamera-kamera foto,
persediaan film, dan buku-buku catatan. Sementara berjalan seiring dengan aku
menuju rumpun pohon pisang yang ada di tepi Jalan Nasional 1, ia mendorong
sepeda motornya dengan ransel diikatkan ke rak bagasi.
Ketika
kami sedang memetik pisang yang sudah ranum, suatu iring-iringan truk bertutup
muncul di kejauhan, datang dari arah Phnom Penh. Sudah beberapa kali aku
melihat iring-iringan semacam itu, dan selalu timbul rasa ingin tahu dalam
hatiku ke mana tujuan mereka. Rupanya perasaan begitu juga timbul dalam hati
Sam Kwil. Sepanjang Jalan Nasional 1 sampai di perbatasan Vietnam hanya ada
sedikit tempat pemukiman yang bisa dibilang penting.
Kami
mengintip lewat sela-sela daun pisang. Kami melihat jip pengawal berjalan
paling depan, disusul iring-jringan panjang truk-truk buatan Cina di
belakangnya. Kwil mengeluarkan kamera fotonya lalu melangkah maju untuk bisa
melihat lebih baik, meski ia masih tetap tersembunyi dalam rumpun pisang.
"Hati-hati
, " kataku. Tapi ia diam saja.
Jip
pengawal sudah lewat, lalu setelah itu truk-truk terdepan. Sementara
iring-iringan itu lewat, k ami melihat kain terpal penutup muatan pada beberapa
truk terlepas ikatannya. Bagian yang teriepas itu melambai-lambai dipermainkan
angin. Ketika ada truk lewat dengan terpal yang kebetulan tersingkap sebentar,
kami melihat apa yang ada dalam kendaraan itu: kursi, lemari es, alat pengatur hawa,
kipas angin, pesawat televisi, dan karung dan kantong dari berbagai macam
ukuran. Sementara itu lebih banyak lagi truk yang lewat, dan muatannya sama
saja. Rupanya Khmer Merah mengangkuti segala barang itu dari Phnom Penh. Idealnya
sekarang, apakah barang-barang itu diangkut untuk diberikan kepada orang-orang
Vietnam, atau dijual kepada mereka?
Kwil
bergerak semakin maju Ke depan, sambil sibuk memotret bagian belakang truk-truk
yang !ewat. Akhirnya ia membalikkan tubuh. Karena sampai saat itu sibuk terus
memotret, tidak dilihatnya jip yang merupakan penutup iring-iringan itu. Ia
baru sadar ketika jip itu tahu-tahu berhenti di sampingnya.
Aku
cepat-cepat lari, kembali ke tengah kebun pisang. Reaksi Sam Kwil tidak begitu
cepat. Tiga orang Khmer Merah berloncatan turun dari jip dan lari
menghampirinya, satu ke sebelah kiri, satu lurus ke arahnya, dan yang ketiga ke
sebelah kanannya. Sam Kwil terkepung.
Dari
tempat persembunyianku di tengah kebun pisang, aku bisa mendengar suara
orang-orang Khmer Merah itu.
"Siapa
menyuruhmu memotret? Siapa saja yang memotret tanpa izin, dia itu musuh! Kau CIA!"
Sebelum Sam Kwil sempat membantah, kedua tangannya sudah diputar ke belakang
punggungnya. Salah satu dari ketiga orang itu menghajar rusuknya dengan popor
senapan. Kwil roboh ke tanah. Mereka menegakkannya kembali, lalu menggiringnya
secara setengah terseret ke jip. Sampai di situ mereka mengikat kedua tangannya
di belakang punggung, lalu memukulinya dengan popor senapan dan menghajarnya
dengan tendangan bertubi-tubi. Kemudian jip itu pergi dengan membawa Sam Kwil,
menyusul iring-iringan truk tadi.
Kejadiannya
begitu cepat. Satu menit sebelumnya Sam Kwil masih bercakap-cakap dengan aku, dan
kini ia lenyap. Sukar rasanya bisa percaya bahwa itu tadi benar-benar terjadi.
Aku terpana di tengah kebun pisang. Tidak ada sesuatu pun yang bisa kulakukan
tadi. Atau-? Jip itu makin lama makin jauh dan kecil untuk akhirnya hilang dari
pandangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar