Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 01 Juni 2013

Neraka Kamboja - Bab 39. Mulai Lagi Dari Bawah


Bab 39. Mulai Lagi Dari Bawah


DI AMERIKA, aku tidak pernah merasa hidupku terancam; aku tidak pernah takut akan mati kelaparan. Kenyataan bahwa uangku tinggal empat dollar, tidak menyebabkan aku lantas merasa cemas.

Benarlah, ketika aku dan Ngim sudah pindah ke apartemen kami yang kecil, keesokan paginya dua orang Kamboja muncul di depan pintu, seorang lelaki dan seorang wanita. Wanita itu pernah menjadi pasienku, ketika maslh di Thailand. Kini ia membawa suaminya, yang baru sekali itu kulihat. Kedua orang yang baik hati itu mengajak kami makan-makan di luar, lalu dibawa berkeliling melihat-lihat kota Los Angeles. Dengan uang yang mereka pinjamkan, aku membeli bahan pangan dan beras di sebuah toko di Chinatown. Aku membeli mangkuk-mangkuk, panci-panci, dan sumpit untuk makan di pasar loak.

Kami takkan pernah mengalami kekurangan. Itu kuyakini.Karena kini tempat tinggal dan bahan panganuntuk persediaan sudah tersedia, persoalan selanjutnya adalah memilih cara mencari nafkah. Aku ingin membuka praktek sebagai dokter. Tapi sebelum bisa mendapat izin praktek, terlebih dulu aku harus lulus ujian kemahiran bahasa Inggris, dan kemungkinannya harus duduk di bangku kuliah lagi untuk mengikuti kursus-kursus penyegar, dan setelah itu diuji pengetahuanku sebagai dokter. Aku mau saja melakukannya, tapi itu takkan menyelesaikan masalah biaya hidupku bersama Ngim selama itu. Aku bisa juga mengajukan permohonan tunjangan pengangguran; dengan jalan begitu aku akan mendapat $214 sebulan ditambah sedikit lagi untuk Ngim. Tapi itu rasanya takkan mencukupi. Karenanya kutangguhkan dulu kembali ke bangku kuliah, dan kuputuskan untuk mencari pekerjaan.

Pekerjaan yang paling dulu kuperoleh adalah sebagai penjaga malam pada sebuah perusahaan di luar Chinatown. Sambil mencari-cari pekerjaan yang lebih baik, aku mengikuti kursus ESL (English as a Second Language, jadi: Bahasa Inggris untuk Orang Asing) di Evans Community College, hanya beberapa blok saja dari tempat tinggalku. Aku agak mengalami kesulitan dengan bahasa Inggris Amerika. Tapi Ngim, yang kumasukkan ke sekolah dasar, bisa menguasainya dengan lebih cepat.

Bulan November 1980 aku berpindah tempat kerja. Aku menjadi petugas pengelola kasus di Chinatown Service Center, yang tempatnya dekat dengan apartemenku; aku blsa berjalan kaki kesana. Kantorku, yang disebut Bagian Indocina,menyelenggarakan pelayanan bagi kaum pengungsi, berupa pengusahaan penempatan kerja secara cuma-cuma. Sekitar setengah dari klien kami orang Vietnam, sepertiga lagi orang Kamboja, dan sisanya orang Laos. Pada umumnya akutidak mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Jika tidak bisa dengan bahasa Khmer atau Teochiew, kami mencoba lewat bahasa Perancis, atau Mandarin, atau Inggris, dan bahkan bahasa Thai. Umumnya kami bisa memahami hal-hal yang pokok, kalau perlu dengan dibantu rekan-rekan kerjaku di situ.

Pekerjaan sebagai petugas pengelola kasus terasa memuaskan bagiku. Di segi martabat dan juga uang, memang tidak bisa dibandingkan dengan dokter; tapi dengan begitu aku bisa menolong para pengungsi, dan memang itulah yang kukehendaki. Aku berperan sebagai juru bahasa untuk para klienku dalam urusan dengan pihak pemilik tempat tinggal mereka. Aku membantu mengisikan formulir-formulir lamaran, memasukkan anak- anak mereka ke sekolah, mengatur pendaftaran orang-orang dewasa yang ingin mengikuti kursus ESL, menjelaskan cara membayar rekening telepon, dan mencarikan informasi mengenai sanak keluarga di tempat-tempat penampungan pengungsi di Thailand. Ketika pengalamanku sudah bertambah, aku disuruh membeli mobil. Dengan Volkswagen-ku yang baru kuantarkan para klienku ke segala pelosok kota Los Angeles: ke rumah sakit, ke kantor yang mengurus tunjangan,ke perusahaan-perusahaan yang mencari tenaga kerja.

Perhatian yang paling utama ditujukan kepada kesempatan kerja, Sebagai pengungsi, kami harus mulai lagi dari bawah dan menerima pekerjaan apa saja yang tersedia. Dengan bantuanku, para klienku mendapat pekerjaan sebagai pencuci piring, pelayan, tukang masak, tenaga pembersih, pekerja taman, buruh kasar, buruh pabrik elektronik, penyortir nomor pengenal alamat, pengasuh anak-anak, pokoknya bermacam-macam jenis pekerjaan kasar. Beberapa orang yang pendidikannyalebih tinggi mendapat pekerjaan sebagai sekretaris dan kasir di bank. Kami tidak begitu mempedulikan tinggi-rendahnya upah. Pokoknya mendapat pekerjaan, dan sesudah itu baru berusaha meningkatkan penghasilan.

Waktu itu di dalam kawasan Chinatown dan di sekitarnya ada enam sampai tujuh ribu orang Kamboja. Orang Vietnam juga kurang-Iebih sama banyaknya. Orang-orang Vietnam pada umumnya bisa menyesuaikan diri dengan baik dan karenanya lebih cepat menanjak kariernya dibandingkan dengan orang Kamboja yang pemalu dan bersikap menerima. Seringkali mereka tidak muncul jika harus diwawancarai untuk mendapat pekerjaan yang sudah kuusahakan bagi mereka. Orang-orang takut kehilangan muka karena tidak begitu bisa berbahasa Inggris. Mereka takutmengambil risiko. Dalam kehidupan pribadi, mereka tidak berbahagia. Pertengkaran, mabuk-mabukan, pemukulan istri, begitu pula perceraian, merupakan masalah yang umum dijumpai di kalangan keluarga-keluarga Kamboja.

Jelas bagiku bahwa di kalangan pengungsi dari Kamboja tersebar luas masalah kejiwaan. Aku memahaminya, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Kami semua mengalami guncangan jiwa karena pengalaman-pengalaman kami yang lalu. Kami semua kehilangan sanak keluarga: orangtua, saudara-saudara, atau anak-anak. Banyak dari kami yang setiap malam dihantui mimpi seram. Kami merasa terasing dan murung, merasa tidak bisa mempercayai siapa pun juga. Dan yang lebih menambah parah situasi yang dihadapi, kami berada di tengah-tengah kebudayaan yang sama sekali berbeda dari kebudayaan kami.

Di Kamboja, suatu gaya hidup berkembang dengan lambat selama berabad-abad. Gaya hidup itu jauh lebih sederhana ketimbang yang ada di Amerika, dan itulah antara lain yang menyebabkan kenapa gaya hidup itu terasa begitu indah. Di Kamboja, kami tidak mengenal tunjangan pengangguran atau asuransi sosial. Di sana tidak ada tempat penitipan anak-anak kecil, tempat penampungan orang jompo, dan juga tidak ada psikiater. Semuanya itu tidak kami perlukan. Kami hanya memerlukan keluarga kami, dan para bhiksu. Di kebanyakan rumah tangga, tiga generasi hidup di bawah satu atap. Kakek dan nenek membantumengasuh cucu-cucu mereka. Orang-orang dewasa yang merupakan generasi kedua pergi mencari nafkah, agar ada makanan di atas meja. Jika ada permasalahan atau pertengkaran, para bhiksu turun tangan untuk menengahi. Para bhiksu mengajarkan tatakrama yang benar kepada anak- anak di sekolah-sekolah kuil, di samping pelajaran membaca dan menulis. Mereka juga menampung anak-anak yatim-piatu serta orang-orang jompo yang tidak punya sanak keluarga lagi. Sebagai imbalan jasa, kami memberikan derma kepada bhiksu-bhiksu itu, dan anak-anak kami yang menginjak masa remaja kami kirimkan ke kuil untuk menjadi bhiksu selama paling tidak beberapa waktu. Sistem itu tidak sempurna, tapi berjalan dengan lancar. Tidak ada yang kekurangan makan. Masyarakat Kamboja dulu kokoh. Dari generasi ke generasi, kami selalu mematuhi adat kebiasaan kami, sampai segala-galanya berakhir tahun 1975, karena dihapuskan secara paksa oleh kaum komunis. Kami kehilangan segala-galanya: sanak keluarga, bhiksu-bhiksu kami, desa-desa kami, tanah kami, segala harta milik kami. Segala-galanya. Ketika kami tiba di Amerika Serikat, kami tidak bisa memulai kembali kehidupan kami yang lama. Bahkan serpih-serpihannya saja tidak lagi kami miliki.

Di Thailand, seorang Kamboja yang cerdas pasti mampu menebak makna beberapa kata yang tertulis pada salah satu papan penunjuk jalan. Ia juga pasti bisa memahami sebagian dari percakapan
an yang berlangsung dalam bahasa Thai. Hal itu disebabkan karena bahasa dan tulisan Thai, mirip dengan bahasa dan tulisan Khmer. Tapi di Amerika Serikat? Bahasanya berbeda total. Tidak bisa memahami tulisan yang tertera di papan penunjuk jalan, tidak bisa berbicara dengan orang lain, atau memahami apa yang dipercakapkan dalam acara-acara siaran TV, kesemuanya itu mengakibatkan orang-orang Kamboja pada umumnya merasa dirinya terasing, dan itu semakin menambah parah kemurungan hatinya.

Di Amerika, hampir segala-galanya menjadi lain. Orang-orang yang dulunya pedagang dan perwira yang kaya semasa rezim Lon Nol, kini hidup dari tunjangan. Mereka tidak mau menerima pekerjaan berkedudukan rendah yang ada, seperti menjadi sopir taksi atau bekerja di toko serba ada, karena tidak ingin kehilangan muka di kalangan teman-teman mereka. Orang-orang yang dulu gagah berani dalam pertempuran, kini berubah menjadi penakut, takut kepada orang-rang berkulit hitam dan orang-orang yang berbahasa ibu Spanyol, yang berkeliaran di jalan- jalan. Kalau pergi ke toko swalayan, di sana mereka hanya melihat hal-hal yang di Kamboja dulu lebih baik: sayuran-sayuran yang tidak sesegar di Kamboja, buah-buahan daerah tropik hanya sedikit, dan tidak ada tawar-menawar harga. Mereka melihat bahwa banyak segi kehidupan sehari-hari di Amerika bersifat impersonal. Berbelanja di toko-toko swalayan. Mengendarai mobil di jalan-jalan bebas hambatan. Menonton TV. Orang bisa sampai berhari-hari tidak berbicara dengan siapa pun juga.

Aku sendiri juga merindukan Kamboja. Aku merindukan makanannya, tawar-menawar, dan obrolan di pasar. Bersembahyang di kuil, berjalan-jalan menyusur jalan besar, menghirup hawa petang yang hangat dan tenang. Dan yang paling utama, aku rindu pada Huoy. Tapi banyak pula kulihat hal yang baik di Amerika. Misalnya di segi kebersihan. Amerika jauh lebih bersih daripada Kamboja. Lalat tidak sebanyak di sana. Air ledeng bisa langsung diminum dengan aman. Penduduknya lebih terpelajar. Ngim juga menyukai Amerika. Prestasinya di sekolah sangat baik. Teman- teman sekelasnya merasa kesulitan melafalkan namanya; kami lantas memilih nama baru untuknya: "Sophia". Itu nama Barat, tapi juga Timur dan dikenal dalam kebudayaan Kamboja, lewat bahasa Sanskerta.

Aku sudah punya pekerjaan, mobil, dan seorang keponakan yang sudah kuanggap anak sendiri. Kehidupan kami nyaman. Tidak perlu khawatir bahwa ada chhlop yang memata-matai, atau serdadu-serdadu yang datang untuk mengikat lalu menggiring aku pergi. Saat bangun pagi, aku tidak merasa ketakutan. Aku merasa pasti bahwa aku akan terus hidup hari itu, minggu itu, bahkan sampai sekian tahun yang akan datang.

Sekali, ketika aku sedang mengendarai VW-ku dan harus berhenti sebentar karena lampu lalu
lintas sedang menyala merah, aku melihat seekor anjing yang dituntun tuannya dengan tali. Orang itu berhenti sebentar untuk menepuk-nepuk anjingnya, sementara anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya. Aku lantas teringat kata-kataku lagi yang kuucapkan kepada Huoy, tentang anjing di Amerika yang lebih enak hidupnya ketimbang orang-orang di garis depan. Kata-kataku waktu itu ternyata memang benar: anjing-anjing di Amerika memang lebih enak hidupnya.

*********

Sampai dengan bulan Maret 1982, sudah satu setengah tahun aku hidup di Amerika. Selama itu, pada umumnya aku bergaul dengan orang-orang yang juga berasal dari Kamboja. Lewat pekerjaanku, aku menolong kaum pengungsi menyesuaikan diri dengan kehidupan mereka yang baru, dan secara tidak langsung hal itu membantu kepulihan mereka dari trauma kehidupan mereka yang lama. Tapi kami tidak banyak berbicara tentang hal-hal yang terjadi di bawah rezim Khmer Merah. Kenang-kenangan lama kami pendam di dalam hati kami.

Suatu hari, masih bulan Maret itu juga, dua orang kenalanku mendatangi aku di tempat kerjaku. Mereka adalah Sisowath Sourirath, seorang bangsawan rendah yang masih berkerabat dengan keluarga kerajaan Kamboja, dan Jean Fernandez, adik seorang jenderal dari rezim LonNol. Jean Fernandez mencari nafkah sebagai tenaga pemasaran asuransi jiwa. Sisowath bekerja di Catholic Welfare Bureau, Biro Kesejahteraan Katolik, di Long Beach. Penghasilan mereka lumayan, tapi tidak ada artinya jika dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaan mereka di Kamboja dulu. Sisowath pernah membantu aku mengisi formulir pendaftaran untuk membeli satu seri buku ensiklopedi secara mencicil; tapi perusahaan penerbit ensiklopedi itu menolak permohonanku, karena aku dinilai tidak laik kredit. Ketika Sisowath dan Jean mampir di tempat kerjaku hari itu mereka mengatakan bahwa mereka sedang mengajukan lamaran untuk mendapat peran dalam sebuah film tentang Kamboja yang akan dibuat di Hollywood. Mereka menyarankan agar aku juga ikut melamar. Ajakan itu kutolak.

Mereka masih berusaha membangkitkan minatku, tapi aku tidak begitu memperhatikan omongan mereka. Aku harus membantu para klien yang terus berdatangan, mencarikan mereka pekerjaan. Para klienku itu orang-orang yang nyata ada di hadapanku, dengan masalah-masalah yang juga nyata; aku tidak punya waktu untuk berangan-angan.

Tapi desas-desus tentang film yang akan dibuat itu menyebar di kalangan masyarakat Kamboja yang tinggal di Los Angeles dan di Long Beach. Semua sudah mendengar mengenainya. Banyak di antara mereka yang mengangan-angankan ikut bermain dalam sebuah film Hollywood, dan banyak pula yang mengajukan lamaran. Kurasa bagi mereka itulah Amerika yang sebenarnya, uang berlimpah-ruah dan kesempatan emas yang mereka bayang-bayangkan semasa masih berada di tempat-tempat penampungan di Thailand. Aku bisa menebak jalan pikiran mereka. Semua yang mengajukan lamaran unruk mendapat peran dalam film itu, dalam lubuk hatinya sudah membayangkan akan menjadi bintang film dan dengan cepat menjadi kaya-raya. Mereka ingin melupakan kenyataan Amerika yang lainnya -bekerja secara teratur sebagai penerima upah agar bisa membayar sewa apartemen, membeli bahan pangan dan bensin, tanpa pernah ada peluang meningkatkan karier, atau kalaupun bisa maju, hanya dengan pelan-pelan.

Aku tidak mau berurusan dengan main film. Di Kamboja, aktor merupakan profesi dengan penghasilan rendah, tanpa kedudukan yang bisa dianggap patut. Aku dulu dokter. Aku pernah memiliki Mercedes, dan mitra pemilik sebuah klinik. Kini aku memang bukan dokter lagi, dan aku juga tidak kaya, tapi semua orang tahu aku ini dulunya apa. Tidak ada perlunya bagiku merendahkan kedudukanku, melakukan pekerjaan sebagai aktor yang statusnya rendah.

Kemudian aku diundang beberapa orang Kamboja yang tinggal di Oxnard, sebuah kota yang terletak di pesisir di sebelah utara Los Angeles, untuk menghadiri pesta pemikahan di sana. Aku sebenarnya tidak ingin pergi. Dengan mobil lewatjalan bebas hambatan, aku memerlukan waktu satu jam dua puluh menit sekali jalan. Belum lagi uang yang harus kukeluarkan untuk membeli bensin. Tapi akhirnya aku berangkat juga. Sepanjang jalan hujan turun terus. Ketika aku sampai di tempat pesta diadakan, aku disambut oleh Jean Fernandez dan teman-temanku yang lain. Tamu di pesta itu sebagian terbesar orang Kamboja. Salah seorang yang merupakan kekecualian paling mencolok adalah seorang wanita Amerika berkulit hitam, yang mengatakan bahwa namanya Pat Golden, dari studio film yang akan membuat film itu. Ia meminta kesediaanku difoto, sambil menanyakan nama dan alamatku. Tapi saat itu tamu-tamu sedang asyik menarikan romvong yang lemah gemulai, diiringi musik hidup. Aku kepingin ikut menari, karena sudah lama tidak melakukannya. Karenanya kutolak permintaan Pat Golden itu.

Tapi wanita itu ternyata pantang mundur. Setiap kali aku selesai menari, ia datang lagi menghampiri. Ia sudah memotret Jean Fernandez. Hampir semuanya yang ada di situ sudah dipotretnya. Seorang lelaki tua yang sudah mabuk mendorong aku ke depan sambil mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, karena aku takkan diharuskan membayar apa-apa nanti.

Kukatakan kepada Pat Golden bahwa aku datang itu untuk bersenang-senang, dan karena itu kuminta agar aku jangan diganggu terus.

"Tenang sajalah," kata wanita itu sambil menepuk-nepuk bahuku. Ia mengenakan pakaian santai, celana panjang jeans dan kemeja putih; tapi di tubuhnya, busana itu nampak apik. Suaranya berat dan agak serak. Gigi depannya agak jarang, dan penampilannya tegas dan yakin. Ia mengatakan, tidak ada formulir yang perlu diisi. Ia hanya menginginkan fotoku serta nomor telepon di mana aku bisa dihubungi.

Akhirnya aku berkata, "Oke. Anda boleh memotret aku, jika aku nanti diberi selembar, sebagai kenang-kenangan."

Di ruang tamu banyak orang. Aku disuruhnya berdiri di ruang masuk, di depan pintu kamar kecil. Dimintanya aku membuka kacamataku, lalu dipotretnya aku dengan kamera Polaroid. Kemudian dipotretnya sekali lagi, dan hasilnya disodorkannya kepadaku. Aku menunggu sampai tampangku muncul di kertas foto mengkilat itu. Aku melihat tampangku sendiri, tanpa kacamata. Tidak bisa dibilang tampan, tidak muda lagi, jelas tidak bisa dibilang tampang bintang film.

Dua minggu berlalu, kemudian sebulan, dua bulan, tiga bulan, tanpa aku pernah mendengar apa-apa lagi dari Pat Golden.

Sekitar empat bulan kemudian aku dihubunginya lewat telepon. Ia menanyakan kesediaanku diwawancarai di suatu tempat yang jauhnya sekitar empat puluh mil dari tempat tinggalku. Aku mengatakan bisa. Tapi aku sebetulnya tidak berniat. Aku sudah mendengar dari kawan-kawanku bahwa Pat Golden juga menghubungi sejumlah orang Kamboja lainnya. Mereka datang dari San Diego, Santa Ana, Los Angeles dan Long Beach untuk diwawancarai. Tapi aku tidak muncul di sana.

Keesokan paginya Pat Golden menelepon aku lagi, di kantorku. la bertanya kenapa aku tidak datang. Kujawab: "Sorry, aku sedang sibuk." Setelah diam sebentar, aku merasa bahwa lebih baik aku berterus terang saja. Kukatakan bahwa aku tidak mau pergi karena kurasa aku takkan mendapat pekerjaan itu. Ia membalas, "Kami belum mengambil keputusan. Datang sajalah." Ia tetap berkeras meminta aku datang.

Ia mengatakan ingin mewawancarai aku hari itu juga di Long Beach, dua puluh lima mil dari tempat tinggalku. "Bagaimana kalau pukul lima sore?" katanya. "Tidak bisa, karena waktu kerjaku seperti di kantor-kantor yang biasa." Jadi sampai pukul lima. "Pukul enam?" katanya lagi. "Tidak bisa," jawabku, "karena saat itu jalan bebas hambatan ke Long Beach penuh sesak. Bagaimana kalau pukul tujuh saja?"

Aku tiba pukul delapan malam di tempat itu. Pat Golden masih menunggu. Aku minta maaf dan mengatakan bahwa aku hari itu sangat sibuk. Pat Golden tidak mengomel. Ia mau menerima alasanku dan tetap bersikap sopan -seperti orang Kamboja. Wanita itu sangat cerdas, dan sedikit banyak tahu tentang kebudayaan kami. Ia tahu bahwa jika ia marah padaku, itu akan kujadikan alasan untuk pergi lagi.

Beberapa orang Kamboja sudah lebih dulu ada di situ. Pat Golden mewawancarai seorang wanita, anak Long Boret yang menjadi perdana menteri dalam rezim Lon Nol ketika Khmer Merah merebut kekuasaan. Akhirnya aku dipanggilnya masuk.

Ia berkata, "Okay, Haing, seandainya Anda sedang bersama beberapa orang Amerika dan Anda harus berusaha membuat orang-orang Khmer Merah percaya bahwa teman-teman Anda itu bukan orang Amerika, bagaimana Anda akan melakukannya?"

Aku melakukan improvisasi, memperagakan adegan itu di depannya.

Ketika aku selesai, ia mengatakan, "Thanks. Dalam seminggu ini Anda akan kuberi kabar."

"Aku tidak percaya," kataku. "Jika Anda mengatakan satu minggu, mungkin jadinya satu bulan setengah."

"Tidak, sekali ini aku serius," katanya. Dan seminggu kemudian ia menelepon aku lagi, memintaku datang untuk diwawancarai sekali lagi. Sekali ini di sebuah studio film, di Burbank.

Setelah itu menyusul wawancara yang ketiga, juga di studio yang di Burbank. Jumlah orang Kamboja yang diminta semakin menyusut.

Seorang Inggris yang masih muda dan berjenggot ikut hadir dalam wawancara keempat. Namanya Roland Joffe. Dialah yang akan menyutradarai pembuatan film itu. Roland Joffe menanyakan pengalaman hidupku -berapa lamaaku hidup di bawah rezim Khmer Merah, apa yang terjadi ketika aku ditangkap, bagaimana aku bisa sampai di tempat penampungan pengungsi di Thailand. Aku berbicara selama satu jam. Roland Joffe mendengarkan dengan saksama, sambil mengamat- amati diriku dengan matanya yang biru.

Ia ada lagi pada kesempatan wawancara yang kelima. Sekali ini ia membawa kamera video, untuk merekam screen test. Ia memaparkan suatu situasi rekaannya sendiri: seorang dokter berbangsa Kamboja sangat menyukai seorang perawat yang berkebangsaan Amerika. Malam sebelumnya ada pengumuman lewat radio bahwa semua orang asing harus meninggalkan Kamboja. Bagaimanakah menurut bayanganku cara dokter itu memberitahukan kepada perawat itu bahwa ia harus pergi dari Kamboja, demi keselamatannya sendiri?

Peranan perawat Amerika dimainkan oleh Pat Golden.

Aku menjadi dokter yang orang Kamboja.

Setelah itu Roland Joffe menggambarkan situasi lain. Wanita Amerika itu merasa yakin bahwa ia takkan diapa-apakan oleh Khmer Merah, karena ia orang asing; tapi menurut pendapatnya, mereka pasti akan membunuh aku. Bagaimana caraku menjelaskan kepada perawat itu bahwa Kamboja tanah airku, dan aku akan tetap tinggal walau betapa besarnya risiko yang harus kuhadapi?

Kuperankan situasi itu, dengan Pat Golden sebagai perawat.

Roland Joffe semakin mendekatkan kamera videonya. Tapi aku tidak menjadi gugup karenanya. Aku menyadari bahwa aku dengan sepenuh hati mengisi peran itu dan meyakini kata-kata yang kuucapkan kepada Pat Golden, kamera itu tidak perlu kupedulikan.

"Sekarang," kata Roland Joffe kepadaku, "Anda sudah berada di pelabuhan udara, mengantar wanita Amerika itu yang akhirnya mau juga pergi. Apa kata-kata yang Anda ucapkan sebagai perpisahan, sebelum dia berangkat?"

"Anda harus pergi sekarang ini juga," kataku kepada Pat Golden. "Anda harus mau mendengar kataku. Situasinya saat ini sangat sulit. Anda orang asing. Khmer Merah tidak suka pada kalian. Bagiku, tidak ada masalah. Aku orang Kamboja." Aku menangis sambit menyandarkan kepala ke bahu Pat, lalu sambit mengusap air mata kukatakan berulang kali bahwa ia harus pergi dan aku pasti akan merasa kehilangan nanti.

Ketika aku selesai memainkan adegan itu, mereka menyilakan aku pergi sambit mengucapkan terima kasih.

Dalam wawancara keenam, aku tampil lagi di depan kamera. Roland menggelar adegan lain, di mana Pat Golden menjadi istriku, orang Kamboja. Aku harus memintanya agar mau pergi, karena Khmer Merah bermaksud membunuhi semua orang. Aku memainkan peranan itu dan sekali lagi aku menangis, tapi sekali ini aku sulit berhenti lagi.

Begitu adegan itu selesai, aku disuruh Roland Joffe memainkan peranan berikut. Semua adegan itu mengundang kesedihan, kecuali yang penghabisan. Di dalamnya aku menjadi dokter lagi. Seorang pasienku sudah hampir mati. Aku melakukan pembedahan terhadapnya. Aku berusaha sekuat tenaga menyelamatkan orang itu, dan meski peluangnya kecil sekali, aku teryata berhasil. Apakah yang kulakukan ketika mendengar kabar bahwa pasienku itu selamat? Apa kata-kataku?

Aku memainkan adegan itu untuknya.

Kemudian Joffe mengatakan bahwa ia akan memberi kabar, tapi ia tidak bisa mengatakan kapan tepatnya.

Aku kembali menekuni pekerjaanku, dan berusaha menyingkirkan pikiran tentang tes yang sudah kujalani. Tujuh ribu orang Kamboja melamar untuk diikutsertakan dalam pembuatan film itu.

Tiga bulan kemudian barulah Pat menelepon lagi, dari New York. Ia ingin mengetahui jenis paspor atau visa yang kumiliki. Kukatakan bahwa aku memegang kartu penduduk bangsa asing, dengan foto dan cap jempol. Ia bertanya apakah akan ada masalah jika aku harus ikut dengan rombongan pembuat film itu ke Thailand. Kujawab bahwa itu tidak akan menimbulkan masalah bagiku, juga tidak bagi keponakanku.

Beberapa minggu kemudian Pat menelepon lagi. Berapa gajiku di Chinatown Service Center? Empat ratus dollar seminggu, jawabku. Ia berkata, bagaimana jika ia membayar aku delapan ratus dollar seminggu?

Tidak ada masalah, kataku.

Kemudian ia menelepon sekali lagi dengan pertanyaan-pertanyaan terinci mengenai visaku. Lalu ia menyambung, "Bagaimana kalau seribu dollar seminggu?"

"Soal uang jangan dipikirkan," kataku. "Beri saja berapa Anda mau. Aku hanya menginginkan pekerjaan itu."

Dan itu memang benar. Pikiranku sementara itu sudah berubah. Aku berpendapat, jika aku bisa tampil dalam film itu, sebagai apa pun juga, aku akan bisa ikut membantu menceritakan kisah tentang Kamboja. Dan itu penting bagiku, karena tidak ada orang yang benar-benar mengetahuinya secara mendalam. Kebanyakan orang Amerika bahkan tidak tahu di mana letak Kamboja. Tentang Vietnam mereka sudah tahu, tapi tentang Kamboja, tidak. Di Los Angeles pun, orang-orang Asia yang bukan Kamboja tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian di bawah rezim Khmer Merah. Jika itu kuceritakan kepada mereka, mereka hanya mengangguk-angguk berlagak percaya, agar aku tidak merasa malu.

Pada hakikatnya, alasan kenapa aku sebelumnya tidak mau ikut berperan dalam film itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kekhawatiran akan kehilangan muka, atau tidak ditawari peranan, atau nanti merasa kikuk jika sudahberdiri di depan kamera. Sama sekali bukan itu alasannya! Aku semula tidak mau, karena tidak ingin membangkitkan kembali rasa penderitaanku yang dulu. Tanpa itu pun aku sudah selalu terkenang kembali.

Sejak tiba di Amerika Serikat, aku selalu diganggu mimpi buruk. Jika saat siang aku terlalu banyak mengingat-ingat segala hal yang sudah berlalu, malamnya aku pasti bermimpi. Aku berulang kali bermimpi tentang Huoy, yang meninggal dalam pelukanku. Aku melihat ayahku terikat ke pohon dan mencoba mengatakan sesuatu kepadaku, tapi tidak berani membuka mulut.

Bunyi air menetes dari keran saja sudah cukup untuk membuat aku bermimpi buruk lagi. Aku kembali berada dalam penjara, menatap air yang tidak henti-hentinya menetes dari sebuah lubang di dasar ember.

Hampir setiap malam aku tiba-tiba terbangun dan langsung duduk, agar mimpi buruk itu lenyap. Di balik kisi-kisi jendela, sinar lampu jalan di luar menerangi permukaan lorong yang keras dan memantul balik dari permukaan logam dan kaca mobil-mobil yang diparkir di situ. Di Los Angeles selalu terdengar latar belakang samar bunyi lalu lintas kendaraan di jalan-jalan yang jauh dari tempat tinggalku, sekali-sekali ditimpali suara sirene atau bunyi klakson mobil. Saat-saat seperti itu aku semakin merasa diriku terasing, dihinggapi perasaan sangsi apakah Amerika benar- benar lebih baik daripada segala-galanya yangsudah kutinggalkan, karena aku udak benar-benar sudah meninggalkan segala-galanya itu, dan aku tidak bisa menikmati yang terbaik dari Amerika. Karenanya aku memutuskan untuk kembali ke tempat-tempat penampungan pengungsi dan mengadakan konfrontasi dengan masa silamku di sana. Aku harus berusaha menyingkirkan mimpi burukku.

Sebelum kami berangkat menuju Thailand, semua orang Kamboja yang terpilih untuk ikut berperan dalam film itu berkumpul dan mengadakan pesta. Pat Golden ikut hadir di situ. Orang-orang Kamboja yang lain, semuanya tahu peranan apa yang akan mereka mainkan nanti. Tapi ketika aku bertanya tentang perananku nanti kepada Pat, ia hanya mengatakan bahwa aku tidak usah khawatir mengenainya, dan aku nanti tidak perlu menghafal perananku. Dari situ aku menarik kesimpulan bahwa perananku nanti pasti kecil sekali. Orang-orang Kamboja yang selebihnya mulai mengganggu. Mereka mengatakan bahwa aku akan diberi peran pembantu utama. Aku tertawa saja sambil mengatakan bahwa mereka jangan mau percaya.

Ketika kami sudah berada di Thailand, padaku disodorkan berkas naskah adegan-adegan yang nanti harus kami perankan. Tapi aku masih juga belum diberi tahu, peranan mana yang nanti harus kupegang. Lalu ketika Roland Joffe memanggil kami untuk latihan, saat itu barulah akutahubahwa aku harus memainkan peranan sebagai Dith Pran.

"Ya, Tuhan," kataku pada diriku sendiri sambil menepuk kening. "Besar sekali perananku."

1 komentar: