Bab 39. Mulai Lagi Dari Bawah
DI AMERIKA, aku tidak pernah merasa hidupku terancam; aku tidak pernah
takut akan mati kelaparan. Kenyataan bahwa uangku tinggal empat dollar, tidak
menyebabkan aku lantas merasa cemas.
Benarlah, ketika aku dan Ngim sudah pindah ke apartemen kami yang kecil, keesokan paginya dua orang Kamboja muncul di depan
pintu, seorang
lelaki
dan seorang
wanita. Wanita itu pernah menjadi pasienku,
ketika maslh di Thailand. Kini ia membawa suaminya, yang baru sekali itu kulihat. Kedua orang yang baik hati itu mengajak kami makan-makan
di luar, lalu dibawa berkeliling melihat-lihat kota Los Angeles. Dengan uang yang mereka pinjamkan, aku membeli bahan pangan dan beras di sebuah toko di Chinatown. Aku membeli mangkuk-mangkuk, panci-panci, dan sumpit untuk makan di pasar loak.
Kami takkan pernah
mengalami kekurangan.
Itu
kuyakini.Karena kini tempat tinggal dan bahan panganuntuk persediaan sudah tersedia, persoalan selanjutnya adalah memilih cara mencari
nafkah. Aku ingin
membuka
praktek sebagai
dokter.
Tapi sebelum
bisa
mendapat izin praktek, terlebih dulu aku harus lulus ujian kemahiran bahasa
Inggris, dan kemungkinannya harus duduk di bangku kuliah lagi untuk mengikuti
kursus-kursus penyegar, dan setelah itu diuji pengetahuanku sebagai dokter. Aku mau saja melakukannya, tapi itu
takkan menyelesaikan masalah biaya hidupku bersama Ngim selama itu. Aku bisa juga mengajukan permohonan
tunjangan pengangguran; dengan jalan begitu aku akan mendapat $214 sebulan ditambah sedikit lagi untuk Ngim. Tapi itu rasanya takkan mencukupi. Karenanya
kutangguhkan
dulu
kembali ke bangku kuliah, dan kuputuskan untuk mencari pekerjaan.
Pekerjaan yang paling dulu kuperoleh adalah sebagai penjaga malam pada sebuah perusahaan di luar Chinatown. Sambil mencari-cari
pekerjaan yang lebih baik, aku mengikuti kursus ESL (English as a Second Language, jadi: Bahasa Inggris untuk Orang Asing) di Evans Community College, hanya beberapa blok saja dari tempat tinggalku. Aku
agak mengalami kesulitan dengan
bahasa
Inggris
Amerika. Tapi Ngim, yang kumasukkan ke sekolah dasar, bisa
menguasainya dengan lebih cepat.
Bulan November 1980 aku berpindah tempat kerja. Aku menjadi petugas
pengelola kasus di Chinatown Service
Center,
yang tempatnya
dekat dengan
apartemenku; aku blsa berjalan kaki kesana. Kantorku, yang disebut Bagian
Indocina,menyelenggarakan pelayanan bagi kaum pengungsi, berupa pengusahaan
penempatan kerja secara cuma-cuma. Sekitar setengah dari klien kami orang
Vietnam, sepertiga lagi orang Kamboja, dan sisanya orang Laos. Pada umumnya akutidak
mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan mereka. Jika tidak bisa dengan
bahasa Khmer atau Teochiew, kami mencoba lewat bahasa Perancis, atau Mandarin,
atau Inggris, dan bahkan bahasa Thai. Umumnya kami bisa memahami hal-hal yang
pokok, kalau perlu dengan dibantu rekan-rekan kerjaku di situ.
Pekerjaan sebagai petugas
pengelola kasus terasa memuaskan bagiku. Di segi martabat dan juga uang, memang
tidak bisa dibandingkan dengan dokter; tapi dengan begitu aku bisa menolong
para pengungsi, dan memang itulah yang kukehendaki. Aku berperan sebagai juru
bahasa untuk para klienku dalam urusan dengan pihak pemilik tempat tinggal
mereka. Aku membantu mengisikan formulir-formulir lamaran, memasukkan anak-
anak mereka ke sekolah, mengatur pendaftaran orang-orang dewasa yang ingin
mengikuti kursus ESL, menjelaskan cara membayar rekening telepon, dan
mencarikan informasi mengenai sanak keluarga di tempat-tempat penampungan
pengungsi di Thailand. Ketika pengalamanku sudah bertambah, aku disuruh membeli
mobil. Dengan Volkswagen-ku yang baru kuantarkan para klienku ke segala pelosok
kota Los Angeles: ke rumah sakit, ke kantor yang mengurus tunjangan,ke
perusahaan-perusahaan yang mencari tenaga kerja.
Perhatian yang paling
utama ditujukan kepada kesempatan kerja, Sebagai pengungsi, kami harus mulai
lagi dari bawah dan menerima pekerjaan apa saja yang tersedia. Dengan
bantuanku, para klienku mendapat pekerjaan sebagai pencuci piring, pelayan,
tukang masak, tenaga pembersih, pekerja taman, buruh kasar, buruh pabrik
elektronik, penyortir nomor pengenal alamat, pengasuh anak-anak, pokoknya
bermacam-macam jenis pekerjaan kasar. Beberapa orang yang pendidikannyalebih
tinggi mendapat pekerjaan sebagai sekretaris dan kasir di bank. Kami tidak
begitu mempedulikan tinggi-rendahnya upah. Pokoknya mendapat pekerjaan, dan
sesudah itu baru berusaha meningkatkan penghasilan.
Waktu itu di dalam kawasan
Chinatown dan di sekitarnya ada enam sampai tujuh ribu orang Kamboja. Orang
Vietnam juga kurang-Iebih sama banyaknya. Orang-orang Vietnam pada umumnya bisa
menyesuaikan diri dengan baik dan karenanya lebih cepat menanjak kariernya
dibandingkan dengan orang Kamboja yang pemalu dan bersikap menerima. Seringkali
mereka tidak muncul jika harus diwawancarai untuk mendapat pekerjaan yang sudah
kuusahakan bagi mereka. Orang-orang takut kehilangan muka karena tidak begitu
bisa berbahasa Inggris. Mereka takutmengambil risiko. Dalam kehidupan pribadi,
mereka tidak berbahagia. Pertengkaran, mabuk-mabukan, pemukulan istri, begitu
pula perceraian, merupakan masalah yang umum dijumpai di kalangan
keluarga-keluarga Kamboja.
Jelas bagiku bahwa di
kalangan pengungsi dari Kamboja tersebar luas masalah kejiwaan. Aku
memahaminya, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Kami semua mengalami
guncangan jiwa karena pengalaman-pengalaman kami yang lalu. Kami semua
kehilangan sanak keluarga: orangtua, saudara-saudara, atau anak-anak. Banyak
dari kami yang setiap malam dihantui mimpi seram. Kami merasa terasing dan
murung, merasa tidak bisa mempercayai siapa pun juga. Dan yang lebih menambah
parah situasi yang dihadapi, kami berada di tengah-tengah kebudayaan yang sama
sekali berbeda dari kebudayaan kami.
Di Kamboja, suatu gaya
hidup berkembang dengan lambat selama berabad-abad. Gaya hidup itu jauh lebih
sederhana ketimbang yang ada di Amerika, dan itulah antara lain yang
menyebabkan kenapa gaya hidup itu terasa begitu indah. Di Kamboja, kami tidak
mengenal tunjangan pengangguran atau asuransi sosial. Di sana tidak ada tempat
penitipan anak-anak kecil, tempat penampungan orang jompo, dan juga tidak ada
psikiater. Semuanya itu tidak kami perlukan. Kami hanya memerlukan keluarga
kami, dan para bhiksu. Di kebanyakan rumah tangga, tiga generasi hidup di bawah
satu atap. Kakek dan nenek membantumengasuh cucu-cucu mereka. Orang-orang
dewasa yang merupakan generasi kedua pergi mencari nafkah, agar ada makanan di
atas meja. Jika ada permasalahan atau pertengkaran, para bhiksu turun tangan
untuk menengahi. Para bhiksu mengajarkan tatakrama yang benar kepada anak- anak
di sekolah-sekolah kuil, di samping pelajaran membaca dan menulis. Mereka juga
menampung anak-anak yatim-piatu serta orang-orang jompo yang tidak punya sanak
keluarga lagi. Sebagai imbalan jasa, kami memberikan derma kepada bhiksu-bhiksu
itu, dan anak-anak kami yang menginjak masa remaja kami kirimkan ke kuil untuk
menjadi bhiksu selama paling tidak beberapa waktu. Sistem itu tidak sempurna,
tapi berjalan dengan lancar. Tidak ada yang kekurangan makan. Masyarakat
Kamboja dulu kokoh. Dari generasi ke generasi, kami selalu mematuhi adat
kebiasaan kami, sampai segala-galanya berakhir tahun 1975, karena dihapuskan
secara paksa oleh kaum komunis. Kami kehilangan segala-galanya: sanak keluarga,
bhiksu-bhiksu kami, desa-desa kami, tanah kami, segala harta milik kami.
Segala-galanya. Ketika kami tiba di Amerika Serikat, kami tidak bisa memulai
kembali kehidupan kami yang lama. Bahkan serpih-serpihannya saja tidak lagi
kami miliki.
Di Thailand, seorang
Kamboja yang cerdas pasti mampu menebak makna beberapa kata yang tertulis pada salah
satu papan penunjuk jalan. Ia juga pasti bisa memahami sebagian dari percakapan
an yang berlangsung dalam bahasa Thai. Hal itu disebabkan karena bahasa dan tulisan Thai, mirip dengan bahasa dan tulisan Khmer. Tapi di Amerika Serikat? Bahasanya berbeda total. Tidak bisa memahami tulisan yang tertera di papan penunjuk jalan, tidak bisa berbicara dengan orang lain, atau memahami apa yang dipercakapkan dalam acara-acara siaran TV, kesemuanya itu mengakibatkan orang-orang Kamboja pada umumnya merasa dirinya terasing, dan itu semakin menambah parah kemurungan hatinya.
an yang berlangsung dalam bahasa Thai. Hal itu disebabkan karena bahasa dan tulisan Thai, mirip dengan bahasa dan tulisan Khmer. Tapi di Amerika Serikat? Bahasanya berbeda total. Tidak bisa memahami tulisan yang tertera di papan penunjuk jalan, tidak bisa berbicara dengan orang lain, atau memahami apa yang dipercakapkan dalam acara-acara siaran TV, kesemuanya itu mengakibatkan orang-orang Kamboja pada umumnya merasa dirinya terasing, dan itu semakin menambah parah kemurungan hatinya.
Di Amerika, hampir
segala-galanya menjadi lain. Orang-orang yang dulunya pedagang dan perwira yang
kaya semasa rezim Lon Nol, kini hidup dari tunjangan. Mereka tidak mau menerima
pekerjaan berkedudukan rendah yang ada, seperti menjadi sopir taksi atau
bekerja di toko serba ada, karena tidak ingin kehilangan muka di kalangan
teman-teman mereka. Orang-orang yang dulu gagah berani dalam pertempuran, kini
berubah menjadi penakut, takut kepada orang-rang berkulit hitam dan orang-orang
yang berbahasa ibu Spanyol, yang berkeliaran di jalan- jalan. Kalau pergi ke
toko swalayan, di sana mereka hanya melihat hal-hal yang di Kamboja dulu lebih
baik: sayuran-sayuran yang tidak sesegar di Kamboja, buah-buahan daerah tropik
hanya sedikit, dan tidak ada tawar-menawar harga. Mereka melihat bahwa banyak
segi kehidupan sehari-hari di Amerika bersifat impersonal. Berbelanja di
toko-toko swalayan. Mengendarai mobil di jalan-jalan bebas hambatan. Menonton
TV. Orang bisa sampai berhari-hari tidak berbicara dengan siapa pun juga.
Aku sendiri juga
merindukan Kamboja. Aku merindukan makanannya, tawar-menawar, dan obrolan di
pasar. Bersembahyang di kuil, berjalan-jalan menyusur jalan besar, menghirup
hawa petang yang hangat dan tenang. Dan yang paling utama, aku rindu pada Huoy.
Tapi banyak pula kulihat hal yang baik di Amerika. Misalnya di segi kebersihan.
Amerika jauh lebih bersih daripada Kamboja. Lalat tidak sebanyak di sana. Air
ledeng bisa langsung diminum dengan aman. Penduduknya lebih terpelajar. Ngim
juga menyukai Amerika. Prestasinya di sekolah sangat baik. Teman- teman
sekelasnya merasa kesulitan melafalkan namanya; kami lantas memilih nama baru
untuknya: "Sophia". Itu nama Barat, tapi juga Timur dan dikenal dalam
kebudayaan Kamboja, lewat bahasa Sanskerta.
Aku sudah punya pekerjaan,
mobil, dan seorang keponakan yang sudah kuanggap anak sendiri. Kehidupan kami
nyaman. Tidak perlu khawatir bahwa ada chhlop yang memata-matai, atau
serdadu-serdadu yang datang untuk mengikat lalu menggiring aku pergi. Saat
bangun pagi, aku tidak merasa ketakutan. Aku merasa pasti bahwa aku akan terus
hidup hari itu, minggu itu, bahkan sampai sekian tahun yang akan datang.
Sekali, ketika aku sedang
mengendarai VW-ku dan harus berhenti sebentar karena lampu lalu
lintas sedang menyala merah, aku melihat seekor anjing yang dituntun tuannya dengan tali. Orang itu berhenti sebentar untuk menepuk-nepuk anjingnya, sementara anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya. Aku lantas teringat kata-kataku lagi yang kuucapkan kepada Huoy, tentang anjing di Amerika yang lebih enak hidupnya ketimbang orang-orang di garis depan. Kata-kataku waktu itu ternyata memang benar: anjing-anjing di Amerika memang lebih enak hidupnya.
lintas sedang menyala merah, aku melihat seekor anjing yang dituntun tuannya dengan tali. Orang itu berhenti sebentar untuk menepuk-nepuk anjingnya, sementara anjing itu mengibas-ngibaskan ekornya. Aku lantas teringat kata-kataku lagi yang kuucapkan kepada Huoy, tentang anjing di Amerika yang lebih enak hidupnya ketimbang orang-orang di garis depan. Kata-kataku waktu itu ternyata memang benar: anjing-anjing di Amerika memang lebih enak hidupnya.
*********
Sampai dengan bulan Maret
1982, sudah satu setengah tahun aku hidup di Amerika. Selama itu, pada umumnya
aku bergaul dengan orang-orang yang juga berasal dari Kamboja. Lewat
pekerjaanku, aku menolong kaum pengungsi menyesuaikan diri dengan kehidupan
mereka yang baru, dan secara tidak langsung hal itu membantu kepulihan mereka
dari trauma kehidupan mereka yang lama. Tapi kami tidak banyak berbicara
tentang hal-hal yang terjadi di bawah rezim Khmer Merah. Kenang-kenangan lama
kami pendam di dalam hati kami.
Suatu hari, masih bulan
Maret itu juga, dua orang kenalanku mendatangi aku di tempat kerjaku. Mereka
adalah Sisowath Sourirath, seorang bangsawan rendah yang masih berkerabat
dengan keluarga kerajaan Kamboja, dan Jean Fernandez, adik seorang jenderal
dari rezim LonNol. Jean Fernandez mencari nafkah sebagai tenaga pemasaran
asuransi jiwa. Sisowath bekerja di Catholic Welfare Bureau, Biro Kesejahteraan
Katolik, di Long Beach. Penghasilan mereka lumayan, tapi tidak ada artinya jika
dibandingkan dengan kedudukan dan kekayaan mereka di Kamboja dulu. Sisowath
pernah membantu aku mengisi formulir pendaftaran untuk membeli satu seri buku
ensiklopedi secara mencicil; tapi perusahaan penerbit ensiklopedi itu menolak
permohonanku, karena aku dinilai tidak laik kredit. Ketika Sisowath dan Jean
mampir di tempat kerjaku hari itu mereka mengatakan bahwa mereka sedang
mengajukan lamaran untuk mendapat peran dalam sebuah film tentang Kamboja yang
akan dibuat di Hollywood. Mereka menyarankan agar aku juga ikut melamar. Ajakan
itu kutolak.
Mereka masih berusaha
membangkitkan minatku, tapi aku tidak begitu memperhatikan omongan mereka. Aku
harus membantu para klien yang terus berdatangan, mencarikan mereka pekerjaan.
Para klienku itu orang-orang yang nyata ada di hadapanku, dengan
masalah-masalah yang juga nyata; aku tidak punya waktu untuk berangan-angan.
Tapi desas-desus tentang
film yang akan dibuat itu menyebar di kalangan masyarakat Kamboja yang tinggal
di Los Angeles dan di Long Beach. Semua sudah mendengar mengenainya. Banyak di
antara mereka yang mengangan-angankan ikut bermain dalam sebuah film Hollywood,
dan banyak pula yang mengajukan
lamaran. Kurasa bagi mereka itulah Amerika yang sebenarnya, uang berlimpah-ruah
dan kesempatan emas yang mereka bayang-bayangkan semasa masih berada di tempat-tempat
penampungan di Thailand. Aku bisa menebak jalan pikiran mereka. Semua yang
mengajukan lamaran unruk mendapat peran dalam film itu, dalam lubuk hatinya
sudah membayangkan akan menjadi bintang film dan dengan cepat menjadi
kaya-raya. Mereka ingin melupakan kenyataan Amerika yang lainnya -bekerja
secara teratur sebagai penerima upah agar bisa membayar sewa apartemen, membeli
bahan pangan dan bensin, tanpa pernah ada peluang meningkatkan karier, atau
kalaupun bisa maju, hanya dengan pelan-pelan.
Aku tidak mau berurusan
dengan main film. Di Kamboja, aktor merupakan profesi dengan penghasilan
rendah, tanpa kedudukan yang bisa dianggap patut. Aku dulu dokter. Aku pernah
memiliki Mercedes, dan mitra pemilik sebuah klinik. Kini aku memang bukan
dokter lagi, dan aku juga tidak kaya, tapi semua orang tahu aku ini dulunya
apa. Tidak ada perlunya bagiku merendahkan kedudukanku, melakukan pekerjaan
sebagai aktor yang statusnya rendah.
Kemudian aku diundang
beberapa orang Kamboja yang tinggal di Oxnard, sebuah kota yang terletak di
pesisir di sebelah utara Los Angeles, untuk menghadiri pesta pemikahan di sana.
Aku sebenarnya tidak ingin pergi. Dengan mobil lewatjalan bebas hambatan, aku
memerlukan waktu satu jam dua puluh menit sekali jalan. Belum lagi uang yang harus
kukeluarkan untuk membeli bensin. Tapi akhirnya aku berangkat juga. Sepanjang
jalan hujan turun terus. Ketika aku sampai di tempat pesta diadakan, aku
disambut oleh Jean Fernandez dan teman-temanku yang lain. Tamu di pesta itu
sebagian terbesar orang Kamboja. Salah seorang yang merupakan kekecualian
paling mencolok adalah seorang wanita Amerika berkulit hitam, yang mengatakan
bahwa namanya Pat Golden, dari studio film yang akan membuat film itu. Ia
meminta kesediaanku difoto, sambil menanyakan nama dan alamatku. Tapi saat itu
tamu-tamu sedang asyik menarikan romvong yang lemah gemulai, diiringi musik
hidup. Aku kepingin ikut menari, karena sudah lama tidak melakukannya.
Karenanya kutolak permintaan Pat Golden itu.
Tapi wanita itu ternyata
pantang mundur. Setiap kali aku selesai menari, ia datang lagi menghampiri. Ia
sudah memotret Jean Fernandez. Hampir semuanya yang ada di situ sudah
dipotretnya. Seorang lelaki tua yang sudah mabuk mendorong aku ke depan sambil
mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, karena aku takkan diharuskan
membayar apa-apa nanti.
Kukatakan kepada Pat
Golden bahwa aku datang itu untuk bersenang-senang, dan karena itu kuminta agar
aku jangan diganggu terus.
"Tenang
sajalah," kata wanita itu sambil menepuk-nepuk bahuku. Ia mengenakan
pakaian santai, celana panjang jeans dan kemeja putih; tapi di tubuhnya, busana
itu nampak apik. Suaranya berat dan agak serak. Gigi depannya agak jarang, dan
penampilannya tegas dan yakin. Ia mengatakan, tidak ada formulir yang perlu
diisi. Ia hanya menginginkan fotoku serta nomor telepon di mana aku bisa
dihubungi.
Akhirnya aku berkata,
"Oke. Anda boleh memotret aku, jika aku nanti diberi selembar, sebagai
kenang-kenangan."
Di ruang tamu banyak
orang. Aku disuruhnya berdiri di ruang masuk, di depan pintu kamar kecil.
Dimintanya aku membuka kacamataku, lalu dipotretnya aku dengan kamera Polaroid.
Kemudian dipotretnya sekali lagi, dan hasilnya disodorkannya kepadaku. Aku
menunggu sampai tampangku muncul di kertas foto mengkilat itu. Aku melihat tampangku
sendiri, tanpa kacamata. Tidak bisa dibilang tampan, tidak muda lagi, jelas
tidak bisa dibilang tampang bintang film.
Dua minggu berlalu,
kemudian sebulan, dua bulan, tiga bulan, tanpa aku pernah mendengar apa-apa
lagi dari Pat Golden.
Sekitar empat bulan
kemudian aku dihubunginya lewat telepon. Ia menanyakan kesediaanku diwawancarai
di suatu tempat yang jauhnya sekitar empat puluh mil dari tempat tinggalku. Aku
mengatakan bisa. Tapi aku sebetulnya tidak berniat. Aku sudah mendengar dari
kawan-kawanku bahwa Pat Golden juga menghubungi sejumlah orang Kamboja lainnya.
Mereka datang dari San Diego, Santa Ana, Los Angeles dan Long Beach untuk
diwawancarai. Tapi aku tidak muncul di sana.
Keesokan paginya Pat
Golden menelepon aku lagi, di kantorku. la bertanya kenapa aku tidak datang.
Kujawab: "Sorry, aku sedang sibuk." Setelah diam sebentar, aku merasa
bahwa lebih baik aku berterus terang saja. Kukatakan bahwa aku tidak mau pergi
karena kurasa aku takkan mendapat pekerjaan itu. Ia membalas, "Kami belum
mengambil keputusan. Datang sajalah." Ia tetap berkeras meminta aku
datang.
Ia mengatakan ingin
mewawancarai aku hari itu juga di Long Beach, dua puluh lima mil dari tempat
tinggalku. "Bagaimana kalau pukul lima sore?" katanya. "Tidak
bisa, karena waktu kerjaku seperti di kantor-kantor yang biasa." Jadi
sampai pukul lima. "Pukul enam?" katanya lagi. "Tidak
bisa," jawabku, "karena saat itu jalan bebas hambatan ke Long Beach
penuh sesak. Bagaimana kalau pukul tujuh saja?"
Aku tiba pukul delapan
malam di tempat itu. Pat Golden masih menunggu. Aku minta maaf dan mengatakan
bahwa aku hari itu sangat sibuk. Pat Golden tidak mengomel. Ia mau menerima
alasanku dan tetap bersikap sopan -seperti orang Kamboja. Wanita itu sangat
cerdas, dan sedikit banyak tahu tentang kebudayaan kami. Ia tahu bahwa jika ia
marah padaku, itu akan kujadikan alasan untuk pergi lagi.
Beberapa orang Kamboja
sudah lebih dulu ada di situ. Pat Golden mewawancarai seorang wanita, anak Long
Boret yang menjadi perdana menteri dalam rezim Lon Nol ketika Khmer Merah
merebut kekuasaan. Akhirnya aku dipanggilnya masuk.
Ia berkata, "Okay,
Haing, seandainya Anda sedang bersama beberapa orang Amerika dan Anda harus
berusaha membuat orang-orang Khmer Merah percaya bahwa teman-teman Anda itu
bukan orang Amerika, bagaimana Anda akan melakukannya?"
Aku melakukan improvisasi,
memperagakan adegan itu di depannya.
Ketika aku selesai, ia
mengatakan, "Thanks. Dalam seminggu ini Anda akan kuberi kabar."
"Aku tidak
percaya," kataku. "Jika Anda mengatakan satu minggu, mungkin jadinya
satu bulan setengah."
"Tidak, sekali ini
aku serius," katanya. Dan seminggu kemudian ia menelepon aku lagi,
memintaku datang untuk diwawancarai sekali lagi. Sekali ini di sebuah studio
film, di Burbank.
Setelah itu menyusul wawancara
yang ketiga, juga di studio yang di Burbank. Jumlah orang Kamboja yang diminta
semakin menyusut.
Seorang Inggris yang masih
muda dan berjenggot ikut hadir dalam wawancara keempat. Namanya Roland Joffe.
Dialah yang akan menyutradarai pembuatan film itu. Roland Joffe menanyakan
pengalaman hidupku -berapa lamaaku hidup di bawah rezim Khmer Merah, apa yang
terjadi ketika aku ditangkap, bagaimana aku bisa sampai di tempat penampungan
pengungsi di Thailand. Aku berbicara selama satu jam. Roland Joffe mendengarkan
dengan saksama, sambil mengamat- amati diriku dengan matanya yang biru.
Ia ada lagi pada
kesempatan wawancara yang kelima. Sekali ini ia membawa kamera video, untuk
merekam screen test. Ia memaparkan suatu situasi rekaannya sendiri: seorang dokter
berbangsa Kamboja sangat menyukai seorang perawat yang berkebangsaan Amerika.
Malam sebelumnya ada pengumuman lewat radio bahwa semua orang asing harus
meninggalkan Kamboja. Bagaimanakah menurut bayanganku cara dokter itu
memberitahukan kepada perawat itu bahwa ia harus pergi dari Kamboja, demi
keselamatannya sendiri?
Peranan perawat Amerika
dimainkan oleh Pat Golden.
Aku menjadi dokter yang
orang Kamboja.
Setelah itu Roland Joffe
menggambarkan situasi lain. Wanita Amerika itu merasa yakin bahwa ia takkan
diapa-apakan oleh Khmer Merah, karena ia orang asing; tapi menurut pendapatnya,
mereka pasti akan membunuh aku. Bagaimana caraku menjelaskan kepada perawat itu
bahwa Kamboja tanah airku, dan aku akan tetap tinggal walau betapa besarnya
risiko yang harus kuhadapi?
Kuperankan situasi itu,
dengan Pat Golden sebagai perawat.
Roland Joffe semakin
mendekatkan kamera videonya. Tapi aku tidak menjadi gugup karenanya. Aku
menyadari bahwa aku dengan sepenuh hati mengisi peran itu dan meyakini
kata-kata yang kuucapkan kepada Pat Golden, kamera itu tidak perlu kupedulikan.
"Sekarang," kata
Roland Joffe kepadaku, "Anda sudah berada di pelabuhan udara, mengantar
wanita Amerika itu yang akhirnya mau juga pergi. Apa kata-kata yang Anda
ucapkan sebagai perpisahan, sebelum dia berangkat?"
"Anda harus pergi
sekarang ini juga," kataku kepada Pat Golden. "Anda harus mau
mendengar kataku. Situasinya saat ini sangat sulit. Anda orang asing. Khmer
Merah tidak suka pada kalian. Bagiku, tidak ada masalah. Aku orang Kamboja."
Aku menangis sambit menyandarkan kepala ke bahu Pat, lalu sambit mengusap air
mata kukatakan berulang kali bahwa ia harus pergi dan aku pasti akan merasa
kehilangan nanti.
Ketika aku selesai
memainkan adegan itu, mereka menyilakan aku pergi sambit mengucapkan terima
kasih.
Dalam wawancara keenam,
aku tampil lagi di depan kamera. Roland menggelar adegan lain, di mana Pat
Golden menjadi istriku, orang Kamboja. Aku harus memintanya agar mau pergi,
karena Khmer Merah bermaksud membunuhi semua orang. Aku memainkan peranan itu
dan sekali lagi aku menangis, tapi sekali ini aku sulit berhenti lagi.
Begitu adegan itu selesai,
aku disuruh Roland Joffe memainkan peranan berikut. Semua adegan itu mengundang
kesedihan, kecuali yang penghabisan. Di dalamnya aku menjadi dokter lagi.
Seorang pasienku sudah hampir mati. Aku melakukan pembedahan terhadapnya. Aku
berusaha sekuat tenaga menyelamatkan orang itu, dan meski peluangnya kecil
sekali, aku teryata berhasil. Apakah yang kulakukan ketika mendengar kabar
bahwa pasienku itu selamat? Apa kata-kataku?
Aku memainkan adegan itu
untuknya.
Kemudian Joffe mengatakan
bahwa ia akan memberi kabar, tapi ia tidak bisa mengatakan kapan tepatnya.
Aku kembali menekuni
pekerjaanku, dan berusaha menyingkirkan pikiran tentang tes yang sudah
kujalani. Tujuh ribu orang Kamboja melamar untuk diikutsertakan dalam pembuatan
film itu.
Tiga bulan kemudian
barulah Pat menelepon lagi, dari New York. Ia ingin mengetahui jenis paspor
atau visa yang kumiliki. Kukatakan bahwa aku memegang kartu penduduk bangsa
asing, dengan foto dan cap jempol. Ia bertanya apakah akan ada masalah jika aku
harus ikut dengan rombongan pembuat film itu ke Thailand. Kujawab bahwa itu
tidak akan menimbulkan masalah bagiku, juga tidak bagi keponakanku.
Beberapa minggu kemudian
Pat menelepon lagi. Berapa gajiku di Chinatown Service Center? Empat ratus
dollar seminggu, jawabku. Ia berkata, bagaimana jika ia membayar aku delapan
ratus dollar seminggu?
Tidak ada masalah, kataku.
Kemudian ia menelepon
sekali lagi dengan pertanyaan-pertanyaan terinci mengenai visaku. Lalu ia
menyambung, "Bagaimana kalau seribu dollar seminggu?"
"Soal uang jangan
dipikirkan," kataku. "Beri saja berapa Anda mau. Aku hanya
menginginkan pekerjaan itu."
Dan itu memang benar.
Pikiranku sementara itu sudah berubah. Aku berpendapat, jika aku bisa tampil
dalam film itu, sebagai apa pun juga, aku akan bisa ikut membantu menceritakan
kisah tentang Kamboja. Dan itu penting bagiku, karena tidak ada orang yang
benar-benar mengetahuinya secara mendalam. Kebanyakan orang Amerika bahkan
tidak tahu di mana letak Kamboja. Tentang Vietnam mereka sudah tahu, tapi
tentang Kamboja, tidak. Di Los Angeles pun, orang-orang Asia yang bukan Kamboja
tidak tahu apa-apa tentang kejadian-kejadian di bawah rezim Khmer Merah. Jika
itu kuceritakan kepada mereka, mereka hanya mengangguk-angguk berlagak percaya,
agar aku tidak merasa malu.
Pada hakikatnya, alasan
kenapa aku sebelumnya tidak mau ikut berperan dalam film itu sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya dengan kekhawatiran akan kehilangan muka, atau tidak
ditawari peranan, atau nanti merasa kikuk jika sudahberdiri di depan kamera.
Sama sekali bukan itu alasannya! Aku semula tidak mau, karena tidak ingin
membangkitkan kembali rasa penderitaanku yang dulu. Tanpa itu pun aku sudah
selalu terkenang kembali.
Sejak tiba di Amerika
Serikat, aku selalu diganggu mimpi buruk. Jika saat siang aku terlalu banyak
mengingat-ingat segala hal yang sudah berlalu, malamnya aku pasti bermimpi. Aku
berulang kali bermimpi tentang Huoy, yang meninggal dalam pelukanku. Aku
melihat ayahku terikat ke pohon dan mencoba mengatakan sesuatu kepadaku, tapi
tidak berani membuka mulut.
Bunyi air menetes dari
keran saja sudah cukup untuk membuat aku bermimpi buruk lagi. Aku kembali
berada dalam penjara, menatap air yang tidak henti-hentinya menetes dari sebuah
lubang di dasar ember.
Hampir setiap malam aku
tiba-tiba terbangun dan langsung duduk, agar mimpi buruk itu lenyap. Di balik
kisi-kisi jendela, sinar lampu jalan di luar menerangi permukaan lorong yang
keras dan memantul balik dari permukaan logam dan kaca mobil-mobil yang
diparkir di situ. Di Los Angeles selalu terdengar latar belakang samar bunyi
lalu lintas kendaraan di jalan-jalan yang jauh dari tempat tinggalku,
sekali-sekali ditimpali suara sirene atau bunyi klakson mobil. Saat-saat
seperti itu aku semakin merasa diriku terasing, dihinggapi perasaan sangsi
apakah Amerika benar- benar lebih baik daripada segala-galanya yangsudah
kutinggalkan, karena aku udak benar-benar sudah meninggalkan segala-galanya
itu, dan aku tidak bisa menikmati yang terbaik dari Amerika. Karenanya aku
memutuskan untuk kembali ke tempat-tempat penampungan pengungsi dan mengadakan
konfrontasi dengan masa silamku di sana. Aku harus berusaha menyingkirkan mimpi
burukku.
Sebelum kami berangkat
menuju Thailand, semua orang Kamboja yang terpilih untuk ikut berperan dalam
film itu berkumpul dan mengadakan pesta. Pat Golden ikut hadir di situ.
Orang-orang Kamboja yang lain, semuanya tahu peranan apa yang akan mereka
mainkan nanti. Tapi ketika aku bertanya tentang perananku nanti kepada Pat, ia
hanya mengatakan bahwa aku tidak usah khawatir mengenainya, dan aku nanti tidak
perlu menghafal perananku. Dari situ aku menarik kesimpulan bahwa perananku
nanti pasti kecil sekali. Orang-orang Kamboja yang selebihnya mulai mengganggu.
Mereka mengatakan bahwa aku akan diberi peran pembantu utama. Aku tertawa saja
sambil mengatakan bahwa mereka jangan mau percaya.
Ketika kami sudah berada
di Thailand, padaku disodorkan berkas naskah adegan-adegan yang nanti harus
kami perankan. Tapi aku masih juga belum diberi tahu, peranan mana yang nanti
harus kupegang. Lalu ketika Roland Joffe memanggil kami untuk latihan, saat itu
barulah akutahubahwa aku harus memainkan peranan sebagai Dith Pran.
"Ya, Tuhan,"
kataku pada diriku sendiri sambil menepuk kening. "Besar sekali
perananku."
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapus