Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan
kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy),
yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah
rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme
serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.
PRAKATA : HADIAH ITU
DALAM perjalanan hidupku selama ini, aku pernah
menjadi macam-macam: pedagang keliling, yang dengan kaki telanjang menelusuri
jalan-jalan setapak dalam rimba, dokter, yang pergi ke tempat prakteknya dengan
mengendarai Mercedes mengkilat, dan selama beberapa tahun belakangan, aktor
film Hollywood - suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya oleh banyak orang,
apalagi olehku sendiri. Namun tidak ada yang lebih ban yak berperan menentukan
bentuk hidupku daripada keberhasilanku bertahan hidup di bawah rezim Pol Pot.
Aku seorang manusia yang lolos dari Neraka Kamboja. Itulah aku, pada
hakikatnya.
Antara tahun 1975 dan 1979, gaya hidup kami yang
tradisional di Kamboja oleh Pol Pot beserta orang-orang komunis Khmer Merah-nya
diganti dengan suatu eksperimen kehidupan gaya komunis yang dilancarkan secara
besar-besaran dan brutal. Menjelang ujung tahun-tahun itu aku hidup di bagian
barat laut Kamboja, di sebuah desa tani. Saat itu, segala kesejahteraan hidup
sebelum revolusi sudah menjadi seakan mimpi yang hanya samar-samar membekas
dalam ingatan. Kakiku tidak mengenal sepatu lagi. Pakaianku compang-camping,
dan tulang-tulang rusukku bertonjolan karena aku selalu kurang makan. Agar
jangan sampai dibunuh serdadu-serdadu Khmer Merah, aku terpaksa menyembunyikan
kenyataan bahwa aku sebenarnya dokter. Sebagian besar dari sanak-keluargaku sudah
mereka bantai. Dan kasusku bukan merupakan kekecualian. Dengan jalan
menghancurkan kebudayaan dan memperbudak kami, Khmer Merah telah mengubah
berjuta-juta manusia normal yang hidup bahagia menjadi sesuatu yang lebih mirip
binatang. Karena mereka, orang-orang seperti aku berubah menjadi
pencuri-pencuri liar yang licin.
Aku memulainya dengan mencuri secara kecil
kecilan. Menyelinap keluar dari gubukku begitu hari sudah gelap, menyatu dengan
bayang-bayang, sekali-sekali berhenti sambil mewaspadakan mata dan telinga
terhadap kemungkinan munculnya serdadu-serdadu, tapi hanya mendengar suara
jangkrik dan kodok dalam perpaduan bunyi-bunyian malam. Dengan merunduk-runduk
kumasuki kebun desa. Kujangkaukan tangan ke arah deretan jagung yang mulai
masak. Dengan hati-hati kukupas jagung demi jagung, kupatahkan dan kutarik
keluar tongkolnya. Kulit pelindung kurapikan lagi letaknya, membungkus rongga
kosong di dalamnya. Bagi yang hanya sambil lalu saja melihat pada siang hari,
tanaman jagung itu kelihatannya masih tetap utuh.
Mulanya aku mencuri seorang diri. Tapi
orang-orang lain di desa itu juga kelaparan, dan mereka memerlukan seorang
pemimpin. Malam-maIam kawananku menjarahi ladang-ladang dan kebun-kebun.
Sasaran kami terutama padi.
Bagi orang Kamboja, beras merupakan bahan makanan
pokok. Sebelum Khmer Merah merebut kekuasaan, kami biasa makan nasi setiap
hari. Di bawah Khmer Merah, kami nyaris tidak pernah Iagi makan nasi-bukan nasi
seperti seharusnya, yang pulen dan masir, dengan kepuIan uapnya yang segar dan
wangi menghambur dari mangkuk.
Beras menjadi sasaran yang merasuk pikiran
kawananku. Kuajak mereka mendatangi sawah-sawah yang padinya sudah masak,
tinggal dipanen saja. Seperti keranjingan, dengan tangan kami patahkan
tangkai-tangkai padi, lalu kami rontokkan gabahnya dengan cara digesek-gesekkan
di tanah dengan kaki. Gabah yang sudah rontok kami masukkan ke daIam
karung-karung goni. Setelah itu kami buru-buru minggat. Kemudian, sambiI
menyembunyikan diri dari intaian para serdadu, gabah kami tumbuk menjadi beras
yang langsung dimasak saat itu juga, lalu kami makan sampai
sekenyang-kenyangnya.
Kami juga pergi menjarahi kebun-kebun sayur miIik
desa-desa lain yang berdekatan. Banyak bahan pangan yang kutimbun sebagai hasiI
mencuri, dan makanan tambahan itu kubagi-bagikan. Dalam keseIuruhannya, aku
lebih banyak memberi makan kepada
orang-orang di desa ini ketimbang siapa pun juga, kecuah rezim yang berkuasa
waktl itu. Tapi aku belum puas. Aku merasa sudah datang waktunya untuk
bertindak, melancarkan pembalasan.
Di bawah rezim Khmer Merah, pemilikan harta
pribadi dianggap melanggar undang-undang. Memasak di rumah sendiri dilarang.
Segala-galanya, baik pekerjaan, pergaulan seksual, sampai-sampai kehidupan
keluarga diawasi secara ketat.·Semua orang di desa diharuskan makan
beramai-ramai di sebuah ruangan yang disebut dapur umum.
Pada suatu hari ketika sedang makan di dapur
umum, dengan jatah sehari-hari yang jauh dari mengenyangkan berupa tajin encer
dengan beberapa butir nasi di dasarnya, aku melirik lewat pintu yang terbuka ke
arah lumbung di dekat situ. Di lantai lumbung ada sebuah alat penggiling beras
berukuran kecil yang bekerjanya digerakkan dengan tangan.
Begitu melihat alat itu, langsung timbul niatku
untuk mencurinya. Aku pasti bisa! Tinggal menunggu saat yang baik saja untuk
melaksanakan niatku itu.
Mencuri alat penggiling beras itu bukan gagasan
yang dilandasi akal sehat. Bukan seperti mencuri makanan, di mana keuntungannya
seimbang dengan risiko yang dihadapi. Memiliki alat itu takkan menyebabkan aku
tidak kelaparan lagi. Paling-paling, dengannya aku akan bisa sedikit lebih
cepat menyingkirkan sekam dari gabah ketimbang dengan cara menumbuknya.
Sementara risiko yang dihadapi lebih besar ketimbang mencuri makanan. Lumbung
itu letaknya bersebelahan dengan dapur umum, dan dapur umum itu siang dan malam
selalu dijaga serdadu.
Bagiku, mencuri alat penggiling itu merupakan
ujian: menguji kemampuanku selaku pencuri, dan tantangan terhadap kehidupan
sengsara yang kuderita selama itu. Itu merupakan satu cara untuk mengetahui
apakah dewa-dewa menghendaki aku hidup, atau mati.
Setiap kali datang ke dekat dapur umum,
kuperhatikan lumbung itu secara diam-diam. Tanpa kelihatan memperhatikan. Tapi
selalu saja ada serdadu-serdadu di sekitar situ.
Akhirnya aku menarik kesimpulan: satu-satunya
keinungkinan adalah mencoba mencuri alat penggiling itu apabila banyak orang
berkumpul di tempat Itu.
Beberapa malam dalam seminggu pemimpin desa
mengadakan acara rapat indoktrinasi politik yang harus dihadiri semua orang.
Seperti kebanyakan anggota Khmer Merah, pemimpin itu memakai nama baru untuk
menunjukkan bahwa ia memiliki identitas baru yang revolusioner. Ia menamakan
dirinya Mao, mungkin meniru Mao Zedong yang di Cina itu. Ia orang yang tidak
berpendidikan, dan selalu memakai seragam Khmer Merah yang biasa, celana dan
baju hitam model piama.
Selama rapat berikut yang diadakan oleh Mao dekat
dapur umum, aku duduk di pinggir sambil menyandarkan punggung ke lumbung.
Dindingnya terbuat dari anyaman sejenis bahan yang kaku, seperti rotan. Malam
itu gelap. Hanya bintang-bintang yang kemerlip di langit. Bulan belum nampak.
Mao membuka rapat dengan slogan-slogan seperti
biasa. Kami yang selebihnya bangkit dengan lunglai lalu secara patuh menyerukan
ulang slogan-slogan yang diteriakkannya, sambil dengan tangan terkepal
memukul-mukul dada serta mengacung-acungkan lengan yang terangkat lurus-lurus.
"Hidup Revolusi Kamboja!" teriaknya. "Hidup Revolusi
Kamboja!" seru kami menyambut, meski kata-kata itu tidak datang dari
sanubari kami. la meneriakkannya dua kali lagi dan kami mengulanginya. Sesudah
itu ia me- nyambung dengan rangkaian kata-kata slogan yang berikutnya.
Ketika ia selesai kami pun duduk dan ia mulai
mengoceh: mengenai kemujuran kami hidup di bawah rezim seperti itu, di mana
semua orang sederajat dan makanan dihidangkan kepada kami setiap hari; kami
mujur karena mendapat kesempatan berjuang bahu-membahu membangun negara yang
modern dan perkasa.
Dalam kenyataannya, keadaan negara kami di bawah
kekuasaan komunis lebih parah ketimbang yang pernah kualami sebelumnya. Listrik
tidak ada. Jam tidak ada, begitu pula mobil. Tidak ada obat-obatan modern.
Sekolah-sekolah tidak ada. Kegiatan ibadat tidak ada. Makanan hanya sedikit
sekali. Dan kami hidup dalam kecemasan yang terus menghantui, takut kepada
serdadu-serdadu.
Mao masih terus berpidato, melontarkan ungkapan
-ungkapan yang dipelajarinya secara membeo dari para atasannya. Setiap pidato
isinya nyaris persis yang itu-itu juga. Hadirin mendesah lesu. Mereka pasrah.
Waktunya sudah tiba bagiku.
"Maha Budha," doaku dalam hati,
"ampunilah diriku. Aku mencuri bukan dengan maksud ingin jadi kaya. Aku
berbagi dengan yang lain-lain. lindungilah nyawaku sekali lagi."
Aku mencondongkan tubuh ke depan, sambil menarik
dinding lumbung yang selama itu kusandari. Pinggir bawah dinding itu menutupi
lantai, tapi tidak dipakukan ke situ. Aku mengangkat tubuh ke arah belakang dan
menyusup naik lewat telah sempit antara dinding dan lantai, masuk ke dalam
lumbung yang lebih gelap lagi daripada di Iuar.
"Kaum pekerja, petani, dan prajurit
revolusioner kita," kedengaran suara Mao yang masih terus berpidato,
"telah melancarkan gerakan maju untuk membangun perekonomian! Kita
bergumul dengan alam untuk bisa menguasai nasib kita sendiri! Semua koperasi
kita melancarkan ofensif, bekerja dengan semangat revolusioner yang berapi-api
demi terlaksananya loncatan maha besar ke depan!"
Aku merangkak sambil meraba-raba. Aku menyentuh
sebuah benda berbentuk bulat. Benda itu berat, lebih berat dari yang
kuperkirakan. Dengan gerakan meraba-raba, menarik segala sesuatu yang terasa
menonjol, kucopot bagian-bagian dari alat penggiling itu: dua batu gerinda yang
berat, ditambah dengan bak dan engkolnya.
" ... kini mereka bertekad melancarkan
ofensif gigih yang berikut. . . " Suara Mao menyerocos terus.
Aku berhasil menyusup ke luar lewat jalan yang
kumasuki tadi, dengan mendorong pinggir bawah dinding.
" ... dan terus, sampai menang!" seru
Mao memekik.
Di depanku, nampak bentuk-bentuk gelap berupa
deretan kepala dan bahu yang dengan patuh menghadap ke arah Mao. Di sebelah
pinggir ada parit irigasi, bagian dari suatu jaringan saluran. Aku membenamkan
diri ke dalam air, dengan masing-masing lengan mengepit sebuah batu gerinda dan
engkol alat penggiling terselip di balik ikat pinggang. Jangan buru-buru,
kataku dalam hati. Jangan sampai permukaan air beriak. Jangan sampai ada bunyi
yang terdengar. Bergerak lambat-Iambat lebih baik ketimbang bergegas-gegas.
Suara pidato, yang diselingi bunyi tepuk tangan
terpaksa, terdengar semakin samar. Hanya hidung dan mataku saja yang masih
tersembul di atas air, seperti buaya; kakiku melangkah, menjejak lumpur dasar
parit. Bintang-bintang kemerlip dilangit, terpantul bayangannya di permukaan
air. Tapi sememara itu sudah nampak sinar temaram di kaki langit. Sebentar lagi
bulan muncul. Tiba waktunya unruk bergegas. Aku harus mempercepat langkah,
sebelum terlambat.
Aku merangkak keluar dari dalam parit, lalu
buru-buru menuju ke gudang penyimpanan pupuk di mana aku bekerja pada siang
hari. Kusembunyikan alat penggiling di bawah In pupuk kandang. Setelah itu
bergegas lagi ke gubukku, menukar pakaian dengan yang kering, lalu lari kembali
ke dapur umum, di mana sementara itu sudah diteriakkan lagi slogan-slogan yang
diulangi dengan suara keras oleh hadirin. disusul bunyi tepuk tangan yang lama.
Aku terambat-pidato sudah selesai.
Diterangi sinar bulan, nampak serdadu-serdadu
menndatangi tempat aku duduk tadi, di samping lumbung. Orang-orang desa
celingukan dengan sikap heran, di antaranya ada yang memanggil-manggil namaku.
Begitu aku datang berlari-Iari dengan napas tersengal-sengal, Mao langsung
memanggilku ke depan lalu menanyakan ke mana aku tadi.
Aku menghampirinya, dengan sikap merendah dan
pandangan mata tertunduk. Bibirku kugerakkan, membentuk cengiran kikuk.
"Maaf, Kawan," ujarku dengan nada
merendah, "Aku tadi mulas dan aku mencret." Kutepuk-tepuk pantatku
unruk memperjelas maksudku. "Aku pulang sebentar, mengganti pakaian."
Kata-kataku disambut dengan tertawa riuh oleh
hadirin, termasuk para serdadu. Semua tahu bagaimana keadaannya jika ada
gangguan pada perut. Semua pernan mengalaminya, sebagai akibat kehidupan kami
yang jauh dari bersih keadaannya. Bahkan Mao pun, yang kejamnya lebih daripada
yang lain-Iainnya, nampak cengar-cengir. Ia menggerakkan tangan menyuruh aku
pergi, dengan sikap orangtua yang geli terhadap seorang anak yang berbuat
salah.
Aku kembali ke lumbung lalu duduk menyandar ke
dindingnya, seperti tadi.
Malam itu juga aku menggiling beras dengan alat
yang kucuri.
Dan keesokan malamnya kuajak kawananku mencuri
lagi.
Pada suatu maIam yang lain sama sekali
suasananya, enam setengah tahun kemudian, aku duduk di dalam gedung bernama
"Dorothy Chandler Pavilion", di Los Angeles. Aku mengenakan busana
pesta, setelan tuxedo. Kakiku terbungkus sepatu kulit yang licin mengkilat. Di
atas pentas, seorang wamta pengantar acara membacakan nama : Haing S. Ngor. Ia
mengucapkannya Heng S. Nor. Bagi seseorang yang bukan dari Kamboja,
pelafalannya itu sudah baik sekali.
Sejak meninggalkan Kamboja, kehidupanku secara
teramat dramatis berubah sarna sekali. Hampir mustahil membayangkan sebelumnya
bahwa itu akan terjadi. Aku tiba di Amerika dengan status pengungsi. Tanpa sedikit
pun berbekal pengalaman di bidang teater atau film, aku dikontrak umuk
memerankan seseorang bernama Dith Pran yang juga berasal dari Kamboja dalam
film berjudul The Killing Fields. Aku sadar akan segala kekeliruan dalam
pemerananku disitu, seperti halnya kesadaran telah melakukan sekian banyak
kekeliruan dalam kehidupanku yang sesungguhnya. Meski begitu aku diunggulkan
bersama sejumlah aktor lain yang profesional dan berpengalaman, sebagai calon
pemenang Academy Award.
Tapi, begitu kataku dalam hati, apa hebatnya
berperan dalam film? Itu kan hanya soal menampilkan identitas baru dan membuat
orang lain percaya bahwa itu benar-benar identitas kita. Meyakinkan orang lain,
itu mungkin saja, seperti caraku membuat Mao, orang Khmer Merah pemimpin desa tempatku
tinggal dulu, benar-benar percaya. Sikapku gelisah sewaktu menunggu sampul
dibuka dan nama pemenang dibacakan, tapi hatiku tenteram. Apa pun yang terjadi,
aku akan menerimanya sebagai kenyataan. Karena aku tahu pemerananku yang
terbaik sudah berakhir sebelum saat aku meninggalkan Kamboja. Dan hadiahnya di
sana waktu itu jauh lebih besar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar