Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Rabu, 05 Desember 2012

Neraka Kamboja - Prakata : Hadiah Itu

Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

PRAKATA : HADIAH ITU
DALAM perjalanan hidupku selama ini, aku pernah menjadi macam-macam: pedagang keliling, yang dengan kaki telanjang menelusuri jalan-jalan setapak dalam rimba, dokter, yang pergi ke tempat prakteknya dengan mengendarai Mercedes mengkilat, dan selama beberapa tahun belakangan, aktor film Hollywood - suatu hal yang tak terbayangkan sebelumnya oleh banyak orang, apalagi olehku sendiri. Namun tidak ada yang lebih ban yak berperan menentukan bentuk hidupku daripada keberhasilanku bertahan hidup di bawah rezim Pol Pot. Aku seorang manusia yang lolos dari Neraka Kamboja. Itulah aku, pada hakikatnya. 
Antara tahun 1975 dan 1979, gaya hidup kami yang tradisional di Kamboja oleh Pol Pot beserta orang-orang komunis Khmer Merah-nya diganti dengan suatu eksperimen kehidupan gaya komunis yang dilancarkan secara besar-besaran dan brutal. Menjelang ujung tahun-tahun itu aku hidup di bagian barat laut Kamboja, di sebuah desa tani. Saat itu, segala kesejahteraan hidup sebelum revolusi sudah menjadi seakan mimpi yang hanya samar-samar membekas dalam ingatan. Kakiku tidak mengenal sepatu lagi. Pakaianku compang-camping, dan tulang-tulang rusukku bertonjolan karena aku selalu kurang makan. Agar jangan sampai dibunuh serdadu-serdadu Khmer Merah, aku terpaksa menyembunyikan kenyataan bahwa aku sebenarnya dokter. Sebagian besar dari sanak-keluargaku sudah mereka bantai. Dan kasusku bukan merupakan kekecualian. Dengan jalan menghancurkan kebudayaan dan memperbudak kami, Khmer Merah telah mengubah berjuta-juta manusia normal yang hidup bahagia menjadi sesuatu yang lebih mirip binatang. Karena mereka, orang-orang seperti aku berubah menjadi pencuri-pencuri liar yang licin.
Aku memulainya dengan mencuri secara kecil kecilan. Menyelinap keluar dari gubukku begitu hari sudah gelap, menyatu dengan bayang-bayang, sekali-sekali berhenti sambil mewaspadakan mata dan telinga terhadap kemungkinan munculnya serdadu-serdadu, tapi hanya mendengar suara jangkrik dan kodok dalam perpaduan bunyi-bunyian malam. Dengan merunduk-runduk kumasuki kebun desa. Kujangkaukan tangan ke arah deretan jagung yang mulai masak. Dengan hati-hati kukupas jagung demi jagung, kupatahkan dan kutarik keluar tongkolnya. Kulit pelindung kurapikan lagi letaknya, membungkus rongga kosong di dalamnya. Bagi yang hanya sambil lalu saja melihat pada siang hari, tanaman jagung itu kelihatannya masih tetap utuh. 
Mulanya aku mencuri seorang diri. Tapi orang-orang lain di desa itu juga kelaparan, dan mereka memerlukan seorang pemimpin. Malam-maIam kawananku menjarahi ladang-ladang dan kebun-kebun. Sasaran kami terutama padi.
Bagi orang Kamboja, beras merupakan bahan makanan pokok. Sebelum Khmer Merah merebut kekuasaan, kami biasa makan nasi setiap hari. Di bawah Khmer Merah, kami nyaris tidak pernah Iagi makan nasi-bukan nasi seperti seharusnya, yang pulen dan masir, dengan kepuIan uapnya yang segar dan wangi menghambur dari mangkuk.
Beras menjadi sasaran yang merasuk pikiran kawananku. Kuajak mereka mendatangi sawah-sawah yang padinya sudah masak, tinggal dipanen saja. Seperti keranjingan, dengan tangan kami patahkan tangkai-tangkai padi, lalu kami rontokkan gabahnya dengan cara digesek-gesekkan di tanah dengan kaki. Gabah yang sudah rontok kami masukkan ke daIam karung-karung goni. Setelah itu kami buru-buru minggat. Kemudian, sambiI menyembunyikan diri dari intaian para serdadu, gabah kami tumbuk menjadi beras yang langsung dimasak saat itu juga, lalu kami makan sampai sekenyang-kenyangnya.
Kami juga pergi menjarahi kebun-kebun sayur miIik desa-desa lain yang berdekatan. Banyak bahan pangan yang kutimbun sebagai hasiI mencuri, dan makanan tambahan itu kubagi-bagikan. Dalam keseIuruhannya, aku lebih banyak memberi  makan kepada orang-orang di desa ini ketimbang siapa pun juga, kecuah rezim yang berkuasa waktl itu. Tapi aku belum puas. Aku merasa sudah datang waktunya untuk bertindak, melancarkan pembalasan.
Di bawah rezim Khmer Merah, pemilikan harta pribadi dianggap melanggar undang-undang. Memasak di rumah sendiri dilarang. Segala-galanya, baik pekerjaan, pergaulan seksual, sampai-sampai kehidupan keluarga diawasi secara ketat.·Semua orang di desa diharuskan makan beramai-ramai di sebuah ruangan yang disebut dapur umum.
Pada suatu hari ketika sedang makan di dapur umum, dengan jatah sehari-hari yang jauh dari mengenyangkan berupa tajin encer dengan beberapa butir nasi di dasarnya, aku melirik lewat pintu yang terbuka ke arah lumbung di dekat situ. Di lantai lumbung ada sebuah alat penggiling beras berukuran kecil yang bekerjanya digerakkan dengan tangan.
Begitu melihat alat itu, langsung timbul niatku untuk mencurinya. Aku pasti bisa! Tinggal menunggu saat yang baik saja untuk melaksanakan niatku itu.
Mencuri alat penggiling beras itu bukan gagasan yang dilandasi akal sehat. Bukan seperti mencuri makanan, di mana keuntungannya seimbang dengan risiko yang dihadapi. Memiliki alat itu takkan menyebabkan aku tidak kelaparan lagi. Paling-paling, dengannya aku akan bisa sedikit lebih cepat menyingkirkan sekam dari gabah ketimbang dengan cara menumbuknya. Sementara risiko yang dihadapi lebih besar ketimbang mencuri makanan. Lumbung itu letaknya bersebelahan dengan dapur umum, dan dapur umum itu siang dan malam selalu dijaga serdadu.
Bagiku, mencuri alat penggiling itu merupakan ujian: menguji kemampuanku selaku pencuri, dan tantangan terhadap kehidupan sengsara yang kuderita selama itu. Itu merupakan satu cara untuk mengetahui apakah dewa-dewa menghendaki aku hidup, atau mati.
Setiap kali datang ke dekat dapur umum, kuperhatikan lumbung itu secara diam-diam. Tanpa kelihatan memperhatikan. Tapi selalu saja ada serdadu-serdadu di sekitar situ.
Akhirnya aku menarik kesimpulan: satu-satunya keinungkinan adalah mencoba mencuri alat penggiling itu apabila banyak orang berkumpul di tempat Itu.
Beberapa malam dalam seminggu pemimpin desa mengadakan acara rapat indoktrinasi politik yang harus dihadiri semua orang. Seperti kebanyakan anggota Khmer Merah, pemimpin itu memakai nama baru untuk menunjukkan bahwa ia memiliki identitas baru yang revolusioner. Ia menamakan dirinya Mao, mungkin meniru Mao Zedong yang di Cina itu. Ia orang yang tidak berpendidikan, dan selalu memakai seragam Khmer Merah yang biasa, celana dan baju hitam model piama.
Selama rapat berikut yang diadakan oleh Mao dekat dapur umum, aku duduk di pinggir sambil menyandarkan punggung ke lumbung. Dindingnya terbuat dari anyaman sejenis bahan yang kaku, seperti rotan. Malam itu gelap. Hanya bintang-bintang yang kemerlip di langit. Bulan belum nampak.
Mao membuka rapat dengan slogan-slogan seperti biasa. Kami yang selebihnya bangkit dengan lunglai lalu secara patuh menyerukan ulang slogan-slogan yang diteriakkannya, sambil dengan tangan terkepal memukul-mukul dada serta mengacung-acungkan lengan yang terangkat lurus-lurus. "Hidup Revolusi Kamboja!" teriaknya. "Hidup Revolusi Kamboja!" seru kami menyambut, meski kata-kata itu tidak datang dari sanubari kami. la meneriakkannya dua kali lagi dan kami mengulanginya. Sesudah itu ia me- nyambung dengan rangkaian kata-kata slogan yang berikutnya.
Ketika ia selesai kami pun duduk dan ia mulai mengoceh: mengenai kemujuran kami hidup di bawah rezim seperti itu, di mana semua orang sederajat dan makanan dihidangkan kepada kami setiap hari; kami mujur karena mendapat kesempatan berjuang bahu-membahu membangun negara yang modern dan perkasa.
Dalam kenyataannya, keadaan negara kami di bawah kekuasaan komunis lebih parah ketimbang yang pernah kualami sebelumnya. Listrik tidak ada. Jam tidak ada, begitu pula mobil. Tidak ada obat-obatan modern. Sekolah-sekolah tidak ada. Kegiatan ibadat tidak ada. Makanan hanya sedikit sekali. Dan kami hidup dalam kecemasan yang terus menghantui, takut kepada serdadu-serdadu.
Mao masih terus berpidato, melontarkan ungkapan -ungkapan yang dipelajarinya secara membeo dari para atasannya. Setiap pidato isinya nyaris persis yang itu-itu juga. Hadirin mendesah lesu. Mereka pasrah.
Waktunya sudah tiba bagiku.
"Maha Budha," doaku dalam hati, "ampunilah diriku. Aku mencuri bukan dengan maksud ingin jadi kaya. Aku berbagi dengan yang lain-lain. lindungilah nyawaku sekali lagi."
Aku mencondongkan tubuh ke depan, sambil menarik dinding lumbung yang selama itu kusandari. Pinggir bawah dinding itu menutupi lantai, tapi tidak dipakukan ke situ. Aku mengangkat tubuh ke arah belakang dan menyusup naik lewat telah sempit antara dinding dan lantai, masuk ke dalam lumbung yang lebih gelap lagi daripada di Iuar.
"Kaum pekerja, petani, dan prajurit revolusioner kita," kedengaran suara Mao yang masih terus berpidato, "telah melancarkan gerakan maju untuk membangun perekonomian! Kita bergumul dengan alam untuk bisa menguasai nasib kita sendiri! Semua koperasi kita melancarkan ofensif, bekerja dengan semangat revolusioner yang berapi-api demi terlaksananya loncatan maha besar ke depan!"
Aku merangkak sambil meraba-raba. Aku menyentuh sebuah benda berbentuk bulat. Benda itu berat, lebih berat dari yang kuperkirakan. Dengan gerakan meraba-raba, menarik segala sesuatu yang terasa menonjol, kucopot bagian-bagian dari alat penggiling itu: dua batu gerinda yang berat, ditambah dengan bak dan engkolnya.
" ... kini mereka bertekad melancarkan ofensif gigih yang berikut. . . " Suara Mao menyerocos terus.
Aku berhasil menyusup ke luar lewat jalan yang kumasuki tadi, dengan mendorong pinggir bawah dinding.
" ... dan terus, sampai menang!" seru Mao memekik.
Di depanku, nampak bentuk-bentuk gelap berupa deretan kepala dan bahu yang dengan patuh menghadap ke arah Mao. Di sebelah pinggir ada parit irigasi, bagian dari suatu jaringan saluran. Aku membenamkan diri ke dalam air, dengan masing-masing lengan mengepit sebuah batu gerinda dan engkol alat penggiling terselip di balik ikat pinggang. Jangan buru-buru, kataku dalam hati. Jangan sampai permukaan air beriak. Jangan sampai ada bunyi yang terdengar. Bergerak lambat-Iambat lebih baik ketimbang bergegas-gegas.
Suara pidato, yang diselingi bunyi tepuk tangan terpaksa, terdengar semakin samar. Hanya hidung dan mataku saja yang masih tersembul di atas air, seperti buaya; kakiku melangkah, menjejak lumpur dasar parit. Bintang-bintang kemerlip dilangit, terpantul bayangannya di permukaan air. Tapi sememara itu sudah nampak sinar temaram di kaki langit. Sebentar lagi bulan muncul. Tiba waktunya unruk bergegas. Aku harus mempercepat langkah, sebelum terlambat.
Aku merangkak keluar dari dalam parit, lalu buru-buru menuju ke gudang penyimpanan pupuk di mana aku bekerja pada siang hari. Kusembunyikan alat penggiling di bawah In pupuk kandang. Setelah itu bergegas lagi ke gubukku, menukar pakaian dengan yang kering, lalu lari kembali ke dapur umum, di mana sementara itu sudah diteriakkan lagi slogan-slogan yang diulangi dengan suara keras oleh hadirin. disusul bunyi tepuk tangan yang lama. Aku terambat-pidato sudah selesai.
Diterangi sinar bulan, nampak serdadu-serdadu menndatangi tempat aku duduk tadi, di samping lumbung. Orang-orang desa celingukan dengan sikap heran, di antaranya ada yang memanggil-manggil namaku. Begitu aku datang berlari-Iari dengan napas tersengal-sengal, Mao langsung memanggilku ke depan lalu menanyakan ke mana aku tadi.
Aku menghampirinya, dengan sikap merendah dan pandangan mata tertunduk. Bibirku kugerakkan, membentuk cengiran kikuk.
"Maaf, Kawan," ujarku dengan nada merendah, "Aku tadi mulas dan aku mencret." Kutepuk-tepuk pantatku unruk memperjelas maksudku. "Aku pulang sebentar, mengganti pakaian."
Kata-kataku disambut dengan tertawa riuh oleh hadirin, termasuk para serdadu. Semua tahu bagaimana keadaannya jika ada gangguan pada perut. Semua pernan mengalaminya, sebagai akibat kehidupan kami yang jauh dari bersih keadaannya. Bahkan Mao pun, yang kejamnya lebih daripada yang lain-Iainnya, nampak cengar-cengir. Ia menggerakkan tangan menyuruh aku pergi, dengan sikap orangtua yang geli terhadap seorang anak yang berbuat salah.
Aku kembali ke lumbung lalu duduk menyandar ke dindingnya, seperti tadi.
Malam itu juga aku menggiling beras dengan alat yang kucuri.
Dan keesokan malamnya kuajak kawananku mencuri lagi.
Pada suatu maIam yang lain sama sekali suasananya, enam setengah tahun kemudian, aku duduk di dalam gedung bernama "Dorothy Chandler Pavilion", di Los Angeles. Aku mengenakan busana pesta, setelan tuxedo. Kakiku terbungkus sepatu kulit yang licin mengkilat. Di atas pentas, seorang wamta pengantar acara membacakan nama : Haing S. Ngor. Ia mengucapkannya Heng S. Nor. Bagi seseorang yang bukan dari Kamboja, pelafalannya itu sudah baik sekali.
Sejak meninggalkan Kamboja, kehidupanku secara teramat dramatis berubah sarna sekali. Hampir mustahil membayangkan sebelumnya bahwa itu akan terjadi. Aku tiba di Amerika dengan status pengungsi. Tanpa sedikit pun berbekal pengalaman di bidang teater atau film, aku dikontrak umuk memerankan seseorang bernama Dith Pran yang juga berasal dari Kamboja dalam film berjudul The Killing Fields. Aku sadar akan segala kekeliruan dalam pemerananku disitu, seperti halnya kesadaran telah melakukan sekian banyak kekeliruan dalam kehidupanku yang sesungguhnya. Meski begitu aku diunggulkan bersama sejumlah aktor lain yang profesional dan berpengalaman, sebagai calon pemenang Academy Award.
Tapi, begitu kataku dalam hati, apa hebatnya berperan dalam film? Itu kan hanya soal menampilkan identitas baru dan membuat orang lain percaya bahwa itu benar-benar identitas kita. Meyakinkan orang lain, itu mungkin saja, seperti caraku membuat Mao, orang Khmer Merah pemimpin desa tempatku tinggal dulu, benar-benar percaya. Sikapku gelisah sewaktu menunggu sampul dibuka dan nama pemenang dibacakan, tapi hatiku tenteram. Apa pun yang terjadi, aku akan menerimanya sebagai kenyataan. Karena aku tahu pemerananku yang terbaik sudah berakhir sebelum saat aku meninggalkan Kamboja. Dan hadiahnya di sana waktu itu jauh lebih besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar