Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Jumat, 04 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 15 : Jatuh Sakit


15
JATUH SAKIT

BUKAN aku satu-satunya yang jatuh sakit waktu itu. Sarna sekali tidak. Di Phum Chhleav lebih banyak orang sakit ketimbang yang sehat. Kerja berat, kekurangan pangan, kondisi kebersihan yang jauh dari memadai, obat-obatan yang hampir tidak ada: semua faktor itu berbaur menjadi penyebab penyakit yang meruyak dengan ukuran yang tidak pernah kulihat sepanjang pendidikanku menjadi dokter. Di sawah, orang-orang "baru" yang masih tersisa bekerja dengan gerak-gerik lamban; dalam pondok-pondok mereka terkapar dilanda demam, atau dengan anggota badan membengkak, atau mencret-mencret. Setiap hari nampak iring-iringan bergerak menyusur jalan-jalan setapak di desa, menuju tempat penguburan.

Faktor paling utama yang menyebabkan timbulnya malapetaka di segi kesehatan masyarakat ini adalah kekurangan gizi. Khmer Merah memberi kami makan semangkuk air tajin asin dengan beberapa sendok nasi di dasarnya pada siang hari, sementara malam hari menunya sama saja. Hanya itu saja yang kami makan. Mereka tidak mengizinkan kami pergi mencari bahan pangan sendiri di luar, meski kadang-kadang kami melakukannya juga. Tanpa nutrisi yang memadai, kami menjad lemah.

Masih ada lagi faktor-faktor lain. Kami orang kota, tidak biasa melakukan pekerjaan jasmani yang berat. Kelelahan kronis-jenis kelelahan yang timbul karena menarik bajak selama dua belas jam sehari-menyebabkan turunnya daya tahan tubuh kami terhadap penyakit, di samping kekurangan gizi. Kami nyaris tidak memiliki daya tahan lagi. Karena kami berasal dari kota seperti misalnya Phnom Penh, tubuh kami tidak membentuk kekebalan alamiah terhadap segala macam mikroorganisme yang ada di Battambang - terhadap bakteri di dalam air minum yang kotor, misalnya. Yang membuat kondisi menjadi semakin parah. kami tidak punya jamban yang layak, begitu pula halnya dengan fasilitas untuk mandi. Obat-obatan yang ada hanya sedikit, dan Khmer Merah tidak memberi kemungkinan para dokter seperti aku unruk berpraktek secara terbuka.

Tapi aku tetap saja menjalankan profesiku, sampai sadar aku sendiri jatuh sakit. Begitu pula halnya dengan kedua dokter kenalanku, sebelum mereka digiring pergi oleh serdadu-serdadu Khmer Merah. Lalu masih ada lagi seorang lelaki bertubuh kecil yang banyak akalnya. Julukannya Pen Tips; tentang dia ini aku masih akan bercerita nanti. Aku mendatangi para pasienku di gubuk- gubuk mereka sekitar saat matahari terbit atau terbenam dengan membawa stetoskop dan pengukur tekanan darah yang kusembunyikan di balik bajuku. Karena tidak ada kemungkinan dilakukannya pemeriksaan laboratorium, aku hanya bisa menyusun diagnosisku berdasarkan simtom-simtom yang ada, lalu mengatakan obat apa yang menurut pendapatku diperlukan. Para pasien itu harus membeli.sendiri obat itu di pasar gelap dengan beras atau bisa juga emas sebagai pembayaran. Simtom-simtom penyakit yang paling kerap kujumpai adalah edema, atau pembengkakan karena timbunan cairan dalam jaringan tubuh.

Simtom itu bertalian dengan kurangnya protein dalam makanan kami sehari-hari, dan mungkin pula sebagai akibat banyaknya garam yang terkandung dalam cairan tajin yang kami minum pada waktu makan. Orang yang mengidap edema, meski kelaparan, tidak lantas menjadi kurus melainkan justru membengkak tubuhnya, dan ini biasanya berawal pada bagian tungkai. Dalam kasus yang paling berat, si penderita tidak bisa merapatkan tungkai mereka; pasien yang pria, kantong buah zakarnya membengkak sampai besar sekali. Cara penyembuhannya sangat gampang, yakni diberi makan; tapi setiap orang yang memiliki bahan pangan yang agak berlebihan, menyimpannya umuk dimakan sendiri.

Skala penyakit infeksi benar-benar luar biasa. Luka-luka bernanah dan tidak mau sembuh- sembuh juga. Jelas pada kulit merupakan hal yang biasa dijumpai, terutama infeksi yang diakibatkan karena jamur; kami, orang-orang "baru", selalu berada di luar di tengah hujan, dan kulit kami tidak pernah sempat menjadi kering lagi. Ada pula kasus-kasus malaria, radang paru, dan tuberkulosis. Hampir semuanya di pemukiman mengidap penyakit mencret yang biasa, dan banyak yant diserang disentri amuba, infeksi saluran usus yang jauh lebih berbahaya. Itulah yang menimpa diriku. Disentri, mungkin karena meminum air yang tercemar sewaktu daya tahanku sedang rendah.

Ketika aku jatuh sakit, semua antibiotika dan obat disentri yang kupunyai sudah habis dipakai untuk mengobati ayah dan saudara-saudara lelakiku, yang sudah lebih dulu jatuh sakit. Huoy pergi mendatangi orang-orang yang kukenal untuk mencari obat. Ia mencari dan bertanya ke mana-mana, tapi tidak ada yang punya. Akhirnya ia menukarkan emas seberat satu damleung - sekitar 35 gram - dengan lima belas butir tablet tetrasiklin 250 mg., obat antibiotika yang biasa. Kuminum sebutir tablet tetrasiklin dua kali sehari selama persediaan masih ada. Dalam situasi normal, menurutku, dosis yang diperlukan dua kali lipat, jadi 1.000 mg, sehari, ditambah dengan obat antidiare.

Sebagai tambahan untuk melengkapi pengobatan dengan tetrasiklin, kucoba obat-obatan tradisional. Orang desa di Kamboja apabila terserang diare atau disentri, mereka mengobatinya dengan mcmakan daun-daun muda yapg pahit rasanya, yang dipetik dari ujung ranting-ranting pohon jambu biji. Di dekat tempat kami ada pohan- pohon itu. Huoy pergi memetik daun-daun itu lalu membuatkan minuman jamu untukku dari rebusan daun jambu biji serta kulit pohonnya. Tapi efeknya sama sekali tidak ada. Aku meringkuk terus di rumah dan berulang kali terbirit-birit dari pembaringanku ke jamban darurat yang digalikan oleh Huoy untukku di dekat kebun kami yang kecil sekali ukurannya. Aku harus memaksa diriku sebelum bisa berpikir dengan jelas, dan itu pun hanya sanggup sebentar-sebentar saja.

Ketika disentri yang menyerangku menjadi bertambah parah, duniaku menyempit sampai hanya terbatas pada gubuk dan kebun tempat jamban saja. Tubuhku lemah sekali, sehingga tidak mampu lagi ke mana-mana selain ke kedua tempat itu. Tentang dunia luar, aku hanya tahu tentang apa yang sampai ke tempatku: bunyi peluit uap kereta api yang melengking di kejauhan, lalu kemudian gemeretak roda-roda yang berjalan di atas rel dan bunyi roda-roda penggerak yang terus berputar cuk-cuk-cuk-cuk saat kereta-kereta barang lewat. Kudengar bunyi ketak-ketuk galah yang didorong-dorong oleh regu perawatan jalan kereta yang lewat naik gerobak datar, dua kali dalam sehari. Dan setiap pagi, lewat celah-celah dinding gubuk, kulihat iring-iringan pembawa jenazah ke tempat penguburan. Jenazahnya dibungkus dengan lembaran plastik atau kain dan diusung di atas hamparan papan yang ujung-ujungnya digabungkan pada sebatang tongkat bambu panjang yang dipanggul orang-orang yang berkabung.

Suatu ketika setelah minggu pertama terserang disentri, Huoy kembali dari bekerja ketika aku baru saja masuk sesudah pergi ke kebun. Persediaan tetrasiklin sudah habis. "Ayolah, Sayang,” pintaku padanya, "juallah beberapa barang lagi. Carikanlah berkeliling lagi."

Dalam kondisiku yang lemah dan kacau saat itu, aku bah kan tidak mempercayai dia. Aku tidak yakin bahwa ia sudah berusaha sedapat mungkin.

"Kau tidak percaya padaku?" kata Huoy. Ia berdiri di dekatku. Dipandangnya diriku yang sedang berbaring dengan sorot mata sedih. "Percayalah padaku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh obat itu." la pergi lagi ke luar. Tapi ia tidak berhasil.

Masih ada satu obat lagi yang bisa dicoba: memakan arang yang berasal dari makanan yang hangus. Cara kerjanya ialah menyerap gas. Arang itu pada umumnya hanya mengurangi simtom-simtom diare atau disentri, tapi kadang-kadang ada juga efeknya - biar pun hanya sedikit - pada penyebab penyakitnya.

Tapi masalahnya dengan makanan yang hangus, karni hampir tidak punya makanan umuk dimakan, atau dihanguskan. Ayahku datang ke gubuk kami dengan membawa beberapa irisan tipis daging babi. Ia dan Huoy dengan teliti sekali mengikis lemak dan irisan-irisan itu yang kemudian dipanggang dalam api sampai hangus sebelah luarnya. Daging hangus itu kumnakan, tapi lalu kumuntahkan lagi. Aku sudah tidak kenal malu lagi sehubungan dengan penyakit disentriku, meski penyakit itu tidak enak dilihat dan memalukan. Aku sudah ter'lalu lemah, sehingga tidak peduli lagi tentang rasa malu. Baik siang maupun malam, beberapa kali dalam waktu sejam, aku terhirit-birit lari dari pembaringanku dalam gubuk ke lubang yang digali di pekarangan. Sesampai di situ aku buru-buru mengangkat ujung bawah sarungku lalu berjongkok. Apabila sudah selesai aku berdiri sambil menengok ke bawah, memandang nanah, darah, dan cairan yang kukeluarkan, untuk melihat apakah keadaanku sudah agak membaik; tapi sampai akhir minggu kedua keadaanku masih tetap begitu-begitu terus. Apabila aku sedang berbaring, terdengar bunyi menggeleguk-geleguk di dalam perutku. Kadang-kadang bahkan kulihat ususku bergerak-gerak karena adanya gas yang memuai di dalamnya. Perang sedang berlangsung di situ, antara amuba di satu pihak dan pertahanan tubuhku di pihak lain. Tubuhku mengerahkan scmua kemampuannya ke medan perang itu, schingga aku menjadi semakin lemah.

Hari ketujuh belas atau kedelapan belas, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Aku mencret saat sedang berbaring miring. Aku baru menyadarinya ketika aku meraba ke belakang dan menjamah sesuatu yang basah di situ. Tinggal delapan sarung yang masih tersisa dari tumpukan yang kubawa dari klinikku. Aku menggunakan sarung-sarung itu sebagai popok. Pada hari kedua puluh aku tidak bisa berjalan lagi. Aku terpaksa merangkak jika hendak berak kebun. Huoy pergi menghadap penguasa setempat untuk minta izin tidak bekerja agar bisa merawat aku.

Ia perawat yang benar-benar hebat. Aku dimandikannya siang maupun malam. Ia memasak beras yang hanya sedikit yang masih kami milik lalu aku disuapinya sedikit demi sedikit dengan sendok, sementara aku berbaring dengan kepala di pangkuannya. Air mukanya membayangkan pertanyaan yang murung. Aku tahu apa yang ada dalam pikirannya saat itu: jika aku mati, sebagian dari dirinya akan ikut mati pula.

Karena kepalaku terletak di pangkuannya, aku hanya bisa melihat wajahnya saja. Matanya yang besar dan bulat. Alis yang subur dan tebal yang tidak pernah memerlukan riasan. Pipi yang cekung. Apabila aku merebahkan diri, kulihat jalinan gelagah yang membentuk dinding dari sinar matahari yang menerobos masuk.

Gubuk-gubuk yang dekat letaknya, gubuk-gubuk orangtua dan saudara-saudara lelakiku, rasanya jauh sekali. Membayangkan pergi ke sana saja rasanya sudah tidak mungkin. Saudara- saudaraku pernah sekali datang menjenguk. Tapi setlelah itu tidak pernah lagi, dan itu menimbulkan kemarahanku. Aku sudah memberikan obat-obatan ketika merawat mereka, tapi mereka tidak mau mengorbankan emas mereka untuk membeli obat bagiku. Ikatan keluarga tidak ada artinya lagi bagi mereka sekarang. Setiap orang mengurus dirinya sendiri. Dan setelah itu aku tidak lagi merasa marah terhadap saudara-saudaraku. Aku sudah tidak peduli lagi, karena keadaanku sudah terlalu lemah.

Dari hari ke hari tubuhku semakin menyusut, sementara bakreri-bakteri yang menyerbu masuk berperang di dalam ususku melawan kekuatan pelindung tubuhku. Tulang selangkanganku nampak mencuat. Tulang-tulang rusukku kelihatan jelas. Tungkaiku kelihatannya seperti batang batang korek api karena kurusnya, kecuali lutut dan pergelangan kakiku yang menonjol, besar dan membonggol. Berat tubuhku susut, tinggal sekitar 35 kg.

Ketika aku sedang berbaring miring, seekor lalat hinggap di .wajahku. Aku tidak bergerak. Kurasakan lalat itu berjalan di pipiku, kurasakan kaki-kakinya yang kecil saat binatang itu bergerak kian-kemari, dan aku tahu ia akan mendatangi cairan yang ada di sudut mataku. Kemudian kurasakan kehadiran Huoy saat itu datang mendekati, lalu kurasakan udara bergerak ketika ia mcngusir lalat tadi. Huoy menurunkan kelambu di sekelilingku. Kupusatkan tatapanku pada tenunan kelambu yang halus. lalu pada sinar matahari yang masuk lewat celah-celah di dinding gelagah.

Aku mendengar bunyi guruh bergulung-gulung dan tiupan angin yang bertambah kencang ketika hujan datang. Tetesan air hujan menimpa tubuhku, tapi aku tetap tidak bergerak. Huoy pergi ke luar. Diikatkannya selembar krama ke sisi luar dinding agar air hujan tidak bisa masuk.

Pikiranku menerawang. Jika aku hendak mengangkat kaki, aku berpikir mengenainya. Lalu pikiranku melantur. Kemudian aku ingat lagi, dan kuperhatikan diriku melakukan niatku semula. Kakiku rasanya jauh sekali letaknya dan aku Memandangnya dengan perasaan tak peduli, seolah-olah itu kaki orang lain. Kelihatannya tidak seperti kakiku. Terlalu kurus.

Aku terlena, tapi tidak sampai tidur. Ususku terus saja menggelegak karena cairan dan gas yang ada di dalamnya: dan sekian menit sekali ada lagi yang menyembur ke!uar dari pantatku. Tidak ada yang bisa mencegah hal itu terjadi. Racun terus saja menyembur ke luar, tapi di dalam masih saja terus berlangsung ge!egak dan mengaduk-aduk, dan itu terus saja menghasilkan semburan ke luar. Makanan malah mengakibatkan keadaan menjadi semakin parah. Mungkin jika aku punya nasi putih yang murni dalam jumlah yang banyak, perutku bisa menjadi agak tenang; tapi persediaan beras kami tinggal satu kaleng lagi. Hanya itulah persediaan makanan yang kami miliki. Huoy hamya makan cairan air tajin asin yang diberi Khmer Merah. Selebihnya disuapkannya padaku.

Pada hari ketiga puluh, aku mendapat firasat yang datang dari lubuk hatiku bahwa aku akan bisa mengatasi serangan infeksi itu.

Kemudian, pada pagi hari ketiga puluh satu, ada sesuatu yang berubah. Aku hendak memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Tapi sebelum aku bisa melakukannya, pikiranku sudah melantur. Mana Huoy? Aku tidak mendengar dia di dalam gubuk. Kupalingkan kepalaku, lalu kuputar lebih jauh. Lewat celah-celah di dinding kulihat dia di luar, sedang mengambil sarung-sarung dari tali jemuran. Aku tadi sedang berpikir tentang apa? 0 ya, denyut nadiku. Untuk itu aku harus menggerakkan tangan kananku ke pergelangan tangan kiriku. Jika kusuruh tanganku bergerak, tanganku akan menurut. Jika itu kulakukan sekarang, aku takkan lupa. Lebih baik sekarang juga, sementara tidak terlihat olehnya.

Kuperhatikan lengan kananku bergerak menyeberang dan ujung jari-jari tanganku meraba, mencari- cari denyut nadi di pergelangan tangan kiriku. Tidak ada. Itu dia. Ya. Denyutnya sangat lambat.

Denyut jantungku melambat.

Beberapa jam lagi pasti berhenti denyutannya. Huoy masuk membawa sarung-sarung yang sudah dilipat. Disimpannya sarung-sarung itu, lalu ia berlutut di dekatku. Rambutku yang menutupi kening diusapnya ke belakang, lalu disekanya mukaku dengan lap yang lembab.

"Perasaanku tidak enak," kataku. "Kurasa aku sudah hampir mati. Tolong panggilkan ayahku kemari."

"Kau tidak akan mati," kata Huoy dengan tegas. "Kau dan aku, kita akan hidup lama bersama-sama." Tapi ia sendiri tidak menaruh kepercayaan terhadap kata-kata itu. Huoy pergi memanggil ayahku, dan mereka masuk bersama sama lalu duduk di sisiku. Ayah dengan wajahnya yang sudah keriput memandang diriku. Aku masih bisa mengingat keadaannya, ketika ia masih lebih muda dan lebih gemuk.

Kukatakan pada ayahku, beberapa jam lagi aku akan mati. Aku meminta padanya agar menjaga istriku. Kukatakan bahwa Huoy merawat diriku dengan baik, tapi ia tidak berdaya untuk menyelamatkan nyawaku. "Jika ada yang mengatakan hal hal yang jelek tentang dirinya, jangan percaya.”

Aku minta kesediaan Ayah dan Ibu untuk Menampungnya : Jangan sampai ia hidup dengan orang lain dalam keluarga kita. Jagalah diri Ayah baik-baik dan jaga Huoy, semoga dewa-dewa memberkati kalian."

Ayahku mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, aku takkan mati. Tapi kemudian ia keluar unruk meletakkan lilin-lilin dan hio di tanah di bawah pohon mangga, lalu bersiap-siap untuk bersembahyang.

Huoy duduk di sampingku. "Kuatkan pikiranmu," katanya berulang-ulang. "teguhkan hati, maka kau takkan mati." Dielusnya mukaku dan dibersihkannya muka dan badanku dengan lap yang lembab. la tidak menyembunyikan air matanya yang mengalir membasahi pipi.

"Berbahagialah jika aku mati nanti," jawabku.

Kudengar suara ayahku berkata dengan lantang di luar, "Semoga ia pergi ke surga yang indah! Semoga kehidupannya baik di tempat yang akan didatanginya. Semoga makanan dan obat-obatan mencukupi di sana."

Aku berkata kepada Huoy, "Sesudah aku mati nanti pun aku akan masih tetap melindungimu. Kau akan kujaga seumur hidupmu."

Ibuku datang ke tempat Ayah, lalu mereka berlutut dan bersembahyang berdampingan. Setelah itu lbu masuk ke gubuk dan duduk di sisiku. Ia mengurut lengan dan tungkaiku. la nampak benar-benar tua sekarang, tua dan tanpa seri. Bersama istriku ia melepaskan sarungku, lalu berusaha mendandani diriku dengan kemeja dan celana panjang baru untuk persiapan mati nanti.

"Jangan," kataku. "Sayang jika aku didandani dengan celana baru. Kan bisa ditukar dengan barang lain sesudah aku mati."

"Aku tidak peduli dengan tukar-menukar," kata Huoy, sementara mereka memasukkan kakiku ke dalam celana yang kemudian mereka tarik ke atas. "Tidak ada yang perIu dipertukarkan. Jika kau mati, aku juga mati."

Aku memiringkan tubuhku, lalu menunggu.

***************

 Siangnya rerdengar bunyi langkah orang serta suara yang lantang.

“Ada pembagian gadung! Satu orang dari setiap keluarga, datanglah ke rumahku! Kita punya gadung! Ambil bagian kalian! Ambil gadung kalian!" Orang itu kepala bagian sipil di Phum Chhleav, seorang lelaki bertubuh besar dan tegap, yang kedudukannya di bawah lelaki tua yang waktu itu datang menunggang kuda. Lelaki tegap ini disertai oleh ketua-ketua kelompok di Phum Chhleav serta serombongan orang yang mengikuti dengan suara ramai, bercakap-cakap sambil melambai-Iambaikan tangan. ltu bahan pangan pertama dalam waktu tiga hari yang dibagi-bagikan Khmer Merah untuk dikonsumsi sendiri oleh masing-masing keluarga.

Kusuruh Huoy pergi mengambil jatah kami. Ayahku sudah lebih dulu pergi untuk mengambil bagiannya.

Aku merebahkan diri kembali, lalu mulai berpikir tentang gadung. Bahan pangan yang cepat tumbuhnya di kawasan beriklim tropik itu mengandung berbagai mineraI dan vitamin, tapi terutama terdiri dari karbohidrat. Jika dimasukkan ke dalam api, gadung akan terbakar. Berubah menjadi arang.

Huoy pergi dengan membiarkan api tetap menyala di sampingku, dengan ketel teh di atas tungku yang terbuang dari tiga bongkah batu. Ketika air di dalamnya sudah mendidih, kujauhkan ujung-ujung kayu bakar dan api, tapi aku tidak memiliki tenaga untuk menyeduh teh.

Sesudah beberapa waktu berlalu, berapa lamanya aku tidak tahu, Huoy kembali. Ditunjukkannya jatah kami: sepotong gadung yang kecil, sebesar kepalan tinjunya.

Huoy menatap gadung itu dengan pandangan khusyuk. Sudah sejak berapa lama ia tidak pernah merasakan makanan yang bisa benar-benar mengisi perut? Dua minggu? Tiga minggu? Pernahkah la merasa kenyang sejak makan tikus sawah waktu itu?

Aku berkata padanya, “Berikanlah makanan itu padaku, Sayang. Kurasa jika aku memakannya, perutku akan bisa lebih enak. Aku tahu kau juga lapar seperti aku, tapi kita masih punya beras. Kau makan saja itu."

Kami masih belum menyentuh beras kami yang tinggal sekaleng. Kami menghematnya, meski aku tidak tahu apa alasannya. Rasa lapar kami takkan mungkin bisa lebih parah daripada saat itu.

Huoy memandangku dengan senyum sedih, lalu mengangguk. "Apa pun juga yang kauingini, aku akan melakukannya. Aku ingin kau tetap hidup. Selama kita berdua masih hidup, kita akan bahagia."

Kusuruh Huoy membakar gadung itu tanpa merebusnya dulu. Ia memasukkannya ke dalam api. Ketika sudah Ketika sudah hitam sama sekali, ia mengeluarkannya agar menjadi dingin. Dikikisnya abu arang dari gadung hangus itu, yang kemudian diirisnya menjadi potongan-potongan kecil. Seluruh umbi itu nampak hitam, kecuali beberapa bagian kecil berwama kuning dan lunak. Huoy meletakkan kepalaku di pangkuannya, lalu disuapkannya potongan-potongan gadung itu dengan sendok ke mulutku, sepotong demi sepotong, sampai akhirnya habis semua.

Aku merasa tubuhku tidak lagi begitu lemas seperti tadi.

Kepergianku ke kebun berkurang kekerapannya, dari lima kali sejam menjadi tiga kali. Keesokan harinya berkurang lagi menjadi dua kali sejam, dan sehari sesudah itu sekali sejam. Umbi gadung yang dibakar hangus itu membantu berbaliknya keadaanku. Daya tahanku bisa bertambah besar karenanya.

Dalam waktu beberapa hari perutku sudah mampu menerima makanan padat.

Setelah satu minggu lagi berlalu, Huoy mengangkat tubuhku, menyampirkan lenganku memeluk bahunya dan menyodorkan tongkat yang panjang padaku untuk kupakai sebagai penyangga. Dibantunya aku berjalan. Kakiku harus kuajari lagi berjalan.

Hanya beberapa langkah saja kami tapakkan saat itu. Tapi keesokan harinya kami berjalan mengelilingi gubuk.

Jarak dari gubuk ke jalan kereta api sekitar lima puluh yard. Itu kujadikan rujuan yang harus kucapai. Setiap hari aku berjalan semakin dckat ke tujuanku itu, dan ketika akhimya aku berhasil mencapainya aku harus tiga sampai empat kali berhenti sebentar umuk beristirahat dalam perjalanan.

Kami duduk di jalan kereta api, dekat jembatan berkerangka kuda-kuda yang ada airnya di bawah. Biarpun capek, aku merasa menang. Huoy bahagia. Ia tersenyum. Kami bercakap-cakap seperti kebiasaan kami dulu-dulu, saling menyapa dengan sebutan "Sayang" .

Seorang wanita muda yang nampak sehat dari desa lain datang menyusur rel sambil memikul sebuah karung. Ketika sudah melewati kami, ia berpaling dengan sikap heran. Pada waktu itu bahkan suami-istri pun seharusnya saling menyapa dengan sebutan "Kawan" .

"Dia itu suami Anda?" tanya wanita muda itu kepada Huoy. Nada suaranya ramah dan sopan, dengan logat orang yang berasal dan Phnom Penh.

"Ya, betul," jawab Huoy sambil tersenyum. "Ia sakit parah selama ini, tapi keadaannya sekarang sudah agak membaik."

Wanita muda itu meletakkan karungnya ke tanah. Ia memasukkan tangannya ke dalam karung itu dan mengeluarkan sebutir buah. Aku mengenal buah itu. Kulitnya sangat tebal, dan seperti halnya daun jambu biji, buah itu merupakan abat tradisional sebagai penawar penyakit yang menyerang perut. "Kak," katanya kepada Huoy, "suruhlah ia makan ini sedikit. Buah ini baik untuk kesehatannya." Ia memukulkan buah itu ke rel sehingga terbelah, lalu belahan yang satu diberikannya kepada kami.

Kurapatkan kedua telapak tanganku lalu kuangkat ke kening dengan sikap menyembah.

Wanita itu bertanya, apakah kami berasal dari Phnom Penh. Pertanyaannya itu kuiakan. Kukatakan siapa namaku yang sebenarnya, dan bahwa dulu aku ini dokter. Ia bertanya apakah aku mengenal pamannya, sambil menyebut nama orang itu. Ya, jawabku, pamannya itu guru besarku dulu, ketika aku masih di sekolah kedokteran. Kami Iantas bercakap-cakap, menggunakan segala istilah tatakrama dalam bahasa Khmer, berbicara tentang masa silam di Phnom Penh.

SebeIum pergi, ia meraih lagi ke dalam karungnya dan menyodorkan sebongkol jagung kepada kami. Perjumpaan yang hanya sekali itu, dengan wanita yang bertutur bahasa sopan itu, membesarkan hati kami. Tumbuh kembali keyakinan kami bahwa kehadiran Khmer Merah tidak berarti lenyapnya perasaan belas kasihan, begitu pula bahwa budi bahasa Kamboja yang luhur masih tetap lestari. Kami terus mengikuti wanita itu dengan mata kami, sementara ia berjalan menyusur rel dan akhirnya lenyap di kejauhan.

Aku berkata kepada Huoy, "Aku pasti bisa sembuh lagi, Sayang."

Matahari yang sudah rendah memancarkan sinarnya menerangi alam sekitar. Hawa saat itu sejuk. Aku memakan sedikit dari bagian luar buah yang diberikan wanita muda radi, lalu memberikan sisanya kepada Huoy. Kami turun ke bawah jembatan untuk mandi. Huoy menggosok tubuhku, menyingkirkan debu dan kotoran yang melekat.

Malam itu kami merebus jagung yang sebongkol itu. Kusuruh Huoy memakannya sampai habis, sebagai balasan sekadarnya untuk gadung yang diberikannya kepadaku. Perasaan kasih dan hormatku terhadap Huoy semakin bertambah. Kujunjung kedudukannya di atasku. Ia telah menyelamatkan nyawaku. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar