15
JATUH
SAKIT
BUKAN
aku satu-satunya yang jatuh sakit waktu itu. Sarna sekali tidak. Di Phum
Chhleav lebih banyak orang sakit ketimbang yang sehat. Kerja berat, kekurangan
pangan, kondisi kebersihan yang jauh dari memadai, obat-obatan yang hampir tidak
ada: semua faktor itu berbaur menjadi penyebab penyakit yang meruyak dengan ukuran
yang tidak pernah kulihat sepanjang pendidikanku menjadi dokter. Di sawah,
orang-orang "baru" yang masih tersisa bekerja dengan gerak-gerik lamban;
dalam pondok-pondok mereka terkapar dilanda demam, atau dengan anggota badan
membengkak, atau mencret-mencret. Setiap hari nampak iring-iringan bergerak
menyusur jalan-jalan setapak di desa, menuju tempat penguburan.
Faktor
paling utama yang menyebabkan timbulnya malapetaka di segi kesehatan masyarakat
ini adalah kekurangan gizi. Khmer Merah memberi kami makan semangkuk air tajin
asin dengan beberapa sendok nasi di dasarnya pada siang hari, sementara malam
hari menunya sama saja. Hanya itu saja yang kami makan. Mereka tidak
mengizinkan kami pergi mencari bahan pangan sendiri di luar, meski
kadang-kadang kami melakukannya juga. Tanpa nutrisi yang memadai, kami menjad lemah.
Masih
ada lagi faktor-faktor lain. Kami orang kota, tidak biasa melakukan pekerjaan
jasmani yang berat. Kelelahan kronis-jenis kelelahan yang timbul karena menarik
bajak selama dua belas jam sehari-menyebabkan turunnya daya tahan tubuh kami
terhadap penyakit, di samping kekurangan gizi. Kami nyaris tidak memiliki daya tahan
lagi. Karena kami berasal dari kota seperti misalnya Phnom Penh, tubuh kami
tidak membentuk kekebalan alamiah terhadap segala macam mikroorganisme yang ada
di Battambang - terhadap bakteri di dalam air minum yang kotor, misalnya. Yang
membuat kondisi menjadi semakin parah. kami tidak punya jamban yang layak, begitu
pula halnya dengan fasilitas untuk mandi. Obat-obatan yang ada hanya sedikit,
dan Khmer Merah tidak memberi kemungkinan para dokter seperti aku unruk
berpraktek secara terbuka.
Tapi
aku tetap saja menjalankan profesiku, sampai sadar aku sendiri jatuh sakit.
Begitu pula halnya dengan kedua dokter kenalanku, sebelum mereka digiring pergi
oleh serdadu-serdadu Khmer Merah. Lalu masih ada lagi seorang lelaki bertubuh
kecil yang banyak akalnya. Julukannya Pen Tips; tentang dia ini aku masih akan
bercerita nanti. Aku mendatangi para pasienku di gubuk- gubuk mereka sekitar
saat matahari terbit atau terbenam dengan membawa stetoskop dan pengukur tekanan
darah yang kusembunyikan di balik bajuku. Karena tidak ada kemungkinan
dilakukannya pemeriksaan laboratorium, aku hanya bisa menyusun diagnosisku
berdasarkan simtom-simtom yang ada, lalu mengatakan obat apa yang menurut
pendapatku diperlukan. Para pasien itu harus membeli.sendiri obat itu di pasar
gelap dengan beras atau bisa juga emas sebagai pembayaran. Simtom-simtom
penyakit yang paling kerap kujumpai adalah edema, atau pembengkakan karena
timbunan cairan dalam jaringan tubuh.
Simtom
itu bertalian dengan kurangnya protein dalam makanan kami sehari-hari, dan
mungkin pula sebagai akibat banyaknya garam yang terkandung dalam cairan tajin
yang kami minum pada waktu makan. Orang yang mengidap edema, meski kelaparan,
tidak lantas menjadi kurus melainkan justru membengkak tubuhnya, dan ini biasanya
berawal pada bagian tungkai. Dalam kasus yang paling berat, si penderita tidak
bisa merapatkan tungkai mereka; pasien yang pria, kantong buah zakarnya
membengkak sampai besar sekali. Cara penyembuhannya sangat gampang, yakni
diberi makan; tapi setiap orang yang memiliki bahan pangan yang agak
berlebihan, menyimpannya umuk dimakan sendiri.
Skala
penyakit infeksi benar-benar luar biasa. Luka-luka bernanah dan tidak mau
sembuh- sembuh juga. Jelas pada kulit merupakan hal yang biasa dijumpai,
terutama infeksi yang diakibatkan karena jamur; kami, orang-orang
"baru", selalu berada di luar di tengah hujan, dan kulit kami tidak
pernah sempat menjadi kering lagi. Ada pula kasus-kasus malaria, radang paru,
dan tuberkulosis. Hampir semuanya di pemukiman mengidap penyakit mencret yang
biasa, dan banyak yant diserang disentri amuba, infeksi saluran usus yang jauh
lebih berbahaya. Itulah yang menimpa diriku. Disentri, mungkin karena meminum
air yang tercemar sewaktu daya tahanku sedang rendah.
Ketika
aku jatuh sakit, semua antibiotika dan obat disentri yang kupunyai sudah habis
dipakai untuk mengobati ayah dan saudara-saudara lelakiku, yang sudah lebih
dulu jatuh sakit. Huoy pergi mendatangi orang-orang yang kukenal untuk mencari
obat. Ia mencari dan bertanya ke mana-mana, tapi tidak ada yang punya. Akhirnya
ia menukarkan emas seberat satu damleung -
sekitar 35 gram - dengan lima belas butir tablet tetrasiklin 250 mg., obat
antibiotika yang biasa. Kuminum sebutir tablet tetrasiklin dua kali sehari
selama persediaan masih ada. Dalam situasi normal, menurutku, dosis yang
diperlukan dua kali lipat, jadi 1.000 mg, sehari, ditambah dengan obat
antidiare.
Sebagai
tambahan untuk melengkapi pengobatan dengan tetrasiklin, kucoba obat-obatan
tradisional. Orang desa di Kamboja apabila terserang diare atau disentri, mereka
mengobatinya dengan mcmakan daun-daun muda yapg pahit rasanya, yang dipetik dari
ujung ranting-ranting pohon jambu biji. Di dekat tempat kami ada pohan- pohon itu.
Huoy pergi memetik daun-daun itu lalu membuatkan minuman jamu untukku dari rebusan
daun jambu biji serta kulit pohonnya. Tapi efeknya sama sekali tidak ada. Aku
meringkuk terus di rumah dan berulang kali terbirit-birit dari pembaringanku ke
jamban darurat yang digalikan oleh Huoy untukku di dekat kebun kami yang kecil sekali
ukurannya. Aku harus memaksa diriku sebelum bisa berpikir dengan jelas, dan itu
pun hanya sanggup sebentar-sebentar saja.
Ketika
disentri yang menyerangku menjadi bertambah parah, duniaku menyempit sampai hanya
terbatas pada gubuk dan kebun tempat jamban saja. Tubuhku lemah sekali,
sehingga tidak mampu lagi ke mana-mana selain ke kedua tempat itu. Tentang
dunia luar, aku hanya tahu tentang apa yang sampai ke tempatku: bunyi peluit
uap kereta api yang melengking di kejauhan, lalu kemudian gemeretak roda-roda
yang berjalan di atas rel dan bunyi roda-roda penggerak yang terus berputar
cuk-cuk-cuk-cuk saat kereta-kereta barang lewat. Kudengar bunyi ketak-ketuk galah
yang didorong-dorong oleh regu perawatan jalan kereta yang lewat naik gerobak
datar, dua kali dalam sehari. Dan setiap pagi, lewat celah-celah dinding gubuk,
kulihat iring-iringan pembawa jenazah ke tempat penguburan. Jenazahnya dibungkus
dengan lembaran plastik atau kain dan diusung di atas hamparan papan yang ujung-ujungnya
digabungkan pada sebatang tongkat bambu panjang yang dipanggul orang-orang yang
berkabung.
Suatu
ketika setelah minggu pertama terserang disentri, Huoy kembali dari bekerja
ketika aku baru saja masuk sesudah pergi ke kebun. Persediaan tetrasiklin sudah
habis. "Ayolah, Sayang,” pintaku padanya, "juallah beberapa barang
lagi. Carikanlah berkeliling lagi."
Dalam
kondisiku yang lemah dan kacau saat itu, aku bah kan tidak mempercayai dia. Aku
tidak yakin bahwa ia sudah berusaha sedapat mungkin.
"Kau
tidak percaya padaku?" kata Huoy. Ia berdiri di dekatku. Dipandangnya
diriku yang sedang berbaring dengan sorot mata sedih. "Percayalah padaku.
Aku berusaha sekuat tenaga untuk memperoleh obat itu." la pergi lagi ke
luar. Tapi ia tidak berhasil.
Masih
ada satu obat lagi yang bisa dicoba: memakan arang yang berasal dari makanan
yang hangus. Cara kerjanya ialah menyerap gas. Arang itu pada umumnya hanya
mengurangi simtom-simtom diare atau disentri, tapi kadang-kadang ada juga
efeknya - biar pun hanya sedikit - pada penyebab penyakitnya.
Tapi
masalahnya dengan makanan yang hangus, karni hampir tidak punya makanan umuk
dimakan, atau dihanguskan. Ayahku datang ke gubuk kami dengan membawa beberapa
irisan tipis daging babi. Ia dan Huoy dengan teliti sekali mengikis lemak dan
irisan-irisan itu yang kemudian dipanggang dalam api sampai hangus sebelah luarnya.
Daging hangus itu kumnakan, tapi lalu kumuntahkan lagi. Aku sudah tidak kenal
malu lagi sehubungan dengan penyakit disentriku, meski penyakit itu tidak enak
dilihat dan memalukan. Aku sudah ter'lalu lemah, sehingga tidak peduli lagi
tentang rasa malu. Baik siang maupun malam, beberapa kali dalam waktu sejam,
aku terhirit-birit lari dari pembaringanku dalam gubuk ke lubang yang digali di
pekarangan. Sesampai di situ aku buru-buru mengangkat ujung bawah sarungku lalu
berjongkok. Apabila sudah selesai aku berdiri sambil menengok ke bawah,
memandang nanah, darah, dan cairan yang kukeluarkan, untuk melihat apakah
keadaanku sudah agak membaik; tapi sampai akhir minggu kedua keadaanku masih tetap
begitu-begitu terus. Apabila aku sedang berbaring, terdengar bunyi menggeleguk-geleguk
di dalam perutku. Kadang-kadang bahkan kulihat ususku bergerak-gerak karena
adanya gas yang memuai di dalamnya. Perang sedang berlangsung di situ, antara
amuba di satu pihak dan pertahanan tubuhku di pihak lain. Tubuhku mengerahkan scmua
kemampuannya ke medan perang itu, schingga aku menjadi semakin lemah.
Hari
ketujuh belas atau kedelapan belas, aku tidak merasakan apa-apa lagi. Aku
mencret saat sedang berbaring miring. Aku baru menyadarinya ketika aku meraba
ke belakang dan menjamah sesuatu yang basah di situ. Tinggal delapan sarung
yang masih tersisa dari tumpukan yang kubawa dari klinikku. Aku menggunakan
sarung-sarung itu sebagai popok. Pada hari kedua puluh aku tidak bisa berjalan
lagi. Aku terpaksa merangkak jika hendak berak kebun. Huoy pergi menghadap
penguasa setempat untuk minta izin tidak bekerja agar bisa merawat aku.
Ia
perawat yang benar-benar hebat. Aku dimandikannya siang maupun malam. Ia memasak
beras yang hanya sedikit yang masih kami milik lalu aku disuapinya sedikit demi
sedikit dengan sendok, sementara aku berbaring dengan kepala di pangkuannya.
Air mukanya membayangkan pertanyaan yang murung. Aku tahu apa yang ada dalam
pikirannya saat itu: jika aku mati, sebagian dari dirinya akan ikut mati pula.
Karena
kepalaku terletak di pangkuannya, aku hanya bisa melihat wajahnya saja. Matanya
yang besar dan bulat. Alis yang subur dan tebal yang tidak pernah memerlukan
riasan. Pipi yang cekung. Apabila aku merebahkan diri, kulihat jalinan gelagah
yang membentuk dinding dari sinar matahari yang menerobos masuk.
Gubuk-gubuk
yang dekat letaknya, gubuk-gubuk orangtua dan saudara-saudara lelakiku, rasanya
jauh sekali. Membayangkan pergi ke sana saja rasanya sudah tidak mungkin.
Saudara- saudaraku pernah sekali datang menjenguk. Tapi setlelah itu tidak
pernah lagi, dan itu menimbulkan kemarahanku. Aku sudah memberikan obat-obatan ketika
merawat mereka, tapi mereka tidak mau mengorbankan emas mereka untuk membeli obat
bagiku. Ikatan keluarga tidak ada artinya lagi bagi mereka sekarang. Setiap orang
mengurus dirinya sendiri. Dan setelah itu aku tidak lagi merasa marah terhadap
saudara-saudaraku. Aku sudah tidak peduli lagi, karena keadaanku sudah terlalu lemah.
Dari
hari ke hari tubuhku semakin menyusut, sementara bakreri-bakteri yang menyerbu masuk
berperang di dalam ususku melawan kekuatan pelindung tubuhku. Tulang selangkanganku
nampak mencuat. Tulang-tulang rusukku kelihatan jelas. Tungkaiku kelihatannya
seperti batang batang korek api karena kurusnya, kecuali lutut dan pergelangan kakiku
yang menonjol, besar dan membonggol. Berat tubuhku susut, tinggal sekitar 35 kg.
Ketika
aku sedang berbaring miring, seekor lalat hinggap di .wajahku. Aku tidak bergerak.
Kurasakan lalat itu berjalan di pipiku, kurasakan kaki-kakinya yang kecil saat
binatang itu bergerak kian-kemari, dan aku tahu ia akan mendatangi cairan yang
ada di sudut mataku. Kemudian kurasakan kehadiran Huoy saat itu datang mendekati,
lalu kurasakan udara bergerak ketika ia mcngusir lalat tadi. Huoy menurunkan kelambu
di sekelilingku. Kupusatkan tatapanku pada tenunan kelambu yang halus. lalu
pada sinar matahari yang masuk lewat celah-celah di dinding gelagah.
Aku
mendengar bunyi guruh bergulung-gulung dan tiupan angin yang bertambah kencang
ketika hujan datang. Tetesan air hujan menimpa tubuhku, tapi aku tetap tidak
bergerak. Huoy pergi ke luar. Diikatkannya selembar krama ke sisi luar dinding
agar air hujan tidak bisa masuk.
Pikiranku
menerawang. Jika aku hendak mengangkat kaki, aku berpikir mengenainya. Lalu pikiranku
melantur. Kemudian aku ingat lagi, dan kuperhatikan diriku melakukan niatku
semula. Kakiku rasanya jauh sekali letaknya dan aku Memandangnya dengan perasaan
tak peduli, seolah-olah itu kaki orang lain. Kelihatannya tidak seperti kakiku.
Terlalu kurus.
Aku
terlena, tapi tidak sampai tidur. Ususku terus saja menggelegak karena cairan
dan gas yang ada di dalamnya: dan sekian menit sekali ada lagi yang menyembur
ke!uar dari pantatku. Tidak ada yang bisa mencegah hal itu terjadi. Racun terus
saja menyembur ke luar, tapi di dalam masih saja terus berlangsung ge!egak dan
mengaduk-aduk, dan itu terus saja menghasilkan semburan ke luar. Makanan malah
mengakibatkan keadaan menjadi semakin parah. Mungkin jika aku punya nasi putih
yang murni dalam jumlah yang banyak, perutku bisa menjadi agak tenang; tapi
persediaan beras kami tinggal satu kaleng lagi. Hanya itulah persediaan makanan
yang kami miliki. Huoy hamya makan cairan air tajin asin yang diberi Khmer
Merah. Selebihnya disuapkannya padaku.
Pada
hari ketiga puluh, aku mendapat firasat yang datang dari lubuk hatiku bahwa aku
akan bisa mengatasi serangan infeksi itu.
Kemudian,
pada pagi hari ketiga puluh satu, ada sesuatu yang berubah. Aku hendak
memeriksa denyut nadi di pergelangan tanganku. Tapi sebelum aku bisa
melakukannya, pikiranku sudah melantur. Mana Huoy? Aku tidak mendengar dia di
dalam gubuk. Kupalingkan kepalaku, lalu kuputar lebih jauh. Lewat celah-celah
di dinding kulihat dia di luar, sedang mengambil sarung-sarung dari tali
jemuran. Aku tadi sedang berpikir tentang apa? 0 ya, denyut nadiku. Untuk itu
aku harus menggerakkan tangan kananku ke pergelangan tangan kiriku. Jika
kusuruh tanganku bergerak, tanganku akan menurut. Jika itu kulakukan sekarang,
aku takkan lupa. Lebih baik sekarang juga, sementara tidak terlihat olehnya.
Kuperhatikan
lengan kananku bergerak menyeberang dan ujung jari-jari tanganku meraba,
mencari- cari denyut nadi di pergelangan tangan kiriku. Tidak ada. Itu dia. Ya.
Denyutnya sangat lambat.
Denyut
jantungku melambat.
Beberapa
jam lagi pasti berhenti denyutannya. Huoy masuk membawa sarung-sarung yang sudah
dilipat. Disimpannya sarung-sarung itu, lalu ia berlutut di dekatku. Rambutku
yang menutupi kening diusapnya ke belakang, lalu disekanya mukaku dengan lap
yang lembab.
"Perasaanku
tidak enak," kataku. "Kurasa aku sudah hampir mati. Tolong panggilkan
ayahku kemari."
"Kau
tidak akan mati," kata Huoy dengan tegas. "Kau dan aku, kita akan
hidup lama bersama-sama." Tapi ia sendiri tidak menaruh kepercayaan terhadap
kata-kata itu. Huoy pergi memanggil ayahku, dan mereka masuk bersama sama lalu
duduk di sisiku. Ayah dengan wajahnya yang sudah keriput memandang diriku. Aku masih
bisa mengingat keadaannya, ketika ia masih lebih muda dan lebih gemuk.
Kukatakan
pada ayahku, beberapa jam lagi aku akan mati. Aku meminta padanya agar menjaga istriku.
Kukatakan bahwa Huoy merawat diriku dengan baik, tapi ia tidak berdaya untuk
menyelamatkan nyawaku. "Jika ada yang mengatakan hal hal yang jelek
tentang dirinya, jangan percaya.”
Aku
minta kesediaan Ayah dan Ibu untuk Menampungnya : Jangan sampai ia hidup dengan
orang lain dalam keluarga kita. Jagalah diri Ayah baik-baik dan jaga Huoy,
semoga dewa-dewa memberkati kalian."
Ayahku
mengatakan bahwa aku tidak perlu khawatir, aku takkan mati. Tapi kemudian ia keluar
unruk meletakkan lilin-lilin dan hio di tanah di bawah pohon mangga, lalu
bersiap-siap untuk bersembahyang.
Huoy
duduk di sampingku. "Kuatkan pikiranmu," katanya berulang-ulang.
"teguhkan hati, maka kau takkan mati." Dielusnya mukaku dan dibersihkannya
muka dan badanku dengan lap yang lembab. la tidak menyembunyikan air matanya
yang mengalir membasahi pipi.
"Berbahagialah
jika aku mati nanti," jawabku.
Kudengar
suara ayahku berkata dengan lantang di luar, "Semoga ia pergi ke surga
yang indah! Semoga kehidupannya baik di tempat yang akan didatanginya. Semoga
makanan dan obat-obatan mencukupi di sana."
Aku
berkata kepada Huoy, "Sesudah aku mati nanti pun aku akan masih tetap
melindungimu. Kau akan kujaga seumur hidupmu."
Ibuku
datang ke tempat Ayah, lalu mereka berlutut dan bersembahyang berdampingan.
Setelah itu lbu masuk ke gubuk dan duduk di sisiku. Ia mengurut lengan dan
tungkaiku. la nampak benar-benar tua sekarang, tua dan tanpa seri. Bersama
istriku ia melepaskan sarungku, lalu berusaha mendandani diriku dengan kemeja
dan celana panjang baru untuk persiapan mati nanti.
"Jangan,"
kataku. "Sayang jika aku didandani dengan celana baru. Kan bisa ditukar
dengan barang lain sesudah aku mati."
"Aku
tidak peduli dengan tukar-menukar," kata Huoy, sementara mereka memasukkan
kakiku ke dalam celana yang kemudian mereka tarik ke atas. "Tidak ada yang
perIu dipertukarkan. Jika kau mati, aku juga mati."
Aku
memiringkan tubuhku, lalu menunggu.
***************
Siangnya rerdengar bunyi langkah orang serta suara
yang lantang.
“Ada
pembagian gadung! Satu orang dari setiap keluarga, datanglah ke rumahku! Kita
punya gadung! Ambil bagian kalian! Ambil gadung kalian!" Orang itu kepala
bagian sipil di Phum Chhleav, seorang lelaki bertubuh besar dan tegap, yang
kedudukannya di bawah lelaki tua yang waktu itu datang menunggang kuda. Lelaki
tegap ini disertai oleh ketua-ketua kelompok di Phum Chhleav serta serombongan
orang yang mengikuti dengan suara ramai, bercakap-cakap sambil melambai-Iambaikan
tangan. ltu bahan pangan pertama dalam waktu tiga hari yang dibagi-bagikan Khmer
Merah untuk dikonsumsi sendiri oleh masing-masing keluarga.
Kusuruh
Huoy pergi mengambil jatah kami. Ayahku sudah lebih dulu pergi untuk mengambil bagiannya.
Aku
merebahkan diri kembali, lalu mulai berpikir tentang gadung. Bahan pangan yang
cepat tumbuhnya di kawasan beriklim tropik itu mengandung berbagai mineraI dan
vitamin, tapi terutama terdiri dari karbohidrat. Jika dimasukkan ke dalam api, gadung
akan terbakar. Berubah menjadi arang.
Huoy
pergi dengan membiarkan api tetap menyala di sampingku, dengan ketel teh di
atas tungku yang terbuang dari tiga bongkah batu. Ketika air di dalamnya sudah
mendidih, kujauhkan ujung-ujung kayu bakar dan api, tapi aku tidak memiliki
tenaga untuk menyeduh teh.
Sesudah
beberapa waktu berlalu, berapa lamanya aku tidak tahu, Huoy kembali. Ditunjukkannya
jatah kami: sepotong gadung yang kecil, sebesar kepalan tinjunya.
Huoy
menatap gadung itu dengan pandangan khusyuk. Sudah sejak berapa lama ia tidak
pernah merasakan makanan yang bisa benar-benar mengisi perut? Dua minggu? Tiga
minggu? Pernahkah la merasa kenyang sejak makan tikus sawah waktu itu?
Aku
berkata padanya, “Berikanlah makanan itu padaku, Sayang. Kurasa jika aku
memakannya, perutku akan bisa lebih enak. Aku tahu kau juga lapar seperti aku,
tapi kita masih punya beras. Kau makan saja itu."
Kami
masih belum menyentuh beras kami yang tinggal sekaleng. Kami menghematnya, meski
aku tidak tahu apa alasannya. Rasa lapar kami takkan mungkin bisa lebih parah
daripada saat itu.
Huoy
memandangku dengan senyum sedih, lalu mengangguk. "Apa pun juga yang
kauingini, aku akan melakukannya. Aku ingin kau tetap hidup. Selama kita berdua
masih hidup, kita akan bahagia."
Kusuruh
Huoy membakar gadung itu tanpa merebusnya dulu. Ia memasukkannya ke dalam api.
Ketika sudah Ketika sudah hitam sama sekali, ia mengeluarkannya agar menjadi
dingin. Dikikisnya abu arang dari gadung hangus itu, yang kemudian diirisnya menjadi
potongan-potongan kecil. Seluruh umbi itu nampak hitam, kecuali beberapa bagian
kecil berwama kuning dan lunak. Huoy meletakkan kepalaku di pangkuannya, lalu
disuapkannya potongan-potongan gadung itu dengan sendok ke mulutku, sepotong
demi sepotong, sampai akhirnya habis semua.
Aku
merasa tubuhku tidak lagi begitu lemas seperti tadi.
Kepergianku
ke kebun berkurang kekerapannya, dari lima kali sejam menjadi tiga kali. Keesokan
harinya berkurang lagi menjadi dua kali sejam, dan sehari sesudah itu sekali
sejam. Umbi gadung yang dibakar hangus itu membantu berbaliknya keadaanku. Daya
tahanku bisa bertambah besar karenanya.
Dalam
waktu beberapa hari perutku sudah mampu menerima makanan padat.
Setelah
satu minggu lagi berlalu, Huoy mengangkat tubuhku, menyampirkan lenganku memeluk
bahunya dan menyodorkan tongkat yang panjang padaku untuk kupakai sebagai
penyangga. Dibantunya aku berjalan. Kakiku harus kuajari lagi berjalan.
Hanya
beberapa langkah saja kami tapakkan saat itu. Tapi keesokan harinya kami
berjalan mengelilingi gubuk.
Jarak
dari gubuk ke jalan kereta api sekitar lima puluh yard. Itu kujadikan rujuan
yang harus kucapai. Setiap hari aku berjalan semakin dckat ke tujuanku itu, dan
ketika akhimya aku berhasil mencapainya aku harus tiga sampai empat kali berhenti
sebentar umuk beristirahat dalam perjalanan.
Kami
duduk di jalan kereta api, dekat jembatan berkerangka kuda-kuda yang ada airnya
di bawah. Biarpun capek, aku merasa menang. Huoy bahagia. Ia tersenyum. Kami
bercakap-cakap seperti kebiasaan kami dulu-dulu, saling menyapa dengan sebutan
"Sayang" .
Seorang
wanita muda yang nampak sehat dari desa lain datang menyusur rel sambil memikul
sebuah karung. Ketika sudah melewati kami, ia berpaling dengan sikap heran.
Pada waktu itu bahkan suami-istri pun seharusnya saling menyapa dengan sebutan
"Kawan" .
"Dia
itu suami Anda?" tanya wanita muda itu kepada Huoy. Nada suaranya ramah
dan sopan, dengan logat orang yang berasal dan Phnom Penh.
"Ya,
betul," jawab Huoy sambil tersenyum. "Ia sakit parah selama ini, tapi
keadaannya sekarang sudah agak membaik."
Wanita
muda itu meletakkan karungnya ke tanah. Ia memasukkan tangannya ke dalam karung
itu dan mengeluarkan sebutir buah. Aku mengenal buah itu. Kulitnya sangat
tebal, dan seperti halnya daun jambu biji, buah itu merupakan abat tradisional
sebagai penawar penyakit yang menyerang perut. "Kak," katanya kepada Huoy,
"suruhlah ia makan ini sedikit. Buah ini baik untuk kesehatannya." Ia
memukulkan buah itu ke rel sehingga terbelah, lalu belahan yang satu diberikannya
kepada kami.
Kurapatkan
kedua telapak tanganku lalu kuangkat ke kening dengan sikap menyembah.
Wanita
itu bertanya, apakah kami berasal dari Phnom Penh. Pertanyaannya itu kuiakan.
Kukatakan siapa namaku yang sebenarnya, dan bahwa dulu aku ini dokter. Ia
bertanya apakah aku mengenal pamannya, sambil menyebut nama orang itu. Ya,
jawabku, pamannya itu guru besarku dulu, ketika aku masih di sekolah kedokteran.
Kami Iantas bercakap-cakap, menggunakan segala istilah tatakrama dalam bahasa Khmer,
berbicara tentang masa silam di Phnom Penh.
SebeIum
pergi, ia meraih lagi ke dalam karungnya dan menyodorkan sebongkol jagung
kepada kami. Perjumpaan yang hanya sekali itu, dengan wanita yang bertutur
bahasa sopan itu, membesarkan hati kami. Tumbuh kembali keyakinan kami bahwa
kehadiran Khmer Merah tidak berarti lenyapnya perasaan belas kasihan, begitu
pula bahwa budi bahasa Kamboja yang luhur masih tetap lestari. Kami terus
mengikuti wanita itu dengan mata kami, sementara ia berjalan menyusur rel dan
akhirnya lenyap di kejauhan.
Aku
berkata kepada Huoy, "Aku pasti bisa sembuh lagi, Sayang."
Matahari
yang sudah rendah memancarkan sinarnya menerangi alam sekitar. Hawa saat itu
sejuk. Aku memakan sedikit dari bagian luar buah yang diberikan wanita muda
radi, lalu memberikan sisanya kepada Huoy. Kami turun ke bawah jembatan untuk
mandi. Huoy menggosok tubuhku, menyingkirkan debu dan kotoran yang melekat.
Malam
itu kami merebus jagung yang sebongkol itu. Kusuruh Huoy memakannya sampai habis,
sebagai balasan sekadarnya untuk gadung yang diberikannya kepadaku. Perasaan
kasih dan hormatku terhadap Huoy semakin bertambah. Kujunjung kedudukannya di
atasku. Ia telah menyelamatkan nyawaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar