Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 05 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 16 : Ekshibisi Egoisme dan Kematian


16

EKSHIBISI EGOISME DAN KEMATIAN


KETIKA berat badanku sudah naik sampai menjadi sekitar 50 kg, aku disuruh bekerja lagi di sawah. Aku tidak berkeberatan. Berada di lahan persawahan Battambang yang subur itu saja sudah membuat aku merasa lebih enak. Tanaman padi sudah besar dan lebat saat itu, tingginya melebihi pinggangku. Dari tengah-tengah sawah, pematang hanya bisa dikenali sebagai tempat-tempat kosong di sela-sela hamparan permadani hijau yang tebal. Apabila angin bertiup menyisir tumbuhan padi, tercium baunya yang begitu sedap dan segar, menyebabkan perutku berkeriuk-keriuk karena lapar. Begitu banyak padi. Beberapa bulan lagi, saat panen, kami akan bisa makan bermangkuk-mangkuk nasi putih hangat yang berkepul-kepul uapnya, sebanyak yang kami inginkan. Itulah yang dijanjikan kepada kami.

Kini, menjelang akhir musim hujan, kerja berat-membajak sawah dan memindahkan benih- sudah selesai. Tinggal tugas-tugas enteng saja yang masih perlu dilakukan, seperti misalnya mengatur tinggi air, itu pekerjaan gampang. Bersama beberapa orang lelaki, aku berkeliling menyusur pematang dengan membawa cangkul. Tinggi pematang sekitar empat puluh lima sampai enam puluh senti. Apabila nampak bahwa air hujan kelihatannya akan melimpah di atas pematang--pematang, kami lantas sibuk mencangkul membuat lubang agar air bisa mengalir dari petak yang satu ke petak berikut; begitu terus, sampai air yang berlebihan sampai di pinggir sawah. Kemudian pematang-pematang kami betulkan !agi dengan menggunakan cangkul dan tangan.

Kami selalu basah dan berlumur lumpur sepanjang hari, tapi pekerjaan itu menyenangkan. Kami tidak begitu diawasi. Tidak ada serdadu Khmer Merah yang menjaga dengan cemeti di tangan. Mereka jarang sekali datang ke sawah. Bukan itu saja, sambil bekerja kami pun masih sempat mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan.

Apabila petak-petak sawah tergenang air, pasti ada kehidupan di situ: kodok, keong, udang rebon, ikan yang kecil-kecil, atau ketam. Di Phum Chhleav, binatang yang paling mudah ditangkap adalah ketam - itu bagi yang mengetahui caranya. Percuma saja jika mencoba menangkapnya saat pagi-pagi sekali atau ketika hari sudah sore, sewaktu air terasa sejuk. Saat-saat itu ketam-ketam ada di tengah-tengah tumbuhan padi, berpegang pada batang-batang dengan sapitnya. Begitu terdengar ada orang datang, binatang-binatang itu dengan segera menjatuhkan diri ke air dan lari berenang dengan gerakan menyamping Tapi saat tengah hari, apabila air di sawah hangat dipanasi sinar matahari, ketam-ketam pulang ke liang-liang mereka di pematang. Saat itu mereka bisa ditangkap dengan jalan menyodokkan tangan ke dalam liang-liang mereka. Penangkapannya harus dilakukan dengan sangat cepat, karena ketam bisa membela diri dengan sapitnya. Jepitannya kadang-kadang bisa menyebabkan tangan sampai berdarah. Ketam-ketam yang kutangkap kumasukkan ke dalam kantong kemejaku. Mereka tidak bisa merangkak ke luar. Jika pergi bekerja di sawah aku selalu memakai kemeja yang itu-itu terus, yakni kemeja parasutis dengan warna-warna kamuflase yang berasal dari zaman Lon Nol, dengan katong-kantong yang besar dan kantong-kantong tambahan yang dijahitkan Huoy di sebelah dalam. Aku bekerja di sawah dengan bagian bawah kemeja terjulur di luar celana dan kantong-kantong menggembung berisi ketam-ketam yang masih hidup.

Ketam-ketam itu kami rebus di gubuk pada malam hari, sesudah makan malam biasa yang terdiri dari air tajin encer dan sesudah acara rapat politik yang biasanya menyusul kemudian. Kadang- kadang aku dan Huoy masing-masing makan lima belas sampai dua puluh ekor ketam rebus. Dalam setiap keluarga pasti ada seseorang yang bekerja di sawah, dan setiap orang makan ketam dengan sembunyi-sembunyi. Apabila aku dan Huoy berhasil memperoleh daging atau ikan, meski ini jarang terjadi, dagingnya kami makan dulu, lalu tulangnya kami masukkan lagi ke dalam kuali. Kami menunggu sampai tulang-tulang itu sudah lunak, dan kemudian itu pun kami makan untuk memperoleh zat kapur, protein, dan zat-zat gizi yang terdapat dalam sumsum. Tidak ada sesuatu pun yang kami sisakan.

Makanan berarti kekuasaan. Meski selalu didengung- dengungkan tentang suatu masyarakat revolusioner di mana semua orang sederajat, tapi kenyataannya mereka-mereka yang ada di atas berkecukupan makannya, sementara kami yang berada di lapisan pating bawah selalu menderita kekurangan gizi. Setiap hari, apabila gong tanda mulai makan berbunyi, mit neary datang membawa gentong berisi air tajin encer dengan beberapa butir nasi ke sebuah bukit kecil di sawah lalu membagi-bagikan air tajin itu dengan sendok besar ke dalam mangkuk-mangkuk, untuk orang-orang "baru". Scmentara itu serdadu-serdadu pergi ke markas Khmer Mera yang menempati ketiga rumah yang berjejer dekat jalan kereta api. Kami pernah melihat gerobak-gerobak sapi berisi perbekalan datang dan berhenti di depan rumah-rumah itu. Kami melihat asap dapur di sana menjulang setiap hlari. Tanpa diberitahu pun kami sudah bisa menebak sendiri apa yang saat itu sedang berlangsung di dalam. Tapi apabila serdadu- serdadu itu kembali lagi ke sawah dengan tampang kenyang dan puas serta sambil menjilat-jilat bibir, mereka berlagak seolah-olah tidak makan apa-apa. Mereka mengambil mangkuk mangkuk berisi air tajin dan memakannya, seperti yang sudah kami lakukan. Mereka menyeruput cairan itu, yang disendokkan ke mulut, sambil berkata, "Lihatlah. Kami makan seperti kalian. Makanan yang persis sama. Bagi kami ini sudah cukup, jadi mesti mencukupi juga buat kalian. Kalian ini benar-benar malas. Kalian harus bekerja lebih keras, untuk menunjukkan rasa terima kasih kalian kepada Angka."

Dengan senapan atau tidak, serdadu-serdadu itu memancarkan kekuasaan, seperti jagoan-jagoan desa yang besar dan kekar. Kami lebih lemah dan takut kepada mereka. Kami tidak cukup kuat untuk bisa melawan. Karenanya kami diam saja dan dengan sembunyi-sembunyi memakan ketam hasil tangkapan kami. Kami menunggu saat panen tiba, saat kami akan bisa makan sekenyang-kenyangnya. Tapi Khmer Merah punya rencana Iain dengan hasil panen padi itu.

Suatu pagi, ketika aku menegakkan tubuh setelah sibuk mencangkul untuk membuat saluran air melewati sebuah pematang di sawah, aku melihat sosok seseorang di kejauhan. Aku mengenalinya: dia itu lelaki tua yang menunggang kuda. la berkuda lambat-lambat di jalan kecil yang menyusur rel, menuju ke tempat kami. Datangnya dari arah stasiun kereta api di Phnom Tippeday. Penampilannya sama dengan waktu itu. Sarung suteranya dilipat ke pinggang, menampakkan ujung celana pendek hitamnya yang menjulur di bawah, sementara kramanya dililirkan mengelilingi pinggang. Ditungganginya kudanya dengan santai menuju ke tiga rumah yang berderet-deret. Sesampai di situ ia turun dari kudanya lalu masuk ke dalam rumah.

Kawan lk takkan datang ke Phum Chhleav tanpa ada keperluannya.

Beberapa jam kemudian, sesudah makan slang, dituntunnya kudanya ke pematang sawah. Sesampai di situ ia berjalan ke sana dan ke sini, memeriksa tumbuhan padi dan tinggi air datam petak-petak sawah. Setiap kali ia berjalan ke suatu arah, dengan cara yang tidak menyolok aku beranjak ke arah yang berlawanan, sehingga kami tidak pernah bertemu muka. Akhirnya ia sampai di pinggir sawah. la naik ke punggung kudanya, lalu pergi dengan lambat-Jambat.

Bahaya sudah pergi lagi, kataku dalam hati.

Instruksi Kawan Ik bergerak menuruni jenjang-jenjang hierarki kekuasaan di Phum Chhleav dan akhirnya sampai di telinga pemimpin kelompok kerja di mana aku berada. Pemimpin kelompok itu orang "baru". Kabar itu disampaikannya kepada kami keesokan harinya ketika aku sedang berdiri menyandar pada gagang cangkulku di sawah, dalam air yang mencapai lutut. "Sebentar lagi kita akan pergi dari Phum Chhleav," katanya dengan gaya sok orang penting. "Kapan tepatnya kami belum tahu, tapi itu nanti akan diberitahukan oleh Angka."

Kukendalikan perasaanku agar jangan tercermin dalam air mukaku. Pemimpin kelompok itu tidak kupercayai, meski ia berasal dari Phnom Penh seperti kami yang lain-lainnya. Orangnya Iehih tegap dan kuat ketimbang kami, dengan kulit yang bersih dan nampak sehlat. Aku ingin tahu, dari mana ia.mendapat makanannya. Teman-temanku sekelompok juga tidak mempercayainya. Mereka langsung mengomel, begitu pemimpin kelompok kami itu berpaling.

"Nah, lihat saja, mereka melakukannya lagi! kata seorang Ielaki. Aku mengenalnya dari Tonle Bati dulu. "Mereka selalu mengatakan, 'Jika kalian bekerja keras, kalian bisa makan.' Kini sesudah kita bekerja keras dan menanam padi mereka hendak menyuruh kita pergi dari sini! Kemana lagi kita sekarang? Hasil panen siapa yang bisa kita makan sekarang, jika tidak bisa makan hasil tanaman kita sendiri?"

"Betul," sambut seorang lelaki Iain dengan suara getir. "Ada tentara yang membunuh dengan peluru. Khmer Merah membunuh dengan beras! Tidak masuk di akalku: di sekeliling kita ada padi tapi kita tidak bisa memanennya untuk dimakan Belum pernah seumur hidupku aku melihat padi sebanyak ini, tapi belum pernah aku merasa selapar sekarang."

Aku diam saja, meski aku sependapat dengan mereka. Dengan padi yang begitu banyak, dengan begitu banyak orang yang sakit. tindakan menyuruh kami pergi dari situ sebelum panen merupakan kejahatan yang paling kejam. Tapi aku Tidak heran bahwa mereka akan benar-benar melakukannya. Satu-satunya penanyaan bagiku, apakah mereka melakukannya memang dengan niat untuk membuat kami mati, atau tanpa disengaja. Soalnya, jika ada satu hal yang bisa dikatakan dengan pasti tentang Khmer Merah, bahwa itu adalah bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentnang perencanaan. Sclalu saja ada proyek baru yang mereka mulai, tapi sebelum selesai mereka sudah beralih ke proyek yang Iain.

Kami memperlambat irama kerja kami di sawah. Kami merasa kecewa. Jika kami tidak bisa memakan nasi hasil panen padi di sekeliling kami, kami tidak mau bekerja keras memproduksinya.

Kemudian ternyata bahwa pihak Khmer Merah juga tidak mempercayai pemimpin kelompok kami. Beberapa hari kemudian kami melihat dia digiring pergi oleh serdadu-serdadu dengan lengan terikat di belakang punggung. la ketahuan melakukan kegiatan gelap sehabis bekerja, menukarkan emas dengan daging dari orang-orang "lama".

Keesokan paginya perpindahan besar-besaran dimulai. Aku dan Huoy menurunkan lembaran plastik putih dari atap gubuk kami. Plastik itu kami kemas menjadi bungkusan lagi bersama kain kelambu, tikar-tikar serta pakaian, lalu bungkusan-bungkusan itu kami sangkutkan ke pikulan. Suatu perjalanan lagi. Sejak komunis merebut kekuasaan, kami terus saja berpindah-pindah: Dari Phnom Penh ke Wat Kien Svay Krao. Dari sana, percobaan lari ke luar negeri yang gagal, dan yang menyebabkan kami sampai di Tonie Bati. Dari Tonie Bati naik truk dan kereta api ke Phum Chhleav, saat mana Emak meninggal di tengah jalan. Dan sekarang ini. Pihak Khmer Merah mengatakan bahwa kami akan pergi ke "garis depan", tapi tidak mereka jelaskan apa atau dimana garis depan itu. Jadi bisa saja kami akan disuruh pergi ke bulan.

Sambil mengeluh kuangkat pikulan dan kuletakkan di atas bahuku. Beban yang harus kupikul berat. Berat tubuh dan kekuatanku masih belum pulih setelah terserang disentri, dan aku berkeras hendak membawa buku-buku kedokteranku yang masih tersisa meski Huoy menyuruhku agae membuangnya. Huoy membawa poci tempat teh dengan tangan kanannya, semencara tangan kirinya memegang bungkusan yang dijunjungnya di atas kepala. Kami melangkah masuk ke jalan-jalan yang becek di pemukiman padat itu. Di banyak tempat, jalan-jalan itu terendam air yang tinggi nya sampai lima belas senti. Sampah dan kotoran manusia hanyut menuruni bukit lewat jalan-jalan itu, memasuki rumah-rumah dan hanyut keluar lagi. Phum Chhleav terletak pada bagian yang rendah, dan apabila hujan turun tempat itu digenangi air yang turun dari tempat-tempat yang lebih tinggi di dekatnya.

Di sekeliling kami orang-orang Iain bermunculan dari gubuk-gubuk kediaman mereka yang beratap kajang dan berdinding anyaman gelagah serta lembaran-Iembaran plastik, lalu berjalan pergi. Hawa pagi itu dingin. Orang-orang "baru" membungkus bahu mereka dengan krama agar tidak kedinginan. Orang-orang yang tidak memiliki krama atau kemeja cadangan hanya bisa menggigil dan menggosok-gosok tubuh dengan tangan mereka. Kami berjalan menuju ke jalan kereta api. Tapi tidak semuanya di Phum Chhleav beruntung, masih bisa pergi. Lewat ambang pintu sebuah gubuk yang tcrbuka, kami melihat seorang wanita tua yang terkapar tak sadarkan diri di tepi dinding. Tungkainya nampak sangar bengkak karena edema. Badannya berbau busuk karena kotoran manusia. Lalat mengerumuninya. la terpaksa ditinggal karena tidak mampu berjalan sendiri, sementara untuk digendong ia terlalu berat.

Ketika kami melangkah naik ke jalan kereta api yang letaknya lebih tinggi dari tanah di kanan-kirinya dan yang merupakan satu-satunya tempat kering di sekitar situ, kami memperhatikan pemandangan menyayat hati yang nampak di sekeliling kami. Saat itu barulah aku mengerti, apa sebabnya selama ilu hanya sedikit saja orang yang nampak bekerja di sawah. Yang nampak saat itu adalah seolah-olah semua pasien yang pernah kudatangi di gubuk-gubuk mereka bertambah dengan sekian kali lipat dan disuruh berbaris di depan mata kami. Orang-orang dengan wajah cekung dan mata yang menatap kosong, dengan tungkai dan lengan kurus kering atau bengkak karena edema. Mereka berjalan sambil bertelek pada tongkat atau pada bahu salah seorang kerabat, atau sendiri saja, dengan langkah.langkah pendek tanpa tenaga, yang menunjukkan bahwa orang itu sudah hampir mati karena kelaparan. Sementara aku dan Huoy masih terus saja memandang, seorang wanita setengah baya bertubuh ceking meletakkan ujung galah bambu yang tadi dipikulnya. Pada galah itu tergantung semacam buaian. Lelaki yang ada dalam buaian itu berseru-seru dengan suara lemah, "Bawa aku bersamamu Sayang! Jangan tinggalkan aku!" Tapi wanita itu menggeleng, lalu tersaruk·saruk pergi menyusur jalan kereta api. Lelaki yang selama itu memikul ujung Iain dari galah bambu itu nampak sangsi sesaat. Kemudian ia juga meletakkannya ke tanah lalu berjalan pergi terpincang·pincang menyusul wanita setengah baya itu. Tidak ada orang mendatangi buaian itu untuk menolong Ielaki yang terbaring di dalamnya. Aku juga tidak. Andaikan aku bisa menolongnya, takkan mungkin aku dan Huoy sanggup menggotongnya. Jika kami mencobanya juga, kemungkinannya kami sendiri nanti yang roboh di tengah jalan. Jadi kami lantas meneruskan langkah.

Sinar matahari melemparkan bayangan kami ke jalan kereta api, ke hadapan kami. Aku berhenti sebentar, memindahkan tongkat pikulan ke atas bahu yang satunya lagi, lalu kembali berjalan. Bagiku saat itu, setiap seratus meter rasanya seperti satu kilometer jauhnya. Di sekeliling kami Orang-orang yang kekurangan gizi, yang sakit, dan yang sudah hampir mati berjalan teringsut-ingsut dalam kelompok-kelompok dua atau tiga orang dengan tubuh terbungkus pakaian compang-camping yang mereka miliki. Semuanya berlumur lumpur. Ada yang nampak basah bagian depan celananya, atau mencemari bagian pantat dengan kotoran mereka sendiri. Mereka berhenti untuk beristirahat sebentar, dengan tubuh dikerumuni lalat; beberapa di antara orang-orang yang beristirahat itu kemudian tidak beranjak Lagi, roboh ke tanah tanpa mampu berbuat apa-apa. Seorang remaja lelaki berumur belasan tahun di depan kami yang duduk beristirahat, berusaha berdiri lagi. la menekankan kedua telapak tangannya ke tanah. Tapi tenaganya tidak lagi mencukupi untuk membuat tubuhnya terangkat. la mencoba lagi, mendorong sekuat tenaga dengan Iengan-lengannya yang kurus kering. Dengan susah-payah, akhirnya ia berhasil mengangkat pantatatnya dari tanah, lalu ditariknya kedua kakinya ke posisi di bawah pantat. la bangkit berdiri dengan sikap goyah. Maju selangkah, nyaris roboh, lalu menapak selangkah lagi, sementara kami melewatinya.

Pemandangan itu lebih memilukan lagi karena entah bagaimana hal itu biasa-biasa saja bagi kami. Letakkan kaki yang satu di depan kaki yang Iain, dan terus saja berjalan. Terdengar suara orang-orang yang tak berdaya berseru-seru tapi tidak diperhatikan, karena perhatian terpusat pada diri sendiri dan keselamatan sendiri.Kami semua sudah pernah melihat kematian. Dalam berbondong-bondongnya manusia yang pergi meningalkan Phum Chhleav, hal yang sebenarnya mengerikan menjadi biasa-biasa saja.

Tidak ada yang menghitunlgnya, tapi menurut taksiranku dari rujuh ribu delapan rarus orang yang tiba dengan berjalan kaki di Phum Chhleav sedikit di atas separuhnya yang kemudian berat pergi meninggalkan tempat itu, dan dari jumlah itu sebagian kemudian mati di tengah jalan. Orang- orang yang merebahkan diri dan tidak bangun lagi tidak sendirian saja di situ, karena sepanjang jalan kereta api berserakan mayat-mayat orang yang mati dalam hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya. Apa yang kemudian terjadi dengan mayat-mayat ini merupakan hal yang selalu terjadi kawasan beriklim tropik. Kulit mereka menggembung, berubah warna menjadi ungu kehitaman dan pecah menembus pakaian yang membungkus. Kebanyakan dari mereka terangkat kaku satu lengan atau tungkainya ke atas. Tubuh mereka menghamburkan bau busuk. Mata mereka terbuka sedikit. Lalat beterbangan mengerumuni mulut, pantat dan mata. Melihat mereka, lebih banyak timbul perasaan sedih ketimbang jijik dalam hatiku. Bukan salah mayat-mayat itu bahwa mereka terkapar sana. Khmer Merah-Iah yang salah sebagai penyebab kematian mereka, dan salah sanak-kerabat mereka karena tidak menguburkan mayat mereka. Dan itu menimbulkan kemarahan dalam hatiku.

Begitu cepat manusia bisa berubah! Betapa cepatnya selubung rasa kemanusiaan dilepaskan, dan terjelmalah binatang yang ada di dalam! Semasa silam - hanya enam bulan yang silam! - takkan ada yang tega membiarkan mayat terkapar begitu saja. Menurut tradisi religius kami, jika kami tidak mengkremasikan atau menguburkan jenazah orang mati, dan jika kami tidak menyembahyangkannya, arwah si mati akan gentayangan tanpa tujuan. Mereka takkan bisa pergi ke surga, atau dilahirkan kembali. Kini segala- galanya sudah berubah: bukan saja kebiasaan menguburkan mayat, tapi juga segala keyakinan dan tingkah-laku kami. Tidak ada lagi biksu dan upacara religius. Kami tidak mengenal lagi kewajiban- kewajiban kepada keluarga. Anak-anak pergi meninggalkan dan membiarkan orangtua mereka mati sendiri, istri-istri meninggalkan suami-suami, dan yang paling kuat bisa bertahan terus. Khmer Merah sudah melenyapkan segala-galanya yang menjamin keutuhan kebudayaan kami, dan inilah hasilnya: ekshibisi egoisme dan kematian. Masyarakat buyar berantakan.

Keluargaku juga menjadi berantakan. Dari kedelapan anak ayahku, tinggal tiga dari anak-anak lelakinya yang masih bersama dia; dan dengan yang dua lagi beserta istri-istri mereka, aku sudah hampir tidak bertegur-sapa lagi. Saudara- saudara lelakiku itu tidak berbuat apa-apa untukku ketika aku sakit. Mereka tega membiarkan aku mati. Aku dan Huoy terus memperhatikan di mana orangtuaku berada sementara ka berjalan menyusur rel. Tapi kami tidak berjalan seiring.

Sore itu akhirnya kami sampai juga di stasiun kereta api di Phnom Tippeday. Di sana kami diberi Khmer Merah beras sebanyak dua kaleng untuk tiap-tiap orang, cukup untuk beberapa kali makan sedikit-sedikit. Kemudian kami meneruskan langkah, mengikuti orang banyak yang bergerak di jalan menuju selatan.

Kami melewati sebuah desa yang bernama Phum Phnom, yang kurang-Iebih berarti "desa gunung". Desa itu terletak di kaki pegunungan yang memanjang di sebelah barat. Yang ada di situ hanya sejumlah serdadu Khmer Merah serta kami orang-orang "baru", yang saat itu sedang melewatinya. Dekat balai desa yang oleh Khmer Merah dijadikan markas mereka untuk daerah itu, jalan yang kami tempuh selama itu bercabang tiga. Kami mengambil cabang yang sebelah kiri, mengikuti kelompok-kelompok sempalan Iain dari Phum Chhleav.

Malam itu kami berkemah di sebuah bukit kecil di tengah sawah: orangtuaku, saudara-saudaraku, Serta aku dan Huoy. Selain kami sekeluarga, ada pula satu keluarga Cina yang ikut menginap di situ. Malam itu berisik karena bunyi kodok dan jangkerik serta derisan pucuk-pucuk pepohonan yang ditiup angin. Aku tidak bisa tidur. Beberapa kali aku bangkit lalu duduk di depan api unggun, merasakan kehangatannya, menggosok-gosok tangan sambil menatap nyala api. Huoy, yang mengkhawatirkan kesehatanku, berulang kali meminta aku kembali tidur di sisinya. Akhirnya aku menurut. Keesokan paginya kami melihat bahwa orang Cina yang berbaring di sisiku yang Iain sudah mati. Tidak seorang pun yang mengetahuinya dalam kegelapan malam. .

Karena kejadian itu, tiba-tiba terjadi sesuatu di dalam sanubariku. Batinku tidak tahan lagi: perjalanan maut, kelaparan, ketidakpastian dari perjalanan yang satu ke tujuan Iain yang tidak diketahui. Kuajak Huoy dan keluargaku ke suatu tempat teduh di pinggir jalan dan kuminta mereka tetap tinggal di situ. Kemudian aku pergi, mencari- cari, tanpa ada gagasan yang jelas tentang apa yang hendak kulakukan.

****************

 Orang pertama yang kujumpai adalah Pen Tip. Ketika di Phum Chhleav ia melakukan pengobatan terhadap orang-orang yang sakit, meski ia bukan dokter. Waktu itu pun rasanya aku seperti sudah pernah mengenalnya, dan aku memeras ingatanku untuk menemukan jawabannya. Akhirnya aku tahu siapa dia: sekitar tahun 1972, di rumah sakit di Phnom Penh tempal aku melakukan praktek radiologi selaku mahasiswa kedokteran, Pen Tip bekerja sebagai asisten di bagian radiologi, mengatur posisi para pasien di depan layar kamera sinar X. Orang itu kecil, tidak sampai satu setengah meter tingginya, tapi bersikap penuh keyakinan dan lumayan pandai. Aku tahu siapa dia dan ia juga rahu siapa aku, tapi sekali itulah kami bercakap-cakap.

Pen Tip mengatakan dengan nada bangga bahwa ia diperbolehkan tinggal di sebuah desa kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Dikata kannya bahwa lebih baik tetap tinggal di dekat jalan kereta api, daripada pergi lebih jauh lagi memasuki daerah pedusunan. Apa pun juga masih lebih baik ketimbang pergi ke garis depan, katanya.

"Pendapatku juga begitu," kataku. Apa pun juga yang disebur garis depan itu, aku tidak ingin pergi ke sana. "Selain itu, di daerah pegunungan di selatan sana pasti lebih banyak malaria.”

"Saya sependapat, Dokter."

"Jangan panggil aku 'Dokter'." kataku. terima kasih aras saran Anda."

Kutinggalkan Pen Tip, dan aku meneruskan langkahku berkeliaran. Orang berikut : Dengan siapa aku berbicara adalah orang "lama" ternyata berasal dari Chambak, tidak jauh dari Samrong Yong, desa asalku. Karena aku dari desa yang berdekatan dengan desa wanita itu, ia lantas bersikap ramah terhadap diriku. Aku diajaknya mendatangi seseorang yang menurut perkiraannya mungkin mau menampung aku. Nama orang itu Youen. la juga orang "lama", kepala kelompok sebuah desa Iain di dekat situ juga.

Youen berkulit coklat tua, berambut pendek berombak dan jelek keadaan giginya. la hanya memakai celana pendek komprang berwarna hitam yang diikat pada bagian pinggang dengan pending kulit yang sudah retak-retak. Sementara kami bercakap-cakap, ia mengeluarkan sebuah kantong yang berisi tembakau lokal dan potongan-potongan daun pisang yang lunak, lentur, dan berwarna coklat. Ditebarkannya tembakau di atas selembar daun pisang berbentuk persegi empat, lalu digulungnya daun berisi tembakau itu menjadi sebatang rokok yang ujung satunya sedikit lebih besar ukurannya daripada ujungnya yang Iain. Rokok itu dipipihkannya dengan jari-jarinya, lalu dinyalakannya ujung yang berukuran Iebih besar dengan geretan.

Kukatakan padanya bahwa aku bernama "Samnang". lni nama julukan yang umum, dan berarti “untung". Istriku kukatakan bernama "Bopha" yang berarti "bunga" dalam bahasa Khmer, jadi serupa dengan "Huoy" yang merupakan kata dalam dialek Cina Teochiew, yang juga berarti "bunga". Kukatakan bahwa aku dulu sopir taksi di Phnom Penh, dan berasal dari keluarga yang tergolong rakyat jelata. Aku dan Bopha ingin minta pekerjaan padanya. Kami mau disuruh bekerja menjadi apa saja, asal bisa tetap tinggal di situ. Kami ingin bekerja untuknya, dan dengan cara begitu bekerja untuk Angka. Kami akan bisa selamat jika ia mau mengizinkan kami tetap tinggal di situ.

"Coba kauceritakan lebih banyak tentang latar belakang dirimu," kata orang itu.

Kujelaskan bahwa sejak lahir aku hidup di Samrong Yong trerus, seorang desa biasa, sampai peperangan menyebabkan aku terpaksa pergi ke Phnom Penh. Scmasa rezim Lon Nol aku dan istriku hidup miskin, serba kekurangan. Bopha berdagang sayur di pasar, tapi pejabat-pejabat yang korup merampas semua hasil jerih payahnya.

Nampaknya Youen percaya bahwa aku dan Huoy berasal dari keluarga yang tergolong rakyat jelata. sebab ia menyatakan mau menampung kami. Aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih kepadanya, lalu kembali ke tempat keluargaku menunggu.

Aku merasa berhahagia. Di sini ada tempat terpencil yang aman, di luar arus yang berbahaya dalam wujud kelaparan dan revolusi. Di sini kami bisa tinggal dan dapat makan secara mencukupi. Kami akan dilindungi oleh Youen. Kukatakan kepada orangtuaku bahwa ada kemungkinan ia juga akan mau menampung mereka, jika mereka ikut dengan kami.

 Ayah dan saudara-saudaraku berpandang-pandangan dengan penuh arti.

Dengan sengaja aku hanya mengajak orang tuaku saja ikut dengan aku dan Huoy, sementara saudara-saudaraku beserta anak-istri mereka tidak. Alasan yang kukemukakan berdasarkan pada pertimbangan praktis: tidak mungkin kami semua bersembunyi di tempat Youen, karena kelompok yang begitu besar terlalu mencolok. Tapi alasanku yang sebenarnya adalah kemarahanku terhadap saudara-saudaraku itu. Pernahkah mereka menolong aku? Ketika aku sakit. hanya ayahku saja yang datang menjenguk. Kami semua sekeluarga. Tapi rasa kewajibanku yang pating kuat adalah terhadap orangtuaku, yang berada pada posisi puncak dalam hierarki keluarga. Terhadap saudara-saudara lelakiku, aku hanya sedikit saja merasa mempunyai kewajiban; terhadap istri-istri mereka, sama sekali tidak ada. Tak seorang pun dari mereka pernah bersikap ramah rerhadap aku atau terhadap Huoy.

Aku membicarakan saranku itu dengan Ayah dan saudara-saudaraku. Ayah menyatakan setuju bahwa ia dan Ibu akan ikut dengan kami, aku dan Huoy.

Tapi permainan nasib menentukan Iain. Khmer Merah akhirnya.menyadari bahwa mereka kehiIangan terlalu banyak tenaga kerja dalam perjalanan pindah itu. Mereka mengirimkan gerobak-gerobak sapi untuk mengangkuti orang-orang yang masih hidup. Abangku Pheng Huor mendapat satu gerobak. lalu dinaikkannya keluarganya ke dalam.

Orangtuaku berdiri dengan barang-barang bawaan mereka di sampingku. Pheng Huor beserta istrinya, dua anak perempuan dan seorang anak lelakinya duduk dalam gerobak yang bergerak pergi dengan lamban, ditimpali bunyi derak-derik sumbu roda gerobak yang terbuat dari kayu. Kemudian anak lelaki Pheng Huor yang berumur tiga tahun memandang ke belakang. Ketika melihat kakeknya berdiri di pinggir jalan, anak itu menangis.

Ayahku tidak tahan lagi. Anak kecil itu yang paling disayanginya di antara seluruh anggota keluarganya, anak lelaki satu-satunya dari anak lelaki kesayangannya.

"Tunggu! Tunggu!" seru Ayah. Pheng Huor menghentikan gerobak sapi itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, ayah dan ibuku lari mengejar gerobak dengan menenteng barang-barang bawaan mereka, meninggalkan diriku bersama Huoy. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar