16
EKSHIBISI EGOISME DAN KEMATIAN
KETIKA
berat badanku sudah naik sampai menjadi sekitar 50 kg, aku disuruh bekerja lagi
di sawah. Aku tidak berkeberatan. Berada di lahan persawahan Battambang yang
subur itu saja sudah membuat aku merasa lebih enak. Tanaman padi sudah besar
dan lebat saat itu, tingginya melebihi pinggangku. Dari tengah-tengah sawah,
pematang hanya bisa dikenali sebagai tempat-tempat kosong di sela-sela hamparan
permadani hijau yang tebal. Apabila angin bertiup menyisir tumbuhan padi, tercium
baunya yang begitu sedap dan segar, menyebabkan perutku berkeriuk-keriuk karena
lapar. Begitu banyak padi. Beberapa bulan lagi, saat panen, kami akan bisa
makan bermangkuk-mangkuk nasi putih hangat yang berkepul-kepul uapnya, sebanyak
yang kami inginkan. Itulah yang dijanjikan kepada kami.
Kini,
menjelang akhir musim hujan, kerja berat-membajak sawah dan memindahkan benih- sudah
selesai. Tinggal tugas-tugas enteng saja yang masih perlu dilakukan, seperti
misalnya mengatur tinggi air, itu pekerjaan gampang. Bersama beberapa orang
lelaki, aku berkeliling menyusur pematang dengan membawa cangkul. Tinggi
pematang sekitar empat puluh lima sampai enam puluh senti. Apabila nampak bahwa
air hujan kelihatannya akan melimpah di atas pematang--pematang, kami lantas
sibuk mencangkul membuat lubang agar air bisa mengalir dari petak yang satu ke
petak berikut; begitu terus, sampai air yang berlebihan sampai di pinggir
sawah. Kemudian pematang-pematang kami betulkan !agi dengan menggunakan cangkul
dan tangan.
Kami
selalu basah dan berlumur lumpur sepanjang hari, tapi pekerjaan itu
menyenangkan. Kami tidak begitu diawasi. Tidak ada serdadu Khmer Merah yang
menjaga dengan cemeti di tangan. Mereka jarang sekali datang ke sawah. Bukan
itu saja, sambil bekerja kami pun masih sempat mencari-cari segala sesuatu yang
bisa dimakan.
Apabila
petak-petak sawah tergenang air, pasti ada kehidupan di situ: kodok, keong,
udang rebon, ikan yang kecil-kecil, atau ketam. Di Phum Chhleav, binatang yang
paling mudah ditangkap adalah ketam - itu bagi yang mengetahui caranya. Percuma
saja jika mencoba menangkapnya saat pagi-pagi sekali atau ketika hari sudah
sore, sewaktu air terasa sejuk. Saat-saat itu ketam-ketam ada di tengah-tengah
tumbuhan padi, berpegang pada batang-batang dengan sapitnya. Begitu terdengar
ada orang datang, binatang-binatang itu dengan segera menjatuhkan diri ke air dan
lari berenang dengan gerakan menyamping Tapi saat tengah hari, apabila air di
sawah hangat dipanasi sinar matahari, ketam-ketam pulang ke liang-liang mereka
di pematang. Saat itu mereka bisa ditangkap dengan jalan menyodokkan tangan ke
dalam liang-liang mereka. Penangkapannya harus dilakukan dengan sangat cepat,
karena ketam bisa membela diri dengan sapitnya. Jepitannya kadang-kadang bisa
menyebabkan tangan sampai berdarah. Ketam-ketam yang kutangkap kumasukkan ke
dalam kantong kemejaku. Mereka tidak bisa merangkak ke luar. Jika pergi bekerja
di sawah aku selalu memakai kemeja yang itu-itu terus, yakni kemeja parasutis
dengan warna-warna kamuflase yang berasal dari zaman Lon Nol, dengan
katong-kantong yang besar dan kantong-kantong tambahan yang dijahitkan Huoy di
sebelah dalam. Aku bekerja di sawah dengan bagian bawah kemeja terjulur di luar
celana dan kantong-kantong menggembung berisi ketam-ketam yang masih hidup.
Ketam-ketam
itu kami rebus di gubuk pada malam hari, sesudah makan malam biasa yang terdiri
dari air tajin encer dan sesudah acara rapat politik yang biasanya menyusul
kemudian. Kadang- kadang aku dan Huoy masing-masing makan lima belas sampai dua
puluh ekor ketam rebus. Dalam setiap keluarga pasti ada seseorang yang bekerja
di sawah, dan setiap orang makan ketam dengan sembunyi-sembunyi. Apabila aku dan
Huoy berhasil memperoleh daging atau ikan, meski ini jarang terjadi, dagingnya
kami makan dulu, lalu tulangnya kami masukkan lagi ke dalam kuali. Kami
menunggu sampai tulang-tulang itu sudah lunak, dan kemudian itu pun kami makan untuk
memperoleh zat kapur, protein, dan zat-zat gizi yang terdapat dalam sumsum.
Tidak ada sesuatu pun yang kami sisakan.
Makanan
berarti kekuasaan. Meski selalu didengung- dengungkan tentang suatu masyarakat
revolusioner di mana semua orang sederajat, tapi kenyataannya mereka-mereka
yang ada di atas berkecukupan makannya, sementara kami yang berada di lapisan
pating bawah selalu menderita kekurangan gizi. Setiap hari, apabila gong tanda mulai
makan berbunyi, mit neary datang
membawa gentong berisi air tajin encer dengan beberapa butir nasi ke sebuah
bukit kecil di sawah lalu membagi-bagikan air tajin itu dengan sendok besar ke
dalam mangkuk-mangkuk, untuk orang-orang "baru". Scmentara itu
serdadu-serdadu pergi ke markas Khmer Mera yang menempati ketiga rumah yang
berjejer dekat jalan kereta api. Kami pernah melihat gerobak-gerobak sapi berisi
perbekalan datang dan berhenti di depan rumah-rumah itu. Kami melihat asap
dapur di sana menjulang setiap hlari. Tanpa diberitahu pun kami sudah bisa
menebak sendiri apa yang saat itu sedang berlangsung di dalam. Tapi apabila serdadu-
serdadu itu kembali lagi ke sawah dengan tampang kenyang dan puas serta sambil menjilat-jilat
bibir, mereka berlagak seolah-olah tidak makan apa-apa. Mereka mengambil
mangkuk mangkuk berisi air tajin dan memakannya, seperti yang sudah kami
lakukan. Mereka menyeruput cairan itu, yang disendokkan ke mulut, sambil berkata,
"Lihatlah. Kami makan seperti kalian. Makanan yang persis sama. Bagi kami
ini sudah cukup, jadi mesti mencukupi juga buat kalian. Kalian ini benar-benar
malas. Kalian harus bekerja lebih keras, untuk menunjukkan rasa terima kasih
kalian kepada Angka."
Dengan
senapan atau tidak, serdadu-serdadu itu memancarkan kekuasaan, seperti
jagoan-jagoan desa yang besar dan kekar. Kami lebih lemah dan takut kepada
mereka. Kami tidak cukup kuat untuk bisa melawan. Karenanya kami diam saja dan
dengan sembunyi-sembunyi memakan ketam hasil tangkapan kami. Kami menunggu saat
panen tiba, saat kami akan bisa makan sekenyang-kenyangnya. Tapi Khmer Merah
punya rencana Iain dengan hasil panen padi itu.
Suatu
pagi, ketika aku menegakkan tubuh setelah sibuk mencangkul untuk membuat
saluran air melewati sebuah pematang di sawah, aku melihat sosok seseorang di
kejauhan. Aku mengenalinya: dia itu lelaki tua yang menunggang kuda. la berkuda
lambat-lambat di jalan kecil yang menyusur rel, menuju ke tempat kami. Datangnya
dari arah stasiun kereta api di Phnom Tippeday. Penampilannya sama dengan waktu
itu. Sarung suteranya dilipat ke pinggang, menampakkan ujung celana pendek
hitamnya yang menjulur di bawah, sementara kramanya dililirkan mengelilingi pinggang.
Ditungganginya kudanya dengan santai menuju ke tiga rumah yang berderet-deret. Sesampai
di situ ia turun dari kudanya lalu masuk ke dalam rumah.
Kawan
lk takkan datang ke Phum Chhleav tanpa ada keperluannya.
Beberapa
jam kemudian, sesudah makan slang, dituntunnya kudanya ke pematang sawah.
Sesampai di situ ia berjalan ke sana dan ke sini, memeriksa tumbuhan padi dan
tinggi air datam petak-petak sawah. Setiap kali ia berjalan ke suatu arah,
dengan cara yang tidak menyolok aku beranjak ke arah yang berlawanan, sehingga
kami tidak pernah bertemu muka. Akhirnya ia sampai di pinggir sawah. la naik ke
punggung kudanya, lalu pergi dengan lambat-Jambat.
Bahaya
sudah pergi lagi, kataku dalam hati.
Instruksi
Kawan Ik bergerak menuruni jenjang-jenjang hierarki kekuasaan di Phum Chhleav
dan akhirnya sampai di telinga pemimpin kelompok kerja di mana aku berada.
Pemimpin kelompok itu orang "baru". Kabar itu disampaikannya kepada
kami keesokan harinya ketika aku sedang berdiri menyandar pada gagang cangkulku
di sawah, dalam air yang mencapai lutut. "Sebentar lagi kita akan pergi
dari Phum Chhleav," katanya dengan gaya sok orang penting. "Kapan
tepatnya kami belum tahu, tapi itu nanti akan diberitahukan oleh Angka."
Kukendalikan
perasaanku agar jangan tercermin dalam air mukaku. Pemimpin kelompok itu tidak
kupercayai, meski ia berasal dari Phnom Penh seperti kami yang lain-lainnya.
Orangnya Iehih tegap dan kuat ketimbang kami, dengan kulit yang bersih dan
nampak sehlat. Aku ingin tahu, dari mana ia.mendapat makanannya. Teman-temanku
sekelompok juga tidak mempercayainya. Mereka langsung mengomel, begitu pemimpin
kelompok kami itu berpaling.
"Nah,
lihat saja, mereka melakukannya lagi! kata seorang Ielaki. Aku mengenalnya dari
Tonle Bati dulu. "Mereka selalu mengatakan, 'Jika kalian bekerja keras, kalian
bisa makan.' Kini sesudah kita bekerja keras dan menanam padi mereka hendak
menyuruh kita pergi dari sini! Kemana lagi kita sekarang? Hasil panen siapa yang
bisa kita makan sekarang, jika tidak bisa makan hasil tanaman kita
sendiri?"
"Betul,"
sambut seorang lelaki Iain dengan suara getir. "Ada tentara yang membunuh
dengan peluru. Khmer Merah membunuh dengan beras! Tidak masuk di akalku: di
sekeliling kita ada padi tapi kita tidak bisa memanennya untuk dimakan Belum
pernah seumur hidupku aku melihat padi sebanyak ini, tapi belum pernah aku merasa
selapar sekarang."
Aku
diam saja, meski aku sependapat dengan mereka. Dengan padi yang begitu banyak,
dengan begitu banyak orang yang sakit. tindakan menyuruh kami pergi dari situ
sebelum panen merupakan kejahatan yang paling kejam. Tapi aku Tidak heran bahwa
mereka akan benar-benar melakukannya. Satu-satunya penanyaan bagiku, apakah
mereka melakukannya memang dengan niat untuk membuat kami mati, atau tanpa disengaja.
Soalnya, jika ada satu hal yang bisa dikatakan dengan pasti tentang Khmer
Merah, bahwa itu adalah bahwa mereka tidak tahu apa-apa tentnang perencanaan.
Sclalu saja ada proyek baru yang mereka mulai, tapi sebelum selesai mereka sudah
beralih ke proyek yang Iain.
Kami
memperlambat irama kerja kami di sawah. Kami merasa kecewa. Jika kami tidak
bisa memakan nasi hasil panen padi di sekeliling kami, kami tidak mau bekerja
keras memproduksinya.
Kemudian
ternyata bahwa pihak Khmer Merah juga tidak mempercayai pemimpin kelompok kami.
Beberapa hari kemudian kami melihat dia digiring pergi oleh serdadu-serdadu
dengan lengan terikat di belakang punggung. la ketahuan melakukan kegiatan
gelap sehabis bekerja, menukarkan emas dengan daging dari orang-orang "lama".
Keesokan
paginya perpindahan besar-besaran dimulai. Aku dan Huoy menurunkan lembaran plastik
putih dari atap gubuk kami. Plastik itu kami kemas menjadi bungkusan lagi
bersama kain kelambu, tikar-tikar serta pakaian, lalu bungkusan-bungkusan itu
kami sangkutkan ke pikulan. Suatu perjalanan lagi. Sejak komunis merebut kekuasaan,
kami terus saja berpindah-pindah: Dari Phnom Penh ke Wat Kien Svay Krao. Dari sana,
percobaan lari ke luar negeri yang gagal, dan yang menyebabkan kami sampai di
Tonie Bati. Dari Tonie Bati naik truk dan kereta api ke Phum Chhleav, saat mana
Emak meninggal di tengah jalan. Dan sekarang ini. Pihak Khmer Merah mengatakan
bahwa kami akan pergi ke "garis depan", tapi tidak mereka jelaskan
apa atau dimana garis depan itu. Jadi bisa saja kami akan disuruh pergi ke
bulan.
Sambil
mengeluh kuangkat pikulan dan kuletakkan di atas bahuku. Beban yang harus kupikul
berat. Berat tubuh dan kekuatanku masih belum pulih setelah terserang disentri,
dan aku berkeras hendak membawa buku-buku kedokteranku yang masih tersisa meski
Huoy menyuruhku agae membuangnya. Huoy membawa poci tempat teh dengan tangan
kanannya, semencara tangan kirinya memegang bungkusan yang dijunjungnya di atas
kepala. Kami melangkah masuk ke jalan-jalan yang becek di pemukiman padat itu.
Di banyak tempat, jalan-jalan itu terendam air yang tinggi nya sampai lima
belas senti. Sampah dan kotoran manusia hanyut menuruni bukit lewat jalan-jalan
itu, memasuki rumah-rumah dan hanyut keluar lagi. Phum Chhleav terletak pada
bagian yang rendah, dan apabila hujan turun tempat itu digenangi air yang turun
dari tempat-tempat yang lebih tinggi di dekatnya.
Di
sekeliling kami orang-orang Iain bermunculan dari gubuk-gubuk kediaman mereka
yang beratap kajang dan berdinding anyaman gelagah serta lembaran-Iembaran
plastik, lalu berjalan pergi. Hawa pagi itu dingin. Orang-orang
"baru" membungkus bahu mereka dengan krama agar tidak kedinginan.
Orang-orang yang tidak memiliki krama atau kemeja cadangan hanya bisa menggigil
dan menggosok-gosok tubuh dengan tangan mereka. Kami berjalan menuju ke jalan kereta
api. Tapi tidak semuanya di Phum Chhleav beruntung, masih bisa pergi. Lewat
ambang pintu sebuah gubuk yang tcrbuka, kami melihat seorang wanita tua yang
terkapar tak sadarkan diri di tepi dinding. Tungkainya nampak sangar bengkak karena
edema. Badannya berbau busuk karena kotoran manusia. Lalat mengerumuninya. la terpaksa
ditinggal karena tidak mampu berjalan sendiri, sementara untuk digendong ia
terlalu berat.
Ketika
kami melangkah naik ke jalan kereta api yang letaknya lebih tinggi dari tanah
di kanan-kirinya dan yang merupakan satu-satunya tempat kering di sekitar situ,
kami memperhatikan pemandangan menyayat hati yang nampak di sekeliling kami.
Saat itu barulah aku mengerti, apa sebabnya selama ilu hanya sedikit saja orang
yang nampak bekerja di sawah. Yang nampak saat itu adalah seolah-olah semua
pasien yang pernah kudatangi di gubuk-gubuk mereka bertambah dengan sekian kali
lipat dan disuruh berbaris di depan mata kami. Orang-orang dengan wajah cekung
dan mata yang menatap kosong, dengan tungkai dan lengan kurus kering atau
bengkak karena edema. Mereka berjalan sambil bertelek pada tongkat atau pada
bahu salah seorang kerabat, atau sendiri saja, dengan langkah.langkah pendek
tanpa tenaga, yang menunjukkan bahwa orang itu sudah hampir mati karena
kelaparan. Sementara aku dan Huoy masih terus saja memandang, seorang wanita
setengah baya bertubuh ceking meletakkan ujung galah bambu yang tadi dipikulnya.
Pada galah itu tergantung semacam buaian. Lelaki yang ada dalam buaian itu
berseru-seru dengan suara lemah, "Bawa aku bersamamu Sayang! Jangan
tinggalkan aku!" Tapi wanita itu menggeleng, lalu tersaruk·saruk pergi
menyusur jalan kereta api. Lelaki yang selama itu memikul ujung Iain dari galah
bambu itu nampak sangsi sesaat. Kemudian ia juga meletakkannya ke tanah lalu
berjalan pergi terpincang·pincang menyusul wanita setengah baya itu. Tidak ada
orang mendatangi buaian itu untuk menolong Ielaki yang terbaring di dalamnya.
Aku juga tidak. Andaikan aku bisa menolongnya, takkan mungkin aku dan Huoy
sanggup menggotongnya. Jika kami mencobanya juga, kemungkinannya kami sendiri
nanti yang roboh di tengah jalan. Jadi kami lantas meneruskan langkah.
Sinar
matahari melemparkan bayangan kami ke jalan kereta api, ke hadapan kami. Aku
berhenti sebentar, memindahkan tongkat pikulan ke atas bahu yang satunya lagi,
lalu kembali berjalan. Bagiku saat itu, setiap seratus meter rasanya seperti
satu kilometer jauhnya. Di sekeliling kami Orang-orang yang kekurangan gizi,
yang sakit, dan yang sudah hampir mati berjalan teringsut-ingsut dalam
kelompok-kelompok dua atau tiga orang dengan tubuh terbungkus pakaian compang-camping
yang mereka miliki. Semuanya berlumur lumpur. Ada yang nampak basah bagian depan
celananya, atau mencemari bagian pantat dengan kotoran mereka sendiri. Mereka
berhenti untuk beristirahat sebentar, dengan tubuh dikerumuni lalat; beberapa
di antara orang-orang yang beristirahat itu kemudian tidak beranjak Lagi, roboh
ke tanah tanpa mampu berbuat apa-apa. Seorang remaja lelaki berumur belasan tahun
di depan kami yang duduk beristirahat, berusaha berdiri lagi. la menekankan
kedua telapak tangannya ke tanah. Tapi tenaganya tidak lagi mencukupi untuk membuat
tubuhnya terangkat. la mencoba lagi, mendorong sekuat tenaga dengan Iengan-lengannya
yang kurus kering. Dengan susah-payah, akhirnya ia berhasil mengangkat pantatatnya
dari tanah, lalu ditariknya kedua kakinya ke posisi di bawah pantat. la bangkit
berdiri dengan sikap goyah. Maju selangkah, nyaris roboh, lalu menapak
selangkah lagi, sementara kami melewatinya.
Pemandangan
itu lebih memilukan lagi karena entah bagaimana hal itu biasa-biasa saja bagi
kami. Letakkan kaki yang satu di depan kaki yang Iain, dan terus saja berjalan.
Terdengar suara orang-orang yang tak berdaya berseru-seru tapi tidak diperhatikan,
karena perhatian terpusat pada diri sendiri dan keselamatan sendiri.Kami semua sudah
pernah melihat kematian. Dalam berbondong-bondongnya manusia yang pergi
meningalkan Phum Chhleav, hal yang sebenarnya mengerikan menjadi biasa-biasa
saja.
Tidak
ada yang menghitunlgnya, tapi menurut taksiranku dari rujuh ribu delapan rarus
orang yang tiba dengan berjalan kaki di Phum Chhleav sedikit di atas separuhnya
yang kemudian berat pergi meninggalkan tempat itu, dan dari jumlah itu sebagian
kemudian mati di tengah jalan. Orang- orang yang merebahkan diri dan tidak
bangun lagi tidak sendirian saja di situ, karena sepanjang jalan kereta api
berserakan mayat-mayat orang yang mati dalam hari-hari dan minggu-minggu sebelumnya.
Apa yang kemudian terjadi dengan mayat-mayat ini merupakan hal yang selalu
terjadi kawasan beriklim tropik. Kulit mereka menggembung, berubah warna
menjadi ungu kehitaman dan pecah menembus pakaian yang membungkus. Kebanyakan
dari mereka terangkat kaku satu lengan atau tungkainya ke atas. Tubuh mereka
menghamburkan bau busuk. Mata mereka terbuka sedikit. Lalat beterbangan
mengerumuni mulut, pantat dan mata. Melihat mereka, lebih banyak timbul
perasaan sedih ketimbang jijik dalam hatiku. Bukan salah mayat-mayat itu bahwa
mereka terkapar sana. Khmer Merah-Iah yang salah sebagai penyebab kematian
mereka, dan salah sanak-kerabat mereka karena tidak menguburkan mayat mereka. Dan
itu menimbulkan kemarahan dalam hatiku.
Begitu
cepat manusia bisa berubah! Betapa cepatnya selubung rasa kemanusiaan
dilepaskan, dan terjelmalah binatang yang ada di dalam! Semasa silam - hanya
enam bulan yang silam! - takkan ada yang tega membiarkan mayat terkapar begitu
saja. Menurut tradisi religius kami, jika kami tidak mengkremasikan atau
menguburkan jenazah orang mati, dan jika kami tidak menyembahyangkannya, arwah
si mati akan gentayangan tanpa tujuan. Mereka takkan bisa pergi ke surga, atau
dilahirkan kembali. Kini segala- galanya sudah berubah: bukan saja kebiasaan menguburkan
mayat, tapi juga segala keyakinan dan tingkah-laku kami. Tidak ada lagi biksu
dan upacara religius. Kami tidak mengenal lagi kewajiban- kewajiban kepada
keluarga. Anak-anak pergi meninggalkan dan membiarkan orangtua mereka mati
sendiri, istri-istri meninggalkan suami-suami, dan yang paling kuat bisa
bertahan terus. Khmer Merah sudah melenyapkan segala-galanya yang menjamin
keutuhan kebudayaan kami, dan inilah hasilnya: ekshibisi egoisme dan kematian. Masyarakat
buyar berantakan.
Keluargaku
juga menjadi berantakan. Dari kedelapan anak ayahku, tinggal tiga dari anak-anak
lelakinya yang masih bersama dia; dan dengan yang dua lagi beserta istri-istri
mereka, aku sudah hampir tidak bertegur-sapa lagi. Saudara- saudara lelakiku
itu tidak berbuat apa-apa untukku ketika aku sakit. Mereka tega membiarkan aku
mati. Aku dan Huoy terus memperhatikan di mana orangtuaku berada sementara ka berjalan
menyusur rel. Tapi kami tidak berjalan seiring.
Sore
itu akhirnya kami sampai juga di stasiun kereta api di Phnom Tippeday. Di sana
kami diberi Khmer Merah beras sebanyak dua kaleng untuk tiap-tiap orang, cukup
untuk beberapa kali makan sedikit-sedikit. Kemudian kami meneruskan langkah,
mengikuti orang banyak yang bergerak di jalan menuju selatan.
Kami
melewati sebuah desa yang bernama Phum Phnom, yang kurang-Iebih berarti
"desa gunung". Desa itu terletak di kaki pegunungan yang memanjang di
sebelah barat. Yang ada di situ hanya sejumlah serdadu Khmer Merah serta kami orang-orang
"baru", yang saat itu sedang melewatinya. Dekat balai desa yang oleh
Khmer Merah dijadikan markas mereka untuk daerah itu, jalan yang kami tempuh
selama itu bercabang tiga. Kami mengambil cabang yang sebelah kiri, mengikuti
kelompok-kelompok sempalan Iain dari Phum Chhleav.
Malam
itu kami berkemah di sebuah bukit kecil di tengah sawah: orangtuaku,
saudara-saudaraku, Serta aku dan Huoy. Selain kami sekeluarga, ada pula satu
keluarga Cina yang ikut menginap di situ. Malam itu berisik karena bunyi kodok
dan jangkerik serta derisan pucuk-pucuk pepohonan yang ditiup angin. Aku tidak
bisa tidur. Beberapa kali aku bangkit lalu duduk di depan api unggun, merasakan
kehangatannya, menggosok-gosok tangan sambil menatap nyala api. Huoy, yang mengkhawatirkan
kesehatanku, berulang kali meminta aku kembali tidur di sisinya. Akhirnya aku menurut.
Keesokan paginya kami melihat bahwa orang Cina yang berbaring di sisiku yang
Iain sudah mati. Tidak seorang pun yang mengetahuinya dalam kegelapan malam. .
Karena
kejadian itu, tiba-tiba terjadi sesuatu di dalam sanubariku. Batinku tidak
tahan lagi: perjalanan maut, kelaparan, ketidakpastian dari perjalanan yang
satu ke tujuan Iain yang tidak diketahui. Kuajak Huoy dan keluargaku ke suatu tempat
teduh di pinggir jalan dan kuminta mereka tetap tinggal di situ. Kemudian aku
pergi, mencari- cari, tanpa ada gagasan yang jelas tentang apa yang hendak
kulakukan.
****************
Orang pertama yang kujumpai adalah Pen Tip. Ketika
di Phum Chhleav ia melakukan pengobatan terhadap orang-orang yang sakit, meski
ia bukan dokter. Waktu itu pun rasanya aku seperti sudah pernah mengenalnya,
dan aku memeras ingatanku untuk menemukan jawabannya. Akhirnya aku tahu siapa
dia: sekitar tahun 1972, di rumah sakit di Phnom Penh tempal aku melakukan praktek
radiologi selaku mahasiswa kedokteran, Pen Tip bekerja sebagai asisten di bagian
radiologi, mengatur posisi para pasien di depan layar kamera sinar X. Orang itu
kecil, tidak sampai satu setengah meter tingginya, tapi bersikap penuh
keyakinan dan lumayan pandai. Aku tahu siapa dia dan ia juga rahu siapa aku,
tapi sekali itulah kami bercakap-cakap.
Pen
Tip mengatakan dengan nada bangga bahwa ia diperbolehkan tinggal di sebuah desa
kecil yang tidak jauh dari situ letaknya. Dikata kannya bahwa lebih baik tetap
tinggal di dekat jalan kereta api, daripada pergi lebih jauh lagi memasuki daerah
pedusunan. Apa pun juga masih lebih baik ketimbang pergi ke garis depan, katanya.
"Pendapatku
juga begitu," kataku. Apa pun juga yang disebur garis depan itu, aku tidak
ingin pergi ke sana. "Selain itu, di daerah pegunungan di selatan sana
pasti lebih banyak malaria.”
"Saya
sependapat, Dokter."
"Jangan
panggil aku 'Dokter'." kataku. terima kasih aras saran Anda."
Kutinggalkan
Pen Tip, dan aku meneruskan langkahku berkeliaran. Orang berikut : Dengan siapa
aku berbicara adalah orang "lama" ternyata berasal dari Chambak,
tidak jauh dari Samrong Yong, desa asalku. Karena aku dari desa yang berdekatan
dengan desa wanita itu, ia lantas bersikap ramah terhadap diriku. Aku diajaknya
mendatangi seseorang yang menurut perkiraannya mungkin mau menampung aku. Nama
orang itu Youen. la juga orang "lama", kepala kelompok sebuah desa
Iain di dekat situ juga.
Youen
berkulit coklat tua, berambut pendek berombak dan jelek keadaan giginya. la
hanya memakai celana pendek komprang berwarna hitam yang diikat pada bagian pinggang
dengan pending kulit yang sudah retak-retak. Sementara kami bercakap-cakap, ia
mengeluarkan sebuah kantong yang berisi tembakau lokal dan potongan-potongan
daun pisang yang lunak, lentur, dan berwarna coklat. Ditebarkannya tembakau di
atas selembar daun pisang berbentuk persegi empat, lalu digulungnya daun berisi
tembakau itu menjadi sebatang rokok yang ujung satunya sedikit lebih besar
ukurannya daripada ujungnya yang Iain. Rokok itu dipipihkannya dengan jari-jarinya,
lalu dinyalakannya ujung yang berukuran Iebih besar dengan geretan.
Kukatakan
padanya bahwa aku bernama "Samnang". lni nama julukan yang umum, dan
berarti “untung". Istriku kukatakan bernama "Bopha" yang berarti
"bunga" dalam bahasa Khmer, jadi serupa dengan "Huoy" yang
merupakan kata dalam dialek Cina Teochiew, yang juga berarti "bunga".
Kukatakan bahwa aku dulu sopir taksi di Phnom Penh, dan berasal dari keluarga
yang tergolong rakyat jelata. Aku dan Bopha ingin minta pekerjaan padanya. Kami
mau disuruh bekerja menjadi apa saja, asal bisa tetap tinggal di situ. Kami
ingin bekerja untuknya, dan dengan cara begitu bekerja untuk Angka. Kami akan
bisa selamat jika ia mau mengizinkan kami tetap tinggal di situ.
"Coba
kauceritakan lebih banyak tentang latar belakang dirimu," kata orang itu.
Kujelaskan
bahwa sejak lahir aku hidup di Samrong Yong trerus, seorang desa biasa, sampai peperangan
menyebabkan aku terpaksa pergi ke Phnom Penh. Scmasa rezim Lon Nol aku dan istriku
hidup miskin, serba kekurangan. Bopha berdagang sayur di pasar, tapi pejabat-pejabat
yang korup merampas semua hasil jerih payahnya.
Nampaknya
Youen percaya bahwa aku dan Huoy berasal dari keluarga yang tergolong rakyat jelata.
sebab ia menyatakan mau menampung kami. Aku mengucapkan beribu-ribu terima
kasih kepadanya, lalu kembali ke tempat keluargaku menunggu.
Aku
merasa berhahagia. Di sini ada tempat terpencil yang aman, di luar arus yang berbahaya
dalam wujud kelaparan dan revolusi. Di sini kami bisa tinggal dan dapat makan
secara mencukupi. Kami akan dilindungi oleh Youen. Kukatakan kepada orangtuaku
bahwa ada kemungkinan ia juga akan mau menampung mereka, jika mereka ikut
dengan kami.
Ayah dan saudara-saudaraku berpandang-pandangan
dengan penuh arti.
Dengan
sengaja aku hanya mengajak orang tuaku saja ikut dengan aku dan Huoy, sementara
saudara-saudaraku beserta anak-istri mereka tidak. Alasan yang kukemukakan
berdasarkan pada pertimbangan praktis: tidak mungkin kami semua bersembunyi di tempat
Youen, karena kelompok yang begitu besar terlalu mencolok. Tapi alasanku yang
sebenarnya adalah kemarahanku terhadap saudara-saudaraku itu. Pernahkah mereka
menolong aku? Ketika aku sakit. hanya ayahku saja yang datang menjenguk. Kami
semua sekeluarga. Tapi rasa kewajibanku yang pating kuat adalah terhadap
orangtuaku, yang berada pada posisi puncak dalam hierarki keluarga. Terhadap
saudara-saudara lelakiku, aku hanya sedikit saja merasa mempunyai kewajiban;
terhadap istri-istri mereka, sama sekali tidak ada. Tak seorang pun dari mereka
pernah bersikap ramah rerhadap aku atau terhadap Huoy.
Aku
membicarakan saranku itu dengan Ayah dan saudara-saudaraku. Ayah menyatakan
setuju bahwa ia dan Ibu akan ikut dengan kami, aku dan Huoy.
Tapi
permainan nasib menentukan Iain. Khmer Merah akhirnya.menyadari bahwa mereka
kehiIangan terlalu banyak tenaga kerja dalam perjalanan pindah itu. Mereka mengirimkan
gerobak-gerobak sapi untuk mengangkuti orang-orang yang masih hidup. Abangku
Pheng Huor mendapat satu gerobak. lalu dinaikkannya keluarganya ke dalam.
Orangtuaku
berdiri dengan barang-barang bawaan mereka di sampingku. Pheng Huor beserta istrinya,
dua anak perempuan dan seorang anak lelakinya duduk dalam gerobak yang bergerak
pergi dengan lamban, ditimpali bunyi derak-derik sumbu roda gerobak yang
terbuat dari kayu. Kemudian anak lelaki Pheng Huor yang berumur tiga tahun
memandang ke belakang. Ketika melihat kakeknya berdiri di pinggir jalan, anak itu
menangis.
Ayahku
tidak tahan lagi. Anak kecil itu yang paling disayanginya di antara seluruh
anggota keluarganya, anak lelaki satu-satunya dari anak lelaki kesayangannya.
"Tunggu!
Tunggu!" seru Ayah. Pheng Huor menghentikan gerobak sapi itu. Tanpa berkata
apa-apa lagi, ayah dan ibuku lari mengejar gerobak dengan menenteng
barang-barang bawaan mereka, meninggalkan diriku bersama Huoy.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar