Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Selasa, 29 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 22 : Lilin-Lilin


22

LILIN- LILIN


TERAKHIR kali aku melihat Ayah, ia dan ibuku sedang bergegas-gegas mengejar gerobak sapi yang membawa pergi Pheng Huor, Nay Chhun, beserta anak-anak mereka. Mereka semua dibawa ke sebuah koperasi garis depan yang serupa dengan koperasiku, tapi lebih di selatan, dekat kaki bukit-bukit Pegunungan Cardamom. Nasib mereka di sana tidak baik. Mula-mula anak-anak yang tiga orang itu dibawa pergi—dikirim ke suatu kelompok remaja untuk diindoktrinasi terus agar melupakan orangtua mereka dan cinta kepada Angka. Kemudian ibuku yang sudah tua dikirim ke suatu perkemahan kerja lain di dalam rimba. Sejak itu mereka tidak pernah mendengar apa-apa lagi tentang dia.

Tinggal tiga orang dewasa: Ayah, Pheng Huor, dan Nay Chhun. Kemudian, entah Angka atau mungkin juga dewa-dewa yang sedang iseng, mereka dipindahkan ke koperasiku sewaktu aku sedang dalam penjara. Ayahku ditempatkan di sebuah rumah panjang beratap kajang yang dibangun di atas tiang-tiang, dengan tempat berbaring yang serba sempit di antara orang-orang yang berbaring di sebelah kiri dan kanannya. Pheng Huor dan Nay Chhun ditempatkan di sebuah rumah panjang lain, sementara Huoy di rumah panjang berikut. Dalam keseluruhannya ada dua belas rumah panjang, yang masing-masing ditempati sekitar dua ratus orang. Jadi semuanya ada kira-kira dua ribu empat ratus orang.

Ayahku ditugaskan bekerja dalam sebuah regu yang terdiri atas orang-orang yang sudah berumur. la membetulkan gagang cangkul, menganyam keranjang, membuat tongkat pemikul, dan pekerjaan lainnya yang enteng. Tidak lama kemudian ia sudah menemukan Huoy yang bekerja dapur umum. Meski Huoy tidak mampu mengatakannya, tapi dari air mukanya yang sedih ayahku bisa menebak bahwa Huoy menyangka aku sudah mati. Ayahku menghiburnya, mendorongnya agar jangan kehilangan harapan. Setiap sore ia datang berkunjung ke rumah panjang, tempat Huoy. Apabila Huoy kembali dari bekerja ayahku sudah ada di situ, duduk di atas lembaran plastik putih di samping tempat tidur gantung Huoy.

Antara mereka berdua terbentuk ikatan seperti ayah dengan anaknya. Saat mereka berkumpul bersama-sama merupakan saat yang paling mereka sukai. Pada saat-saat itu Huoy bercerita macam-macam kepada Ayah, menjahitkan pakaiannya yang robek, membangkitkan semangatnya. Sewaktu bekerja membersihkan tempat beras yang terdiri dari tong-tong minyak berukuran lima putuh lima liter, Huoy sengaja meninggalkan selapis butir-butir beras di pinggir-pinggirnya. Ayahku kemudian datang dan meraup butir-butir beras yang menempel itu dengan kedua tangannya. Bagi orang yang dulu pernah menjadi jutawan, menguras isi tong kedengarannya tidak pantas, tapi itu sangat berarti bagi kesehatannya. Ada satu efek positif dari kehidupan di garis depan ini: semua yang lidak penting terkikis dan kami bisa saling mengenali nilai sejati masing-masing. Ayah akhirnya melihat bagaimana sebenarnya watak Huoy, bahwa Huoy tidak peduli apakah Ayah kaya atau miskin dan tidak pernah meminta apa pun juga padanya, kecuali kesempatan untuk menunjukkan rasa sayang dan hormat kepadanya. Dan Ayah mulai membanding-bandingkan Huoy dengan Nay Chhun, istri abangku. Nay Chhun sangat ramah terhadap ayahku selama ia masih memiliki pabrik penggergajian kayu, tapi setelah Ayah menjadi budak perang, ia tidak begitu mempedulikannya lagi.

Keesokan paginya setelah aku kembali dari penjara, Ayah datang ketika aku sedang berbaring- baring dalam tempat ridur gantung. la semakin kurus saja, pipinya cekung dan perutnya kempis. la hanya memakai kaus oblong hitam yang sudah pudar dan celana pendek biru muda yang ditambal rapi di sana-sini. Aku mengenali hasil pekerjaan Huoy. Air mata Ayah berlinang-linang ketika melihat aku.

Sewaktu ia menanyakan apa yang terjadi di penjara, aku bercerita seperti kepada Huoy, tanpa menyebutkan perincian. Ayah mendengarkan. la menggeleng-geleng sambil mendesah. la menangis. la berdiri, berjalan mondar-mandir sambil mengeluh.

la sudah berubah, kataku dalam hati. Sewaktu aku beranjak besar ia selalu bersikap tangguh, keras, dan skeptis. Dalam usianya yang lanjut hatinya menjadi lebih lembut, lebih berperasaan. Tapi ia masih tetap kepala keluarga kami. Sambil duduk di tikar plastik di samping tempat tidur gantung, ia memberi nasihat kepadaku.

"Nak," katanya, "dengan melihat keadaanmu saja aku sudah tahu bahwa kau menderita. sekali ada orang yang kembali apabila digiring pergi. Kau dua kali kembali. Mulai sekarang tutup mulutmu. Tanamlah pohon kapuk. Dam doeum kor. Apa pun yang terjadi, jangan beri mereka alasan menggiringmu pergi lagi.

"Semasa kanak-kanakmu kau cepat sekali naik darah. Sejak berjumpa dengan Huoy sifatmu menjadi agak berkurang, tapi dalam sanubarimu, kau masih tetap terlalu pemarah. Kau harus lebih menyejukkan hatimu. Kendalikan perasaanmu agar tidak kelihatan di mukamu. Banyak yang berhasil kaukelabui, tapi tidak semua orang. Jika kau sepintar anggapanmu sendiri, mereka takkan setiap kali menggiringmu pergi lagi,"

"Ya, Ayah," kataku.

"Masih ada satu hai lagi," kata ayahku. “Pen Tip. Kau tidak bicara tentang balas dendam terhadap dia, tapi itu kelihatan jelas di mukamu. Lupakan saja itu. Kau orang yang terpelajar, sedangkan dia tidak. la melakukan kesalahan terhadapmu, tapi biar dewa-dewa saja yang menghukumnya. Jangan kaucoba melakukannya sendiri. Jika itu kaulakukan, nanti ketahuan oleh Khmer Merah. Lalu mereka akan membunuhmu, dan Huoy akan menjadi janda lagi. Jika kau bertemu dengan dia, bersikaplah seolah-olah tidak ada apa-apa."

Itu lebih sulit menerimanya, tapi sesudah kupikir-pikir akhimya aku mulai melihat bahwa ayahku benar. "Ya, Ayah." kataku. "Khmer Merah itu gila dan tidak berpendidikan." kata ayahku menyambung. Agar bisa tetap selamat menghadapi mereka kau harus sabar dan cerdik, sangat cerdik. Pakai otakmu, Nak. Lihat ke sekelilingmu. Saluran-saluran yang mereka buat itu pasti runtuh lagi begitu hujan turun. !tu kauketahui sendiri, karena kau ikut bekerja membuatnya. Saluran-saluran itu takkan sanggup menahan curah hujan kawasan Battambang. Segala- galanya yang dicoba pelaksanaannya oleh Khmer Merah, pasti akan gagal. Dan mereka tidak didukung rakyat. Jadi tanamlah pohon kapukmu, Nak. Bersabarlah, diam dan tetap tenang. Suatu waktu nanti revolusi ini akan berbalik. Rezim pasti digulingkan dan kita akan bebas kembali."

Aku mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentang satu haI, ayahku sudah pasti benar: rezim itu takkan bisa bertahan selama-Iamanya. Cara terbaik memeranginya adalah bersikap diam dan biarkan rezim itu musnah sendiri. Tidak membalas perbuatan Pen Tip—itu lebih sulit. Ketika masih di penjara, bermalam-malam mataku tetap nyalang memikirkan apa yang akan kulakukan terhadap Pen Tip untuk membalas perbuatannya mengadukan diriku. Aku belum belajar mengenal rasa sakit tanpa ingin menimbulkannya. Aku belum bisa menderita siksaan tanpa ingin melakukan pembalasan. Pikiranku waktu itu begitu kelam dan ganas sehingga aku takkan mau mengatakannya kepada siapa pun juga, tapi ayahku berhasil menebaknya. Dan sekali lagi ia benar. Lebih penting menghindari penderitaan pada masa mendatang, daripada membalas dendam atas haI-hal yang sudah lewat. Dan agar penderitaan selanjutnya bisa dihindari aku harus semakin baik bermain sandiwara. Aku harus bisa mengendalikan perasaan dan menyembunyikannya.

Kedatangan iparku Nay Chhun sore itu membuka kesempatan bagiku untuk melatih diri. Aku dan Nay Chhun, kami saling tidak menyukai. Kami sudah sejak masa sebelum revolusi tidak pernah bercakap-cakap lagi, kecuali jika ada sesuatu yang perlu dikatakan. la tidak pernah datang menjenguk ketika aku sakit di Phum Chhleav. Tapi ini ada kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak, menjalin hubungan baru. Ketika ia menanyakan keadaanku, aku menjawab, "Lumayan, terima kasih." la mengatakan bahwa aku menjadi kurus, dan aku berkata sambil tersenyum, "Siapa yang tidak?" Kutanyakan bagaimana keadaan dia dan abangku. Kami bercakap-cakap dengan sopan tentang haI-hal yang biasa.

Perhatianku tertuju bukan kepada Nay Chhun, tapi pada ayahku, yang langsung membisu dan bersikap kaku ketika iparku itu datang menghampiri. Sejak, berada di garis depan ayahku selalu menjauhinya, kecuali apabila ia sedang bersama abangku. Akhirnya Ayah mengenali watak Nay Chhun yang sebenamya. Namun ketika iparku itu pergi, Ayah mendesah dan mengusap air mata—kurasa ia merasa senang melihat aku sudah mau bicara lagi dengan dia.

Begitu banyak perubahan yang terjadi pada diri ayahku! Dulu, semasa ia masih kaya, Huoy nyaris tak dipedulikan olehnya apabila ia masuk ke rumahnya. Ayahku merasa malu, karena aku memilih wanita yang miskin seperti Huoy. Karena aku dan Huoy tidak pernah menikah seperti yang kami inginkan. dengan bhiksu-bhiksu, upacara, dengan segenap keluarga berkumpul dan pesta besar yang mengundang separuh penduduk kota Phnom Penh. Huoy menderita karena tidak menikah, dengan penghinaan-penghinaan y'ang dialamatkan kepadanya oleh Nay Chhun, Bibi Kim, dan sanak-keluargaku yang lain-Iain; tapi Huoy tidak pernah membalas segala penghinaan itu.

Tapi masa silam sudah tidak ada artinya lagi sekarang. Kini kami semua berada pada kedudukan yang sama. Wajah ayahku kelihatan menjadi cerah ketika Huoy pulang dari dapur sore itu, Sikap Ayah langsung berubah sama sekali, dan senyum merekah di wajahnya yang keriput. ltulah yang sejak tadi kutunggu-tunggu: mengetahui bahwa Ayah sudah menerima Huoy sebagai anggota keluarga.

Tapi memang sudah nasibku, baru saja mulai pulih dari bencana yang satu, datang pula bencana lain menimpa.

***********

Aku bekerja kembali. Hujan sudah turun, meski masih jarang-jarang. Cuaca panas dan pengap, seperti biasanya menjelang musim hujan yang sebenarnya.

Chev menugaskan reguku membuat petak- petak sawah untuk menanam padi dengan skala besar—pematang-pematang yang jauh lebih panjang dan lebar ketimbang yang biasa dibuat para petani semasa prarevolusi. Dalam teori gagasan itu bagus, karena petak-petak besar akan memungkinkan kami membudidayakan lahan yang lebih luas, dengan pekerjaan perawatan yang relatif lebih sedikit. Masalahnya adalah tentang rencana pembuatan pematang-pematang itu. Bukannya separuh dari pematang-pematang yang lama dibiarkan utuh sebagai pembatas petak-petak yang dua kali lebih luas: tidak, Chev menyuruh kami merobohkan semuanya lalu membuat pematang-pematang baru. Itu bukan pekerjaan kecil, dan tanpa manfaat praktis. Lagi pula, kami harus buru-buru menyelesaikannya. Mungkin Chev menginginkan agar kami menunjukkan betapa rajinnya kami untuk membuktikan kebaktian kami. Aku bekerja dalam lumpur yang melumuri tubuhku sampai ke bahu. Hawa panas, lumpur itu sejuk, dan aku berjalan bolak-balik. Aku sudah kehabisan tenaga. Kawanan nyamuk berdatangan dari hutan-hutan di dekar situ.

Kemudian aku roboh diserang demam yang membuat aku menggigil dua kali dalam sehari. lalu hari berikutnya menggigil kembali pada saat-saat yang sama. Aku merasakannya nyaris sebagai berkah. karena dengannya ada alasan tidak bisa pergi bekerja tanpa perlu berpura-pura. Banyak orang di situ yang terserang malaria. Semua mengenal simtom-simtomnya.

Aku dibebaskan dari tugas bekerja. Aku lantas pergi mencari obat. Yang pertama-tama kucari adalah obar Barat: kina atau obat semacam itu, seperti misalnya khlorokina. Aku sendiri tidak memilikinya. Aku berkeIiling mencari dan bertanya-tanya, tapi obat-obat itu tidak ada di pasar gelap. Di semua rumah panjang terdengar suara orang-orang merintih dan menggigil karena malaria, meringkuk di dalam bangunan-bangunan yang penuh sesak, kotor, berbau pesing, dan dikerumuni lalat.

Selanjutnya aku mencoba menghubungi rezim, yang mempunyai tiga lapis perawatan kesehatan. Kader yang paling tinggi kedndukannya bisa pergi ke rumah sakit gaya Barat yang lumayan baik mutunya di kota Battambang, tapi aku mustahil bisa ke sana. Anggota-anggota Khmer Merah yang biasa dan orang-orang "lama" bisa pergi ke sebuah rumah sakit daerah yang lebih kecil di Phum Phnom, tapi ke situ pun aku tidak mungkin

bisa pergi. Yang bisa kudatangi hanya kIinik garis depan saja, di mana para perawat menjuluki para pasien mereka sebagai "budak-budak perang". Klinik itu sebuah rumah panggung biasa yang bersebelahan letaknya dengan sebuah kebun gadung. Pasien-pasien dipanggil makan oleh petugas klinik ketika aku tiba di sana, dan para budak perang yang tubuhnya kurus-kering berbarisris berdesak-desakan dan dorong-mendorong kerena ingin paling dulu sampai di meja tempat makanan. Salah seorang, dari mereka mulai ribut, lalu seorang mit neary memukul kepalanya dengan sendok besarnya sampai sendoknya patah, agar orang itu tenang.

Di klinik itu hanya ada dua jenis obat: suntikan vitamin, dan pil malaria buatan sendiri. Larutan multivitamin yang disuntikkan kelihatannya dibuat di Phnom Penh oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dasar tentang farmakologi. Larutan itu disimpan dalam botol-botol bekas minuman Coca-Cola. Dengan mengikuti prosedur kedokteran yang baku, para perawat me nyucihamakan jarum suntik dengan memasukkannya ke dalam air mendidih. Tapi sebelum menyuntik, mereka mengusap jarum dengan jari-jari mereka yang kotor untuk memeriksa apakah jarum itu sudah terpasang dengan baik ke tabung yang berisi larutan yang akan disuntikkan. Sebagai akibatnya, hampir seluruh pasien mengalami pembengkakan bernanah pada bagian tubuh yang disuntik. Hanya sedikit saja yang sembuh dari penyakit yang menyebabkan mereka datang ke klinik.

Pil malaria mereka buat sendiri di klinik, dari umbi gadung yang ditanam di kebun sebdah, dicampur dengan daun sdao. Campuran itu digiling lalu dibuat lempengan yang kemudian dipanggang. Selanjutnya, dari lempengan-Iempengan itu dibuat piI-piI yang dicetak dengan menggunakan sdongsong peIuru senapan M-16. Pil-piI itu dikenaI dengan sebutan "tahi kelinci", karena bentuknya yang buIat dan warnanya yang coklat. Aku buru-buru pergi lagi sesudah diberi segenggam tahi keIinci itu, sebelum para perawat sempat memberikan suntikan. Daun sdao akan bisa agak meredakan demam, kataku dalam hati. Tapi yang lebih menarik bagiku adalah gadung yang ada dalam pil-pil itu, karena itu berarti aku mendapat makanan tambahan. Sementara sel-seI darah merahku semakin banyak yang diserang kuman-kuman malaria, tubuhku menjadi semakin lemah. Aku terkapar di atas tikar plastik di rumah panjang. Aku kedinginan, tidak bisa kutahan tubuhku agar jangan menggigil. Tahu-tahu Huoy sudah menduduki pinggangku sambil memegang kedua lenganku, sementara Ayah memegang kedua kakiku. Mereka mengatakan bahwa aku tadi tidak siuman, sementara lengan dan kakiku terkejat-kejat. Aku sama sekali tidak ingat. Aku hanya tahu bahwa aku haus. Rasanya kemudian kuminum bergalon-galon air tanpa henti.

Huoy dan ayahku bersama-sama merawat diriku. Ketika pil-pil tahi kelinci sudah habis semua kumakan, ayahku pergi mengumpulkan daun-daun dan kulit batang pohon sdao. Daun-daun itu kumakan, sementara Huoy merebus kulit batang pohonnya. Aku kemudian disuruhnya meminum air rebusannya. Ayahku berkeliaran saat fajar di dalam hutan, mencari-cari tunas daun bambu muda yang masih diselimuti embun. Itu merupakan obat tradisional di Kamboja. la juga membuatkan obat Cina untukku, dengan menggunakan serutan dari sepotong tanduk binatang yang dibawanya dari Phnom Penh.

Huoy juga merasa cemas. Setiap hari ia pergi mencari obat-obatan Barat. Akhirnya ia berhasil mendapat delapan butir tablet kina 300 mg. yang dipertukarkannya dengan emas sebanyak satu damleung, jadi kurang lebih 35 gram. Pil itu kuminum separuh pada pagi hari Ialu malamnya separuh lagi, ditambah dengan daun-daun serta air rebusan kulit pohon sdao dan jamu tradisional yang diberikan ayahku. Berkat segala macam obat itu serta perawatan Huoy dan ayahku yang begitu penuh perhatian, aku sembuh lagi .

***********

Setelah itu kembali bekerja. Musim hujan sudah tiba. Air yang mengalir turun dari bukit-bukit mengisi saturan-saluran dan kemudian melimpah dengan Ieluasa, seperti tidak ada perintang di situ. Lahan sawah terbenam kecuali beberapa pematang yang lebih tinggi, yang tersembul di atas permukaan air seperti garis-garis pada papan permainan dam; begitu pula halnya dengan bukit-bukit kecil yang nampak seperti buah dam, beberapa di antaranya di tengah-tengah petak yang dibatasi pematang-pematang, sementara sisanya di atas pematang-pematang itu sendiri.

Chev datang memeriksa dengan membawa cangkul. Badannya penuh lumpur, dari kepala sampai kaki. Di bawah permukaan air terdapat persemaian benih padi yang sudah mulai tumbuh.

"Semaian itu pasti mati jika air belum juga surut dalam beberapa jam ini," kata Chev mengomentari. la berbicara dengan tenang. Tapi aku langsung lemas, sementara pandanganku mengikuti matanya yang menatap lahan persawahan yang tergenang. Itu bukan kesalahan kami! Saluran-saluran itu yang kurang dalam, sehingga tidak mampu menampung air yang datang membanjir. Kami kekurangan orang untuk membangun tanggul-tanggul guna melindungi tempat-tempat persemaian. Kami seregu hanya berempat: dua orang tidak bisa bekerja karena terserang malaria, sementara dua lagi digiring ke dalam hutan.

"Kalian harus dengan tegas mengatur nasib kalian," kata Chev sambil berjalan pergi, "Jika kalian kalah dalam pertempuran ini, kalian sendiri yang bertanggung-jawab."

Kami kembali membangun tanggul-tanggul dengan kebingungan yang semakin parah karena tahu bahwa apa pun yang kami lakukan, itu pasti tidak memadai. Sambil bekerja aku berdoa. Teman-teman sereguku juga berdoa. Dan sorenya, berkat kemurahan dewa-dewa, hujan berhenti. Air tidak melimpah lagi. Permukaannya di dalam petak-petak sawah menyurut, dan benih-benih padi yang sudah mulai tumbuh nampak kembali. Tapi keesokan harinya hujan turun lagi. Setiap hari pekerjaan dilakukan dengan buru-buru. Pematang-pematang runtuh dilanda air, semaian padi hanyut. Aku bekerja dengan mencurahkan segala-galanya yang ada padaku. Aku harus menyelamatkan nyawa dan juga menyelamatkan tanaman padi, agar koperasi mendapat pangan untuk dimakan.

Chev memutuskan untuk melakukan reorganisasi terhadap koperasi kami, dengan dua dapur umum yang terpisah sejauh satu mil. Ayah dan abangku ditempatkan ke kelompok dengan dapur umum yang satu lagi, tapi aku masih sering berjumpa dengan mereka. Lalu terjadi lagi pembersihan besar-besaran. Serdadu-serdadu datang pagi dan petang, menangkapi orang-orang. Tapi orang-orang itu tidak langsung digiring pergi. Mereka diikat ke pohon, lalu serdadu-serdadu berteriak-teriak kepada siapa saja yang mau mendengar, menyebutkan kesalahan orang-orang itu. Aku berusaha tidak melihat atau mendengar. Memikirkan keselamatanku sendiri saja sudah cukup memusingkan.

Jadi aku tidak begitu memperhatikan sewaktu aku berjalan pulang dengan lambat menuju ke rumah panjang menjelang senja, pada awal musim hujan tahun 1976. Air menggenang di sana-sini pada jalan setapak yang kulalui. Aku berjalan sambil menghindari genangan-genangan itu, sementara mataku sambil lalu melihat betapa langit tercermin di dalamnya. "Lihat musuh-musuh ini! Lihat musuh-musuh!" Seorang serdadu berumur belasan tahun berteriak-teriak, seperti penyiar di pasar malam. "Angka menangkap mereka karena mencuri makanan! Mereka mencuri makanan kita semua! Lihat mereka sekarang, sementara masih ada kesempatan! Jadikan mereka contoh sebagai peringatan bagi kalian!" Dekat kaki serdadu itu duduk beberapa orang tahanan dengan tangan diikatkan ke batang sebuah pohon. Wajah-wajah mereka terpaling. Aku sedang menduga-duga berapa banyak jatah makan malam nanti, ketika aku melihat sesuatu: salah seorang tahanan itu ayahku.

Aku tertegun.

Ayahku menoleh dan menatap mataku dengan sedih. Bibirnya bergerak-gerak. la ingin mengatakan sesuatu kepadaku. la mengharapkan pertolonganku.

"Kenapa kau berhenti?" teriak serdadu itu kepadaku. "Jalan terus'"

Hampir saja aku ditubruk orang-orang yang berjalan di belakangku. Mereka menoleh untuk memandang para tahanan itu. Kudengar kata-kata yang mereka ucapkan dengan suara menggumam, rasanya seperti datang dari jauh. "Mereka itu sudah tua. Kenapa mereka dibuat menderita?" gumam seseorang. Seorang yang lainnya lagi mengatakan. "Lelaki tua itu baik hati, itu, yang kurus. Kenapa dia dibunuh?"

"Pergi!" bentak serdadu itu.

Rasanya seperti menatap ke dalam terowongan. Yang kulihat hanya mata ayahku saja, yang terbelalak lebar karena sedih dan takut. Ia memberi isyarat padaku agar meneruskan langkah. Aku menurut saja, tanpa daya.

Wajah Huoy sudah bengkak karena menangis. la sudah tahu. la mendengar bahwa seorang pejabat tinggi yang darang berkunjung ke dapur umum yang baru melihat ayahku— meraup beras dari pinggiran tong besar. Pejabat itu lantas bertanya kepada Chev, apa sebabnya orang-orang "baru" mengais-ngais mencari makanan, padahal mereka seharusnya bekerja. Chev langsung saja menangkap ayahku.

Sekitar saat matahari terbenam para tahanan itu berjalan dengan langkah gontai melewati rumah panjang kami. Ayah diikatkan pada dua orang tahanan lain. Seorang serdadu yang berjalan di belakang mereka memegang ujung tali yang mengikat ketiga orang itu. Ketika mereka sudah dekat, ayahku mengangkat kepala dan memandang ke arahku. Tatapan matanya tidak menampakkan tuduhan, melainkan hanya kepiluan yang sangat dalam. Tidak ada kemungkinan kembali dari tempat yang sedang ditujunya saat itu.

Tanamlah pohon kapuk, katanya kepadaku.

Aku pergi ke luar, lalu duduk di tanah. Kerongkonganku seperti tercekik rasanya dan air mataku jatuh membasahi pipi, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Tanamlah pohon kapuk.

Ketika tiga hari sudah berlalu, aku dan Huoy membawa jatah makan malam kami pulang ke rumah panjang beserta beberapa batang lilin. Para tetangga membiarkan kami sendiri. Mereka sudah tahu apa yang hendak kami lakukan. Ketika malam sudah larut, Pheng Huor datang bersama Nay Chhun. Lilin-lilin kami nyalakan. Abangku beserta istriku memulai dulu, karena mereka lebih tua. Mereka melakukan sompeah ke arah tempat sesajen. Mereka meletakkan telapak tangan mereka ke tanah tiga kali berturut-turut, membungkukkan tubuh sampai kening mereka menyentuh punggung tangan. ltu mereka lakukan tiga kali berturut-rurut pula, lalu setelah itu mereka berdoa. Aku dan Huoy duduk di belakang mereka, menunggu giliran.

Aku berdoa, semoga ayahku tidak dilahirkan kembali di Kamboja.

Dari hari ke hari aksi-aksi pembersihan semakin meningkat kegawatannya. Ada yang digiring pergi karena berkeluh-kesah, tapi kebanyakan karena mencuri makanan untuk memperpanjang nyawa. Kami berusaha mengetahui apa sebabnya Khmer Merah membunuhi begitu banyak orang. tapi kami tidak menemukan alasan yang bisa diterima akal. Itu hanya merupakan sesuatu yang mereka lakukan, suatu keinginan yang tidak pernah bisa mereka puaskan. Mereka menciptakan musuh-musuh untuk disikat, dan itu menambah kehausan mereka terhadap musuh-musuh.

Nanar, ngeri, sedih - dengan kematian ayahku. sebagian dari kami pun ikut mati. Di bawah pengendalian suatu kekuatan asing kami bereaksi, tapi tanpa semangat. Kami merupakan makhluk-makhluk yang begitu tidak sempurna dan ringkih dalam penciptaannya sehingga kami selalu saja menjadi aus, atau dimusnahkan oleh mereka-mereka yang tidak peduli, karena kami tidak sempurna. Segala-galanya tidak ada lagi. Masyarakat sudah dimusnahkan, bhiksu-bhiksu dan kuil-kuil dimusnahkan, begitu pula pasar-pasar, keluarga- keluarga, serta ikatan yang ada antar sesama manusia-semuanya dimusnahkan. Tidak ada harapan.

Dua minggu kemudian abang dan iparku digiring pergi dengan tangan terikat. Aku tidak pernah bisa mengetahui apa penyebabnya. Mereka tidak pernah kembali lagi. Aku dan Huoy menyembahyangkan mereka, serupa seperti yang kami lakukan untuk ayahku, menyembah, membungkuk, berdoa. Kami menyalakan liIin-liIin yang sama, yang sudah hampir habis terbakar. Hanya ada kami berdua saja yang mendoakan arwah mereka. Dalam hati kami bertanya-tanya: siapakah yang nanti menyalakan lilin-lilin untuk mendoakan arwah kami. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar