22
LILIN- LILIN
TERAKHIR
kali aku melihat Ayah, ia dan ibuku sedang bergegas-gegas mengejar gerobak sapi
yang membawa pergi Pheng Huor, Nay Chhun, beserta anak-anak mereka. Mereka semua
dibawa ke sebuah koperasi garis depan yang serupa dengan koperasiku, tapi lebih
di selatan, dekat kaki bukit-bukit Pegunungan Cardamom. Nasib mereka di sana
tidak baik. Mula-mula anak-anak yang tiga orang itu dibawa pergi—dikirim ke suatu
kelompok remaja untuk diindoktrinasi terus agar melupakan orangtua mereka dan
cinta kepada Angka. Kemudian ibuku yang sudah tua dikirim ke suatu perkemahan
kerja lain di dalam rimba. Sejak itu mereka tidak pernah mendengar apa-apa lagi
tentang dia.
Tinggal
tiga orang dewasa: Ayah, Pheng Huor, dan Nay Chhun. Kemudian, entah Angka atau mungkin
juga dewa-dewa yang sedang iseng, mereka dipindahkan ke koperasiku sewaktu aku sedang
dalam penjara. Ayahku ditempatkan di sebuah rumah panjang beratap kajang yang
dibangun di atas tiang-tiang, dengan tempat berbaring yang serba sempit di
antara orang-orang yang berbaring di sebelah kiri dan kanannya. Pheng Huor dan
Nay Chhun ditempatkan di sebuah rumah panjang lain, sementara Huoy di rumah panjang
berikut. Dalam keseluruhannya ada dua belas rumah panjang, yang masing-masing
ditempati sekitar dua ratus orang. Jadi semuanya ada kira-kira dua ribu empat
ratus orang.
Ayahku
ditugaskan bekerja dalam sebuah regu yang terdiri atas orang-orang yang sudah
berumur. la membetulkan gagang cangkul, menganyam keranjang, membuat tongkat
pemikul, dan pekerjaan lainnya yang enteng. Tidak lama kemudian ia sudah
menemukan Huoy yang bekerja dapur umum. Meski Huoy tidak mampu mengatakannya,
tapi dari air mukanya yang sedih ayahku bisa menebak bahwa Huoy menyangka aku
sudah mati. Ayahku menghiburnya, mendorongnya agar jangan kehilangan harapan.
Setiap sore ia datang berkunjung ke rumah panjang, tempat Huoy. Apabila Huoy
kembali dari bekerja ayahku sudah ada di situ, duduk di atas lembaran plastik
putih di samping tempat tidur gantung Huoy.
Antara
mereka berdua terbentuk ikatan seperti ayah dengan anaknya. Saat mereka
berkumpul bersama-sama merupakan saat yang paling mereka sukai. Pada saat-saat
itu Huoy bercerita macam-macam kepada Ayah, menjahitkan pakaiannya yang robek,
membangkitkan semangatnya. Sewaktu bekerja membersihkan tempat beras yang terdiri
dari tong-tong minyak berukuran lima putuh lima liter, Huoy sengaja
meninggalkan selapis butir-butir beras di pinggir-pinggirnya. Ayahku kemudian
datang dan meraup butir-butir beras yang menempel itu dengan kedua tangannya. Bagi
orang yang dulu pernah menjadi jutawan, menguras isi tong kedengarannya tidak pantas,
tapi itu sangat berarti bagi kesehatannya. Ada satu efek positif dari kehidupan
di garis depan ini: semua yang lidak penting terkikis dan kami bisa saling
mengenali nilai sejati masing-masing. Ayah akhirnya melihat bagaimana
sebenarnya watak Huoy, bahwa Huoy tidak peduli apakah Ayah kaya atau miskin dan
tidak pernah meminta apa pun juga padanya, kecuali kesempatan untuk menunjukkan
rasa sayang dan hormat kepadanya. Dan Ayah mulai membanding-bandingkan Huoy
dengan Nay Chhun, istri abangku. Nay Chhun sangat ramah terhadap ayahku selama ia
masih memiliki pabrik penggergajian kayu, tapi setelah Ayah menjadi budak
perang, ia tidak begitu mempedulikannya lagi.
Keesokan
paginya setelah aku kembali dari penjara, Ayah datang ketika aku sedang
berbaring- baring dalam tempat ridur gantung. la semakin kurus saja, pipinya
cekung dan perutnya kempis. la hanya memakai kaus oblong hitam yang sudah pudar
dan celana pendek biru muda yang ditambal rapi di sana-sini. Aku mengenali hasil
pekerjaan Huoy. Air mata Ayah berlinang-linang ketika melihat aku.
Sewaktu
ia menanyakan apa yang terjadi di penjara, aku bercerita seperti kepada Huoy,
tanpa menyebutkan perincian. Ayah mendengarkan. la menggeleng-geleng sambil
mendesah. la menangis. la berdiri, berjalan mondar-mandir sambil mengeluh.
la
sudah berubah, kataku dalam hati. Sewaktu aku beranjak besar ia selalu bersikap
tangguh, keras, dan skeptis. Dalam usianya yang lanjut hatinya menjadi lebih
lembut, lebih berperasaan. Tapi ia masih tetap kepala keluarga kami. Sambil duduk
di tikar plastik di samping tempat tidur gantung, ia memberi nasihat kepadaku.
"Nak,"
katanya, "dengan melihat keadaanmu saja aku sudah tahu bahwa kau
menderita. sekali ada orang yang kembali apabila digiring pergi. Kau dua kali
kembali. Mulai sekarang tutup mulutmu. Tanamlah pohon kapuk. Dam doeum kor. Apa pun yang terjadi,
jangan beri mereka alasan menggiringmu pergi lagi.
"Semasa
kanak-kanakmu kau cepat sekali naik darah. Sejak berjumpa dengan Huoy sifatmu menjadi
agak berkurang, tapi dalam sanubarimu, kau masih tetap terlalu pemarah. Kau
harus lebih menyejukkan hatimu. Kendalikan perasaanmu agar tidak kelihatan di
mukamu. Banyak yang berhasil kaukelabui, tapi tidak semua orang. Jika kau
sepintar anggapanmu sendiri, mereka takkan setiap kali menggiringmu pergi
lagi,"
"Ya,
Ayah," kataku.
"Masih
ada satu hai lagi," kata ayahku. “Pen Tip. Kau tidak bicara tentang balas
dendam terhadap dia, tapi itu kelihatan jelas di mukamu. Lupakan saja itu. Kau
orang yang terpelajar, sedangkan dia tidak. la melakukan kesalahan terhadapmu, tapi
biar dewa-dewa saja yang menghukumnya. Jangan kaucoba melakukannya sendiri.
Jika itu kaulakukan, nanti ketahuan oleh Khmer Merah. Lalu mereka akan
membunuhmu, dan Huoy akan menjadi janda lagi. Jika kau bertemu dengan dia, bersikaplah
seolah-olah tidak ada apa-apa."
Itu
lebih sulit menerimanya, tapi sesudah kupikir-pikir akhimya aku mulai melihat
bahwa ayahku benar. "Ya, Ayah." kataku. "Khmer Merah itu gila
dan tidak berpendidikan." kata ayahku menyambung. Agar bisa tetap selamat
menghadapi mereka kau harus sabar dan cerdik, sangat cerdik. Pakai otakmu, Nak.
Lihat ke sekelilingmu. Saluran-saluran yang mereka buat itu pasti runtuh lagi
begitu hujan turun. !tu kauketahui sendiri, karena kau ikut bekerja membuatnya.
Saluran-saluran itu takkan sanggup menahan curah hujan kawasan Battambang.
Segala- galanya yang dicoba pelaksanaannya oleh Khmer Merah, pasti akan gagal.
Dan mereka tidak didukung rakyat. Jadi tanamlah pohon kapukmu, Nak.
Bersabarlah, diam dan tetap tenang. Suatu waktu nanti revolusi ini akan
berbalik. Rezim pasti digulingkan dan kita akan bebas kembali."
Aku
mendengarkan dengan penuh perhatian. Tentang satu haI, ayahku sudah pasti
benar: rezim itu takkan bisa bertahan selama-Iamanya. Cara terbaik memeranginya
adalah bersikap diam dan biarkan rezim itu musnah sendiri. Tidak membalas perbuatan
Pen Tip—itu lebih sulit. Ketika masih di penjara, bermalam-malam mataku tetap nyalang
memikirkan apa yang akan kulakukan terhadap Pen Tip untuk membalas perbuatannya
mengadukan diriku. Aku belum belajar mengenal rasa sakit tanpa ingin
menimbulkannya. Aku belum bisa menderita siksaan tanpa ingin melakukan pembalasan.
Pikiranku waktu itu begitu kelam dan ganas sehingga aku takkan mau mengatakannya
kepada siapa pun juga, tapi ayahku berhasil menebaknya. Dan sekali lagi ia benar.
Lebih penting menghindari penderitaan pada masa mendatang, daripada membalas dendam
atas haI-hal yang sudah lewat. Dan agar penderitaan selanjutnya bisa dihindari
aku harus semakin baik bermain sandiwara. Aku harus bisa mengendalikan perasaan
dan menyembunyikannya.
Kedatangan
iparku Nay Chhun sore itu membuka kesempatan bagiku untuk melatih diri. Aku dan
Nay Chhun, kami saling tidak menyukai. Kami sudah sejak masa sebelum revolusi
tidak pernah bercakap-cakap lagi, kecuali jika ada sesuatu yang perlu dikatakan.
la tidak pernah datang menjenguk ketika aku sakit di Phum Chhleav. Tapi ini ada
kesempatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak, menjalin hubungan baru.
Ketika ia menanyakan keadaanku, aku menjawab, "Lumayan, terima
kasih." la mengatakan bahwa aku menjadi kurus, dan aku berkata sambil
tersenyum, "Siapa yang tidak?" Kutanyakan bagaimana keadaan dia dan
abangku. Kami bercakap-cakap dengan sopan tentang haI-hal yang biasa.
Perhatianku
tertuju bukan kepada Nay Chhun, tapi pada ayahku, yang langsung membisu dan bersikap
kaku ketika iparku itu datang menghampiri. Sejak, berada di garis depan ayahku
selalu menjauhinya, kecuali apabila ia sedang bersama abangku. Akhirnya Ayah
mengenali watak Nay Chhun yang sebenamya. Namun ketika iparku itu pergi, Ayah
mendesah dan mengusap air mata—kurasa ia merasa senang melihat aku sudah mau
bicara lagi dengan dia.
Begitu
banyak perubahan yang terjadi pada diri ayahku! Dulu, semasa ia masih kaya,
Huoy nyaris tak dipedulikan olehnya apabila ia masuk ke rumahnya. Ayahku merasa
malu, karena aku memilih wanita yang miskin seperti Huoy. Karena aku dan Huoy
tidak pernah menikah seperti yang kami inginkan. dengan bhiksu-bhiksu, upacara,
dengan segenap keluarga berkumpul dan pesta besar yang mengundang separuh
penduduk kota Phnom Penh. Huoy menderita karena tidak menikah, dengan
penghinaan-penghinaan y'ang dialamatkan kepadanya oleh Nay Chhun, Bibi Kim, dan
sanak-keluargaku yang lain-Iain; tapi Huoy tidak pernah membalas segala
penghinaan itu.
Tapi
masa silam sudah tidak ada artinya lagi sekarang. Kini kami semua berada pada
kedudukan yang sama. Wajah ayahku kelihatan menjadi cerah ketika Huoy pulang
dari dapur sore itu, Sikap Ayah langsung berubah sama sekali, dan senyum
merekah di wajahnya yang keriput. ltulah yang sejak tadi kutunggu-tunggu:
mengetahui bahwa Ayah sudah menerima Huoy sebagai anggota keluarga.
Tapi
memang sudah nasibku, baru saja mulai pulih dari bencana yang satu, datang pula
bencana lain menimpa.
***********
Aku
bekerja kembali. Hujan sudah turun, meski masih jarang-jarang. Cuaca panas dan
pengap, seperti biasanya menjelang musim hujan yang sebenarnya.
Chev
menugaskan reguku membuat petak- petak sawah untuk menanam padi dengan skala besar—pematang-pematang
yang jauh lebih panjang dan lebar ketimbang yang biasa dibuat para petani
semasa prarevolusi. Dalam teori gagasan itu bagus, karena petak-petak besar
akan memungkinkan kami membudidayakan lahan yang lebih luas, dengan pekerjaan
perawatan yang relatif lebih sedikit. Masalahnya adalah tentang rencana pembuatan
pematang-pematang itu. Bukannya separuh dari pematang-pematang yang lama
dibiarkan utuh sebagai pembatas petak-petak yang dua kali lebih luas: tidak,
Chev menyuruh kami merobohkan semuanya lalu membuat pematang-pematang baru. Itu
bukan pekerjaan kecil, dan tanpa manfaat praktis. Lagi pula, kami harus buru-buru
menyelesaikannya. Mungkin Chev menginginkan agar kami menunjukkan betapa rajinnya
kami untuk membuktikan kebaktian kami. Aku bekerja dalam lumpur yang melumuri tubuhku
sampai ke bahu. Hawa panas, lumpur itu sejuk, dan aku berjalan bolak-balik. Aku
sudah kehabisan tenaga. Kawanan nyamuk berdatangan dari hutan-hutan di dekar
situ.
Kemudian
aku roboh diserang demam yang membuat aku menggigil dua kali dalam sehari. lalu
hari berikutnya menggigil kembali pada saat-saat yang sama. Aku merasakannya
nyaris sebagai berkah. karena dengannya ada alasan tidak bisa pergi bekerja tanpa
perlu berpura-pura. Banyak orang di situ yang terserang malaria. Semua mengenal
simtom-simtomnya.
Aku
dibebaskan dari tugas bekerja. Aku lantas pergi mencari obat. Yang pertama-tama
kucari adalah obar Barat: kina atau obat semacam itu, seperti misalnya khlorokina.
Aku sendiri tidak memilikinya. Aku berkeIiling mencari dan bertanya-tanya, tapi
obat-obat itu tidak ada di pasar gelap. Di semua rumah panjang terdengar suara orang-orang
merintih dan menggigil karena malaria, meringkuk di dalam bangunan-bangunan yang
penuh sesak, kotor, berbau pesing, dan dikerumuni lalat.
Selanjutnya
aku mencoba menghubungi rezim, yang mempunyai tiga lapis perawatan kesehatan. Kader
yang paling tinggi kedndukannya bisa pergi ke rumah sakit gaya Barat yang
lumayan baik mutunya di kota Battambang, tapi aku mustahil bisa ke sana.
Anggota-anggota Khmer Merah yang biasa dan orang-orang "lama" bisa
pergi ke sebuah rumah sakit daerah yang lebih kecil di Phum Phnom, tapi ke situ
pun aku tidak mungkin
bisa
pergi. Yang bisa kudatangi hanya kIinik garis depan saja, di mana para perawat
menjuluki para pasien mereka sebagai "budak-budak perang". Klinik itu
sebuah rumah panggung biasa yang bersebelahan letaknya dengan sebuah kebun gadung.
Pasien-pasien dipanggil makan oleh petugas klinik ketika aku tiba di sana, dan
para budak perang yang tubuhnya kurus-kering berbarisris berdesak-desakan dan
dorong-mendorong kerena ingin paling dulu sampai di meja tempat makanan. Salah
seorang, dari mereka mulai ribut, lalu seorang mit neary memukul kepalanya dengan sendok besarnya sampai sendoknya
patah, agar orang itu tenang.
Di
klinik itu hanya ada dua jenis obat: suntikan vitamin, dan pil malaria buatan
sendiri. Larutan multivitamin yang disuntikkan kelihatannya dibuat di Phnom
Penh oleh seseorang yang memiliki pengetahuan dasar tentang farmakologi. Larutan
itu disimpan dalam botol-botol bekas minuman Coca-Cola. Dengan mengikuti prosedur
kedokteran yang baku, para perawat me nyucihamakan jarum suntik dengan
memasukkannya ke dalam air mendidih. Tapi sebelum menyuntik, mereka mengusap
jarum dengan jari-jari mereka yang kotor untuk memeriksa apakah jarum itu sudah
terpasang dengan baik ke tabung yang berisi larutan yang akan disuntikkan.
Sebagai akibatnya, hampir seluruh pasien mengalami pembengkakan bernanah pada
bagian tubuh yang disuntik. Hanya sedikit saja yang sembuh dari penyakit yang
menyebabkan mereka datang ke klinik.
Pil
malaria mereka buat sendiri di klinik, dari umbi gadung yang ditanam di kebun
sebdah, dicampur dengan daun sdao.
Campuran itu digiling lalu dibuat lempengan yang kemudian dipanggang.
Selanjutnya, dari lempengan-Iempengan itu dibuat piI-piI yang dicetak dengan menggunakan
sdongsong peIuru senapan M-16. Pil-piI itu dikenaI dengan sebutan "tahi
kelinci", karena bentuknya yang buIat dan warnanya yang coklat. Aku
buru-buru pergi lagi sesudah diberi segenggam tahi keIinci itu, sebelum para
perawat sempat memberikan suntikan. Daun sdao
akan bisa agak meredakan demam, kataku dalam hati. Tapi yang lebih menarik
bagiku adalah gadung yang ada dalam pil-pil itu, karena itu berarti aku mendapat
makanan tambahan. Sementara sel-seI darah merahku semakin banyak yang diserang
kuman-kuman malaria, tubuhku menjadi semakin lemah. Aku terkapar di atas tikar
plastik di rumah panjang. Aku kedinginan, tidak bisa kutahan tubuhku agar
jangan menggigil. Tahu-tahu Huoy sudah menduduki pinggangku sambil memegang
kedua lenganku, sementara Ayah memegang kedua kakiku. Mereka mengatakan bahwa
aku tadi tidak siuman, sementara lengan dan kakiku terkejat-kejat. Aku sama
sekali tidak ingat. Aku hanya tahu bahwa aku haus. Rasanya kemudian kuminum
bergalon-galon air tanpa henti.
Huoy
dan ayahku bersama-sama merawat diriku. Ketika pil-pil tahi kelinci sudah habis
semua kumakan, ayahku pergi mengumpulkan daun-daun dan kulit batang pohon sdao. Daun-daun itu kumakan, sementara
Huoy merebus kulit batang pohonnya. Aku kemudian disuruhnya meminum air
rebusannya. Ayahku berkeliaran saat fajar di dalam hutan, mencari-cari tunas
daun bambu muda yang masih diselimuti embun. Itu merupakan obat tradisional di
Kamboja. la juga membuatkan obat Cina untukku, dengan menggunakan serutan dari
sepotong tanduk binatang yang dibawanya dari Phnom Penh.
Huoy
juga merasa cemas. Setiap hari ia pergi mencari obat-obatan Barat. Akhirnya ia
berhasil mendapat delapan butir tablet kina 300 mg. yang dipertukarkannya
dengan emas sebanyak satu damleung,
jadi kurang lebih 35 gram. Pil itu kuminum separuh pada pagi hari Ialu malamnya
separuh lagi, ditambah dengan daun-daun serta air rebusan kulit pohon sdao dan jamu tradisional yang diberikan
ayahku. Berkat segala macam obat itu serta perawatan Huoy dan ayahku yang
begitu penuh perhatian, aku sembuh lagi .
***********
Setelah
itu kembali bekerja. Musim hujan sudah tiba. Air yang mengalir turun dari
bukit-bukit mengisi saturan-saluran dan kemudian melimpah dengan Ieluasa,
seperti tidak ada perintang di situ. Lahan sawah terbenam kecuali beberapa
pematang yang lebih tinggi, yang tersembul di atas permukaan air seperti
garis-garis pada papan permainan dam; begitu pula halnya dengan bukit-bukit kecil
yang nampak seperti buah dam, beberapa di antaranya di tengah-tengah petak yang
dibatasi pematang-pematang, sementara sisanya di atas pematang-pematang itu
sendiri.
Chev
datang memeriksa dengan membawa cangkul. Badannya penuh lumpur, dari kepala
sampai kaki. Di bawah permukaan air terdapat persemaian benih padi yang sudah
mulai tumbuh.
"Semaian
itu pasti mati jika air belum juga surut dalam beberapa jam ini," kata
Chev mengomentari. la berbicara dengan tenang. Tapi aku langsung lemas,
sementara pandanganku mengikuti matanya yang menatap lahan persawahan yang tergenang.
Itu bukan kesalahan kami! Saluran-saluran itu yang kurang dalam, sehingga tidak
mampu menampung air yang datang membanjir. Kami kekurangan orang untuk
membangun tanggul-tanggul guna melindungi tempat-tempat persemaian. Kami seregu
hanya berempat: dua orang tidak bisa bekerja karena terserang malaria,
sementara dua lagi digiring ke dalam hutan.
"Kalian
harus dengan tegas mengatur nasib kalian," kata Chev sambil berjalan
pergi, "Jika kalian kalah dalam pertempuran ini, kalian sendiri yang bertanggung-jawab."
Kami
kembali membangun tanggul-tanggul dengan kebingungan yang semakin parah karena tahu
bahwa apa pun yang kami lakukan, itu pasti tidak memadai. Sambil bekerja aku
berdoa. Teman-teman sereguku juga berdoa. Dan sorenya, berkat kemurahan dewa-dewa,
hujan berhenti. Air tidak melimpah lagi. Permukaannya di dalam petak-petak
sawah menyurut, dan benih-benih padi yang sudah mulai tumbuh nampak kembali. Tapi
keesokan harinya hujan turun lagi. Setiap hari pekerjaan dilakukan dengan
buru-buru. Pematang-pematang runtuh dilanda air, semaian padi hanyut. Aku
bekerja dengan mencurahkan segala-galanya yang ada padaku. Aku harus menyelamatkan
nyawa dan juga menyelamatkan tanaman padi, agar koperasi mendapat pangan untuk
dimakan.
Chev
memutuskan untuk melakukan reorganisasi terhadap koperasi kami, dengan dua
dapur umum yang terpisah sejauh satu mil. Ayah dan abangku ditempatkan ke
kelompok dengan dapur umum yang satu lagi, tapi aku masih sering berjumpa
dengan mereka. Lalu terjadi lagi pembersihan besar-besaran. Serdadu-serdadu datang
pagi dan petang, menangkapi orang-orang. Tapi orang-orang itu tidak langsung
digiring pergi. Mereka diikat ke pohon, lalu serdadu-serdadu berteriak-teriak
kepada siapa saja yang mau mendengar, menyebutkan kesalahan orang-orang itu.
Aku berusaha tidak melihat atau mendengar. Memikirkan keselamatanku sendiri
saja sudah cukup memusingkan.
Jadi
aku tidak begitu memperhatikan sewaktu aku berjalan pulang dengan lambat menuju
ke rumah panjang menjelang senja, pada awal musim hujan tahun 1976. Air
menggenang di sana-sini pada jalan setapak yang kulalui. Aku berjalan sambil
menghindari genangan-genangan itu, sementara mataku sambil lalu melihat betapa
langit tercermin di dalamnya. "Lihat musuh-musuh ini! Lihat
musuh-musuh!" Seorang serdadu berumur belasan tahun berteriak-teriak,
seperti penyiar di pasar malam. "Angka menangkap mereka karena mencuri
makanan! Mereka mencuri makanan kita semua! Lihat mereka sekarang, sementara
masih ada kesempatan! Jadikan mereka contoh sebagai peringatan bagi kalian!"
Dekat kaki serdadu itu duduk beberapa orang tahanan dengan tangan diikatkan ke
batang sebuah pohon. Wajah-wajah mereka terpaling. Aku sedang menduga-duga berapa
banyak jatah makan malam nanti, ketika aku melihat sesuatu: salah seorang
tahanan itu ayahku.
Aku
tertegun.
Ayahku
menoleh dan menatap mataku dengan sedih. Bibirnya bergerak-gerak. la ingin
mengatakan sesuatu kepadaku. la mengharapkan pertolonganku.
"Kenapa
kau berhenti?" teriak serdadu itu kepadaku. "Jalan terus'"
Hampir
saja aku ditubruk orang-orang yang berjalan di belakangku. Mereka menoleh untuk
memandang para tahanan itu. Kudengar kata-kata yang mereka ucapkan dengan suara
menggumam, rasanya seperti datang dari jauh. "Mereka itu sudah tua. Kenapa
mereka dibuat menderita?" gumam seseorang. Seorang yang lainnya lagi mengatakan.
"Lelaki tua itu baik hati, itu, yang kurus. Kenapa dia dibunuh?"
"Pergi!"
bentak serdadu itu.
Rasanya
seperti menatap ke dalam terowongan. Yang kulihat hanya mata ayahku saja, yang terbelalak
lebar karena sedih dan takut. Ia memberi isyarat padaku agar meneruskan langkah.
Aku menurut saja, tanpa daya.
Wajah
Huoy sudah bengkak karena menangis. la sudah tahu. la mendengar bahwa seorang pejabat
tinggi yang darang berkunjung ke dapur umum yang baru melihat ayahku— meraup
beras dari pinggiran tong besar. Pejabat itu lantas bertanya kepada Chev, apa
sebabnya orang-orang "baru" mengais-ngais mencari makanan, padahal mereka
seharusnya bekerja. Chev langsung saja menangkap ayahku.
Sekitar
saat matahari terbenam para tahanan itu berjalan dengan langkah gontai melewati
rumah panjang kami. Ayah diikatkan pada dua orang tahanan lain. Seorang serdadu
yang berjalan di belakang mereka memegang ujung tali yang mengikat ketiga orang
itu. Ketika mereka sudah dekat, ayahku mengangkat kepala dan memandang ke
arahku. Tatapan matanya tidak menampakkan tuduhan, melainkan hanya kepiluan
yang sangat dalam. Tidak ada kemungkinan kembali dari tempat yang sedang ditujunya
saat itu.
Tanamlah
pohon kapuk, katanya kepadaku.
Aku
pergi ke luar, lalu duduk di tanah. Kerongkonganku seperti tercekik rasanya dan
air mataku jatuh membasahi pipi, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Tanamlah
pohon kapuk.
Ketika
tiga hari sudah berlalu, aku dan Huoy membawa jatah makan malam kami pulang ke rumah
panjang beserta beberapa batang lilin. Para tetangga membiarkan kami sendiri.
Mereka sudah tahu apa yang hendak kami lakukan. Ketika malam sudah larut, Pheng
Huor datang bersama Nay Chhun. Lilin-lilin kami nyalakan. Abangku beserta istriku
memulai dulu, karena mereka lebih tua. Mereka melakukan sompeah ke arah tempat sesajen. Mereka meletakkan telapak tangan
mereka ke tanah tiga kali berturut-turut, membungkukkan tubuh sampai kening
mereka menyentuh punggung tangan. ltu mereka lakukan tiga kali berturut-rurut pula,
lalu setelah itu mereka berdoa. Aku dan Huoy duduk di belakang mereka, menunggu
giliran.
Aku
berdoa, semoga ayahku tidak dilahirkan kembali di Kamboja.
Dari
hari ke hari aksi-aksi pembersihan semakin meningkat kegawatannya. Ada yang
digiring pergi karena berkeluh-kesah, tapi kebanyakan karena mencuri makanan
untuk memperpanjang nyawa. Kami berusaha mengetahui apa sebabnya Khmer Merah
membunuhi begitu banyak orang. tapi kami tidak menemukan alasan yang bisa diterima
akal. Itu hanya merupakan sesuatu yang mereka lakukan, suatu keinginan yang
tidak pernah bisa mereka puaskan. Mereka menciptakan musuh-musuh untuk disikat,
dan itu menambah kehausan mereka terhadap musuh-musuh.
Nanar,
ngeri, sedih - dengan kematian ayahku. sebagian dari kami pun ikut mati. Di
bawah pengendalian suatu kekuatan asing kami bereaksi, tapi tanpa semangat. Kami
merupakan makhluk-makhluk yang begitu tidak sempurna dan ringkih dalam
penciptaannya sehingga kami selalu saja menjadi aus, atau dimusnahkan oleh
mereka-mereka yang tidak peduli, karena kami tidak sempurna. Segala-galanya
tidak ada lagi. Masyarakat sudah dimusnahkan, bhiksu-bhiksu dan kuil-kuil dimusnahkan,
begitu pula pasar-pasar, keluarga- keluarga, serta ikatan yang ada antar sesama
manusia-semuanya dimusnahkan. Tidak ada harapan.
Dua
minggu kemudian abang dan iparku digiring pergi dengan tangan terikat. Aku
tidak pernah bisa mengetahui apa penyebabnya. Mereka tidak pernah kembali lagi.
Aku dan Huoy menyembahyangkan mereka, serupa seperti yang kami lakukan untuk
ayahku, menyembah, membungkuk, berdoa. Kami menyalakan liIin-liIin yang sama,
yang sudah hampir habis terbakar. Hanya ada kami berdua saja yang mendoakan arwah
mereka. Dalam hati kami bertanya-tanya: siapakah yang nanti menyalakan
lilin-lilin untuk mendoakan arwah kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar