23
MUSIM HUJAN
SAAT
fajar menyingsing, langit nampak cerah. Menjelang tengah hari awan mulai
bermunculan dari arah barat, putih bergumpal-gumpal seperti kapuk.
Gumpalan
awan itu membesar dan semakin menyebar sampai akhimya menutupi matahari. Dari
kejauhan datang bunyi guruh, gemuruhnya yang sayup-sayup sampai seperti dentuman
bom-bom yang dijatuhkan pesawat B-52. Hawa berubah, menjadi dingin. Angin mulai
kencang, tanaman padi merunduk di sawah dan pepohonan di bukit-bukit kecil
membungkuk; daun-daunnya beterbangan mendatar dibawa angin,
Kisaran
angin yang menerbangkan debu dan jerami bergerak berputar-putar di sawah dan pindah
ke tanah yang terbuka dekat rumah-rumah panjang. Pakaian beterbangan dari
tempat-tempat jemuran. Lembaran-Iembaran kajang mengepak-ngepak di atas atap;
kayu-kayu kerangka berderak-derik. Orang-orang mengencangkan ikatan krama
mereka yang membelit kepala menutupi muka dengan tangan untuk melindungi diri
dari gangguan debu.
Tiupan
angin mereda sebentar. Tanaman padi dan pohon-pohon tegak kembali. Langit
gelap, seperti saat senja. Kicauan burung terdengar nyaring sekali di tengah
kesunyian. Burung layang-Iayang menukik lalu membubung ke udara, memburu
serangga.
Kemudian
langit menjadi gelap-gulita. Angin bertiup kencang menekan pepohonan sehingga condong
dan hujan tercurah miring dari sebelah bawah awan yang hitam, melecut mukaku.
Aku menunduk, tapi angin mendorong pinggiran topiku sampai menempel ke pipi.
Dan ketika kepala kutegakkan, pinggiran topi terangkat dan air hujan melecut
mukaku lagi. Tetesannya menimbulkan bunyi gemercik ketika menimpa genangan air
di petak-petak sawah, lalu muncrat lagi ke atas. Aku bisa melihat orang di
sebelahku mengayunkan Cangkul, dan di sisi sananya ada seseorang lagi yang
tidak begitu jelas sosoknya. Lebih jauh dari orang itu tidak kelihatan apa-apa
lagi; tidak ada orang atau pemandangan, yang nampak hanya tabir hujan belaka.
Aku
suka musim hujan. Kehijauan alam jadi bertambah cerah, tanah lebih merah. Hawa
sejuk yang didatangkan terasa seperti berkah. Daun-daun bermunculan di
pepohonan, tanaman padi menghijau; serangga, ikan, ketam, semuanya berkembang-biak.
Kehidupan menjadi lebih baik. Kami di garis depan diberi makan dengan takaran yang
lebih banyak. Malam hari kami tidak usah bekerja lagi. Acara rapar pada malam
hari berkurang, karena para pemimpin tidak ingin menjadi basah. Air hujan
menctes dari susuran atap panjang, bunyinya seakan musik yang sangat lembut.
Air jatuh dari atap dan pohon ke tanah, mengalir menyusur jalan-jalan setapak, mengikuti
saluran-saluran yang berkelok-kelok ke mana-mana. Di dalam rumah panjang, aku
dan Huoy membentangkan lembaran plastik putih di atas tempat kami, tapi kami terap
saja menjadi basah. Kilat sambar-menyambar, cahayanya terang seperti siang. Petir
berdentum seperti tembakan meriam. Huoy memeluk tubuhku dan menyurukkan
kepalanya ke dadaku, mencari perlindungan. Hujan turun berhari-hari dan
kemudian berubah menjadi gerimis yang halus sekali sehingga nyaris tidak nampak
tetesannya.
Selama
musim hujan tahun 1976, dari sekitar bulan Juli sampai akhir September, aku
bekerja dalam regu yang berpindah-pindah, membantu dimana saja tenaga kami
diperlukan. Kami membuat pematang-pematang tambahan. Kami membajak sawah,
menyemai benih dan memindahkannya. Kadang-kadang kami menggembalakan sapi dan kerbau.
Tapi tugas kami yang paling besar adalah pembetulan jalan. Di jalan yang menuju
ke markas Khmer Merah di Phum Phnom, limbah air hujan menyebahkan terjadinya
galur sepanjang tiga puluh meter. Air coklat berlumpur mengalir di dalamnya
seperti arus sungai, dan sawah di sebelahnya kelihatan seperti danau.
Seminggu
lamanya matahari tidak nampak. Regu kami terdiri atas delapan orang, dengan penambahan
beberapa anggota baru; semuanya dilengkapi dengan parang dan cangkul. Kami menebang
pohon-pohon muda yang terdapat di pinggir jalan lalu menancapkan
batang-batangnya ke tanah sebagai penahan arus air. Di belakangnya kami
letakkan batang-batang dan dahan-dahan untuk meneguhkannya, lalu sela-selanya
kami jejali dengan lumpur bercampur akar dan tumbuh- tumbuhan. Sementara itu
hujan terus turun, tapi tidak terlalu lebat.
Kukatakan
pada yang lain-Iainnya pohon-pohon mana saja yang harus ditebang, di mana lumpur
harus diambil, meski aku bukan pemimpin resmi reguku. Ayahku biasa mengatakan, "Berpikirlah
sebagai pimpinan, bukan sebagai pekerja." Maksudnya, lebih baik memakai
otak dan bersikap aktif, daripada cemberut dan pasif seperti sikap buruh pada
umumnya. Aku bekerja lebih keras ketimbang teman-teman sereguku, karena itu
membuat pikiranku tetap terasah dan menyingkirkan pikiran lain-lainnya. Jika
aku sedang mujur, bisa selama beberapa jam tidak muncul bayangan wajah ayahku
di dalam benakku; wajahnya saat ia berada dalam keadaan terikat, atau abang dan
iparku sewaktu mereka digiring pergi.
Aku
menebang sebatang pohon yang masih kecil lalu kulontarkan seperti lembing ke seberang
sebuah saluran kecil, di mana teman-teman sereguku sedang membuat pagar
rintangan. Mereka bekerja dengan gerakan lamban; kelelahan mereka merupakan
suatu bentuk protes. Hanya satu orang saja yang bekerja sekeras yang kulakukan.
Nama orang itu Seng, dan ia yang mengepalai kami hari ini. Orangnya bertubuh
pendek kekar, dengan gambar rajahan Budhis di dada. Umurnya sekitar lima puluh,
menurut perkiraanku. Sewaktu di garis belakang dia itu kepala desa, dan kini menjadi
salah seorang asisten kepala di bawah Chev di garis depan.
Kami
mendengar suatu bunyi asing di sela siraman hujan. Datangnya dari arah jalan itu
juga, di tempat yang tidak kelihatan oleh kami. Bunyinya seperti denging mesin
yang berputar dan roda-roda yang menggelincir di dalam lumpur. Seng mengangkat
kepalanya untuk mendengarkan, lalu ia pergi memeriksa ke sana.
Tanpa
memperlambat irama kerjaku, kutebang lagi sebatang pohon muda. Seng itu - atau “Paman
Seng", begitulah sapaan yang disukainya - agak aneh. la satu-satunya orang
Khmer Merah yang nampak benar-benar manusiawi. Ketika terakhir kalinya ia
mengawasi, kami sedang menggembalakan ternak. Sewaktu aku dengan diam-diam
pergi ke sebuah bukit kecil untuk memasak makanan di situ, dua ekor sapi mengeluyur
masuk ke dalam hutan. Sepanjang malam kami mencari mereka, dan baru ditemukan
kembali keesokan paginya. Aku pasti sudah dibunuh oleh Chev jika haI itu sampai
diketahui olehnya. Tapi Paman Seng hanya memperingatkan, jangan sampai hai itu
terjadi lagi. la tidak pernah memerintahkan pembunuhan terhadap siapa pun juga.
Tapi
itu tidak berarti aku mempercayainya. Jika aku dianggapnya pekerja teladan,
syukurlah. Jika ia menyukai diriku sebagai pribadi, itu lebih baik lagi. Dia,
begitu pula orang-orang yang lain, tidak tahu bahwa aku menjalani kehidupan
bermuka dua. Mereka tidak tahu bahwa aku hampir setiap malam menyelinap pergi
dari rumah panjang untuk mencuri. Aku mencuri sayur-sayuran dari sebuah desa di
dekat tempat kami. Aku membawa parangku, siap menyerang siapa saja yang
memergoki diriku saat itu. Aku sudah siap mati. Segala-galanya yang kumiliki
sudah mereka ambiI, kecuali Huoy; aku dan Huoy sudah membulatkan tekad, jika
waktunya tiba kami akan bunuh diri bersama-sama.
"He!
Kalian semua!" Kemunculan kembali Paman Seng menyebabkan lamunanku terputus.
la melambai-Iambaikan tangan, menyuruh kami ikut. Aku terjun dan berenang
menyeberangi saluran, membawa cangkuI dan parangku. Ketika aku keluar lagi, aku
tidak lebih basah dari sebelumnya.
Aku
berlari-lari di jaIan bersama beberapa orang di belakangku, sementara yang
selebihnya bergegas menyusul. Ketika kami sampai di dekat Seng, kami melihat
sebuah jip mode! B1 yang rendah dan lebar, dengan kap dari bahan terpal.
Hanya
ada satu jip seperti itu di daerah Phnom Tippeday, yaitu yang dipakai tokoh
sipil tertinggi pangkatnya dalam organisasi Khmer Merah. Aku sudah sering
melihat jip itu dengan lengan pemimpin yang duduk di dalamnya terjulur ke luar
lewat jendela sementara tangannya diletakkan di atas kap.
Salah
satu roda jip itu terjepit di sela batang-batang kayu yang dibaringkan di
jalan, di bawah permukaan. Mesinnya menderu-deru, roda-roda berputar dan lumpur
licin tersembur ke arah belakang. Pengemudi jip itu, seorang serdadu bertopi
hijau model Mao, duduk dengan tak peduli di belakang setir sambil menekan-nnekan
pedal gas, sementara dua orang serdadu mendorong jeep dari belakang. Tapi tidak
terjadi apa-apa: Roda-roda berputar dan semakin dalam terbenam di sela
batang-batang kayu, menyebabkan jip itu semakin bertambah miring posisinya.
"Coba
hentikan sebentar." Kudengar seseorang mengatakannya dengan suara pelan. Pengemudi
jip itu mengangkat kakinya dari pedal gas. Aku berjalan ke belakang. Kulihat seseorang
di situ, sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan roda. la memakai pakaian
seragam yang seperti piama potongannya serta topi Mao, serupa dengan pakaian seragam
dan topi yang dipakai serdadu-serdadu itu. Tapi ada sesuatu dalam penampilannya
yang memancarkan kewibawaan. la berpenampilan ramah, bermata sipit seperti
orang Cina, dan di pipinya ada kutil. Itu kan Chea Huon, kataku dalam hati.
Tidak, tidak mungkin, pikirku selanjutnya.
"Apa
yang bisa kita lakukan?" tanya orang itu kepada serdadu yang duduk di
belakang setir. Tapi sopir itu tidak berani menjawab. Lebih baik berlagak
bodoh, ketimbang mengambil risiko membantah atasan-demikianlah sikap sopir itu.
Khas Kamboja. Jika Chea Huon mengatakan cara paling baik untuk membebaskan jip
yang terperosok itu adalah dengan meludahi rodanya, sopir itu pasti akan
langsung meludah-Iudah. Tapi aku tidak yakin. Benarkah itu Chea Huon?
Penampilannya sama: bertubuh kecil dan bungkuk. Kutilnya juga sama. Jika orang
itu bukan Chea Huon, maka dia saudara kembarnya. Apakah yang dilakukannya di
sini? . "Biar kami saja yang melakukannya, Kawan," kata Seng dengan
sikap hormat kepadanya." Badan kami sudah berlumur lumpur. Tidak perlu Anda
juga ikut kena lumpur. Ayo," katanya kepada kami. Kami semua, termasuk
kedua serdadu pengawal, mulai mendorong jip itu, sementara Chea Huon menonton.
Tidak nampak dari sikapnya apakah ia melihat aku sebentar-sebentar melirik ke
arahnya. la bersikap seperti hendak menyenangkan hati Seng, menuruti apa yang
diminta daripadanya. Kami semua mendorong, tapi roda-roda hanya berputar-putar
dan jip itu malah semakin dalam terbenam dalam lumpur.
"Paman
Seng," kataku, "mungkin lebih baik kita coba dengan menaruh
dahan-dahan di bawah roda. Dengan begitu ada yang bisa dijadikan pegangan."
Chea Huon beranjak pergi dengan langkah lambat. "Itu gagasan yang bagus,
" katanya sambil berjalan.
Melihat
Seng mengangguk, kami lantas pergi dengan membawa parang. "Cari
batang-batang kayu yang panjang, kalau bisa," kataku kepada teman-teman
seregu. "Juga dahan-dahan, dan batu jika ada." Dua orang dari mereka
mulai menebang sebatang pohon di sisi jalan dengan parang mereka. Aku
membuntuti Chea Huon Ialu melewatinya. la menunjuk ke sebatang pohon muda yang
ada di hadapan. Aku mulai memotongi dahan-dahannya. Sementara itu Chea Huon
sampai di tempatku.
Tidak
ada orang lain di dekat kami, yang bisa ikut mendengar.
Aku
berbicara dengan suara pelan, tanpa menoleh ke arahnya. "Maafkan saya, Luk
Guru. Saya mungkin saja keliru, tapi saya rasa nama Anda Chea Huon. Anda dulu
guru di Takeo. Saya mengenali Anda dari tanda di pipi itu."
"Kau
kenal aku?"
"Anda
pernah menjadi guru saya, tahun 1962 dan 1963."
Kupotong
dahan-dahan yang tersisa, lalu membungkuk dan mulai menebang pohon itu. 242 "Ya,
kau benar," kata Chea Huon setelah beberapa saat. "Sekarang aku juga ingat,
siapa kamu. Kau berhasil meraih gelar doktermu, kan?"
"Ya,
Luk Guru."
Hujan
turun lagi. Chea Huon berdiri bercekak pinggang sambil mengangguk-angguk tanda
mengerti. Kemudian ia mendekat, mcnepuk bahuku sambil mengatakan dengan suara
ramah, "Teruskan kerjamu dan tutup mulut."
Kedua
serdadu pengawal darang mendekat sebelum ia sempat mengatakan apa-apa lagi. Sesampai
ke jarak pendengaran mereka berhenti. Itu jarak yang sopan bagi orang-orang
bawahan. Aku terus saja mengayunkan parang, menebang barang pohon muda itu.
Masih beberapa ayunan lagi. Terserah kepada Chea Huon, apakah percakapan kami
diteruskan atau tidak.
“...
Dan bagaimana keadaan padinya?" katanya dengan nada bertanya, seolah-olah
melanjutkan percakapan. "Pengairannya sudah bisa dikendalikan ?"
"Semua
berjalan dengan sangat baik, Kawan," jawabku dengan suara yang sengaja
agak kukeraskan. "Saat ini air membanjir turun dari bukit-bukit dan
mengikis jalan, tapi di bawah pimpinan Paman Seng kami sudah melancarkan
ofensif perbaikan jalan. Bagian-bagian yang rusak dilanda air sudah banyak yang
kami betulkan."
"Kita
harus berjuang di segala medan tempur," kata Chea Huon dengan nada
khusyuk. "Kita harus berjuang menguasai alam."
Setelah
itu ia meneruskan langkah, memeriksa sawah, diikuti kedua pengawal. Aku
menggotong pohon muda yang sudah kupotong-potong ke tempat jip terperosok.
Aku
merangkak dalam lumpur dan kujejalkan dahan-dahan ke bawah roda-roda. Setelah
itu kuisyaratkan kepada yang lain-Iainnya agar membawakan lebih banyak lagi
dahan dan juga batubatu. Aku melakukannya sambil memperhatikan apakah raman
Seng nampaknya menyetujui apa yang kulakukan, agar nampak kesan bahwa dialah yang
memimpin. Sopir jip itu tidak terlalu cerdas orangnya. la tidak tahu bahwa ia
harus menggerak- gerakkan kendaraan itu mundur-maju, supaya kami bisa
menyusupkan dahan-dahan ke bawah roda. Sewaktu menyuruh dia melakukan hai itu
aku bersikap sopan, karena kedudukannya jauh lebih tinggi ketimbang aku dan aku
tidak ingin dia kehilangan muka.
Dalam
keadaan berlumur lumpur sekujur tubuh, aku terkenang ke masa silam, ketika aku mendatangi
Chea Huon untuk belajar matematika tanpa harus membayar. Kehidupannya waktu itu
sangat bersahaja. Kalau ia sedang di rumah panggungnya di luar Takeo, ia selalu
memakai sarung, seperti petani. Kami, para muridnya, apabila merasa haus
tinggal mengambil air saja dari gentong. Orangnya sangat tulus, intelektual sejati.
Setiap orang diperlakukan dengan cara yang sama olehnya. Aku tidak pernah
menduga bahwa dia itu komunis. Baru kemudian aku tahu, ketika aku menjenguknya
di penjara di Phnom Penh, tahun 1967. Tapi setelah kukenang kembali, sebenarnya
itu masuk akal. Dia itu contoh khas manusia idealis yang menggabungkan diri
dengan komunis semasa tahun-tahun enam puluhan dan kemudian menghilang masuk
hutan. Ya, melihat umur dan latar belakangnya, sudah sepantasnya ia berada pada
kedudukannya yang sekarang dalam hierarki Khmer Merah.
Kudorong
lagi dahan-dahan ke dalam lubang Tempat roda jip itu terperosok lalu kami
desakkan lebih jauh lagi ke dalam, sementara jip digoyang-goyangkan mundur-maju
oleh sopirnya.
Chea
Huon tahu bahwa aku dokter. Tapi entah kenapa, aku yakin ia takkan mengadukan
diriku. Meski begitu tingkah-Iakunya menimbulkan kebingungan dalam hatiku
mengenai dirinya. “Teruskan kerjamu dan tutup mulut," katanya tadi
kepadaku. Hanya itu saja yang dikatakannya. Apakah yang dimaksudkan dengannya?
Apakah itu berarti ia tidak bermaksud menolongku? Dia kan punya otak, punya
mata! la pasti melihat luka-luka yang mengoreng di tengan, di tungkai, dan di
mukaku. la tahu bahwa aku dokter. la memiliki kekuasaan untuk memerintahkan aku
mendirikan klinik yang benar-benar klinik, untuk merawat orang-orang yang sakit
di garis depan. Pangkatnya lebih tinggi dari Chev. la bahkan bisa menolong aku,
sehingga tidak usah lagi menjadi budak perang. Itu jika ia mau. Ia bisa saja menarik
aku dari garis depan!
Kenapa
itu tidak dilakukannya?
Jip
kami dorong mundur-maju, sambil mendesakkan Iebih banyak lagi dahan ke
bawahnya. Akhirnya kendaraan itu berhasil keluar dari dalam lubang, bergerak ke
bagian jalan yang rata.
Chea
Huon datang kembali, setelah memeriksa keadaan sawah yang tergenang air yang
membanjir. la basah-kuyup, tapi tidak berlumur lumpur seperti kami. la
mengucapkan terima kasih kepada semuanya dan menatap kami satu demi satu, sambil
mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada Paman Seng. "Orang
yang di sana itu," katanya sambil menuding ke arahku. "dia itu
pekerja yang baik. la menampakkan inisiatif. Jaga dia baik-baik."
Setelah
itu ia naik ke jipnya yang kemudian bergerak pergi, menghilang di tengah
gerimis.
Aku
tetap berdiri di jalan, dengan parang dan cangkul di tangan. Jalan terasa lebih
lengang dari sebelumnya. Air hujan terasa dingin di kulit .
••••••••••••
Sisa
hari itu, begitu pula besoknya, dan berhari-hari sesudah itu, pikiranku penuh
dengan berbagai pertanyaan dan pereka-rekaan jawaban.
Chea
Huon itu terpelajar. Dia pintar. Dia tidak seperti yang lain-Iainnya. Apa
sebabnya ia membiarkan mereka-mereka yang seperti Chev membunuhi orang-orang
seperti ayah dan abangku? Tahukah ia tentang itu, atau tidak?
Jika
tahu, apa sebabnya haI itu tidak dicegahnya? la cukup pintar, sehingga pasti
tahu bahwa revolusi akan gagal jika tidak memperoleh dukungan rakyat.
Jika
ia tidak secara langsung tahu tentang segala pembunuhan ini, mestinya ia pernah
mendengarnya. Jika itu juga tidak, kenapa ia bisa sampai sebegitu bodoh? Tapi
aku tahu bahwa ia tidak bodoh. Jadi ia pasti pernah mendengar mengenainya.
Dia
itu pemimpin tertinggi di seluruh daerah itu! Tidak cukupkah kekuasaan yang ada
di tangannya untuk menghentikan aksi-aksi pembunuhan itu? Dan jika ia tidak
cukup berkuasa, kenapa ia tidak menghubungi orang yang lebih tinggi kedudukannya
yang cukup besar kekuasaaannya?
Aku
harus mendatangi dia ke markasnya. Aku harus bicara dengan dia, untuk
menanyakan apa sebabnya begitu banyak terjadi pembunuhan. la pasti mau menerima
aku. la mengenal aku, sudah sejak dulu. Jika aku bisa berhasil menghubunginya, itu
akan mengubah seluruh situasi di garis depan. Pihak pimpinan Khmer Merah di tingkat
atas perlu menyadari bencana macam apa yang mereka ciptakan. Begitu sudah tahu,
mereka pasti akan mengadakan perubahan.
Tidak,
mereka takkan melakukannya. Mereka sama sekali tidak akan melakukannya.
Ini
harus kupikirkan baik-baik.
Dam doeum kor.
Aku
tidak ingin mendatangi markas Khmer Merah. Terlalu berbahaya. Aku tidak bisa
mempercayai Chea Huon, karena ia sudah sering membunuh orang. Itu pasti, karena
ia satu dari mereka! Hal yang paling tidak diingini Khmer Merah adalah
saran-saran perubahan. Itu akan mereka sebut mengeluh, atau bermental
kapitalis. Aku pasti akan mereka bunuh nantinya.
Aku
takut.
Dan
- menurut perasaanku - Chea Huon juga takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar