Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 17 Februari 2013

Neraka Kamboja - Bab 23 : Musim Hujan


23
MUSIM HUJAN

SAAT fajar menyingsing, langit nampak cerah. Menjelang tengah hari awan mulai bermunculan dari arah barat, putih bergumpal-gumpal seperti kapuk.

Gumpalan awan itu membesar dan semakin menyebar sampai akhimya menutupi matahari. Dari kejauhan datang bunyi guruh, gemuruhnya yang sayup-sayup sampai seperti dentuman bom-bom yang dijatuhkan pesawat B-52. Hawa berubah, menjadi dingin. Angin mulai kencang, tanaman padi merunduk di sawah dan pepohonan di bukit-bukit kecil membungkuk; daun-daunnya beterbangan mendatar dibawa angin,

Kisaran angin yang menerbangkan debu dan jerami bergerak berputar-putar di sawah dan pindah ke tanah yang terbuka dekat rumah-rumah panjang. Pakaian beterbangan dari tempat-tempat jemuran. Lembaran-Iembaran kajang mengepak-ngepak di atas atap; kayu-kayu kerangka berderak-derik. Orang-orang mengencangkan ikatan krama mereka yang membelit kepala menutupi muka dengan tangan untuk melindungi diri dari gangguan debu.

Tiupan angin mereda sebentar. Tanaman padi dan pohon-pohon tegak kembali. Langit gelap, seperti saat senja. Kicauan burung terdengar nyaring sekali di tengah kesunyian. Burung layang-Iayang menukik lalu membubung ke udara, memburu serangga.

Kemudian langit menjadi gelap-gulita. Angin bertiup kencang menekan pepohonan sehingga condong dan hujan tercurah miring dari sebelah bawah awan yang hitam, melecut mukaku. Aku menunduk, tapi angin mendorong pinggiran topiku sampai menempel ke pipi. Dan ketika kepala kutegakkan, pinggiran topi terangkat dan air hujan melecut mukaku lagi. Tetesannya menimbulkan bunyi gemercik ketika menimpa genangan air di petak-petak sawah, lalu muncrat lagi ke atas. Aku bisa melihat orang di sebelahku mengayunkan Cangkul, dan di sisi sananya ada seseorang lagi yang tidak begitu jelas sosoknya. Lebih jauh dari orang itu tidak kelihatan apa-apa lagi; tidak ada orang atau pemandangan, yang nampak hanya tabir hujan belaka.

Aku suka musim hujan. Kehijauan alam jadi bertambah cerah, tanah lebih merah. Hawa sejuk yang didatangkan terasa seperti berkah. Daun-daun bermunculan di pepohonan, tanaman padi menghijau; serangga, ikan, ketam, semuanya berkembang-biak. Kehidupan menjadi lebih baik. Kami di garis depan diberi makan dengan takaran yang lebih banyak. Malam hari kami tidak usah bekerja lagi. Acara rapar pada malam hari berkurang, karena para pemimpin tidak ingin menjadi basah. Air hujan menctes dari susuran atap panjang, bunyinya seakan musik yang sangat lembut. Air jatuh dari atap dan pohon ke tanah, mengalir menyusur jalan-jalan setapak, mengikuti saluran-saluran yang berkelok-kelok ke mana-mana. Di dalam rumah panjang, aku dan Huoy membentangkan lembaran plastik putih di atas tempat kami, tapi kami terap saja menjadi basah. Kilat sambar-menyambar, cahayanya terang seperti siang. Petir berdentum seperti tembakan meriam. Huoy memeluk tubuhku dan menyurukkan kepalanya ke dadaku, mencari perlindungan. Hujan turun berhari-hari dan kemudian berubah menjadi gerimis yang halus sekali sehingga nyaris tidak nampak tetesannya.

Selama musim hujan tahun 1976, dari sekitar bulan Juli sampai akhir September, aku bekerja dalam regu yang berpindah-pindah, membantu dimana saja tenaga kami diperlukan. Kami membuat pematang-pematang tambahan. Kami membajak sawah, menyemai benih dan memindahkannya. Kadang-kadang kami menggembalakan sapi dan kerbau. Tapi tugas kami yang paling besar adalah pembetulan jalan. Di jalan yang menuju ke markas Khmer Merah di Phum Phnom, limbah air hujan menyebahkan terjadinya galur sepanjang tiga puluh meter. Air coklat berlumpur mengalir di dalamnya seperti arus sungai, dan sawah di sebelahnya kelihatan seperti danau.

Seminggu lamanya matahari tidak nampak. Regu kami terdiri atas delapan orang, dengan penambahan beberapa anggota baru; semuanya dilengkapi dengan parang dan cangkul. Kami menebang pohon-pohon muda yang terdapat di pinggir jalan lalu menancapkan batang-batangnya ke tanah sebagai penahan arus air. Di belakangnya kami letakkan batang-batang dan dahan-dahan untuk meneguhkannya, lalu sela-selanya kami jejali dengan lumpur bercampur akar dan tumbuh- tumbuhan. Sementara itu hujan terus turun, tapi tidak terlalu lebat.

Kukatakan pada yang lain-Iainnya pohon-pohon mana saja yang harus ditebang, di mana lumpur harus diambil, meski aku bukan pemimpin resmi reguku. Ayahku biasa mengatakan, "Berpikirlah sebagai pimpinan, bukan sebagai pekerja." Maksudnya, lebih baik memakai otak dan bersikap aktif, daripada cemberut dan pasif seperti sikap buruh pada umumnya. Aku bekerja lebih keras ketimbang teman-teman sereguku, karena itu membuat pikiranku tetap terasah dan menyingkirkan pikiran lain-lainnya. Jika aku sedang mujur, bisa selama beberapa jam tidak muncul bayangan wajah ayahku di dalam benakku; wajahnya saat ia berada dalam keadaan terikat, atau abang dan iparku sewaktu mereka digiring pergi.

Aku menebang sebatang pohon yang masih kecil lalu kulontarkan seperti lembing ke seberang sebuah saluran kecil, di mana teman-teman sereguku sedang membuat pagar rintangan. Mereka bekerja dengan gerakan lamban; kelelahan mereka merupakan suatu bentuk protes. Hanya satu orang saja yang bekerja sekeras yang kulakukan. Nama orang itu Seng, dan ia yang mengepalai kami hari ini. Orangnya bertubuh pendek kekar, dengan gambar rajahan Budhis di dada. Umurnya sekitar lima puluh, menurut perkiraanku. Sewaktu di garis belakang dia itu kepala desa, dan kini menjadi salah seorang asisten kepala di bawah Chev di garis depan.

Kami mendengar suatu bunyi asing di sela siraman hujan. Datangnya dari arah jalan itu juga, di tempat yang tidak kelihatan oleh kami. Bunyinya seperti denging mesin yang berputar dan roda-roda yang menggelincir di dalam lumpur. Seng mengangkat kepalanya untuk mendengarkan, lalu ia pergi memeriksa ke sana.

Tanpa memperlambat irama kerjaku, kutebang lagi sebatang pohon muda. Seng itu - atau “Paman Seng", begitulah sapaan yang disukainya - agak aneh. la satu-satunya orang Khmer Merah yang nampak benar-benar manusiawi. Ketika terakhir kalinya ia mengawasi, kami sedang menggembalakan ternak. Sewaktu aku dengan diam-diam pergi ke sebuah bukit kecil untuk memasak makanan di situ, dua ekor sapi mengeluyur masuk ke dalam hutan. Sepanjang malam kami mencari mereka, dan baru ditemukan kembali keesokan paginya. Aku pasti sudah dibunuh oleh Chev jika haI itu sampai diketahui olehnya. Tapi Paman Seng hanya memperingatkan, jangan sampai hai itu terjadi lagi. la tidak pernah memerintahkan pembunuhan terhadap siapa pun juga.

Tapi itu tidak berarti aku mempercayainya. Jika aku dianggapnya pekerja teladan, syukurlah. Jika ia menyukai diriku sebagai pribadi, itu lebih baik lagi. Dia, begitu pula orang-orang yang lain, tidak tahu bahwa aku menjalani kehidupan bermuka dua. Mereka tidak tahu bahwa aku hampir setiap malam menyelinap pergi dari rumah panjang untuk mencuri. Aku mencuri sayur-sayuran dari sebuah desa di dekat tempat kami. Aku membawa parangku, siap menyerang siapa saja yang memergoki diriku saat itu. Aku sudah siap mati. Segala-galanya yang kumiliki sudah mereka ambiI, kecuali Huoy; aku dan Huoy sudah membulatkan tekad, jika waktunya tiba kami akan bunuh diri bersama-sama.

"He! Kalian semua!" Kemunculan kembali Paman Seng menyebabkan lamunanku terputus. la melambai-Iambaikan tangan, menyuruh kami ikut. Aku terjun dan berenang menyeberangi saluran, membawa cangkuI dan parangku. Ketika aku keluar lagi, aku tidak lebih basah dari sebelumnya.

Aku berlari-lari di jaIan bersama beberapa orang di belakangku, sementara yang selebihnya bergegas menyusul. Ketika kami sampai di dekat Seng, kami melihat sebuah jip mode! B1 yang rendah dan lebar, dengan kap dari bahan terpal.

Hanya ada satu jip seperti itu di daerah Phnom Tippeday, yaitu yang dipakai tokoh sipil tertinggi pangkatnya dalam organisasi Khmer Merah. Aku sudah sering melihat jip itu dengan lengan pemimpin yang duduk di dalamnya terjulur ke luar lewat jendela sementara tangannya diletakkan di atas kap.

Salah satu roda jip itu terjepit di sela batang-batang kayu yang dibaringkan di jalan, di bawah permukaan. Mesinnya menderu-deru, roda-roda berputar dan lumpur licin tersembur ke arah belakang. Pengemudi jip itu, seorang serdadu bertopi hijau model Mao, duduk dengan tak peduli di belakang setir sambil menekan-nnekan pedal gas, sementara dua orang serdadu mendorong jeep dari belakang. Tapi tidak terjadi apa-apa: Roda-roda berputar dan semakin dalam terbenam di sela batang-batang kayu, menyebabkan jip itu semakin bertambah miring posisinya.

"Coba hentikan sebentar." Kudengar seseorang mengatakannya dengan suara pelan. Pengemudi jip itu mengangkat kakinya dari pedal gas. Aku berjalan ke belakang. Kulihat seseorang di situ, sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan roda. la memakai pakaian seragam yang seperti piama potongannya serta topi Mao, serupa dengan pakaian seragam dan topi yang dipakai serdadu-serdadu itu. Tapi ada sesuatu dalam penampilannya yang memancarkan kewibawaan. la berpenampilan ramah, bermata sipit seperti orang Cina, dan di pipinya ada kutil. Itu kan Chea Huon, kataku dalam hati. Tidak, tidak mungkin, pikirku selanjutnya.

"Apa yang bisa kita lakukan?" tanya orang itu kepada serdadu yang duduk di belakang setir. Tapi sopir itu tidak berani menjawab. Lebih baik berlagak bodoh, ketimbang mengambil risiko membantah atasan-demikianlah sikap sopir itu. Khas Kamboja. Jika Chea Huon mengatakan cara paling baik untuk membebaskan jip yang terperosok itu adalah dengan meludahi rodanya, sopir itu pasti akan langsung meludah-Iudah. Tapi aku tidak yakin. Benarkah itu Chea Huon? Penampilannya sama: bertubuh kecil dan bungkuk. Kutilnya juga sama. Jika orang itu bukan Chea Huon, maka dia saudara kembarnya. Apakah yang dilakukannya di sini? . "Biar kami saja yang melakukannya, Kawan," kata Seng dengan sikap hormat kepadanya." Badan kami sudah berlumur lumpur. Tidak perlu Anda juga ikut kena lumpur. Ayo," katanya kepada kami. Kami semua, termasuk kedua serdadu pengawal, mulai mendorong jip itu, sementara Chea Huon menonton. Tidak nampak dari sikapnya apakah ia melihat aku sebentar-sebentar melirik ke arahnya. la bersikap seperti hendak menyenangkan hati Seng, menuruti apa yang diminta daripadanya. Kami semua mendorong, tapi roda-roda hanya berputar-putar dan jip itu malah semakin dalam terbenam dalam lumpur.

"Paman Seng," kataku, "mungkin lebih baik kita coba dengan menaruh dahan-dahan di bawah roda. Dengan begitu ada yang bisa dijadikan pegangan." Chea Huon beranjak pergi dengan langkah lambat. "Itu gagasan yang bagus, " katanya sambil berjalan.

Melihat Seng mengangguk, kami lantas pergi dengan membawa parang. "Cari batang-batang kayu yang panjang, kalau bisa," kataku kepada teman-teman seregu. "Juga dahan-dahan, dan batu jika ada." Dua orang dari mereka mulai menebang sebatang pohon di sisi jalan dengan parang mereka. Aku membuntuti Chea Huon Ialu melewatinya. la menunjuk ke sebatang pohon muda yang ada di hadapan. Aku mulai memotongi dahan-dahannya. Sementara itu Chea Huon sampai di tempatku.

Tidak ada orang lain di dekat kami, yang bisa ikut mendengar.

Aku berbicara dengan suara pelan, tanpa menoleh ke arahnya. "Maafkan saya, Luk Guru. Saya mungkin saja keliru, tapi saya rasa nama Anda Chea Huon. Anda dulu guru di Takeo. Saya mengenali Anda dari tanda di pipi itu."

"Kau kenal aku?"

"Anda pernah menjadi guru saya, tahun 1962 dan 1963."

Kupotong dahan-dahan yang tersisa, lalu membungkuk dan mulai menebang pohon itu. 242 "Ya, kau benar," kata Chea Huon setelah beberapa saat. "Sekarang aku juga ingat, siapa kamu. Kau berhasil meraih gelar doktermu, kan?"

"Ya, Luk Guru."

Hujan turun lagi. Chea Huon berdiri bercekak pinggang sambil mengangguk-angguk tanda mengerti. Kemudian ia mendekat, mcnepuk bahuku sambil mengatakan dengan suara ramah, "Teruskan kerjamu dan tutup mulut."

Kedua serdadu pengawal darang mendekat sebelum ia sempat mengatakan apa-apa lagi. Sesampai ke jarak pendengaran mereka berhenti. Itu jarak yang sopan bagi orang-orang bawahan. Aku terus saja mengayunkan parang, menebang barang pohon muda itu. Masih beberapa ayunan lagi. Terserah kepada Chea Huon, apakah percakapan kami diteruskan atau tidak.

“... Dan bagaimana keadaan padinya?" katanya dengan nada bertanya, seolah-olah melanjutkan percakapan. "Pengairannya sudah bisa dikendalikan ?"

"Semua berjalan dengan sangat baik, Kawan," jawabku dengan suara yang sengaja agak kukeraskan. "Saat ini air membanjir turun dari bukit-bukit dan mengikis jalan, tapi di bawah pimpinan Paman Seng kami sudah melancarkan ofensif perbaikan jalan. Bagian-bagian yang rusak dilanda air sudah banyak yang kami betulkan."

"Kita harus berjuang di segala medan tempur," kata Chea Huon dengan nada khusyuk. "Kita harus berjuang menguasai alam."

Setelah itu ia meneruskan langkah, memeriksa sawah, diikuti kedua pengawal. Aku menggotong pohon muda yang sudah kupotong-potong ke tempat jip terperosok.

Aku merangkak dalam lumpur dan kujejalkan dahan-dahan ke bawah roda-roda. Setelah itu kuisyaratkan kepada yang lain-Iainnya agar membawakan lebih banyak lagi dahan dan juga batubatu. Aku melakukannya sambil memperhatikan apakah raman Seng nampaknya menyetujui apa yang kulakukan, agar nampak kesan bahwa dialah yang memimpin. Sopir jip itu tidak terlalu cerdas orangnya. la tidak tahu bahwa ia harus menggerak- gerakkan kendaraan itu mundur-maju, supaya kami bisa menyusupkan dahan-dahan ke bawah roda. Sewaktu menyuruh dia melakukan hai itu aku bersikap sopan, karena kedudukannya jauh lebih tinggi ketimbang aku dan aku tidak ingin dia kehilangan muka.

Dalam keadaan berlumur lumpur sekujur tubuh, aku terkenang ke masa silam, ketika aku mendatangi Chea Huon untuk belajar matematika tanpa harus membayar. Kehidupannya waktu itu sangat bersahaja. Kalau ia sedang di rumah panggungnya di luar Takeo, ia selalu memakai sarung, seperti petani. Kami, para muridnya, apabila merasa haus tinggal mengambil air saja dari gentong. Orangnya sangat tulus, intelektual sejati. Setiap orang diperlakukan dengan cara yang sama olehnya. Aku tidak pernah menduga bahwa dia itu komunis. Baru kemudian aku tahu, ketika aku menjenguknya di penjara di Phnom Penh, tahun 1967. Tapi setelah kukenang kembali, sebenarnya itu masuk akal. Dia itu contoh khas manusia idealis yang menggabungkan diri dengan komunis semasa tahun-tahun enam puluhan dan kemudian menghilang masuk hutan. Ya, melihat umur dan latar belakangnya, sudah sepantasnya ia berada pada kedudukannya yang sekarang dalam hierarki Khmer Merah.

Kudorong lagi dahan-dahan ke dalam lubang Tempat roda jip itu terperosok lalu kami desakkan lebih jauh lagi ke dalam, sementara jip digoyang-goyangkan mundur-maju oleh sopirnya.

Chea Huon tahu bahwa aku dokter. Tapi entah kenapa, aku yakin ia takkan mengadukan diriku. Meski begitu tingkah-Iakunya menimbulkan kebingungan dalam hatiku mengenai dirinya. “Teruskan kerjamu dan tutup mulut," katanya tadi kepadaku. Hanya itu saja yang dikatakannya. Apakah yang dimaksudkan dengannya? Apakah itu berarti ia tidak bermaksud menolongku? Dia kan punya otak, punya mata! la pasti melihat luka-luka yang mengoreng di tengan, di tungkai, dan di mukaku. la tahu bahwa aku dokter. la memiliki kekuasaan untuk memerintahkan aku mendirikan klinik yang benar-benar klinik, untuk merawat orang-orang yang sakit di garis depan. Pangkatnya lebih tinggi dari Chev. la bahkan bisa menolong aku, sehingga tidak usah lagi menjadi budak perang. Itu jika ia mau. Ia bisa saja menarik aku dari garis depan!

Kenapa itu tidak dilakukannya?

Jip kami dorong mundur-maju, sambil mendesakkan Iebih banyak lagi dahan ke bawahnya. Akhirnya kendaraan itu berhasil keluar dari dalam lubang, bergerak ke bagian jalan yang rata.

Chea Huon datang kembali, setelah memeriksa keadaan sawah yang tergenang air yang membanjir. la basah-kuyup, tapi tidak berlumur lumpur seperti kami. la mengucapkan terima kasih kepada semuanya dan menatap kami satu demi satu, sambil mengangguk dan tersenyum. Kemudian ia berpaling kepada Paman Seng. "Orang yang di sana itu," katanya sambil menuding ke arahku. "dia itu pekerja yang baik. la menampakkan inisiatif. Jaga dia baik-baik."

Setelah itu ia naik ke jipnya yang kemudian bergerak pergi, menghilang di tengah gerimis.

Aku tetap berdiri di jalan, dengan parang dan cangkul di tangan. Jalan terasa lebih lengang dari sebelumnya. Air hujan terasa dingin di kulit .

••••••••••••


Sisa hari itu, begitu pula besoknya, dan berhari-hari sesudah itu, pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan dan pereka-rekaan jawaban.

Chea Huon itu terpelajar. Dia pintar. Dia tidak seperti yang lain-Iainnya. Apa sebabnya ia membiarkan mereka-mereka yang seperti Chev membunuhi orang-orang seperti ayah dan abangku? Tahukah ia tentang itu, atau tidak?

Jika tahu, apa sebabnya haI itu tidak dicegahnya? la cukup pintar, sehingga pasti tahu bahwa revolusi akan gagal jika tidak memperoleh dukungan rakyat.

Jika ia tidak secara langsung tahu tentang segala pembunuhan ini, mestinya ia pernah mendengarnya. Jika itu juga tidak, kenapa ia bisa sampai sebegitu bodoh? Tapi aku tahu bahwa ia tidak bodoh. Jadi ia pasti pernah mendengar mengenainya.

Dia itu pemimpin tertinggi di seluruh daerah itu! Tidak cukupkah kekuasaan yang ada di tangannya untuk menghentikan aksi-aksi pembunuhan itu? Dan jika ia tidak cukup berkuasa, kenapa ia tidak menghubungi orang yang lebih tinggi kedudukannya yang cukup besar kekuasaaannya?

Aku harus mendatangi dia ke markasnya. Aku harus bicara dengan dia, untuk menanyakan apa sebabnya begitu banyak terjadi pembunuhan. la pasti mau menerima aku. la mengenal aku, sudah sejak dulu. Jika aku bisa berhasil menghubunginya, itu akan mengubah seluruh situasi di garis depan. Pihak pimpinan Khmer Merah di tingkat atas perlu menyadari bencana macam apa yang mereka ciptakan. Begitu sudah tahu, mereka pasti akan mengadakan perubahan.

Tidak, mereka takkan melakukannya. Mereka sama sekali tidak akan melakukannya.

Ini harus kupikirkan baik-baik.

Dam doeum kor.

Aku tidak ingin mendatangi markas Khmer Merah. Terlalu berbahaya. Aku tidak bisa mempercayai Chea Huon, karena ia sudah sering membunuh orang. Itu pasti, karena ia satu dari mereka! Hal yang paling tidak diingini Khmer Merah adalah saran-saran perubahan. Itu akan mereka sebut mengeluh, atau bermental kapitalis. Aku pasti akan mereka bunuh nantinya.

Aku takut.

Dan - menurut perasaanku - Chea Huon juga takut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar