Bab 38. Ke Amerika
JOHN CROWLEY yang menyelamatkan diriku. Aku mendatangi kantor
JVA untuk berbicara dengan pengganti si Macan -tepatnya, pengganti dari
pengganti wanita berkepala batu itu- tapi aku tidak berhasil memperoleh
penjelasan yang memuaskan. Masih ada masalah yang menyulitkan kasusku, tapi apa
masalah itu tidak dikatakan kepadaku. Tidak, aku takkan bisa dalam waktu dekat
berangkat ke Amerika Serikat. Dengan perasaan marah aku pergi ke kantor yang
ditempati John Crowley, di lantai yang lebih tinggi. Dia itu bukan kepala JVA,
tapi kedudukannya tidak jauh dari puncak.
Ia sedang duduk di meja kerjanya. Ia mendo ngak ketika aku
masuk. "Well, well. Ngor Haing
Samnang. Ada yang bisa kubantu?" Ia selalu menyapaku dengan namaku yang
resmi -aku menambahkan nama "Samnang" sewaktu aku tiba di Thailand,
dan nama itu kemudian tertera dalam semua file tentang diriku.
"Aku ingin berangkat ke Amerika, John."
Ia membalik-balik sejumlah dokumen, lalu mengurutkan jarinya
menelusuri angka-angka tanggal pada sebuah kalender. "Penerbangan berikut
tanggal 16 Agustus. Jadi empat hari lagi. Pulanglah dengan segera ke
Aranyaprathet untuk berkemas, dan setelah itu berangkat. Anda bisa?"
"Tidak. Bulan depan aku berangkat. Aku banyak pekerjaan.
Aku harus beli banyak barang."
John Crowley menatapku sambil tersenyum simpul. "Toko-toko
kan banyak di Amerika Serikat. Tentang urusan berbelanja, itu jangan
dipikirkan. "
"Tidak, tidak. Di Amerika Serikat terlalu mahal. Terlalu
mahal sekali. Aku membeli barang- barang di sini." Aku tidak bisa
mengatakan alasanku yang sebenarnya, yang sama sekali tidak ada hubungannya
dengan berbelanja. Selama itu orang-orang Kamboja yang tinggal di luar negeri
biasa mengirimkan uang kepadaku untuk diteruskan kepada sanak keluarga mereka
di tempat penampungan pengungsi. Perbuatanku mengantarkan uang itu sebetulnya
melanggar peraturan; tapi aku merasa berkewajiban melakukannya, dan kini aku
harus mencari orang yang bisa menggantikan aku.
Kami tawar-menawar sebentar tentang waktu keberangkatanku.
Akhirnya tercapai kesepakatan bahwa aku akan berangkat dengan pesawat minggu
berikutnya, tanggal 23 Agustus. Aku mengucapkan terima kasih pada John Crowley,
yang sambil menyalami mengucapkan selamat jalan kepadaku. Setelah itu aku pergi
ke Hotel Trocadero untuk mengambil uang pembayaranku dari Susan Walker, ketua
tim ARC. Susan itu serupa dengan John, tidak pernah bersikap meninggikan diri
terhadapku, dan karenanya aku menaruh hormat kepadanya. la selalu memperlakukan
aku sebagai sesama manusia, dan kami berpisah dalam suasana yang menyenangkan.
Kemudian aku pergi membeli segala macam barang yang menurut
perkiraanku takkan bisa diperoleh di Amerika Serikat, seperti benih
sayur-sayuran Asia, sandal jepit, dan sebuah radio. (Kemudian ternyata bahwa radio
yang sama seperti yang kubeli waktu itu jauh lebih murah harganya di Amerika,
sandal jepit pun bisa dibeli di mana-mana, sementara aku juga tidak pernah
punya waktu untuk menanam benih sayur-sayuran yang kubawa.) Aku juga mendatangi
orang-orang yang sudah bermurah hati kepadaku, Jenderal Chana dan Paman Lo,
untuk mengucapkan terima kasih atas bantuan mereka selama itu. Kemudian aku
kembali ke Aranyaprathet, untuk menghadiri pesta yang diadakan untukku di
Khao-l-Dang. Para anggota tim ARC hadir di situ, begitu pula sejumlah besar
teman sesama pengungsi. Pesta berlangsung dengan musik dan dansa,
bersenang-senang, dan juga dengan sedikit cucuran air mata.
Keesokan malamnya aku pergi ke sebuah pesta yang diadakan oleh
orang-orang Barat. Mereka memutar film di luar ruangan. Film itu dibintangi
John Wayne yang berperan sebagai cowboy. la menunggang kuda di gurun pasir, dan
banyak orang yang mati ditembaknya. Baru sekali itu aku melihat film yang
berlatar belakang Amerika. Aku lantas bertanya kepada salah seorang rekanku
dalam tim ARC, Dr. Dale Fanney, apakah Amerika memang seperti dalam film itu,
dengan begitu banyak kekerasan dan tembak-menembak. Dengan wajah tetap serius,
Dale mengatakan bahwa aku nanti bisa melihat sendiri, jika sudah sampai di
Amerika Serikat.
Dari Aranyaprathet, aku kembali lagi ke Bangkok dan langsung
pergi ke Kedutaan Besar Amerika. Di situ aku berjumpa dengan John Crowley. la
mendesah ketika melihat aku, sambil menggeleng-geleng. Saat itu sudah sekitar
tanggal 28 Agustus. Pesawat terbang yang seharusnya kutumpangi, sudah lama
berangkat.
"Anda ini membikin pusing saja, Ngor Haing Samnang."
"I sorry, John."
Setelah itu segala-galanya berlangsung dengan cepat sekali
sehingga terasa membingungkan bagiku. Seharusnya sebelum berangkat, aku
memeriksakan kesehatanku dulu. Tapi itu tidak pernah terjadi. Setiap hari
namaku dipanggil-panggil lewat pengeras suara di pusat transit Lumpini, dan
teman-temanku yang ada di sana mengumpat-umpat diriku. Mereka semua bisa
seperti aku, sebentar lagi berangkat ke Amerika; tapi aku sendiri, panggilan
untuk memeriksakan kesehatan saja tidak kutanggapi. Aku tentu saja ingin
berangkat ke Amerika, tapi dengan cara yang kuingini.
Akhirnya aku jadi berangkat juga, tanggal 30 Agustus 1980.
Seperti yang lain-lain, aku menenteng sebuah tas tangan plastik berwarna putih
yang dihiasi logo ICEM (International Committee for European Migration), yakni
badan yang menyelenggarakan penerbangan para pengungsi. Di dalam tas itu ada
dokumen-dokumenku, termasuk sebuah fotoku yang menampakkan diriku yang memegang
selembar kartu dengan nomor transitku, nomor 33144: persis seperti narapidana
yang memegang nomor identifikasinya.
Aku bukan baru sekali itu naik pesawat terbang. Sebelumnya,
semasa rezim Lon Nol, aku sudah beberapa kali terbang naik pesawat DC-3s. Tapi
bagi sebagian besar dari para pengungsi, baru sekali itu mereka masuk ke dalam
pesawat terbang. Kami diberangkatkan naik pesawat Boeing 747 dengan 700 tempat
duduk, milik perusahaan Flying Tiger Airlines. Tempat duduk terisi semua.
Begitu pesawat tinggal landas, mulai terdengar bunyi orang-orang
muntah karena mabuk udara. Ada yang muntah dalam kantong yang telah disediakan,
tapi ada juga yang tidak. Anak-anak berlari-lari ke jendela untuk melihat ke
luar; para wanita yang sudah tua mulai berdoa dengan suara keras, dan bayi-bayi
dari keluarga-keluarga suku H'mong berjongkok dan langsung kencing di gang.
Seorang wanita Kamboja yang sudah tua memberi tahu dengan suara lantang agar
jangan ada yang menyentuh tombol yang ada di sandaran lengan (yang gunanya agar
sandaran punggung bisa direbahkan ke belakang), karena nanti pesawat jatuh ke
laut.
Selama penerbangan itu aku berfungsi sebagai dokter. Selain itu
aku juga menjadi juru bahasa yang menerjemahkan segala informasi ke dalam
bahasa Khmer: ikatkan tali pinggang, dilarang merokok jika lampu merah menyala,
dan tentang cara menggunakan masker oksigen jika ada bahaya. Penerjemahan ke
dalam bahasa Vietnam dan Laos dilakukan oleh orang lain. Aku harus beberapa
kali memberitahukan lewat sistem pengeras suara tentang cara menggunakan WC.
Tapi petunjuk-petunjuk yang kuberikan tidak banyak gunanya. Di antara para
pengungsi dari Kamboja, ada beberapa orang yang begitu dusun. Mereka belum
pernah melihat WC modern. Nampak kebingungan terbayang di wajah mereka. Mereka
tidak berani bertanya, tidak berani menyentuh apa saja, karena takut jika nanti
rusak mereka kemudian yang dipersalahkan. Tapi mereka juga tidak mau malu
karena terkencing di celana. Jadi lama-lama, ketika sudah tidak bisa menahan-nahan
lebih lama lagi, mereka beringsut-ingsut juga ke wc. Aku berani bertaruh,
begitu sudah berada di dalam, kebanyakan dari mereka pasti berjongkok.
Ada satu hal yang dilakukan oleh pihak pengelola penerbangan itu
untuk menyesuaikan dengan penumpang mereka saat itu, yang semuanya orang Asia.
Mereka selalu menghidangkan nasi. Para pramugari mendorong gerobak-gerobak
mereka menyusur gang sambil menawarkan pilihan kepada kami: nasi dengan ayam,
atau nasi dengan daging sapi. Kubuka lembaran aluminium yang membungkus tempat
hidangan dan kupandang makanan yang terletak di situ: nasi di sekat yang satu,
dan ayam di sekat yang satu lagi. Ada sesuatu yang mencurigakan di atas nasi.
Aku mendekatkan hidung, mencium baunya, mencicip sedikit, lalu nasi itu tidak
kusentuh lagi. Baru sekali itu aku mencicip saus keju. Orang-orang di
sekelilingku mengatakan, rasa nasinya tidak begitu
enak. Kami semua mulai
cemas memikirkan makanan kami di Amerika nanti, jika rasanya seperti itu.
Kami singgah di Hong Kong karena pesawat harus menambah bahan
bakar. Setelah itu penerbangan dilanjutkan, melintasi Samudera Pasifik, menuju
Honolulu. Lampu-lampu kabin sudah dimatikan, kecuali deretan lampu kecil yang
ada di atas kepala. Tapi kami tidak tidur. Kami semua berpikir tentang Amerika,
negeri yang bisa membuat pesawat jet berukuran raksasa, tapi memasak nasi
dengan baik saja tidak mampu. Kami duduk dalam gelap, mendengarkan bunyi desis
mesin-mesin pesawat, yang ditimpali suara-suara yang berasal dari para
pengungsi. Anak-anak menangis, orang dewasa muntah, dan wanita-wanita yang
sudah tua masih terus berdoa.
Ketika kami tiba di Honolulu, hari sudah terang kembali. Agak
lama juga persinggahan di situ. Malam berikutnya kami berada dalam perjalanan
menuju San Francisco. Kami bertanyatanya pada diri sendiri, masih berapa
jauhkah daratan Amerika Serikat?
Pagi hari yang kedua, nampak Pantai California di depan mata,
lalu sejumlah besar rumah yang saling berdekatan, lalu mobil-mobil yang
kelihatan kecil sekali lalu-lalang di jalan-jalan, dan akhirnya kami mendarat
di San Francisco. Lama juga kami harus antre untuk menerima formulir 1-94 kami
dari petugas imigrasi. Formulir itu kami simpan baik-baik dalam tas. tangan
ICEM kami yang berwarna putih, bersama formulir-formulir lainnya yang sudah
lebih dulu kami terima. Setelah itu kami menurut saja ketika disuruh masuk ke
dalam bus-bus yang sudah menunggu. Belum pernah aku melihat bus yang begitu
modern. Aku duduk di depan, supaya bisa melihat-lihat dengan leluasa. Kami
memasuki jalan bebas hambatan, lalu menyeberangi jembatan yang bernama Bay
Brigde, lalu menyusur jalan bebas hambatan lagi di seberangnya.
Pemandangan yang kulihat sama sekali tidak seperti yang nampak
dalam film yang dibintangi John Wayne waktu itu. Aku melihat jalan-jalan,
rumah-rumah, dan mobil-mobil. Banyaknya luar biasa! Tapi aku tidak melihat
orang menunggang kuda, dan tidak ada yang berjalan kaki. Aku berpikir:
bagaimana orang bisa bertemu dan bercakap-cakap, jika tidak pernah berjumpa di
jalan? Bagaimana aku bila mencari pekerjaan di tempat seperti ini? Kami dibawa
ke sebuah tempat yang dulunya pangkalan militer. Letaknya di daerah perbukitan.
Kami ditempatkan untuk sementara di situ, untuk beristirahat
setelah mengalami ketegangan selama perjalanan dari Bangkok. Orang-orang
Kamboja yang sudah beberapa bulan lebih dulu tiba, ada di situ untuk
menghidangkan makanan Kamboja dan melayani pertanyaan-pertanyaan kami. Aku
menanyakan cara menelepon, dan seorang lelaki menawarkan bantuannya. Di tempat
itu tidak ada pesawat telepon. Karenanya nanti ia akan menelepon orang yang
hendak kuhubungi. Kuminta padanya agar menelepon sepupuku Try Thong, untuk
memintanya datang menjemput. Sepupuku itu tinggal di suatu tempat yang namanya
Los Angeles. Menurut rencana aku akan ditempatkan di Ohio. Aku tidak mau ke
sana, tidak peduli di mana pun tempat itu.
Orang yang menawarkan diri untuk meneleponkan, keesokan harinya
tidak muncul. Aku mondar-mandir dengan gelisah, seperti binatang yang dikurung.
Aku tidak tahu di mana aku saat itu berada, dan aku tidak suka bergantung pada
orang lain. Aku sudah membantu mengeluarkan saudara-saudara perempuan Try Thong
beserta anak-anak mereka dari daerah perbatasan Thailand- Kamboja, dan
menyelundupkan mereka ke Khao-l-Dang. Jadi kuanggap sudah selayaknya jika Try
Thong kini datang menolong.
Pada hari ketiga keberadaanku di Amerika, kudengar namaku dan
nomor transitku dipanggil lewat sistem pengeras suara. Aku naik ke sebuah bus
yang membawa aku kembali ke pelabuhan udara San Francisco. Sesampai di terminal
di sana, seseorang menyuruh aku duduk. Aku harus menunggu seseorang di situ,
yang akan menunjukkan ke mana aku harus pergi. Aku duduk di samping kedua
koperku yang besar-besar dan sebuah kotak kardus yang berat, penuh dengan
buku-buku kedokteran. Dua puluh menit kemudian seorang pemuda Kamboja berambut
keriting muncul dan menyuruh aku ikut. la bekerja pada organisasi yang
mensponsori kedatanganku ke Amerika, yaitu U.S. Catholic Charities (USCC).
Pemuda itu tidak menggunakan basa-basi yang seharusnya dipakai jika berbicara
dalam bahasa Khmer dengan orang yang lebih tua. la langsung saja berjalan
pergi, menyusur sebuah lorong panjang.
"Luk," seruku memanggil dengan cemas. "Harap
tunggu sebentar. Barang-barangku harus kubawa satu-satu."
"Baiklah, tapi cepat sedikit," katanya. Aku lari
menyusul sambil membawa sebuah koper, kembali untuk mengambil koper yang satu
lagi, dan setelah itu kotak kardus yang berisi buku-buku. Ketika aku sampai di
tempat aku tadi menaruh koper yang pertama, pemuda itu sudah tidak kelihatan
lagi.
Aku ditinggal sendiri oleh kawan sebangsaku. Seperti para
pemandu yang meninggalkan kami dalam perjalanan menuju perbatasan
Kamboja-Thailand.
Aku tidak tahu di mana
aku saat itu berada. Aku juga tidak tahu, aku harus naik pesawat terbang yang
mana.
Aku hanya bisa menunggu saja di situ.
Seorang nyonya yang duduk di balik meja penjualan tiket pesawat
di dekat situ melihat aku duduk seorang diri dengan wajah putus asa. la
bertanya, "Anda mau ke mana?"
Aku menjawab, "Saya tidak tahu. Saya ini pengungsi."
Kuhampiri mejanya dan kutunjukkan kepadanya surat-suratku, formulir l-94-ku,
fotoku dan nomor transit yang kudapat di Lumpini. Maksudku untuk membuktikan
bahwa aku secara sah berada di Amerika, agar aku tidak disuruhnya pergi lagi.
Tapi wanita itu hanya menatap segala kertas yang kutunjukkan dengan wajah
bingung.
"Siapa yang mengurus Anda?" tanyanya kemudian.
"Orang Kamboja," kataku. "Pesawat saya berangkat
pukul setengah sebelas."
Wanita itu lantas menelepon kian-kemari, untuk mencari
keterangan dengan pesawat mana aku harus berangkat. Saat itu datang seorang
nyonya lagi, dan kutunjukkan segala surat-suratku kepadanya.
Nyonya yang baru datang itu mengamat-amatinya.
"Pesawat Anda sudah berangkat," katanya kemudian.
Kedua wanita itu menghubungi USCC dengan telepon. Organisasi itu
mempunyai kantor yang letaknya entah di mana di pelabuhan udara itu. Aku
menunggu lagi selama satu jam, dengan perasaan yang semakin cemas. Akhirnya
muncul seseorang dari USCC. Aku diajaknya menyusur sebuah lorong panjang, lalu
lorong berikut dan yang berikutnya lagi, dan akhirnya kami sampai di kantor
organisasi itu. Di sana ada beberapa orang pengungsi lagi, tapi mereka
berbahasa Vietnam. Kemudian pemuda Kamboja berambut keriting itu muncul.
"Ke mana saja kau?" katanya. "Dari tadi aku
menunggu."
Kutatap matanya dengan marah.
"Luk," kataku tajam dalam bahasa Khmer, "jangan
tanya ke mana aku pergi. Tanyakan pada dirimu sendiri, ke mana tujuanmu.
Kausadari tidak apa yang kaulakukan, Anak kecil? Jangan lupa, jika tidak ada
pengungsi, kau takkan punya pekerjaan di sini. Dan tugasmu menolong para
pengungsi. "
Para pengungsi bangsa Vietnam yang ada di situ berusaha
menyabarkan aku, tapi aku baru saja mulai. Kutudingkan jariku di depan muka
pemuda itu dan kugerak-gerakkan di depan hidungnya.
"Sudah kukatakan tadi bahwa barang-barang bawaanku banyak,
tapi kau tidak menawarkan diri untuk menolong!" teriakku. "Kau
seharusnya kan membantu aku. Pekerjaannya begitu mudah, tapi itu saja tidak
bisa kaulakukan. Kau berlagak seakan kau ini begitu penting, sehingga tidak mau
diganggu! Satu hal harus kaucamkan baik-baik, keparat: aku tidak tahu apa-apa
di sini. Aku saat ini seperti binatang yang baru keluar dari rimba. Aku ini
pengungsi. Kau berkewajiban menolong aku. Kau orang Kamboja, dan aku juga orang
Kamboja. Kita sama-sama berasal dari satu tanah air. Seharusnya kau menolongku,
tapi itu tidak kaulakukan. ltu sebabnya negeri kita ambruk -karena orang-orang
yang goblok dan angkuh seperti kau ini, yang cuma memikirkan kepentingan
dirinya sendiri saja!"
Kemarahanku semakin memuncak, tapi kepala kantor itu sudah
buru-buru muncul untuk menengahi. Aku diajaknya masuk ke ruang kerjanya, untuk
berbicara secara pribadi dengan dia. Kemampuanku berbahasa lnggris masih jauh
dari memadai untuk mengatakan segala hal yang tadi kulontarkan ke alamat pemuda
Kamboja itu, dalam bahasa Khmer. Tapi walau begitu orang Amerika itu bisa
menangkap maksudku.
Pukul setengah dua belas malam itu pesawat yang kutumpangi
mendarat di pelabuhan udara Columbus, Ohio. Hay Peng Sy, temanku yang ikut
mensponsori kedatanganku menjemput aku di situ. Aku mengenalnya ketika ia masih
bekerja sebagai penerbang dalam rezim Lon Nol. Pergaulan kami menjadi bertambah
akrab di Lumpini. la lebih dulu berangkat ke Amerika Serikat, dan mendapat
pekerjaan di Columbus sebagai petugas USCC; karena itulah rupanya USCC menjadi
lembaga yang mensponsori aku. Hay Peng Sy sudah menukar namanya menjadi Peng Sy
Hay, dengan nama keluarga ditempatkan paling belakang, mengikuti kebiasaan di
Barat. Namaku kemudian juga dibalik dari Ngor Haing Samnang, menjadi Haing
Samnang Ngor. Haing S. Ngor, kalau gaya Amerikanya.
Aku diajaknya ke rumahnya. Keesokan harinya kami ke kantor USCC
untuk menyelesaikan beberapa urusan surat-menyurat. Setelah itu kami pergi
mencari apartemen untuk tempat tinggalku. Aku tidak mengatakan apa-apa, karena
tidak ingin menimbulkan kesan tidak bisa membalas budi; tapi aku sebenarnya
tidak berniat menyewa apartemen di Columbus. Aku ingin tinggal di Los Angeles.
Aku tidak tahu di mana letak Los Angeles itu. Aku tidak tahu apakah itu kota
atau negara bagian, besar atau kecil, di pesisir atau di pegunungan, panas
hawanya atau dingin, begitu pula banyak-tidaknya orang Kamboja yang tinggal di
situ. Aku hanya tahu bahwa keponakanku Ngim ada di sana, Balam ada di sana,
begitu pula sepupuku Try Thong. Itu saja sudah cukup bagiku untuk ingin pindah
ke sana.
Aku berkeliaran di Columbus selama beberapa hari, menonton acara
TV lewat pesawat hitam putih. Sulit sekali menangkap percakapan orang-orang
yang tampil dalam acara-acaranya, karena mereka semua begitu cepat bicaranya.
Aku mengadakan perjalanan singkat naik bus Greyhound ke South Bend, Indiana,
untuk mendatangi beberapa orang Kamboja temanku yang ada di sana, dan setelah
itu kembali lagi ke Columbus.
Aku meninggalkan Thailand dengan berbekal uang sekitar seribu
dua ratus dollar, ,hasilku menabung bayaran yang kuterima sebagai dokter di
tempat penampungan pengungsi. Simpananku itu sudah mulai menyusut dengan cepat,
karena kupakai untuk membeli oleh-oleh, ditambah ongkos perjalananku
pulang-balik ke Indiana. Tiga ratus dollar dari uang simpananku yang masih
tersisa kupakai untuk membeli tiket pesawat terbang ke Los Angeles. Try Thong,
yang hubungan kekerabatannya dengan aku adalah sepupu dua kali-jadi kami satu
buyut-menjemputku di pelabuhan udara Los Angeles. la meninggalkan Phnom Penh
ketika Khmer Merah belum merebut kekuasaan, dan sejak itu selalu bertempat
tinggal di Amerika. Serikat. la sudah benar-benar menjadi orang Amerika: ia
bukan membalikkan urut-urutan namanya, tapi mengubahnya menjadi Phillip Thong.
Orangnya lebih muda dari aku, cerdas, dan berpenghasilan besar dari
pekerjaannya sebagai akuntan.
Dari rumah Phillip, aku menelepon sepupuku Balam. Kami terpencar
ketika aku bekerja di Khao-I-Dang. Tapi aku memperhitungkan akan bisa tinggal
untuk sementara di tempatnya, sampai
aku sudah mendapat tempat
tinggal sendiri. Tapi aku kecewa, karena Balam mengatakan bahwa ia tidak bisa
menampung diriku di apartemennya. Dijelaskannya tentang peraturan mengenai
jumlah penghuni maksimum yang diperbolehkan. Pemilik apartemen yang disewanya
tidak menghendaki penghuni yang jumlahnya lebih dari empat orang di apartemen
dengan dua kamar tidur. Dan di tempatnya saat itu mereka sudah lebih dari empat
orang, karena ada Ngim bersama mereka. Aku berkata dalam hati: siapa pun juga
pemilik apartemen itu, yang jelas dia bukan orang Khmer Merah. Kami takkan
dibunuhnya, jika melanggar peraturan yang ditetapkannya. Tapi aku diam saja.
Malam itu aku menginap di rumah Phillip Thong.
Keesokan harinya kudatangi apartemen yang disewa Balam, di luar
kawasan pecinan kota Los Angeles, yang dikenal dengan nama Chinatown. Balam
membantu aku mencari tempat tinggal untukku. Kami menemukan sebuah kamar
berukuran kecil. Letaknya tidak jauh dari tempat tinggal Balam, hanya di balik
sudut di dalam 1 gedung itu juga. Ukurannya sepuluh kaki kali lima belas kaki
(ini kan Amerika, jadi ukurannya semua memakai "feet", kaki; itu
kira-kira tiga seperempat meter kali lima meter), dengan dapur dan kamar mandi
yang kecil. Di kamar itu ada dua buah jendela berterali disamping pintu. Lewat
situ nampak tong-tong sampah yang terdapat di seberang lorong.
Uang mukanya $150, lalu sewa bulan pertama $150 lagi. Di situ
ada sebuah sofa yang bisa diubah menjadi temp at tidur. ltu bisa dipakai oleh
Ngim. Bersama Balam aku pergi membeli tempat tidur untukku sendiri, sebuah meja
dan sejumlah perabot lain. Keseluruhannya menyebabkan simpananku menyusut lagi,
sebanyak $350. Malam itu juga aku dan Ngim pindah ke situ. Di lemari es tidak
ada makanan. Uangku tinggal $4. Empat dollar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar