Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Jumat, 31 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 37 : Okay, Bye-Bye

37. OKAY, BYE-BYE


MOBIL pengangkut itu berhenti di depan gerbang masuk ke pusat transit Lumpini. Aku naik ke dalamnya. Jantungku berdebar-debar, Selain sopirnya yang orang Thai, hanya ada satu orang lagi yang ada di dalamnya. Dan dia itu orang Amerika. Aku tidak bisa menghindarinya. Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan diri.

Mestinya tidak ada lagi yang masih kutakuti, setelah pernah disiksa sampai tiga kali dan kemudian pergi berjalan kaki meninggalkan Kamboja. Tapi kenyataannya tidak begitu. Sejak kecil aku tidak pernah berani berhadapan dengan onng-orang yang berkulit putih. Bukannya takut, tapi secara otomatis ada perasaan segan terhadap mereka. Perasaan itu ada pada sebagian besar orang Kamboja. Kami menamakan mereka Hidung Panjang. Semasa masih menjadi mahasiswa kedokteran pun aku tidak pernah berbicara dengan mereka, kecuali jika ada keperluan. Aku bisa bercakap-cakap dengan lancar dalam bahasa Perancis, tapi aku selalu merasa lega jika percakapannya sudah selesai.

Sewaktu di perbatasan Thailand-Kamboja dan juga ketika berada di Lumpini yang merupakan pusat transit pada tahun 1979, para pengungsi dari Kamboja bersikap malu-malu jika berhadapan dengan orang-orang Barat. Kami bersikap malu-malu dan pasif karena itu merupakan pembawaan kebudayaan kami, dan kami baru saja meninggalkan rezim di mana keliru bicara saja sudah bisa berarti kematian. Untuk apa mengambil risiko? Untuk apa berbicara dengan orang-orang Amerika, sementara siapa pun tahu bahwa mereka itu semuanya bekerja untuk CIA? Jika kami sampai keliru bicara, urusannya akan sampai di atas dan sebagai akibatnya kami akan mengalami kesulitan. Itulah yang dikatakan oleh orang-orang Kamboja, di perbatasan dan di tempat-temp at penampungan pengungsi.

Kami juga takut kehilangan muka. Kami takut nanti dipandang rendah oleh orang-orang asing itu, apabila kami berbicara dalam bahasa mereka tapi banyak salahnya. Banyak orang Kamboja yang menunda-nunda belajar bahasa Inggris, atau kalaupun sudah belajar -meski dengan perasaan enggan- kemudian tidak mau mencoba menggunakan beberapa patah kata bahasa Inggris yang sudah mereka ketahui.

Bagiku, persoalannya lain. Aku sudah belajar bahasa Inggris sedikit-sedikit semasa rezim Khmer Merah. Di Lumpini, seorang wanita Burma, Chhoi Hah Muul namanya, yang baik hati dan bekerja sebagai tenaga sukarela di situ mengajari aku sedikit lagi. Aku sudah bisa menghitung dalam bahasa Inggris. Dalam keseluruhannya ada barangkali sekitar lima ratus kata yang sudah kukuasai. Pokoknya cukup untuk bisa memahami apa yang dikatakan orang yang berada dalam mobil itu. Nama orang itu John Crowley. Ia bekerja pada badan yang bernama Joint Voluntary Agency, atau disingkat JVA, yang menangani urusan pemukiman kembali kaum pengungsi atas nama Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan mobil itu kami akan ke Sakeo, sebuah tempat penampungan pengungsi dari Kamboja yang haru saja dibuka di dalam wilayah Thailand, jauh dari perbatasan. Aku diajak, karena ditugaskan untuk menjadi juru bahasa di sana nanti.

Sementara mobil itu meluncur melalui jalan-jalan kota Bangkok yang ramai, John Crowley melihat kegugupanku. Ia menanyakan apakah aku "okay", apakah aku ingin kami berhenti sebentar karena ingin makan atau minum sedikit. Kukatakan "no thanks", karena aku memang tidak merasa haus atau lapar. Tapi sapaannya itu membuat aku merasa agak lebih berani. Aku melirik ke arahnya. Umurnya kurang lebih sebaya denganku. Berkumis, berambut jagung, hidung besar, kulit bule. Nada suaranya yang sopan dan sikap duduknya yang santai menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud untuk bersikap seperti tuan terhadapku. Perasaanku sudah semakin enak ketika mobil yang membawa kami sampai di daerah pinggiran kota. Dari sikapnya nampak bahwa John Crowley tidak mempedulikan perbedaan rasial. Aku diperlakukannya sebagai sesama manusia.

Ia bertanya tentang keluargaku.

"Istriku, ia sudah mati," kataku dalam bahasa Inggris berlepotan. Kusambung dengan keterangan mengenai ayahku. Tapi aku lupa, apa kata "ayah" dalam bahasa Inggris. Karenanya kuganti saja dengan bahasa Perancis. "My, my pere, he got died. Dey killing too many." Banyak sekali yang mereka bunuhi, kataku.

"Anda kehilangan sebagian besar dari keluarga. Anda."

"Terlalu banyak. Terlalu banyak," kataku menegaskan. John Crowley ternyata benar-benar menaruh minat pada keteranganku. Ia bekerja untuk pemerintah Amerika Serikat. Jika aku bisa membuat dia mengerti apa sebetulnya yang sudah terjadi di tanah airku, mungkin ia bisa membantu membuat orang-orang asing yang lainnya juga mengerti. Tapi tidak mungkin aku mampu merangkumkan pengalaman getir selama empat tahun dalam percakapan yang berlangsung dalam bahasa yang hanya kuketahui sedikit-sedikit saja. Aku tidak mampu ...

Kuperlihatkan kepadanya tangan kananku yang jari kelingkingnya tinggal sepotong. "Mereka ... " lalu tanganku membuat gerakan membacok.

"Khmer Merah memotong jari Anda," kata John Crowley menebak. "T'ree time," kataku sambil mengangguk. "Tiga kali. Satu, jari. Dua" -aku berhenti sebentar, berusaha menemukan kata yang hendak kusebutkan -" api" -sambIl menuding telapak kakiku. "Tiga" -aduh, aku tidak ingat kata untuk air dalam bahasa Inggris. Kenapa aku tidak bisa mengingatnya saat aku memerlukannya? Bagiku penting sekali bahwa ia mengetahuinya.

"Anda disiksa tiga kali," katanya.

Aku mengangguk.

"Ya, Tuhan,” katanya.

Saat itu mobil sudah meluncur di tengah-tengah daerah yang datar di sebelah timur Bangkok. John Crowley melayangkan pandangan ke luar jendela. Beberapa kali terdengar suaranya mendesah dalam- dalam. Aku ikut memandang ke luar, karena ingin tahu apa yang sedang diperhatikannya. Di tengah sawah nampak petani-petani yang sedang memanen padi dengan traktor. Di bidang pertanian, mereka jauh lebih maju dari kami di Kamboja. Mereka lebih maju dari kami dalam segala hal.

Aku ingin tahu, masih berapa jauh lagi perjalanan ltu.

"Sakeo more far?" tanyaku kepadanya. Maksudku, masih jauhkah Sakeo?

"Sorry?" John Crowley tidak menangkap maksudku.

"Combien de kilometres d'ici a Sakeo?"

John Crowley menggeleng; ia tidak bisa berbahasa Perancis. Kucoba sekali lagi, dalam bahasa lnggris.

Mungkin letak kata-kataku tadi yang keliru. "How far more Sakeo?"

John Crowley mencondongkan tubuhnya ke depan lalu bertanya kepada sopir dalam bahasa Thai yang fasih. Setelah mendapat jawaban ia menyandarkan tubuhnya lagi dan mengatakan, satu setengah jam lagi. Ia tidak menunjukkan sikap memandang rendah terhadapku karen a tidak bisa berbahasa Inggris dengan fasih. Tapi yang kutanyakan tadi jarak yang masih harus ditempuh sampai ke Sakeo, dan ia menjawab dengan menyebutkan waktu tempuhnya.

"My English not too good," kataku. Aku juga menyadari, bahasa Inggris-ku memang tidak begitu baik.

"He, aku bisa menangkap maksud Anda," katanya. "Janganlah itu dijadikan pikiran. Lihat saja dari sudut ini: bahasa Inggris Anda lebih baik dari kemampuanku berbahasa Khmer. Aku sama sekali tidak bisa berbahasa Khmer."

"Nanti kuajari."

Nampak bahwa ia agak terkejut, sementara ia memperhatikan pengungsi yang duduk di sebelahnya. "Anda ingin mengajari aku bahasa Khmer?" katanya. "Well, okay, aku memang memerlukannya. Kapan Anda hendak mulai."

"I ready," kataku menyatakan bahwa aku siap mengajarinya mulai saat itu juga.

John' Crowley mengangkat bahu, lalu tersenyum. "I'm ready too."

Aku berpaling, menghadap ke arahnya.
" 'Muoy'," kataku, sambil mengacungkan satu jari. " 'Muoy'. !tu berarti 'satu' dalam bahasa Khmer."
" 'Muoy'," ucapnya mengulangi.
" 'Bpee'," kataku lagi. "Itu berarti 'dua'."
" 'Bpee'," katanya. " , Bpee'."
" 'Bei"'. !tu artinya, 'tiga'."
" 'Bei." Ia mengucapkannya dengan penekanan yang nyaris sempurna; ia memang sudah bisa mengucapkan kata-kata dalam bahasa Thai, yang bunyinya mirip dengan kata-kata yang kusebutkan itu. Ketika nama-nama bilangan sudah dikuasai, ia kemudian menuding ke luar, menunjuk ke arah seekor kerbau, seekor sapi, sebatang pohon, dan menanyakan namanya dalam bahasa Khmer. Sopir yang orang Thai memandang ke arah kami lewat kaca spion. Ia tidak mengatakan apa-apa, karena menjaga kesopanan. Orang Thai tidak mau belajar bahasa Khmer, karen a dianggap menjatuhkan gengsi. Tapi John Crowley menampakkan kesan bahwa ia memang amat ingin belajar bahasa Khmer dan merasa senang bahwa ia mendapat kesempatan untuk itu.

******************

Aku turun dari mobil ketika kami akhirnya sampai di tempat penampungan Sakeo. Dari kendaraan yang nyaman dan sejuk karena diperlengkapi dengan AC, aku kembali berada di tengah-tengah dunia yang baru beberapa bulan yang lalu kutinggalkan. Sebagian besar penghuni tempat penampungan itu orang-orang Khmer Merah yang terpaksa menyeberang perbatasan karena terdorong perut yang lapar dan juga karena didesak terus oleh pasukan-pasukan Vietnam. Mereka menyerahkan persenjataan mereka kepada tentara Thailand, dan kemudian diangkut dengan truk ke "tempat penimbunan" ini, yang dikelola oleh pemerintah Thailand yang bekerja­ sama dengan UNHCR-kantor United Nations High Commissioner for Refugees, Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Urusan Pengungsi.

Sekitar dua pertiga dari seluruh isi tempat penampungan itu orang-orang Khmer Merah beserta keluarga mereka. Sisanya orang-orang "baru" dan "lama" yang tidak berhasil meloloskan diri dari cengkeraman mereka. Setelah kami masuk, palang pengalang di gerbang diangkat lagi untuk melewatkan sebuah truk yang mengangkut pendatang baru dari perbatasan. Dari atas truk turun orang-orang sipil berbadan lemah dan yang kelihatan bingung. Di antara mereka ada seorang lelaki tua. Aku pernah melihatnya dulu, di Tonle Bati. Ia dipapah seorang wanita muda yang berjalan di sebelahnya. Tangan lelaki tua itu yang satu lagi bertopang pada sebatang bambu. Aku juga mengenali wanita muda itu. Ia menantu lelaki tua itu. Ketika aku menyapa mereka, keduanya memandangku dengan wajah tercengang. Mereka heran melihat aku, yang sementara itu sudah nampak sehat, berpakaian bagus, memakai kaca­ mata dan arloji tangan, menemani seorang lelaki Amerika yang jangkung. Dengan segera mereka menceritakan pengalaman mereka. Dari keluarga mereka, hanya mereka berdua saja yang masih hidup. Selebihnya sudah mati semua. Berulangkali mereka sendiri juga nyaris mati. Cerita mereka itu kuterjemahkan sebisa-bisaku untuk John Crowley. Kemudian kuambil uang sebanyak beberapa ratus baht dari dompetku, dan kusodorkan kepada mereka. Nilainya lima dollar Amerika. Mereka menatapku, seolah-olah aku ini dewa.

Baru sekali itu John Crowley mendatangi tempat penampungan pengungsi Kamboja. Ia diutus ke situ untuk menyaksikan secara langsung keadaan para pengungsi, karena ia akan menangani urusan pemukiman kembali orang-orang itu. Selain dia masih banyak lagi orang Barat di situ: petugas-petugas PBB yang kelihatan pusing begitu pula sejumlah dokter serta perawat, selanjutnya lebih dari selusin wartawan yang menenteng kamera foto dan televisi. Mereka dikelilingi lautan manusia Kamboja yang sudah parah kondisinya,

serta beberapa orang anak yang kelihatan kotor tapi sehat. Ke mana saja orang-orang Barat yang datang itu bergerak, mereka terus saja membuntuti, sambil menyebutkan beberapa patah bahasa lnggris yang mereka ketahui: "Okay, bye­ bye. Okay, bye-bye."

Ketika kami melewati rumah sakit di tempat itu, dua orang mit neary berpakaian hitam-hitam keluar sambil mengusung mayat di atas tandu. Rumah sakit itu kurang besar untuk bisa menampung orang-orang yang sakit dan juga mereka yang sudah mati. Terlalu banyak orang yang sakit, sementara ruang yang ada tidak memadai. Pasien­ pasien terbaring di luar, tergeletak begitu saja di tanah dengan kantong-kantong infus yang digantungkan pada paku yang ditancapkan ke batang pohon. Mereka berbaring di tempat tidur gantung yang dibuat dari kain yang diikatkan kedua ujungnya dan digantungkan di antara dua batang pohon. Mereka sudah terlalu capek, tidak mampu lagi mengusir lalat yang mengerumuni. Beberapa dari mereka sudah tinggal menunggu maut datang menjemput. Jika harus membuang hajat, maka hal itu terjadi sementara mereka tetap saja terkapar, tenggelam dalam keapatisan tahap akhir menjelang kematian karena kelaparan. Ada ibu-ibu yang sudah begitu lemah sehingga tidak peduli lagi terhadap bayi mereka, dan bayi-bayi itu tidak bisa lagi menangis karena sudah terlalu lemah. Ada anak-anak di antara mereka, dengan wajah cekung dan mata yang terbelalak nyalang; mereka sedikit pun tidak terkejap ketika aku menggerak-gerakkan tangan di depan muka mereka untuk menguji reaksi yang ada.

John Crowley nampak terguncang perasaannya.

Begitu pula halnya yang dialami semua orang Barat yang ada di situ, termasuk para wartawannya.

Belum pemah mereka melihat penderitaan yang begitu banyak sekaligus. Tapi aku pernah melihat keadaan yang lebih parah lagi, dan aku juga tahu bagaimana rasanya menderita.

Keadaan di Sakeo waktu itu seperti ketika perjalanan maut dari Phum Chhleav, kataku dalam hati; tapi orang-orang yang ada di Sakeo itu tidak harus ke mana-mana lagi. karena mereka sudah sampai di tempat tujuan. Ya. kataku dalam hati dengan perasaan getir, keadaannya seperti kami ketika mengadakan perjalanan maut waktu itu, tapi dengan dihadiri dokter-dokter, bantuan internasional, dan para wartawan untuk mengabadikannya.

Sebagian besar dari mereka akan bisa terus hidup, sementara mereka yang mati akan mendapat kehonnatan dikuburkan.

Aku sedikit pun tidak menaruh simpati terhadap orang-orang Khmer Merah yang ada di Sakeo itu. Bagi mereka, hatiku dingin dan keras seperti batu. Biar saja mereka mati. Musuh untuk selama­ lamanya. Simpatiku kucurahkan bagi penduduk sipil yang tidak bersalah, seperti lelaki tua dari Tonle Bati itu, serta yang lain-lainnya seperti dia. Bukan salah mereka bahwa mereka terperangkap di tempat seperti ini. Aku merasa muak, ketika perhatianku beralih dari orang-orang Khmer Merah itu ke para petugas UNHCR. Badan internasional itu sebarusnya mengayomi kaum pengungsi. Untuk tugas itulah badan itu dibentuk.

Tapi mereka tidak berbuat apa-apa ketika pemerintah Thailand memaksa empat puluh lima ribu orang Kamboja yang tidak bersalah untuk kembali ke seberang perbatasan, memasuki medan ranjau di Preah Vihear. Kini mereka mendirikan tempat penampungan untuk orang-orang Khmer Merah. Mereka tidak berbuat apa-apa untuk mereka yang merupakan korban, dan melakukan segala-galanya untuk para penjahat itu. Kenapa UNHCR bersikap begitu? Kenapa mereka tidak bisa menolong kaum pengungsi yang sebenarnya?

Orang-orang Barat nampaknya tidak banyak tahu tentang orang Kamboja. John Crowley saja masih harus bertanya padaku, yang mana saja orang-orang Khmer Merah. Tapi setidak-tidaknya ia tahu bahwa perbedaan itu ada, dan ia ingin belajar mengenali perbedaan itu dengan matanya sendiri.

Dengan sekilas saja aku sudah bisa melihat yang mana orang Khmer Merah. Mereka itu yang kelihatan selalu makan berkecukupan, dengan pipi yang kelihatan sehat dan segar. Mereka berpakaian serba hitam yang tidak robek-robek dengan krama yang masih baru, terbuat dan bahan sutera atau katun. Tapi andaikan mereka tidak berpakaian begitu dan tubuh mereka juga tidak kelihatan sehat, aku masih tetap bisa mengenali dari air muka mereka. Mereka mena­ tapku dengan mata terpicing dan mulut mencibir, lalu mereka memalingkan badan dengan sikap merendahkan. Mereka tidak mau berurusan dengan orang Kamboja yang menemani setan berkulit putih.

Untungnya, John Crowley juga tidak ingin berbicara dengan mereka. Ia meminta padaku agar mengantarkannya ke jenis pengungsi yang nanti harus diurusnya, yaitu penduduk sipil. Kami berkeliling, dan menemukan beberapa orang yang dulunya petani dan pedagang kecil, sebelum revolusi. Mereka menceritakan kisah mereka kepadaku dalam bahasa Khmer dan aku menerjemahkannya sebisa-bisaku dalam bahasa Inggris patah-patah. John Crowley mendengarkan dengan penuh perhatian, dan mengajukan berbagai pertanyaan.

Hari sudah larut malam ketika mobil yang membawa kami tiba di Aranyaprathet, sebuah kota perbatasan yang terletak di wilayah" Thailand.

Dulu, sekian tahun yang lalu, ayahku pernah pergi dengan truk tuanya ke kota itu, untuk menjemput patung Budha yang terbuat dari perunggu. Mungkin waktu itu kota itu bagus. Tapi kini, tahun 1979, tempat itu agak menyeramkan kelihatannya, tempat berkumpul para penyelundup, pencuri, dan orang-orang Barat yang menolong para pengungsi. Beberapa orang bertubuh gempal yang berdiri di bawah lampu jalanan, di samping taksi-taksi mereka yang berupa sepeda motor yang diperpanjang badannya, dengan mesin mobil dan nampak kemilau karena disepuh khrom, mengamat-amati kami. Dengan mobil, hotel demi hotel kami datangi, tapi semuanya sudah penuh. Akhirnya kami menemukan sebuah kamar dengan dua tempat tidur, dengan pembayaran empat ratus baht, atau dua puluh dollar Amerika. Itu lebih dari dua kali lipat harga yang biasanya. John Crowley menempati tempat tidur yang satu, dan aku yang lainnya. Sopir kami pergi dengan mobil, mencari tempat menginap untuk dirinya sendiri.

Ketika sudah berbaring di tempat tidur hotel itu, barulah aku merasa capek; capek, tapi puas. Untuk pertama kalinya sejak meninggalkan Phnom Penh, aku bisa kembali merasakan berbaring di atas kasur yang berseprai. Untung saja sopir itu yang harus pergi, dan bukan aku. Aku berpikir: John Crowley telah membantuku.

Ia tidak memandang rendah terhadapku, atau bersikap menggurui. Aku diperlakukannya seperti sesamanya. Begitu ramah dan santai. Mungkin orang Amerika semuanya seperti dia. Jika dugaanku itu benar, maka Amerika Serikat merupakan tempat yang cocok bagiku.

Ya, orang-orang asing itu memang lain sekali. Mereka tidak peduli tentang muka. Mereka tidak merasa perlu menampilkan kedok dalam kehidupan bermasyarakat, dan menyembunyikan perasaan yang sebenarnya di belakang kedok itu. Mereka tidak begitu peduli tentang status sosial. Seorang Kamboja akan memperlakukan diriku dengan lebih baik ketimbang pada dirinya sendiri atau lebih buruk. Kalau John Crowley itu orang Kamboja, kemungkinannya aku akan disuruhnya pergi dengan sopir tadi, sementara kamar dengan dua tempat tidur itu dipakainya sendiri.

Ya, diperlakukan sebagai orang yang sederajat, kataku dalam hati, sementara mataku menatap langit-langit kamar hotel. ltulah yang kuingini. Dan aku tak perlu merasa segan lagi kalau berhadapan dengan orang Barat. Ketika sudah kembali lagi di Bangkok, aku kemudian diwawancarai di JVA mengenai kemungkinan pergi ke Amerika. Sayangnya, petugas yang menangani kasusku bukan John Crowley, tapi seorang wanita berkepala batu yang oleh para pengungsi Kamboja dijuluki "Si Macan". Ia memandang aku dengan sikap curiga yang tidak ditutup-tutupi. Karena namaku tidak tertera pada daftar mana pun juga yang dimiliki Kedutaan Besar Amerika Serikat, si Macan lantas menarik kesimpulan bahwa aku pasti telah menyogok sehingga bisa pindah dari tempat penampungan di perbatasan. Kusodorkan nomor telepon Jenderal Chana kepadanya, dan ia langsung menelepon jenderal itu; tapi setiap kali ia memandang ke arahku, keningnya pasti berkerut. Baginya aku ini "operator", orang yang selalu saja bisa mencari jalan untuk menghindari peraturan yang ada.

Si Macan memang tidak sepenuhnya keliru. Aku memang bisa dibilang "operator". Dengan bantuan surat pas dari Chana, aku bisa dengan seenakku keluar-masuk di Lumpini. Aku bahkan mulai suka muncul di pesta-pesta yang diadakan oleh JVA. Ya, kenapa tidak? Aku ingin bebas -bisa pergi ke mana saja aku mau, melakukan hal-hal yang kuinginkan, hidup dengan caraku sendiri. ltulah sebabnya aku meloloskan diri dari komunisme.

Si Macan mengajukan penawaran: aku akan diizinkannya pergi ke Amerika Serikat jika sebelumnya aku bekerja dulu mengurus para pengungsi, sebagai dokter. Katanya, arus pengungsi dari Kamboja masih terus membanjir di perbatasan dan pihak Thailand akan menambah tempat­ tempat penampungan seperti di Sakeo. Aku setuju saja. Satu-satunya yang tidak kusukai dari kesepakatan itu adalah aku tidak ingin terpisah dari Ngim, yang akan tetap tinggal bersama Balam. Kukatakan kepada anak itu bahwa aku akan kembali lagi selekas mungkin.

Sambil menyembunyikan kesedihannya, Ngim mengatakan bahwa ia mengerti.

********

Para pengungsi dari Kamboja itu datang ke tempat-tempat yang sebelumnya boleh dibilang tidak dikenal orang, tapi kini takkan pupus lagi dari ingatan: Kamput, Mak Moon, Nong Chan, Nong Samet, Ban Sangae, dan Camp 007, surga para penyelundup. Dali mereka terus saja berdatangan.

Daerah perbatasan merupakan kawasan tak bertuan; bukan kepunyaan Thailand, tapi juga bukan kepunyaan Kamboja. Setiap perkampungan yang ada di situ dikuasai oleh kelompok militer yang berbeda-beda -di selatan Aranyaprathet oleh Khmer Merah yang tegar dan berdisiplin, sementara sebelah utaranya oleh kelompok-kelompok Khmer Serei yang serdadu-serdadunya tidak terlatih dan juga korup. Aku merasa kecewa terhadap Khmer Serei. Mereka memungut bonjour alias pungli, mendirikan pos-pos penjagaan untuk menarik cukai, dan berperang sesama mereka karena memperebutkan pengendalian terhadap kegiatan pasar gelap. Sulit dipercaya bahwa setahun sebelumnya kami masih menyimpan harapan bahwa mereka akan datang membebaskan kami.

Bulan November 1979 dibuka tempat penampungan pengungsi yang kedua di dalam wilayah Thailand. Letaknya di sebelah utara Aranyaprathet, di sebuah lereng yang luas, ditumbuhi pepdhonan rendah dan berbukit-bukit kecil, dengan gunung berhutan menjulang di hadapannya. Para pengungsi mengalir ke situ dari perbatasan, berjalan kaki atau diangkut dengan bus atau truk. Mereka kurus-kurus dan kelihatan bingung, seperti memasrahkan diri saja kepada nasib.

Nama tempat penampungan itu Khao-I-Dang. Orang-orang Kamboja yang ditampung di situ adalah mereka yang menentang Khmer Merah. Begitu dibuka, tempat itu langsung ramai. Orang­orang Barat sibuk kian-kemari, mengatur kegiatan konstruksi dan pertolongan darurat di bidang kesehatan. Orang-orang Kamboja yang masih cukup kuat dikerahkan untuk menebang pohon dan membuka lahan dengan parang mereka. Para pekerja Thailand mulai membangun rumah sakit darurat dengan bahan bambu dan lembaran plastik biru yang dibentangkan di atasnya sebagai atap sementara. Aku menyerahkan surat dari JVA ke petugas yang ada di kantor UNHCR di situ. Setelah diberi tanda pengenal, aku langsung mulai bekerja sebelum dinding rumah sakit itu selesai dibuat.

Seperti di Sakeo, Khao-I-Dang pada awalnya juga menghadapi situasi yang benar-benar gawat di bidang kesehatan; tapi berlainan dengan di tempat pertama, pasien-pasien di situ bukan orang Khmer Merah, dan bagiku itu menyebabkan mereka lebih layak ditolong. Jelas bahwa jumlah pasien lebih banyak dari yang mungkin kami tangani. Kami semua bekerja keras, pindah dari pasien yang satu ke pasien berikut. Ketika aku sempat menoleh sebentar ke luar, kulihat ada sebuah klinik lagi yang sedang dibangun di sebelah. Di mana-mana bermunculan bangunan­ bangunan baru, dan para pengungsi masih saja terus mengalir dari daerah perbatasan. Begitu banyak orang yang mati di Khao-I­ Dang selama minggu pertama, sehingga buldoser­ buldoser yang ada di situ untuk membuat saluran­ saluran air limbah dialihtugaskan untuk menggali lubang-lubang kuburan. Kasus-kasus gawat darurat ditangani dokter-dokter Barat. Aku mengurus para pasien luar, yang masih bisa berjalan sendiri. Banyak dari mereka yang selain sakit atau mengalami gangguan kesehatan karena kekurangan gizi, juga menderita gangguan jiwa. Mereka sudah terlalu banyak melihat peristiwa pembunuhan; terlalu banyak sanak keluarga mereka yang mati. Mereka terserang depresi dan cenderung ingin bunuh diri saja; mereka juga ingin pulang. Selain perawatan kedokteran, mereka juga memerlukan bimbingan rohani; dan di segi itu para dokter Barat tidak berdaya. Aku berbicara dengan mereka dalam bahasa Khmer, menghibur dan membesarkan hati mereka. Jika kulihat bahwa mereka tidak memerlukan pengobatan lain, aku lantas memberikan pil-pil vitamin dan zat besi yang nampaknya secara psikologis menolong mereka. Dari pengalamanku sendiri kuketahui bahwa keadaan depresif perlu sekali ditanggulangi.

Aku paling ingat kepada seorang pasien, seorang anak perempuan, yang selain mengalami dehidrasi sehingga kurus kering, juga mengidap penyakit malaria yang gawat, disebabkan oleh parasit plasmodium falciparum. Masih terbayang matanya yang hitam, terbelalak tanpa melihat, dan tubuhnya yang tinggal tulang berbalut kulit. Seorang dokter Barat sudah mencatat riwayat penyakit dan mengambil darahnya; pemeriksaan laboratorium terhadapnya sedang berlangsung. Anak itu hanya bisa terkapar saja di pembaringan. Semua makanan yang masuk, dimuntahkan kembali. Ia hanya sendiri saja di situ, tanpa ada yang menemani. Aku duduk di tepi pembaringan, lalu menggendongnya. Tubuhnya begitu ringan, nyaris tanpa bobot. Aku berbicara kepadanya dalam bahasa Khmer, kubujuk agar mau makan beberapa sendok saja. Anak itu masih siuman, walau hanya pada ambangnya saja. Aku tahu, ia bisa mendengar kata-kataku. Kemudian kepalanya terkejat ke belakang, sementara napasnya tersentak. Ia terkejat-kejat lagi enam sampai tujuh kali. Ia menghirup napas dalam-dalam untuk penghabisan kali, lalu kepalanya terkulai ke samping, dengan mata setengah terbuka.

Sehari itu aku bisa dibilang tidak bisa apa-apa lagi. Kematian anak perempuan itu begitu dekat, begitu langsung menusuk hatiku. Ia pernah hidup di bawah rezim yang sama, melihat awan yang sama di langit yang sama. Ia kehilangan keluarganya, dan aku juga kehilangan keluargaku. Ia mati dalam pelukanku, seperti ketika Huoy dulu mati.

Di sekelilingku terkapar orang-orang Kamboja yang sedang sekarat, dokter-dokter Barat yang bekerja keras untuk menyelamatkan mereka, dan anak-anak kecil yang riang, mengintip ke dalam lewat celah-celah dinding gedek sambil berseru­ seru, "Okay, bye-bye."

*******

Sampai bulan Desemher 1979 World Food Program, UNICEF dan badan-badan lainnya lagi sudah mengirimkan beras dalam kuantitas besar ke daerah-daerah sepanjang perbatasan. Sebagian dari beras yang dikirimkan itu tidak pernah sampai di tangan para pengungsi karena dirampas Khmer Merah dan juga panglima-panglima perang Khmer Serei, yang kadang-kadang menjual kembali beras curian mereka kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan dari situ dibagi-bagikan lagi, untuk kedua atau ketiga kalinya. Tapi meski ada kasus-kasus pencurian, di perbatasan tersedia beras dalam jumlah lebih banyak dari sebelumnya. Untuk sebagian, ini disebabkan karena adanya bantuan internasional, dan sebagian lagi karena peranan para pedagang di pasar gelap. Setiap pagi nampak orang-orang Thai mengalir menuju perbatasan, membawa segala macam barang dagangan: ayam hidup, sayur-mayur, sabun, bahkan pesawat radio dan sepeda. Para pengungsi mengeluarkan simpanan emas yang selama bertahun-tahun mereka sembunyikan terus, dan berlangsunglah transaksi jual-beli. Sementara itu situasi perawatan medis di tempat-tempat penampungan di perbatasan sudah menjadi lebih baik.

Di Khao-I-Dang sendiri, krisis yang semula terjadi di bidang medis sementara itu juga sudah mereda. Pasien-pasien yang masih kuat bertahan selama hari-hari pertama mereka di rumah sakit, umumnya kemudian sembuh lagi. Mereka kembali mulai menaruh perhatian kepada sekeliling mereka. Tubuh mereka mulai berisi, dan mereka mulai mau berbicara lagi. Mereka bisa sembuh dengan cepat berkat ketangguhan jasmani mereka -mereka sudah pasti tangguh, karena mampu berjalan begitu jauh sampai ke tempat itu- dan juga berkat pengobatan bercorak Barat, yang jauh lebih baik daya penyembuhnya ketimbang "tahi kelinci" dan obat jamu lain-lainnya dari masa rezim Khmer Merah.

Bantuan dari Barat mengalir masuk ke Khao-I­Dang. Gubuk bambu di mana aku semula bekerja dijadikan bagian perawatan orang dewasa, yang dikelola suatu badan bantuan swasta Amerika, yaitu American Refugee Committee (ARC), dari Minneapolis, Minnesota. Di kedua sisi sebuah jalan bermunculan bangunan-bangunan yang merupakan stasiun-stasiun perawatan yang khusus menangani pasien anak-anak, selanjutnya untuk kasus bedah, obstetri dan ginekologi, masalah gizi; rehabilitasi dan bermacam-macam kasus lain; masing-masing dikelola badan penolong sukarela dari luar negeri yang berbeda-beda. Ada tiga puluh tujuh badan semacam ini yang mengelola berbagai program di Khao-I-Dang, sebagian besar dari Amerika Serikat. Ironisnya, mereka itu berdatangan setelah melihat foto-foto dan rekaman televisi tentang orang-orang Khmer Merah yang kelaparan di tempat penampungan Sakeo. Tapi walau begitu aku mengucap syukur bahwa mereka ada di sana. Aku saban kali tercengang melihat semangat mereka, dan juga kebaikan hati mereka. Belum pernah aku melihat kumpulan orang yang bekerja dengan begitu bertekad dan dengan hasil nyata yang begitu banyak. Tenaga­ tenaga kesehatan masyarakat, guru, wartawan, administrator, petugas imigrasi, tokoh politik­ orang-orang Barat itu terus saja mengalir datang.

Dan para pengungsi dari Kamboja juga terus saja membanjir, memasuki tempat-tempat penampungan. Mereka menebangi pohon-pohon untuk dijadikan kayu bakar, sampai akhirnya lereng yang merupakan lokasi tempat penampungan Khao-I-Dang menjadi gundul. Para pengungsi itu membangun gubuk-gubuk dari bambu dan kajang serta lembaran-lembaran plastik berwarna biru. Gubuk-gubuk mereka menyebar sepanjang jalan­ jalan beralas tanah liat merah yang diberi nama­ nama yang tidak asing lagi di telinga, seperti Angkor, Monivong, dan Phnom Penh. Populasi menanjak terus. Menurut angka resmi, jumlahnya 130.000 jiwa, tapi jumlah sebenarnya pasti lebih tinggi lagi. Ketika sedang ramai-ramainya, Khao­ I-Dang merupakan perkampungan warga Kamboja yang paling besar di dunia.

Saat malam hari perkampungan itu tidak aman. Di sana terjadi peristiwa-peristiwa pembunuhan, balas dendam, perampokan, dan perkosaan. Orang-orang Thai penduduk desa di sekitar situ malam-malam datang meloncati pagar untuk menjual dagangan mereka, dan serdadu-serdadu Thai menembaki orang-orang yang tidak mau memberi bonjour. Di bawah lantai tanah gubuk­ gubuk terdapat lubang-lubang tempat penyembunyian barang dan terowongan-terowongan. Kebanyakan keluarga di perkampungan itu menyembunyikan barang, atau bisa juga orang.

Saat siang hari, apabila di sana ada orang-orang Barat, keadaan di situ lebih baik. Di situlah tempat untuk memulai kehidupan lagi, untuk melakukan tawar-menawar di pasar, untuk bersembahyang di kuil. Karena adanya kemungkinan akan dimukimkan kembali di luar negeri, kebanyakan orang dari golongan yang di Kamboja dulu merupakan kelas menengah dan elite muncul di Khao-I-Dang. Orang-orang yang tidak pernah bertemu lagi semenjak jatuhnya Phnom Penh, kini saling berjumpa di jalan-jalan tanah di tempat penampungan itu, dan mereka saling menanyakan bagaimana mereka bisa tetap selamat. Tempat penampungan itu sudah menjadi seperti kota. Selain rumah sakit, di situ juga ada sejumlah sekolah, bengkel, lapangan sepak bola, pasar setengah resmi, kedai minum, toko penjahit pakaian, sebuah kuil, dan juga sebuah pusat pelacakan. Orang-orang berdatangan ke tempat itu untuk melihat-lihat pemberitahuan dan foto­ foto sanak keluarga yang hilang.

Menemukan kembali sanak keluarga yang hilang: itulah yang paling penting. Bagi kami, pengertian "keluarga" sementara itu sudah mencakup kerabat yang begitu jauh sehingga sudah tidak diketahui lagi bagaimana pertaliannya; dan bahkan ada pula yang sebenarnya tidak termasuk keluarga. Seorang kerabatku dari pihak Ayah, seorang wanita yang sudah agak berumur yang biasa kupanggil "Bibi" , datang dengan pesawat terbang dari Perancis untuk mengantarkan uang kepada anak-anak perempuannya yang saat itu ada di antara para pengungsi yang menghuni Khao-I-Dang. Karena wanita itu tidak berhasil mendapat surat jalan untuk berkunjung ke tempat penampungan itu, aku lantas menjadi perantaranya. Beberapa bulan kemudian seorang anak perempuannya yang lain, yang juga tinggal di luar negeri, datang menghubungi aku. Ia juga menyerahkan sejumlah uang, sebagian untuk saudara­saudaranya, dan sebagian lagi untukku.

Dengan uang itu aku membayar seorang pemuda untuk mengantarkan suratku kepada adikku Hok, di Battambang. Kemudian Hok muncul bersama istri dan anaknya yang masih bayi di Khao-I-Dang, ketika itu masih diperbolehkan. Setelah itu aku mengirim kabar kepada adikku yang satu lagi, Hong Srun, di Phnom Penh. Ia memutuskan tidak datang, karena mendengar kabar tentang pembantaian yang terjadi karena ulah tentara Thailand di Preah Vihear; tapi kabar yang kukirimkan itu menyebar, dan lebih banyak lagi saudara-saudara jauhku yang bermunculan di perbatasan.

Sementara itu, waktunya sekitar bulan Maret 1980, pemerintah Thailand memutuskan untuk menutup perbatasannya. Kebijaksanaan "pintu terbuka" sudah berakhir. Para pengungsi tidak bisa lagi datang dengan begitu saja dari perbatasan ke Khao-I-Dang. Seorang dokter Amerika bejenggot yang bekerja pada salah satu badan penolong datang menawarkan bantuan. Kami berangkat ke perbatasan dengan mobil bersama seorang sopir. Saudara-saudara sepupuku yang tertahan di situ kami masukkan ke dalam mobil dan kami suruh berbaring di situ. Mereka kami suruh pura-pura sakit. Kami membalut mereka, dan kami hubungkan lengan mereka dengan tabung-tabung infus. Ketika sampai di gerbang Khao-I-Dang, penjaga yang ada di situ hanya melambaikan tangan, menyuruh kami lewat. Pe­ nyelundupan manusia jenis ini paling sering dilakukan oleh dokter-dokter bangsa Barat, karena para penjaga yang orang Thai merasa segan terhadap mereka.

Sepanjang hari aku bekerja di suatu stasiun perawatan orang dewasa yang dikelola oleh badan ARC, tujuh hari dalam seminggu. Mula-mula aku mengalami kesulitan dalam menangkap bahasa Inggris-Amerika mereka. Aku juga melihat bahwa cara perawatanku tidak selalu sama dengan cara mereka. Misalnya saja dalam pemberian antibiotika. Kami di Kamboja, biasa memberikan dosis yang lebih tinggi kepada pasien kami, dibandingkan dengan dokter-dokter Amerika. Tapi lambat­ laun, setelah beberapa bulan bekerja di situ, kepercayaan diriku pulih lagi. Selain ramah, dokter-dokter Amerika di situ terampil. Mulanya cukup banyak kasus edema dan kwashiorkor yang kami hadapi, selanjutnya malaria dan TBC, infeksi yang disebabkan oleh jamur, dan sekali­ sekali kasus penyakit lepra. Kami mendapat limpahan kasus-kasus rekuperasi bedah, dan kami juga melakukan operasi bedah yang tergolong enteng. Selain aku, staf bangsa Kamboja di situ adalah seorang dokter, beberapa mahasiswa kedokteran, dan sejumlah perawat yang masih muda dan sangat berbakat, serta para juru bahasa.

Apabila tugas kerja sehari sudah berakhir, hanya aku saja satu-satunya orang Kamboja yang naik ke mobil bersama para rekan orang Amerika. Kami tinggal bersama-sama di sebuah rumah sewaan di tepi jalan tanah dekat pompa bensin Shell, di Aranyaprathet. Seluruhnya dua puluh satu orang yang tinggal di situ. Sesuai dengan adat kebiasaan orang Asia, kami melepaskan sepatu dan sandal kami dan menaruhnya di kaki tangga yang menuju ke lantai atas. Tapi di serambi yang sudah diubah menjadi ruang tidur, lelaki dan wanita tidur sebelah-menyebelah di atas kasur yang dihamparkan di lantai, tanpa merasa canggung. Itu bukan kebiasaan orang Asia. Di kamar­ kamar tidur yang sempit di dalam rumah, kadang­ kadang terdengar suara-suara berisik pasangan­ pasangan yang sedang asyik bermain cinta; itu juga tidak merupakan kebiasaan orang Asia, yang karena takut kehilangan muka, biasanya lebih bisa menahan diri dalam hal-hal seperti itu.

Malam-malam, sebelum tidur, aku memperhatikan cecak-cecak yang merayap di dinding dan langit-Iangit, di samping lampu neon. Secara otomatis otakku mulai mereka-reka cara menangkap binatang-binatang melata itu. Kemudian aku berkata pada diriku sendiri: Tidak, kalian bisa kubiarkan hidup sekarang. Keadaan sudah berubah. Tidak ada bunuh-membunuh lagi. Tidak perlu lagi berburu binatang liar. Kini waktunya untuk hidup-menghidupi.

Rekan-rekanku dalam tim ARC sangat ramah. Jika aku mencoba menceritakan pengalaman hidupku, mereka selalu mau mendengar, meski kisahku itu pasti tidak mengenakkan perasaan mereka, dan meski bahasa Inggris-ku patah-patah. Mereka mengajakku ke pesta-pesta malam Minggu yang hanya dihadiri orang-orang Barat saja, dan aku berdansa mengikuti irama musik rock yang nyaring. Aku bahkan sempat berdansa dengan ketua tim ARC, seorang wanita berambut merah yang setiap minggu datang dengan mobil dari Bangkok. Namanya Susan Walker. Berdansa gaya Barat terasa penuh semangat dan menyebabkan keringat mengucur, lain dari tarian romvong Kamboja. Aku menyukainya. Di Kamboja dulu, aku selalu yang paling aktif di antara teman­ temanku, yang paling cepat marah, paling cepat tertawa, dan paling akhir meninggalkan lapangan olahraga. Kini aku menemukan suatu kebudayaan yang cocok dengan kegesitanku. Senang rasanya bergaul dengan orang-orang Barat ini, dan bekerja bersama mereka sebagai rekan.

Tapi aku tidak merasa bahagia. Apabila aku sedang capek, dan saban malam kami selalu capek sehabis bekerja, sulit rasanya untuk mengadakan komunikasi. Kubiarkan pikiranku menerawang, tidak lagi berusaha mengikuti percakapan mereka yang berlangsung dalam bahasa Inggris yang begitu cepat. Aku selalu terkenang kembali ke masa silam.

Depresiku kambuh lagi. Aku datang bulan Mei 1979 di Thailand. Ketika sampai bulan Juli setahun kemudian aku masih juga belum mendapat kabar tentang keberangkatanku ke Amerika, aku mulai gelisah. Balam dan Ngim sementara itu sudah ada di sana. Adikku Hok pergi ke sana. Orang-orang Amerika kenalanku ketika aku baru datang di Khao-I-Dang sudah pergi semuanya, digantikan oleh tenaga-tenaga sukarela yang baru. Bahkan dari mereka ini pun sudah ada beberapa orang yang pergi lagi. Semuanya pergi, kecuali aku. Rupanya ada yang tidak beres dengan surat­ surat keimigrasianku di JVA, tapi tidak ada yang menjelaskan apa sebenarnya masalah itu.

Aku kesepian. Aku berjumpa dengan seorang wanita muda warga Thai tapi keturunan Kamboja, yang bertempat tinggal di Aranyaprathet. Wajahnya bundar, dan warna kulitnya cerah. Dilihat dari samping, wajahnya persis Huoy. Ia nampaknya suka sekali padaku. Dalam percakapan kami, sudah disinggung-singgung tentang kemungkinan menikah. Tapi kemudian ia melihat rantai yang tergantung di leherku, dengan medalion yang dihiasi wajah Huoy. Ia menyuruh aku melepaskannya. Kujelaskan bahwa aku memakainya untuk menunjukkan hormatku kepada Huoy karena ia pernah menyelamatkan nyawaku. Tapi wanita itu lantas timbul rasa curiganya. Katanya, Huoy pasti masih hidup, dan ada di Kamboja. Aku dituduhnya bahwa ia hendak kujadikan istri kedua. Sementara keluarganya memandang rendah terhadap diriku, karena aku pengungsi. Jadi hubungan itu kemudian putus.


Sudah waktunya bagiku untuk mengucapkan: "Okay; bye-bye." Tapi kelihatannya aku takkan pernah bisa pergi dari Thailand. Saat itu sudah bulan Agustus 1980. Bagiku, dan bagi ratusan ribu orang yang lebih sial nasibnya ketimbang aku, Thailand berubah menjadi penjara yang mengungkung kami. Kami tidak bisa bergerak maju, tapi kembali juga tidak bisa. Kami hanya beberapa kilometer saja dari Kamboja. Malam hari kami bisa mendengar bunyi tembakan-tembakan senapan, apabila kelompok-kelompok Khmer Serei saling bertempur, dan dentuman artileri apabila pasukan-pasukan Vietnam melancarkan serangan terhadap kubu-kubu Khmer Merah. Pengawasan keamanan di Khao-I-Dang sangat ketat. Pagar sekeliling dijaga. Di dalam kompleks sudah tidak ada pohon lagi, sehingga tempat itu sangat panas hawanya. Tempat itu gersang dan berdebu. Tapi begitu hujan turun, tanah yang kering berubah menjadi lumpur. Teror sudah berlalu, tapi kondisi jiwa kami masih juga belum pulih seperti semula.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar