17REORGANISASI
YOUEN, kepala
perkampungan kecil di luar desa Phum Phnom itu, bukan
orang yang banyak kemampuannya. la tahu bagaimana caranya bertani,
ia tahu caranya mematuhi perintah, tapi ia tidak
bcgitu pintar atau kuat. Meski begitu, ia telah mengatakan
mau melindungi aku dan Huoy, dan selama
itu dilakukannya kami akan mematuhinya.
Perkampungan kecil yang diketuainya itu
penuh dengan orang "lama". Tidak banyak yang berubah di situ sejak
masa sebelum perang, meski kekacauan revolusi terjadi di mana-mana di sekelilingnya.
Di Phum Phnom yang jaraknya dari situ hanya beberapa menit saja berjalan kaki, terdapat
markas Khmer Merah untuk daerah itu. Pada arah yang Iain terletak Phum Chhleav,
tempat yang kami tinggalkan tanpa perasaan berat; dan entah di mana, pada arah
yang ketiga, terdapat "garis depan" yang misterius itu, yang olehku
dan Huoy sebisa-bisanya hendak dihindari.
Sebagai imbalan pengayoman yang
diberikan oleh Youen, aku dan Huoy menjadi
pelayannya. Kami bekerja di rumahnya, dan juga di rumah saudara perempuan dan
anak perempuannya yang tidak jauh tempatnya. Huoy membantu di dapur dan
melakukan tugas-tugas lain di dalam rumah. Aku menyapu pekarangan, mengisi
gentong-gentong tempat air dan menggembalakan sapi-sapi di sawah yang sudah
selesai dipanen. Apabila lewat di depan salah seorang anggota keluarga Youen,
aku membungkuk dalam-dalam. Apabila orang itu sedang duduk pun, aku
mengusahakan agar posisi kepalaku lebih rendah dari mereka. Itu cara yang biasa
bagi pelayan di Kamboja untuk menunjukkan sikap hormat terhadap majikannya.
Sebenarnya mengherankan, apa yang
terjadi dengan diri kami. Di Phnom Penh, dalam kedudukanku sebagai dokter, tak
kan mungkin terjadi aku membungkukkan diri di depan petani buta huruf seperti
halnya Youen. Dia yang akan membungkukkan tubuh di hadapanku. Kini segala- galanya
terbalik. Aku menyuguhkan air kepadanya dengan mata tertunduk, dan dengan
mangkuk kupegang dengan kedua tangan. Aku menyapanya dengan sebutan
"Pak". Sejauh yang diketahui oleh Youen beserta keluarganya, aku ini Samnang,
bekas sopir taksi. Istriku bernama Bopha. Itulah identitas kami waktu itu. Baik
siang maupun malam aku dan Huoy terus memainkan peranan kami itu, kecuali jika
yang ada hanya kami berdua saja; dan saat itu pun kami berbicara dengan berbisik-bisik,
agar jangan sampai ada orang lain mengetahui siapa diri kami
yang sebenarnya.
Anehnya, aku dan Huoy merasa bahagia.
Kami waktu itu seperti
orang yang jatuh dari atas tebing dan kemudian
tersangkut pada suatu bagian dinding tebing itu yang menonjol ke luar. Kami menjadi
terbiasa dengan posisi di tempat itu dan
tidak berkeluh-kesah bahwa kedudukan kami menjadi lebih rendah dari semula.
Kami bersyukur, tidak jadi terbanting kc dasar tebing. Kehidupan kami masih
lumayan. Kami tidak harus kerja membanting tulang. Dan keadaan kesehatan kami
membaik, karena bisa makan nasi dalam jumlah
memadai.
Ketika kami baru saja ditampung oleh
Youen, kami diberinya beras beberapa kaleng yang berasal dari persediaannya
pribadi. Kemudian dimasukkannya nama-nama kami dalam daftar rangsum. Itu
merupakan langkah pertama untuk menjadikan kami anggota tetap dalam perkampungan
yang diketuainya.
la menyuruh aku pergi ke depot Khmer
Merah untuk mengambil jatah beras pembagian. Aku kembali dengan langkah
terhuyung-huyung tapi sambil tersenyum gembira, memanggul karung isi gabah
sebanyak 25 kilogram.
Bayangkan, mendapat begitu banyak bahan pangan dari Khmer Merah! Bayangkan
saja, mengetahui bahwa persediaan
makanan kami mencukupi untuk berminggu-minggu!
Saudara perempuan Youen, namanya Yin,
meminjamkan alat penggiling beras. Kucurahkan gabah ke dalam
alat itu lalu kuputar engkolnya menggiling gabah itu di antara dua batu pipih. Hasilnya
yang keluar campuran beras putih dan sekam, ditambah butir-butir beras yang
pecah. Kemudian
Huoy menampi beras yang masih tercampur sekam itu. Ia baru sekali itu
melakukannya, tapi ternyata pekerjaan itu tidak begitu sulit.
Beras itu kini sudah bisa dimasak, tapi
masih ada butir-butir yang diselaputi dedak berwarna coklat. Yin mengajari kami
cara menumbuk beras dengan menggunakan sebuah peralatan tua yang terdapat di
pekarangan rumah Youen. Bentuknya seperti alu dan lumpang, dengan perbedaan
bahwa alu penumbuknya disambungkan dengan tuas yang digerakkan dengan kaki.
Segala pekerjaan itu merupakan barang
baru bagi Huoy, yang seperti kebanyakan orang kota biasa membeli beras putih di
pasar. Tapi begitu beras sudah selesai ditumbuk, selanjutnya merupakan urusan
yang sudah biasa dilakukannya. Ia memasukkan beras ke dalam panci lalu membersihkannya
dengan air. Dipungutinya kulit padi dan kotoran lain-lainnya yang mengambang. Setelah
itu air diganti dengan yang bersih. Di ukurnya dengan telunjuk tinggi air yang
menggenangi beras, lalu ditutupnya panci dan ditaruhnya di atas api. Ketika air
sudah benar-benar mendidih, ditariknya kayu bakar ke luar sedikit dari bawah
tungku untuk mengurangi panas nyala api sehingga
air yang sudah mendidih itu tidak lagi nampak menggelegak. Panci ditutup sampai
air yang berlebih sudah menguap semua dan pada permukaan nasi yang sudah masak
nampak lubang- lubang dari mana uap mengepul.
Nasi yang dimasaknya itu benar-benar
seperti seharusnya: berbau wangi, butir-butirnya tidak lengket, tidak lembek
tapi juga tidak terlalu kering. Sebelum makan, Huoy mengambil tiga batang hio
dari bungkusan barang-barang bawaan kami dan menyalakannya untuk menghormati arwah
ibunya. Kedengaran suaranya berdoa sambil melambai-lambaikan hio yang
dijepitnya di antara kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, menurut adat
kebiasaan cina. "Kami sekarang sudah punya makanan yang baik, Emak,"
katanya. "Kami terkenang pada Emak, dan rindu padamu, Emak dululah yang
makan,"
Sesudah menyajikan persembahan itu kami
pun mulai makan. Kami tidak punya apa-apa sebagai teman nasi, tapi kami tidak
peduli. Kami makan saja
terus. Kami makan begitu banyak sampai perut terasa sakit, dan kami tetap saja
merasa bahagia.
*************
Sesudah lama kami masuk dalam daftar
ransum, saudara perempuan
Youen, Yin, menyarankan agar kami mengambil langkah berikut umuk bisa menjadi
penduduk tetap, dan itu adalah membangun rumah. Saat
itu aku berdiri
bersama dia dan Youen di pekarangan rumah Youen, di samping
sebatang pohon. Di bawah pohon itulah aku dan Huoy selama itu tidur pada malam
hari Aku tidak mengatakan apa-apa, karena itu tidak sepatutnya kulakukan.
Dengan sembunyi-sembunyi aku memperhatikan Yin. Wanita itu mengesankan
penampilannya: janda cerai, berumur empat puluhan, perokok yang bersuara serak,
dengan lengan yang kekar seperti lengan pria. Tenaganya lebih besar daripada
Youen, lebih cerdas, dan lebih berpembawaan pemimpin. Youen menggaruk-garuk
kepalanya, sementara saran saudara perempuannya agar aku membangun rumah dengan
lambat-lambat masuk ke dalam benaknya.
Yin tidak sabar menunggu. Ia berkata,
"Jika Samnang tidak tahu bagaimana caranya membuat rumah yang baik , nanti
akan kutunjukkan." Sambil berbicara diambilnya sebuah kapak dan disodorkannya
sebuah kapak lagi ke tanganku, lalu beranjak pergi dengan langkah-langkah
cepat. Aku memandang sebentar ke arah Youen. Melihat dia mengangguk, aku buru-buru
menyusul Yin.
Kuikuti wanita itu
melintasi petak-petak sawah, masuk ke dalam hutan. Betisnya
besar berotot dan kakinya lebar dengan jari-jari yang renggang. Aku kerepotan
mengikuti langkahnya. Akhirnya kami sampai di suatu kerumunan pepohonan yang
lebat di kaki sebuah bukit, lalu berhenti di situ. Yin berdiri dengan sikap
mengangkang agar bisa bergerak dengan leluasa. Dipilinnya
tepi bawah sarungnya yang scbelah depan lalu ditariknya ke belakang lewat
selangkangan dan diselipkannya ke tepi
atas sarung di punggung. Dengan begitu sarung itu menjadi seperti celana
pendek, menampilkan pahanya yang gempal. Yin mengayun kapaknya. la menebang
sebatang pohon. Aku mengikutinya, tapi kuperlukan waktu yang lebih lama sampai
pohon yang kutebang itu roboh. Yin memperhatikan dengan pandangan kritis sementara
aku menyingkirkan ranting dan dahan dari batang pohonku. Kemudian kami gotong
batang-batang pohon itu kembali ke kampung. Sebentar-bentar aku berhenti dan
meletakkan batang yang kupikul ke tanah untuk beristirahat. Tapi Yin berjalan terus
dengan enaknya tanpa pernah mengubah kecepatan langkahnya, sambil memanggul batang
kayu, dengan rokok yang sudah dihisap separuh terselip di balik telinga.
Keesokan harinya kami masuk lagi ke hutan,
mengumpulkan kayu yang akan dipakai untuk membangun rumah. Sambil berjalan di depan,
Yin bicara padaku. Kalian makan dan makan saja sampai akhirnya tidak ada lagi
yang tersisa," katanya. "Nanti kalian tidak punya benih yang bisa ditanam
tahun depan." Aku diam saja, sebab takut bahwa aku dan Huoy menyinggung
perasaannya karena memakan beras persediaan kami tanpa mengenal
kata hemat. Tapi kemudian kusadari bahwa Yin
berbicara tentang orang "baru" pada umumnya, dan
secara tidak langsung mengccam rezim.
Rupanya Yin memperhatikan iring-iringan
orang yang disuruh pindah dari Phum Chhleav . “Aku melihat kalian berjalan
lewat, menuju garis depan. Belum pernah kulihat begitu banyaknya orang sakit.
Belum pernah," katanya dengan suaranya yang menggerutu. "Aku bingung
melihat keadaan sekarang ini. Dulu, orang yang bekerja akan mendapar bayaran.
Uang itu bisa dibawa
ke pasar dan dibelikan obat-obatan. Menyembuhkan diri sendiri. Tapi sekarang
ini tidak. Pasar tidak ada. Tidak bisa membeli apa-apa. Uang juga tidak ada. Pemerintah
yang baru, uang saja pun tidak punya."
Yin berpaling seperti hendak mengatakan
sesuatu lagi. Batang kayu yang ada di pundaknya ikut terayun seolah-olah bukan
apa-apa. Ia menatapku dengan mata terpicing. Napasku memburu. "Belum
pernah kulihat makanan seperti tajin encer yang mereka berikan pada kalian.
Hampir tidak ada nasinya, hanya air saja. Orang-orang seperti kalian jadi lemah
dan kurus. Jika lemah kalian tidak banyak gunanya." Aku memandang tubuhku
sendiri. Aku terpaksa membenarkan pendapatnya itu. Kemejaku tidak kukancingkan dan
bisa kulihat tulang-tulang rusukku bertonjolan.
"Ya," kataku merendah,
"memang benar makanan yang kami terima tidak selalu mencukupi. Tapi Angka
mengatakan kita harus berkorban sampai negara sudah berhasil kita bangun.”
Yin menatapku seakan-akan aku orang yang
dungu, lalu ia meludah ke samping. "Di sini dulu lebih
banyak padi yang ditanam," katanya. "Jauh lebih banyak. Sekarang,
orang-orang yang tinggal di sini tidak lagi bekerja sekeras dulu. Tidak ada alasan
untuk itu. Tidak bisa menanam apa yang ingin mereka tanam. Tidak bisa makan
kapan mereka mau. Jadi mereka lantas menanam lebih sedikit. Masalahnya,
sekarang lebih banyak orang yang harus diberi makan. Seperti kau dan
binimu."
"Bibi Yin," kataku,
menggunakan bentuk sapaan sopan dari
masa scbelum revolusi, "aku minta maaf, tentang makanan yang kumakan
bersama biniku. Kami tidak bermaksud membebani." "Bukan salahmu. Nak.
Angka yang mengatur segala-galanya di sini. Angka yang memiliki semua sawah.
Semuanya milik mereka. Aku menanam pohon-pohon mangga - aku harus minta
izin pada Angka untuk memetik buahnya. Belum pernah kualami
pemerintahan yang seperti ini.”
Yin terus berjalan sambil menggeleng-geleng.
"Belum pernah kualami pemerintah seperti begini." katanya mengulangi,
lalu meludah lagi.
Aku bergegas di belakangnya, sambil
terscnyum sendiri. Omelannya yang bernada skeptis itu menandakan bahwa ia
berakal sehat. Yin bisa tinggal di rumahnya,
tanpa perlu pergi ke garis depan. Ia tidak menderita kelaparan. Meski begitu ia
tetap saja tidak suka pada revolusi itu. Hatiku terlipur
karenanya.
Ketika sudah cukup banyak kayu yang kutebang
bersama Yin unruk dijadikan kerangka rumah, kami kemudian pergi mengumpulkan gelagah
yang tumbuh di pinggiran sawah. Kami membuat bahan untuk atap dan dinding
dengan jalan menganyam gelagah yang diberkaskan. Dengan segera rumah itu sudah
selesai dibangun, sebuah rumah yang kokoh, tidak bocor, dan terdiri dari satu
ruangan. Bangunannya tidak indah, tapi jauh lebih baik ketimbang gubuk di Phum
Chhleav dan juga lebih baik daripada gubukku yang pertama dulu, di Tonle Bati.
Aku dan Huoy pindah ke rumah itu. Buku-buku kedokteranku serta barang-barang
lainnya yang tidak kami inginkan diketahui oleh orang lain kami kuburkan di
dalam tanah yang merupakan lantai rumah, lalu di atasnya kami hamparkan lembaran
plastik putih kami.
Dengan adanya rumah itu kami menjadi
penduduk perkampungan yang diketuai oleh Youen. T api
aku berperasaan bahwa situasi kami takkan bisa terus begitu. Dari waktu ke
waktu datang orang-orang kurus kering, sisa-sisa rombongan perpindahan
besar-besaran yang tercecer, dalam keadaan sakit seperti halnya orang yang
pernah tinggal di Phum Chhleav. Dan Khmer Merah sibuk terus di sekitar
perkampungan pimpinan Youen. Setiap hari ada saja kurir yang lewat dengan
sepeda atau sepeda motor, datang dari markas mereka di Phum Phnom atau menuju
ke sana. Para pemimpin mereka lewat menunggang kuda
atau naik jip. dalam perjalanan inspeksi berkeliling. Khmer Merah punya
rencana-rencana Desar. Mereka sedang memobilisasikan segenap kawasan pedesaan.
Dengan cepat tibalah hari yang kutakuti
selama itu. Youen menyuruh semua yang tinggal di rumah-rumah yang dekat agar
berkumpul, lalu mengumumkan, "Angka memerlukan semua suami- istri yang
tidak punya anak untuk diberangkatkan ke garis depan."
Kami terpukul mendengar kabar itu. Aku
dan Huoy mengira bahwa antara kami dan Youen sudah ada pengertian. Kami sudah
menjadi pelayannya. Kami bekerja padanya. Mestinya ia melindungi kami.
Youen mengatakan bahwa kami harus berangkat,
bersama sepasang suami-istri lain. "Bersiap-siaplah," katanya padaku.
"Mereka mengatakan bahwa
kalian harus membawa tempat tidur gantung, cangkul, tali, dan juga keranjang
untuk mengangkut tanah. Selain itu tidak ada lagi yang kalian perlukan."
Aku merasa dikhianati. "8agaimana
aku bisa pergi ke garis depan?" kataku padanya. "Tidak satu pun
alat-alat itu kumiliki. Macam-macam saja. Aku tidak mau pergi."
Youen tidak menyangka bahwa aku akan
berani Membantah, dan balasannya tidak datang dengan segera. "Yah, mungkin
kalau sudah di garis depan nanti kau akan bisa memperoleh apa yang kauperlukan dari
Angka," katanya.
"Tidak. Aku memerlukan alat-alat itu
di sini," kataku. Secara tidak langsung, aku menolak perintah dan juga membangkang
terhadapnya. Selain itu, aku juga tahu hahwa Youen punya anak laki-laki yang
sudah menikah tapi belum punya anak. Youen tidak menyuruh anaknya sendiri pergi.
Ia melindungi aku dan Huoy selama beberapa waktu, tapi ketika ia mengalami
penekanan, kami disuruhnya pergi.
Youen memperkeras suaranya, berbicara
pada semua yang berkumpul di situ. "lni peraturan Angka, bukan peraturanku.
Semua yang diharuskan pergi, mesti pergi!"
Aku dihampiri oleh Yin. Ia membelakangi
Youen agar saudaranya itu tidak bisa mendengar. "Kami tidak punya pilihan
lain, Nak," bisiknya. "Aku tidak ingin mengusirmu. Aku ingin kau bisa
tetap tinggal di sini. Kau dan binimu orang baik-baik. Tapi sungguh, kau harus
menurut. Jika kau tidak mau menurut, itu akan menimbulkan kesulitan bagi
semuanya."
Aku tahu bahwa ia benar. Yin itu wanita
yang berakal dan baik hudi, dan aku sangat hormat terhadapnya. Tapi aku tetap
saja membangkang sampai Youen memberi bekal dua karung goni yang sudah usang
untuk nanti dijadikan tempat tidur gantung, serta sebuah cangkul dan seutas tali.
Aku lantas meminta lagi sebuah cangkul dan juga keranjang-keranjang. Aku
melakukannya bukan karena beranggapan bahwa pasti ia akan mau, tapi untuk
mengulur-ulur waktu. Huoy sedang di dalam rumah,
mengeluarkan barang-barang milik kami yang disembunyikan di dalam tanah. Ketika
akhirnya ia muncul lagi dengan membawa barang-barang kami, sudah tidak ada lagi
bonheur
antara aku dan Youen. Tapi aku tidak peduli.
Aku dan Huoy bersiap-siap berangkat,
bersama suami-istri yang sepasang lagi. Sementara itu sudah datang
serdadu-serdadu membawa senapan yang akan mengawal kami ke tempat tujuan. Mereka
memberi isyarat kepada kami agar segera berangkat. Kami mulai berjalan dengan
langkah-langkah lambat, menempuh jalan menuju selatan, untuk menggabungkan diri
kembali dalam eksperimen reorganisasi sosial yang sedang dijalankan oleh Khmer
Merah.
************
Tidak sampai satu jam kami berjalan
kaki. Punggung gunung yang besar di arah sebelah belakang stasiun kereta api
Phnom Tippeday masih tetap kelihatan. Tapi kami kini berada di sisi sebaliknya,
dan dari tempat kami tidak nampak kuil yang ada di dataran sebelah sana. Waktu
itu aku belum tahu bahwa kami akan tetap berada di situ selama tiga tahun yang
berikut. Tidak satu pun tempat di mana kami pernah berada di kawasan situ - mulai
dari stasiun kereta api di Phnom Tippeday, lalu Phum Chhleav di mana aku
dipekerjakan menarik bajak. kemudian Phum Phnom
di mana terdapat markas Khmer Merah - atau tempat-tempat yang kemudian kami
datangi, kamp-kamp kerja yang berpindah-pindah sepanjang
garis depan, tidak ada satu tempat pun yang letaknya lebih jauh dari beberapa
jam berjalan kaki. Dunia kehidupan kami yang baru itu berukuran sekitar lima
belas kilometer persegi. Kami dibawa oleh serdadu-serdadu yang mengawal ke sebuah
bukit kecil di mana "koperasi" - begitu istilahnya - garis depan
menempatkan dapur lapangan, gudang-gudang, dan bangunan-bangunan administrasinya.
Kepada kami diberikan peralatan selebihnya yang kami perlukan, lalu disuruh ke
sebuah bukit kecil lain yang berhutan, tempat kami nanti tidur.
Dengan jari-jarinya yang cekatan, Huoy
membuat tempat tidur gantung untuk dua orang dari karung-karung goni yang
diberikan oleh Youen. Tempat tidur itu kami gantungkan di antara dua batang
pohon, lalu kami bentangkan kelambu di atas untuk menyelubunginya agar kami
terlindung dari gangguan nyamuk, agas, dan lalat. Kami merupakan bagian dari
satu kelompok yang terdiri dari sekitar dua ratus pasangan suami-istri orang
"baru"; ada beberapa yang punya anak, tapi kebanyakan hanya berdua.
Antara dua sampai tiga ribu orang "baru" lainnya berkemah di bukit-bukit
kecil sekitar tempat kami itu, di persawahan yang kering.
Koperasi kami terutama bertugas
menggali saluran-saluran umuk keperluan irigasi dan pengendalian
air. Sekitar seminggu sekali lokasi operasi dipindahkan, mengikuti perkembangan
kerja membuat terusan. Setiap hari kami mencangkul terus selama hari masih terang,
dan biasanya masih lama lagi sesudah itu. Malam hari kami menghadiri rapat
politik. Belum pernah aku bekerja begitu keras seperti waktu itu. Tidur dan makan
pun belum pernah sesedikit itu. Kami tidak mengenal libur, tidak ada hari
besar, tidak ada perayaan.
Di garis depan itulah untuk pertama
kalinya aku baru sungguh-sungguh memahami rencana jangka panjang Khmer Merah
dalam melakukan reorganisasi terhadap masyarakat Kamboja. Mereka membawa kami
ke arah itu dalam dua tahapan: yang pertama dengan langkah pengosongan kota-kota,
lalu dengan secara berangsur-angsur memperketat peraturan-peraturan, dan kemudian
dengan pemindahan penduduk secara besar-besaran untuk kedua dan ketiga kalinya,
jika itu dianggap perlu. Pada bulan Februari 1976,
di garis depan, mereka mencoba mempraktekkan teori-teori
revolusioner mereka dalam bentuknya yang paling murni.
Konsep pokok untuk masyarakat baru
menurut teori mereka adalah "kemerdekaan berdaulat"; itulah yang
selalu mereka katakan pada kami dalam acara-acara propaganda. Bagi Kampuchea Demokratik,
ini berarti bebas sepenuhnya dari negara-negara lain - bebas dari bantuan
mereka, dan bahkan dari pengaruh kebudayaan mereka. Kita,
orang Khmer, mampu bangkit sendiri. Dengan jalan melakukan reorganisasi dan
pengendalian kekuatan
rakyat kita serta dengan menyingkirkan semua yang bisa mengganggu pemusatan perhatian
pada tugas kerja kila, kita akan bisa dengan segera menjadi negara maju. Dan
perkembangan pesat itu, yang diistilahkan dengan "loncatan besar ke
depan", menghendaki adanya "pemahaman revolusioner yang benar"
dari kami mengenai sekian banyak konsep dan istilah lain-lainnya. Bagi kami,
itu nyaris seperti belajar bahasa yang baru.
Misalnya saja konsep
"perjuangan". Sejak saat terjadinya perebutan kekuasaan di Phnom Penh
aku sering mendengar tentang "perjuangan", tapi sesudah berada di
garis depan barulah aku scpenuhnya memahami bagaimana pertalian istilah itu
dengan ideologi yang selebihnya. "Perjuangan" merupakan kata yang
berasal dari kamus militer, scperti halnya "garis depan". Kata itu mencerminkan
pemikiran bahwa negara masih dalam keadaan perang. Kami di garis depan bukan cuma
bekerja saja, kami "berjuang", atau kalau tidak, "melancarkan
ofensif". Kami dikehendaki agar "berjuang unruk membudidayakan sawah dengan
giat", "berjuang menggali saluran air dengan keberanian yang
besar" , "berjuang membuka hutan", dan bahkan "berjuang untuk
mengatasi masalah pupuk". Kami diharuskan "melancarkan ofensif untuk
menanam tanaman-tanaman strategis" dan "melancarkan ofensif untuk
melaksanakan tugas dengan semangat revolusioner".
Tujuan segala perjuangan dan pelancaran
ofensif ini adalah "kemenangan", dan "penguasaan”. Kami harus
"mencapai kemenangan menaklukkan keadaan alam". Kami akan menjadi
"penguasa sawah, ladang, dan hutan", "penguasa air dan tanah",
"menguasai masalah banjir".
Untuk menjadi penguasa, untuk mencapai "loncatan
besar ke depan", kami harus berkorban. itu berarti bekerja keras tanpa
berkeluh-kesah, tidak peduli rintangan apa pun juga yang dihadapi. Tidak ada
keluh-kesah, meski kami harus bekerja delapan belas atau dua puluh jam sehari,
dengan makanan hanya air tajin yang encer. Mereka menghendaki agar kami menjadi
orang-orang yang tahunya cuma bekerja keras tanpa pernah mengendurkan semangat.
Mereka menginginkan kami menjadi orang-orang revolusioner yang fanatik. Seperti
kata-kata sebuah lagu yang terdengar lewat radio Khmer Merah, "Kita tidak
takut pada malam, siang, angin, badai, hujan dan sakit. Dengan gembira kami
berkorban demi Angka untuk menunjukkan dukungan kami pada Revolusi.”
Kami harus melepaskan segala-galanya
yang berasal dari rezim lama, termasuk harta benda. "Buang semua barang
Barat yang masih ada pada kalian," kata seorang kader kepada kami.
"Sebab jika barang-barang itu tetap kalian simpan, pikiran kalian akan
masih tetap terpaku pada masa silam dan kalian takkan mampu bekerja keras. Singkirkan
rias wajah, pakaian yang macam- macam,
buku-buku, emas perhiasan. Semua itu tidak kalian perlukan. Buang pula panci-panci
dan segala peralatan lainnya. Jika kalian tidak sanggup menyingkirkan
barang-barang itu, itu berarti kalian musuh. Kalian masih tetap tunduk pada kapitalisme,
dan bukan berbakti pada masyarakat. Kalian tidak memerlukan harta milik lagi
sekarang."
Mereka menghapuskan segala hak milik
pribadi. Kini semuanya merupakan milik Angka. Untungnya, peraturan tata-tertib
Khmer Merah melarang para serdadu menggeledah kami untuk mencari barang-barang
milik pribadi, karena di situlah aku dan Huoy menyimpan emas kami; di situlah
semua orang "baru" menyembunyikan barang-barang berharga mereka. Dan
buku-buku serta alat-alat kedokteranku tidak pernah bisa mereka temukan karena
aku menyembunyikannya dalam lubang yang kugali di tanah. Tapi mereka
menggeledah bawaan kami. Ketika kami kembali dari bekerja, ternyata ada
sejumlah barang yang hilang: beberapa lembar blus dan sampot milik Huoy yang
terbuat dari bahan sutera, sejumlah BH, kotak make-up-nya, sebagian besar pakaian
mendiang ibunya serta panci-panci kami, kecuali teko teh, yang boleh tetap kami
miliki.
Mereka sudah menghapuskan agama - memaksa
para bhiksu melepaskan jubah mereka, menghancurkan patung-patung Budha. Mereka
menghendaki agar kami melepaskan segala ikatan pribadi
yang ada, karena itu mengganggu kebaktian kami terhadap Angka. Anak-anak
diharuskan meninggalkan orangtua mereka, orang-orang yang sudah berumur harus
meninggalkan anak-anak mereka, dan jika penugasan kerja menghendakinya, para
suami juga harus berpisah dari istri mereka. Dilihat dari sudut pandangan Angka
ini merupakan "pembebasan", karena hal itu membuat kami terbebas dari
waktu yang diperlukan umuk mengurus orang lain dan memberi kami lebih banyak
waktu untuk bekerja. Untuk menambah waktu kerja sampai sebanyak-banyaknya, mereka
juga menghapuskan kebiasaan makan secara terpisah-pisah. Semuanya makan bersama-sama
di dapur umum.
"Kalian benar-benar beruntung!"
seru Chev, pemimpin garis depan kami, pada suatu rapat malam hari. "Begitu
kalian pulang dari bekerja, nasi sudah siap dimasakkan untuk kalian! Tidak ada
yang perlu kalian pikirkan, tidak ada yang perlu dicemaskan. Anak-anak kalian
ada yang mengurus. Orangtua kalian, ada yang mengurus. Semuanya senang!
Segala-galanya disediakan oleh Angka bagi kalian. Kaum muda bahkan tidak perlu
lagi bersekolah! Di bawah Angka, 'sekolah' adalah tempat pertanian. 'Pena' kita
bajak. 'Kertas'nya tanah. Kalian bisa 'menulis' apa saja yang kalian kehendaki.
Segala-galanya bebas. Tidak ada lagi uang sekolah. Kalian tidak perlu membayar untuk
apa pun juga sekarang.
"Kalian benar-benar beruntung!"
katanya. "Di bawah rezim Lon Nol yang paling fasis,
imperialis, dan feodalis, kalian tertindas! Kalian tidak pernah tahu apa itu
kebahagiaan! Waktu itu kalian bukan tuan di negeri kalian sendiri! Kalian budak!
Di mana-mana ada korupsi! Pedagang-pedagang rakus dan kaum militer fasis
menguasai negara! Kini, di bawah kekuasaan Angka yang cemerlang, kalian menjadi
tuan atas nasib kalian sendiri. Kalian tuan atas air dan tanah. Segenap rakyat yang
bersaru dalam solidaritas, bergabung membangun negara. Hidup sekarang lebih
baik. Tidak ada lagi korupsi. Tidak ada lagi judi atau pelacuran. Kalian belajar
dari kaum petani dan buruh, yang merupakan sumber dari segala pengetahuan yang
berguna. Hanya kaum petani dan buruh saja yang memilikinya. Para bhiksu tidak
memilikinya. Satu-satunya orang yang bijaksana ialah orang yang tahu bagaimana
caranya menanam padi."
Khmer Merah bermaksud mengubah
masyarakat secara radikal, dari atas sampai ke dasar-dasarnya. Sudah tidak ada
lagi segala-galanya yang mengatur kehidupan di masa silam. Lon Nol sudah tidak
ada lagi, berangkat dengan pesawat terbang ke Amerika sebelum rezimnya jatuh. Sihanouk
tidak ada lagi, entah bagaimana nasibnya. Bhiksu-bhiksu sudah tidak ada lagi.
("Bhiksu- bhiksu itu imperialis pengisap darah. Jika ada pekerja yang
secara sembunyi-sembunyi mengantarkan beras kepada mereka, orang itu akan kami suruh
menanam kubis. Jika kubisnya tidak bisa di panen
dalam waktu tiga hari, ia akan menggali kuburannya sendiri.") Keluarga-keluarga
dicerai beraikan, anak-anak dan orang-orang yang sudah berumur dikirim untuk
hidup dalam kelompok mereka yang tersendiri. Kota-kota tidak ada lagi. Tidak ada
lagi pasar, toko, restoran, atau kedai minum. Tidak ada lagi bus milik pribadi,
begitu pula halnya dengan mobil atau sepeda. Tidak ada sekolah. Tidak ada buku
atau majalah. Uang tidak ada. Jam tidak ada. Liburan dan perayaan keagamaan tidak
ada. Yang ada hanya matahari yang terbit dan terbenam, bintang-bintang pada
malam hari dan hujan yang turun dari langit. Dan kerja. Segala-galanya adalah
kerja, di daerah pedesaan yang lengang dan terbelakang.
Sebagai penggami rezim yang lama,
terdapat pemerintahan baru yang lapisan atasnya hanya bisa diduga-duga saja.
Angka - siapa pun juga Angka itu - berada pada posisi paling atas. Mestinya Angka
itu seseorang atau sekelompok manusia, tapi kebanyakan dari kami merasa lebih gampang
membayangkan bahwa Angka itu sesuatu yang
mahakuasa, semacam figur dewa. "Angka memiiiki mata yang banyak, seperti
nanas," kata Chev kepada kami, mengulangi suatu semboyan rezim baru itu
yang sering disebut-sebut. "Di mana pun juga bisa
melihat. jadi kalian harus berkelakuan benar." Misteri yang menyelubungi identitas
Angka menyebabkan semakin besar kekuasaannya, karena" Angka" juga
berarti rezim pada segala lapisan, mulai dari pemimpin yang paling
tinggi sampai dengan mata-mata yang paling rendah. Chev bahkan kadang-kadang
mengatakan bahwa kami pun Angka.
Di bawah pejabat-pejabat yang paling
tinggi ada (menurut perkiraanku) suatu lapisan yang terdiri dari
pemimpin-pemimpin tingkat zone, yang kurang-lebih serupa dengan propinsi pada masa
prarevolusi. Kawasan yang dulu merupakan Propinsi Battambang, kini menjadi
sebagian dari Zone Barat Laut. Aku tidak tahu siapa pemimpin zone kami, tapi
pejabat lokal tertinggi yang merupakan bawahannya adalah seseorang yang nampak
lewat dengan cepat dalam jip di jalan-jalan tak beraspal pada saat-saat ia
mengadakan perjalanan inspeksi, selalu duduk di samping sopir. Aku pernah
beberapa kali melihat orang itu, duduk dalam jip dengan lengan dikeluarkan dari
jendela dan tangan terletak di atas kap. Tapi aku tidak pernah bisa melihat
wajahnya, karena kurang dekat. Di bawahnya dalam hierarki administrasi sipil
adalah Kawan Ik, lelaki tua yang menunggang kuda, yang berbicara pada kami sewaktu
di Phum Chhleav. Para pemimpin desa berada di bawah Kawan Ik. Pemimpin desa Phum
Phnom dan pengawas perkampungan yang diketuai oleh Youen adalah Chev; tapi dia
ini juga memegang peranan lain yang sejajar kedudukannya, yaitu pemimpin
koperasi kami di garis depan. Para pemimpin desa yang lain-lainnya di situ serta
beberapa gelintir pemimpin militer yang ada bertanggung-jawab kepadanya. Di
bawah orang-orang ini terdapat para. pemimpin
keIompok, yang biasanya bukan orang Khmer Merah melainkan orang-orang
"lama" yang dipercayai. Di bawah pemimpin kelompok terdapat pemimpin-pemimpin
regu, dan mereka ini biasanya orang "baru" yang mengarur kegiatan
kerja sekitar sepuluh orang "baru" scperti aku.
Kadang-kadang, sementara aku sedang
berdiri di pinggir saluran dengan cangkul di tangan, mau tidak mau aku harus
mengakui bahwa Angka, organisasi itu, memang telah melaksanakan reorganisasi di
daerah pedesaan. Ketika perebutan kekuasaan belum terjadi, takkan ada orang
yang menyangka bahwa daerah pedesaan akan kelihatan seperti sekarang ini, di
mana beribu-ribu orang berbaris satu-satu, pergi bekerja dalam iring-iringan yang
tertib. Dan Angka tidak hanya menentukan tugas-tugas saja, tapi juga
menyodorkan suatu falsafah lengkap, yang sebagian daripadanya nampaknya memang
benar (tindak-tindak korupsi di bawah rezim Lon Nol memang keterlaluan), dan
bagian-bagian lainnya ditujukan untuk membangkitkan semangat patriotisme (kita perlu
membangun kembali negara seusai perang saudara). Lewat alat-alat pengeras suara
yang dipasangkan ke tiang-tiang dekat dapur umum, para pemimpin kami yang baru
memperdengarkan musik gaya baru yang berkumandang sampai jauh ke tengah sawah.
Dan apabila aku mendengar musik mars itu, dengan iramanya yang gagah dan bersemangat,
apabila kulihat bendera merah yang besar-besar
berkibar ditiup angin dan tidak terlalu kuteliti manusia-manusia yang berjalan
beriring-iring, maka mau tidak mau aku lantas merasa percaya - setidak-tidaknya
selama beberapa saat - bahwa Khmer Merah ternyata memang berhasil. Mereka
berhasil merombak wujud negeri, disesuaikan dengan rencana mereka yang tidak setengah-setengah.
Individu mereka lenyapkan, kecuali selaku sawan dalam kelompok. Mereka berikan
kami "agama" baru yang harus kami jadikan objek kebaktian, dan
"agama" itu adalah Angka.
Tapi jika kuperhatikan dengan lebih
teliti, ilusi itu langsung buyar. Orang-orang yang bekerja dalam saluran air nampak
capek, kurang gizi, dan pakaian mereka compang-camping. Seperti diriku. Cangkul
mereka bergerak naik-turun dengan lamban, tanpa tenaga, dan wajah-wajah mereka mencerminkan
keputusasaan dan kepedihan hati.
Dengan melihat sepintas saja sudah bisa
diketahui bahwa negeri ini sudah berpaling ke arah yang salah.
Khmer Merah memaksa-maksakan kebenaran keyakinan
mereka sendiri sampai seekstrem-ekstremnya, dan dengannya menyebabkan keyakinan
itu menjadi kebohongan. Mereka menghendaki agar kami bekerja-lalu mereka
memaksa kami bekerja begitu keras sehingga apa yang kami hasilkan makin lama
makin berkurang. karena kondisi kami sudah lemah. Mcreka ingin membersihkan Kamboja
dari segala-galanya yang bukan Khmer. Budha bukan dari
Khmer, ia dari India; mereka lantas menghancurkan kuil-kuil Budhis. Kota- kata
terlalu tercemar oleh gaya imperialis Barat, dan karenanya mereka ingin
menyuruh kami pergi meninggalkannya. Mereka melenyapkan segala-galanya yang
bukan bercorak Kamboja. Tapi mereka munafik. Selain warna kulit mereka yang
coklat, segala-galanya ada pada Khmer Merah sebenarnya asing, dari Cina.
Ideologi mereka comot dari Mao Tse-tung, seperti misalnya konsep loncatan ke
depan. Menyuruh para intelektual pergi ke daerah pedesaan untuk belajar dari
kaum petani merupakan gagasan Revolusi Kebudayaan Cina. Senjata AK-47 dan topi
mereka yang berwarna hijau pudar, begitu pula kendaraan truk mereka, berasal
dari Cina. Bahkan musik yang mereka
perdengarkan lewat alat-alat pengeras
suara pun musik Cina, hanya kata-katanya
saja yang dalam bahasa Khmer.
Kekuatan Khmer Merah yang paling besar
terletak di bidang propaganda. Mereka tahu bahwa dusta kecil bisa ketahuan, dan
lebih mudah untuk membuat orang percaya kepada kebohongan besar. Sistem mereka
begitu berbeda dari apapun juga yang pernah kami kenal, dan begitu serba
lengkap, sehingga kami menurut saja tanpa tahu bagaimana caranya melawan. Dan
apabila kami diizinkan berbicara secara terbuka, hal mana tidak diperbolehkan -
dan jika kami melakukan juga, kami akan mereka ikat dan digiring pergi
- sulit sekali rasanya menjawab kata-kata mereka secara sepadan dengan argumentasi
kami sendiri. Karena takkan ada gunanya. Misalnya saja dengan berbisik-bisik
kukatakan kepada Huoy bahwa pemerimah yang menindas sekian banyak rakyatnya
seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah, lambat-laun akan menjadi lemah dengan sendirinya.
Itu bisa kukatakan kepadanya dengan keyakinan akan kebenaran kata-kataku itu,
dan Huoy akan sependapat dengan aku, tapi bagi kami itu sama sekali tidak ada
gunanya. Apabila aku dan Huoy sudah selesai berbisik-bisik, rezim itu masih
tetap saja ada dan kami masih tetap menggali dengan cangkul kami; kami masih
akan tetap merasa capek dan lapar, tanpa bisa ingat kapan kali terakhir kami
merasa tidak seperti saat itu. Tidak ada jalan keluar dari situasi yang kami alami.
Kami tinggal mengetahui dalam hati sanubari kami bahwa kami diperlakukan dengan
semena-mena.
Di garis depan ada satu klinik
pengobatan. Para perawat di situ mempergunakan jarum-jarum suntik yang kotar.
Mereka bersikap masa bodoh jika pasien mereka mati. Saat makan ketika aku kebetulan
ke sana, kudengar salah seorang perawat itu berseru kepada rekannya, “Budak-budak
perang sudah kauberi makan?” Kata-kata itu diucapkan secara iseng, tapi aku
telap ingat karena itu dengan tegas sekali menjelaskan apa sebenarnya Khmer
Merah itu. Segala omongan tentang kedudukan sebagai kawan yang sederajat dalam masyarakat
yang tidak mengenal kelas-kelas, membangun negara dengan tangan sendiri dan berjuang
untuk mencapai kemerdekaan berdaulat, semuanya tidak ada artinya sama sekali.
Khmer Merah telah mengalahkan kami dalam perang saudara. Kami budak mereka,
sebagai hasil kemenangan perang. Itulah hakikatnya. Mereka melakukan balas
dendam. Dan di garis depan, siang dan malam, mereka mengatur kehidupan kami dengan
bunyi lonceng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar