Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Rabu, 09 Januari 2013

Neraka Kamboja - Bab 17 : Reorganisasi

17REORGANISASI


YOUEN, kepala perkampungan kecil di luar desa Phum Phnom itu, bukan orang yang banyak kemampuannya. la tahu bagaimana caranya bertani, ia tahu caranya mematuhi perintah, tapi ia tidak bcgitu pintar atau kuat. Meski begitu, ia telah mengatakan mau melindungi aku dan Huoy, dan selama itu dilakukannya kami akan mematuhinya.

Perkampungan kecil yang diketuainya itu penuh dengan orang "lama". Tidak banyak yang berubah di situ sejak masa sebelum perang, meski kekacauan revolusi terjadi di mana-mana di sekelilingnya. Di Phum Phnom yang jaraknya dari situ hanya beberapa menit saja berjalan kaki, terdapat markas Khmer Merah untuk daerah itu. Pada arah yang Iain terletak Phum Chhleav, tempat yang kami tinggalkan tanpa perasaan berat; dan entah di mana, pada arah yang ketiga, terdapat "garis depan" yang misterius itu, yang olehku dan Huoy sebisa-bisanya hendak dihindari.

Sebagai imbalan pengayoman yang diberikan oleh Youen, aku dan Huoy menjadi pelayannya. Kami bekerja di rumahnya, dan juga di rumah saudara perempuan dan anak perempuannya yang tidak jauh tempatnya. Huoy membantu di dapur dan melakukan tugas-tugas lain di dalam rumah. Aku menyapu pekarangan, mengisi gentong-gentong tempat air dan menggembalakan sapi-sapi di sawah yang sudah selesai dipanen. Apabila lewat di depan salah seorang anggota keluarga Youen, aku membungkuk dalam-dalam. Apabila orang itu sedang duduk pun, aku mengusahakan agar posisi kepalaku lebih rendah dari mereka. Itu cara yang biasa bagi pelayan di Kamboja untuk menunjukkan sikap hormat terhadap majikannya.

Sebenarnya mengherankan, apa yang terjadi dengan diri kami. Di Phnom Penh, dalam kedudukanku sebagai dokter, tak kan mungkin terjadi aku membungkukkan diri di depan petani buta huruf seperti halnya Youen. Dia yang akan membungkukkan tubuh di hadapanku. Kini segala- galanya terbalik. Aku menyuguhkan air kepadanya dengan mata tertunduk, dan dengan mangkuk kupegang dengan kedua tangan. Aku menyapanya dengan sebutan "Pak". Sejauh yang diketahui oleh Youen beserta keluarganya, aku ini Samnang, bekas sopir taksi. Istriku bernama Bopha. Itulah identitas kami waktu itu. Baik siang maupun malam aku dan Huoy terus memainkan peranan kami itu, kecuali jika yang ada hanya kami berdua saja; dan saat itu pun kami berbicara dengan berbisik-bisik, agar jangan sampai ada orang lain mengetahui siapa diri kami yang sebenarnya.

Anehnya, aku dan Huoy merasa bahagia. Kami waktu itu seperti orang yang jatuh dari atas tebing dan kemudian tersangkut pada suatu bagian dinding tebing itu yang menonjol ke luar. Kami menjadi terbiasa dengan posisi di tempat itu dan tidak berkeluh-kesah bahwa kedudukan kami menjadi lebih rendah dari semula. Kami bersyukur, tidak jadi terbanting kc dasar tebing. Kehidupan kami masih lumayan. Kami tidak harus kerja membanting tulang. Dan keadaan kesehatan kami membaik, karena bisa makan nasi dalam jumlah memadai.

Ketika kami baru saja ditampung oleh Youen, kami diberinya beras beberapa kaleng yang berasal dari persediaannya pribadi. Kemudian dimasukkannya nama-nama kami dalam daftar rangsum. Itu merupakan langkah pertama untuk menjadikan kami anggota tetap dalam perkampungan yang diketuainya.

la menyuruh aku pergi ke depot Khmer Merah untuk mengambil jatah beras pembagian. Aku kembali dengan langkah terhuyung-huyung tapi sambil tersenyum gembira, memanggul karung isi gabah sebanyak 25 kilogram. Bayangkan, mendapat begitu banyak bahan pangan dari Khmer Merah! Bayangkan saja, mengetahui bahwa persediaan makanan kami mencukupi untuk berminggu-minggu!

Saudara perempuan Youen, namanya Yin, meminjamkan alat penggiling beras. Kucurahkan gabah ke dalam alat itu lalu kuputar engkolnya menggiling gabah itu di antara dua batu pipih. Hasilnya yang keluar campuran beras putih dan sekam, ditambah butir-butir beras yang pecah. Kemudian Huoy menampi beras yang masih tercampur sekam itu. Ia baru sekali itu melakukannya, tapi ternyata pekerjaan itu tidak begitu sulit.

Beras itu kini sudah bisa dimasak, tapi masih ada butir-butir yang diselaputi dedak berwarna coklat. Yin mengajari kami cara menumbuk beras dengan menggunakan sebuah peralatan tua yang terdapat di pekarangan rumah Youen. Bentuknya seperti alu dan lumpang, dengan perbedaan bahwa alu penumbuknya disambungkan dengan tuas yang digerakkan dengan kaki.

Segala pekerjaan itu merupakan barang baru bagi Huoy, yang seperti kebanyakan orang kota biasa membeli beras putih di pasar. Tapi begitu beras sudah selesai ditumbuk, selanjutnya merupakan urusan yang sudah biasa dilakukannya. Ia memasukkan beras ke dalam panci lalu membersihkannya dengan air. Dipungutinya kulit padi dan kotoran lain-lainnya yang mengambang. Setelah itu air diganti dengan yang bersih. Di ukurnya dengan telunjuk tinggi air yang menggenangi beras, lalu ditutupnya panci dan ditaruhnya di atas api. Ketika air sudah benar-benar mendidih, ditariknya kayu bakar ke luar sedikit dari bawah tungku untuk mengurangi panas nyala api sehingga air yang sudah mendidih itu tidak lagi nampak menggelegak. Panci ditutup sampai air yang berlebih sudah menguap semua dan pada permukaan nasi yang sudah masak nampak lubang- lubang dari mana uap mengepul.

Nasi yang dimasaknya itu benar-benar seperti seharusnya: berbau wangi, butir-butirnya tidak lengket, tidak lembek tapi juga tidak terlalu kering. Sebelum makan, Huoy mengambil tiga batang hio dari bungkusan barang-barang bawaan kami dan menyalakannya untuk menghormati arwah ibunya. Kedengaran suaranya berdoa sambil melambai-lambaikan hio yang dijepitnya di antara kedua telapak tangan sebanyak tiga kali, menurut adat kebiasaan cina. "Kami sekarang sudah punya makanan yang baik, Emak," katanya. "Kami terkenang pada Emak, dan rindu padamu, Emak dululah yang makan,"

Sesudah menyajikan persembahan itu kami pun mulai makan. Kami tidak punya apa-apa sebagai teman nasi, tapi kami tidak peduli. Kami makan saja terus. Kami makan begitu banyak sampai perut terasa sakit, dan kami tetap saja merasa bahagia.

*************

Sesudah lama kami masuk dalam daftar ransum, saudara perempuan Youen, Yin, menyarankan agar kami mengambil langkah berikut umuk bisa menjadi penduduk tetap, dan itu adalah membangun rumah. Saat itu aku berdiri bersama dia dan Youen di pekarangan rumah Youen, di samping sebatang pohon. Di bawah pohon itulah aku dan Huoy selama itu tidur pada malam hari Aku tidak mengatakan apa-apa, karena itu tidak sepatutnya kulakukan. Dengan sembunyi-sembunyi aku memperhatikan Yin. Wanita itu mengesankan penampilannya: janda cerai, berumur empat puluhan, perokok yang bersuara serak, dengan lengan yang kekar seperti lengan pria. Tenaganya lebih besar daripada Youen, lebih cerdas, dan lebih berpembawaan pemimpin. Youen menggaruk-garuk kepalanya, sementara saran saudara perempuannya agar aku membangun rumah dengan lambat-lambat masuk ke dalam benaknya.

Yin tidak sabar menunggu. Ia berkata, "Jika Samnang tidak tahu bagaimana caranya membuat rumah yang baik , nanti akan kutunjukkan." Sambil berbicara diambilnya sebuah kapak dan disodorkannya sebuah kapak lagi ke tanganku, lalu beranjak pergi dengan langkah-langkah cepat. Aku memandang sebentar ke arah Youen. Melihat dia mengangguk, aku buru-buru menyusul Yin.

Kuikuti wanita itu melintasi petak-petak sawah, masuk ke dalam hutan. Betisnya besar berotot dan kakinya lebar dengan jari-jari yang renggang. Aku kerepotan mengikuti langkahnya. Akhirnya kami sampai di suatu kerumunan pepohonan yang lebat di kaki sebuah bukit, lalu berhenti di situ. Yin berdiri dengan sikap mengangkang agar bisa bergerak dengan leluasa. Dipilinnya tepi bawah sarungnya yang scbelah depan lalu ditariknya ke belakang lewat selangkangan dan diselipkannya ke tepi atas sarung di punggung. Dengan begitu sarung itu menjadi seperti celana pendek, menampilkan pahanya yang gempal. Yin mengayun kapaknya. la menebang sebatang pohon. Aku mengikutinya, tapi kuperlukan waktu yang lebih lama sampai pohon yang kutebang itu roboh. Yin memperhatikan dengan pandangan kritis sementara aku menyingkirkan ranting dan dahan dari batang pohonku. Kemudian kami gotong batang-batang pohon itu kembali ke kampung. Sebentar-bentar aku berhenti dan meletakkan batang yang kupikul ke tanah untuk beristirahat. Tapi Yin berjalan terus dengan enaknya tanpa pernah mengubah kecepatan langkahnya, sambil memanggul batang kayu, dengan rokok yang sudah dihisap separuh terselip di balik telinga.

Keesokan harinya kami masuk lagi ke hutan, mengumpulkan kayu yang akan dipakai untuk membangun rumah. Sambil berjalan di depan, Yin bicara padaku. Kalian makan dan makan saja sampai akhirnya tidak ada lagi yang tersisa," katanya. "Nanti kalian tidak punya benih yang bisa ditanam tahun depan." Aku diam saja, sebab takut bahwa aku dan Huoy menyinggung perasaannya karena memakan beras persediaan kami tanpa mengenal kata hemat. Tapi kemudian kusadari bahwa Yin berbicara tentang orang "baru" pada umumnya, dan secara tidak langsung mengccam rezim.

Rupanya Yin memperhatikan iring-iringan orang yang disuruh pindah dari Phum Chhleav . “Aku melihat kalian berjalan lewat, menuju garis depan. Belum pernah kulihat begitu banyaknya orang sakit. Belum pernah," katanya dengan suaranya yang menggerutu. "Aku bingung melihat keadaan sekarang ini. Dulu, orang yang bekerja akan mendapar bayaran. Uang itu bisa dibawa ke pasar dan dibelikan obat-obatan. Menyembuhkan diri sendiri. Tapi sekarang ini tidak. Pasar tidak ada. Tidak bisa membeli apa-apa. Uang juga tidak ada. Pemerintah yang baru, uang saja pun tidak punya."

Yin berpaling seperti hendak mengatakan sesuatu lagi. Batang kayu yang ada di pundaknya ikut terayun seolah-olah bukan apa-apa. Ia menatapku dengan mata terpicing. Napasku memburu. "Belum pernah kulihat makanan seperti tajin encer yang mereka berikan pada kalian. Hampir tidak ada nasinya, hanya air saja. Orang-orang seperti kalian jadi lemah dan kurus. Jika lemah kalian tidak banyak gunanya." Aku memandang tubuhku sendiri. Aku terpaksa membenarkan pendapatnya itu. Kemejaku tidak kukancingkan dan bisa kulihat tulang-tulang rusukku bertonjolan.

"Ya," kataku merendah, "memang benar makanan yang kami terima tidak selalu mencukupi. Tapi Angka mengatakan kita harus berkorban sampai negara sudah berhasil kita bangun.”

Yin menatapku seakan-akan aku orang yang dungu, lalu ia meludah ke samping. "Di sini dulu lebih banyak padi yang ditanam," katanya. "Jauh lebih banyak. Sekarang, orang-orang yang tinggal di sini tidak lagi bekerja sekeras dulu. Tidak ada alasan untuk itu. Tidak bisa menanam apa yang ingin mereka tanam. Tidak bisa makan kapan mereka mau. Jadi mereka lantas menanam lebih sedikit. Masalahnya, sekarang lebih banyak orang yang harus diberi makan. Seperti kau dan binimu."

"Bibi Yin," kataku, menggunakan bentuk sapaan sopan dari masa scbelum revolusi, "aku minta maaf, tentang makanan yang kumakan bersama biniku. Kami tidak bermaksud membebani." "Bukan salahmu. Nak. Angka yang mengatur segala-galanya di sini. Angka yang memiliki semua sawah. Semuanya milik mereka. Aku menanam pohon-pohon mangga - aku harus minta izin pada Angka untuk memetik buahnya. Belum pernah kualami pemerintahan yang seperti ini.”

Yin terus berjalan sambil menggeleng-geleng. "Belum pernah kualami pemerintah seperti begini." katanya mengulangi, lalu meludah lagi.

Aku bergegas di belakangnya, sambil terscnyum sendiri. Omelannya yang bernada skeptis itu menandakan bahwa ia berakal sehat. Yin bisa tinggal di rumahnya, tanpa perlu pergi ke garis depan. Ia tidak menderita kelaparan. Meski begitu ia tetap saja tidak suka pada revolusi itu. Hatiku terlipur karenanya.

Ketika sudah cukup banyak kayu yang kutebang bersama Yin unruk dijadikan kerangka rumah, kami kemudian pergi mengumpulkan gelagah yang tumbuh di pinggiran sawah. Kami membuat bahan untuk atap dan dinding dengan jalan menganyam gelagah yang diberkaskan. Dengan segera rumah itu sudah selesai dibangun, sebuah rumah yang kokoh, tidak bocor, dan terdiri dari satu ruangan. Bangunannya tidak indah, tapi jauh lebih baik ketimbang gubuk di Phum Chhleav dan juga lebih baik daripada gubukku yang pertama dulu, di Tonle Bati. Aku dan Huoy pindah ke rumah itu. Buku-buku kedokteranku serta barang-barang lainnya yang tidak kami inginkan diketahui oleh orang lain kami kuburkan di dalam tanah yang merupakan lantai rumah, lalu di atasnya kami hamparkan lembaran plastik putih kami.

Dengan adanya rumah itu kami menjadi penduduk perkampungan yang diketuai oleh Youen. T api aku berperasaan bahwa situasi kami takkan bisa terus begitu. Dari waktu ke waktu datang orang-orang kurus kering, sisa-sisa rombongan perpindahan besar-besaran yang tercecer, dalam keadaan sakit seperti halnya orang yang pernah tinggal di Phum Chhleav. Dan Khmer Merah sibuk terus di sekitar perkampungan pimpinan Youen. Setiap hari ada saja kurir yang lewat dengan sepeda atau sepeda motor, datang dari markas mereka di Phum Phnom atau menuju ke sana. Para pemimpin mereka lewat menunggang kuda atau naik jip. dalam perjalanan inspeksi berkeliling. Khmer Merah punya rencana-rencana Desar. Mereka sedang memobilisasikan segenap kawasan pedesaan.

Dengan cepat tibalah hari yang kutakuti selama itu. Youen menyuruh semua yang tinggal di rumah-rumah yang dekat agar berkumpul, lalu mengumumkan, "Angka memerlukan semua suami- istri yang tidak punya anak untuk diberangkatkan ke garis depan."

Kami terpukul mendengar kabar itu. Aku dan Huoy mengira bahwa antara kami dan Youen sudah ada pengertian. Kami sudah menjadi pelayannya. Kami bekerja padanya. Mestinya ia melindungi kami.

Youen mengatakan bahwa kami harus berangkat, bersama sepasang suami-istri lain. "Bersiap-siaplah," katanya padaku. "Mereka mengatakan bahwa kalian harus membawa tempat tidur gantung, cangkul, tali, dan juga keranjang untuk mengangkut tanah. Selain itu tidak ada lagi yang kalian perlukan."

Aku merasa dikhianati. "8agaimana aku bisa pergi ke garis depan?" kataku padanya. "Tidak satu pun alat-alat itu kumiliki. Macam-macam saja. Aku tidak mau pergi."

Youen tidak menyangka bahwa aku akan berani Membantah, dan balasannya tidak datang dengan segera. "Yah, mungkin kalau sudah di garis depan nanti kau akan bisa memperoleh apa yang kauperlukan dari Angka," katanya.

"Tidak. Aku memerlukan alat-alat itu di sini," kataku. Secara tidak langsung, aku menolak perintah dan juga membangkang terhadapnya. Selain itu, aku juga tahu hahwa Youen punya anak laki-laki yang sudah menikah tapi belum punya anak. Youen tidak menyuruh anaknya sendiri pergi. Ia melindungi aku dan Huoy selama beberapa waktu, tapi ketika ia mengalami penekanan, kami disuruhnya pergi.

Youen memperkeras suaranya, berbicara pada semua yang berkumpul di situ. "lni peraturan Angka, bukan peraturanku. Semua yang diharuskan pergi, mesti pergi!"

Aku dihampiri oleh Yin. Ia membelakangi Youen agar saudaranya itu tidak bisa mendengar. "Kami tidak punya pilihan lain, Nak," bisiknya. "Aku tidak ingin mengusirmu. Aku ingin kau bisa tetap tinggal di sini. Kau dan binimu orang baik-baik. Tapi sungguh, kau harus menurut. Jika kau tidak mau menurut, itu akan menimbulkan kesulitan bagi semuanya."

Aku tahu bahwa ia benar. Yin itu wanita yang berakal dan baik hudi, dan aku sangat hormat terhadapnya. Tapi aku tetap saja membangkang sampai Youen memberi bekal dua karung goni yang sudah usang untuk nanti dijadikan tempat tidur gantung, serta sebuah cangkul dan seutas tali. Aku lantas meminta lagi sebuah cangkul dan juga keranjang-keranjang. Aku melakukannya bukan karena beranggapan bahwa pasti ia akan mau, tapi untuk mengulur-ulur waktu. Huoy sedang di dalam rumah, mengeluarkan barang-barang milik kami yang disembunyikan di dalam tanah. Ketika akhirnya ia muncul lagi dengan membawa barang-barang kami, sudah tidak ada lagi bonheur antara aku dan Youen. Tapi aku tidak peduli.

Aku dan Huoy bersiap-siap berangkat, bersama suami-istri yang sepasang lagi. Sementara itu sudah datang serdadu-serdadu membawa senapan yang akan mengawal kami ke tempat tujuan. Mereka memberi isyarat kepada kami agar segera berangkat. Kami mulai berjalan dengan langkah-langkah lambat, menempuh jalan menuju selatan, untuk menggabungkan diri kembali dalam eksperimen reorganisasi sosial yang sedang dijalankan oleh Khmer Merah.

************

Tidak sampai satu jam kami berjalan kaki. Punggung gunung yang besar di arah sebelah belakang stasiun kereta api Phnom Tippeday masih tetap kelihatan. Tapi kami kini berada di sisi sebaliknya, dan dari tempat kami tidak nampak kuil yang ada di dataran sebelah sana. Waktu itu aku belum tahu bahwa kami akan tetap berada di situ selama tiga tahun yang berikut. Tidak satu pun tempat di mana kami pernah berada di kawasan situ - mulai dari stasiun kereta api di Phnom Tippeday, lalu Phum Chhleav di mana aku dipekerjakan menarik bajak. kemudian Phum Phnom di mana terdapat markas Khmer Merah - atau tempat-tempat yang kemudian kami datangi, kamp-kamp kerja yang berpindah-pindah sepanjang garis depan, tidak ada satu tempat pun yang letaknya lebih jauh dari beberapa jam berjalan kaki. Dunia kehidupan kami yang baru itu berukuran sekitar lima belas kilometer persegi. Kami dibawa oleh serdadu-serdadu yang mengawal ke sebuah bukit kecil di mana "koperasi" - begitu istilahnya - garis depan menempatkan dapur lapangan, gudang-gudang, dan bangunan-bangunan administrasinya. Kepada kami diberikan peralatan selebihnya yang kami perlukan, lalu disuruh ke sebuah bukit kecil lain yang berhutan, tempat kami nanti tidur.

Dengan jari-jarinya yang cekatan, Huoy membuat tempat tidur gantung untuk dua orang dari karung-karung goni yang diberikan oleh Youen. Tempat tidur itu kami gantungkan di antara dua batang pohon, lalu kami bentangkan kelambu di atas untuk menyelubunginya agar kami terlindung dari gangguan nyamuk, agas, dan lalat. Kami merupakan bagian dari satu kelompok yang terdiri dari sekitar dua ratus pasangan suami-istri orang "baru"; ada beberapa yang punya anak, tapi kebanyakan hanya berdua. Antara dua sampai tiga ribu orang "baru" lainnya berkemah di bukit-bukit kecil sekitar tempat kami itu, di persawahan yang kering.

Koperasi kami terutama bertugas menggali saluran-saluran umuk keperluan irigasi dan pengendalian air. Sekitar seminggu sekali lokasi operasi dipindahkan, mengikuti perkembangan kerja membuat terusan. Setiap hari kami mencangkul terus selama hari masih terang, dan biasanya masih lama lagi sesudah itu. Malam hari kami menghadiri rapat politik. Belum pernah aku bekerja begitu keras seperti waktu itu. Tidur dan makan pun belum pernah sesedikit itu. Kami tidak mengenal libur, tidak ada hari besar, tidak ada perayaan.

Di garis depan itulah untuk pertama kalinya aku baru sungguh-sungguh memahami rencana jangka panjang Khmer Merah dalam melakukan reorganisasi terhadap masyarakat Kamboja. Mereka membawa kami ke arah itu dalam dua tahapan: yang pertama dengan langkah pengosongan kota-kota, lalu dengan secara berangsur-angsur memperketat peraturan-peraturan, dan kemudian dengan pemindahan penduduk secara besar-besaran untuk kedua dan ketiga kalinya, jika itu dianggap perlu. Pada bulan Februari 1976, di garis depan, mereka mencoba mempraktekkan teori-teori revolusioner mereka dalam bentuknya yang paling murni.

Konsep pokok untuk masyarakat baru menurut teori mereka adalah "kemerdekaan berdaulat"; itulah yang selalu mereka katakan pada kami dalam acara-acara propaganda. Bagi Kampuchea Demokratik, ini berarti bebas sepenuhnya dari negara-negara lain - bebas dari bantuan mereka, dan bahkan dari pengaruh kebudayaan mereka. Kita, orang Khmer, mampu bangkit sendiri. Dengan jalan melakukan reorganisasi dan pengendalian kekuatan rakyat kita serta dengan menyingkirkan semua yang bisa mengganggu pemusatan perhatian pada tugas kerja kila, kita akan bisa dengan segera menjadi negara maju. Dan perkembangan pesat itu, yang diistilahkan dengan "loncatan besar ke depan", menghendaki adanya "pemahaman revolusioner yang benar" dari kami mengenai sekian banyak konsep dan istilah lain-lainnya. Bagi kami, itu nyaris seperti belajar bahasa yang baru.

Misalnya saja konsep "perjuangan". Sejak saat terjadinya perebutan kekuasaan di Phnom Penh aku sering mendengar tentang "perjuangan", tapi sesudah berada di garis depan barulah aku scpenuhnya memahami bagaimana pertalian istilah itu dengan ideologi yang selebihnya. "Perjuangan" merupakan kata yang berasal dari kamus militer, scperti halnya "garis depan". Kata itu mencerminkan pemikiran bahwa negara masih dalam keadaan perang. Kami di garis depan bukan cuma bekerja saja, kami "berjuang", atau kalau tidak, "melancarkan ofensif". Kami dikehendaki agar "berjuang unruk membudidayakan sawah dengan giat", "berjuang menggali saluran air dengan keberanian yang besar" , "berjuang membuka hutan", dan bahkan "berjuang untuk mengatasi masalah pupuk". Kami diharuskan "melancarkan ofensif untuk menanam tanaman-tanaman strategis" dan "melancarkan ofensif untuk melaksanakan tugas dengan semangat revolusioner".

Tujuan segala perjuangan dan pelancaran ofensif ini adalah "kemenangan", dan "penguasaan”. Kami harus "mencapai kemenangan menaklukkan keadaan alam". Kami akan menjadi "penguasa sawah, ladang, dan hutan", "penguasa air dan tanah", "menguasai masalah banjir".

Untuk menjadi penguasa, untuk mencapai "loncatan besar ke depan", kami harus berkorban. itu berarti bekerja keras tanpa berkeluh-kesah, tidak peduli rintangan apa pun juga yang dihadapi. Tidak ada keluh-kesah, meski kami harus bekerja delapan belas atau dua puluh jam sehari, dengan makanan hanya air tajin yang encer. Mereka menghendaki agar kami menjadi orang-orang yang tahunya cuma bekerja keras tanpa pernah mengendurkan semangat. Mereka menginginkan kami menjadi orang-orang revolusioner yang fanatik. Seperti kata-kata sebuah lagu yang terdengar lewat radio Khmer Merah, "Kita tidak takut pada malam, siang, angin, badai, hujan dan sakit. Dengan gembira kami berkorban demi Angka untuk menunjukkan dukungan kami pada Revolusi.”

Kami harus melepaskan segala-galanya yang berasal dari rezim lama, termasuk harta benda. "Buang semua barang Barat yang masih ada pada kalian," kata seorang kader kepada kami. "Sebab jika barang-barang itu tetap kalian simpan, pikiran kalian akan masih tetap terpaku pada masa silam dan kalian takkan mampu bekerja keras. Singkirkan rias wajah, pakaian yang macam- macam, buku-buku, emas perhiasan. Semua itu tidak kalian perlukan. Buang pula panci-panci dan segala peralatan lainnya. Jika kalian tidak sanggup menyingkirkan barang-barang itu, itu berarti kalian musuh. Kalian masih tetap tunduk pada kapitalisme, dan bukan berbakti pada masyarakat. Kalian tidak memerlukan harta milik lagi sekarang."

Mereka menghapuskan segala hak milik pribadi. Kini semuanya merupakan milik Angka. Untungnya, peraturan tata-tertib Khmer Merah melarang para serdadu menggeledah kami untuk mencari barang-barang milik pribadi, karena di situlah aku dan Huoy menyimpan emas kami; di situlah semua orang "baru" menyembunyikan barang-barang berharga mereka. Dan buku-buku serta alat-alat kedokteranku tidak pernah bisa mereka temukan karena aku menyembunyikannya dalam lubang yang kugali di tanah. Tapi mereka menggeledah bawaan kami. Ketika kami kembali dari bekerja, ternyata ada sejumlah barang yang hilang: beberapa lembar blus dan sampot milik Huoy yang terbuat dari bahan sutera, sejumlah BH, kotak make-up-nya, sebagian besar pakaian mendiang ibunya serta panci-panci kami, kecuali teko teh, yang boleh tetap kami miliki.

Mereka sudah menghapuskan agama - memaksa para bhiksu melepaskan jubah mereka, menghancurkan patung-patung Budha. Mereka menghendaki agar kami melepaskan segala ikatan pribadi yang ada, karena itu mengganggu kebaktian kami terhadap Angka. Anak-anak diharuskan meninggalkan orangtua mereka, orang-orang yang sudah berumur harus meninggalkan anak-anak mereka, dan jika penugasan kerja menghendakinya, para suami juga harus berpisah dari istri mereka. Dilihat dari sudut pandangan Angka ini merupakan "pembebasan", karena hal itu membuat kami terbebas dari waktu yang diperlukan umuk mengurus orang lain dan memberi kami lebih banyak waktu untuk bekerja. Untuk menambah waktu kerja sampai sebanyak-banyaknya, mereka juga menghapuskan kebiasaan makan secara terpisah-pisah. Semuanya makan bersama-sama di dapur umum.

"Kalian benar-benar beruntung!" seru Chev, pemimpin garis depan kami, pada suatu rapat malam hari. "Begitu kalian pulang dari bekerja, nasi sudah siap dimasakkan untuk kalian! Tidak ada yang perlu kalian pikirkan, tidak ada yang perlu dicemaskan. Anak-anak kalian ada yang mengurus. Orangtua kalian, ada yang mengurus. Semuanya senang! Segala-galanya disediakan oleh Angka bagi kalian. Kaum muda bahkan tidak perlu lagi bersekolah! Di bawah Angka, 'sekolah' adalah tempat pertanian. 'Pena' kita bajak. 'Kertas'nya tanah. Kalian bisa 'menulis' apa saja yang kalian kehendaki. Segala-galanya bebas. Tidak ada lagi uang sekolah. Kalian tidak perlu membayar untuk apa pun juga sekarang.

"Kalian benar-benar beruntung!" katanya. "Di bawah rezim Lon Nol yang paling fasis, imperialis, dan feodalis, kalian tertindas! Kalian tidak pernah tahu apa itu kebahagiaan! Waktu itu kalian bukan tuan di negeri kalian sendiri! Kalian budak! Di mana-mana ada korupsi! Pedagang-pedagang rakus dan kaum militer fasis menguasai negara! Kini, di bawah kekuasaan Angka yang cemerlang, kalian menjadi tuan atas nasib kalian sendiri. Kalian tuan atas air dan tanah. Segenap rakyat yang bersaru dalam solidaritas, bergabung membangun negara. Hidup sekarang lebih baik. Tidak ada lagi korupsi. Tidak ada lagi judi atau pelacuran. Kalian belajar dari kaum petani dan buruh, yang merupakan sumber dari segala pengetahuan yang berguna. Hanya kaum petani dan buruh saja yang memilikinya. Para bhiksu tidak memilikinya. Satu-satunya orang yang bijaksana ialah orang yang tahu bagaimana caranya menanam padi."

Khmer Merah bermaksud mengubah masyarakat secara radikal, dari atas sampai ke dasar-dasarnya. Sudah tidak ada lagi segala-galanya yang mengatur kehidupan di masa silam. Lon Nol sudah tidak ada lagi, berangkat dengan pesawat terbang ke Amerika sebelum rezimnya jatuh. Sihanouk tidak ada lagi, entah bagaimana nasibnya. Bhiksu-bhiksu sudah tidak ada lagi. ("Bhiksu- bhiksu itu imperialis pengisap darah. Jika ada pekerja yang secara sembunyi-sembunyi mengantarkan beras kepada mereka, orang itu akan kami suruh menanam kubis. Jika kubisnya tidak bisa di panen dalam waktu tiga hari, ia akan menggali kuburannya sendiri.") Keluarga-keluarga dicerai beraikan, anak-anak dan orang-orang yang sudah berumur dikirim untuk hidup dalam kelompok mereka yang tersendiri. Kota-kota tidak ada lagi. Tidak ada lagi pasar, toko, restoran, atau kedai minum. Tidak ada lagi bus milik pribadi, begitu pula halnya dengan mobil atau sepeda. Tidak ada sekolah. Tidak ada buku atau majalah. Uang tidak ada. Jam tidak ada. Liburan dan perayaan keagamaan tidak ada. Yang ada hanya matahari yang terbit dan terbenam, bintang-bintang pada malam hari dan hujan yang turun dari langit. Dan kerja. Segala-galanya adalah kerja, di daerah pedesaan yang lengang dan terbelakang.

Sebagai penggami rezim yang lama, terdapat pemerintahan baru yang lapisan atasnya hanya bisa diduga-duga saja. Angka - siapa pun juga Angka itu - berada pada posisi paling atas. Mestinya Angka itu seseorang atau sekelompok manusia, tapi kebanyakan dari kami merasa lebih gampang membayangkan bahwa Angka itu sesuatu yang mahakuasa, semacam figur dewa. "Angka memiiiki mata yang banyak, seperti nanas," kata Chev kepada kami, mengulangi suatu semboyan rezim baru itu yang sering disebut-sebut. "Di mana pun juga bisa melihat. jadi kalian harus berkelakuan benar." Misteri yang menyelubungi identitas Angka menyebabkan semakin besar kekuasaannya, karena" Angka" juga berarti rezim pada segala lapisan, mulai dari pemimpin yang paling tinggi sampai dengan mata-mata yang paling rendah. Chev bahkan kadang-kadang mengatakan bahwa kami pun Angka.

Di bawah pejabat-pejabat yang paling tinggi ada (menurut perkiraanku) suatu lapisan yang terdiri dari pemimpin-pemimpin tingkat zone, yang kurang-lebih serupa dengan propinsi pada masa prarevolusi. Kawasan yang dulu merupakan Propinsi Battambang, kini menjadi sebagian dari Zone Barat Laut. Aku tidak tahu siapa pemimpin zone kami, tapi pejabat lokal tertinggi yang merupakan bawahannya adalah seseorang yang nampak lewat dengan cepat dalam jip di jalan-jalan tak beraspal pada saat-saat ia mengadakan perjalanan inspeksi, selalu duduk di samping sopir. Aku pernah beberapa kali melihat orang itu, duduk dalam jip dengan lengan dikeluarkan dari jendela dan tangan terletak di atas kap. Tapi aku tidak pernah bisa melihat wajahnya, karena kurang dekat. Di bawahnya dalam hierarki administrasi sipil adalah Kawan Ik, lelaki tua yang menunggang kuda, yang berbicara pada kami sewaktu di Phum Chhleav. Para pemimpin desa berada di bawah Kawan Ik. Pemimpin desa Phum Phnom dan pengawas perkampungan yang diketuai oleh Youen adalah Chev; tapi dia ini juga memegang peranan lain yang sejajar kedudukannya, yaitu pemimpin koperasi kami di garis depan. Para pemimpin desa yang lain-lainnya di situ serta beberapa gelintir pemimpin militer yang ada bertanggung-jawab kepadanya. Di bawah orang-orang ini terdapat para. pemimpin keIompok, yang biasanya bukan orang Khmer Merah melainkan orang-orang "lama" yang dipercayai. Di bawah pemimpin kelompok terdapat pemimpin-pemimpin regu, dan mereka ini biasanya orang "baru" yang mengarur kegiatan kerja sekitar sepuluh orang "baru" scperti aku.

Kadang-kadang, sementara aku sedang berdiri di pinggir saluran dengan cangkul di tangan, mau tidak mau aku harus mengakui bahwa Angka, organisasi itu, memang telah melaksanakan reorganisasi di daerah pedesaan. Ketika perebutan kekuasaan belum terjadi, takkan ada orang yang menyangka bahwa daerah pedesaan akan kelihatan seperti sekarang ini, di mana beribu-ribu orang berbaris satu-satu, pergi bekerja dalam iring-iringan yang tertib. Dan Angka tidak hanya menentukan tugas-tugas saja, tapi juga menyodorkan suatu falsafah lengkap, yang sebagian daripadanya nampaknya memang benar (tindak-tindak korupsi di bawah rezim Lon Nol memang keterlaluan), dan bagian-bagian lainnya ditujukan untuk membangkitkan semangat patriotisme (kita perlu membangun kembali negara seusai perang saudara). Lewat alat-alat pengeras suara yang dipasangkan ke tiang-tiang dekat dapur umum, para pemimpin kami yang baru memperdengarkan musik gaya baru yang berkumandang sampai jauh ke tengah sawah. Dan apabila aku mendengar musik mars itu, dengan iramanya yang gagah dan bersemangat, apabila kulihat bendera merah yang besar-besar berkibar ditiup angin dan tidak terlalu kuteliti manusia-manusia yang berjalan beriring-iring, maka mau tidak mau aku lantas merasa percaya - setidak-tidaknya selama beberapa saat - bahwa Khmer Merah ternyata memang berhasil. Mereka berhasil merombak wujud negeri, disesuaikan dengan rencana mereka yang tidak setengah-setengah. Individu mereka lenyapkan, kecuali selaku sawan dalam kelompok. Mereka berikan kami "agama" baru yang harus kami jadikan objek kebaktian, dan "agama" itu adalah Angka.

Tapi jika kuperhatikan dengan lebih teliti, ilusi itu langsung buyar. Orang-orang yang bekerja dalam saluran air nampak capek, kurang gizi, dan pakaian mereka compang-camping. Seperti diriku. Cangkul mereka bergerak naik-turun dengan lamban, tanpa tenaga, dan wajah-wajah mereka mencerminkan keputusasaan dan kepedihan hati.

Dengan melihat sepintas saja sudah bisa diketahui bahwa negeri ini sudah berpaling ke arah yang salah.

Khmer Merah memaksa-maksakan kebenaran keyakinan mereka sendiri sampai seekstrem-ekstremnya, dan dengannya menyebabkan keyakinan itu menjadi kebohongan. Mereka menghendaki agar kami bekerja-lalu mereka memaksa kami bekerja begitu keras sehingga apa yang kami hasilkan makin lama makin berkurang. karena kondisi kami sudah lemah. Mcreka ingin membersihkan Kamboja dari segala-galanya yang bukan Khmer. Budha bukan dari Khmer, ia dari India; mereka lantas menghancurkan kuil-kuil Budhis. Kota- kata terlalu tercemar oleh gaya imperialis Barat, dan karenanya mereka ingin menyuruh kami pergi meninggalkannya. Mereka melenyapkan segala-galanya yang bukan bercorak Kamboja. Tapi mereka munafik. Selain warna kulit mereka yang coklat, segala-galanya ada pada Khmer Merah sebenarnya asing, dari Cina. Ideologi mereka comot dari Mao Tse-tung, seperti misalnya konsep loncatan ke depan. Menyuruh para intelektual pergi ke daerah pedesaan untuk belajar dari kaum petani merupakan gagasan Revolusi Kebudayaan Cina. Senjata AK-47 dan topi mereka yang berwarna hijau pudar, begitu pula kendaraan truk mereka, berasal dari Cina. Bahkan musik yang mereka perdengarkan lewat alat-alat pengeras suara pun musik Cina, hanya kata-katanya saja yang dalam bahasa Khmer.

Kekuatan Khmer Merah yang paling besar terletak di bidang propaganda. Mereka tahu bahwa dusta kecil bisa ketahuan, dan lebih mudah untuk membuat orang percaya kepada kebohongan besar. Sistem mereka begitu berbeda dari apapun juga yang pernah kami kenal, dan begitu serba lengkap, sehingga kami menurut saja tanpa tahu bagaimana caranya melawan. Dan apabila kami diizinkan berbicara secara terbuka, hal mana tidak diperbolehkan - dan jika kami melakukan juga, kami akan mereka ikat dan digiring pergi - sulit sekali rasanya menjawab kata-kata mereka secara sepadan dengan argumentasi kami sendiri. Karena takkan ada gunanya. Misalnya saja dengan berbisik-bisik kukatakan kepada Huoy bahwa pemerimah yang menindas sekian banyak rakyatnya seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah, lambat-laun akan menjadi lemah dengan sendirinya. Itu bisa kukatakan kepadanya dengan keyakinan akan kebenaran kata-kataku itu, dan Huoy akan sependapat dengan aku, tapi bagi kami itu sama sekali tidak ada gunanya. Apabila aku dan Huoy sudah selesai berbisik-bisik, rezim itu masih tetap saja ada dan kami masih tetap menggali dengan cangkul kami; kami masih akan tetap merasa capek dan lapar, tanpa bisa ingat kapan kali terakhir kami merasa tidak seperti saat itu. Tidak ada jalan keluar dari situasi yang kami alami. Kami tinggal mengetahui dalam hati sanubari kami bahwa kami diperlakukan dengan semena-mena.

Di garis depan ada satu klinik pengobatan. Para perawat di situ mempergunakan jarum-jarum suntik yang kotar. Mereka bersikap masa bodoh jika pasien mereka mati. Saat makan ketika aku kebetulan ke sana, kudengar salah seorang perawat itu berseru kepada rekannya, “Budak-budak perang sudah kauberi makan?” Kata-kata itu diucapkan secara iseng, tapi aku telap ingat karena itu dengan tegas sekali menjelaskan apa sebenarnya Khmer Merah itu. Segala omongan tentang kedudukan sebagai kawan yang sederajat dalam masyarakat yang tidak mengenal kelas-kelas, membangun negara dengan tangan sendiri dan berjuang untuk mencapai kemerdekaan berdaulat, semuanya tidak ada artinya sama sekali. Khmer Merah telah mengalahkan kami dalam perang saudara. Kami budak mereka, sebagai hasil kemenangan perang. Itulah hakikatnya. Mereka melakukan balas dendam. Dan di garis depan, siang dan malam, mereka mengatur kehidupan kami dengan bunyi lonceng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar