Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 19 Januari 2013

Neraka kamboja - Bab 18 : Lonceng



18 LONCENG

DENTANG lonceng yang pertama berkumandang pukul empat dinihari.

Dengan lesu karena masih capek sehabis bekerja hari sebelumnya, aku dan Huoy turun dari tempat

tidur gantung kami yang terhuat dari karung goni, menggosok-gosok mata yang masih mengantuk, menggerapai tempat air lalu mencuci muka.

Pasangan-pasangan suami-istri lainnya di sekeliling kami, yang nampak berupa sosok-sosok gelap yang bergerak-gerak berlatarkan langit berbintang, melakukan hal yang serupa, tapi ada juga yang masih mencoba tidur lagi sejenak. Tapi dentangan lonceng tetap saja tidak bisa dihindari. Bunyinya menusuk telinga, bernada memaksa. Perintah yang mau tidak mau harus dituruti.

Setelah bunyi itu lenyap, terdengar desisan keluar dari alat-alat pengeras suara yang terpasang dekat dapur umum, disusul nada-nada lagu kebangsaan. Paduan suara pria, wanita, dan anak bernyanyi:

Merah segar darah yang menggenangi desa
dan kota
Kampuchea, tanah air kita,
Darah suci buruh dan petani,
Darah suci para pejuang putra-putri
revolusioner!
Darah, menjelma jadi dendam-kesumat
Dan perjuangan penuh tekad
Tanggal Tujuh Belas April, di bawah
Bendera revolusi,
Membebaskan kita dari perbudakan!
Hidup, hiduplah Tujuh Belas April
yang Gemilang!
Kemenangan gemilang yang bermakna
lebih besar
Dari zaman Angkor Wat ...

Kami memulai lagi satu hari berikut di garis depan. Pukul setengah lima lonceng berdentang-dentang lagi. Awalnya dengan lambat dan terdengar satu-satu, lalu semakin cepat sehingga akhirnya beruntun-runtun: TENG... TENG... TENG ... teng, teng, teng, teng. teng... teng-teng-tengtengtengtengteng!!! Senyap sebentar, lalu terdengar kembali. Senyap lagi sejenak, lalu berkumandang kembali untuk ketiga kalinya: TENG ... TENG ... TENG ... teng, teng, teng, teng ... tengteng -teng-tengtengteng-tengteng!

Lonceng itu selalu dibunyikan tiga kali sambung- menyambung. Semasa prarevolusi para bhiksu memukul gendang besar mereka dengan pola bunyi serupa: mulanya Satu-satu, lalu bertambah cepat, semakin cepat, dan akhirnya beruntun-runtun, berhenti sejenak lalu mulai lagi dengan pola serupa, tiga kali berturut-turut. Dengan bunyi gendang yang dipukul bertalu-talu itu para bhiksu memanggil umat agar bersembahyang. Kader yang memukul-mukulkan tongkat nya ke pelek roda mobil yang digantungkan dekat dapur umum memperdengarkan irama yang biasa didengarnya semasa anak-anak. Mungkin ia melakukannya tanpa disadarinya. Atau barangkali juga, dalam "agama" Angka yang baru, kerja telah menjadi perbuatan semacam sembahyang, sebagai cara untuk mcmurnikan diri kami dan untuk menunjukkan kebaktian.

Sementara bunyi dentangan lonceng terdengar lagi beruntun-runtun umuk kedua kalinya, aku dan Huoy menggabungkan diri pada regu kami, yang masing-masing terdiri atas sepuluh orang. Beberapa regu yang bekerja di tempat yang sama bergabung, lalu berangkat beriring-iring dalam barisan satu-satu.

Aku menyandang cangkul yang ke bahu kananku. Di sisi kanan ikat pinggangku kugantungkan parang; di sisi kiri tergantung sebuah pelples tentara buatan Amerika berisi air yang sudah dimasak sampai mendidih. Sendok makanku tergantung pada tali yang kulilitkan di leher. Dalam kantong-kantong kecil yang ada di balik bagian pinggang celanaku kusembunyikan sebuah arloji tangan buatan Swiss, beberapa keping emas, dan sebuah geretan merek Zippo yang sudah tua dengan beberapa batu api sebagai cadangan. Aku tidak memakai alas kaki. Kemejaku yang berlengan panjang sudah compang camping dan tidak ada kancingnya lagi. Aku memakai topi pandan bertepi lebar untuk melindungi muka dari sengatan sinar matahari. Tapi matahari belum terbit. Langit di ufuk timur nampak berwarna kelabu temaram, cukup terang untuk bisa melihat.

Reguku memisahkan diri begitu kelompok kami sampai di lokasi pembuatan saluran, menuju ke tempat kerja yang ditandai dengan pancang-pancang dari kayu. Saluran itu berupa parit kering yang lebih dalam dari ukuran tubuhku sampai ubun-ubun dan lebarnya dua kali lipat, dengan lereng yang miring. Agak jauh dari pinggir atasnya terdapat pematang yang dibuat dari tanah galian kami, sehingga saluran itu tingginya beberapa kaki di atas tanah sekelilingnya, agar apabila nanti terjadi banjir air tidak melimpah ke luar. Aku turun ke dasar saluran, mendesah dengan lesu, lalu mulai mengayunkan cangkul. Aku tidak melakukannya dengan sekuat tenaga, karena Otot-ototku terasa kaku. Sekali lagi kuayunkan cangkul. Aku melakukannya seperti itu sampai otot-ototku sudah tidak terasa begitu pegal lagi, dan selanjutnya bekerja dengan irama tetap, tanpa memaksa diri.

Cangkul kuayunkan lagi. dengan sedikit menambah tenaga. Dengan ujung cangkul kumasukkan tanah yang sudah kugali ke dalam keranjang- keranjang berisi tanah itu diangkat oleh seseorang lalu disodorkan kepada teman yang lain, sambung-menyamhung sampai ke tepi atas saluran.

Saluran itu menjulur lurus sejauh mata memandang, diterangi cahaya pagi yang kelabu. Di tempat lain digali pula saluran-sa!uran yang nanti akan memotong saluran kami dengan sudut tegak lurus, serta parit-parit yang lebih kecil, yang merupakan penghubung-penghubung dalam keseluruhan jaringan saluran itu. Pihak Khmer Mcrah mengatakan kepada kami dengan nada yakin, bahwa saluran-saluran itu nanti akan menampung air yang melimpah saat musim hujan dan menyimpannya sampai musim kemarau, dan saat itu airnya akan dimanfaalkan untuk mengairi sawah-sawah. Ya, pikirku dengan getir, Khmer Merah menaruh kepercayaan besar pada saluran- saluran mereka. "Kita akan bisa menanam padi sebanlyak tiga kali dalam setahun!" kata seorang kader yang bersemangat dalam suatu rapat politik. "Takkan ada lagi orang yang kelaparan! Dan jika Amerika menyerang kita lagi, kita akan menggali terusan menyeberangi Samudra Pasifik, lalu menyerbu wilayah mereka!"

Jalur cahaya terang berwarna jingga di kaki langit nampak semakin lebar dan berubah menjadi merah muda sementara matahari bergerak kian meninggi. Di sisiku di dasar saluran, seorang lelaki bertubuh kurus mendesah panjang sambil bekerja. Aku tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tidak ada hari libur, tidak ada keriangan, tidak ada dorongan untuk bekerja keras selain keinginan tetap hidup. Itu jika keadaan kami bisa disebut hidup.

Jangan berpikir tentang itu, kataku pada diri sendiri. Ayunkan saja cangkul, dan biarkan menghunjam sendiri. Jangan paksakan tenaga, tapi lakukan pekerjaan. Lihat pancang kayu itu. Jika galian sudah sampai di sana, berarti pekerjaan selesai dan kita akan dikirim ke tempat lain. Tapi dikirim ke mana? Ke tempat yang datar, atau ke sebuah bukit kecil? Tanah yang datar lebih gampang penggaliannya, tapi bukit kecil lebih baik. Begitu banyak kehidupan yang bisa ditemukan di tanah bukit. Misalnya minggu lalu, ular yang lari masuk ke liangnya dan kami semua membongkar bukit kecil itu dan akhirnya membunuh ular itu dengan cangkul-cangkul kami. Betapa berserinya senyum Huoy ketika aku menyerahkan daging ular bagianku kepadanya. Pertama kalinya ia tersenyum, sejauh yang bisa kuingat.

Cangkul kuayunkan. Sekali lagi. Di sisi kiri dan kanan, bunyi cangkul menghujam ke dalam tanah. Satu hari lagi, hari yang panas tanpa awan. Bekerja dengan irama yang tetap, dengan keringat mengalir turun dari ketiak.

Ketika sinar matahari sudah merayapi lereng saluran dan sampai di tepi dasarnya, terdengar seruan, "Istirahat, Kawan-kawan!" Semua melepaskan peralatan yang dipegang dan memanjat kcluar dari saluran. Huoy menunggu aku di bawah bayang-bayang sebatang pohon sdao di dekat situ. Aku mematahkan sebuah ranting yang terjulur di atas kepalanya, lalu kupetik daun-daunnya dan kukantungi. Setelah itu barulah aku duduk. Kami berdua minum air dari pelplesku. Huoy duduk menyandar ke pohon, sementara aku menyandarkan punggung ke tulang keringnya. Kugaruk bintul-bintul yang merah dan gatal, yang menyebar dari pergelangan kaki ke tungkaiku.

Saat-saat beristirahat itu untuk merokok. Dapur umum membagi-bagikan tembakau lokal kepada pemimpin-pemimpin regu, dan mereka ini membagi-bagikannya kepada kami, para pekerja. Aku mengambil segumpal tembakau dari kantongku lalu kugulung menjadi sebatang rokok dengan sepotong daun pisang. Rokok itu kunyalakan dengan geretanku, kuisap beberapa kali tanpa menghirup asapnya, lalu kubiarkan mati sendiri. Puntungnya kukantongi lagi. Beres. Orang yang memandang ke arahku pasti melihat bahwa aku tadi merokok, dan karenanya aku akan terus mendapat pembagian. sebagian besar dari tembakau jatahku kutukarkan dengan makanan, karena di garis depan ada beberapa orang yang begitu kecanduan nikotin sehingga mereka memilih lebih baik tidak makan ketimbang tidak merokok.

Di antara kami juga ada beberapa orang yang biasa mengisap ganja. Di samping kami, di bawah bayang-bayang sebatang pohon, seorang lelaki tua menyedot-nyedor sebatang pipa yang terbuat dari bambu dan berisi air yang merupakan penyaring asap ganja. Ia menahan napas selama mungkin untuk menahan asap daun ganja yang baunya merebak itu di dalam parunya, dan kemudian ia mengeluarkan napas dcngan desahan puas. Mengisap ganja sudah sejak dulu kala merupakan kebiasaan sejumlah kecil pria di pedesaan, dan beberapa gelintir orang yang mulai biasa melakukannya sewaktu menjadi tentara rezim Lon Nol. Bagi orang-orang itu mengisap ganja merupakan hal yang biasa-biasa saja. Khmer Merah juga berpendapat begitu, dan mereka tidak mau repot-repot melarangnya. Para pengisap ganja itu nampak bertambah giat kerja mereka apabila baru habis beristirahat. Aku pernah mencobanya sekali dcngan harapan bahwa aku pun akan bisa bertambah giat. Tapi efeknya malah terbalik: aku merasa ingin sekali bisa merebahkan diri lalu tidur. Karenanya aku tidak pernah menyentuhnya lagi.

"Ayo, bekerja kembali, Kawan-kawan!"

Aku turun lagi ke dasar saluran. sambil mengeluh kuambil cangkulku. Ketika hari sudah semakin siang, saat tempat kami bekerja di dasar saluran tidak lagi teduh, alat pengeras suara yang ada di dapur umum dihidupkan. Musik yang diperdengarkan sampai dengan samar tapi jelas di tempat kami. Paling dulu tcrdengar lagu kebangsaan:

Merah segar yang menggenangi desa dan kota
Kampuchea, tanah air kita,
Darah Suci buruh dan petani,
Darah suci para pejuang putra-putri
revolusioner ...
 "Darah,” aku menyanyi dengan getir di dalam hati, " ... membebaskan kita dari perbudakan!” Aku, hafal seluruh kata-katanya. Naik turunnya irama dari masing-masing bagian, saat-saat bunyi gong terdengar serta xilofon berdenting ramai.

.... Kita bersatu untuk membangun
Kampuchea Demokratik yang cemerlang
Masyarakat bam berlandaskan persamaan
dan keadilan
Dengan tegas menempuh haluan kemerdekaan
berdaulat dan berdikari
Marilah dengan gigih kita pertahankan
lbu Pertiwi kita, tanah kita yang suci
Dan revolusi kita yang gemilang!
 ". Dan revolusi kita yang brengsek, nyanyiku dalam hati.

Hidup, hidup. hiduplah
Kampuchea yang baru, demokratis
dan sejahtera
Marilah dengan hati yang teguh
kita junjung tinggi
Bendera merah revolusi
Mari kita bangun tanah air kita!
Marilah kita memajukannya
dengan loncatan besar ke depan
Agar menjadi semakin hebat dan cemerlang!

Sesudah lagu kebangsaan berlalu, menyusul lagu bernama "Sorak-sorai bagi Regu Prajurit Revolusioner yang Gagah Berani, Tangguh, dan Mengagumkan". Sesudah itu lagu "Keselamatan yang Baru bagi Desa di Bawah Lindungan Cahaya Revolusi yang Cemerlang", lalu "Kawan-kawan Pejuang Kita Yang Hebat Berjuang Mempelajari Gaya Hidup Revolusioner".

Lagu-lagu itu kukenal semuanya, dan semuanya kubenci. Lagu-lagu itu begitu asing kedengarannya di telinga, sedikit pun tidak berwarna Kamboja. Kubayangkan ada alat pengeras suara terletak di dasar saluran, lalu kuayunkan cangkul menghancurkannya. Kuayunkan lagi, kuhancurkan lagi. Saat itu barulah kusadari bahwa cangkul kuayunkan mengikuti irama musik. Tidak ada kemungkinan menghindarkan diri daripadanya. Itu tidak mungkin, karena aku hafal setiap bagian, setiap ketukan iramanya.

Umungnya alat pengeras suara membungkam setelah lagu "Regu-regu Prajurit Revolusioner
Melindungi Keselamatan Kampuchea Demokratik". Seka!i lagi desahan napas para pekerja dan kicauan burung-burung mengiringi bunyi cangkul- cangkul yang diayunkan ke dalam tanah. Lalu "Tujuh Belas April yang Gemilang" berkumandang lagi lewat alat pengeras suara.

Merah segar darah yang menggenangi desa
dan kata Kampuchea ...
 Kctika waktu makan tiba dibunyikan lagi lonceng: TENG... TENG... TENG . ... Begitu dentangan pertama terdengar, kami lantas berbaris dan tersaruk-saruk pergi, berbaur dengan barisan-barisan lainnya, menuju ke dapur umum.

Lokasi dapur itu, yang terletak di atas sebuah bukit rendah yang besar yang hampir seluruhnya disingkirkan pepohonannya, baru beberapa hari umurnya. Regu pekerja dapur membuat kerangka dari kayu dan bambu menaungi tempat-tempat memasak, lalu meletakkan lembaran-lembaran kajang sebagai atapnya. Beberapa serdadu memasang tempat tidur gantung mereka di antara tiang-tiang di bawah bangunan terbuka itu, di tempat yang berseberangan dengan tempat memasak. Di luar, di ujung atas sebuah tiang dari bambu, terpasang alat-alat pengeras suara yang menghadap ke empat arah, dengan kawat-kawat terjulur menuruni tiang ke sebuah tape recorder yang diletakkan dekat tempat tidur gantung serdadu-serdadu, dilengkapi dengan sebuah aki dari truk. Pada dahan salah satu pohon yang tidak ditebang digantungkan sebuah pelek mobi!. ltulah lonceng yang setiap kali terdengar berdentang-dentang.

Sembilan orang dari regu kami duduk membentuk lingkaran di tanah sementara teman yang satu lagi, pemimpin regu kami, pergi ke dapur untuk mengambil jatah makanan kami. Aku boleh dibilang tidak punya perasaan apa-apa terhadap teman-teman seregu. Tidak benci, tapi juga tidak ada perasaan akrab. Regu-regu tidak pernah lama sama anggotanya, karena selalu ada saja yang meninggalkannya karena harus melakukan tugas kerja yang lain; selalu saja ada orang baru yang datang dari desa-desa "garis belakang". Tldak pernah ada kesempatan untuk cukup lama saling mengenal sehingga bisa menaruh kepercayaan, atau menjadi berteman.

Pemimpin regu kami orang "baru" juga seperti kami yang selebihnya, dengan celana robek-robek dan rambut kusut karena keringat yang tidak pernah dicuci. Ia berdiri dalam antrian panjang yang beringsut-ingsut maju menghampiri meja tempat jatah makanan dibagikan. Di meja itu ada seorang mit neary dengan gigi hitam yang menunjukkan bahwa ia biasa makan sirih. Umurnya sekitar empat puluhan. Lengan kirinya merangkul bayi yang digendongnya di pinggul. Ia baru saja meneteki bayinya, dan sementara la bekerja, puting teteknya yang besar sekali sebentar-sebentar kelihatan apabila bajunya yang tidak dikancingkan tersingkap ke samping. Tangan kanannya yang memegang centong yang terbuat dari tempurung kelapa membagi-bagi air tajin asin yang encer dengan beberapa butir nasi. Ketika pemimpin regu kami sudah hampir sampai di tempatnya, wanita itu meletakkan centongnya sebentar. Dengan jempol dan telunjuknya ia mengusap cairan merah yang berleleran dari tepi mulutnya. Ia mengusapkan tangannya yang kena air sirih itu ke pantatnya, dan setelah itu diambilnya lagi centong untuk membagi-bagikan makanan.

Mit neary yang ini sudah terkenal di kalangan kami di koperasi itu, karena suka mcncuri barang-barang bawaan orang-orang "baru", Di gubuknya, pada malam hari ia bersama mit neary lain-lainnya mencoba memakai segala macam bahan perias wajah dan BH yang mereka curi, lalu mondar-mandir di depan cermin, mengagumi penampilan mereka. Besok paginya mereka kembali berpenampilan seperti mit neary, dengan rambut disisir licin ke belakang telinga, dada datar dikekang kutang Kamboja yang tradisional, dan tanpa rias wajah. Semuanya begitu kecuali wanita yang ini, yang memerahi kedua belah pipinya dengan lipstik merah nyala berbentuk bulatan.

Akhirnya ia menyendokkan tajin encer tadi ke dalam baskom yang dipegang pemimpin regu kami. Sementara itu kami yang lain-lainnya duduk menongkrong dengan sendok makan siap di tangan, tidak sabar lagi menunggu kedatangan pemimpin kami yang membawa baskom berisi makanan dan setumpuk mangkuk kaleng yang sudah berkarat.

"Aduk yang baik sekali ini," kata lelaki kurus yang bekerja di sisiku sambil menggerutu. "Kau harus adil."

Pemimpin regu menurut, diaduk-aduknya isi baskom. Sepuluh pasang mata terpaku menatap tajin encer berwarna keputihan yang disendokkan ke dalam mangkuk-mangkuk. "Sekarang kita makan," kata pemimpin regu kami ketika makanan sudah dibagikan sampal tetes tcrakhir.

"Jangan dulu!" sergah lelaki kurus itu. Sambil merangkak ditelitinya isi mangkuk-mangkuk dari atas. “Kau tadi tidak beres mengaduknya. Lihatlah! Mangkuk ini lebih banyak nasinya dibandingkan dengan mangkuk-mangkuk yang lain! Semua bisa melihatnya!"

Kami semua menjulurkan tubuh ke depan, sambil menjilat-jilat bibir. Tajin itu agak keruh, dengan rajin yang agak kental mengambang di dalamnya, tapi masih bisa dilihat butir-butir nasi yang ada di dasarnya. Dalam mangkuk yang dituding lelaki kurus itu nampak butir-butir nasi yang agak lebih banyak ketimbang dalam mangkuk- mangkuk yang lain.

"Itu tidak benar!" protes wanita yang duduk menghadapi mangkuk yang dituding. Ia berbalik menghadap lelaki kurus itu. "Kau selalu saja mengatakan aku mendapat nasi lebih banyak. Aku sudah bosan mendengarnya. Jatah kita dibagi dengan adil, dan aku akan memakan bagianku!"

“Tunggu! Tunggu dulu!" seru yang lain-lainnya, dan salah seorang dari kami cepat-cepat memegang pergelangan tangan wanita itu, sehingga ia tidak bisa makan. Wanita dan lelaki tua itu lantas bertengkar, sampai akhirnya pemimpin regu kami menyendokkan cairan dan beberapa butir nasi dari mangkuk si wanita tanpa mempedulikan protesnya, lalu meneteskan cairan dan nasi itu ke dalam mangkuk-mangkuk kami. Setelah itu ia meletakkan daun-daun di tanah, di sisi masing-masing mangkuk, lalu menaburkan garam seadil mungkin di atas daun-daun itu. Tapi pembagian yang sudah adil itu pun masih menimbulkan pertengkaran. Kutinggalkan lingkaran itu dengan membawa mangkuk dan garam bagianku. Kuhampiri Huoy yang juga meninggalkan lingkarannya, lalu pergi menuruni bukit kecil tempat dapur umum itu, melewati regu-regu lain yang duduk melingkar sambil bertengkar tentang makanan, melewati bukit-bukit kecil lain yang juga penuh orang. Akhirnya kami menemukan tempat yang teduh di mana kami bisa sendiri saja berdua. Kusendokkan sebagian dari tajinku ke mangkuk Huoy, "Makanlah," kataku. "Kau harus memelihara tenagamu." Kukeluarkan daun-daun sdao dari kantongku, kubersihkan dengan air masak yang kutuangkan dari pelpies, lalu kuletakkan di antara kami berdua. Huoy menyendokkan tajin dari mangkuknya dan memasukkannya kembali ke mangkukku.

"Laki-laki perlu makan lebih banyak daripada perempuan," katanya. "Kau bekerja lebih keras daripada aku."

Tidak ada regu kerja yang anggota-anggotanya tidak bertengkar tentang makanan. Suami bertengkar dengan istri tentang makanan, masing-masing ingin mendapat lebih banyak. Aku dan Huoy juga bertengkar; tapi kami bukannya berebut ingin mendapat lebih, melainkan ingin saling memberi. Itu merupakan keintiman yang istimewa dalam hubungan kami berdua, yang menurut hematku berawal saat ia merawat diriku sampai aku sembuh ketika jatuh sakit di Phumn Chhleav. Aku tetap ingat bahwa ia memberikan umbi gadung itu kepadaku, dan sejak itu aku senantiasa berusaha membalas budinya.

Akhirnya kami mencapai kompromi, seperti biasanya, lalu menyuapkan air tajin itu dalam kuantitas yang sama ke mulut kami sambil mengunyah daun sdao yang pahit. Daun itu rasanya seperti kina. Kemungkinannya itu tidak cuma kebetulan saja, karena sdao paling tidak merupakan bahan pengganti kina yang lumayan manjur sebagai obat malaria. Aku mampu saja makan daun sdao, tapi nasilah yang kunikmati. Setiap suapan kutelan lambat-lambat, sambil melumatkan butir-butirnya yang lunak ke langit-langit mulutku. Kurasakan butir-butir itu memberi energi pada rubuhku. Bahkan cairannya pun enak rasanya, karena berbekas nasi yang dimasak di dalamnya. Apabila sampai pada suapan yang penghabisan aku berhenti sebentar. Aku enggan menyuapkannya ke mulut, karena itu berarti saat makan sudah berakhir.

Seorang kader memukul-mukul pelek mobil dengan tongkat, dan semua bangkit untuk memulangkan mangkuk yang berkarat ke dapur umum lalu membentuk barisan lagi.

TENG ... TENG ... TENG ... Seluruh anggota koperasi berdiri dekat dapur umum. Dentangan lonceng bisa kami dengar dengan jelas. Aku tidak mengerti apa sebabnya ia tidak hanya sekali saja membunyikan lonceng. Kecuali jika itu dimaksudkan untuk menyiksa telinga kami.

TENG... TENG... TENG... TENG ... teng, teng, teng. tengtengteng....

 Sorenya sama saja dengan pagi, hanya lebih panjang waktunya. Tidak ada angin meniup dasar saluran. Kuayunkan cangkul. tapi rasanya lebih berat ketimbang sebelumnya. Kerja regu tidak banyak kemajuannya. Penggalian kami belum sampai di pancang. Kami diberi kesempatan beristirahat untuk merokok, dan kemudian mereka memutar lagu-lagu lagi untuk mendorong kami agar bekerja dengan lebih cepat. Aku rasanya mau berbuat apa saja yang mereka inginkan asal mereka mau memperdengarkan musik lain. Tapi itu tidak dilakukan: Koperasi itu hanya memiliki satu pita rekaman.

Merah segar darah ...
 Keadaan yang paling tidak enak dalam waktu sehari adalah saat sore. Itulah saatnya serdadu-serdadu datang untuk melakukan aksi penangkapan. Kami tidak pernah bisa tahu sebelumnya apakah mereka akan muncul, atau siapa yang akan ditangkap, atau berapa banyak jumlah yang ditangkap. Ketidakpasrian menyebabkan saat-saat menunggu menjadi semakin menyiksa.

Sementara bayang-bayang mulai merayapi satu sisi saluran, lalu dasarnya, dan kemudian sisi yang lain, sewaktu aku meletakkan cangkul untuk menggotong keranjang berisi tanah galian yang kesekian kalinya ke atas tanggul - saat itulah aku melihat mereka. Tiga orang serdadu, berjalan melintasi tanah sawah dan menuju langsung ke arahku. Aku turun ke dasar saluran dengan jantung berdebar-debar, mcmbawa keranjang yang sudah dikosongkan isinya. Jangan-jangan kini liba giliranku, kataku dalam hati. Mungkin akhirnya tiba juga saatnya. Aku naik lagi menggotong tanah galian berikut, tapi saat itu serdadu-serdadu tadi sudah membelok ke arah yang agak lebih jauh dari tempatku. Ketika mereka meninggalkan saluran, mereka menggiring dua orang "baru" yang berjalan dengan kepala tertunduk lesu dan lengan terikat erat di belakang punggung.

Kesalahan apakah yang telah dilakukan orang-orang yang ditangkap itu? Kami tahu bahwa itu lebih baik jangan ditanyakan. Menanyakannya, takkan bisa mengembalikan orang-orang yang ditangkap. Malah hanya akan membahayakan orang yang berani bertanya. Tidak ada hukum di bawah rezim Khmer Merah selain hukum kebisuan. Tidak ada lembaga peradilan selain Angka Leu. Mungkin saja orang-orang yang ditangkap itu tidak cukup keras bekerja. Atau bisa juga mereka mencuri makanan. Atau seorang chhlop, seorang mata-mata, mendengar mereka berkomentar tentang Angka. Orang-orang lenyap. Hanya itu saja yang kami ketahui. Dan aku tahu, suatu hari nanti akulah salah satu dari mereka.

Ketika lonceng berdentang lagi, matahari sudah terbenam dan cahaya jingga di langit sebelah barat lenyap dengan cepat. Aku memanjat keluar dari saluran, bergegas ke sebuah saluran kecil yang berair di dasarnya, lalu melompat masuk untuk mandi tanpa membuka pakaian lagi. Dengan tubuh basah kuyup aku masuk lagi ke barisan, dan kami berjalan kembali ke dapur umum. Saat makan malam hari sudah gelap sehingga tidak bisa dilihat butir-butir nasi di dasar mangkuk, dan karenanya lebih sedikit terjadi pertengkaran. Makanan saat itu juga lebih baik: sebagai tambahan pada nasi bcrair dengan garam, kami diberi sejenis sayur bayam yang tumbuh liar, yang dikumpulkan oleh regu pekerja dapur yang bertugas mencari bahan makanan di luar. Aku dan Huoy makan bersama-sama. Kami sebenarnya berharap bisa kembali ke bukit kecil kami, menyalakan api seadanya umuk membuat minuman teh dan memasak daun-daun sdao dan beberapa ekor keong yang ditemukan Huoy sewaktu bekerja. Tapi tidak ada kesempatan untuk itu. Begitu kami selesai makan, lonceng berbunyi.

Lonceng dibunyikan pada saat-saat begitu sebagai panggilan untuk menghadiri rapat politik. Rapat-rapat itu seperti acara-acara bonn yang kami hadiri di tempat-tempat lain sebelumnya. Tapi di garis depan, sebutannya memakai Inggris, yakni "meeting", dengan tekanan pada suku kata kedua: mee-TING. Dalam seminggu ada tiga sampai empat kali acara begitu.

Segenap anggota koperasi berkumpul di lapangan yang bersebelahan letaknya dengan dapur umum. Orang yang pertama-tama berbicara adalah Chev, ketua koperasi. Suaranya lembut, dan ia sering berhenti sebentar umuk tersenyum pada hadirin. Semua takut kepadanya. Chev mengatakan, penggalian saluran terlalu lambat jalannya. Kami semua harus berkorban dan bekerja lebih keras agar bisa menyelesaikannya sebelum musim hujan datang.

"Beberapa orang di sini sangat malas," kata Chev. "Mereka tidak mau berperan serta dalam kegiatan revolusioner karena pikiran mereka masih melekat pada masa silam, pada zaman kapitalis. Mereka menghambat kelancaran pelaksanaan proyek. Mereka ingin menghentikan perputaran roda sejarah. Tapi kita tidak perlu orang-orang seperti itu. Kita tidak menghendaki mereka. Mereka itu kontrarevolusioner dan agen-agen CIA. Betul atau tidak?"

"Betul! Ya, betul!" jawab kami sambil bertepuk menyatakan persetujuan.

Chev mengatakan bahwa orang-arang yang dcmikian itu musuh kami dan kami harus mencari mereka sampai ketemu dan menumpas mereka. Lalu ditanyakannya apakah kata-katanya itu benar atau tidak. Kami bertepuk tangan dan mengatakan ya, ia benar. Dikatakannya betapa beruntungnya kami, hidup di bawah kekuasaan Angka. Sclama ribuan tahun rakyat Kamboja menunggu-nunggu datangnya kesempatan itu; benarkah itu, atau tidak?

Aku dan Huoy duduk di bagian belakang sambil bersandar pada sebatang pohon. Malam itu gelap-gulita. Kutarik tepi topiku menutupi kening lalu memejamkan mata. Tapi aku hanya tidur- tidur ayam saja, karena sebagian dari benakku tetap waspada, seperti prajurit yang sedang bertugas jaga.

" ... atau benar?" tanya Chev.

"Ya, benar" jawabku sambil bertepuk tangan tanpa membuka mata. Aku sudah cukup sering menghadiri rapat, sehingga cukup sebegitu saja perhatian yang kuberikan.

Sesudah Chev, kader-kader yang lcbih rendah kedudukannya silih berganti berbicara. Dari mulut mereka terlontar kata-kata yang tidak dipahami otak mereka: " ... melancarkan ofensif secara terus-menerus untuk berjuang mencapai loncatan besar ke depan yang gilang-gemilang demi dikuasainya kekuatan alam ... " Tujuan mereka yang sebenarnya bukan untuk mengatakan sesuatu yang baru, tapi menunjukkan ketaatan mereka. Dalam rezim yang tidak menyukai individualitas, mereka menunjukkan antusiasme mereka dengan cara menirukan para pemimpin mereka. Sementara mereka bcrbicara, aku dan Huoy duduk menyandar ke pohon, mengumpulkan tenaga untuk menghadapi hal-hal yang akan datang.

Lonceng berdentang lagi.

Dengan lesu kami berbaris dalam kegelapan, lalu tcrsaruk-saruk kembali menuju ke saluran.

Kami bekerja diterangi sinar bulan dan bintang- bintang. Tepatnya beberapa orang saja dari kami yang bekerja, dengan gerakan lamban, pokoknya jangan sampai penjaga datang memeriksa. Kami menggali tanah sebanyak beberapa keranjang saja, tidak lebih. Para pekerja yang selebihnya tidur-tiduran di tanah. Sebenarnya lebih baik jika waktu dimanfaatkan untuk benar-benar tidur di tcmpat pembaringan kami sehingga bisa segar lagi keesokan harinya, tapi percuma saja mengatakan hal itu kepada Khmer Merah.

Saat tengah malam lonceng berdentang-dentang untuk terakhir kali. Bunyi yang ditunggu-tunggu, dari jauh menyeberangi tanah persawahan, menimpali suara jangkrik dan burung hantu. Kami melangkah dengan gontai ke bukit-bukit tempat kediaman kami, dengan menggunakan sosok-sosok pepohonan yang gelap sebagai pengenal arah. Aku dan Huoy menjatuhkan diri ke tempat tidur gantung kami. Empat jam kemudian kami dibangunkan lagi oleh dentang lonceng.

**********

Minat kami semata-mata pada makanan dan tidur. Andaikan kami bisa cukup lama tidur, andaikan kami bisa makan sampai kenyang, andaikan serdadu-serdadu tidak lagi menggiring orang-orang untuk dibawa pergi-andaikan semuanya itu terjadi, ada kemungkinan kami akan berpikir tentang hal-hal lain. Seperti misalnya lari lewat rute-rute yang tak dikenal menuju Thailand. Atau menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan yang disebut Khmer Srei atau Khmer Bebas, yang kabarnya ada di sepanjang perbatasan dengan Thailand. Tapi kelihatannya benar-benar mustahil bisa melarikan diri. Khmer Merah menempatkan penjagaan di sekeliling lokasi koperasi pada malam hari. Di antara orang yang kukenal, tidak seorang pun pernah mencobanya.

Tidur lebih penting ketimbang melarikan diri. Aku begitu capek, ingin rasanya tidur terus selama seminggu. Lalu makanan: itu masih lebih penting lagi ketimbang tidur. Bobot tubuhku yang bertambah selama di dusun Youen, kini sudah menurun lagi. Sekali lagi berat badanku tinggal sekitar lima puluh kilo.

Daun-daun sdao, keong, dan bahan makanan lain yang kami temukan di tempat kerja bisa membantu mengisi perut, tapi tetap saja tidak mencukupi. Jadi pada malam hari, jika kebetulan tidak ada rapat, aku kembali berkeliaran mencari bahan makanan tambahan pada saat jeda antara waktu makan dan kembali bekerja di saluran. Aku mengumpulkan bahan pangan yang kutemukan di alam terbuka, lalu kusembunyikan dalam semak-semak bukit kecil tempat tinggal kami. Saat makan siang keesokan harinya, aku dan Huoy dengan membawa mangkuk-mangkuk berisi jatah air tajin yang biasa pergi ke bukit kecil itu lalu cepat-cepat menyalakan api dengan menggunakan jerami dan ranting-ranting. Nasi dan bahan pangan lainnya hasil pengumpulanku malam sebelumnya kami masukkan ke dalam teko. Maksudnya supaya kami bisa pura-pura sedang masak teh apabila ada yang datang memeriksa. Kami masih diizinkan minum teh, dan terutama minuman jamu.

Tapi tidak gampang malam-malam di alam bebas - menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Karenanya aku lantas mulai mencarinya saat pagi pagi sekali. Apabila aku kembali ke bukit tempat kediaman kami, sesudah bunyi lonceng yang pertama kali terdengar, langit sudah mulai terang. Risikonya kelihatannya tidak terlalu besar. Selain aku masih ada orang-orang lain yang juga berkeliaran mencari apa saja yang bisa dimakan. Suatu pagi aku menemukan tanaman ubi garut. Saat itu kami sudah sekitar sebulan berada di garis depan. Aku menggali umbi-umbi nya, lalu kumasukkan ke dalam keranjang pengangkut tanah yang sudah rusak. Keranjang berisi ubi garut itu kemudian kusembunyikan dalam semak dekat tempat tidur gantung kami, lalu aku pcrgi memanggul cangkul untuk bekerja scperti biasa. Sewaktu aku dan Huoy kembali ke bukit kami saat makan siang, keranjang berisi ubi garut tadi tidak ada lagi. Kami menanyakan kepada pasangan suami-istri yang tinggal sebukit dengan kami, tapi mereka tidak tahu apa-apa mengenainya. Karenanya aku dan Huoy lantas memakan jatah kami, lalu bcrbaring-baring di tempat tidur gantung.

Tahu-tahu ada dua anak lelaki di samping pembaringan. Mereka berdiri sambil memandang kami. Keduanya mengisap rokok yang dibuat dengan menggunakan daun pisang sebagai kertas. Mereka memilin-milin rokok dengan gaya yang persis serupa. Mungkin mereka meniru gaya seorang perokok yang lebih tua, yang mereka kagumi.

Mereka menatap diriku dengan kening berkerut.

"Kawan!" teriak mereka dengan suara tinggi. "Kau dipanggil Angka! Cepat!"

Aku duduk.

Sekarang aku tahu si apa mereka. Mereka bukan hanya anak-anak biasa. Mereka itu mata-mata. Mereka chhlop.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar