18 LONCENG
DENTANG
lonceng yang pertama berkumandang pukul empat dinihari.
Dengan
lesu karena masih capek sehabis bekerja hari sebelumnya, aku dan Huoy turun dari
tempat
tidur
gantung kami yang terhuat dari karung goni, menggosok-gosok mata yang masih mengantuk,
menggerapai tempat air lalu mencuci muka.
Pasangan-pasangan
suami-istri lainnya di sekeliling kami, yang nampak berupa sosok-sosok gelap
yang bergerak-gerak berlatarkan langit berbintang, melakukan hal yang serupa,
tapi ada juga yang masih mencoba tidur lagi sejenak. Tapi dentangan lonceng tetap
saja tidak bisa dihindari. Bunyinya menusuk telinga, bernada memaksa. Perintah
yang mau tidak mau harus dituruti.
Setelah
bunyi itu lenyap, terdengar desisan keluar dari alat-alat pengeras suara yang terpasang
dekat dapur umum, disusul nada-nada lagu kebangsaan. Paduan suara pria, wanita,
dan anak bernyanyi:
Merah segar darah
yang menggenangi desa
dan kota
Kampuchea, tanah air
kita,
Darah suci buruh dan
petani,
Darah suci para
pejuang putra-putri
revolusioner!
Darah, menjelma jadi
dendam-kesumat
Dan perjuangan penuh
tekad
Tanggal Tujuh Belas
April, di bawah
Bendera revolusi,
Membebaskan kita dari
perbudakan!
Hidup, hiduplah Tujuh
Belas April
yang Gemilang!
Kemenangan gemilang
yang bermakna
lebih besar
Dari zaman Angkor Wat
...
Kami
memulai lagi satu hari berikut di garis depan. Pukul setengah lima lonceng
berdentang-dentang lagi. Awalnya dengan lambat dan terdengar satu-satu, lalu
semakin cepat sehingga akhirnya beruntun-runtun: TENG... TENG... TENG ... teng,
teng, teng, teng. teng... teng-teng-tengtengtengtengteng!!! Senyap sebentar,
lalu terdengar kembali. Senyap lagi sejenak, lalu berkumandang kembali untuk
ketiga kalinya: TENG ... TENG ... TENG ... teng, teng, teng, teng ... tengteng -teng-tengtengteng-tengteng!
Lonceng
itu selalu dibunyikan tiga kali sambung- menyambung. Semasa prarevolusi para bhiksu
memukul gendang besar mereka dengan pola bunyi serupa: mulanya Satu-satu, lalu bertambah
cepat, semakin cepat, dan akhirnya beruntun-runtun, berhenti sejenak lalu mulai
lagi dengan pola serupa, tiga kali berturut-turut. Dengan bunyi gendang yang
dipukul bertalu-talu itu para bhiksu memanggil umat agar bersembahyang. Kader
yang memukul-mukulkan tongkat nya ke pelek roda mobil yang digantungkan dekat dapur
umum memperdengarkan irama yang biasa didengarnya semasa anak-anak. Mungkin ia
melakukannya tanpa disadarinya. Atau barangkali juga, dalam "agama"
Angka yang baru, kerja telah menjadi perbuatan semacam sembahyang, sebagai cara
untuk mcmurnikan diri kami dan untuk menunjukkan kebaktian.
Sementara
bunyi dentangan lonceng terdengar lagi beruntun-runtun umuk kedua kalinya, aku dan
Huoy menggabungkan diri pada regu kami, yang masing-masing terdiri atas sepuluh
orang. Beberapa regu yang bekerja di tempat yang sama bergabung, lalu berangkat
beriring-iring dalam barisan satu-satu.
Aku
menyandang cangkul yang ke bahu kananku. Di sisi kanan ikat pinggangku kugantungkan
parang; di sisi kiri tergantung sebuah pelples tentara buatan Amerika berisi
air yang sudah dimasak sampai mendidih. Sendok makanku tergantung pada tali
yang kulilitkan di leher. Dalam kantong-kantong kecil yang ada di balik bagian
pinggang celanaku kusembunyikan sebuah arloji tangan buatan Swiss, beberapa keping
emas, dan sebuah geretan merek Zippo yang sudah tua dengan beberapa batu api
sebagai cadangan. Aku tidak memakai alas kaki. Kemejaku yang berlengan panjang
sudah compang camping dan tidak ada kancingnya lagi. Aku memakai topi pandan
bertepi lebar untuk melindungi muka dari sengatan sinar matahari. Tapi matahari
belum terbit. Langit di ufuk timur nampak berwarna kelabu temaram, cukup terang
untuk bisa melihat.
Reguku
memisahkan diri begitu kelompok kami sampai di lokasi pembuatan saluran, menuju
ke tempat kerja yang ditandai dengan pancang-pancang dari kayu. Saluran itu
berupa parit kering yang lebih dalam dari ukuran tubuhku sampai ubun-ubun dan
lebarnya dua kali lipat, dengan lereng yang miring. Agak jauh dari pinggir atasnya
terdapat pematang yang dibuat dari tanah galian kami, sehingga saluran itu
tingginya beberapa kaki di atas tanah sekelilingnya, agar apabila nanti terjadi
banjir air tidak melimpah ke luar. Aku turun ke dasar saluran, mendesah dengan lesu,
lalu mulai mengayunkan cangkul. Aku tidak melakukannya dengan sekuat tenaga,
karena Otot-ototku terasa kaku. Sekali lagi kuayunkan cangkul. Aku melakukannya
seperti itu sampai otot-ototku sudah tidak terasa begitu pegal lagi, dan selanjutnya
bekerja dengan irama tetap, tanpa memaksa diri.
Cangkul
kuayunkan lagi. dengan sedikit menambah tenaga. Dengan ujung cangkul kumasukkan
tanah yang sudah kugali ke dalam keranjang- keranjang berisi tanah itu diangkat
oleh seseorang lalu disodorkan kepada teman yang lain, sambung-menyamhung
sampai ke tepi atas saluran.
Saluran
itu menjulur lurus sejauh mata memandang, diterangi cahaya pagi yang kelabu. Di
tempat lain digali pula saluran-sa!uran yang nanti akan memotong saluran kami
dengan sudut tegak lurus, serta parit-parit yang lebih kecil, yang merupakan
penghubung-penghubung dalam keseluruhan jaringan saluran itu. Pihak Khmer Mcrah
mengatakan kepada kami dengan nada yakin, bahwa saluran-saluran itu nanti akan menampung
air yang melimpah saat musim hujan dan menyimpannya sampai musim kemarau, dan saat
itu airnya akan dimanfaalkan untuk mengairi sawah-sawah. Ya, pikirku dengan
getir, Khmer Merah menaruh kepercayaan besar pada saluran- saluran mereka.
"Kita akan bisa menanam padi sebanlyak tiga kali dalam setahun!" kata
seorang kader yang bersemangat dalam suatu rapat politik. "Takkan ada lagi
orang yang kelaparan! Dan jika Amerika menyerang kita lagi, kita akan menggali terusan
menyeberangi Samudra Pasifik, lalu menyerbu wilayah mereka!"
Jalur
cahaya terang berwarna jingga di kaki langit nampak semakin lebar dan berubah menjadi
merah muda sementara matahari bergerak kian meninggi. Di sisiku di dasar
saluran, seorang lelaki bertubuh kurus mendesah panjang sambil bekerja. Aku
tahu apa yang sedang dipikirkannya. Tidak ada hari libur, tidak ada keriangan,
tidak ada dorongan untuk bekerja keras selain keinginan tetap hidup. Itu jika
keadaan kami bisa disebut hidup.
Jangan
berpikir tentang itu, kataku pada diri sendiri. Ayunkan saja cangkul, dan
biarkan menghunjam sendiri. Jangan paksakan tenaga, tapi lakukan pekerjaan. Lihat
pancang kayu itu. Jika galian sudah sampai di sana, berarti pekerjaan selesai
dan kita akan dikirim ke tempat lain. Tapi dikirim ke mana? Ke tempat yang
datar, atau ke sebuah bukit kecil? Tanah yang datar lebih gampang
penggaliannya, tapi bukit kecil lebih baik. Begitu banyak kehidupan yang bisa
ditemukan di tanah bukit. Misalnya minggu lalu, ular yang lari masuk ke
liangnya dan kami semua membongkar bukit kecil itu dan akhirnya membunuh ular
itu dengan cangkul-cangkul kami. Betapa berserinya senyum Huoy ketika aku menyerahkan
daging ular bagianku kepadanya. Pertama kalinya ia tersenyum, sejauh yang bisa kuingat.
Cangkul
kuayunkan. Sekali lagi. Di sisi kiri dan kanan, bunyi cangkul menghujam ke dalam
tanah. Satu hari lagi, hari yang panas tanpa awan. Bekerja dengan irama yang
tetap, dengan keringat mengalir turun dari ketiak.
Ketika
sinar matahari sudah merayapi lereng saluran dan sampai di tepi dasarnya,
terdengar seruan, "Istirahat, Kawan-kawan!" Semua melepaskan
peralatan yang dipegang dan memanjat kcluar dari saluran. Huoy menunggu aku di
bawah bayang-bayang sebatang pohon sdao
di dekat situ. Aku mematahkan sebuah ranting yang terjulur di atas kepalanya,
lalu kupetik daun-daunnya dan kukantungi. Setelah itu barulah aku duduk. Kami
berdua minum air dari pelplesku. Huoy duduk menyandar ke pohon, sementara aku menyandarkan
punggung ke tulang keringnya. Kugaruk bintul-bintul yang merah dan gatal, yang menyebar
dari pergelangan kaki ke tungkaiku.
Saat-saat
beristirahat itu untuk merokok. Dapur umum membagi-bagikan tembakau lokal kepada
pemimpin-pemimpin regu, dan mereka ini membagi-bagikannya kepada kami, para
pekerja. Aku mengambil segumpal tembakau dari kantongku lalu kugulung menjadi
sebatang rokok dengan sepotong daun pisang. Rokok itu kunyalakan dengan
geretanku, kuisap beberapa kali tanpa menghirup asapnya, lalu kubiarkan mati sendiri.
Puntungnya kukantongi lagi. Beres. Orang yang memandang ke arahku pasti melihat
bahwa aku tadi merokok, dan karenanya aku akan terus mendapat pembagian. sebagian
besar dari tembakau jatahku kutukarkan dengan makanan, karena di garis depan
ada beberapa orang yang begitu kecanduan nikotin sehingga mereka memilih lebih
baik tidak makan ketimbang tidak merokok.
Di
antara kami juga ada beberapa orang yang biasa mengisap ganja. Di samping kami,
di bawah bayang-bayang sebatang pohon, seorang lelaki tua menyedot-nyedor
sebatang pipa yang terbuat dari bambu dan berisi air yang merupakan penyaring asap
ganja. Ia menahan napas selama mungkin untuk menahan asap daun ganja yang baunya
merebak itu di dalam parunya, dan kemudian ia mengeluarkan napas dcngan desahan
puas. Mengisap ganja sudah sejak dulu kala merupakan kebiasaan sejumlah kecil
pria di pedesaan, dan beberapa gelintir orang yang mulai biasa melakukannya sewaktu
menjadi tentara rezim Lon Nol. Bagi orang-orang itu mengisap ganja merupakan hal
yang biasa-biasa saja. Khmer Merah juga berpendapat begitu, dan mereka tidak
mau repot-repot melarangnya. Para pengisap ganja itu nampak bertambah giat
kerja mereka apabila baru habis beristirahat. Aku pernah mencobanya sekali dcngan
harapan bahwa aku pun akan bisa bertambah giat. Tapi efeknya malah terbalik:
aku merasa ingin sekali bisa merebahkan diri lalu tidur. Karenanya aku tidak
pernah menyentuhnya lagi.
"Ayo,
bekerja kembali, Kawan-kawan!"
Aku
turun lagi ke dasar saluran. sambil mengeluh kuambil cangkulku. Ketika hari
sudah semakin siang, saat tempat kami bekerja di dasar saluran tidak lagi teduh,
alat pengeras suara yang ada di dapur umum dihidupkan. Musik yang
diperdengarkan sampai dengan samar tapi jelas di tempat kami. Paling dulu tcrdengar
lagu kebangsaan:
Merah segar yang
menggenangi desa dan kota
Kampuchea, tanah air
kita,
Darah Suci buruh dan
petani,
Darah suci para pejuang
putra-putri
revolusioner ...
"Darah,” aku menyanyi dengan getir di
dalam hati, " ... membebaskan kita dari perbudakan!” Aku, hafal seluruh
kata-katanya. Naik turunnya irama dari masing-masing bagian, saat-saat bunyi gong
terdengar serta xilofon berdenting ramai.
.... Kita bersatu
untuk membangun
Kampuchea Demokratik
yang cemerlang
Masyarakat bam
berlandaskan persamaan
dan keadilan
Dengan tegas menempuh
haluan kemerdekaan
berdaulat dan
berdikari
Marilah dengan gigih
kita pertahankan
lbu Pertiwi kita,
tanah kita yang suci
Dan revolusi kita
yang gemilang!
". Dan revolusi kita yang brengsek, nyanyiku
dalam hati.
Hidup, hidup. hiduplah
Kampuchea yang baru,
demokratis
dan sejahtera
Marilah dengan hati
yang teguh
kita junjung tinggi
Bendera merah
revolusi
Mari kita bangun
tanah air kita!
Marilah kita memajukannya
dengan loncatan besar
ke depan
Agar menjadi semakin
hebat dan cemerlang!
Sesudah
lagu kebangsaan berlalu, menyusul lagu bernama "Sorak-sorai bagi Regu Prajurit Revolusioner yang Gagah Berani, Tangguh,
dan Mengagumkan". Sesudah itu lagu "Keselamatan yang Baru bagi Desa di Bawah Lindungan Cahaya Revolusi yang
Cemerlang", lalu "Kawan-kawan
Pejuang Kita Yang Hebat Berjuang Mempelajari Gaya Hidup Revolusioner".
Lagu-lagu
itu kukenal semuanya, dan semuanya kubenci. Lagu-lagu itu begitu asing
kedengarannya di telinga, sedikit pun tidak berwarna Kamboja. Kubayangkan ada alat
pengeras suara terletak di dasar saluran, lalu kuayunkan cangkul
menghancurkannya. Kuayunkan lagi, kuhancurkan lagi. Saat itu barulah kusadari
bahwa cangkul kuayunkan mengikuti irama musik. Tidak ada kemungkinan menghindarkan
diri daripadanya. Itu tidak mungkin, karena aku hafal setiap bagian, setiap ketukan
iramanya.
Umungnya
alat pengeras suara membungkam setelah lagu "Regu-regu Prajurit Revolusioner
Melindungi
Keselamatan Kampuchea Demokratik". Seka!i lagi desahan napas para
pekerja dan kicauan burung-burung mengiringi bunyi cangkul- cangkul yang
diayunkan ke dalam tanah. Lalu "Tujuh
Belas April yang Gemilang" berkumandang lagi lewat alat pengeras
suara.
Merah segar darah
yang menggenangi desa
dan kata Kampuchea
...
Kctika waktu makan tiba dibunyikan lagi lonceng:
TENG... TENG... TENG . ... Begitu dentangan pertama terdengar, kami lantas
berbaris dan tersaruk-saruk pergi, berbaur dengan barisan-barisan lainnya,
menuju ke dapur umum.
Lokasi
dapur itu, yang terletak di atas sebuah bukit rendah yang besar yang hampir
seluruhnya disingkirkan pepohonannya, baru beberapa hari umurnya. Regu pekerja
dapur membuat kerangka dari kayu dan bambu menaungi tempat-tempat memasak, lalu
meletakkan lembaran-lembaran kajang sebagai atapnya. Beberapa serdadu memasang tempat
tidur gantung mereka di antara tiang-tiang di bawah bangunan terbuka itu, di
tempat yang berseberangan dengan tempat memasak. Di luar, di ujung atas sebuah
tiang dari bambu, terpasang alat-alat pengeras suara yang menghadap ke empat
arah, dengan kawat-kawat terjulur menuruni tiang ke sebuah tape recorder yang diletakkan
dekat tempat tidur gantung serdadu-serdadu, dilengkapi dengan sebuah aki dari
truk. Pada dahan salah satu pohon yang tidak ditebang digantungkan sebuah pelek
mobi!. ltulah lonceng yang setiap kali terdengar berdentang-dentang.
Sembilan
orang dari regu kami duduk membentuk lingkaran di tanah sementara teman yang
satu lagi, pemimpin regu kami, pergi ke dapur untuk mengambil jatah makanan
kami. Aku boleh dibilang tidak punya perasaan apa-apa terhadap teman-teman
seregu. Tidak benci, tapi juga tidak ada perasaan akrab. Regu-regu tidak pernah
lama sama anggotanya, karena selalu ada saja yang meninggalkannya karena harus
melakukan tugas kerja yang lain; selalu saja ada orang baru yang datang dari
desa-desa "garis belakang". Tldak pernah ada kesempatan untuk cukup
lama saling mengenal sehingga bisa menaruh kepercayaan, atau menjadi berteman.
Pemimpin
regu kami orang "baru" juga seperti kami yang selebihnya, dengan
celana robek-robek dan rambut kusut karena keringat yang tidak pernah dicuci.
Ia berdiri dalam antrian panjang yang beringsut-ingsut maju menghampiri meja tempat
jatah makanan dibagikan. Di meja itu ada seorang mit neary dengan gigi hitam yang menunjukkan bahwa ia biasa makan
sirih. Umurnya sekitar empat puluhan. Lengan kirinya merangkul bayi yang
digendongnya di pinggul. Ia baru saja meneteki bayinya, dan sementara la bekerja,
puting teteknya yang besar sekali sebentar-sebentar kelihatan apabila bajunya
yang tidak dikancingkan tersingkap ke samping. Tangan kanannya yang memegang centong
yang terbuat dari tempurung kelapa membagi-bagi air tajin asin yang encer
dengan beberapa butir nasi. Ketika pemimpin regu kami sudah hampir sampai di
tempatnya, wanita itu meletakkan centongnya sebentar. Dengan jempol dan
telunjuknya ia mengusap cairan merah yang berleleran dari tepi mulutnya. Ia mengusapkan
tangannya yang kena air sirih itu ke pantatnya, dan setelah itu diambilnya lagi
centong untuk membagi-bagikan makanan.
Mit neary yang ini sudah terkenal
di kalangan kami di koperasi itu, karena suka mcncuri barang-barang bawaan
orang-orang "baru", Di gubuknya, pada malam hari ia bersama mit neary lain-lainnya mencoba memakai
segala macam bahan perias wajah dan BH yang mereka curi, lalu mondar-mandir di
depan cermin, mengagumi penampilan mereka. Besok paginya mereka kembali berpenampilan
seperti mit neary, dengan rambut
disisir licin ke belakang telinga, dada datar dikekang kutang Kamboja yang
tradisional, dan tanpa rias wajah. Semuanya begitu kecuali wanita yang ini,
yang memerahi kedua belah pipinya dengan lipstik merah nyala berbentuk bulatan.
Akhirnya
ia menyendokkan tajin encer tadi ke dalam baskom yang dipegang pemimpin regu kami.
Sementara itu kami yang lain-lainnya duduk menongkrong dengan sendok makan siap
di tangan, tidak sabar lagi menunggu kedatangan pemimpin kami yang membawa
baskom berisi makanan dan setumpuk mangkuk kaleng yang sudah berkarat.
"Aduk
yang baik sekali ini," kata lelaki kurus yang bekerja di sisiku sambil
menggerutu. "Kau harus adil."
Pemimpin
regu menurut, diaduk-aduknya isi baskom. Sepuluh pasang mata terpaku menatap tajin
encer berwarna keputihan yang disendokkan ke dalam mangkuk-mangkuk.
"Sekarang kita makan," kata pemimpin regu kami ketika makanan sudah
dibagikan sampal tetes tcrakhir.
"Jangan
dulu!" sergah lelaki kurus itu. Sambil merangkak ditelitinya isi
mangkuk-mangkuk dari atas. “Kau tadi tidak beres mengaduknya. Lihatlah! Mangkuk
ini lebih banyak nasinya dibandingkan dengan mangkuk-mangkuk yang lain! Semua
bisa melihatnya!"
Kami
semua menjulurkan tubuh ke depan, sambil menjilat-jilat bibir. Tajin itu agak
keruh, dengan rajin yang agak kental mengambang di dalamnya, tapi masih bisa
dilihat butir-butir nasi yang ada di dasarnya. Dalam mangkuk yang dituding
lelaki kurus itu nampak butir-butir nasi yang agak lebih banyak ketimbang dalam
mangkuk- mangkuk yang lain.
"Itu
tidak benar!" protes wanita yang duduk menghadapi mangkuk yang dituding.
Ia berbalik menghadap lelaki kurus itu. "Kau selalu saja mengatakan aku
mendapat nasi lebih banyak. Aku sudah bosan mendengarnya. Jatah kita dibagi dengan
adil, dan aku akan memakan bagianku!"
“Tunggu!
Tunggu dulu!" seru yang lain-lainnya, dan salah seorang dari kami
cepat-cepat memegang pergelangan tangan wanita itu, sehingga ia tidak bisa
makan. Wanita dan lelaki tua itu lantas bertengkar, sampai akhirnya pemimpin regu
kami menyendokkan cairan dan beberapa butir nasi dari mangkuk si wanita tanpa
mempedulikan protesnya, lalu meneteskan cairan dan nasi itu ke dalam
mangkuk-mangkuk kami. Setelah itu ia meletakkan daun-daun di tanah, di sisi masing-masing
mangkuk, lalu menaburkan garam seadil mungkin di atas daun-daun itu. Tapi pembagian
yang sudah adil itu pun masih menimbulkan pertengkaran. Kutinggalkan lingkaran
itu dengan membawa mangkuk dan garam bagianku. Kuhampiri Huoy yang juga
meninggalkan lingkarannya, lalu pergi menuruni bukit kecil tempat dapur umum itu,
melewati regu-regu lain yang duduk melingkar sambil bertengkar tentang makanan,
melewati bukit-bukit kecil lain yang juga penuh orang. Akhirnya kami menemukan tempat
yang teduh di mana kami bisa sendiri saja berdua. Kusendokkan sebagian dari
tajinku ke mangkuk Huoy, "Makanlah," kataku. "Kau harus memelihara
tenagamu." Kukeluarkan daun-daun sdao
dari kantongku, kubersihkan dengan air masak yang kutuangkan dari pelpies, lalu
kuletakkan di antara kami berdua. Huoy menyendokkan tajin dari mangkuknya dan
memasukkannya kembali ke mangkukku.
"Laki-laki
perlu makan lebih banyak daripada perempuan," katanya. "Kau bekerja
lebih keras daripada aku."
Tidak
ada regu kerja yang anggota-anggotanya tidak bertengkar tentang makanan. Suami
bertengkar dengan istri tentang makanan, masing-masing ingin mendapat lebih
banyak. Aku dan Huoy juga bertengkar; tapi kami bukannya berebut ingin mendapat
lebih, melainkan ingin saling memberi. Itu merupakan keintiman yang istimewa
dalam hubungan kami berdua, yang menurut hematku berawal saat ia merawat diriku
sampai aku sembuh ketika jatuh sakit di Phumn Chhleav. Aku tetap ingat bahwa ia
memberikan umbi gadung itu kepadaku, dan sejak itu aku senantiasa berusaha
membalas budinya.
Akhirnya
kami mencapai kompromi, seperti biasanya, lalu menyuapkan air tajin itu dalam kuantitas
yang sama ke mulut kami sambil mengunyah daun sdao yang pahit. Daun itu rasanya seperti kina. Kemungkinannya itu
tidak cuma kebetulan saja, karena sdao
paling tidak merupakan bahan pengganti kina yang lumayan manjur sebagai obat
malaria. Aku mampu saja makan daun sdao,
tapi nasilah yang kunikmati. Setiap suapan kutelan lambat-lambat, sambil
melumatkan butir-butirnya yang lunak ke langit-langit mulutku. Kurasakan
butir-butir itu memberi energi pada rubuhku. Bahkan cairannya pun enak rasanya,
karena berbekas nasi yang dimasak di dalamnya. Apabila sampai pada suapan yang penghabisan
aku berhenti sebentar. Aku enggan menyuapkannya ke mulut, karena itu berarti
saat makan sudah berakhir.
Seorang
kader memukul-mukul pelek mobil dengan tongkat, dan semua bangkit untuk
memulangkan mangkuk yang berkarat ke dapur umum lalu membentuk barisan lagi.
TENG
... TENG ... TENG ... Seluruh anggota koperasi berdiri dekat dapur umum.
Dentangan lonceng bisa kami dengar dengan jelas. Aku tidak mengerti apa
sebabnya ia tidak hanya sekali saja membunyikan lonceng. Kecuali jika itu dimaksudkan
untuk menyiksa telinga kami.
TENG...
TENG... TENG... TENG ... teng, teng, teng. tengtengteng....
Sorenya sama saja dengan pagi, hanya lebih panjang
waktunya. Tidak ada angin meniup dasar saluran. Kuayunkan cangkul. tapi rasanya
lebih berat ketimbang sebelumnya. Kerja regu tidak banyak kemajuannya.
Penggalian kami belum sampai di pancang. Kami diberi kesempatan beristirahat untuk
merokok, dan kemudian mereka memutar lagu-lagu lagi untuk mendorong kami agar
bekerja dengan lebih cepat. Aku rasanya mau berbuat apa saja yang mereka inginkan
asal mereka mau memperdengarkan musik lain. Tapi itu tidak dilakukan: Koperasi
itu hanya memiliki satu pita rekaman.
Merah segar darah ...
Keadaan
yang paling tidak enak dalam waktu sehari adalah saat sore. Itulah saatnya
serdadu-serdadu datang untuk melakukan aksi penangkapan. Kami tidak pernah bisa
tahu sebelumnya apakah mereka akan muncul, atau siapa yang akan ditangkap, atau
berapa banyak jumlah yang ditangkap. Ketidakpasrian menyebabkan saat-saat menunggu
menjadi semakin menyiksa.
Sementara bayang-bayang mulai merayapi
satu sisi saluran, lalu dasarnya, dan kemudian sisi yang lain, sewaktu aku
meletakkan cangkul untuk menggotong keranjang berisi tanah galian yang kesekian
kalinya ke atas tanggul - saat itulah aku melihat mereka. Tiga orang serdadu,
berjalan melintasi tanah sawah dan menuju langsung ke arahku. Aku turun ke
dasar saluran dengan jantung berdebar-debar, mcmbawa keranjang yang sudah
dikosongkan isinya. Jangan-jangan kini liba giliranku, kataku dalam hati.
Mungkin akhirnya tiba juga saatnya. Aku naik lagi menggotong tanah galian
berikut, tapi saat itu serdadu-serdadu tadi sudah membelok ke arah yang agak lebih
jauh dari tempatku. Ketika mereka meninggalkan saluran, mereka menggiring dua
orang "baru" yang berjalan dengan kepala tertunduk lesu dan lengan
terikat erat di belakang punggung.
Kesalahan apakah yang telah dilakukan
orang-orang yang ditangkap itu? Kami tahu bahwa itu lebih baik jangan ditanyakan.
Menanyakannya, takkan bisa mengembalikan orang-orang yang ditangkap. Malah
hanya akan membahayakan orang yang berani bertanya. Tidak ada hukum di bawah
rezim Khmer Merah selain hukum kebisuan. Tidak ada lembaga peradilan selain
Angka Leu. Mungkin saja orang-orang yang ditangkap itu tidak cukup keras
bekerja. Atau bisa juga mereka mencuri makanan. Atau seorang chhlop, seorang mata-mata, mendengar mereka
berkomentar tentang Angka. Orang-orang lenyap. Hanya itu saja yang kami ketahui.
Dan aku tahu, suatu hari nanti akulah salah satu dari mereka.
Ketika lonceng berdentang lagi, matahari
sudah terbenam dan cahaya jingga di langit sebelah barat lenyap dengan cepat.
Aku memanjat keluar dari saluran, bergegas ke sebuah saluran kecil yang berair
di dasarnya, lalu melompat masuk untuk mandi tanpa membuka pakaian lagi. Dengan
tubuh basah kuyup aku masuk lagi ke barisan, dan kami berjalan kembali ke dapur
umum. Saat makan malam hari sudah gelap sehingga tidak bisa dilihat butir-butir
nasi di dasar mangkuk, dan karenanya lebih sedikit terjadi pertengkaran.
Makanan saat itu juga lebih baik: sebagai tambahan pada nasi bcrair dengan
garam, kami diberi sejenis sayur bayam yang tumbuh liar, yang dikumpulkan oleh
regu pekerja dapur yang bertugas mencari bahan makanan di luar. Aku dan Huoy
makan bersama-sama. Kami sebenarnya berharap bisa kembali ke bukit kecil kami, menyalakan
api seadanya umuk membuat minuman teh dan memasak daun-daun sdao dan beberapa ekor keong yang
ditemukan Huoy sewaktu bekerja. Tapi tidak ada kesempatan untuk itu. Begitu
kami selesai makan, lonceng berbunyi.
Lonceng dibunyikan pada saat-saat begitu
sebagai panggilan untuk menghadiri rapat politik. Rapat-rapat itu seperti acara-acara
bonn yang kami hadiri di
tempat-tempat lain sebelumnya. Tapi di garis depan, sebutannya memakai Inggris,
yakni "meeting", dengan tekanan pada suku kata kedua: mee-TING. Dalam seminggu ada tiga sampai
empat kali acara begitu.
Segenap anggota koperasi berkumpul di
lapangan yang bersebelahan letaknya dengan dapur umum. Orang yang pertama-tama
berbicara adalah Chev, ketua koperasi. Suaranya lembut, dan ia sering berhenti
sebentar umuk tersenyum pada hadirin. Semua takut kepadanya. Chev mengatakan,
penggalian saluran terlalu lambat jalannya. Kami semua harus berkorban dan
bekerja lebih keras agar bisa menyelesaikannya sebelum musim hujan datang.
"Beberapa orang di sini sangat
malas," kata Chev. "Mereka tidak mau berperan serta dalam kegiatan
revolusioner karena pikiran mereka masih melekat pada masa silam, pada zaman
kapitalis. Mereka menghambat kelancaran pelaksanaan proyek. Mereka ingin menghentikan
perputaran roda sejarah. Tapi kita tidak perlu orang-orang seperti itu. Kita
tidak menghendaki mereka. Mereka itu kontrarevolusioner dan agen-agen CIA.
Betul atau tidak?"
"Betul! Ya, betul!" jawab kami
sambil bertepuk menyatakan persetujuan.
Chev mengatakan bahwa orang-arang yang dcmikian
itu musuh kami dan kami harus mencari mereka sampai ketemu dan menumpas mereka.
Lalu ditanyakannya apakah kata-katanya itu benar atau tidak. Kami bertepuk
tangan dan mengatakan ya, ia benar. Dikatakannya betapa beruntungnya kami,
hidup di bawah kekuasaan Angka. Sclama ribuan tahun rakyat Kamboja menunggu-nunggu
datangnya kesempatan itu; benarkah itu, atau tidak?
Aku dan Huoy duduk di bagian belakang sambil
bersandar pada sebatang pohon. Malam itu gelap-gulita. Kutarik tepi topiku
menutupi kening lalu memejamkan mata. Tapi aku hanya tidur- tidur ayam saja,
karena sebagian dari benakku tetap waspada, seperti prajurit yang sedang bertugas
jaga.
" ... atau benar?" tanya Chev.
"Ya, benar" jawabku sambil
bertepuk tangan tanpa membuka mata. Aku sudah cukup sering menghadiri rapat, sehingga
cukup sebegitu saja perhatian yang kuberikan.
Sesudah Chev, kader-kader yang lcbih rendah
kedudukannya silih berganti berbicara. Dari mulut mereka terlontar kata-kata
yang tidak dipahami otak mereka: " ... melancarkan ofensif secara terus-menerus
untuk berjuang mencapai loncatan besar ke depan yang gilang-gemilang demi dikuasainya
kekuatan alam ... " Tujuan mereka yang sebenarnya bukan untuk mengatakan sesuatu
yang baru, tapi menunjukkan ketaatan mereka. Dalam rezim yang tidak menyukai individualitas,
mereka menunjukkan antusiasme mereka dengan cara menirukan para pemimpin mereka.
Sementara mereka bcrbicara, aku dan Huoy duduk menyandar ke pohon, mengumpulkan
tenaga untuk menghadapi hal-hal yang akan datang.
Lonceng berdentang lagi.
Dengan lesu kami berbaris dalam
kegelapan, lalu tcrsaruk-saruk kembali menuju ke saluran.
Kami bekerja diterangi sinar bulan dan bintang-
bintang. Tepatnya beberapa orang saja dari kami yang bekerja, dengan gerakan lamban,
pokoknya jangan sampai penjaga datang memeriksa. Kami menggali tanah sebanyak
beberapa keranjang saja, tidak lebih. Para pekerja yang selebihnya tidur-tiduran
di tanah. Sebenarnya lebih baik jika waktu dimanfaatkan untuk benar-benar tidur
di tcmpat pembaringan kami sehingga bisa segar lagi keesokan harinya, tapi
percuma saja mengatakan hal itu kepada Khmer Merah.
Saat tengah malam lonceng berdentang-dentang
untuk terakhir kali. Bunyi yang ditunggu-tunggu, dari jauh menyeberangi tanah
persawahan, menimpali suara jangkrik dan burung hantu. Kami melangkah dengan gontai
ke bukit-bukit tempat kediaman kami, dengan menggunakan sosok-sosok pepohonan
yang gelap sebagai pengenal arah. Aku dan Huoy menjatuhkan diri ke tempat tidur
gantung kami. Empat jam kemudian kami dibangunkan lagi oleh dentang lonceng.
**********
Minat kami semata-mata pada makanan dan tidur.
Andaikan kami bisa cukup lama tidur, andaikan kami bisa makan sampai kenyang, andaikan
serdadu-serdadu tidak lagi menggiring orang-orang untuk dibawa pergi-andaikan
semuanya itu terjadi, ada kemungkinan kami akan berpikir tentang hal-hal lain.
Seperti misalnya lari lewat rute-rute yang tak dikenal menuju Thailand. Atau
menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan yang disebut Khmer Srei atau
Khmer Bebas, yang kabarnya ada di sepanjang perbatasan dengan Thailand. Tapi
kelihatannya benar-benar mustahil bisa melarikan diri. Khmer Merah menempatkan
penjagaan di sekeliling lokasi koperasi pada malam hari. Di antara orang yang
kukenal, tidak seorang pun pernah mencobanya.
Tidur lebih penting ketimbang melarikan
diri. Aku begitu capek, ingin rasanya tidur terus selama seminggu. Lalu
makanan: itu masih lebih penting lagi ketimbang tidur. Bobot tubuhku yang
bertambah selama di dusun Youen, kini sudah menurun lagi. Sekali lagi berat badanku
tinggal sekitar lima puluh kilo.
Daun-daun sdao, keong, dan bahan makanan lain yang kami temukan di tempat
kerja bisa membantu mengisi perut, tapi tetap saja tidak mencukupi. Jadi pada
malam hari, jika kebetulan tidak ada rapat, aku kembali berkeliaran mencari bahan
makanan tambahan pada saat jeda antara waktu makan dan kembali bekerja di
saluran. Aku mengumpulkan bahan pangan yang kutemukan di alam terbuka, lalu
kusembunyikan dalam semak-semak bukit kecil tempat tinggal kami. Saat makan
siang keesokan harinya, aku dan Huoy dengan membawa mangkuk-mangkuk berisi jatah
air tajin yang biasa pergi ke bukit kecil itu lalu cepat-cepat menyalakan api
dengan menggunakan jerami dan ranting-ranting. Nasi dan bahan pangan lainnya
hasil pengumpulanku malam sebelumnya kami masukkan ke dalam teko. Maksudnya supaya
kami bisa pura-pura sedang masak teh apabila ada yang datang memeriksa. Kami
masih diizinkan minum teh, dan terutama minuman jamu.
Tapi tidak gampang malam-malam di alam bebas
- menemukan sesuatu yang bisa dimakan. Karenanya aku lantas mulai mencarinya
saat pagi pagi sekali. Apabila aku kembali ke bukit tempat kediaman kami,
sesudah bunyi lonceng yang pertama kali terdengar, langit sudah mulai terang. Risikonya
kelihatannya tidak terlalu besar. Selain aku masih ada orang-orang lain yang
juga berkeliaran mencari apa saja yang bisa dimakan. Suatu pagi aku menemukan tanaman
ubi garut. Saat itu kami sudah sekitar sebulan berada di garis depan. Aku
menggali umbi-umbi nya, lalu kumasukkan ke dalam keranjang pengangkut tanah
yang sudah rusak. Keranjang berisi ubi garut itu kemudian kusembunyikan dalam
semak dekat tempat tidur gantung kami, lalu aku pcrgi memanggul cangkul untuk
bekerja scperti biasa. Sewaktu aku dan Huoy kembali ke bukit kami saat makan
siang, keranjang berisi ubi garut tadi tidak ada lagi. Kami menanyakan kepada
pasangan suami-istri yang tinggal sebukit dengan kami, tapi mereka tidak tahu
apa-apa mengenainya. Karenanya aku dan Huoy lantas memakan jatah kami, lalu
bcrbaring-baring di tempat tidur gantung.
Tahu-tahu ada dua anak lelaki di samping
pembaringan. Mereka berdiri sambil memandang kami. Keduanya mengisap rokok yang
dibuat dengan menggunakan daun pisang sebagai kertas. Mereka memilin-milin
rokok dengan gaya yang persis serupa. Mungkin mereka meniru gaya seorang
perokok yang lebih tua, yang mereka kagumi.
Mereka menatap diriku dengan kening
berkerut.
"Kawan!" teriak mereka dengan
suara tinggi. "Kau dipanggil Angka! Cepat!"
Aku duduk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar