Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013

Neraka Kamboja - Bab 24 : Bertanam Padi


24. BERTANAM PADI


KETIKA saat-saat turunnya hujan lebat sudah lewat dan jalan-jalan sudah selesai diperbaiki, reguku kembali melakukan pekerjaan menanam padi.

Untuk itulah kami dikerahkan ke garis depan: bertanam padi. Baik secara langsung atau tidak, segala-galanya berpusat padanya. Kami menggali saluran agar sawah-sawah bisa dialiri saat musim kemarau, dan untuk mencegah air melimpah saat musim hujan. Kami membuat petak-petak sawah baru untuk menanam padi dengan skala besar-besaran. Kami merawat sapi dan kerbau, agar binatang-binatang itu bisa menarik bajak-bajak kami. Kami menuntun bajak dan garu berkeliling lahan persawahan. Kami pergi menghadiri rapat-rapat propaganda, supaya Khmer Merah bisa mengatakan kepada kami bahwa bertani merupakan pekerjaan mulia.

Bagi siapapun juga yang otaknya sudah diasah oleh pendidikan, bertani merupakan pekerjaan yang bisa dipelajari dengan mudah. Ketika seseorang dari reguku mematahkan mata bajak yang terbuat dari kayu, aku pergi ke hutan, menebang sebatang pohon dan membuatkan mata bajak yang baru. Satu jam kemudian orang itu sudah bisa membajak lagi. Ketika tali kendali sapiku dicuri orang, mungkin karena ingin memakan tali yang terbuat dari kulit itu, aku tidak lantas bingung. Pencurian seperti itu biasa terjadi di garis depan. Aku masuk lagi ke hutan, membabat rotan yang kemudian kubelah lalu kuanyam kulit luarnya menjadi tali. Tali kendali baru itu sama kuat dan kencangnya seperti buatan petani yang asli. Dan kukutuk Khmer Merah, karena mereka mengatakan bahwa siapa pun bisa saja mempraktekkan pengobatan. Tujuh tahun lamanya aku menuntut ilmu untuk bisa meraih gelar sebagai dokter. Tidak ada satu ketrampilan pun dalam pekerjaan bertani yang tidak bisa kukuasai dalam waktu satu hari saja. Omong-kosong jika dikatakan bahwa hanya petani saja yang memiliki pengetahuan yang pantas dipelajari!

Meski begitu aku menyukai pekerjaan bertani. Dan yang paling kusukai adalah menanam padi. Apabila tempat persemaian sudah dibajak serta digaru dan air hujan setinggi beberapa senti sudah menggenanginya, kami lantas menaruh padi yang akan dijadikan benih ke dalam ember-ember. Kami biarkan selama beberapa hari di situ, sampai berkecambah. Kemudian kami menaburkannya ke tanah yang digenangi dan yang sudah diberi pupuk kandang. Beberapa hari kemudian nampak bermunculan kecambah yang sudah bertambah tinggi, .tersembul di·atas permukaan air. Beberapa hari setelah itu kecambah-kecambah itu berubah warna, mula-mula hijau pucat, lalu hijau muda. Saat itulah fase yang paling kritis daÌam usaha bereocok tanam padi. Hujan lebat akan menyebabkan benih-benih yang masih muda itu tenggelam dan beberapa jam kemudian mati. Kalau kurang sering turun hujan, tanaman muda u pun akan mati, karena kekurangan air. Kami berdiri dengan cangkul di pinggir tempat persemaian untuk mengatur pengaliran air, sesuai dengan yang diperlukan.

Sebulan setelah ditanam benih padi itu tumbuh sampai sekaki tingginya. Tumbuhnya rapat sekali, seperti rumput di halaman rumah. Tidak ada pemandangan yang lebih indah ketimbang sawah dengan padi yang masih hijau bermandikan sinar matahari. Kelihatannya seperti sinar yang menembus kaca berwarna, tapi lebih alamiah, lebih menyegarkan dipandang mata. Tanaman padi itu wangi baunya. Kalau didekati, akan nampak awan dan langit tercermin di air yang menggenang di sela batang-batangnya, atau bayangan muka kita sendiri, sampai angin mengusik permukaan air dan riaknya menggerak-gerakkan tangkai padi.

Aku paling merasa berbahagia pada saat pagi yang cerah di sawah. Udara di situ segar. Pemandangan ke segala arah nampak indah. Bekerja di sawah membangkilkan suatu perasaan tertentu dalam sanubariku, seperti tergugahnya kenangan pada leluhur. Orangtuaku bercocok tanam padi semasa muda mereka. Aku keturunan sekian generasi yang sudah selalu menjadi petani pengolah sawah, sèjak adanya manusia. Itu nyaris bisa membuat aku melupakan hal-hal yang terjadi di bawah rezim Khmer Merah dan memaafkannya. Tapi hanya nyaris saja. Coba jika aku bisa punya waktu untuk memancing dan mencari apa-apa yang bisa dimakan secara terang-terangan, jika mereka tidak membunuhi kami, jika orang-orang seperti .aku bisa punya waktu untuk bercumbu dengan istri kami dan membentuk keluarga dengan cara yang layak serta merawat orangtua kami-jika, jika-maka kurasa aku akan bisa menerima nasibku, dan menjadi petani yang bercocok tanam padi dengan sepenuh hati.

Pekerjaan yang paling berat dalam siklus bercocok tanam padi adalah memindahkan benih yang sudah disemaikan ke petak-pctak sawah. Hampir seluruh anggota koperasi dikerahkan untuk ikut membantu. Kami mempergunakan cara yang sudah kuno dalam melakukan pekerjaan mencabut benih yang sudah tumbuh itu: kami berdiri dengan lutut dibengkokkan agar punggung tidak lekas terasa pegal, lalu kami genggam beberapa helai tanaman muda itu dengan gerakan memutar. Tanaman itu tercabut dengan mudah lalu kami letakkan di tangan kiri. Apabila tangan itu sudah penuh, akar tanaman muda itu kami gerak-gerakkan dalam air untuk melepaskan tanah yang melekat ke situ. Kaki kiri kami angkat laIu kami pukulkan akar-akar itu ke punggungnya sehingga air bepercikan. Setelah itu berkas-berkas tanaman muda yang sudah bersih dan rapi itu kami tumpukkan dalam air di belakang kami, lalu kami melangkah maju. Kami melakukannya dalam barisan yang panjang, maju dengan pelan dan sabar di petak sawah.

Kemudian menyusui penanaman kembali benih-benih yang sudah tumbuh menjadi tanaman muda itu, dengan menggunakan teknik yang juga sudah kuno. Berkas-berkas tanaman muda itu kami bawa dengan meletakkannya di lengan yang dilipat. Kami harus memperhatikan, jangan sampai akar-akarnya kering. Tumbuhan muda itu kami ambiI satu-satu dengan tangan kanan lalu kami tanamkan dengan gerakan jempol dan telunjuk yang dilakukan dengan cepat: mula-mula dengan jempol membuat lubang di lumpur, lalu memasukkan akar ke dalam lubang itu, kemudian memampatkan lumpur di sekitar tangkai dengan telunjuk. Dalam sebaris dua tumbuhan, lalu maju selangkah dan menanam setangkai di deret berikut, lalu dua lagi, menanam dengan pola segitiga-segitiga sama sisi. Aku kembali bekerja dalam deretan panjang orang-orang yang bergerak maju dengan pelan. Petak sawah yang harus ditanami terasa seperti tidak ada barasnya. Program penanaman padi itu sangat ambisius.

Segala-galanya serba ambisius di garis depan itu. Tidak banyak dilakukan perencanaan atau kegiatan lanjutan secara cermat. Saluran-saluran yang kami buat dengan membanting tulang, hasilnya tidak pernah sepeni diharapkan. Hujan menyebabkan pinggirannya longsor dan dasarnya penuh dengan lumpur yang mengendap. Di beberapa tempat air tumpah dengan begitu saja melewati tepi atas saluran, melanda petak-petak luas yang sudah ditanami padi dan menghanyutkan tumbuhan yang masih muda itu. Regu-regu yang ada terlalu sedikit untuk bisa secara baik merawat tumbuhan padi yang selamat, yang luasnya lebih dari setengah lahan persawahan yang dibuka. Kami ke sana dengan membawa cangkul, untuk meneabuti rumput liar dan mengatur tinggi air dengan jalan membongkar atau meninggikan pematang; tapi kami seakan-akan boneka-boneka kecil belaka di tengah alam yang begitu luas. Kami diancam oleh Chev, tapi kami memang tidak mampu melakukan seluruh tugas yang harus dikerjakan. Kebanyakan orang "baru" bahkan melakukannya dengan segan-segan. Tidak peduti kami bekerja dengan rajin atau tidak, kami tahu bahwa nanti pada saat panen jatah nasi yang kami peroleh pasti akan tetap sama saja. Insentif sama sekali tidak ada. Tidak seperti masa Ialu, saat kaum petani tidak harus bekerja begitu keras dan menanam padi di sawah yang ukurannya lebih kecil, tapi nasi yang mereka makan lebih banyak karena mereka tahu apa yang mereka lakukan dan hasil panennya boleh mereka miliki sendiri.

Aku bekerja keras agar pikiranku tidak menjadi tumpul. Tapi yang lain-Iain dalam reguku bekerja dengan lambat dan sambil cemberut. Mereka bekerja sesedikit mungkin, sejauh yang berani mereka lakukan. Lalu apabila kebetulan sedang tidak ada penjaga di dekat-dekat kami, kami menangkap ketam yang ada di petak-petak sawah, lalu kami duduk dan bercakap-cakap tentang makanan. Percakapan kami selalu begitu-begitu terus:

“Ahhh ... " (desahan panjang). Lelaki yang mendesah itu. bernama Som. Lengannya yang satu cacat. Di antara kami, dia yang paling keras sikapnya mengecam rezim. "Coba lihat padi sebanyak ini. Kita boleh menanamnya, tapi memakannya tidak boleh."

"Tentu saja kau boleh memakannya," kataku.

"Kunyah saja batangnya, seperti sapi mengunyah rumput."

“Kau masih ingat Phnom Penh?" kata Som lagi.

"Nasi setiap hari? Kapan saja kita kepingin memakannya, tinggal masuk saja ke rumah makan. Kiia bisa memakannya dengan apa saja yang kita mau, nasi goreng, nasi kukus-"

"Aku lebih suka mi," kata seseorang lagi. "Setiap sore aku makan mi kuah dengan daging rendang dan bakso ikan. Pedas dan sedap-"

"Tidak, mi goreng lebih enak, dengan jahe dan daging sapi -"

Kini semuanya ikut bicara.

"Biniku paling hebat kalau memasak ikan goreng dengan jahe dan daun serai-"

"Aku mau mengorbankan apa saja, asal bisa mencicip lele goreng. Atau daging babi."

" ... atau ayam panggang yang tebal dagingnya, diisi rempah-rempah-"

 " ... begitu empuk dagingnya, begitu enak-"

"Bagaimana dengan buah-buahan?" kata Som.

"Kalian masih ingat pepaya? Mangga? Pisang goreng yang kecil-keciI di pasar? Aku dulu biasa membelinya sekantong setiap hari-"

"... begitu lezat, sedap-"

Kami duduk di sawah sambil mengobrol mengingat- ingat, menfilat-jilat bibir sementara perut kami keroncongan.

"Sudah. sudaaah! Jangan ingatkan aku lagi! Cukup!" kata pemimpin regu kami. "Kita harus bekerja kembali."

"Atau konyak dengan ginseng," kata Som.

"Aku dulu biasa minum itu sebelum pergi ke tempat pelacur. Otakku tidur tapi anuku bangun-"

"Sudah, diam! Aku tidak punya tenaga untuk memikirkan seks. Perutku dulu yang harus kenyang berisi makanan."

"Kita bekerja kembali. Kawan-kawan," kata pemimpin regu. "Kurasa ada penjaga datang." " ... nasi goreng dengan daging babi dan kecap banyak-banyak ... ," gumam Som sambil mengambi! cangkulnya.

*****************

Ketika hujan sudah tidak turun lagi, petak-petak sawah masih digenangi air yang tingginya sekaki. Tumbuhan padi bertambah besar dan mulai berbunga, menyebarkan bau yang wangi. Sementara sawah mengering, butir-butir padi berubah warna, dari hijau menjadi kuning keemasan.

Ketika saat panen sudah menjelang. Paman Seng menyuruh kami membuat orang-orangan penjaga sawah. Kami juga disuruhnya mengusir burung-burung ketika orang-orangan ternyata tidak mampu menakut-nakuti mereka. Kami juga diharuskan menjaga padi dari jarahan pencuri. Padahal kami sendiri pencuri yang paling nekat. Kami hanya harus berhati-hati, karena siapa tahu ada chhlop yang memata-matai. Aku merunduk-runduk di tengah tanaman padi yang berjejer-jejer dan mencabuti butir-butir yang tumbuh di tempat- tempat yang rendah. Butir-butir padi itu kutaruh dalam tempat apa saja yang kutemukan, lalu malamnya aku kembali ke situ untuk mengambilnya, jika tidak ada orang lain yang bisa melihat.

Akhirnya, buian November 1976, panen dimulai. Semuanya sudah berharap-harap. Chev mengatakan, rezim akan menawarkan kelebihan hasil panen kepada negara-negara lain untuk ditukar dengan traktor dan buldoser, supaya lebih banyak lagi padi yang bisa kami tanam tahun berikutnya. Kami orang-orang "baru" sudah membayangkan akan bisa makan nasi bermangkuk-mangkuk sepanjang tahun, dan tidak lagi air tajin yang hanya sesendok nasinya seperti yang dibagi-bagikan di dapur umum pada waktu makan.

Seluruh koperasi dikerahkan untuk memanen padi. Bahkan Huoy, yang bekerja di dapur, juga ikut turun ke sawah dan bekerja di sampingku. Berjam-jam lamanya kami menuai, meletakkan berkas-berkas padi yang sudah dipanen di belakang kami. Berkas-berkas itu kemudian diangkut dengan gerobak-gerobak ke tempat perontokan gabah.

Ketika gabah hasil panen penama sudah dirontokkan, dapur umum mulai menghidangkan nasi yang utuh kepada kami. Tapi kami tidak puas. Padi yang dipanen itu milik kami. Kami ingin memperoleh lebih banyak. Karenanya kami mcngambiI sendiri padi di sawah. Asap membubung dari api tempat untuk memasak yang buru-buru kami nyalakan secara sembunyi-sembunyi di setiap bukit kecil. Kami menggunakan potongan kayu dan lubang di tanah untuk menumbuk gabah, lalu kami memasak dan memakan nasinya cepar-cepat. Anak-anak kecil duduk di pinggir sawah sambil menumbuk gabah; terkadang hanya bermain-main menirukan perbuatan orangtua mereka, tapi biasanya benar-benar ada gabahnya di dalam lubang.

Para serdadu berusaha mencegah pencurian itu. Sebagai contoh agar kami takut, mereka menangkap seorang anak berumur empat tahun yang ketahuan sedang menumbuk gabah lalu mengikamya di sebuah tiang di depan orangtuanya. Mereka itu disuruh melihat anaknya tanpa diperholehkan menyentuh atau memberinya makan dan minum, sampai beberapa hari kemudian anak itu mati karena mengalami dehidrasi. Tapi kengerian hukuman itu tidak bisa mencegah kami yang selebihnya. Kami terus saja mencuri.

Sementara kami memotong tangkai-tangkai padi di sawah, dari alar-alar pengeras suara berkumandang lagu-lagu revolusioner, diselang-seling dengan siaran berita dari radio. Siaran-siaran itu mengumumkan "kemenangan gemilang atas kekuatan alam" yang menghasilkan panen yang lebih banyak dari masa-masa sebelumnya. "Tidak lama lagi kita akan mulai berjuang kembali untuk memperluas lahan sawah!" kata penyiar, yang kemudian membacakan daftar angka-angka statistik yang panjang, di antaranya angka hasil produksi di Phnom Tippeday. "Pria dan wanita di sana sangat aktif dan giat melakukan tugas panen! Mereka sangat berbahagia, bernyanyi-nyanyi di sawah dan setelah pulang disuguhi nasi yang berlimpah!"

Itulah yang dikatakan di radio Khmer Merah. Tapi kenyataannya tidak ada di antara kami yang bernyanyi-nyanyi. Wajah-wajah kami nampak kuyu. Sebulan setelah musim panen dimulai, saat kami masih sibuk menuai di sawah, jatah makanan dikurangi lagi. Bukan kembali ke nasi berair, tapi bubur dengan lima sampai enam sendok nasi setiap mangkuk. Tahun depan kami akan bisa makan lebih banyak, demikian kata Chev berjanji. Kami mengamati kesibukan di tempat merontokkan gabah dari jauh, dengan perasaan pedih.

Serdadu-serdadu mencurahkan gabah ke dalam karung-karung goni lalu menaikkannya ke atas truk-truk yang kemudian pergi, Beberapa karung diturunkan di gudang-gudang yang ada di dekat situ, dengan dijaga ketat. Tapi bagian terbesar diangkut pergi, Dan saat awal bulan Januari 1977, ketika pekerjaan memanen masih separuh jalan, kami sudah kembali makan air tajin. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar