24. BERTANAM PADI
KETIKA saat-saat turunnya
hujan lebat sudah lewat dan jalan-jalan sudah selesai diperbaiki, reguku
kembali melakukan pekerjaan menanam padi.
Untuk itulah kami
dikerahkan ke garis depan: bertanam padi. Baik secara langsung atau tidak, segala-galanya
berpusat padanya. Kami menggali saluran agar sawah-sawah bisa dialiri saat
musim kemarau, dan untuk mencegah air melimpah saat musim hujan. Kami membuat
petak-petak sawah baru untuk menanam padi dengan skala besar-besaran. Kami
merawat sapi dan kerbau, agar binatang-binatang itu bisa menarik bajak-bajak kami.
Kami menuntun bajak dan garu berkeliling lahan persawahan. Kami pergi
menghadiri rapat-rapat propaganda, supaya Khmer Merah bisa mengatakan kepada
kami bahwa bertani merupakan pekerjaan mulia.
Bagi siapapun juga
yang otaknya sudah diasah oleh pendidikan, bertani merupakan pekerjaan yang
bisa dipelajari dengan mudah. Ketika seseorang dari reguku mematahkan mata
bajak yang terbuat dari kayu, aku pergi ke hutan, menebang sebatang pohon dan
membuatkan mata bajak yang baru. Satu jam kemudian orang itu sudah bisa
membajak lagi. Ketika tali kendali sapiku dicuri orang, mungkin karena ingin
memakan tali yang terbuat dari kulit itu, aku tidak lantas bingung. Pencurian
seperti itu biasa terjadi di garis depan. Aku masuk lagi ke hutan, membabat rotan
yang kemudian kubelah lalu kuanyam kulit luarnya menjadi tali. Tali kendali
baru itu sama kuat dan kencangnya seperti buatan petani yang asli. Dan kukutuk
Khmer Merah, karena mereka mengatakan bahwa siapa pun bisa saja mempraktekkan
pengobatan. Tujuh tahun lamanya aku menuntut ilmu untuk bisa meraih gelar
sebagai dokter. Tidak ada satu ketrampilan pun dalam pekerjaan bertani yang
tidak bisa kukuasai dalam waktu satu hari saja. Omong-kosong jika dikatakan bahwa
hanya petani saja yang memiliki pengetahuan yang pantas dipelajari!
Meski begitu aku
menyukai pekerjaan bertani. Dan yang paling kusukai adalah menanam padi. Apabila
tempat persemaian sudah dibajak serta digaru dan air hujan setinggi beberapa
senti sudah menggenanginya, kami lantas menaruh padi yang akan dijadikan benih
ke dalam ember-ember. Kami biarkan selama beberapa hari di situ, sampai berkecambah.
Kemudian kami menaburkannya ke tanah yang digenangi dan yang sudah diberi pupuk
kandang. Beberapa hari kemudian nampak bermunculan kecambah yang sudah
bertambah tinggi, .tersembul di·atas permukaan air. Beberapa hari setelah itu
kecambah-kecambah itu berubah warna, mula-mula hijau pucat, lalu hijau muda. Saat
itulah fase yang paling kritis daÌam usaha bereocok tanam padi. Hujan lebat
akan menyebabkan benih-benih yang masih muda itu tenggelam dan beberapa jam
kemudian mati. Kalau kurang sering turun hujan, tanaman muda u pun akan mati,
karena kekurangan air. Kami berdiri dengan cangkul di pinggir tempat persemaian
untuk mengatur pengaliran air, sesuai dengan yang diperlukan.
Sebulan setelah
ditanam benih padi itu tumbuh sampai sekaki tingginya. Tumbuhnya rapat sekali, seperti
rumput di halaman rumah. Tidak ada pemandangan yang lebih indah ketimbang sawah
dengan padi yang masih hijau bermandikan sinar matahari. Kelihatannya seperti
sinar yang menembus kaca berwarna, tapi lebih alamiah, lebih menyegarkan
dipandang mata. Tanaman padi itu wangi baunya. Kalau didekati, akan nampak awan
dan langit tercermin di air yang menggenang di sela batang-batangnya, atau
bayangan muka kita sendiri, sampai angin mengusik permukaan air dan riaknya
menggerak-gerakkan tangkai padi.
Aku paling merasa
berbahagia pada saat pagi yang cerah di sawah. Udara di situ segar. Pemandangan
ke segala arah nampak indah. Bekerja di sawah membangkilkan suatu perasaan tertentu
dalam sanubariku, seperti tergugahnya kenangan pada leluhur. Orangtuaku
bercocok tanam padi semasa muda mereka. Aku keturunan sekian generasi yang
sudah selalu menjadi petani pengolah sawah, sèjak adanya manusia. Itu nyaris bisa
membuat aku melupakan hal-hal yang terjadi di bawah rezim Khmer Merah dan memaafkannya.
Tapi hanya nyaris saja. Coba jika aku bisa punya waktu untuk memancing dan
mencari apa-apa yang bisa dimakan secara terang-terangan, jika mereka tidak
membunuhi kami, jika orang-orang seperti .aku bisa punya waktu untuk bercumbu
dengan istri kami dan membentuk keluarga dengan cara yang layak serta merawat orangtua
kami-jika, jika-maka kurasa aku akan bisa menerima nasibku, dan menjadi petani
yang bercocok tanam padi dengan sepenuh hati.
Pekerjaan yang paling
berat dalam siklus bercocok tanam padi adalah memindahkan benih yang sudah
disemaikan ke petak-pctak sawah. Hampir seluruh anggota koperasi dikerahkan
untuk ikut membantu. Kami mempergunakan cara yang sudah kuno dalam melakukan
pekerjaan mencabut benih yang sudah tumbuh itu: kami berdiri dengan lutut
dibengkokkan agar punggung tidak lekas terasa pegal, lalu kami genggam beberapa
helai tanaman muda itu dengan gerakan memutar. Tanaman itu tercabut dengan mudah
lalu kami letakkan di tangan kiri. Apabila tangan itu sudah penuh, akar tanaman
muda itu kami gerak-gerakkan dalam air untuk melepaskan tanah yang melekat ke
situ. Kaki kiri kami angkat laIu kami pukulkan akar-akar itu ke punggungnya
sehingga air bepercikan. Setelah itu berkas-berkas tanaman muda yang sudah
bersih dan rapi itu kami tumpukkan dalam air di belakang kami, lalu kami melangkah
maju. Kami melakukannya dalam barisan yang panjang, maju dengan pelan dan sabar
di petak sawah.
Kemudian menyusui
penanaman kembali benih-benih yang sudah tumbuh menjadi tanaman muda itu,
dengan menggunakan teknik yang juga sudah kuno. Berkas-berkas tanaman muda itu kami
bawa dengan meletakkannya di lengan yang dilipat. Kami harus memperhatikan,
jangan sampai akar-akarnya kering. Tumbuhan muda itu kami ambiI satu-satu
dengan tangan kanan lalu kami tanamkan dengan gerakan jempol dan telunjuk yang
dilakukan dengan cepat: mula-mula dengan jempol membuat lubang di lumpur, lalu memasukkan
akar ke dalam lubang itu, kemudian memampatkan lumpur di sekitar tangkai dengan
telunjuk. Dalam sebaris dua tumbuhan, lalu maju selangkah dan menanam setangkai
di deret berikut, lalu dua lagi, menanam dengan pola segitiga-segitiga sama
sisi. Aku kembali bekerja dalam deretan panjang orang-orang yang bergerak maju dengan
pelan. Petak sawah yang harus ditanami terasa seperti tidak ada barasnya.
Program penanaman padi itu sangat ambisius.
Segala-galanya serba
ambisius di garis depan itu. Tidak banyak dilakukan perencanaan atau kegiatan
lanjutan secara cermat. Saluran-saluran yang kami buat dengan membanting
tulang, hasilnya tidak pernah sepeni diharapkan. Hujan menyebabkan pinggirannya
longsor dan dasarnya penuh dengan lumpur yang mengendap. Di beberapa tempat air
tumpah dengan begitu saja melewati tepi atas saluran, melanda petak-petak luas
yang sudah ditanami padi dan menghanyutkan tumbuhan yang masih muda itu.
Regu-regu yang ada terlalu sedikit untuk bisa secara baik merawat tumbuhan padi
yang selamat, yang luasnya lebih dari setengah lahan persawahan yang dibuka.
Kami ke sana dengan membawa cangkul, untuk meneabuti rumput liar dan mengatur tinggi
air dengan jalan membongkar atau meninggikan pematang; tapi kami seakan-akan boneka-boneka
kecil belaka di tengah alam yang begitu luas. Kami diancam oleh Chev, tapi kami
memang tidak mampu melakukan seluruh tugas yang harus dikerjakan. Kebanyakan
orang "baru" bahkan melakukannya dengan segan-segan. Tidak peduti
kami bekerja dengan rajin atau tidak, kami tahu bahwa nanti pada saat panen
jatah nasi yang kami peroleh pasti akan tetap sama saja. Insentif sama sekali
tidak ada. Tidak seperti masa Ialu, saat kaum petani tidak harus bekerja begitu
keras dan menanam padi di sawah yang ukurannya lebih kecil, tapi nasi yang
mereka makan lebih banyak karena mereka tahu apa yang mereka lakukan dan hasil
panennya boleh mereka miliki sendiri.
Aku bekerja keras
agar pikiranku tidak menjadi tumpul. Tapi yang lain-Iain dalam reguku bekerja dengan
lambat dan sambil cemberut. Mereka bekerja sesedikit mungkin, sejauh yang
berani mereka lakukan. Lalu apabila kebetulan sedang tidak ada penjaga di dekat-dekat
kami, kami menangkap ketam yang ada di petak-petak sawah, lalu kami duduk dan
bercakap-cakap tentang makanan. Percakapan kami selalu begitu-begitu terus:
“Ahhh ... "
(desahan panjang). Lelaki yang mendesah itu. bernama Som. Lengannya yang satu cacat.
Di antara kami, dia yang paling keras sikapnya mengecam rezim. "Coba lihat
padi sebanyak ini. Kita boleh menanamnya, tapi memakannya tidak boleh."
"Tentu saja kau
boleh memakannya," kataku.
"Kunyah saja
batangnya, seperti sapi mengunyah rumput."
“Kau masih ingat
Phnom Penh?" kata Som lagi.
"Nasi setiap
hari? Kapan saja kita kepingin memakannya, tinggal masuk saja ke rumah makan. Kiia
bisa memakannya dengan apa saja yang kita mau, nasi goreng, nasi kukus-"
"Aku lebih suka
mi," kata seseorang lagi. "Setiap sore aku makan mi kuah dengan
daging rendang dan bakso ikan. Pedas dan sedap-"
"Tidak, mi
goreng lebih enak, dengan jahe dan daging sapi -"
Kini semuanya ikut
bicara.
"Biniku paling hebat
kalau memasak ikan goreng dengan jahe dan daun serai-"
"Aku mau
mengorbankan apa saja, asal bisa mencicip lele goreng. Atau daging babi."
" ... atau ayam
panggang yang tebal dagingnya, diisi rempah-rempah-"
" ... begitu empuk dagingnya, begitu
enak-"
"Bagaimana
dengan buah-buahan?" kata Som.
"Kalian masih
ingat pepaya? Mangga? Pisang goreng yang kecil-keciI di pasar? Aku dulu biasa membelinya
sekantong setiap hari-"
"... begitu
lezat, sedap-"
Kami duduk di sawah sambil
mengobrol mengingat- ingat, menfilat-jilat bibir sementara perut kami
keroncongan.
"Sudah. sudaaah!
Jangan ingatkan aku lagi! Cukup!" kata pemimpin regu kami. "Kita
harus bekerja kembali."
"Atau konyak dengan
ginseng," kata Som.
"Aku dulu biasa
minum itu sebelum pergi ke tempat pelacur. Otakku tidur tapi anuku
bangun-"
"Sudah, diam!
Aku tidak punya tenaga untuk memikirkan seks. Perutku dulu yang harus kenyang berisi
makanan."
"Kita bekerja
kembali. Kawan-kawan," kata pemimpin regu. "Kurasa ada penjaga
datang." " ... nasi goreng dengan daging babi dan kecap banyak-banyak
... ," gumam Som sambil mengambi! cangkulnya.
*****************
Ketika hujan sudah
tidak turun lagi, petak-petak sawah masih digenangi air yang tingginya sekaki.
Tumbuhan padi bertambah besar dan mulai berbunga, menyebarkan bau yang wangi. Sementara
sawah mengering, butir-butir padi berubah warna, dari hijau menjadi kuning
keemasan.
Ketika saat panen
sudah menjelang. Paman Seng menyuruh kami membuat orang-orangan penjaga sawah.
Kami juga disuruhnya mengusir burung-burung ketika orang-orangan ternyata tidak
mampu menakut-nakuti mereka. Kami juga diharuskan menjaga padi dari jarahan
pencuri. Padahal kami sendiri pencuri yang paling nekat. Kami hanya harus
berhati-hati, karena siapa tahu ada chhlop
yang memata-matai. Aku merunduk-runduk di tengah tanaman padi yang
berjejer-jejer dan mencabuti butir-butir yang tumbuh di tempat- tempat yang
rendah. Butir-butir padi itu kutaruh dalam tempat apa saja yang kutemukan, lalu
malamnya aku kembali ke situ untuk mengambilnya, jika tidak ada orang lain yang
bisa melihat.
Akhirnya, buian
November 1976, panen dimulai. Semuanya sudah berharap-harap. Chev mengatakan, rezim
akan menawarkan kelebihan hasil panen kepada negara-negara lain untuk ditukar dengan
traktor dan buldoser, supaya lebih banyak lagi padi yang bisa kami tanam tahun
berikutnya. Kami orang-orang "baru" sudah membayangkan akan bisa
makan nasi bermangkuk-mangkuk sepanjang tahun, dan tidak lagi air tajin yang hanya
sesendok nasinya seperti yang dibagi-bagikan di dapur umum pada waktu makan.
Seluruh koperasi
dikerahkan untuk memanen padi. Bahkan Huoy, yang bekerja di dapur, juga ikut
turun ke sawah dan bekerja di sampingku. Berjam-jam lamanya kami menuai,
meletakkan berkas-berkas padi yang sudah dipanen di belakang kami.
Berkas-berkas itu kemudian diangkut dengan gerobak-gerobak ke tempat perontokan
gabah.
Ketika gabah hasil
panen penama sudah dirontokkan, dapur umum mulai menghidangkan nasi yang utuh
kepada kami. Tapi kami tidak puas. Padi yang dipanen itu milik kami. Kami ingin
memperoleh lebih banyak. Karenanya kami mcngambiI sendiri padi di sawah. Asap
membubung dari api tempat untuk memasak yang buru-buru kami nyalakan secara
sembunyi-sembunyi di setiap bukit kecil. Kami menggunakan potongan kayu dan
lubang di tanah untuk menumbuk gabah, lalu kami memasak dan memakan nasinya cepar-cepat.
Anak-anak kecil duduk di pinggir sawah sambil menumbuk gabah; terkadang hanya bermain-main
menirukan perbuatan orangtua mereka, tapi biasanya benar-benar ada gabahnya di dalam
lubang.
Para serdadu berusaha
mencegah pencurian itu. Sebagai contoh agar kami takut, mereka menangkap seorang
anak berumur empat tahun yang ketahuan sedang menumbuk gabah lalu mengikamya di
sebuah tiang di depan orangtuanya. Mereka itu disuruh melihat anaknya tanpa
diperholehkan menyentuh atau memberinya makan dan minum, sampai beberapa hari
kemudian anak itu mati karena mengalami dehidrasi. Tapi kengerian hukuman itu
tidak bisa mencegah kami yang selebihnya. Kami terus saja mencuri.
Sementara kami memotong
tangkai-tangkai padi di sawah, dari alar-alar pengeras suara berkumandang lagu-lagu
revolusioner, diselang-seling dengan siaran berita dari radio. Siaran-siaran
itu mengumumkan "kemenangan gemilang atas kekuatan alam" yang
menghasilkan panen yang lebih banyak dari masa-masa sebelumnya. "Tidak lama
lagi kita akan mulai berjuang kembali untuk memperluas lahan sawah!" kata
penyiar, yang kemudian membacakan daftar angka-angka statistik yang panjang, di
antaranya angka hasil produksi di Phnom Tippeday. "Pria dan wanita di sana
sangat aktif dan giat melakukan tugas panen! Mereka sangat berbahagia,
bernyanyi-nyanyi di sawah dan setelah pulang disuguhi nasi yang berlimpah!"
Itulah yang dikatakan
di radio Khmer Merah. Tapi kenyataannya tidak ada di antara kami yang bernyanyi-nyanyi.
Wajah-wajah kami nampak kuyu. Sebulan setelah musim panen dimulai, saat kami
masih sibuk menuai di sawah, jatah makanan dikurangi lagi. Bukan kembali ke
nasi berair, tapi bubur dengan lima sampai enam sendok nasi setiap mangkuk.
Tahun depan kami akan bisa makan lebih banyak, demikian kata Chev berjanji. Kami
mengamati kesibukan di tempat merontokkan gabah dari jauh, dengan perasaan
pedih.
Serdadu-serdadu mencurahkan
gabah ke dalam karung-karung goni lalu menaikkannya ke atas truk-truk yang
kemudian pergi, Beberapa karung diturunkan di gudang-gudang yang ada di dekat situ,
dengan dijaga ketat. Tapi bagian terbesar diangkut pergi, Dan saat awal bulan
Januari 1977, ketika pekerjaan memanen masih separuh jalan, kami sudah kembali
makan air tajin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar