26. RETAK-RETAK MULAI NAMPAK
KALAU kutengok lagi
ke belakang, nampak jelas bahwa tahun 1977 merupakan saat rezim Khmer Merah
mulai meretak. Mereka bertindak terlalu cepat dan terlalu radikal dalam upaya
melakukan reorganisasi negara, dan itu menyebabkan struktur yang terbentuk
tidak mungkin kokoh. Di kalangan pemimpin mereka sendiri pecah persengketaan, dan
rakyat yang ada di lapisan paling bawah menunjukkan landa-tanda ketidakpuasan, dan
bahkan pembangkangan secara terbuka.
Tapi waktu itu
sendiri tidak kusadari adanya perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Aku lebih
merasakan perjalanan waktu yang begitu lambat. Pekerjaanku membosankan. Aku
bisa merasakan otakku mulai tumpul, meski ada pelajaran bahasa Inggris yang
diberikan Som. Berat sekali rasanya berpikir tentang apa saja. Situasi di pedesaan
kelihatannya akan terus begitu. Jadwal kerja diatur bunyi lonceng. Para pekerja
hilir-mudik, berbaris satu-satu dengan langkah lesu. Lagu-lagu revolusioner
berkumandang dari alat-alat pengeras suara, dan pidato dalam rapat-rapat selalu
begitu-begitu terus. Saat makan kami duduk membentuk lingkaran di dapur umum,
dan memperhatikan dengan tatapan mata curiga sementara jatah kami yang berupa
air tajin asin disendokkan ke dalam mangkuk-mangkuk berkarat.
Makanan - itulah yang
paling kami utamakan. Banyaknya jatah, dan apakah dapur umum akan membagikan
sayur sebagai teman nasi. Jika ada hari- hari yang lebih kuingat dalam
kenanganku tentang tahun 1977, maka biasanya makananlah yang merupakan
penyebabnya. Seperti ketika ada seorang kader yang benar-benar goblok, yang
menyarankan agar kami memelihara ketam di kebun sayur. Atau ketika aku masak
sop buntut pada suatu malam, yang buntutnya kuperoleh dengan jalan memotong
ekor sapi yang masih hidup. Atau ketika aku menjarah sebuah kebun sayur, lalu
sayurannya kumasak; aku makan begitu banyak sampai muntah, lalu muntahanku
kumakan lagi. Menjijikkan sekali rasanya mengingat bahwa aku pernah makan
muntahanku sendiri. ltu bukan perbuatan normaI. Tapi kejadian itu menunjukkan
betapa tubuhku kekurangan gizi dan bahwa urusan makanan terus-menerus menghantui
pikiranku.
Sampai takaran
tertentu, aku dan Huoy menjadi biasa merasa lapar. Setidak-tidaknya ada
alternatif hakiki yang bisa kami pilih: jika aku berani menghadapi risiko
mencuri atau dengan sembunyi- sembunyi mencari makanan di luar, maka kami bisa
makan.
Yang lebih gawat
rasanya ketimbang lapar adalah rasa ngeri, karena kami tidak berdaya terhadapnya.
Kengerian itu selalu hadir jauh di dalam lubuk hati. Saat petang, dalam hati
bertanya-tanya apakah serdadu-serdadu akan menjemput kami sebagai korban mereka
yang berikut. Lalu rasa bersalah apabila orang lain yang ternyata dijemput.
Pada malam hari, saat mematikan lampu minyak kami yang sangat kecil nyalanya agar
jangan sampai terlihat serdadu yang kemudian pasti akan datang memeriksa, lalu
setelah itu berbaring dengan mata nyalang, bertanya-ranya dalam hati apakah
kami masih bisa melihat fajar menyingsing nami. Dan kemudian bangun keesokan harinya
dengan pertanyaan di hati, apakah itu hari terakhir kami masih bisa hidup.
Kami tidak banyak
berbicara tentang rasa ngeri itu, karena tidak ada gunanya. Aku dan Huoy ingin
hidup; kami mau saja mati jika itu tidak bisa dielakkan, rapi rasa ngeri
memaksa kami hidup dalam keadaan serba tanggung-hidup tidak, tapi mati juga
belum; dan itu terasa lebih menyiksa batin kami. Segala hal lainnya dalam
kehidupan sebagai budak perang - musik menyakitkan telioga yang berkumandang
dari alat pengeras suara, rapat-rapat yang menjemukan, kepala kami yang penuh
kutu, pekerjaan membosankan yang tidak selesai-selesai, air tajin dengan nasi
beberapa butir yang kami anggap saja makanan - lama-Iama kami terbiasa juga
pada kesemuanya itu; tapi perasaan takut kami pada kematian lebih menyiksa kami
daripada kematian itu sendiri. Aku berusaha memerangi perasaan itu. Aku
bercanda dengan orang-orang yang seregu dengan Huoy. Aku belajar bahasa Inggris
dari Som. Aku sengaja mengambil risiko mencuri, dengan harapan bahwa aku akan
bisa menaklukkan rasa ngeriku. Tapi apa pun juga yang kulakukan untuk melawannya,
ternyata hanya menegaskan bahwa kengerian itu menguasai batinku.
Hanya Huoy saja yang
sepenuhnya kupercayai. Kami berdua sangar akrab, seakrab hubungan yang mungkin
bisa terjalin antara dua insan. Hanya dengan segan-segan saja kami memberikan sebagian
dari rasa percaya kami pada orang lain. Dari ke hari, aku menjadi semakin
percaya kepada Som. Dan bahkan ini pun ternyata merupakan Kekeliruan.
Kami berdua
bercakap-cakap tentang apa saja. Di segi intelektualitas, kami setara. Sayang
kami tidak setara secara jasmaniah, karena itulah yang menyebabkan dia
terjerumus dalam bencana -lengan kanannya yang cedera kena pecahan peluru meriam,
yang kemudian kubedah, tapi ridak sempat sepenuhnya sembuh kembali semasa
keadaan kacau saat terjadi pergantian rezim.
Kejadiannya begini:
ketika Som disuruh ikut mencari bambu di gunung, lengannya yang cacat itu
mengakibatkan hasil kerjanya tidak sebanyak teman-temannya yang lain. Hal itu
menimbulkan perasaan tidak senang seorang kader Khmer Merah. Orang itu beberapa
minggu kemudian juga menjadi pengawas pekerjaan membajak sawah. Seluruh
pekerjaan membangun rumah dihentikan untuk sementara, karena tenaga kami diperlukan
untuk menyiapkan lahan yang akan ditanami padi. Aku dan Som termasuk orang-orang
yang disuruh membajak sawah. Tanahnya belum lunak, karena saat itu hujan masih
jarang turun. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan ketrampilan, aku berhasil membuat
alur-alur yang lurus. Tapi bajak yang didorong oIeh Som selalu saja membelok ke
kanan, ke sisi lengannya yang cacat.
Serdadu-serdadu muncuI
saat makan siang, ketika aku, Som, dan istri-istri kami sedang mengaso di
sebuah bukit kecil. Kedua lengan Som diikat serdadu-serdadu itu di belakang
punggungnya. Mereka menendangnya sehingga terjungkal dengan kepala ke bawah,
sementara istrinya dan juga Huoy menangis terjerit-jerit. Kemudian mereka
menggiringnya pergi, meninggalkan kami dalam keadaan terpana. Aku tidak hanya
terpana saja, .tapi juga merasa kehilangan. Dia satu-satunya sahabatku.
Hatiku pilu memikirkannya.
la pasti akan dibunuh. Kemudian timbul kecemasan dalam hatiku: bagaimana jika
ia disiksa? la pasti akan mengatakan bahwa aku sebenarnya dokter! la tahu
segala-galanya tentang masa silamku! Aku masih bisa melihatnya, berjalan
tersaruk-saruk menuju ajalnya; tapi aku sudah melupakan nasibnya, karena cemas
memikirkan nasibku sendiri.
Malam itu aku tidak
bisa ridur, begitu pula malam berikutnya. Serdadu-serdadu pasti akan muncul
menjemputku. Kemudian turun hujan lebat. Ketika sedang membajak, aku keliru
menuntun sapi, dan sapi itu tersandung. Aku terjerembap ke dalam air berlumpur,
bersama sapi dan bajaknya sekaligus. Kejadian itu dilihat oleh seorang kader
Khmer Merah; kader yang memerintahkan serdadu-serdadu untuk menangkap dan membunuh
Som. Orang itu menatapku dengan marah. Tanganku gemetar saat aku makan siang di
sebuah bukit kecil. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Huoy. Aku merasa
yakin saat itu bahwa serdadu-serdadu pasti datang menjemputku. Tapi kemudian
lonceng berdentang tanda waktu makan siang sudah berakhir, dan aku bekerja
kembali. Sepanjang siang aku terus membajak, Sorenya lonceng berdentang-dentang
lagi. Aku dan Huoy pergi ke dapur umum. Tidak ada penjelasan. Aku diizinkan
menunggu terus.
Aku tahu, saat
kematianku sudah dekat. Bisa saja diundurkan, tapi tidak mungkin bisa
dielakkan. Mungkin beberapa hari Iagi, bisa juga beberapa buIan, sampai aku
ketahuan melakukan salah satu kesalahan, dan saat itu akan tamatlah; riwayatku.
Aku merasa diriku menjadi tua dengan cepat, karena beban batin yang menekan.
Bukan aku saja yang begitu, tapi semuanya. Aku jadi semakin meyakini kebenaran
kata-kata ayahku dulu, bahwa rezim semaeam itu takkan mungkin bisa terus bertahan.
Rerak-retak mulai
nampak. Salah satu tandanya yang paling awal nampak adalah semakin meningkatnya
pencurian yang terjadi di "kebun-kebun umum" yang menyediakan
sayur-sayuran untuk keperluan dapur umum. Selama tahun 1975 dan 1976,
orang-orang "baru" banyak yang pergi dengan sembunyi-sembunyi untuk
mencari bahan pangan tambahan di luar, tapi tidak banyak yang mencuri dari
kebun-kebun, karena kami takut ketahuan para penjaga. Tahun 1977, ketika aku melakukan
aksi-aksi pencurianku, aku melihat bahwa makin lama makin banyak orang yang
berbuat seperti aku. Jika kuIihat ada orang berjalan dalam gelap, maka hampir selalu
itu kemudian, ternyata orang "baru". Itu merupakan hai yang tidak
bisa kami bicarakan secara terbuka saat siang hari, atau tepatnya belum bisa
waktu itu. Tapi malam hari, kami bisa bergerak dengan leluasa. Serdadu-serdadu tidak
suka lagi melakukan dinas jaga, dan mereka hanya mau berpatroli jika
berombongan.
Satu tanda Iain yang
menunjukkan bahwa rezim mulai retak adalah cerita-cerita tentang Khmer Serei.
Desas-desus menjalar dari koperasi ke koperasi tentang para pejuang kemerdekaan
yang pangkalannya terdapat dekat perbatasan dengan Thailand, tidak sampai seratus
lima puluh kilometer dari tempat kami. Begitu banyak desas-desus yang beredar
tentang pejuang-pejuang itu yang dikatakan pasti akan muncul, sehingga orang-orang
setlap kali mendongak menatap langit, menunggu-nunggu kapan
helikopter-helikopter akan mendarat.
Aku masih bekerja
membangun perumahan di garis belakang ketika pemberontakan akhimya pecah.
Pemimpinnya seseorang bernama Thai. Aku pemah bercakap-cakap dengan dia dekat
api unggun sekitar satu tahun sebelumnya, dan juga disumpah agar menjaga
rahasia. Bukan aku saja, tapi antara lain juga Pen Tip.
Thai dan beberapa
orang yang dipilihnya sendiri dan terdiri dari campuran orang "baru" dan
"lama" - satu di antaranya asisten Chev - pada suatu malam menyerang
sekitar setengah lusin serdadu; serdadu-serdadu itu dibunuh dan senjata mereka
dirampas. Keesokan harinya Thai beserta kawanannya pergi bekerja seolah-olah
tidak terjadi apa-apa. Malam berikutnya mereka membunuh beberapa serdadu lagi.
Malam ketiga mereka membajak sebuah kereta api lalu mengendarainya ke utara
menuju kota Battambang. Niat mereka dari sana kemudian menuju ke barat, ke
perbatasan dengan Thailand, untuk bergabung dengan para pejuang kemerdekaan
yang ada di sana. Perjalanan mereka pasti berlangsung dramatis, menegangkan.
Kemudian pihak Khmer
Merah mengumurnkan bahwa mereka berhasil menewaskan Thai beserta kawanan
pemberontaknya; meski aku tidak pernah bisa mengetahui dengan pasti, tapi dalam
kasus ini aku cenderung mempercayai mereka. Thai mestinya membajak kereta api
itu pada malam pertama, ketika pihak Khmer Merah belum berjaga-jaga.
Setelah itu
dilancarkan aksi pembersihan besar- besaran di garis depan, untuk menakut-nakuti
kami yang selebihnya. Kira-kira selama seminggu, setiap sore serdadu-serdadu
datang dan mengikat sekitar serarus orang lalu menggiring mereka ke hutan dan
membunuh mereka di sana. Huoy yang bercerita padaku mengenainya. la mengatakan bahwa
Pen Tip sangat berhati-hati sikapnya agar jangan sampai menarik perhatian.
Kerjanya semakin giat saja.
Tapi meski
pemberontakan itu berakhir dengan kegagalan, ada satu efeknya yang tidak bisa dilenyapkan
lagi, yaitu bahwa dengannya runtuhlah mitos tentang Khmer Merah yang katanya tidak
terkalahkan. Angka memang kuat, tapi tidak mahakuasa. Kejadian itu menyebabkan
Angka kehilangan muka.
****************
Tidak banyak yang
dilakukan oleh rezim dalam menghadapi pemberontakan dan aksi-aksi pencurian, kecuali
menghukumi orang-orang. Tidak ada perubahan nyata dalam kebijakan, tidak ada upaya
memperbaiki haI-hai yang ternyata keliru. Para pemimpin revolusi di
negara-negara lain pasti menyadari bahwa dukungan rakyat merupakan hai yang
perlu ada; tapi pada Angka tidak ada kesadaran itu. Malah sebaliknya: kampanye
restrukturisasi masyarakat berlangsung terus, membuat kami, budak-budak perang,
semakin teralienasi- jika itu masih mungkin terjadi. Satu contoh mengenainya
adalah tentang pernikahan.
Khmer Merah hendak
mengatur dan mengontrol hubungan seksual, serupa halnya dengan percobaan mereka
mengontrol segala kegiatan manusia yang lain-Iainnya, seperti makan, bekerja, dan
tidur. Di saat-saat awal masa kekuasaan rezim, orang-orang yang ingin menikah diharuskan
minta izin terlebih dulu kepada kepala desa mereka. Jika kepala desa
mengizinkan, mereka bisa menikah. Jika jawabannya tidak, pasangan itu akan
mengalami kesulitan, apalagi jika ada chhlop
yang berhasil mengetahui bahwa mereka sebelumnya sudah pernah melakukan
hubungan seksual. Sewaktu di penjara, aku melihat berderet-deret wanita muda
digiring pergi, karena dipersalahkan melanggar peraturan perilaku Angka yang
bercorak puritan itu.
Tapi sementara
orang-orang dibunuhi karena melakukan kejahatan seksual, dan ratusan ribu lagi bergelimpangan
mati karena kelaparan dan penyakit, Khmer Merah menyatakan dorongan terhadap
pertumbuhan jumlah penduduk. Mereka mengatakan kepada kami bahwa Angka
memerlukan kawan-kawan yang lebih banyak lagi "untuk menjaga keamanan
perbatasan negara dan untuk turut berjuang meraih kemerdekaan berdaulat".
Seremoninya diumumkan
pagi-pagi, lewat pengeras suara. Kawan Ik, lelaki tua yang selalu muncul dengan
menunggang kuda, pergi memeriksa orang-orang yang sedang bekerja di sawah. untuk
menentukan siapa yang harus kawin dengan siapa. Di antara wanita-wanita yang
belum rnenikah ada yang cerdik: mereka mengatakan bahwa mereka sudah bersuami
tapi kini hidup terpisah==========================, dipilih. Tapi selebihnya
patuh saja. Mereka tidak punya pilihan lain. Apakah pria dan wanita yang dijadikan
pasangan itu saling menyukai atau tidak, itu sedikit pun tidak dianggap
penting.
Apabila lonceng
tengah hari berdentang, para pekerja berbondong-bondong kembali dari tempat kerja
mereka di sawah, dengan rambut kusut dan kotor, tubuh berkeringat, dengan kaki
berlumur pupuk dari sawah. Pasangan-pasangan hasil pilihan Kawan Ik duduk
berdampingan pada sebuah bangku panjang, dengan wajah yang sedikit pun tidak
menampakkan gerak perasaan.
Kawan Ik berdiri,
lalu berbicara di depan mikrofon, "Hari ini Angka memberi izin pada pasangan-pasangan
ini umuk menikah. Mereka diakui sudah menikah secara sah. Rakyat hendaknya juga
mengakuinya. Angka berharap, hendaknya mereka ini bersemangat revolusioner.
Mereka harus sangat memahami cita-cita revolusi. Mereka harus bekerja sama
bahu-membahu, berkorban demi selesainya proyek-proyek Angka dengan iempurna.
"
Chev, yang berbahaya
dan selalu meringis, dan Paman Seng yang bertubuh kekar dan bertato, yang tidak
pernah menyakiti siapa pun juga, berjongkok di belakang Kawan Ik, bersama kepala-kepala
desa yang lain. Semua yang hadir dalam upacara peresmian proyek bendungan ada di
situ, kecuali Chea Huon. Kawan Ik tidak memakai baju dan berkaki telanjang,
seperti biasanya. la hanya memakai celana pendek komung, sarung yang dilipat
dua, dan krama. sebatang rokok lintingan sendiri dengan memakai daun pisang
sebagai ganti kertas terselip di mulutnya yang ompong.
Hadirin yang selebihnya
berdiri sambil menonton di luar sebuah rumah panjang.
Pasangan-pasangan
yang dinyatakan sudah menikah duduk tanpa ekspresi di bangku, dengan topi di
pangkuan.
Kawan Ik melanjutkan,
"Pria yang baru harus tahu tentang revolusi kita dan sasaran-sasarannya. Pria
dan wanita yang baru akan menciptakan masyarakat masa depan kita." la
mengambil rokok dari mulutnya lalu nyengir, menampakkan gusi yang sudah tidak
bergigi lagi. "Para istri, kalian harus diam apabila suami kalian menjadi marah
...
Dalam ragam bahasa
Khmer, "menjadi marah" berarti mengalami ereksi.
Kawan Ik mendekatkan mulutnya
ke mikrofon lalu berteriak, "Hidup revolusi Kampuchea!" Semuanya
berdiri dan mengulangi kata-kataya, sambil mengacungkan kepalan tangan. Dan semuanya
diulangi sampai tiga kali.
"Hidup
solidaritas besar!"
Hadirin memandang ke
arah pasangan-pasangan yang baru dinikahkan, untuk melihat apakah mereka juga
ikut berseru dengan antusiasme yang seharusnya ditunjukkan.
"Hidup para
pengantin baru!"
Para pengantin baru
mengulangi kata-kata itu tanpa senyum.
"Hidup loncatan
besar ke depan!" Selanjutnya menyusul slogan-slogan yang lain. Dan akhimya
sekali lagi, "Hidup revolusi Kampuchea”.
"Sekarang kalian
boleh pergi makan," kata Ielaki tua itu sambil tersenyum ramah. Para pengantin
baru pergi untuk makan tajin dengan beberapa butir nasi, bersama kami yang
selebihnya. Tidak ada pesta untuk mereka, begitu pula halnya dengan bulan madu.
Mereka merangkapkan tempat tidur mereka dan tidur di rumah-rumah panjang,
bertetangga dengan orang lain yang hanya berjarak beberapa senti saja di sisi
kiri dan kanan mereka. Kemudian beberapa dari mereka pindah ke rumah-rumah yang
didirikan oleh reguku, atau mereka membangun rumah sendiri. Kudengar bahwa
hanya sedikit di antara pasangan-pasangan suami-istri itu yang benar-benar saling
menyayangi. Yang pasti mereka tidak saling mempercayai. Mereka bertengkar
berebut makanan. Ada beberapa wanita di antara mereka yang kemudian
menyingkirkan suami sendiri dengan jalan melaporkannya kepada Khmer Merah
dengan ruduhan mencuri. BoIeh dibilang tidak ada wanita yang dinikahkan dengan
cara begitu kemudian hamil, karena jatah makanan yang begitu sedikit
menyebabkan wanita-wanita itu menurun kesuburannya.
Beberapa bulan
kemudian, saat awal musim hujan tahun 1977, aku kembali meIihat Kawan Ik, ketika
semua kepala keluarga dipanggil untuk menghadiri rapat khusus lagi. Kawan Ik
kembali memimpin rapat, berdiri di depan mikrofon.
la memulainya dengan
ungkapan-ungkapan yang sama, temang membangun perekonomian negano "Kalian
yang berada di garis kedua, harus lebih banyak memberikan dukungan kepada mereka
yang ada di garis depan. Kalian harus lebih banyak menanam bahan pangan guna
menunjang mereka. Kalian harus bekerja lebih keras lagi." Selanjutnya ia
mengoceh panjang-Iebar, tentang perlunya berkorban agar sasaran-sasaran kerja bisa
tercapai. Tapi ia tidak mengatakan hal yang sudah kami ketahui semua, yaitu
bahwa pekerjaan membangun bendungan sudah sangat tertinggal di belakang jadwal
pelaksanaannya. Beberapa bagian kecil sudah diselesaikan, tapi dengan kecepatan
kerja seperti saat itu, bendungan itu baru bisa diselesaikan pembangunannya
dalam waktu lima sampai sepuluh tahun.
Kemudian ia beralih
ke pokok persoalan lain. Alasan lainnya kenapa kalian kami undang kemari adalah
untuk memberitahukan tentang seseorang yang telah berkhianat terhadap negara. Lama
sekali kami tidak menyadari bahwa ada pengkhianat di dalam tubuh Angka sendiri.
Selama ini kita sepenuhnya menaruh kepercayaan terhadapnya, tapi kini kita
sudah tahu wataknya yang sebenarnya. Aku berbicara tentang Vanh," katanya.
Kudengar suara seseorang
berbisik-bisik di belakangku. "Sama sekali tak kusangka! Itukah sebabnya
kenapa ia belakangan ini tidak pernah lagi kelihatan berkeliling naik
jipnya?" Percakapan terjadi dengan suara pelan. Tapi aku diam saja. Aku
ingin mengetahui apa yang terjadi terhadap orang yang kukenal dengan nama Chea
Huon.
"Musuh Vanh
sementara ini sudah ditangkap," kata Ielaki tua yang masih terus berbicara
di depan mikrofon itu. la memandang ke arah kami dengan sikap gelisah.
"Dan kami pasti akan berhasil mengetahui siapa-siapa saja yang punya
hubungan dengan dia. Mereka itu takkan diberi kesempatan untuk menimbulkan
kerusuhan lagi. Selanjutnya, jika ada orang di desa kalian mengatakan hal-hal yang
baik tentang Vanh, jangan mau percaya. Laporkan saja orang itu kepada Angka.
Orang-orang seperti itu kaki-tangan Vanh dan konco-konconya. Mereka itu musuh
kita. Mereka takkan diizinkan tinggal lebih lama lagi di negara ini. Sekian.
Sebelum pergi, harap beri sambutan tepuk tangan."
Sambil bertepuk,
kuperhatikan Kawan Ik. la tidak mengatakan semua yang diketahuinya. Jika Chea
Huon tertangkap dalam keadaan hidup. lelaki tua itu takkan meminta bantuan kami
umuk menunjukkan siapa saja kaki-tangan orang yang dikatakan pengkhianat negara
itu. Pasti itu sudah diketahuinya secara paksa, dengan jalan menyiksa.
Aku mengucap syukur.
Chea Huon, yang dulu begitu cepat menjadi revolusioner, akhirnya menyadari kekeliruannya.
la tahu bahwa.ia takkan mampu menghentikan keedanan ini, dan karenanya ia
akhimya memisahkan diri. Kapankah ia mengambil kepurusan itu? Apakah
keputusannya itu sudah ada ketika ia berjumpa dengan aku? Jika begitu
keadaannya, maka nasihatnya kepadaku
- terus saja bekerja
dan tutup mulut - merupakan nasihat terbaik yang bisa diberikannya kepadaku. Ya,
kataku dalam hati, waktu itu pun ia sudah tahu. la tahu bila aku menjadi dekat
dengan dia, maka itu akan bisa mengakibatkan aku kemudian menjadi bulan-bulanan
kekejaman Khmer Merah.
Kemudian tersebar
desas-desus bahwa Chea Huon melarikan diri menuju perbatasan Thailand dengan
jip serta serdadu-serdadu pengawalnya, membawa berkantong-kantong uang dollar
dan emas. Aku tidak tahu apakah kabar itu benar, tapi kemungkinannya ada saja.
Selaku pemimpin berkedudukan tinggi, Chea Huon bisa saja membuat sendiri
surat-surat jalan yang diperlukan agar bisa lewat dengan leluasa di
tempat-tempat penjagaan yang di mana saja. la juga memiliki kemungkinan untuk
mengambil uang dan emas milik orang-orang "baru" yang disita sewaktu
Angka menghapuskan segala hak milik pribadi. Dan dia cerdik: Jika ada orang
bisa sampai dengan selamat di perbatasan, aku takkan heran jika orang itu Chea
Huon. Dari sana ia bisa bergabung den para pejuang kemerdekaan, atau terus
pergi ke negara lain. Dengan berbekal uang dollar dan emas yang begitu banyak,
ia bisa saja berbuat semaunya. Tapi aku tidak pernah mendengar apa-. apa lagi
tentang dia. Jadi ,aku tidak tahu apakah ia berhasil lari atau tidak, dan kalau
berhasil ke mana ia selanjutnya.
***************
Ironisnya, sementara
rezim yang berkuasa mulai berantakan di depan mata kami, dengan berbagai
kejadian yang merupakan tanda-tandanya seperti bentuk-bentuk pernikahan paksa. pencurian
yang semakin meningkat, pemberontakan di kalangan bawah, begitu pula peristiwa pembelotan
di tingkat paling tinggi, kehidupanku dan Huoy malah menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Seperti narapidana di penjara, kami sementara itu sudah mahir dalam
memanipulasi peraturan-peraturan, demi keuntungan kami.
HaI yang memberikan
dorongan ke arah kehidupan yang lebih baik adalah serangan malaria yang kembali
kualami. Ketika aku jatuh sakit lagi, sekali ini kuusahakan sedemikian rupa
sehingga akhirnya aku dikirim ke klinik garis depan, tempat pil antimalaria
yang wujudnya seperti tahi kelinci dibuat. Seperti sudah kuduga dari semula, tempat
itu sudah penuh sesak. Dari sana aku mendapat izin beristirahat sampai sembuh
di rumah adik lelakiku yang paling kecil, yang bernama Hok. la tinggal di
sebuah desa bernama Phum Ra yang letaknya di balik gunung, dekat stasiun kereta
api Phnom Tippeday. Begitu sudah berada di Phum Ra, aku mengusahakan izin bagi Huoy
untuk datang ke situ, unruk merawat diriku sampai sembuh kembali.
Sesudah beberapa hari
berada di sana, aku sampai pada kesimpulan bahwa kami berdua harus pergi lagi
dari situ. Aku dan Hok, jalan kehidupan yang kami pilih berheda. la bersekolah hanya
sampai kelas delapan, sedangkan aku lulusan sekolah kedokteran. Jenis wanita
yang kami pilih sehagai teman hidup juga berbeda. Istrinya menggunjingkan kami,
yang dikatakanriya sebenarnya belum menikah secara sah. Dengan segera ia dan
Huoy sudah tidak lagi saling menyapa. Tapi itu saja belum seberapa. Terasa sekali
bagiku adanya suasana takut dan lapar di rumah itu. Suara orang yang
marah-marah dan anak -anak menangis. Suasana rumah tangga seperti itu bukan hal
yang asing semasa kekuasaan Khmer Merah, tapi itu tidak menyebabkan kami bisa
merasa enak tinggal di situ. Apabila iparku sedang masak, ia selalu berjongkok
di depan api sambil membelakangi kami agar kami tidak bisa melihat tangannya mencomot
makanan dari kuali. la mengira kami tidak melihatnya.
Tapi Hok saudaraku.
Selain itu juga pengawas di sebuah kebun sayur. Begitu aku sudah sembuh lagi,
atas usaha Hok, aku dan Huoy kemudian bekerja di bawahnya. Aku dijadikan
penyiram tanaman, berjalan mondar-mandir dari sebuah kolam ke kebun dengan
memikul dua buah kaleng berisi air, menyirami sayur-sayuran. Huoy bertugas menyiangi
kebun.
Tidak lama kemudian,
ketika kudengar tentang adanya lahan dan juga sejumlah bahan untuk membangun
rumah, aku langsung minta izin dari kepala desa unruk membangun rumah. Dan aku diizinkan.
Bayangkan! Kami pernah tinggal di kolong rumah panggung sewaktu di Wat Kien Svay
Krao, lalu di gubuk kecil di Tonle Bati, di gubuk yang terbuat dari gelagah di
Phum Chlleav, dan kemudian dalam pondok ketika kami tinggal selama beberapa
waktu di kampung yang dikepalai orang yang bernama Youen. Kami pernah hidup
berkemah di atas bukit-bukit kecil, dan kemudian tidur di rumah panjang. Dan akhirnya
ini. lni baru benar-benar rumah tinggal.
Sementara itu aku
sudah memiliki ketrampilan dalam membangun rumah. Hawa di rumah kami yang baru
itu terasa sejuk pada siang hari, dan kalau malam hangat. Di belakangnya terbentang
pemandangan sawah dan pegunungan dengan kuil tua yang nampak jauh di atas, di
dataran yang ada di punggungnya. Didekat rumah ada sumber air bersih. Karena
tempat kami tinggal itu terletak di garis belakang. kami diizinkan menanam
sayur- sayuran kami sendiri, dengan syarat bahwa sebagian dari hasilnya
diserahkan ke dapur umum.
Sambil menunggu saat
hasil kebun sudah bisa dipetik, aku berkeliaran mencuri bahan pangan. Setiap
malam sebelum berangkat aku selalu berdoa minta restu kepada Budha. Kukatakan
bahwa aku tidak bermaksud menjual hasil curianku, dan bahwa aku hanya akan
mengambil sebanyak yang kami perlukan untuk kelangsungan hidup kami.
Aku tidak sering
mencuri di kebun adikku. Masih ada kebun-kebun lain yang lebih besar, di dataran
di atas gunung, dekat kuil. Aku. memerlukan waktu sepanjang malam untuk
mengendap-endap naik gunung menuju kebun-kebun itu, memasukkan
sayur-sayuran.yang kupetik di sana ke dalam sebuah karung besar, lalu turun
lagi dan memasak sayur hasil curianku itu di luar desa, agar jangan sampai
ketahuan. Tapi aku tidak pernah mengalami kesulitan, karena selalu berhati- hati.
Entah berapa kali saja aku dan Huoy bisa makan sampai sekenyang-kenyangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar