Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013

Neraka Kamboja - Bab 26 : Retak-Retak Mulai Nampak


26. RETAK-RETAK MULAI NAMPAK


KALAU kutengok lagi ke belakang, nampak jelas bahwa tahun 1977 merupakan saat rezim Khmer Merah mulai meretak. Mereka bertindak terlalu cepat dan terlalu radikal dalam upaya melakukan reorganisasi negara, dan itu menyebabkan struktur yang terbentuk tidak mungkin kokoh. Di kalangan pemimpin mereka sendiri pecah persengketaan, dan rakyat yang ada di lapisan paling bawah menunjukkan landa-tanda ketidakpuasan, dan bahkan pembangkangan secara terbuka.

Tapi waktu itu sendiri tidak kusadari adanya perubahan-perubahan yang sedang terjadi. Aku lebih merasakan perjalanan waktu yang begitu lambat. Pekerjaanku membosankan. Aku bisa merasakan otakku mulai tumpul, meski ada pelajaran bahasa Inggris yang diberikan Som. Berat sekali rasanya berpikir tentang apa saja. Situasi di pedesaan kelihatannya akan terus begitu. Jadwal kerja diatur bunyi lonceng. Para pekerja hilir-mudik, berbaris satu-satu dengan langkah lesu. Lagu-lagu revolusioner berkumandang dari alat-alat pengeras suara, dan pidato dalam rapat-rapat selalu begitu-begitu terus. Saat makan kami duduk membentuk lingkaran di dapur umum, dan memperhatikan dengan tatapan mata curiga sementara jatah kami yang berupa air tajin asin disendokkan ke dalam mangkuk-mangkuk berkarat.

Makanan - itulah yang paling kami utamakan. Banyaknya jatah, dan apakah dapur umum akan membagikan sayur sebagai teman nasi. Jika ada hari- hari yang lebih kuingat dalam kenanganku tentang tahun 1977, maka biasanya makananlah yang merupakan penyebabnya. Seperti ketika ada seorang kader yang benar-benar goblok, yang menyarankan agar kami memelihara ketam di kebun sayur. Atau ketika aku masak sop buntut pada suatu malam, yang buntutnya kuperoleh dengan jalan memotong ekor sapi yang masih hidup. Atau ketika aku menjarah sebuah kebun sayur, lalu sayurannya kumasak; aku makan begitu banyak sampai muntah, lalu muntahanku kumakan lagi. Menjijikkan sekali rasanya mengingat bahwa aku pernah makan muntahanku sendiri. ltu bukan perbuatan normaI. Tapi kejadian itu menunjukkan betapa tubuhku kekurangan gizi dan bahwa urusan makanan terus-menerus menghantui pikiranku.

Sampai takaran tertentu, aku dan Huoy menjadi biasa merasa lapar. Setidak-tidaknya ada alternatif hakiki yang bisa kami pilih: jika aku berani menghadapi risiko mencuri atau dengan sembunyi- sembunyi mencari makanan di luar, maka kami bisa makan.

Yang lebih gawat rasanya ketimbang lapar adalah rasa ngeri, karena kami tidak berdaya terhadapnya. Kengerian itu selalu hadir jauh di dalam lubuk hati. Saat petang, dalam hati bertanya-tanya apakah serdadu-serdadu akan menjemput kami sebagai korban mereka yang berikut. Lalu rasa bersalah apabila orang lain yang ternyata dijemput. Pada malam hari, saat mematikan lampu minyak kami yang sangat kecil nyalanya agar jangan sampai terlihat serdadu yang kemudian pasti akan datang memeriksa, lalu setelah itu berbaring dengan mata nyalang, bertanya-ranya dalam hati apakah kami masih bisa melihat fajar menyingsing nami. Dan kemudian bangun keesokan harinya dengan pertanyaan di hati, apakah itu hari terakhir kami masih bisa hidup.

Kami tidak banyak berbicara tentang rasa ngeri itu, karena tidak ada gunanya. Aku dan Huoy ingin hidup; kami mau saja mati jika itu tidak bisa dielakkan, rapi rasa ngeri memaksa kami hidup dalam keadaan serba tanggung-hidup tidak, tapi mati juga belum; dan itu terasa lebih menyiksa batin kami. Segala hal lainnya dalam kehidupan sebagai budak perang - musik menyakitkan telioga yang berkumandang dari alat pengeras suara, rapat-rapat yang menjemukan, kepala kami yang penuh kutu, pekerjaan membosankan yang tidak selesai-selesai, air tajin dengan nasi beberapa butir yang kami anggap saja makanan - lama-Iama kami terbiasa juga pada kesemuanya itu; tapi perasaan takut kami pada kematian lebih menyiksa kami daripada kematian itu sendiri. Aku berusaha memerangi perasaan itu. Aku bercanda dengan orang-orang yang seregu dengan Huoy. Aku belajar bahasa Inggris dari Som. Aku sengaja mengambil risiko mencuri, dengan harapan bahwa aku akan bisa menaklukkan rasa ngeriku. Tapi apa pun juga yang kulakukan untuk melawannya, ternyata hanya menegaskan bahwa kengerian itu menguasai batinku.

Hanya Huoy saja yang sepenuhnya kupercayai. Kami berdua sangar akrab, seakrab hubungan yang mungkin bisa terjalin antara dua insan. Hanya dengan segan-segan saja kami memberikan sebagian dari rasa percaya kami pada orang lain. Dari ke hari, aku menjadi semakin percaya kepada Som. Dan bahkan ini pun ternyata merupakan Kekeliruan.

Kami berdua bercakap-cakap tentang apa saja. Di segi intelektualitas, kami setara. Sayang kami tidak setara secara jasmaniah, karena itulah yang menyebabkan dia terjerumus dalam bencana -lengan kanannya yang cedera kena pecahan peluru meriam, yang kemudian kubedah, tapi ridak sempat sepenuhnya sembuh kembali semasa keadaan kacau saat terjadi pergantian rezim.

Kejadiannya begini: ketika Som disuruh ikut mencari bambu di gunung, lengannya yang cacat itu mengakibatkan hasil kerjanya tidak sebanyak teman-temannya yang lain. Hal itu menimbulkan perasaan tidak senang seorang kader Khmer Merah. Orang itu beberapa minggu kemudian juga menjadi pengawas pekerjaan membajak sawah. Seluruh pekerjaan membangun rumah dihentikan untuk sementara, karena tenaga kami diperlukan untuk menyiapkan lahan yang akan ditanami padi. Aku dan Som termasuk orang-orang yang disuruh membajak sawah. Tanahnya belum lunak, karena saat itu hujan masih jarang turun. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan ketrampilan, aku berhasil membuat alur-alur yang lurus. Tapi bajak yang didorong oIeh Som selalu saja membelok ke kanan, ke sisi lengannya yang cacat.

Serdadu-serdadu muncuI saat makan siang, ketika aku, Som, dan istri-istri kami sedang mengaso di sebuah bukit kecil. Kedua lengan Som diikat serdadu-serdadu itu di belakang punggungnya. Mereka menendangnya sehingga terjungkal dengan kepala ke bawah, sementara istrinya dan juga Huoy menangis terjerit-jerit. Kemudian mereka menggiringnya pergi, meninggalkan kami dalam keadaan terpana. Aku tidak hanya terpana saja, .tapi juga merasa kehilangan. Dia satu-satunya sahabatku.

Hatiku pilu memikirkannya. la pasti akan dibunuh. Kemudian timbul kecemasan dalam hatiku: bagaimana jika ia disiksa? la pasti akan mengatakan bahwa aku sebenarnya dokter! la tahu segala-galanya tentang masa silamku! Aku masih bisa melihatnya, berjalan tersaruk-saruk menuju ajalnya; tapi aku sudah melupakan nasibnya, karena cemas memikirkan nasibku sendiri.

Malam itu aku tidak bisa ridur, begitu pula malam berikutnya. Serdadu-serdadu pasti akan muncul menjemputku. Kemudian turun hujan lebat. Ketika sedang membajak, aku keliru menuntun sapi, dan sapi itu tersandung. Aku terjerembap ke dalam air berlumpur, bersama sapi dan bajaknya sekaligus. Kejadian itu dilihat oleh seorang kader Khmer Merah; kader yang memerintahkan serdadu-serdadu untuk menangkap dan membunuh Som. Orang itu menatapku dengan marah. Tanganku gemetar saat aku makan siang di sebuah bukit kecil. Aku mengucapkan selamat tinggal kepada Huoy. Aku merasa yakin saat itu bahwa serdadu-serdadu pasti datang menjemputku. Tapi kemudian lonceng berdentang tanda waktu makan siang sudah berakhir, dan aku bekerja kembali. Sepanjang siang aku terus membajak, Sorenya lonceng berdentang-dentang lagi. Aku dan Huoy pergi ke dapur umum. Tidak ada penjelasan. Aku diizinkan menunggu terus.

Aku tahu, saat kematianku sudah dekat. Bisa saja diundurkan, tapi tidak mungkin bisa dielakkan. Mungkin beberapa hari Iagi, bisa juga beberapa buIan, sampai aku ketahuan melakukan salah satu kesalahan, dan saat itu akan tamatlah; riwayatku. Aku merasa diriku menjadi tua dengan cepat, karena beban batin yang menekan. Bukan aku saja yang begitu, tapi semuanya. Aku jadi semakin meyakini kebenaran kata-kata ayahku dulu, bahwa rezim semaeam itu takkan mungkin bisa terus bertahan.

Rerak-retak mulai nampak. Salah satu tandanya yang paling awal nampak adalah semakin meningkatnya pencurian yang terjadi di "kebun-kebun umum" yang menyediakan sayur-sayuran untuk keperluan dapur umum. Selama tahun 1975 dan 1976, orang-orang "baru" banyak yang pergi dengan sembunyi-sembunyi untuk mencari bahan pangan tambahan di luar, tapi tidak banyak yang mencuri dari kebun-kebun, karena kami takut ketahuan para penjaga. Tahun 1977, ketika aku melakukan aksi-aksi pencurianku, aku melihat bahwa makin lama makin banyak orang yang berbuat seperti aku. Jika kuIihat ada orang berjalan dalam gelap, maka hampir selalu itu kemudian, ternyata orang "baru". Itu merupakan hai yang tidak bisa kami bicarakan secara terbuka saat siang hari, atau tepatnya belum bisa waktu itu. Tapi malam hari, kami bisa bergerak dengan leluasa. Serdadu-serdadu tidak suka lagi melakukan dinas jaga, dan mereka hanya mau berpatroli jika berombongan.

Satu tanda Iain yang menunjukkan bahwa rezim mulai retak adalah cerita-cerita tentang Khmer Serei. Desas-desus menjalar dari koperasi ke koperasi tentang para pejuang kemerdekaan yang pangkalannya terdapat dekat perbatasan dengan Thailand, tidak sampai seratus lima puluh kilometer dari tempat kami. Begitu banyak desas-desus yang beredar tentang pejuang-pejuang itu yang dikatakan pasti akan muncul, sehingga orang-orang setlap kali mendongak menatap langit, menunggu-nunggu kapan helikopter-helikopter akan mendarat.

Aku masih bekerja membangun perumahan di garis belakang ketika pemberontakan akhimya pecah. Pemimpinnya seseorang bernama Thai. Aku pemah bercakap-cakap dengan dia dekat api unggun sekitar satu tahun sebelumnya, dan juga disumpah agar menjaga rahasia. Bukan aku saja, tapi antara lain juga Pen Tip.

Thai dan beberapa orang yang dipilihnya sendiri dan terdiri dari campuran orang "baru" dan "lama" - satu di antaranya asisten Chev - pada suatu malam menyerang sekitar setengah lusin serdadu; serdadu-serdadu itu dibunuh dan senjata mereka dirampas. Keesokan harinya Thai beserta kawanannya pergi bekerja seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Malam berikutnya mereka membunuh beberapa serdadu lagi. Malam ketiga mereka membajak sebuah kereta api lalu mengendarainya ke utara menuju kota Battambang. Niat mereka dari sana kemudian menuju ke barat, ke perbatasan dengan Thailand, untuk bergabung dengan para pejuang kemerdekaan yang ada di sana. Perjalanan mereka pasti berlangsung dramatis, menegangkan.

Kemudian pihak Khmer Merah mengumurnkan bahwa mereka berhasil menewaskan Thai beserta kawanan pemberontaknya; meski aku tidak pernah bisa mengetahui dengan pasti, tapi dalam kasus ini aku cenderung mempercayai mereka. Thai mestinya membajak kereta api itu pada malam pertama, ketika pihak Khmer Merah belum berjaga-jaga.

Setelah itu dilancarkan aksi pembersihan besar- besaran di garis depan, untuk menakut-nakuti kami yang selebihnya. Kira-kira selama seminggu, setiap sore serdadu-serdadu datang dan mengikat sekitar serarus orang lalu menggiring mereka ke hutan dan membunuh mereka di sana. Huoy yang bercerita padaku mengenainya. la mengatakan bahwa Pen Tip sangat berhati-hati sikapnya agar jangan sampai menarik perhatian. Kerjanya semakin giat saja.

Tapi meski pemberontakan itu berakhir dengan kegagalan, ada satu efeknya yang tidak bisa dilenyapkan lagi, yaitu bahwa dengannya runtuhlah mitos tentang Khmer Merah yang katanya tidak terkalahkan. Angka memang kuat, tapi tidak mahakuasa. Kejadian itu menyebabkan Angka kehilangan muka.

****************

Tidak banyak yang dilakukan oleh rezim dalam menghadapi pemberontakan dan aksi-aksi pencurian, kecuali menghukumi orang-orang. Tidak ada perubahan nyata dalam kebijakan, tidak ada upaya memperbaiki haI-hai yang ternyata keliru. Para pemimpin revolusi di negara-negara lain pasti menyadari bahwa dukungan rakyat merupakan hai yang perlu ada; tapi pada Angka tidak ada kesadaran itu. Malah sebaliknya: kampanye restrukturisasi masyarakat berlangsung terus, membuat kami, budak-budak perang, semakin teralienasi- jika itu masih mungkin terjadi. Satu contoh mengenainya adalah tentang pernikahan.

Khmer Merah hendak mengatur dan mengontrol hubungan seksual, serupa halnya dengan percobaan mereka mengontrol segala kegiatan manusia yang lain-Iainnya, seperti makan, bekerja, dan tidur. Di saat-saat awal masa kekuasaan rezim, orang-orang yang ingin menikah diharuskan minta izin terlebih dulu kepada kepala desa mereka. Jika kepala desa mengizinkan, mereka bisa menikah. Jika jawabannya tidak, pasangan itu akan mengalami kesulitan, apalagi jika ada chhlop yang berhasil mengetahui bahwa mereka sebelumnya sudah pernah melakukan hubungan seksual. Sewaktu di penjara, aku melihat berderet-deret wanita muda digiring pergi, karena dipersalahkan melanggar peraturan perilaku Angka yang bercorak puritan itu.

Tapi sementara orang-orang dibunuhi karena melakukan kejahatan seksual, dan ratusan ribu lagi bergelimpangan mati karena kelaparan dan penyakit, Khmer Merah menyatakan dorongan terhadap pertumbuhan jumlah penduduk. Mereka mengatakan kepada kami bahwa Angka memerlukan kawan-kawan yang lebih banyak lagi "untuk menjaga keamanan perbatasan negara dan untuk turut berjuang meraih kemerdekaan berdaulat".

Seremoninya diumumkan pagi-pagi, lewat pengeras suara. Kawan Ik, lelaki tua yang selalu muncul dengan menunggang kuda, pergi memeriksa orang-orang yang sedang bekerja di sawah. untuk menentukan siapa yang harus kawin dengan siapa. Di antara wanita-wanita yang belum rnenikah ada yang cerdik: mereka mengatakan bahwa mereka sudah bersuami tapi kini hidup terpisah==========================, dipilih. Tapi selebihnya patuh saja. Mereka tidak punya pilihan lain. Apakah pria dan wanita yang dijadikan pasangan itu saling menyukai atau tidak, itu sedikit pun tidak dianggap penting.

Apabila lonceng tengah hari berdentang, para pekerja berbondong-bondong kembali dari tempat kerja mereka di sawah, dengan rambut kusut dan kotor, tubuh berkeringat, dengan kaki berlumur pupuk dari sawah. Pasangan-pasangan hasil pilihan Kawan Ik duduk berdampingan pada sebuah bangku panjang, dengan wajah yang sedikit pun tidak menampakkan gerak perasaan.

Kawan Ik berdiri, lalu berbicara di depan mikrofon, "Hari ini Angka memberi izin pada pasangan-pasangan ini umuk menikah. Mereka diakui sudah menikah secara sah. Rakyat hendaknya juga mengakuinya. Angka berharap, hendaknya mereka ini bersemangat revolusioner. Mereka harus sangat memahami cita-cita revolusi. Mereka harus bekerja sama bahu-membahu, berkorban demi selesainya proyek-proyek Angka dengan iempurna. "

Chev, yang berbahaya dan selalu meringis, dan Paman Seng yang bertubuh kekar dan bertato, yang tidak pernah menyakiti siapa pun juga, berjongkok di belakang Kawan Ik, bersama kepala-kepala desa yang lain. Semua yang hadir dalam upacara peresmian proyek bendungan ada di situ, kecuali Chea Huon. Kawan Ik tidak memakai baju dan berkaki telanjang, seperti biasanya. la hanya memakai celana pendek komung, sarung yang dilipat dua, dan krama. sebatang rokok lintingan sendiri dengan memakai daun pisang sebagai ganti kertas terselip di mulutnya yang ompong.

Hadirin yang selebihnya berdiri sambil menonton di luar sebuah rumah panjang.

Pasangan-pasangan yang dinyatakan sudah menikah duduk tanpa ekspresi di bangku, dengan topi di pangkuan.

Kawan Ik melanjutkan, "Pria yang baru harus tahu tentang revolusi kita dan sasaran-sasarannya. Pria dan wanita yang baru akan menciptakan masyarakat masa depan kita." la mengambil rokok dari mulutnya lalu nyengir, menampakkan gusi yang sudah tidak bergigi lagi. "Para istri, kalian harus diam apabila suami kalian menjadi marah ...

Dalam ragam bahasa Khmer, "menjadi marah" berarti mengalami ereksi.

Kawan Ik mendekatkan mulutnya ke mikrofon lalu berteriak, "Hidup revolusi Kampuchea!" Semuanya berdiri dan mengulangi kata-kataya, sambil mengacungkan kepalan tangan. Dan semuanya diulangi sampai tiga kali.

"Hidup solidaritas besar!"

Hadirin memandang ke arah pasangan-pasangan yang baru dinikahkan, untuk melihat apakah mereka juga ikut berseru dengan antusiasme yang seharusnya ditunjukkan.

"Hidup para pengantin baru!"

Para pengantin baru mengulangi kata-kata itu tanpa senyum.

"Hidup loncatan besar ke depan!" Selanjutnya menyusul slogan-slogan yang lain. Dan akhimya sekali lagi, "Hidup revolusi Kampuchea”.

"Sekarang kalian boleh pergi makan," kata Ielaki tua itu sambil tersenyum ramah. Para pengantin baru pergi untuk makan tajin dengan beberapa butir nasi, bersama kami yang selebihnya. Tidak ada pesta untuk mereka, begitu pula halnya dengan bulan madu. Mereka merangkapkan tempat tidur mereka dan tidur di rumah-rumah panjang, bertetangga dengan orang lain yang hanya berjarak beberapa senti saja di sisi kiri dan kanan mereka. Kemudian beberapa dari mereka pindah ke rumah-rumah yang didirikan oleh reguku, atau mereka membangun rumah sendiri. Kudengar bahwa hanya sedikit di antara pasangan-pasangan suami-istri itu yang benar-benar saling menyayangi. Yang pasti mereka tidak saling mempercayai. Mereka bertengkar berebut makanan. Ada beberapa wanita di antara mereka yang kemudian menyingkirkan suami sendiri dengan jalan melaporkannya kepada Khmer Merah dengan ruduhan mencuri. BoIeh dibilang tidak ada wanita yang dinikahkan dengan cara begitu kemudian hamil, karena jatah makanan yang begitu sedikit menyebabkan wanita-wanita itu menurun kesuburannya.

Beberapa bulan kemudian, saat awal musim hujan tahun 1977, aku kembali meIihat Kawan Ik, ketika semua kepala keluarga dipanggil untuk menghadiri rapat khusus lagi. Kawan Ik kembali memimpin rapat, berdiri di depan mikrofon.

la memulainya dengan ungkapan-ungkapan yang sama, temang membangun perekonomian negano "Kalian yang berada di garis kedua, harus lebih banyak memberikan dukungan kepada mereka yang ada di garis depan. Kalian harus lebih banyak menanam bahan pangan guna menunjang mereka. Kalian harus bekerja lebih keras lagi." Selanjutnya ia mengoceh panjang-Iebar, tentang perlunya berkorban agar sasaran-sasaran kerja bisa tercapai. Tapi ia tidak mengatakan hal yang sudah kami ketahui semua, yaitu bahwa pekerjaan membangun bendungan sudah sangat tertinggal di belakang jadwal pelaksanaannya. Beberapa bagian kecil sudah diselesaikan, tapi dengan kecepatan kerja seperti saat itu, bendungan itu baru bisa diselesaikan pembangunannya dalam waktu lima sampai sepuluh tahun.

Kemudian ia beralih ke pokok persoalan lain. Alasan lainnya kenapa kalian kami undang kemari adalah untuk memberitahukan tentang seseorang yang telah berkhianat terhadap negara. Lama sekali kami tidak menyadari bahwa ada pengkhianat di dalam tubuh Angka sendiri. Selama ini kita sepenuhnya menaruh kepercayaan terhadapnya, tapi kini kita sudah tahu wataknya yang sebenarnya. Aku berbicara tentang Vanh," katanya.

Kudengar suara seseorang berbisik-bisik di belakangku. "Sama sekali tak kusangka! Itukah sebabnya kenapa ia belakangan ini tidak pernah lagi kelihatan berkeliling naik jipnya?" Percakapan terjadi dengan suara pelan. Tapi aku diam saja. Aku ingin mengetahui apa yang terjadi terhadap orang yang kukenal dengan nama Chea Huon.

"Musuh Vanh sementara ini sudah ditangkap," kata Ielaki tua yang masih terus berbicara di depan mikrofon itu. la memandang ke arah kami dengan sikap gelisah. "Dan kami pasti akan berhasil mengetahui siapa-siapa saja yang punya hubungan dengan dia. Mereka itu takkan diberi kesempatan untuk menimbulkan kerusuhan lagi. Selanjutnya, jika ada orang di desa kalian mengatakan hal-hal yang baik tentang Vanh, jangan mau percaya. Laporkan saja orang itu kepada Angka. Orang-orang seperti itu kaki-tangan Vanh dan konco-konconya. Mereka itu musuh kita. Mereka takkan diizinkan tinggal lebih lama lagi di negara ini. Sekian. Sebelum pergi, harap beri sambutan tepuk tangan."

Sambil bertepuk, kuperhatikan Kawan Ik. la tidak mengatakan semua yang diketahuinya. Jika Chea Huon tertangkap dalam keadaan hidup. lelaki tua itu takkan meminta bantuan kami umuk menunjukkan siapa saja kaki-tangan orang yang dikatakan pengkhianat negara itu. Pasti itu sudah diketahuinya secara paksa, dengan jalan menyiksa.

Aku mengucap syukur. Chea Huon, yang dulu begitu cepat menjadi revolusioner, akhirnya menyadari kekeliruannya. la tahu bahwa.ia takkan mampu menghentikan keedanan ini, dan karenanya ia akhimya memisahkan diri. Kapankah ia mengambil kepurusan itu? Apakah keputusannya itu sudah ada ketika ia berjumpa dengan aku? Jika begitu keadaannya, maka nasihatnya kepadaku

- terus saja bekerja dan tutup mulut - merupakan nasihat terbaik yang bisa diberikannya kepadaku. Ya, kataku dalam hati, waktu itu pun ia sudah tahu. la tahu bila aku menjadi dekat dengan dia, maka itu akan bisa mengakibatkan aku kemudian menjadi bulan-bulanan kekejaman Khmer Merah.

Kemudian tersebar desas-desus bahwa Chea Huon melarikan diri menuju perbatasan Thailand dengan jip serta serdadu-serdadu pengawalnya, membawa berkantong-kantong uang dollar dan emas. Aku tidak tahu apakah kabar itu benar, tapi kemungkinannya ada saja. Selaku pemimpin berkedudukan tinggi, Chea Huon bisa saja membuat sendiri surat-surat jalan yang diperlukan agar bisa lewat dengan leluasa di tempat-tempat penjagaan yang di mana saja. la juga memiliki kemungkinan untuk mengambil uang dan emas milik orang-orang "baru" yang disita sewaktu Angka menghapuskan segala hak milik pribadi. Dan dia cerdik: Jika ada orang bisa sampai dengan selamat di perbatasan, aku takkan heran jika orang itu Chea Huon. Dari sana ia bisa bergabung den para pejuang kemerdekaan, atau terus pergi ke negara lain. Dengan berbekal uang dollar dan emas yang begitu banyak, ia bisa saja berbuat semaunya. Tapi aku tidak pernah mendengar apa-. apa lagi tentang dia. Jadi ,aku tidak tahu apakah ia berhasil lari atau tidak, dan kalau berhasil ke mana ia selanjutnya.

***************

Ironisnya, sementara rezim yang berkuasa mulai berantakan di depan mata kami, dengan berbagai kejadian yang merupakan tanda-tandanya seperti bentuk-bentuk pernikahan paksa. pencurian yang semakin meningkat, pemberontakan di kalangan bawah, begitu pula peristiwa pembelotan di tingkat paling tinggi, kehidupanku dan Huoy malah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Seperti narapidana di penjara, kami sementara itu sudah mahir dalam memanipulasi peraturan-peraturan, demi keuntungan kami.

HaI yang memberikan dorongan ke arah kehidupan yang lebih baik adalah serangan malaria yang kembali kualami. Ketika aku jatuh sakit lagi, sekali ini kuusahakan sedemikian rupa sehingga akhirnya aku dikirim ke klinik garis depan, tempat pil antimalaria yang wujudnya seperti tahi kelinci dibuat. Seperti sudah kuduga dari semula, tempat itu sudah penuh sesak. Dari sana aku mendapat izin beristirahat sampai sembuh di rumah adik lelakiku yang paling kecil, yang bernama Hok. la tinggal di sebuah desa bernama Phum Ra yang letaknya di balik gunung, dekat stasiun kereta api Phnom Tippeday. Begitu sudah berada di Phum Ra, aku mengusahakan izin bagi Huoy untuk datang ke situ, unruk merawat diriku sampai sembuh kembali.

Sesudah beberapa hari berada di sana, aku sampai pada kesimpulan bahwa kami berdua harus pergi lagi dari situ. Aku dan Hok, jalan kehidupan yang kami pilih berheda. la bersekolah hanya sampai kelas delapan, sedangkan aku lulusan sekolah kedokteran. Jenis wanita yang kami pilih sehagai teman hidup juga berbeda. Istrinya menggunjingkan kami, yang dikatakanriya sebenarnya belum menikah secara sah. Dengan segera ia dan Huoy sudah tidak lagi saling menyapa. Tapi itu saja belum seberapa. Terasa sekali bagiku adanya suasana takut dan lapar di rumah itu. Suara orang yang marah-marah dan anak -anak menangis. Suasana rumah tangga seperti itu bukan hal yang asing semasa kekuasaan Khmer Merah, tapi itu tidak menyebabkan kami bisa merasa enak tinggal di situ. Apabila iparku sedang masak, ia selalu berjongkok di depan api sambil membelakangi kami agar kami tidak bisa melihat tangannya mencomot makanan dari kuali. la mengira kami tidak melihatnya.

Tapi Hok saudaraku. Selain itu juga pengawas di sebuah kebun sayur. Begitu aku sudah sembuh lagi, atas usaha Hok, aku dan Huoy kemudian bekerja di bawahnya. Aku dijadikan penyiram tanaman, berjalan mondar-mandir dari sebuah kolam ke kebun dengan memikul dua buah kaleng berisi air, menyirami sayur-sayuran. Huoy bertugas menyiangi kebun.

Tidak lama kemudian, ketika kudengar tentang adanya lahan dan juga sejumlah bahan untuk membangun rumah, aku langsung minta izin dari kepala desa unruk membangun rumah. Dan aku diizinkan. Bayangkan! Kami pernah tinggal di kolong rumah panggung sewaktu di Wat Kien Svay Krao, lalu di gubuk kecil di Tonle Bati, di gubuk yang terbuat dari gelagah di Phum Chlleav, dan kemudian dalam pondok ketika kami tinggal selama beberapa waktu di kampung yang dikepalai orang yang bernama Youen. Kami pernah hidup berkemah di atas bukit-bukit kecil, dan kemudian tidur di rumah panjang. Dan akhirnya ini. lni baru benar-benar rumah tinggal.

Sementara itu aku sudah memiliki ketrampilan dalam membangun rumah. Hawa di rumah kami yang baru itu terasa sejuk pada siang hari, dan kalau malam hangat. Di belakangnya terbentang pemandangan sawah dan pegunungan dengan kuil tua yang nampak jauh di atas, di dataran yang ada di punggungnya. Didekat rumah ada sumber air bersih. Karena tempat kami tinggal itu terletak di garis belakang. kami diizinkan menanam sayur- sayuran kami sendiri, dengan syarat bahwa sebagian dari hasilnya diserahkan ke dapur umum.

Sambil menunggu saat hasil kebun sudah bisa dipetik, aku berkeliaran mencuri bahan pangan. Setiap malam sebelum berangkat aku selalu berdoa minta restu kepada Budha. Kukatakan bahwa aku tidak bermaksud menjual hasil curianku, dan bahwa aku hanya akan mengambil sebanyak yang kami perlukan untuk kelangsungan hidup kami.

Aku tidak sering mencuri di kebun adikku. Masih ada kebun-kebun lain yang lebih besar, di dataran di atas gunung, dekat kuil. Aku. memerlukan waktu sepanjang malam untuk mengendap-endap naik gunung menuju kebun-kebun itu, memasukkan sayur-sayuran.yang kupetik di sana ke dalam sebuah karung besar, lalu turun lagi dan memasak sayur hasil curianku itu di luar desa, agar jangan sampai ketahuan. Tapi aku tidak pernah mengalami kesulitan, karena selalu berhati- hati. Entah berapa kali saja aku dan Huoy bisa makan sampai sekenyang-kenyangnya.

Kami suka tinggal di Phum Ra. Senang rasanya bisa hidup jauh dari garis depan. Kesulitan yang kemudian menimpa diriku bukan disebabkan karena aku mencuri itu. Pen Tip-Iah penyebabnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar