27. TETES-TETES AlR
SEPERTI
aku juga, Pen Tip berhasil mengusahakan pcmindahannya dari garis depan. la
bersama keluarganya pindah ke desa Phum Ra. Waktunya kurang-Iebih sama dengan
saat kepindahan aku dan Huoy. Kami menjadi tetangga di sana. Tapi sementara aku
sepanjang hari sibuk mengangkut air ke kebun umum dan sebisa mungkin selalu menghindari
orang-orang Khmer Merah, Pen Tip malah berusaha menjalin hubungan dengan mereka,
untuk keuntungannya pribadi. Kedudukannya naik, dari pemimpin regu menjadi
asisten kepala seksi; ia menjadi orang "baru" yang paling berpengaruh
di desa itu.
Dalam
situasi lain, kemungkinan aku akan geli melihat Pen Tip. Orangnya begitu
pendek, sehingga selalu harus mendongak kalau berhadapan dengan orang lain,
seperti anak kecil. Kalau berjalan kakinya mengarah ke luar seperti Charlie Chaplin,
dan alisnya selalu terangkat-angkat, seakan-akan setiap kali selalu ada saja
sesuatu yang mengherankannya. Mungkin tubuhnya yang pendek dan penampilan anehnya
itu yang menyebabkan Pen Tip menjadi begitu. Mungkin semasa kecilnya ia sering
diganggu dan diperlakukan sebagai anak bawang. Tapi apa pun sebabnya, yang
jelas dia itu haus kekuasaan. la bersikap menjilat kalau menghadapi orang-orang
"lama" dan Khmer Merah; tapi terhadap orang-orang "baru",
ia sok kuasa. Aku yang paling sering dijadikan sasaran olehnya, karena aku dulu
pernah berkedudukan lebih tinggi dalam masyarakat, sebagai dokter. la merasa
perlu "menjajah" aku, untuk menunjukkan bahwa ia tidak bisa
diremehkan.
Kami
sama-sama selalu menjaga sikap di depan umum, karena percekcokan merupakan
perbuatan yang melanggar peraturan. Apabila berjumpa, kami selalu saling
menyapa dan bercakap-cakap dengan sopan. Tidak pemah kukatakan padanya bahwa
aku tahu karena pengaduannyalah aku dipenjarakan waktu itu. la pun tidak pernah
mengatakan apa-apa mengenainya. Tapi di balik sikap kami yang selalu sopan itu
kami sama-sama mengetahui bahwa ada dendam kesumat di antara kami berdua: aku
menginginkan kematiannya, dan dia juga ingin aku mati.
Sulit
juga menemukan cara membunuhnya, sebelum aku yang mati dibuatnya. Setiap kali
aku melihat Pen Tip, jari-jari tanganku sudah gatal saja rasanya, ingin
mengejarnya dengan parang. Tapi itu tidak pernah kulakukan, karena kami tidak
pernah hanya berdua saja. Jika Pen Tip kubacok sampai mati dan ada yang melihat
perbuatanku itu, aku pasti kemudian dibunuh Khmer Merah, dan Huoy akan menjadi
janda. Tidak ada gunanya membalas dendam, jika aku dan Huoy tidak bisa
menikmati hasil perbuatan itu.
Sebenarnya
masih ada satu kemungkinan lain untuk membunuhnya. Tapi caranya sangat licik dan
hina, sehingga tidak bisa kurundingkan dengan siapa pun juga, bahkan dengan
Huoy pun tidak. Dari pengalamanku semasa keciI di Samrang Yong, aku mengetahui
bahwa pencuri yang bermaksud membunuh anjing jaga membuat semacam racun dari
kulit pohon kantout. Kulit itu dikupas,
digiling sampai balus, lalu dimasak dengan gula. Adonan iru dikeringkan
sehingga menjadi padat. Anjing yang diberi makan adonan yang manis rasanya itu
pasti mati. Manusia pun pasti mati jika memakannya.
Tapi
ada dua hambatan yang merintangi niat umuk meracuni Pen Tip. Hambatan yang satu
bersifat praktis. Gula waktu itu tidak bisa diperoleh. Jadi rasa kulit kantout yang tidak enak, tidak bisa
disamarkan. Selanjutnya,.andaikan aku berhasil membuat adonan itu dan kujadikan
seperti kue bentuknya, memperdayai Pen Tip sehingga ia mau memakannya pasti
bukan urusan gampang. Hambatan kedua bersifat moral. Timbulnya ide untuk
meracuni Pen Tip menunjukkan bahwa dalam diriku ada naluri yang merupakan
kekhasan Khiner Merah, yakni menyimpan dendam kesumat dan kemudian membalas
dengan jalan kekerasan. Jika aku meracuninya, atau bahkan jika aku membunuhnya
dengan parang pada suatu malam yang gelap, itu berarti bahwa aku sama saja dengan
mereka. Kum-monuss. Aku lantas
merenung, siapa aku ini pada hakikatnya. Jauh sekali di dalam lubuk hatiku tersembunyi
kecenderungan yang buruk dan ganas; kecenderungan tersembunyi ini dimiliki
manusia Kamboja pada umumnya. Di tingkat naluriah ini kemungkinannya tidak banyak
bedanya antara aku dan Khmer Merah. Tapi lain dari mereka dan juga Pen Tip,
pendidikanku menyebabkan aku bisa mengatasi naluriku. Aku ini dokter. Tugasku
menyelamatkan nyawa manusia, bukan membunuh. Aku juga penganut agama Budha. Aku
percaya bahwa jika aku tidak membunuh Pen Tip, baik dalam hidupku yang sekarang
atau yang berikut, pasti akan ada orang lain yang membunuhnya. Itu merupakan kama. Artinya, bukan aku takkan
membalaskan dendamku terhadapnya jika ada kesempatan untuk itu, tapi
kepercayaanku itu menyebabkan aku bisa menunggu.
Ternyata
Pen Tip yang lebih dulu mengambil langkah. Dalam suatu rapat kerja yang
dihadirinya, kepala desa kami yang bernama Paman Phan mengatakan bahwa regu
pupuk memerlukan tambahan tenaga kerja. Pen Tip mengusulkan diriku, dan usul itu
diterima oleh Paman Phan.
Aku
marah sekali ketika mendengarnya. Menyuruh aku mengangkut air untuk menyirami kebun
rupanya dianggap belum cukup rendah; kini aku disuruh mengambil ketoran manusia
dari kakus-kakus umum. !tu merupakan cara Pen Tip untuk semakin menghenyakkan
statusku dalam masyarakat desa itu, untuk mencoreng mukaku.
Pekerjaan
itu juga bukannya tidak berbahaya. Sudah ada beberapa orang dari regu pupuk
yang mati sebagai akibat infeksi yang masuk ke tubuh mereka lewat luka. Dan
andaikan pekerjaan menangani kotoran manusia dinilai layak di mata masyarakat -
kenyataannya tidak begitu, karena selain baunya yang busuk, pekerjaan itu juga dianggap
memalukan - aku takkan mungkin mau secara sukarela melakukan pekerjaan semacam
itu jika tidak melindungi diri dengan sarung tangan dan sepatu bet karet serta
menelan bermacam-macam obat dulu. Tapi semuanya itu tidak kupunyai.
Aku
mulai melakukan tugas baruku itu, mendatangi kakus-kakus umum dengan
bertelanjang kaki dan menguras isinya dengan timba yang diperlengkapi dengan
gagang yang sangat panjang. Tinja itu kutuangkan ke dalam sebuah gentong besar,
yang kemudian kupikul pergi bersama seseorang lagi. Kemerosotan statusku benar-benar
mutlak. Aku berada di lapisan terbawah kalangan budak perang yang merupakan lapisan
terendah dalam masyarakat Kamboja. Tapi Pen Tip ternyata masih belum puas juga.
Tiga
orang serdadu mendatangi rumahku pada suatu sore ketika aku sedang menanam
gadung di kebun pribadiku yang baru kukerjakan sesudah selesai melakukan tugas
hari itu. Aku sedikit pun tidak menduga maksud kedatangan mereka, sampai mereka
sudah berdiri di sampingku lalu mengokang senapan mereka.
Situasi
saat itu serupa dengan ketika aku ditangkap sebanyak dua kali sebelum itu: Huoy
menangis. Jantungku berdebar keras. Memohon agar diperbolehkan menukar celana
dulu, agar emas yang kusembunyikan di balik pinggang celana yang sedang kupakai
bisa diambil oleh Huoy. Lalu kedua lenganku diikat di belakang punggung.
Ditendang sehingga jatuh terjerembap. Huoy berusaha mencegah serdadu-serdadu
itu memukuli diriku, tapi ia didorong dengan kasar ke samping.
Sementara
aku digiring pergi, Huoy memohon-mohon kepada ketiga serdadu itu agar ia juga diikat
dan dibawa.
*************
Ternyata
aku tidak digiring ke penjara dekat Phum Chhleav, tempat yang sudah dua kali kudatangi.
Kami menuju ke seberang jalan kereta api, melewati kebun umum yang
pengelolaannya dikepalai adikku, melintasi lahan sawah di mana terdapat kawanan
sapi dan kerbau yang sedang merumput, lalu masuk ke dalam hutan.
Aku
merasa sehat dan bersemangat. Jantungku berdebar keras. Hanya satu hal yang
kusesali saat itu, yakni bahwa sebentar lagi Huoy akan menjadi janda. Selain
itu, sedikit pun tidak ada rasa penyesalan dalam hatiku. Situasi menunggu sudah
lewat. Ajalku pasti akan datang setelah tikungan yang berikut.
Karena
kami saat itu tidak berjalan menuju ke Chhleav, aku beranggapan bahwa
serdadu-serdadu itu akan membunuhku di salah satu tempat yang pernah mereka
jadikan lokasi untuk membunuh orang-orang lain sebelum aku. Aku belum pernah
dibawa ke tempat seperti itu, tapi masuk di akal bahwa tempat seperti itu ada.
Kuburan massal. Ladang-Iadang pembantaian. T api kami ternyata terus saja
berjalan dalam hutan. Ketika hari sudah hampir gelap, kami akhirnya tiba di sebuah
desa tua, yang kelihatannya sebelum revolusi pun sudah ada; dengan rumah-rumah panggung
yang ada tumpukan jerami di sampingnya, serta pohon-pohon pisang dan asam. Bahkan
pohon kantout pun tumbuh di situ,
dari jenis yang kubayangkan sewaktu sedang berpikir-pikir hendak meracuni Pen
Tip. Ujung seberang desa itu berbatasan dengan lahan persawahan. Di persawahan
itu terdapat bukit-bukit kecil yang menyembul di sana-sini, dengan
rumpun-rumpun bambu di atasnya.
Serdadu-serdadu
itu masuk ke sebuah pondok kecil bergaya Khmer Merah, dengan atap dan tiang-tiang
kayu tapi tanpa dinding. Itulah kantor penjara. Kemudian aku mereka bawa ke
pinggir desa, ke sebuah bangunan sempit memanjang berlinding kajang, beratap
seng dan berbau busuk.
Salah
seorang serdadu itu mendorong aku masuk ke dalam, lalu menyusur suatu gang. Aku
tidak bisa melihat apa-apa di situ. Bau busuk yang menghambur menyebabkan aku
nyaris muntah. Telapak kakiku menginjak lendir yang melapisi lantai tanah. Aku
terpeleset, dan kaki kiriku tercebur ke dalam comberan. Serdadu yang menggiringku
menyalakan senter. la menemukan tempat kosong, melepaskan tali yang mengikat lenganku;
lalu menyuruh aku berbaring menelentang di lantai. Aku menurut saja. Kepalaku membentur
sesuatu; aku cepat-cepat minta maaf ketika terdengar suara seseorang mengomel.
Serdadu tadi mengarahkan cahaya senternya ke kakiku. Kelihatannya ia bermaksud
menguncikan pergelangan kaki kiriku ke sebuah borgol dari besi yang terpasang
pada sebuah balok kayu; mukanya dikernyitkan dengan jijik ketika melihat lendir
, yang menempel di situ, lalu diborgolnya pergelangan kaki kananku, yang lebih
bersih.
Aku
sudah berada di dalam penjara lagi. Menyebalkan. Padahal aku tadi sudah
berharap, mereka akan cepat-cepat membunuhku.
Aku
berbaring sambil memasang telinga.
Seekor
nyamuk mendenging dekat telingaku, Ialu terbang menjauh.
Dari
kejauhan datang bunyi truk-truk yang lalu-Ialang di Jalan Nasional 5 yang
menuju ke kota Battambang. Sinar lampu besar kendaraan-kendaraan itu menyapu
dinding penjara sesaat, yang kemudian menjadi gelap-gulita kembali.
Aku
memperhatikan dengan lebih seksama. terdengar bunyi lalat dan nyamuk, serta
erangan para tahanan.
Kudengar
suara jangkrik di luar. Tikus berlari- lari di atas atap.
Dari
kejauhan datang suara lolongan, ketika kawanan ajak muncul di pinggir hutan,
siap untuk berpesta-pora.
Lelaki
yang terkapar di kananku batuk-batuk dan menggerakkan badannya, tapi wanita di kiriku
tidak berkutik. Ketika di luar mulai terang lagi, kulihat bahwa wanita itu
sudah tua dan kurus. Dan mati. Kuraba pergelangan tangannya. sudah dingin
sekali. Tidak terasa denyutan nadi. Seorang penjaga muncul. la membuka borgol yang
mengikat pergelangan kaki wanita itu. Lalu borgolku, dan kemudian tahanan yang
berbaring di sisi sana wanita itu. Aku dan tahanan itu disuruh menggotong tubuh
wanita tua itu ke luar. Aku hanya berdoa sebentar untuk arwahnya. Aku tidak
merasakan adanya kedukaan dalam hatiku. Aku malah iri padanya. Wanita itu lolos
dengan gampang dari penderitaan.
Tanganku
diikat lagi, lalu aku dibawa ke pondok yang merupakan kantor. Dua orang serdadu
masuk membawa sebuah karung goni yang besar.
"Namamu
Samnang?"
"Betul.
..”
"Kaukah
orangnya, yang berbohong terhadap Angka?"
"Aku
tidak pernah bohong kepada Angka."
"Kau
dulu dokter tentara, berpangkat kapten."
Pasti
ini perbuatan Pen Tip, kataku dalam hati. Kini aku benar-benar yakin.
"Bukan,
Kawan," jawabku. "Aku sudah pernah masuk penjara karena urusan ini, tapi
tuduhan itu palsu. Aku dulu sopir raksi. Kalau ingin tahu dengan pasti, pergi
saja ke Phnom Penh dan periksa sendiri catatan tentang itu yang ada di sana."
Sebagai
jawaban, serdadu itu memukul rusukku. Aku mereka pukuli dengan tongkat sampai ambruk
ke lantai. Setelah itu bergantian mereka menendangi tubuhku. Kakiku mereka
masukkan ke dalam karung goni yang kemudian mereka tarik ke atas, sehingga aku
meringkuk di dalamnya. Aku berusaha meronta, tapi ranganku terikat di belakang punggung.
Karung itu mereka ikat, sehingga aku yang ada di dalamnya tidak bisa melihat
apa-apa lagi.
Mereka
menyeretku ke luar. Lewat celah-celah tenunan karung yang kasar kurasakan
tusukan tunggul-tunggul padi, lalu hentakan ketika aku yang masih tetap terbungkus
karung ditarik ke atas melewati sebuah pematang, lalu tusukan tunggul-runggul
padi dan hentakan ketika melewati pematang lagi. Begitu lagi beberapa kali. Akhirnya
serdadu-serdadu itu berhenti. Aku merasa karung tempatku berada itu ditarik ke
aras.
"Katakan
bahwa kau dokter! Bilang, ya!"
Aku
diam saja.
Buk!
Pukulan itu menghajar punggungku.
Buk!
Sekali lagi.
Karung
yang diikatkan pada tali itu terombang- ambing. Aku menyusupkan mukaku sedalam mungkin
di antara kedua lutut untuk melindungi mataku.
Buk!
Tubuhku serasa remuk, seperti kayu lapuk.
Berulang-ulang
mereka bertanya apakah aku dokter. Aku mengerang, tapi tidak menjawab. Setelah
itu aku membisu, dengan harapan agar mereka menyangka bahwa aku sudah tidak bernyawa
lagi.
Buk!
Sialan, siasatku tidak berhasil. Serdadu-serdadu itu kuat dan tidak pernah
kekurangan makan. Aku mereka jadikan sasaran untuk menyalurkan tenaga yang
berlebihan.
Karung
berisi tubuhku terayun-ayun seperti bandul, makin lama makin pelan, tapi tidak pernah
sampai berhenti karena dorongan angin yang menembus masuk lewat celah-celah
tenunan. Cahaya terang ikut merembes ke dalam.
Sepanjang
hari aku berada dalam keadaan tergamung begitu. Ketika cahaya yang merembes masuk
mulai meredup dan berwarna kemerah-merahan, kudengar bunyi langkah-langkah
mendekat. Tahu-tahu karung lepas dan aku jatuh berdebum ke tanah. Rasa nyeri
menjalari tulang punggungku yang sebelah bawah.
Aku
dikeluarkan dari dalam karung. Aku berbaring meringkuk di tanah, dengan tangan masih
terikat di belakang punggung. Ketika kubuka mataku, kulihat ada darah yang
sudah membeku di lututku. Datangnya dari luka-luka pada kepalaku.
Para
penjaga membiarkan aku tergeletak, sementara matahari terbenam.
Angin
bertiup, mendatangkan hawa sejuk. Di atasku, di dahan sebatang pohon asam,
seekor burung berkicau. Burung itu terbang dari dahan ke dahan, sambil berkicau
dengan suaranya yang merdu.
Tapi itu bukan burung yang biasa-biasa saja, melainkan
salah satu roh alam sekitar situ, seperti dewa-dewa yang hidup di bebatuan, di
langit, di hutan, dan di air. Burung itu berkicau gembira, mengatakan bahwa aku
tidak perlu cemas. Segala-galanya akan beres.
Kujawab
burung itu tanpa suara: aku tidak sependapat denganmu. Penjaga-penjaga itu akan
datang lagi dan kemudian membunuhku. Katakanlah, hai Roh, bagaimana nasibku
selanjutnya.
Burung
itu mengulangi kicauannya, dengan riang gembira. Tapi ucapannya seperti yang
tadi juga.
Kupejamkan
mata lalu berkata dalam hati: begitu bahagianya hidupmu. Kau bisa terbang ke mana
saja. Kau ini hendak melipur perasaanku, atau adakah pesan yang kaubawa
untukku? Katakanlah yang sebenamya.
****************
Malam
itu para penjaga datang dan menggiringku kembali ke penjara. Aku berjalan
terpincang-pincang. Ternyata tidak ada tulangku yang remuk. Hanya bagian tulang
ekor saja yang terasa memar sekali. Ketika sudah masuk lagi di dalam bangunan
penjara, aku berbaring lagi di tanah berlendir. Kudengarkan erangan para tahanan
yang lain, dan bunyi lalat beterbangan.
Keesokan
paginya aku diinterogasi lagi. Aku masih saja tidak mau mengaku bahwa aku sebenarnya
dokter. Mereka kembali memukuli lalu menyeretku ke luar, ke suatu tempat di
bawah sebatang pohon. Pergelangan tangan dan kakiku mereka ikatkan ke tanah,
pada borgol-borgol yang terpasang di situ. Aku berbaring telentang, menunggu
dan bertanya-tanya dalam hati, bentuk siksaan bagaimana lagi yang akan mereka
lakukan terhadapku. Seorang Khmer Merah berbaju merek Montagut di balik kemeja
seragam hitamnya datang membawa sesuatu yang kelihatannya seperti jepitan dari
kayu dengan gagang baja; tapi aku tidak sempat melihat benda itu dengan jelas. Orang
yang datang itu menjepit kepalaku dengan aIat itu yang sisi-sisi dalamnya
menyentuh pelipisku. Ternyata alat itu memang jepit. Orang itu mempererat
jepitan dengan cara menyetel gagangnya. la melakukan hal itu sambil
memperhatikan air mukaku.
Di
sisi dalam jepit itu terdapat paku-paku dari logam berujung runcing. Setelan
jepit itu dipererat, makin erat, lalu orang itu berhenti sebentar. Ujung-ujung
paku rasanya sudah hampir menembus kulitku. Orang itu mengamati-amati air mukaku
dengan kecermatan orang yang sedang melakukan penelitian dengan mikroskop.
Diperhatikannya segala tanda yang nampak, tapi ia tidak merasakan kenyerianku.
Kugerakkan
kepalaku sedikit untuk mengurangi kenyerian yang menusuk pada titik-titik tertentu
di bagian pelipisku. Orang itu tidak menggerakkan gagang jepitan. Meski begitu
kepalaku terasa agak bertambah erat terjepit. Kugerakkan kepalaku ke posisi
semula - dan alat itu bertambah erat lagi jepitannya.
Aku
mengerti sekarang. Alat penjepit itu ternyata bekerja dengan pegas. Setiap kali
aku. bergerak sedikit saja, alat itu akan menambah siksaan dengan cara
mempererat jepitan. Aku mulai menangis dan merintih ketika orang itu kembali
memegang gagang dan mulai memutarnya lagi; aku berbuat begitu bukan karena kesakitan,
tapi karena kusadari bahwa ia sedang mengukur ambang rasa nyeriku. Jepit itu
dipasang bukan dengan tujuan untuk meremukkan tulang tengkorakku. Tujuannya
lebih canggih lagi, dan itu hanya merupakan sebagian saja dari siksaan terhadapku.
Orang
itu menegakkan tubuhnya kembali. Nampaknya ia sudah puas. Dijunjungnya sebuah ember
berisi air dan digantungkannya pada sebuah dahan yang letaknya tinggi di atas
kepalaku. Air menetes dari sebuah lubang di tengah-tengah dasar ember itu,
jatuh ke tanah di sisiku. ========= mengambil setangkai jerami dan menusukkannya
ke dalam lubang itu. Diaturnya letak jerami itu sehingga air yang mengalir
melaluinya menetes jatuh mengenai keningku, tepat di tengah-tengahnya.
Tes.
Tes.
Tes.
Sekarang
aku tahu bagaimana corak siksaan itu.
Air
menetes jatuh dari ketinggian dua sampai dua setengah meter, cukup tinggi untuk
menimbulkan efek yang terasa pedih saat tetesan itu mengenai kulit. Aku pernah
melihat air yang menetes jatuh dari atap menyebabkan permukaan keras yang terbuat
dari beton berlubang-lubang. Dan itu terjadi dalam satu musim hujan saja.
Tes.
Tes.
Lelaki
berbaju Montagut itu berdiri di sampingku sambil mengamati dengan cermat.
Setelah
tetesan yang kelima ratus, kupejamkan mataku. Air selalu menetes di tempat yang
sama, tepat di tengah kening. Kulitku di situ terasa pedih, dan air terus saja
menetes, rasanya seperti hantaman bertubi-tubi.
Tes.
Tes.
Tes-tes.
Tetesan
dua kali beruntun.
Tetes
air berikut tidak datang. Lalu kembali:
Tes.
Tes.
Tes.
Tes.
Tes.
Setelah
tetesan keseribu, kenyerian yang terasa di kulit mulai berubah menjadi sakit
kepala, seperti ada beban yang menekan kepala.
Aku
mengubah posisiku agar tetesan air mengenai tempat lain. Gerakanku itu langsung
menyebabkan paku-paku bertambah kuat menekam pelipis. Kini, selain hantaman
pada kening, kurasakan pula kenyerian karena tusukan paku-paku. Aku berusaha
tidak bergerak, tapi itu tidak mungkin. Dan setiap kali aku bergerak sedikit saja,
alat itu langsung mempererat jepitan.
Suara
orang- tadi terdengar di sebelah atasku. "Kau kan sebenarnya dokter,
Kawan? Jika kaukatakan ya, akan kuhentikan tetesan air."
"Aku
bukan dokter." Kudengar suaraku menjawab.
"Kau
kuat, ya? Kalau begitu air akan diteteskan terus menimpamu. Jika kau hidup,
tidak ada untungnya. Jika kau mati, tidak ada ruginya.' "
Tes.
Tes.
Tes.
Berapa
banyakkah air dalam ember itu?
Berapa
lamakah ini bisa terus berlanjut?
Tetesan-tetesan
itu terasa seperti benda padat. Seperti paku-paku. Paku-paku yang hendak menembus
tempurung kepalaku.
Mataku
terus kupejamkan. Rasa nyeri di kening semakin meningkat, menyamai kenyerian di
pelipisku. Kemudian kenyerian di kening menyambung dengan kenyerian di pelipis.
Rongga tengkorakku serasa berdenyut setiap kali tetesan air menimpa kening.
Setiap kali itu terjadi, mataku berkunang-kunang. Tungkai dan kakiku terkejat menahan
kedahsyatan hantaman itu.
Air
di dalam ember itu tidak habis-habis. Air sedanau yang ada di dalamnya. Waktu
berlalu dengan amat lamban, sehari rasanya seperti seabad.
Kutahan
kepalaku agar jangan bergerak. Jika siksaan Khmer Merah ini berlanjut terus
sepanjang malam, aku pasti mati. Rasa nyeri ini akan membunuhku. Aku tahu
pasti.
Aku
sudah pernah hampir mati dua kali sebelumnya. Sekali karena disentri, dan
sekali lagi ketika disalib di penjara. Dari pengalamanku itu tumbuh perasaan, tumbuh
takaran yang bisa menduga kekuatan hidupku. Aku tahu apa yang bisa kutahankan,
dan apa yang akan membuatku matl.
Kusampaikan
pesan kepada angin, pepohonan, burung-burung, sawah, ke semua tempat yang dihuni
dewa-dewa: jika semasa hidupku yang lalu aku terlalu banyak memberi bonjour, maka kini aku membayarnya kembali.
Jika aku pernah menyakiti orang lain dalam hidupku yang silam, kini aku
membayarnya kembali. Tolonglah, Dewata, berikanlah aku kehidupan yang lebih
mudah sesudah yang ini berakhir.
Tes.
Tes.
Tes-tes.
Tes.
Tes
....
Air
dari seluruh Samudra Pasifik yang ada dalam ember-ember itu. Sudah seribu tahun
aku hidup dalam siksaan.
***************
Lelaki
berbaju Montagut itu datang !agi. Dengan jari ditusukkannya jerami masuk lebih
dalam ke lubang di dasar ember. Tetesan terhenti. Hanya sekali dalam semenit,
atau satu jam, ada tetesan yang mengenai keningku, tapi tidak di, tempat semula;
kemudian pelipisku yang kena, lalu ubun-ubun, tanpa aturan yang pasti.
Kubuka
mataku. Matahari sudah terbenam. Tapi langit masih nampak terang, penuh warna-warna
indah.
Aku
tidak berani menggerakkan kepala untuk melihat ke sekelilingku. Tapi aku merasa
bahwa aku tidak sendiri.
Kupejamkan
mataku lagi. Aku membenamkan diri ke dalam sanubariku. Pikiranku mengirimkan pesan
kepada Huoy:
Huoy,
sepanjang hidupmu kau belum pernah menderita seperti ini. Melihat keadaanku
sekarang saja akan sudah menyebabkan kau menjerit. Kau menjerit dan menangis
ketika Khmer Merah mengikatku lalu mendorong sehingga aku jatuh terjerembap.
Menurutku, kau takkan bisa tahan jika ada di sini. Dengarlah pesanku lewat
angin: untuk sementara mereka menghentikan siksaan terhadapku. Aku berdoa,
semoga angin mengembus ke rumah kita dan membawa kabar ini kepadamu. Kudoakan
semoga dewa-dewa menghibur perasaanmu.
Aku
terbaring dengan kepala dalam jepitan, mimpi tanpa tidur.
Keesokan
paginya Ielaki yang memakai baju Montagut muncul kembali. la menuangkan air ke dalam
ember. Sebagian dari air itu tumpah membasahi mukaku. Kubuka mulutku dan kuteguk
air yang masuk.
Orang
itu bertanya, apakah aku ini dokter.
Bukan,
kataku.
Orang
itu membetulkan letak jerami. Air mengalir dari lubang di dasar ember ke
jerami, lalu menimpaku.
Tetes-tetes
air datang lagi.
Secara
teratur.
Hari
itu ayah dan ibuku·muncul di depan mata batinku. Mereka berbicara padaku.
Kemudian menyusul Huoy, lalu Huoy bersama ibunya, lalu Huoy seorang diri.
Setiap
kali tetesen air menimpa, tubuhku terasa kelu sesaat, dan kemudian arus
kesadaran saraf datang membanjir kembali; tetesan berikut menyebabkan tubuhku
kembali tak merasakan apa-apa selama sesaat. Kemudian saat-saat kelu itu menyambung,
dan aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Aku
terbangun sekali karena sinar matahari yang sudah menjelang sore, tapi sesudah
itu tidak banyak lagi yang kuingat. Sebagian kecil dari benakku mengingatkan
diriku bahwa aku masih hidup.
Kemudian
muncul beberapa orang Ielaki. Mereka saling bertanya, apakah aku berada dalam keadaan
pingsan berat. Aku mendengar suara-suara mereka, tapi aku tidak mengatakan
apa-apa. Andaikan aku mau mengatakan bahwa aku tidak Pingsan, aku tidak mampu
mengendalikan Otot-otot unruk menggerakkan bibir. Orang-orang itu terlalu jauh.
Begitu jauhnya mereka.
Aku
bahkan tidak tahu apakah siksaan dengan air itu sudah mereka hentikan, atau
belum.
******************
Ketika
aku sadar lagi, tahu-tahu matahari sudah berwujud bola merah yang besar di
horizon dan aku berada dalam posisi berbaring. Ember sudah tidak ada lagi di
atas kepala, dan alat jepit sudah disingkirkan.
Aku
telentang di tanah dengan kepala pada posisi miring, tanpa ada sesuatu yang
menahan. Aku merasakan tubuhku digigiti semut, dan dari bau yang tercium
kuketahui bahwa aku terberak di celana.
Kupejamkan
mataku.
Kutahan
diriku agar jangan bergerak, atau kehilangan kendali, atau menjadi marah. Kusuruh
tubuhku beristirahat saja.
Beberapa
waktu kemudian terdengar langkah orang mendekat. Terasa bahuku disenggol dan terdengar
suara seseorang berteriak menyuruh aku bangun. Tapi aku pura-pura pingsan.
"Bangun!
Makan malam!" kata suara itu.
Kupalingkan
kepalaku lambat-lambat, kubuka mata dan kuangkat lenganku yang sebelah, lalu kubiarkan
kepala dan lenganku terkulai lagi, seperti orang yang terlena.
"Bangun!
Makan! Makan!"
Aku
ditendang beberapa kali, tapi tidak terlalu keras . Aku mengatakan,
"Ya," dengan suara pelan, tapi tetap saja pura-pura masih terus
tidur.
Penjaga
itu menyambar pergelangan tanganku lalu menyentakkan diriku sehingga terduduk.
Di sampingku ada mangkuk ceper berisi air tajin. Aku ingin memakannya, tapi aku
membiarkan tubuhku terkulai lagi ke tanah. Aku masih terus berpura-pura, Orang
itu menyentakkan aku lagi sehingga duduk kembali. Sekali ini kumakan makanan
itu, tapi dengan lambat-lambat, menikmati rasanya.
Setelah
itu aku tidur kembali, dengan posisi miring.
Malam
itu aku dibawa ke dalam penjara. Jika ada lalat hinggap di tubuhku atau ada
nyamuk menggigit, aku tidak menyadarinya. Bagiku itu tidak ada artinya. Di luar
ada lalat, lendir, dan luka-luka memar. Tapi jauh di dalam, di lubuk hatiku,
kekuatan hidup mulai bangkit kembali.
Keesokan
harinya kuIewatkan di dalam penjara. Bangunan sempit memanjang itu, dengan dua deretan
tahanan yang berbaring beradu kepala, ditinggikan ke arah tengah, sehingga
tinja dan air kencing- bisa mengalir turun ke comberan yang membujur sepanjang
dinding. Masing-masing empat tahanan diborgol pada satu balok kayu yang kokoh.
Aku dan tiga orang tahanan lain diborgol bersebelahan dengan empat tahanan lagi
yang berbaring bersebelahan dengan pintu. Kami diberi satu kali makan air tajin
yang ditaruh dalam mangkuk-mangkuk yang tercemar cipratan tinja. Lalat-Ialat
bermata merah terbang mengitari kami seperti helikopter berukuran mini,
mengambang sejenak di udara, lalu melesat pergi, lalu mengambang kembali. Hawa
panas di dalam, karena sinar matahari yang menimpa atap berlapis seng.
Malam
hari aku hanya bisa tidur-tidur ayam. Penerangan lampu sama sekali tidak ada di
dalam. lndera pendengaranku telah terasah untuk menangkap bunyi-bunyi malam:
suara serangga, bunyi truk-truk di kejauhan, dan sekali-sekali lolongan ajak.
Kudengar
bunyi sesuatu yang tidak kukenal. Bunyi seperti mendesir, datangnya dari
sebelah luar bangunan. Aku berbaring dengan mata terpejam, menajamkan
pendengaran .
Bunyi
tadi terdengar lagi, lalu hilang.
Itu
bukan bunyi tikus. Tikus lebih lirih bunyinya.
Ada
orang berjalan di sisi luar bangunan, nenginjak dedaunan yang berserakan di
tanah.
Apa
yang tidak beres? tanyaku pada diri sendiri. Kenapa keringat dingin tiba-tiba
membasahi tubuhku? Apa sebabnya aku tahu bahwa aku harus merasa takut?
Dengar!
Orang
yang berjalan di luar itu tidak sendiri.
Kusikut
tahanan-tahanan di kiri-kananku.
"Jangan
tidur," bisikku kepada mereka. "Penjara ini dikepung. Rasanya akan
terjadi sesuatu."
Kedua
tahanan di kiri-kananku meneruskan kata-kataku itu kepada yang lain-Iain.
Kami
menunggu.
Suara
jangkrik terus saja terdengar.
Kejadiannya
kemudian datang dengan cepat. Kesunyian yang masih ada sesaat sebelumnya, berubah
menjadi teriakan kacau-balau ketika api berkobar menembus kajang. Sementara
dinding terbakar, bilah-biIah bambu yang menjepit kajang tampak jelas sesaat di
nyala kobaran, dan kemudian ikut dimakan api pula; tahanan-tahanan yang berloncatan
sambiI menjerit-jerit nampak jelas sosoknya. Aku dan ketiga tahanan yang
diborgol ada satu balok melompat bangkit lalu bergerak lari menuju pintu sambil
menyeret balok yang lengikat kaki-kaki kami. Wanita di sampingku terjatuh;
balok kayu terputar, menyentakkan borgol-borgol yang mengunci pergelangan kaki kami.
Kuangkat wanita itu, Ialu kami seret dia beramai-ramai beserta balok yang
menghambat gerak kami ke luar lewat pintu. Setelah berada di luar, kami bisa
melihat bangunan penjara yang terbakar. Salah satu ujung atap seng ambruk, menimpa
para tahanan yang terdengar menjerit-jerit dalam keadaan terjebak di dalam.
Kami merasakan panas api menerpa, dan kemudian terdengar bunyi rentetan
tembakan di sisi seberang penjara ketika para penjaga menyirami para tahanan
dengan peluru. Kelompok-kelompok tahanan lain yang masing-masing berempat, enam
belas, atau dua puluh orang dalam keseluruhannya, berhasil menyelamatkan diri
ke luar dengan langkah terseret-seret sebelum seluruh bangunan itu ambruk. Para
penjaga datang berlari-lari dengan senapan M-16 mereka. Penampilan mereka galak
diterangi nyala api, tapi kami tidak dihujani dengan tembakan. Dengan kaki
masih terborgol pada balok kayu, kami bergerak menjauhi bangunan, sementara di
dalamnya masih terdengar suara teriakan orang-orang yang sekarat.
Para
penjaga mengawasi kami dengan sikap mengancam. Kami hanya bisa menatap
sisa-sisa bangunan yang masih terbakar.
Bara
menyala dalam gelap, dan logam atap berdentang-dentang sewaktu mulai mendingin lagi.
Ketika
langit mulai terang, kami melihat bahwa tubuh kami hitam kena asap. Tidak
banyak yang tersisa dari penjara selain Iembaran-Iembaran seng yang hangus
serta tubuh-tubuh hitam meliuk di tanah.
*****************
Para
penjaga penjara tidak pernah mengatakan apa sebabnya mereka membakar penjara
itu. Peristiwa itu tetap merupakan teka-teki bagiku. Mungkin saja itu terjadi
atas prakarsa para penjaga sendiri, tanpa diperintah dari atas. Mungkin mereka
sudah bosan melakukan siksaan yang begitu-begitu terus, dan ingin melakukan
sesuatu yang lain. Atau mungkin juga mereka hendak menyingkirkan bangunan itu,
karena tidak tahan lagi mencium baunya. .
Dari
delapan puluh tahanan, dua puluh delapan orang yang selamat. Kemudian pihak
Khmer Merah mengadakan rapat, untuk menentukan tindakan selanjutnya. Kami
diberi makan air tajin, lalu ditanyai dari koperasi mana saja kami masing-masing
berasal.
Setelah
itu mereka mengirimkan kurir-kurir.
Siangnya
Paman Phan, kepala desa Phum Ra, muncul untuk mengawal aku dan seorang tahanan lagi
kembali ke desanya.
Sementara
kami berjalan meninggalkan tempat itu, Paman Phan mengatakan bahwa ia baru kemudian
mendengar bahwa aku dibawa pergi oleh serdadu-serdadu itu. "Aku takkan
bisa melindungimu, Nak," katanya.
Aku
agak percaya pada kata-kata itu. Kelihatannya ia tidak tahu-menahu tentang permusuhan
yang ada antara aku dan Pen Tip. Aku mengucapkan terima kasih padanya, karena
bersedia menjemput aku. Tapi sebenarnya aku marah. Ditakar menurut ukuran Khmer
Merah, Phan itu orang yang baik. Tapi itu saja tidak cukup. Aku tidak melakukan
apa-apa sehingga layak jika dipenjarakan.
"Mulai
saat ini," kata Paman Phan, "dam
doeum kor. Tanamlah pohon kapuk. Tutup mulut. Jangan berbuat macam-macam.
Jangan lakukan pelanggaran lagi. Mengerti?"
"Apa
pun akan kulakukan untuk menghindari pengalaman seperti itu lagi,"
jawabku. "Aku sudah cukup menderita. Bisakah kita berjalan lebih pelan,
Paman Phan?"
Beberapa
kaIi kami berhenti sebentar untuk mengaso. Ada bagian yang memar pada kulit di tengah-rengah
keningku. Tapi itu tidak begitu nampak, jika dibandingkan dengan benjoI-benjol dan
darah yang sudah kering di ubun-ubun dan luka-Iuka memar di bagian-bagian
tubuhku yang selebihnya. Tubuhku lemas dan terasa sakit-sakit, tapi masih
mendingan ketimbang saat yang dua kali sebelumnya ketika aku kembali dari
penjara.
Ketika
kami tiba di Phum Ra hari sudah sore. Orang-orang sudah pulang dari bekerja dan
Huoy ada di rumah. Kerika ia melihat aku datang, mula-mula ia menangis karena
gembira. Tapi ketika aku sudah lebih dekat dan ia melihat bagian-bagian kepalaku
yang memar dan luka, ia tidak bisa menguasai diri lagi. la menangis
tersedu-sedan, dengan wajah mengerenyot dan bahu terguncang- guncang. Aku
merangkulnya, tapi ia terus saja menangis.
Kulepaskan
semua pakaianku lalu kulilitkan krama ke pinggang. Kami berjalan ke belakang rumah,
menuju parit yang ada air di dasarnya. Huoy memandikan aku, lalu mencukur
rambut di sekeliling luka-Iuka di kepalaku. Tangannya bekerja dengan tenang.
tapi ia terus saja menangis.
Huoy
masih tetap Iembut jiwanya, meski sudah begitu banyak yang dialaminya selama
ini. Dia itu sepeni ketam yang tidak bercangkang. Akulah cangkangnya,
pelindungnya. Ketika aku kembali padanya dalam keadaan remuk, ia ikut menyerap pukulan-pukulan
yang menimpa rubuhku. Keyerian lebih dirasakan oleh Huoy, ketimbang oleh aku
sendiri . ..
la tidak bisa berhenti menangis. Sementara ia membersihkan
luka-Iukaku dan menyabuni tubuhku, sementara aku membiarkan diriku dirawat olehnya
dengan penuh kasih sayang, aku merasa cemas memikirkan kesehatannya.
Luka-Iukaku hanya ada di tubuhku saja. luka-Iuka itu bisa sembuh. Sedangkan
luka-luka yang dialami Huoy, ada di dalam benaknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar