Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Sabtu, 23 Maret 2013

Neraka Kamboja - Bab 27 : Tetes-Tetes Air


27. TETES-TETES AlR


SEPERTI aku juga, Pen Tip berhasil mengusahakan pcmindahannya dari garis depan. la bersama keluarganya pindah ke desa Phum Ra. Waktunya kurang-Iebih sama dengan saat kepindahan aku dan Huoy. Kami menjadi tetangga di sana. Tapi sementara aku sepanjang hari sibuk mengangkut air ke kebun umum dan sebisa mungkin selalu menghindari orang-orang Khmer Merah, Pen Tip malah berusaha menjalin hubungan dengan mereka, untuk keuntungannya pribadi. Kedudukannya naik, dari pemimpin regu menjadi asisten kepala seksi; ia menjadi orang "baru" yang paling berpengaruh di desa itu.

Dalam situasi lain, kemungkinan aku akan geli melihat Pen Tip. Orangnya begitu pendek, sehingga selalu harus mendongak kalau berhadapan dengan orang lain, seperti anak kecil. Kalau berjalan kakinya mengarah ke luar seperti Charlie Chaplin, dan alisnya selalu terangkat-angkat, seakan-akan setiap kali selalu ada saja sesuatu yang mengherankannya. Mungkin tubuhnya yang pendek dan penampilan anehnya itu yang menyebabkan Pen Tip menjadi begitu. Mungkin semasa kecilnya ia sering diganggu dan diperlakukan sebagai anak bawang. Tapi apa pun sebabnya, yang jelas dia itu haus kekuasaan. la bersikap menjilat kalau menghadapi orang-orang "lama" dan Khmer Merah; tapi terhadap orang-orang "baru", ia sok kuasa. Aku yang paling sering dijadikan sasaran olehnya, karena aku dulu pernah berkedudukan lebih tinggi dalam masyarakat, sebagai dokter. la merasa perlu "menjajah" aku, untuk menunjukkan bahwa ia tidak bisa diremehkan.

Kami sama-sama selalu menjaga sikap di depan umum, karena percekcokan merupakan perbuatan yang melanggar peraturan. Apabila berjumpa, kami selalu saling menyapa dan bercakap-cakap dengan sopan. Tidak pemah kukatakan padanya bahwa aku tahu karena pengaduannyalah aku dipenjarakan waktu itu. la pun tidak pernah mengatakan apa-apa mengenainya. Tapi di balik sikap kami yang selalu sopan itu kami sama-sama mengetahui bahwa ada dendam kesumat di antara kami berdua: aku menginginkan kematiannya, dan dia juga ingin aku mati.

Sulit juga menemukan cara membunuhnya, sebelum aku yang mati dibuatnya. Setiap kali aku melihat Pen Tip, jari-jari tanganku sudah gatal saja rasanya, ingin mengejarnya dengan parang. Tapi itu tidak pernah kulakukan, karena kami tidak pernah hanya berdua saja. Jika Pen Tip kubacok sampai mati dan ada yang melihat perbuatanku itu, aku pasti kemudian dibunuh Khmer Merah, dan Huoy akan menjadi janda. Tidak ada gunanya membalas dendam, jika aku dan Huoy tidak bisa menikmati hasil perbuatan itu.

Sebenarnya masih ada satu kemungkinan lain untuk membunuhnya. Tapi caranya sangat licik dan hina, sehingga tidak bisa kurundingkan dengan siapa pun juga, bahkan dengan Huoy pun tidak. Dari pengalamanku semasa keciI di Samrang Yong, aku mengetahui bahwa pencuri yang bermaksud membunuh anjing jaga membuat semacam racun dari kulit pohon kantout. Kulit itu dikupas, digiling sampai balus, lalu dimasak dengan gula. Adonan iru dikeringkan sehingga menjadi padat. Anjing yang diberi makan adonan yang manis rasanya itu pasti mati. Manusia pun pasti mati jika memakannya.

Tapi ada dua hambatan yang merintangi niat umuk meracuni Pen Tip. Hambatan yang satu bersifat praktis. Gula waktu itu tidak bisa diperoleh. Jadi rasa kulit kantout yang tidak enak, tidak bisa disamarkan. Selanjutnya,.andaikan aku berhasil membuat adonan itu dan kujadikan seperti kue bentuknya, memperdayai Pen Tip sehingga ia mau memakannya pasti bukan urusan gampang. Hambatan kedua bersifat moral. Timbulnya ide untuk meracuni Pen Tip menunjukkan bahwa dalam diriku ada naluri yang merupakan kekhasan Khiner Merah, yakni menyimpan dendam kesumat dan kemudian membalas dengan jalan kekerasan. Jika aku meracuninya, atau bahkan jika aku membunuhnya dengan parang pada suatu malam yang gelap, itu berarti bahwa aku sama saja dengan mereka. Kum-monuss. Aku lantas merenung, siapa aku ini pada hakikatnya. Jauh sekali di dalam lubuk hatiku tersembunyi kecenderungan yang buruk dan ganas; kecenderungan tersembunyi ini dimiliki manusia Kamboja pada umumnya. Di tingkat naluriah ini kemungkinannya tidak banyak bedanya antara aku dan Khmer Merah. Tapi lain dari mereka dan juga Pen Tip, pendidikanku menyebabkan aku bisa mengatasi naluriku. Aku ini dokter. Tugasku menyelamatkan nyawa manusia, bukan membunuh. Aku juga penganut agama Budha. Aku percaya bahwa jika aku tidak membunuh Pen Tip, baik dalam hidupku yang sekarang atau yang berikut, pasti akan ada orang lain yang membunuhnya. Itu merupakan kama. Artinya, bukan aku takkan membalaskan dendamku terhadapnya jika ada kesempatan untuk itu, tapi kepercayaanku itu menyebabkan aku bisa menunggu.

Ternyata Pen Tip yang lebih dulu mengambil langkah. Dalam suatu rapat kerja yang dihadirinya, kepala desa kami yang bernama Paman Phan mengatakan bahwa regu pupuk memerlukan tambahan tenaga kerja. Pen Tip mengusulkan diriku, dan usul itu diterima oleh Paman Phan.

Aku marah sekali ketika mendengarnya. Menyuruh aku mengangkut air untuk menyirami kebun rupanya dianggap belum cukup rendah; kini aku disuruh mengambil ketoran manusia dari kakus-kakus umum. !tu merupakan cara Pen Tip untuk semakin menghenyakkan statusku dalam masyarakat desa itu, untuk mencoreng mukaku.

Pekerjaan itu juga bukannya tidak berbahaya. Sudah ada beberapa orang dari regu pupuk yang mati sebagai akibat infeksi yang masuk ke tubuh mereka lewat luka. Dan andaikan pekerjaan menangani kotoran manusia dinilai layak di mata masyarakat - kenyataannya tidak begitu, karena selain baunya yang busuk, pekerjaan itu juga dianggap memalukan - aku takkan mungkin mau secara sukarela melakukan pekerjaan semacam itu jika tidak melindungi diri dengan sarung tangan dan sepatu bet karet serta menelan bermacam-macam obat dulu. Tapi semuanya itu tidak kupunyai.

Aku mulai melakukan tugas baruku itu, mendatangi kakus-kakus umum dengan bertelanjang kaki dan menguras isinya dengan timba yang diperlengkapi dengan gagang yang sangat panjang. Tinja itu kutuangkan ke dalam sebuah gentong besar, yang kemudian kupikul pergi bersama seseorang lagi. Kemerosotan statusku benar-benar mutlak. Aku berada di lapisan terbawah kalangan budak perang yang merupakan lapisan terendah dalam masyarakat Kamboja. Tapi Pen Tip ternyata masih belum puas juga.

Tiga orang serdadu mendatangi rumahku pada suatu sore ketika aku sedang menanam gadung di kebun pribadiku yang baru kukerjakan sesudah selesai melakukan tugas hari itu. Aku sedikit pun tidak menduga maksud kedatangan mereka, sampai mereka sudah berdiri di sampingku lalu mengokang senapan mereka.

Situasi saat itu serupa dengan ketika aku ditangkap sebanyak dua kali sebelum itu: Huoy menangis. Jantungku berdebar keras. Memohon agar diperbolehkan menukar celana dulu, agar emas yang kusembunyikan di balik pinggang celana yang sedang kupakai bisa diambil oleh Huoy. Lalu kedua lenganku diikat di belakang punggung. Ditendang sehingga jatuh terjerembap. Huoy berusaha mencegah serdadu-serdadu itu memukuli diriku, tapi ia didorong dengan kasar ke samping.

Sementara aku digiring pergi, Huoy memohon-mohon kepada ketiga serdadu itu agar ia juga diikat dan dibawa.

*************

Ternyata aku tidak digiring ke penjara dekat Phum Chhleav, tempat yang sudah dua kali kudatangi. Kami menuju ke seberang jalan kereta api, melewati kebun umum yang pengelolaannya dikepalai adikku, melintasi lahan sawah di mana terdapat kawanan sapi dan kerbau yang sedang merumput, lalu masuk ke dalam hutan.

Aku merasa sehat dan bersemangat. Jantungku berdebar keras. Hanya satu hal yang kusesali saat itu, yakni bahwa sebentar lagi Huoy akan menjadi janda. Selain itu, sedikit pun tidak ada rasa penyesalan dalam hatiku. Situasi menunggu sudah lewat. Ajalku pasti akan datang setelah tikungan yang berikut.

Karena kami saat itu tidak berjalan menuju ke Chhleav, aku beranggapan bahwa serdadu-serdadu itu akan membunuhku di salah satu tempat yang pernah mereka jadikan lokasi untuk membunuh orang-orang lain sebelum aku. Aku belum pernah dibawa ke tempat seperti itu, tapi masuk di akal bahwa tempat seperti itu ada. Kuburan massal. Ladang-Iadang pembantaian. T api kami ternyata terus saja berjalan dalam hutan. Ketika hari sudah hampir gelap, kami akhirnya tiba di sebuah desa tua, yang kelihatannya sebelum revolusi pun sudah ada; dengan rumah-rumah panggung yang ada tumpukan jerami di sampingnya, serta pohon-pohon pisang dan asam. Bahkan pohon kantout pun tumbuh di situ, dari jenis yang kubayangkan sewaktu sedang berpikir-pikir hendak meracuni Pen Tip. Ujung seberang desa itu berbatasan dengan lahan persawahan. Di persawahan itu terdapat bukit-bukit kecil yang menyembul di sana-sini, dengan rumpun-rumpun bambu di atasnya.

Serdadu-serdadu itu masuk ke sebuah pondok kecil bergaya Khmer Merah, dengan atap dan tiang-tiang kayu tapi tanpa dinding. Itulah kantor penjara. Kemudian aku mereka bawa ke pinggir desa, ke sebuah bangunan sempit memanjang berlinding kajang, beratap seng dan berbau busuk.

Salah seorang serdadu itu mendorong aku masuk ke dalam, lalu menyusur suatu gang. Aku tidak bisa melihat apa-apa di situ. Bau busuk yang menghambur menyebabkan aku nyaris muntah. Telapak kakiku menginjak lendir yang melapisi lantai tanah. Aku terpeleset, dan kaki kiriku tercebur ke dalam comberan. Serdadu yang menggiringku menyalakan senter. la menemukan tempat kosong, melepaskan tali yang mengikat lenganku; lalu menyuruh aku berbaring menelentang di lantai. Aku menurut saja. Kepalaku membentur sesuatu; aku cepat-cepat minta maaf ketika terdengar suara seseorang mengomel. Serdadu tadi mengarahkan cahaya senternya ke kakiku. Kelihatannya ia bermaksud menguncikan pergelangan kaki kiriku ke sebuah borgol dari besi yang terpasang pada sebuah balok kayu; mukanya dikernyitkan dengan jijik ketika melihat lendir , yang menempel di situ, lalu diborgolnya pergelangan kaki kananku, yang lebih bersih.

Aku sudah berada di dalam penjara lagi. Menyebalkan. Padahal aku tadi sudah berharap, mereka akan cepat-cepat membunuhku.

Aku berbaring sambil memasang telinga.

Seekor nyamuk mendenging dekat telingaku, Ialu terbang menjauh.

Dari kejauhan datang bunyi truk-truk yang lalu-Ialang di Jalan Nasional 5 yang menuju ke kota Battambang. Sinar lampu besar kendaraan-kendaraan itu menyapu dinding penjara sesaat, yang kemudian menjadi gelap-gulita kembali.

Aku memperhatikan dengan lebih seksama. terdengar bunyi lalat dan nyamuk, serta erangan para tahanan.

Kudengar suara jangkrik di luar. Tikus berlari- lari di atas atap.

Dari kejauhan datang suara lolongan, ketika kawanan ajak muncul di pinggir hutan, siap untuk berpesta-pora.

Lelaki yang terkapar di kananku batuk-batuk dan menggerakkan badannya, tapi wanita di kiriku tidak berkutik. Ketika di luar mulai terang lagi, kulihat bahwa wanita itu sudah tua dan kurus. Dan mati. Kuraba pergelangan tangannya. sudah dingin sekali. Tidak terasa denyutan nadi. Seorang penjaga muncul. la membuka borgol yang mengikat pergelangan kaki wanita itu. Lalu borgolku, dan kemudian tahanan yang berbaring di sisi sana wanita itu. Aku dan tahanan itu disuruh menggotong tubuh wanita tua itu ke luar. Aku hanya berdoa sebentar untuk arwahnya. Aku tidak merasakan adanya kedukaan dalam hatiku. Aku malah iri padanya. Wanita itu lolos dengan gampang dari penderitaan.

Tanganku diikat lagi, lalu aku dibawa ke pondok yang merupakan kantor. Dua orang serdadu masuk membawa sebuah karung goni yang besar.

"Namamu Samnang?"

"Betul. ..”

"Kaukah orangnya, yang berbohong terhadap Angka?"

"Aku tidak pernah bohong kepada Angka."

"Kau dulu dokter tentara, berpangkat kapten."

Pasti ini perbuatan Pen Tip, kataku dalam hati. Kini aku benar-benar yakin.

"Bukan, Kawan," jawabku. "Aku sudah pernah masuk penjara karena urusan ini, tapi tuduhan itu palsu. Aku dulu sopir raksi. Kalau ingin tahu dengan pasti, pergi saja ke Phnom Penh dan periksa sendiri catatan tentang itu yang ada di sana."

Sebagai jawaban, serdadu itu memukul rusukku. Aku mereka pukuli dengan tongkat sampai ambruk ke lantai. Setelah itu bergantian mereka menendangi tubuhku. Kakiku mereka masukkan ke dalam karung goni yang kemudian mereka tarik ke atas, sehingga aku meringkuk di dalamnya. Aku berusaha meronta, tapi ranganku terikat di belakang punggung. Karung itu mereka ikat, sehingga aku yang ada di dalamnya tidak bisa melihat apa-apa lagi.

Mereka menyeretku ke luar. Lewat celah-celah tenunan karung yang kasar kurasakan tusukan tunggul-tunggul padi, lalu hentakan ketika aku yang masih tetap terbungkus karung ditarik ke atas melewati sebuah pematang, lalu tusukan tunggul-runggul padi dan hentakan ketika melewati pematang lagi. Begitu lagi beberapa kali. Akhirnya serdadu-serdadu itu berhenti. Aku merasa karung tempatku berada itu ditarik ke aras.

"Katakan bahwa kau dokter! Bilang, ya!"

Aku diam saja.

Buk! Pukulan itu menghajar punggungku.

Buk! Sekali lagi.

Karung yang diikatkan pada tali itu terombang- ambing. Aku menyusupkan mukaku sedalam mungkin di antara kedua lutut untuk melindungi mataku.

Buk! Tubuhku serasa remuk, seperti kayu lapuk.

Berulang-ulang mereka bertanya apakah aku dokter. Aku mengerang, tapi tidak menjawab. Setelah itu aku membisu, dengan harapan agar mereka menyangka bahwa aku sudah tidak bernyawa lagi.

Buk! Sialan, siasatku tidak berhasil. Serdadu-serdadu itu kuat dan tidak pernah kekurangan makan. Aku mereka jadikan sasaran untuk menyalurkan tenaga yang berlebihan.

Karung berisi tubuhku terayun-ayun seperti bandul, makin lama makin pelan, tapi tidak pernah sampai berhenti karena dorongan angin yang menembus masuk lewat celah-celah tenunan. Cahaya terang ikut merembes ke dalam.

Sepanjang hari aku berada dalam keadaan tergamung begitu. Ketika cahaya yang merembes masuk mulai meredup dan berwarna kemerah-merahan, kudengar bunyi langkah-langkah mendekat. Tahu-tahu karung lepas dan aku jatuh berdebum ke tanah. Rasa nyeri menjalari tulang punggungku yang sebelah bawah.

Aku dikeluarkan dari dalam karung. Aku berbaring meringkuk di tanah, dengan tangan masih terikat di belakang punggung. Ketika kubuka mataku, kulihat ada darah yang sudah membeku di lututku. Datangnya dari luka-luka pada kepalaku.

Para penjaga membiarkan aku tergeletak, sementara matahari terbenam.

Angin bertiup, mendatangkan hawa sejuk. Di atasku, di dahan sebatang pohon asam, seekor burung berkicau. Burung itu terbang dari dahan ke dahan, sambil berkicau dengan suaranya yang merdu.

 Tapi itu bukan burung yang biasa-biasa saja, melainkan salah satu roh alam sekitar situ, seperti dewa-dewa yang hidup di bebatuan, di langit, di hutan, dan di air. Burung itu berkicau gembira, mengatakan bahwa aku tidak perlu cemas. Segala-galanya akan beres.

Kujawab burung itu tanpa suara: aku tidak sependapat denganmu. Penjaga-penjaga itu akan datang lagi dan kemudian membunuhku. Katakanlah, hai Roh, bagaimana nasibku selanjutnya.

Burung itu mengulangi kicauannya, dengan riang gembira. Tapi ucapannya seperti yang tadi juga.

Kupejamkan mata lalu berkata dalam hati: begitu bahagianya hidupmu. Kau bisa terbang ke mana saja. Kau ini hendak melipur perasaanku, atau adakah pesan yang kaubawa untukku? Katakanlah yang sebenamya.

****************

Malam itu para penjaga datang dan menggiringku kembali ke penjara. Aku berjalan terpincang-pincang. Ternyata tidak ada tulangku yang remuk. Hanya bagian tulang ekor saja yang terasa memar sekali. Ketika sudah masuk lagi di dalam bangunan penjara, aku berbaring lagi di tanah berlendir. Kudengarkan erangan para tahanan yang lain, dan bunyi lalat beterbangan.

Keesokan paginya aku diinterogasi lagi. Aku masih saja tidak mau mengaku bahwa aku sebenarnya dokter. Mereka kembali memukuli lalu menyeretku ke luar, ke suatu tempat di bawah sebatang pohon. Pergelangan tangan dan kakiku mereka ikatkan ke tanah, pada borgol-borgol yang terpasang di situ. Aku berbaring telentang, menunggu dan bertanya-tanya dalam hati, bentuk siksaan bagaimana lagi yang akan mereka lakukan terhadapku. Seorang Khmer Merah berbaju merek Montagut di balik kemeja seragam hitamnya datang membawa sesuatu yang kelihatannya seperti jepitan dari kayu dengan gagang baja; tapi aku tidak sempat melihat benda itu dengan jelas. Orang yang datang itu menjepit kepalaku dengan aIat itu yang sisi-sisi dalamnya menyentuh pelipisku. Ternyata alat itu memang jepit. Orang itu mempererat jepitan dengan cara menyetel gagangnya. la melakukan hal itu sambil memperhatikan air mukaku.

Di sisi dalam jepit itu terdapat paku-paku dari logam berujung runcing. Setelan jepit itu dipererat, makin erat, lalu orang itu berhenti sebentar. Ujung-ujung paku rasanya sudah hampir menembus kulitku. Orang itu mengamati-amati air mukaku dengan kecermatan orang yang sedang melakukan penelitian dengan mikroskop. Diperhatikannya segala tanda yang nampak, tapi ia tidak merasakan kenyerianku.

Kugerakkan kepalaku sedikit untuk mengurangi kenyerian yang menusuk pada titik-titik tertentu di bagian pelipisku. Orang itu tidak menggerakkan gagang jepitan. Meski begitu kepalaku terasa agak bertambah erat terjepit. Kugerakkan kepalaku ke posisi semula - dan alat itu bertambah erat lagi jepitannya.

Aku mengerti sekarang. Alat penjepit itu ternyata bekerja dengan pegas. Setiap kali aku. bergerak sedikit saja, alat itu akan menambah siksaan dengan cara mempererat jepitan. Aku mulai menangis dan merintih ketika orang itu kembali memegang gagang dan mulai memutarnya lagi; aku berbuat begitu bukan karena kesakitan, tapi karena kusadari bahwa ia sedang mengukur ambang rasa nyeriku. Jepit itu dipasang bukan dengan tujuan untuk meremukkan tulang tengkorakku. Tujuannya lebih canggih lagi, dan itu hanya merupakan sebagian saja dari siksaan terhadapku.

Orang itu menegakkan tubuhnya kembali. Nampaknya ia sudah puas. Dijunjungnya sebuah ember berisi air dan digantungkannya pada sebuah dahan yang letaknya tinggi di atas kepalaku. Air menetes dari sebuah lubang di tengah-tengah dasar ember itu, jatuh ke tanah di sisiku. ========= mengambil setangkai jerami dan menusukkannya ke dalam lubang itu. Diaturnya letak jerami itu sehingga air yang mengalir melaluinya menetes jatuh mengenai keningku, tepat di tengah-tengahnya.

Tes.
Tes.
Tes.

Sekarang aku tahu bagaimana corak siksaan itu.

Air menetes jatuh dari ketinggian dua sampai dua setengah meter, cukup tinggi untuk menimbulkan efek yang terasa pedih saat tetesan itu mengenai kulit. Aku pernah melihat air yang menetes jatuh dari atap menyebabkan permukaan keras yang terbuat dari beton berlubang-lubang. Dan itu terjadi dalam satu musim hujan saja.

Tes.
Tes.

Lelaki berbaju Montagut itu berdiri di sampingku sambil mengamati dengan cermat.

Setelah tetesan yang kelima ratus, kupejamkan mataku. Air selalu menetes di tempat yang sama, tepat di tengah kening. Kulitku di situ terasa pedih, dan air terus saja menetes, rasanya seperti hantaman bertubi-tubi.

Tes.
Tes.
Tes-tes.
Tetesan dua kali beruntun.
Tetes air berikut tidak datang. Lalu kembali:
Tes.
Tes.
Tes.
Tes.
Tes.

Setelah tetesan keseribu, kenyerian yang terasa di kulit mulai berubah menjadi sakit kepala, seperti ada beban yang menekan kepala.

Aku mengubah posisiku agar tetesan air mengenai tempat lain. Gerakanku itu langsung menyebabkan paku-paku bertambah kuat menekam pelipis. Kini, selain hantaman pada kening, kurasakan pula kenyerian karena tusukan paku-paku. Aku berusaha tidak bergerak, tapi itu tidak mungkin. Dan setiap kali aku bergerak sedikit saja, alat itu langsung mempererat jepitan.

Suara orang- tadi terdengar di sebelah atasku. "Kau kan sebenarnya dokter, Kawan? Jika kaukatakan ya, akan kuhentikan tetesan air."

"Aku bukan dokter." Kudengar suaraku menjawab.

"Kau kuat, ya? Kalau begitu air akan diteteskan terus menimpamu. Jika kau hidup, tidak ada untungnya. Jika kau mati, tidak ada ruginya.' "

Tes.
Tes.
Tes.

Berapa banyakkah air dalam ember itu?

Berapa lamakah ini bisa terus berlanjut?

Tetesan-tetesan itu terasa seperti benda padat. Seperti paku-paku. Paku-paku yang hendak menembus tempurung kepalaku.

Mataku terus kupejamkan. Rasa nyeri di kening semakin meningkat, menyamai kenyerian di pelipisku. Kemudian kenyerian di kening menyambung dengan kenyerian di pelipis. Rongga tengkorakku serasa berdenyut setiap kali tetesan air menimpa kening. Setiap kali itu terjadi, mataku berkunang-kunang. Tungkai dan kakiku terkejat menahan kedahsyatan hantaman itu.

Air di dalam ember itu tidak habis-habis. Air sedanau yang ada di dalamnya. Waktu berlalu dengan amat lamban, sehari rasanya seperti seabad.

Kutahan kepalaku agar jangan bergerak. Jika siksaan Khmer Merah ini berlanjut terus sepanjang malam, aku pasti mati. Rasa nyeri ini akan membunuhku. Aku tahu pasti.

Aku sudah pernah hampir mati dua kali sebelumnya. Sekali karena disentri, dan sekali lagi ketika disalib di penjara. Dari pengalamanku itu tumbuh perasaan, tumbuh takaran yang bisa menduga kekuatan hidupku. Aku tahu apa yang bisa kutahankan, dan apa yang akan membuatku matl.

Kusampaikan pesan kepada angin, pepohonan, burung-burung, sawah, ke semua tempat yang dihuni dewa-dewa: jika semasa hidupku yang lalu aku terlalu banyak memberi bonjour, maka kini aku membayarnya kembali. Jika aku pernah menyakiti orang lain dalam hidupku yang silam, kini aku membayarnya kembali. Tolonglah, Dewata, berikanlah aku kehidupan yang lebih mudah sesudah yang ini berakhir.

Tes.
Tes.
Tes-tes.
Tes.
Tes ....

Air dari seluruh Samudra Pasifik yang ada dalam ember-ember itu. Sudah seribu tahun aku hidup dalam siksaan.

***************

Lelaki berbaju Montagut itu datang !agi. Dengan jari ditusukkannya jerami masuk lebih dalam ke lubang di dasar ember. Tetesan terhenti. Hanya sekali dalam semenit, atau satu jam, ada tetesan yang mengenai keningku, tapi tidak di, tempat semula; kemudian pelipisku yang kena, lalu ubun-ubun, tanpa aturan yang pasti.

Kubuka mataku. Matahari sudah terbenam. Tapi langit masih nampak terang, penuh warna-warna indah.

Aku tidak berani menggerakkan kepala untuk melihat ke sekelilingku. Tapi aku merasa bahwa aku tidak sendiri.

Kupejamkan mataku lagi. Aku membenamkan diri ke dalam sanubariku. Pikiranku mengirimkan pesan kepada Huoy:

Huoy, sepanjang hidupmu kau belum pernah menderita seperti ini. Melihat keadaanku sekarang saja akan sudah menyebabkan kau menjerit. Kau menjerit dan menangis ketika Khmer Merah mengikatku lalu mendorong sehingga aku jatuh terjerembap. Menurutku, kau takkan bisa tahan jika ada di sini. Dengarlah pesanku lewat angin: untuk sementara mereka menghentikan siksaan terhadapku. Aku berdoa, semoga angin mengembus ke rumah kita dan membawa kabar ini kepadamu. Kudoakan semoga dewa-dewa menghibur perasaanmu.

Aku terbaring dengan kepala dalam jepitan, mimpi tanpa tidur.

Keesokan paginya Ielaki yang memakai baju Montagut muncul kembali. la menuangkan air ke dalam ember. Sebagian dari air itu tumpah membasahi mukaku. Kubuka mulutku dan kuteguk air yang masuk.

Orang itu bertanya, apakah aku ini dokter.

Bukan, kataku.

Orang itu membetulkan letak jerami. Air mengalir dari lubang di dasar ember ke jerami, lalu menimpaku.

Tetes-tetes air datang lagi.

Secara teratur.

Hari itu ayah dan ibuku·muncul di depan mata batinku. Mereka berbicara padaku. Kemudian menyusul Huoy, lalu Huoy bersama ibunya, lalu Huoy seorang diri.

Setiap kali tetesen air menimpa, tubuhku terasa kelu sesaat, dan kemudian arus kesadaran saraf datang membanjir kembali; tetesan berikut menyebabkan tubuhku kembali tak merasakan apa-apa selama sesaat. Kemudian saat-saat kelu itu menyambung, dan aku tidak merasakan apa-apa lagi.

Aku terbangun sekali karena sinar matahari yang sudah menjelang sore, tapi sesudah itu tidak banyak lagi yang kuingat. Sebagian kecil dari benakku mengingatkan diriku bahwa aku masih hidup.

Kemudian muncul beberapa orang Ielaki. Mereka saling bertanya, apakah aku berada dalam keadaan pingsan berat. Aku mendengar suara-suara mereka, tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Andaikan aku mau mengatakan bahwa aku tidak Pingsan, aku tidak mampu mengendalikan Otot-otot unruk menggerakkan bibir. Orang-orang itu terlalu jauh. Begitu jauhnya mereka.

Aku bahkan tidak tahu apakah siksaan dengan air itu sudah mereka hentikan, atau belum.

******************

Ketika aku sadar lagi, tahu-tahu matahari sudah berwujud bola merah yang besar di horizon dan aku berada dalam posisi berbaring. Ember sudah tidak ada lagi di atas kepala, dan alat jepit sudah disingkirkan.

Aku telentang di tanah dengan kepala pada posisi miring, tanpa ada sesuatu yang menahan. Aku merasakan tubuhku digigiti semut, dan dari bau yang tercium kuketahui bahwa aku terberak di celana.

Kupejamkan mataku.

Kutahan diriku agar jangan bergerak, atau kehilangan kendali, atau menjadi marah. Kusuruh tubuhku beristirahat saja.

Beberapa waktu kemudian terdengar langkah orang mendekat. Terasa bahuku disenggol dan terdengar suara seseorang berteriak menyuruh aku bangun. Tapi aku pura-pura pingsan.

"Bangun! Makan malam!" kata suara itu.

Kupalingkan kepalaku lambat-lambat, kubuka mata dan kuangkat lenganku yang sebelah, lalu kubiarkan kepala dan lenganku terkulai lagi, seperti orang yang terlena.

"Bangun! Makan! Makan!"

Aku ditendang beberapa kali, tapi tidak terlalu keras . Aku mengatakan, "Ya," dengan suara pelan, tapi tetap saja pura-pura masih terus tidur.

Penjaga itu menyambar pergelangan tanganku lalu menyentakkan diriku sehingga terduduk. Di sampingku ada mangkuk ceper berisi air tajin. Aku ingin memakannya, tapi aku membiarkan tubuhku terkulai lagi ke tanah. Aku masih terus berpura-pura, Orang itu menyentakkan aku lagi sehingga duduk kembali. Sekali ini kumakan makanan itu, tapi dengan lambat-lambat, menikmati rasanya.

Setelah itu aku tidur kembali, dengan posisi miring.

Malam itu aku dibawa ke dalam penjara. Jika ada lalat hinggap di tubuhku atau ada nyamuk menggigit, aku tidak menyadarinya. Bagiku itu tidak ada artinya. Di luar ada lalat, lendir, dan luka-luka memar. Tapi jauh di dalam, di lubuk hatiku, kekuatan hidup mulai bangkit kembali.

Keesokan harinya kuIewatkan di dalam penjara. Bangunan sempit memanjang itu, dengan dua deretan tahanan yang berbaring beradu kepala, ditinggikan ke arah tengah, sehingga tinja dan air kencing- bisa mengalir turun ke comberan yang membujur sepanjang dinding. Masing-masing empat tahanan diborgol pada satu balok kayu yang kokoh. Aku dan tiga orang tahanan lain diborgol bersebelahan dengan empat tahanan lagi yang berbaring bersebelahan dengan pintu. Kami diberi satu kali makan air tajin yang ditaruh dalam mangkuk-mangkuk yang tercemar cipratan tinja. Lalat-Ialat bermata merah terbang mengitari kami seperti helikopter berukuran mini, mengambang sejenak di udara, lalu melesat pergi, lalu mengambang kembali. Hawa panas di dalam, karena sinar matahari yang menimpa atap berlapis seng.

Malam hari aku hanya bisa tidur-tidur ayam. Penerangan lampu sama sekali tidak ada di dalam. lndera pendengaranku telah terasah untuk menangkap bunyi-bunyi malam: suara serangga, bunyi truk-truk di kejauhan, dan sekali-sekali lolongan ajak.

Kudengar bunyi sesuatu yang tidak kukenal. Bunyi seperti mendesir, datangnya dari sebelah luar bangunan. Aku berbaring dengan mata terpejam, menajamkan pendengaran .

Bunyi tadi terdengar lagi, lalu hilang.

Itu bukan bunyi tikus. Tikus lebih lirih bunyinya.

Ada orang berjalan di sisi luar bangunan, nenginjak dedaunan yang berserakan di tanah.

Apa yang tidak beres? tanyaku pada diri sendiri. Kenapa keringat dingin tiba-tiba membasahi tubuhku? Apa sebabnya aku tahu bahwa aku harus merasa takut?

Dengar!

Orang yang berjalan di luar itu tidak sendiri.

Kusikut tahanan-tahanan di kiri-kananku.

"Jangan tidur," bisikku kepada mereka. "Penjara ini dikepung. Rasanya akan terjadi sesuatu."

Kedua tahanan di kiri-kananku meneruskan kata-kataku itu kepada yang lain-Iain.

Kami menunggu.

Suara jangkrik terus saja terdengar.

Kejadiannya kemudian datang dengan cepat. Kesunyian yang masih ada sesaat sebelumnya, berubah menjadi teriakan kacau-balau ketika api berkobar menembus kajang. Sementara dinding terbakar, bilah-biIah bambu yang menjepit kajang tampak jelas sesaat di nyala kobaran, dan kemudian ikut dimakan api pula; tahanan-tahanan yang berloncatan sambiI menjerit-jerit nampak jelas sosoknya. Aku dan ketiga tahanan yang diborgol ada satu balok melompat bangkit lalu bergerak lari menuju pintu sambil menyeret balok yang lengikat kaki-kaki kami. Wanita di sampingku terjatuh; balok kayu terputar, menyentakkan borgol-borgol yang mengunci pergelangan kaki kami. Kuangkat wanita itu, Ialu kami seret dia beramai-ramai beserta balok yang menghambat gerak kami ke luar lewat pintu. Setelah berada di luar, kami bisa melihat bangunan penjara yang terbakar. Salah satu ujung atap seng ambruk, menimpa para tahanan yang terdengar menjerit-jerit dalam keadaan terjebak di dalam. Kami merasakan panas api menerpa, dan kemudian terdengar bunyi rentetan tembakan di sisi seberang penjara ketika para penjaga menyirami para tahanan dengan peluru. Kelompok-kelompok tahanan lain yang masing-masing berempat, enam belas, atau dua puluh orang dalam keseluruhannya, berhasil menyelamatkan diri ke luar dengan langkah terseret-seret sebelum seluruh bangunan itu ambruk. Para penjaga datang berlari-lari dengan senapan M-16 mereka. Penampilan mereka galak diterangi nyala api, tapi kami tidak dihujani dengan tembakan. Dengan kaki masih terborgol pada balok kayu, kami bergerak menjauhi bangunan, sementara di dalamnya masih terdengar suara teriakan orang-orang yang sekarat.

Para penjaga mengawasi kami dengan sikap mengancam. Kami hanya bisa menatap sisa-sisa bangunan yang masih terbakar.

Bara menyala dalam gelap, dan logam atap berdentang-dentang sewaktu mulai mendingin lagi.

Ketika langit mulai terang, kami melihat bahwa tubuh kami hitam kena asap. Tidak banyak yang tersisa dari penjara selain Iembaran-Iembaran seng yang hangus serta tubuh-tubuh hitam meliuk di tanah.

*****************

Para penjaga penjara tidak pernah mengatakan apa sebabnya mereka membakar penjara itu. Peristiwa itu tetap merupakan teka-teki bagiku. Mungkin saja itu terjadi atas prakarsa para penjaga sendiri, tanpa diperintah dari atas. Mungkin mereka sudah bosan melakukan siksaan yang begitu-begitu terus, dan ingin melakukan sesuatu yang lain. Atau mungkin juga mereka hendak menyingkirkan bangunan itu, karena tidak tahan lagi mencium baunya. .

Dari delapan puluh tahanan, dua puluh delapan orang yang selamat. Kemudian pihak Khmer Merah mengadakan rapat, untuk menentukan tindakan selanjutnya. Kami diberi makan air tajin, lalu ditanyai dari koperasi mana saja kami masing-masing berasal.

Setelah itu mereka mengirimkan kurir-kurir.

Siangnya Paman Phan, kepala desa Phum Ra, muncul untuk mengawal aku dan seorang tahanan lagi kembali ke desanya.

Sementara kami berjalan meninggalkan tempat itu, Paman Phan mengatakan bahwa ia baru kemudian mendengar bahwa aku dibawa pergi oleh serdadu-serdadu itu. "Aku takkan bisa melindungimu, Nak," katanya.

Aku agak percaya pada kata-kata itu. Kelihatannya ia tidak tahu-menahu tentang permusuhan yang ada antara aku dan Pen Tip. Aku mengucapkan terima kasih padanya, karena bersedia menjemput aku. Tapi sebenarnya aku marah. Ditakar menurut ukuran Khmer Merah, Phan itu orang yang baik. Tapi itu saja tidak cukup. Aku tidak melakukan apa-apa sehingga layak jika dipenjarakan.

"Mulai saat ini," kata Paman Phan, "dam doeum kor. Tanamlah pohon kapuk. Tutup mulut. Jangan berbuat macam-macam. Jangan lakukan pelanggaran lagi. Mengerti?"

"Apa pun akan kulakukan untuk menghindari pengalaman seperti itu lagi," jawabku. "Aku sudah cukup menderita. Bisakah kita berjalan lebih pelan, Paman Phan?"

Beberapa kaIi kami berhenti sebentar untuk mengaso. Ada bagian yang memar pada kulit di tengah-rengah keningku. Tapi itu tidak begitu nampak, jika dibandingkan dengan benjoI-benjol dan darah yang sudah kering di ubun-ubun dan luka-Iuka memar di bagian-bagian tubuhku yang selebihnya. Tubuhku lemas dan terasa sakit-sakit, tapi masih mendingan ketimbang saat yang dua kali sebelumnya ketika aku kembali dari penjara.

Ketika kami tiba di Phum Ra hari sudah sore. Orang-orang sudah pulang dari bekerja dan Huoy ada di rumah. Kerika ia melihat aku datang, mula-mula ia menangis karena gembira. Tapi ketika aku sudah lebih dekat dan ia melihat bagian-bagian kepalaku yang memar dan luka, ia tidak bisa menguasai diri lagi. la menangis tersedu-sedan, dengan wajah mengerenyot dan bahu terguncang- guncang. Aku merangkulnya, tapi ia terus saja menangis.

Kulepaskan semua pakaianku lalu kulilitkan krama ke pinggang. Kami berjalan ke belakang rumah, menuju parit yang ada air di dasarnya. Huoy memandikan aku, lalu mencukur rambut di sekeliling luka-Iuka di kepalaku. Tangannya bekerja dengan tenang. tapi ia terus saja menangis.

Huoy masih tetap Iembut jiwanya, meski sudah begitu banyak yang dialaminya selama ini. Dia itu sepeni ketam yang tidak bercangkang. Akulah cangkangnya, pelindungnya. Ketika aku kembali padanya dalam keadaan remuk, ia ikut menyerap pukulan-pukulan yang menimpa rubuhku. Keyerian lebih dirasakan oleh Huoy, ketimbang oleh aku sendiri . ..

 la tidak bisa berhenti menangis. Sementara ia membersihkan luka-Iukaku dan menyabuni tubuhku, sementara aku membiarkan diriku dirawat olehnya dengan penuh kasih sayang, aku merasa cemas memikirkan kesehatannya. Luka-Iukaku hanya ada di tubuhku saja. luka-Iuka itu bisa sembuh. Sedangkan luka-luka yang dialami Huoy, ada di dalam benaknya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar