BELUM PERNAH kudengar
ada orang lain di Kamboja yang masih tetap hidup setelah mengalami penyiksaan
Khmer Merah sampai tiga kali. Aku tahu bahwa di daerah Phnom Tippeday hanya ada
satu orang lagi, seorang remaja, yang masih hidup setelah mengalaminya sebanyak
dua kali. Rambutnya rontok sebagai akibatnya, dan saban kali melihat serdadu ia
langsung pucat dan gemetar.
Tapi entah kenapa,
kenyataannya aku masih tetap hidup setelah tiga kali mengalami penyiksaan dan
dipenjarakan, ditambah lagi dengan serangan malaria dan disentri. Aku tetap
hidup. Bekas-bekasnya ada : dari luka-luka di ubun-ubun yang terjadi semasa aku
dipenjarakan untuk ketiga kalinya; luka-luka bakar di kaki, sewaktu aku untuk
kedua kalinya masuk penjara; sebagian kelingkingku tidak ada lagi karena putus
dibacok ketika aku disiksa dalam pengalaman penjaraku yang pertama. Selain itu
masih ada lagi luka-luka lain, yang membekas dalam pikiran dan emosi; tapi itu
baru kemudian kusadari adanya. Waktu itu
perasaanku lumayan senang. Aku juga merasa takjub. Aku bisa tetap hidup,
sementara ribuan orang di sekelilingku mati karena sakit atau kelaparan, dan
ribuan lagi dibunuh.
Apa sebabnya aku
masih hidup?
Bagiku,
satu-satunya jawaban yang masuk akal adalah bahwa itu kehendak dewata. Itu
merupaka kama. Bukan kebetulan, karena secara matematis peluang hidupku
tipis sekali. Seberapa besarkah kemunginanku bisa yetap hidup meski mengalami
segala macam siksaan waktu itu? Satu
banding seribu? Seratus ribu? Atau bahkan satu banding sejuta?
Memang, ada beberapa
faktor yang meningkatkan kemungkinanku untuk bisa tetap bertahan hidup. Pertama,
di segi fisik aku ini tangguh dan bersemangat. Kedua, semasa kecil sampai
remaja aku sering terlibat dalam perkelahian secara kroyokan, dan pengalaman iu
menyebabkan mentalku sudah siap, untuk mengakali para penyiksaku dan tetap
bertahan. Dan yang ketiga, ada orang untuk siapa aku harus tetap mempertahankan
nyawa. Orang itu Huoy. Dan siapa pun juga yang memiliki ketiga faktor pendukung
ini lebih besar kemungkinannya untuk bisa tetap hidup, dibandingkan dengan yang
tidak memilikinya. Itu sudah dengan sendirinya. Tapi itu masih tetap belum menjelaskan
kenapa aku bisa tetap bertahan, sementara begitu banyak orang lain tidak mampu.
Berapa kali saja
sebenarnya aku sudah nyaris mati. Ketiga kalinya, jika aku tidak berada di dekat
pintu ketika api mulai berkobar. Kedua kalinya, andaikan para penjaga waktu itu
tidak melepaskan kantong plastik yang menyungkup kepalaku pada saat yang cepat.
Dan beberapa kali, jika aku waktu itu mengaku bahwa aku dokter, atau perwira tentara.
Aku seharusnya sudah mati karena disentri, seandainya waktu itu gadung tidak
dibagi-bagikan.
Aku masih hidup ini
pada hakikatnya merupakan keajaiban. Aku menerimanya sebagai keajaiban, dan untuk
itu aku mengucapkan terimakasih kepada dewata. Jika kupandang sekelilingku,
kulihat berbagai keajaiban lainnya. Segala-galanya, mulai dari warna langit,
rasa nasi, sampai dengan pemandangan kuil yang bertengger di lereng gunung,
nampak baru dan segar. Dan daya hidup yang ada dalam diriku sama dengan
kekuatan yang ada di dalam bumi dan langit serta segala makhluk hidup yang
lain.
Luka-luka memarku
dengan segera mudah lenyap kembali. Bayangan ngeri siksaan dengan air terhapus
dari ingatanku. Pola kehidupan sehari-hari kembali seperti semula, tapi meski
begitu dalam hatiku masih tetap tertanam rasa penghargaan yang lebih besar dan mendalam
terhadap segala hal yang ada di sekelilingku: Terutama terhadap Huoy, dan pada
rumah kami.
Chang My Huoy, alias
"Bopha" bagi orang-orang Khmer Merah, dan Huoy bagiku. Kami tidak
bisa menikah seperti yang kami inginkan, pertama-tama karena ayahku, dan
kemudian karena adanya revolusi. Tapi hubungan antara kami berdua lebih dekat
dan akrab ketimbang pasangan suami istri yang mana pun juga di sekitar kami. Ini
bukan berarti bahwa kami pasangan yang sempurna. Kadang-kadang aku bersikap keras
terhadapnya, dan kadang-kadang caraku mengganggu Huoy sudah keterlaluan menurut
perasaannya. Tapi sebagai teman hidup, kami saling menyukai.
Aku senang memperhatikan Huoy saat pagi
sekali di rumah kami yang baru. Sikap tidurnya selalu sambil mendekap bantal
kecilnya yang biru, yang dibawanya dari Phnom Penh. Sebelum matahari terbit ia
sudah bangun, ketika langit mulai nampak terang. Ia pergi ke cerminnya yang kecil
dan berbentuk persegi empat, menyikat rambut lalu memasang jepitan di atas telinga,
dan kemudian mencuci muka. Setelah itu ia berpakaian. Sementara aku bangun
dengan mata yang masih mengatuk, ia menggulung kelambu, melipat baju tidur dan
alas pembaringan lalu menyimpannya dengan rapi. Ada sesuatu pada diri Huoy - serba
tertib, bersih, feminin, menggairahkan - yang memikat jiwa dn ragaku. Lelaki
terhadap wanita. Suami terhadap istri. Aneh jika kupikir-pikir bahwa ketika
pertama kalinya kami berjumpa, aku gurunya. Sejak itu peran kami terbalik.
Aku
selalu mempunyai perasaan yang istimewa terhadap wanita. Semasa kecil, setelah
mengalami hajaran ayahku, timbul perasaan dalam diriku bahwa kaum prialah yang
umumnya merupakan penyebab penderitaan. Dan itu berulangkali terbukti dari
pengalamanku dalam penjara Khmer Merah. Mana pernah ada wanita menyakiti aku?
Mana pernah aku melihat wanita menyakiti orang lain secara fisik? Tidak pernah.
Mungkin itu sebabnya kenapa aku begitu merasa tertarik terhadap wanita; karena
mereka itu penyembuh penderitaan. Penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum pria.
Bagiku Huoy mewakili golongan terbaik
dari kaumnya. la tidak pernah menyebabkan timbulnya rasa sakit. Dia itu
penyembuh. Ia juga jauh lebih cerdik ketimbang aku. Ia tidak pernah terjerumus
ke dalam kesulitan. Bahkan terlibat dalam pertengkaran saja pun tidak. la
menyebabkan aku tidak terlibat lagi dalam kesulitan dengan Angka, dengan jalan
menasihati dan memberi teladan tanpa banyak bicara.
la menjauhi sifat wanita
yang paling buruk, yakni pergunjingan iseng yang merugikan orang lain. Ia membina
pergaulan dengan beberapa wanita seperti dia, yang sopan dan berpendidikan.
Waktu luangnya diisi dengan kesibukan di rumah dan di kebun, atau memasak,
mengolah masakan dari bahan-bahan hasil ramuan di luar, atau menyanyi dengan
suaranya yang jernih dan empuk. Ia memperbaiki pakaian kami dengan jahitannya
yang terampil dan rapi. Huoy itu sangat perasa, tapi di pihak lain juga praktis;
sampot-sampot peninggalan ibunya dijadikannya bahan untuk membuat celana
baginya sendiri, dan sandal karet ibunya dipakainya setelah sandalnya sendiri
rusak. Ia bukan wanita tercantik di dunia, tapi bagiku Huoy itu cantik. Orang
lain tidak banyak tahu tentang dia. Bagi mereka dia itu wanita muda yang ramah
tapi pendiam.
Aku lebih
mengenal Huoy ketimbang siapa pun juga, mungkin henya ibunya. Jika ada satu
kekurangan pada diri Huoy, maka itu adalah bahwa ia tidak bisa melindungi
dirinya sendiri. Saar sedang merasa gembira pun, air matanya bercucuran.
Kejadian-kejadian sedih sangat membekas dalam hatinya. Ia pernah berhasil
mengatasi kepiluan yang ditimbulkan karena kematian ibunya. Ia tidak
henti-hentinya berdoa kepada arwah ibunya ketika aku ada dalam penjara; dalam
keadaan baik pun hampir setiap hari ia berdoa kepada ibunya. Kejadian-kejadian
yang hampir mencabut nyawaku dan kematian-kematian di sekelilingnya membuat ia
selalu merasa sedih dan ketakutan. Kami menerima kabar bahwa ibuku meninggal
dunia di kawasan Pegunungan Cardamom, lalu adikku Hok beserta istrinya, dan
juga aku beserta Huoy mengadakan upacara sembahyang mendoakan arwahnya, sama
seperti yang kami lakukan untuk arwah ayah dan abangku. Aku sedikit banyak
merasa lega bahwa ibuku meninggal dunia, karena dengan begitu ia sudah lepas
dari penderitaan hidup sekarang ini. Tapi Huoy sedih sekali menerima kabar itu.
Aku berusaha membesarkan hatinya tapi itu tidak mudah. Kondisi kejiwaannya
rapuh. Ia lebih cocok hidup pada zaman normal: pergi berdoa ke kuil, membesarkan
anak-anak, dan mengurus rumahtangga yang bersih dan nyaman.
Rumah
kami yang baru di Phum Ra jauh dari yang dulu semasa prarevolusi kubayangkan
akan bisa kuberikan kepadanya. Rumah itu terbuat dari Kajang. kecuali sebagian
dinding yang terbuat dari lembaran-lembaran seng gelombang. Lantainya tanah.
Tapi kami berdua menyukai rumah itu. Aku merasa bangga terhadapnya, karena aku sendiri
yang merancang dan membangunnya. dengan tanganku sendiri. Kami tinggal
membandingkan rumah kami itu dengan rumah-rumah tetangga. untuk menyadari
kebagusannya.
Para
tetangga kami tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas tiang, seperti
rumah-rumah yang ikut kubangun ketika aku masih digabungkan dalam regu
pembangun rumah. Tiang-tiang penopang sudah melesak di sana-sini, sehingga lantai
di atasnya miring ke segala arah . Atap- ' atapnya yang dari seng menjadi panas
sekali jika ditimpa sinar matahari. sehingga penghuni rumah- rumah itu
kadang-kadang memanggang ketam air tawar di atasnya untuk menghemat kayu bakar.
Rumah
kami yang kecil itu kokoh buatannya. dan nyaman ditinggali. Aku membangunnya di
atas bukit kecil, sehingga tidak pemah kebanjiran. Pagi-pagi kami menyirami
lantai tanahnya 'dengan air, agar hawa di dalam rumah tetap sejuk sepanjang
hari. Pintu-pintu dan jendela-jendela menyebabkan udara bisa mengalir dengan leluasa.
Atapnya yang dari kajang menahan sinar matahari dan air hujan. Sebagai pelindung
tambahan terhadap sinar matahari, aku menanam labu siam yang menjalar naik ke
atas atap dan tumbuh rimbun di situ. Di sisi selatan rumah, di tempat yang langsung
terkena sinar matahari, aku menanam pohon-pohon pisang sebagai peneduh, ditambah
dengan kacang panjang yang batangnya tumbuh melilit menjalari dinding luar.
Ruang
utama rumah kami berukuran sekitar tiga setengah meter kali dua meter. Sebuah bangku
berbentuk huruf L yang terbuat dari ' papan yang diserut halus terletak
sepanjang dinding sebelah barat dan selatan. Aku dan Huoy tidur pada sisi
bangku yang panjang, sementara sisi yang pendek kami jadikan tempat dud uk. Pada
bagian ujung bangku itu, dekat pintu, kami menaruh scbuah gentong bertutup yang
isinya air minum yang bersih dan sejuk.
Dapur
kami berupa ruangan beratap miring yang kutambahkan pada sisi utara rumah. Kayu
bakar kami tumpukkan sepanjang satu dindingnya, sementara tungku untuk tempat
memasak terbuat dari tiga bongkah batu yang diletakkan membemuk segitiga.
Setiap waktu makan kami selalu muncul di dapur umum. Tapi seperti kebanyakan
keluarga penghuni desa Phum Ra, makanan kami yang scbenarnya kami masak sendiri
di rumah setiap hari, sambil pura-pura masak teh . Kami memiliki bahan-bah an
pangan berupa umbi gadung, keladi, ubi garut, bawang, labu kuning, kacang, labu
siam, kubis, ketimun, lombok, jagung, dan bermacam-macam tanaman lain di kebun
kami. Kami juga memelihara ayam dan bebek. Huoy, yang kuat sekali naluri keibuannya,
suka meraup anak-anak ayam yang kecil-kecil dan berbulu empuk dan tebal itu lalu
membawa mereka ke tempat-tempat yang banyak rayapnya. Anak-anak ayam itu mematuki
serangga-serangga itu sambil menciap-ciap.
Kami
waktu itu pada hakikatnya memiliki segala kebutuhan kami. Menurut ukuran
kehidupan di sana, kami termasuk kaya. Aku memiliki tongkat pikulan, dua buah
ember dan sebuah parang yang bisa dipakai untuk bermacam-macam keperluan. Kami
memiliki cangkul dan pangkur untuk bekerja di kebun; peralatan dapur; gentong tempat
air; kelambu yang sudah hitam dan penuh tambalan; dan selembar selimut halus
seperti sutera bersulam untuk melindungi tubuh kami dari gangguan hawa dingin
pada malam hari. (Lembaran plastik putih kami hilang dicuri orang; tapi kami
tidak peduli, karena atap rumah melindungi kami dari siraman air hujan.) Kami
punya pakaian. Bahan makanan juga cukup banyak. Kami memiliki harta benda yang
kami sembunyikan: beberapa potong emas yang terselip di balik bagian pinggang
pakaian kami; kacamata dan alat-alat kedokteranku yang kutaruh di atas balok 15
melintang penyangga tiang-tlang atap; beras, bahan pangan, dan buku-buku
kedokteranku, yang kami sembunyikan dalam sebuah lubang penyimpanan di bawah
lantai rumah. Buku pelajaran bahasa Inggrisku disembunyikan di celah antara
bangku dan dinding, sehingga bisa kuambil kapan saja kuperlukan. Kami tidak punya
mobil Mercedes, tidak punya mobil-mobil tangki pengangkut bensin, tidak punya
simpanan di bank. Tapi kami tidak peduli. Kami tidak mengingat-ingatnya lagi.
Aku
merasa seperti dilahirkan kembali. Huoy membuat aku merasa bahagia. Rumah kami membuat
aku merasa bahagia. Kami sudah pindah dari garis depan ke garis belakang, di
mana kehidupan berjalan dengan lebih santai. Setiap hari aku mendengar bunyi
peluit kereta api yang datang. Kuperhatikan kereta yang: berdengus-dengus lewat
dan pekerja-pekerja kereta meluncur di atas gerobak datar mereka yang didorong dengan
galah; aku memperhatikan dengan ketakjuban anak yang belum pernah melihat
hal-hal semacam itu. Apabila lonceng di desa berdentang-dentang- "TENG.
TENG. Teng, teng, teng, tengtengteng" - bunyinya tidak lagi mengganggu sarafku,
seperti dulu. Bunyi lonceng itu terasa selaras dengan kehadiran kereta api, burun g burung, dan juga
dengan segala-galanya yang ada di situ.
Malam
hari aku dan Huoy pergi berjalan-jalan mencari bahan pangan. Kami mengumpulkan tumbuh-tumbuhan
liar yang bisa dimakan. Kami berburu tikus dan ketam. Kami menggunakan kain
kelambu kami untuk menangkap udang yang kecil-kecil di sebuah kolam. Sekali
kami pernah menangkap ikan besar. Ketika ikan itu kubawa ke darat, Huoy
langsung menangis sambil merangkul leeherku.
"Kenapa
kau menangis?"
"Karena
gembira, Sayang. Aku merasa gembira" kata Huoy. Sesampai di rumah, ikan itu
dimasaknya dengan kangkung. Rasanya benar-benar sedap.
Kadang-kadang
kami mandi berdua saja di sebuah saluran air. Kami saling menggosok dan mencuci
tubuh. Kami bahagia, bisa saling melayani.
Kami
begitu akrab dan saling bergantung, sehingga kami sering bercanda mengenainya. Seorang
lelaki kenalanku datang ke rumah untuk mengajakku pergi mencari bahan pangan di
luar.
"Aku
harus minta izin dulu pada biniku," kataku.
"Kau
takut pada binimu ?" tanya kenalanku itu.
"O
ya, takut sekali," kataku. Saat itu Huoy ada di sampingku . "Di rumah ini, dialah menteri pendidikan dan
keuangan . Dia juga menteri kebudayaan. Dia yang mengatur segala-galanya. Dia ini bos."
"O
ya?" kata kenalanku dengan nada sangsi. “Kau harus bersikap begiru hormat
kepadanya, di depannya?"
"Tentu
saja," jawabku. Aku berpaling pada Huoy lalu meminta agar ia mau
mengizinkan aku pergi mencari bahan pangan di luar. Huoy melipat kedua
lengannya di depan dada, lalu sambil merengut melarangku pergi .
"Maaf,
aku tidak bisa ikut," kataku kepada kenalanku itu.
Kemudian
aku mengambil sikap menyembah kepada Huoy. Tapi ia menggeleng. Setelah itu aku menggelitiknya,
sampai ia akhirnya memberi izin. "Bos sudah memberi izin," kataku.
"Kita bisa pergi sekarang."
Tapi
kenyataannya, Huoy memang bos di antara kami berdua. Aku menerimanya, dan bahkan
menyukai keadaan yang begitu. Ia menyejukkan sifatku yang gampang marah, keras kepala,
dan kelakuanku yang terlalu gemar bercanda. Ia berhasil membangkitkan sifat
sabarku, sifatku yang lebih tenang. Tapi di pihak lain, aku juga bos bagi Huoy.
Kami saling melayani. Aku membuat dia bisa tetap hidup, karena aku yang memberikan
makanan, perlindungan, dan cinta kasih yang diperlukannya. Ia menyelamatkan nyawaku
sewaktu aku jatuh sakit.Ia yang menahan aku dari perbuatan tanpa berpikir panjang
dulu, seperti membunuh Pen Tip, misalnya. Dialah alasan bagiku untuk tetap
bertahan hidup.
*************
Ketika
aku untuk ketiga kalinya kembali dari Penjara, Pen Tip bersikap pura-pura tidak
peduli terhadapku. Tapi itu tidak apa-apa bagiku. Aku tahu, dan dia juga tahu,
bahwa antara kami berdua masih ada urusan yang belum selesai. Kubiarkan saja
dia sibuk sendiri di hantui pikiran itu. Aku tidak memikirkannya. Aku bersedia
menunggu sampai tiba waktunya yang tepat.
Bagiku,
aku sudah di atas angin. Aku adalah oang yang tidak bisa dimatikan dengan cara dimasukkan
ke dalam penjara. Aku ini momok yang saban kali muncul lagi. Dan upaya Pen Tip untuk
"menjajah" diriku dengan cara menempatkan aku pada tugas kelas bawah,
ternyata menjadi bumerang baginya. Tugas itu memang merupakan pekerjaan hina,
tapi juga pekerjaan yang paling enak di desa.
Regu
pupuk berada di luar kewenangan Pen Tip, ia tidak mengawasi kami. Pada
hakikatnya, tidak ada yang mengawasi kami. Tidak banyak orang yang mau datang
ke lumbung tempat penyimpanan pupuk kotoran manusia, karena baunya yang menusuk
hidung. Hanya Paman Phan, kepala desa, saja yang kadang-kadang mampir sebentar
untuk memeriksa. Tapi dia itu tidak menyulitkan. Ia menyuruh aku menaburkan garam
ke pupuk, Menurut pendapatnya, tanaman memerlukan garam, serupa halnya dengan
manusia. Sambil menggeleng-geleng aku pergi ke dapur umum untuk meminta garam.
Dari pelajaran biologi yang masih kuingat, tumbuh-tumbuhan membutuhkan
nitrogen, fosfat, dan zat-zat hara lainnya. Tapi garam? Garam malah menimbulkan
efek yang merugikan tanaman. Garam yang kuperoleh kusimpan untuk keperluan
sendiri, dan ketika aku berjumpa lagi dengan Paman Phan kukatakan kepadanya
dengan bersungguh-sungguh, "Pupuk itu sudah kucicipi, dan rasanya kadar
garamnya sudah tepat. Paman ingin mencoba juga rasanya?" Paman Phan
langsung pucat, seperti orang yang mau muntah. Dan sejak itu agak lama juga ia
tidak mampir lagi di lumbung pupuk.
Rekanku
seregu di situ seorang lelaki tua yang gigi-gigi gerahamnya sudah tidak ada
lagi. Namanya Sangam. Suatu hari aku sedang berjalan bersama Sangam dengan
membawa peralatan kami, menuju sebuah kakus umum. Di desa itu ada beberapa
kakus umum, yang tersebar letaknya. Tempatnya dibatasi dinding kajang setinggi pinggang.
Itu berarti bahwa orang yang berjongkok di dalamnya masih bisa dilihat
orang-orang yang lewat. Orang yang hendak buang air di situ harus meletakkan
kedua kakinya dengan hati-hati sekali di atas dua lembar papan, karena kalau sampai
terpeleset, itu bisa berarti tercebur ke dalam kubangan yang berupa tong minyak
yang dipotong menjadi dua bagian. Penduduk desa jarang memakainya. Mereka lebih
suka menyelinap dan buang air dalam semak, jika tidak ada yang kebetulan
melihat.
Aku
dan Sangam secara bcrgantian menguras isi tong-tong itu dengan ember yang
dilengkapi dengan gagang dari kayu yang panjang sekali. Di lumbung pupuk yang
letaknya jauh di tengah sawah,
kami
memasukkan bahan-bahan lain ke dalam tong tempat penampungan tinja dan kami aduk-aduk:
tanah lumpur dari bukit-bukit kecil (yang suburnya luar biasa) serta sekam atau
daun-daun. Adonan yang terjadi kemudian kami tumpahkan ke tanah. Apabila sudah
kering beberapa hari kemudian, adonan itu sudah hampir tidak berbau lagi dan
siap untuk ditaburkan. Sekitar satu
minggu
sekali aku dan Sangam pergi dengan gerobak untuk mengantarkan pupuk itu ke
kebun- kebun umum.
Hal
yang tidak enak dari pekerjaan kami hanya baunya saja, yang henar-henar
menyesakkan napas. Selain itu juga bahaya yang ada bagi kesehatan, Aku selalu
sangat berhati-hati, jangan sampai ada luka di tubuhku. Aku mandi dua hari sekali
dan kucuci badanku bersih-bersih dengan larutan abu buah kapuk dan sabun yang
kuperoleh dari dapur umum. Aku tidak pernah terkena infeksi, tapi ruam berupa
bintil-bintil merah yang gatal menyebar lagi di sekujur kaki sampai pergelangan.
Segi
yang menguntungkan dari pekerjaan itu adalah bahwa aku dan Sangam bisa melakukannya
semau kami, tanpa ada
yang mengganggu. Berbeda sekali dengan saat bekerja di garis depan. Dentangan
lonceng tidak kami pedulikan. Kami tidak bekerja keras. Aku tidur siang paling
tidak satu kali sehari. Sekitar satu kali seminggu aku
bergadang,
untuk pergi mencuri di kebun-kebun umum. Sepulangnya dan mencuri, sayur-sayuran
hasilku mencuri kubungkus dengan rapi lalu kusembunyikan di tempat yang takkan
pernah diperiksa orang, yaitu di bawah tumpukan pupuk. Sesudah itu aku tidur
sampai saat tengah hari di dalam lumbung pupuk, sementara Sangam menjaga kalau-kalau
ada orang datang. Pekerjaan itu kami
manfaatkan untuk mencari bahan pangan. Jika suatu siang kami ingin mengumpulkan
telur semut merah, atau mencari tumbuh-rumbuhan liar yang bisa dimakan, atau pergi
memancing ikan, kami pergi ke sawah dan berkeliaran di sana untuk mengumpulkan
kotoran sapi dan kerbau. Kalau sudah tidak kelihatan oleh siapa-siapa lagi,
barulah kami melakukan niat kami yang sebenarnya. Jika aku ingin mencuri beras,
kukotori lengan bajuku dengan kotoran manusia yang baunya menusuk hidung. Lalu
aku pura-pura capek, dan merebahkan diri di salah satu meja panjang di dapur
umum. Apabila iseng Paman Phan yang menjadi ketua dapur umum berusaha menyuruh
aku pergi, aku pura-pura tidur terus sampai ia menyodorkan beras yang cukup
banyak sebagai pembujuk.
Nasib
kami sedang mujur. Anak seorang pekerja kereta api yang tinggal di dekat kami
jatuh sakit, dan pekerja itu minta pertolongan kepada Hok. Adikku itu
menyuruhnya datang kepadaku. Aku merawat anak itu sampai sembuh. Aku harus mengenal
seluruh regu pekerja kereta. Mereka itulah yang scjak di Battambang dulu selalu
kulihat lewat naik gerobak datar yang didorong- dorong dengan galah, meluncur
di alas rel. Di bawah rezim Khmer Merah, mereka tergolong dalam suatu kelas
elite. Makanan mereka masih lebih baik lagi ketimbang yang diperoleh serdadu-serdadu.
Bahan pangan untuk mereka dikirimkan dengan gerbong, dan kuantitasnya lebih banyak dari yang bisa mereka makan.
Para pekerja itu juga memiliki kebun sayur mereka sendiri, yang olehku bersama
Sangam dengan diam-diam diberi pupuk. Namanya juga teman baik.
Sebagai
imbaian, kami diajak makan-makan bersama mereka, berpesta secara sembunyi-sembunyi.
Pada kami disodorkan bermacam-macam hidangan yang sudah bertahun-tahun tidak perlah kulihat lagi. Sebagian
daripadanya kusisihkan untuk Huoy, lalu setelah itu aku makan sebanyak-banyaknya, sampai
akhirnya tidak mampu bergerak karena kekenyangan.
Aku
dan Huoy bisa makan dengan lebih baik ketimbang saat-saat sebelumnya. dengan
makanan yang kuperoleh dari para pekerja kereta, bahan pangan yang kukumpulkan
sewaktu bekerja dan di luar waktu kerja, ditambah lagi sayur-sayuran hasil
kebun kami sendiri. Untuk pertama kali sejak tiba di Battambang dulu, kami
benar-benar sehat.
Bukan
main perubahannya! Bobot tubuh kami sudah hampir pulih seperti dulu lagi. Tubuh
kami menjadi kuat, karena bekerja. Kami memiliki rumah tinggal sendiri, hanya
untuk kami berdua saja. Kami tidak menyukai rezim waktu itu, tapi kami sudah
tahu bagaimana caranya bertingkah laku agar jangan berurusan dengannya. Apalagi
sekarang, setelah kami pergi dari garis depan.
Satu-satunya
yang kusesali-ini jika kuingat kembali masa itu - adalah pertengkaran yang pernah
terjadi sekali antara aku dan Huoy. la baru saja mengambil makanan yang sudah
dimasak dari tempat penyembunyiannya dalam tumpukan kayu bakar, ketika seorang
anak lelaki berumur sekitar sebelas tahun keberulan lewat dan melihatnya. Anak
itu mengisap rokok. la menatap Huoy dengan sikap curiga. Ketika ia kemudian
lewat di dekatku yang saat itu sedang bekerja di kebun, ia juga menatapku sambil
melotot.
Nama
anak itu Yoeung. Dia anak angkat Paman Phan. Ia sering keluyuran di desa,
menggabungkan diri sebentar dengan regu-regu pekerja untuk mengamat-amati
mereka, lalu pergi lagi untuk melaporkan hal-hal yang dilihatnya. Anak itu mata-mata
rezim, chhlop.
"Kauperhatikan
atau tidak kata-kataku, yang?" kataku kepada Huoy, ketika Yoeung sudah
pergi. "Tentang apa aku bicara tadi malam? Apa yang kukatakan padamu?
Sembunyikan baik-baik makanan itu! Itu berarti nyawa kita. Kenapa kau tidak
melakukannya?"
"Ya, aku tahu," kata Huoy.
"Maaf. Aku tadi cuma keliru memilih waktu saja. Ketika makanan
itu
kukeluarkan dari tempatku menyembunyikannya, tahu-tahu chhlop itu sudah
ada di situ. Aku tidak sengaja."
Ada
sesuatu yang be rdetak dalam benakku saat itu, seperti ranting terinjak.
Kebahagiaanku seketika lenyap. Aku melihat diriku diikat dan diseret ke
penjara. Aku langsung marah.
"Jangan
bicara dengan aku selama lima hari," kataku dengan sengit. "Jika kau
mengatakan sesuatu, biar sepatah kata saja, aku takkan mau menjawab. "
Huoy
diam saja. Matanya tertunduk. "
Paman
Phan memanggil aku ke rumahnya. Aku berjalan ke sana dengan lambat-lambat, sambil
membayangkan bahwa kini tamatlah riwayatku. Jika sekali lagi aku dimasukkan ke penjara,
untuk keempat kalinya, aku takkan mungkin masih bisa bertahan.
Aku
berbohong di depan Paman Phan. Belum pernah sehebat itu aku berbohong. Aku
meyakinkan diriku bahwa kata-kata yang kuucapkan memang benar. Aku bersumpah
bahwa makanan diberikan oleh para pekerja kereta (padahal aku mencurinya dari
kebun umum). Persoalannya adalah, kata-kataku harus begitu meyakinkan sehingga
bisa melawan pengaduan chhlop itu. Aku kemudian disuruh pergi oleh Paman
Phan, setelah diberi peringatan keras. Mungkin ia beranggapan bahwa aku sudah
cukup menderita. Atau mungin juga ia diusik hati kecilnya sendiri. Ia tidak tahu,
bahwa aku sering kali melihatnya malam malam berjaian dengan santai dari kebun
umum, membawa sesuatu yang disembunyikan dalam kramanya. Aku pernah melihat
sinar lampu rumahnya lewat celah-celah di dinding, saat ia dan istrinya sedang
asyik memakan masakan yang terbuat dari bahan pangan yang dicurinya. Di Phum Ra
semuanya pencuri, termasuk kepala desa.
Jadi
sekali ini aku dan Huoy selamat dari marabahaya. Kami tidak dihukum karena
mencuri bahan pangan. Tapi ketika aku sudah kembali di rumah, aku tetap saja
mendiamkan Huoy. Aku sudah bertekad untuk tetap kuat dan menunjukkan kepada
Huoy, apa konsekuensi perbuatannya.
Setelah
dua hari Huoy kudiamkan terus, ia mendatangi aku yang saat itu sedang berdiri
di ambang pintu sambil memandang ke kebun. la berlutut di depan kakiku lalu
mendongak memandangku. Kulihat sudut-sudut matanya basah.
"Kau
masih saja marah kepadaku, Sayang?" katanya, "Aku memang salah, Aku
tidak berhati hati.” Jika kau ingin memukulku karenanya, pukul saja aku. Berbuatlah
semaumu. Tapi sesudah itu bicaralah lagi kepadaku,"
Huoy
kutarik sehingga berdiri, lalu kurangkul. Kupeluk, Tubuhnya begitu empuk dan
hangat. Dan begitu sudah memeluknya, aku langsung sadar bahwa aku bersalah,
Huoy itu istriku. Ia takkan mau mencelakakan diriku, dan itu kuketahui pasti.
Itu satu-satunya yang kuketahui dengan pasti di dunia ini.
Aku
menarik napas dalam-dalam.
"Ya,
aku akan bicara lagi denganmu," kataku dengan suara serak. Setelah itu aku
pergi ke kebun, untuk menjernihkan pikiran.
Perasaanku
kacau dan bingung. Aku kembali tidak bisa mengendalikan kemarahanku. Padahal sudah
bertahun-tahun aku belajar menguasainya Di bawah penampilan lahiriahku sebagai
orang dewasa, aku temyata masih tetap anak yang dulu juga, yang membantingkan
engkol starter ke radiator mesin di pabrik penggergajian milik ayahku, lalu
menendang anjing.
Aku
gila, memperlakukan Huoy seperti itu, Gila, dan salah.
Sambil
berdiri dalam kebun, aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku takkan pemah
lagi melakukan hal-hal yang akan membuat Huoy merasa sedih. Jika ada satu
tujuanku dalam kehidupan ini, maka itu adalah untuk menyenangkan hatinya,
melayaninya seperti dia melayani aku.
Kami
berbaik kembali, dan suasana bonheur pulih
lagi di antara kami berdua. Rintangan terakhir yang ada di antara kami sudah
tersingkir; rintangan yang baru kuketahui adanya ketika sudah lenyap. Kami jadi
bertambah akrab lagi, seperti dua belahan lambang kejantanan dan kewanitaan
yang saling mencakup pada lambang yin
dan yang.
Ini
tidak heran bahwa kehidupan kami sudah sempurna. Kami tidak pernah lupa bahwa
kami hidup di bawah bayangan. Kami senantiasa sadar bahwa di suatu tempat di dekat kami, serdadu-serdadu menggiring
pergi orang-orang yang bernasib malang, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa mengenainya.
Suatu hari nanti tiba giliran kami. Mungkin. Aku dan Huoy tidak banyak
berbicara tentang kengerian itu; tapi perasaan itu ada, seperti tangan dingin mencengkam
hati kami.
Tapi
kengerian itu ada manfaatnya juga: hal itu menyebabkan kami jadi semakin dekat.
Dan selain rasa takut itu sendiri. belum pernah kami hidup sebaik saat itu. Aku
tidak merindukan masa silam. Aku sudah tidak peduli lagi bahwa aku dulu dokter,
atau pernah kaya. Aku tidak merindukan kendaraan bermotor, atau bahkan memakai sepatu.
Kami tidak menyukai Khmer Merah, tapi kami sudah bisa menerima keadaan di bawah
kekuasaan mereka. Kami hidup akrab dengan bumi. Kami sudah menjadi petani,
seperti sekian generasi leluhur kami. Kami sehat dan cukup makan. Aku punya
Huoy di sampingku, dan dia punya aku. Kami mempunyai rumah sendiri. Saat sore
kami suka duduk-duduk di ambang pintu belakang sambil menikmati pemandangan
sawah yang terhampar luas, dengan bukit-bukit kecil di sana-sini. Pemandangan
itu benar-benar indah. Sebuah bukit kecil menjulang lebih tinggi dari yang
lain-lainnya, dengan sebatang pohon sdao
yang tumpuh miring di atasnya. Di ujung sawah nampak menjulang gunung dengan
kuil di lereng sebelah atasnya, peninggalan agama yang belum kami lupakan.
Matahari terbenam di balik punggung gunung yang panjang meliuk-liuk. Setelah sekian
bulan persawahan berubah warna dari coklat menjadi hijau, dari hijau menjadi
kuning, dan setelah itu aku mendengar kabar yang sangat menyenangkan.
Huoy
hamil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar