Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 28 April 2013

Neraka Kamboja - Bab 28 : Kebahagiaan




BELUM PERNAH kudengar ada orang lain di Kamboja yang masih tetap hidup setelah mengalami penyiksaan Khmer Merah sampai tiga kali. Aku tahu bahwa di daerah Phnom Tippeday hanya ada satu orang lagi, seorang remaja, yang masih hidup setelah mengalaminya sebanyak dua kali. Rambutnya rontok sebagai akibatnya, dan saban kali melihat serdadu ia langsung pucat dan gemetar.

Tapi entah kenapa, kenyataannya aku masih tetap hidup setelah tiga kali mengalami penyiksaan dan dipenjarakan, ditambah lagi dengan serangan malaria dan disentri. Aku tetap hidup. Bekas-bekasnya ada : dari luka-luka di ubun-ubun yang terjadi semasa aku dipenjarakan untuk ketiga kalinya; luka-luka bakar di kaki, sewaktu aku untuk kedua kalinya masuk penjara; sebagian kelingkingku tidak ada lagi karena putus dibacok ketika aku disiksa dalam pengalaman penjaraku yang pertama. Selain itu masih ada lagi luka-luka lain, yang membekas dalam pikiran dan emosi; tapi itu baru kemudian kusadari adanya. Waktu itu  perasaanku lumayan senang. Aku juga merasa takjub. Aku bisa tetap hidup, sementara ribuan orang di sekelilingku mati karena sakit atau kelaparan, dan ribuan lagi dibunuh.

Apa sebabnya aku masih hidup?

Bagiku, satu-satunya jawaban yang masuk akal adalah bahwa itu kehendak dewata. Itu merupaka kama. Bukan kebetulan, karena secara matematis peluang hidupku tipis sekali. Seberapa besarkah kemunginanku bisa yetap hidup meski mengalami segala macam siksaan waktu itu? Satu banding seribu? Seratus ribu? Atau bahkan satu banding sejuta?

Memang, ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinanku untuk bisa tetap bertahan hidup. Pertama, di segi fisik aku ini tangguh dan bersemangat. Kedua, semasa kecil sampai remaja aku sering terlibat dalam perkelahian secara kroyokan, dan pengalaman iu menyebabkan mentalku sudah siap, untuk mengakali para penyiksaku dan tetap bertahan. Dan yang ketiga, ada orang untuk siapa aku harus tetap mempertahankan nyawa. Orang itu Huoy. Dan siapa pun juga yang memiliki ketiga faktor pendukung ini lebih besar kemungkinannya untuk bisa tetap hidup, dibandingkan dengan yang tidak memilikinya. Itu sudah dengan sendirinya. Tapi itu masih tetap belum menjelaskan kenapa aku bisa tetap bertahan, sementara begitu banyak orang lain tidak mampu.

Berapa kali saja sebenarnya aku sudah nyaris mati. Ketiga kalinya, jika aku tidak berada di dekat pintu ketika api mulai berkobar. Kedua kalinya, andaikan para penjaga waktu itu tidak melepaskan kantong plastik yang menyungkup kepalaku pada saat yang cepat. Dan beberapa kali, jika aku waktu itu mengaku bahwa aku dokter, atau perwira tentara. Aku seharusnya sudah mati karena disentri, seandainya waktu itu gadung tidak dibagi-bagikan.

Aku masih hidup ini pada hakikatnya merupakan keajaiban. Aku menerimanya sebagai keajaiban, dan untuk itu aku mengucapkan terimakasih kepada dewata. Jika kupandang sekelilingku, kulihat berbagai keajaiban lainnya. Segala-galanya, mulai dari warna langit, rasa nasi, sampai dengan pemandangan kuil yang bertengger di lereng gunung, nampak baru dan segar. Dan daya hidup yang ada dalam diriku sama dengan kekuatan yang ada di dalam bumi dan langit serta segala makhluk hidup yang lain.

Luka-luka memarku dengan segera mudah lenyap kembali. Bayangan ngeri siksaan dengan air terhapus dari ingatanku. Pola kehidupan sehari-hari kembali seperti semula, tapi meski begitu dalam hatiku masih tetap tertanam rasa penghargaan yang lebih besar dan mendalam terhadap segala hal yang ada di sekelilingku: Terutama terhadap Huoy, dan pada rumah kami.

Chang My Huoy, alias "Bopha" bagi orang-orang Khmer Merah, dan Huoy bagiku. Kami tidak bisa menikah seperti yang kami inginkan, pertama-tama karena ayahku, dan kemudian karena adanya revolusi. Tapi hubungan antara kami berdua lebih dekat dan akrab ketimbang pasangan suami istri yang mana pun juga di sekitar kami. Ini bukan berarti bahwa kami pasangan yang sempurna. Kadang-kadang aku bersikap keras terhadapnya, dan kadang-kadang caraku mengganggu Huoy sudah keterlaluan menurut perasaannya. Tapi sebagai teman hidup, kami saling menyukai.

Aku senang memperhatikan Huoy saat pagi sekali di rumah kami yang baru. Sikap tidurnya selalu sambil mendekap bantal kecilnya yang biru, yang dibawanya dari Phnom Penh. Sebelum matahari terbit ia sudah bangun, ketika langit mulai nampak terang. Ia pergi ke cerminnya yang kecil dan berbentuk persegi empat, menyikat rambut lalu memasang jepitan di atas telinga, dan kemudian mencuci muka. Setelah itu ia berpakaian. Sementara aku bangun dengan mata yang masih mengatuk, ia menggulung kelambu, melipat baju tidur dan alas pembaringan lalu menyimpannya dengan rapi. Ada sesuatu pada diri Huoy - serba tertib, bersih, feminin, menggairahkan - yang memikat jiwa dn ragaku. Lelaki terhadap wanita. Suami terhadap istri. Aneh jika kupikir-pikir bahwa ketika pertama kalinya kami berjumpa, aku gurunya. Sejak itu peran kami terbalik.

Aku selalu mempunyai perasaan yang istimewa terhadap wanita. Semasa kecil, setelah mengalami hajaran ayahku, timbul perasaan dalam diriku bahwa kaum prialah yang umumnya merupakan penyebab penderitaan. Dan itu berulangkali terbukti dari pengalamanku dalam penjara Khmer Merah. Mana pernah ada wanita menyakiti aku? Mana pernah aku melihat wanita menyakiti orang lain secara fisik? Tidak pernah. Mungkin itu sebabnya kenapa aku begitu merasa tertarik terhadap wanita; karena mereka itu penyembuh penderitaan. Penderitaan yang ditimbulkan oleh kaum pria.

Bagiku Huoy mewakili golongan terbaik dari kaumnya. la tidak pernah menyebabkan timbulnya rasa sakit. Dia itu penyembuh. Ia juga jauh lebih cerdik ketimbang aku. Ia tidak pernah terjerumus ke dalam kesulitan. Bahkan terlibat dalam pertengkaran saja pun tidak. la menyebabkan aku tidak terlibat lagi dalam kesulitan dengan Angka, dengan jalan menasihati dan memberi teladan tanpa banyak bicara.

la menjauhi sifat wanita yang paling buruk, yakni pergunjingan iseng yang merugikan orang lain. Ia membina pergaulan dengan beberapa wanita seperti dia, yang sopan dan berpendidikan. Waktu luangnya diisi dengan kesibukan di rumah dan di kebun, atau memasak, mengolah masakan dari bahan-bahan hasil ramuan di luar, atau menyanyi dengan suaranya yang jernih dan empuk. Ia memperbaiki pakaian kami dengan jahitannya yang terampil dan rapi. Huoy itu sangat perasa, tapi di pihak lain juga praktis; sampot-sampot peninggalan ibunya dijadikannya bahan untuk membuat celana baginya sendiri, dan sandal karet ibunya dipakainya setelah sandalnya sendiri rusak. Ia bukan wanita tercantik di dunia, tapi bagiku Huoy itu cantik. Orang lain tidak banyak tahu tentang dia. Bagi mereka dia itu wanita muda yang ramah tapi pendiam.

Aku lebih mengenal Huoy ketimbang siapa pun juga, mungkin henya ibunya. Jika ada satu kekurangan pada diri Huoy, maka itu adalah bahwa ia tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Saar sedang merasa gembira pun, air matanya bercucuran. Kejadian-kejadian sedih sangat membekas dalam hatinya. Ia pernah berhasil mengatasi kepiluan yang ditimbulkan karena kematian ibunya. Ia tidak henti-hentinya berdoa kepada arwah ibunya ketika aku ada dalam penjara; dalam keadaan baik pun hampir setiap hari ia berdoa kepada ibunya. Kejadian-kejadian yang hampir mencabut nyawaku dan kematian-kematian di sekelilingnya membuat ia selalu merasa sedih dan ketakutan. Kami menerima kabar bahwa ibuku meninggal dunia di kawasan Pegunungan Cardamom, lalu adikku Hok beserta istrinya, dan juga aku beserta Huoy mengadakan upacara sembahyang mendoakan arwahnya, sama seperti yang kami lakukan untuk arwah ayah dan abangku. Aku sedikit banyak merasa lega bahwa ibuku meninggal dunia, karena dengan begitu ia sudah lepas dari penderitaan hidup sekarang ini. Tapi Huoy sedih sekali menerima kabar itu. Aku berusaha membesarkan hatinya tapi itu tidak mudah. Kondisi kejiwaannya rapuh. Ia lebih cocok hidup pada zaman normal: pergi berdoa ke kuil, membesarkan anak-anak, dan mengurus rumahtangga yang bersih dan nyaman.

Rumah kami yang baru di Phum Ra jauh dari yang dulu semasa prarevolusi kubayangkan akan bisa kuberikan kepadanya. Rumah itu terbuat dari Kajang. kecuali sebagian dinding yang terbuat dari lembaran-lembaran seng gelombang. Lantainya tanah. Tapi kami berdua menyukai rumah itu. Aku merasa bangga terhadapnya, karena aku sendiri yang merancang dan membangunnya. dengan tanganku sendiri. Kami tinggal membandingkan rumah kami itu dengan rumah-rumah tetangga. untuk menyadari kebagusannya.

Para tetangga kami tinggal di rumah-rumah yang dibangun di atas tiang, seperti rumah-rumah yang ikut kubangun ketika aku masih digabungkan dalam regu pembangun rumah. Tiang-tiang penopang sudah melesak di sana-sini, sehingga lantai di atasnya miring ke segala arah . Atap- ' atapnya yang dari seng menjadi panas sekali jika ditimpa sinar matahari. sehingga penghuni rumah- rumah itu kadang-kadang memanggang ketam air tawar di atasnya untuk menghemat kayu bakar.

Rumah kami yang kecil itu kokoh buatannya. dan nyaman ditinggali. Aku membangunnya di atas bukit kecil, sehingga tidak pemah kebanjiran. Pagi-pagi kami menyirami lantai tanahnya 'dengan air, agar hawa di dalam rumah tetap sejuk sepanjang hari. Pintu-pintu dan jendela-jendela menyebabkan udara bisa mengalir dengan leluasa. Atapnya yang dari kajang menahan sinar matahari dan air hujan. Sebagai pelindung tambahan terhadap sinar matahari, aku menanam labu siam yang menjalar naik ke atas atap dan tumbuh rimbun di situ. Di sisi selatan rumah, di tempat yang langsung terkena sinar matahari, aku menanam pohon-pohon pisang sebagai peneduh, ditambah dengan kacang panjang yang batangnya tumbuh melilit menjalari dinding luar.

Ruang utama rumah kami berukuran sekitar tiga setengah meter kali dua meter. Sebuah bangku berbentuk huruf L yang terbuat dari ' papan yang diserut halus terletak sepanjang dinding sebelah barat dan selatan. Aku dan Huoy tidur pada sisi bangku yang panjang, sementara sisi yang pendek kami jadikan tempat dud uk. Pada bagian ujung bangku itu, dekat pintu, kami menaruh scbuah gentong bertutup yang isinya air minum yang bersih dan sejuk.

Dapur kami berupa ruangan beratap miring yang kutambahkan pada sisi utara rumah. Kayu bakar kami tumpukkan sepanjang satu dindingnya, sementara tungku untuk tempat memasak terbuat dari tiga bongkah batu yang diletakkan membemuk segitiga. Setiap waktu makan kami selalu muncul di dapur umum. Tapi seperti kebanyakan keluarga penghuni desa Phum Ra, makanan kami yang scbenarnya kami masak sendiri di rumah setiap hari, sambil pura-pura masak teh . Kami memiliki bahan-bah an pangan berupa umbi gadung, keladi, ubi garut, bawang, labu kuning, kacang, labu siam, kubis, ketimun, lombok, jagung, dan bermacam-macam tanaman lain di kebun kami. Kami juga memelihara ayam dan bebek. Huoy, yang kuat sekali naluri keibuannya, suka meraup anak-anak ayam yang kecil-kecil dan berbulu empuk dan tebal itu lalu membawa mereka ke tempat-tempat yang banyak rayapnya. Anak-anak ayam itu mematuki serangga-serangga itu sambil menciap-ciap.

Kami waktu itu pada hakikatnya memiliki segala kebutuhan kami. Menurut ukuran kehidupan di sana, kami termasuk kaya. Aku memiliki tongkat pikulan, dua buah ember dan sebuah parang yang bisa dipakai untuk bermacam-macam keperluan. Kami memiliki cangkul dan pangkur untuk bekerja di kebun; peralatan dapur; gentong tempat air; kelambu yang sudah hitam dan penuh tambalan; dan selembar selimut halus seperti sutera bersulam untuk melindungi tubuh kami dari gangguan hawa dingin pada malam hari. (Lembaran plastik putih kami hilang dicuri orang; tapi kami tidak peduli, karena atap rumah melindungi kami dari siraman air hujan.) Kami punya pakaian. Bahan makanan juga cukup banyak. Kami memiliki harta benda yang kami sembunyikan: beberapa potong emas yang terselip di balik bagian pinggang pakaian kami; kacamata dan alat-alat kedokteranku yang kutaruh di atas balok 15 melintang penyangga tiang-tlang atap; beras, bahan pangan, dan buku-buku kedokteranku, yang kami sembunyikan dalam sebuah lubang penyimpanan di bawah lantai rumah. Buku pelajaran bahasa Inggrisku disembunyikan di celah antara bangku dan dinding, sehingga bisa kuambil kapan saja kuperlukan. Kami tidak punya mobil Mercedes, tidak punya mobil-mobil tangki pengangkut bensin, tidak punya simpanan di bank. Tapi kami tidak peduli. Kami tidak mengingat-ingatnya lagi.

Aku merasa seperti dilahirkan kembali. Huoy membuat aku merasa bahagia. Rumah kami membuat aku merasa bahagia. Kami sudah pindah dari garis depan ke garis belakang, di mana kehidupan berjalan dengan lebih santai. Setiap hari aku mendengar bunyi peluit kereta api yang datang. Kuperhatikan kereta yang: berdengus-dengus lewat dan pekerja-pekerja kereta meluncur di atas gerobak datar mereka yang didorong dengan galah; aku memperhatikan dengan ketakjuban anak yang belum pernah melihat hal-hal semacam itu. Apabila lonceng di desa berdentang-dentang- "TENG. TENG. Teng, teng, teng, tengtengteng" - bunyinya tidak lagi mengganggu sarafku, seperti dulu. Bunyi lonceng itu terasa selaras dengan kehadiran kereta api, burun g burung, dan juga dengan segala-galanya yang ada di situ.

Malam hari aku dan Huoy pergi berjalan-jalan mencari bahan pangan. Kami mengumpulkan tumbuh-tumbuhan liar yang bisa dimakan. Kami berburu tikus dan ketam. Kami menggunakan kain kelambu kami untuk menangkap udang yang kecil-kecil di sebuah kolam. Sekali kami pernah menangkap ikan besar. Ketika ikan itu kubawa ke darat, Huoy langsung menangis sambil merangkul leeherku.

"Kenapa kau menangis?"

"Karena gembira, Sayang. Aku merasa gembira" kata Huoy. Sesampai di rumah, ikan itu dimasaknya dengan kangkung. Rasanya benar-benar sedap.

Kadang-kadang kami mandi berdua saja di sebuah saluran air. Kami saling menggosok dan mencuci tubuh. Kami bahagia, bisa saling melayani.

Kami begitu akrab dan saling bergantung, sehingga kami sering bercanda mengenainya. Seorang lelaki kenalanku datang ke rumah untuk mengajakku pergi mencari bahan pangan di luar.

"Aku harus minta izin dulu pada biniku," kataku.

"Kau takut pada binimu ?" tanya kenalanku itu.

"O ya, takut sekali," kataku. Saat itu Huoy ada di sampingku . "Di rumah ini, dialah menteri pendidikan dan keuangan . Dia juga menteri kebudayaan. Dia yang mengatur segala-galanya. Dia ini bos."

"O ya?" kata kenalanku dengan nada sangsi. “Kau harus bersikap begiru hormat kepadanya, di depannya?"

"Tentu saja," jawabku. Aku berpaling pada Huoy lalu meminta agar ia mau mengizinkan aku pergi mencari bahan pangan di luar. Huoy melipat kedua lengannya di depan dada, lalu sambil merengut melarangku pergi .

"Maaf, aku tidak bisa ikut," kataku kepada kenalanku itu.

Kemudian aku mengambil sikap menyembah kepada Huoy. Tapi ia menggeleng. Setelah itu aku menggelitiknya, sampai ia akhirnya memberi izin. "Bos sudah memberi izin," kataku. "Kita bisa pergi sekarang."

Tapi kenyataannya, Huoy memang bos di antara kami berdua. Aku menerimanya, dan bahkan menyukai keadaan yang begitu. Ia menyejukkan sifatku yang gampang marah, keras kepala, dan kelakuanku yang terlalu gemar bercanda. Ia berhasil membangkitkan sifat sabarku, sifatku yang lebih tenang. Tapi di pihak lain, aku juga bos bagi Huoy. Kami saling melayani. Aku membuat dia bisa tetap hidup, karena aku yang memberikan makanan, perlindungan, dan cinta kasih yang diperlukannya. Ia menyelamatkan nyawaku sewaktu aku jatuh sakit.Ia yang menahan aku dari perbuatan tanpa berpikir panjang dulu, seperti membunuh Pen Tip, misalnya. Dialah alasan bagiku untuk tetap bertahan hidup.

*************


Ketika aku untuk ketiga kalinya kembali dari Penjara, Pen Tip bersikap pura-pura tidak peduli terhadapku. Tapi itu tidak apa-apa bagiku. Aku tahu, dan dia juga tahu, bahwa antara kami berdua masih ada urusan yang belum selesai. Kubiarkan saja dia sibuk sendiri di hantui pikiran itu. Aku tidak memikirkannya. Aku bersedia menunggu sampai tiba waktunya yang tepat.

Bagiku, aku sudah di atas angin. Aku adalah oang yang tidak bisa dimatikan dengan cara dimasukkan ke dalam penjara. Aku ini momok yang saban kali muncul lagi. Dan upaya Pen Tip untuk "menjajah" diriku dengan cara menempatkan aku pada tugas kelas bawah, ternyata menjadi bumerang baginya. Tugas itu memang merupakan pekerjaan hina, tapi juga pekerjaan yang paling enak di desa.

Regu pupuk berada di luar kewenangan Pen Tip, ia tidak mengawasi kami. Pada hakikatnya, tidak ada yang mengawasi kami. Tidak banyak orang yang mau datang ke lumbung tempat penyimpanan pupuk kotoran manusia, karena baunya yang menusuk hidung. Hanya Paman Phan, kepala desa, saja yang kadang-kadang mampir sebentar untuk memeriksa. Tapi dia itu tidak menyulitkan. Ia menyuruh aku menaburkan garam ke pupuk, Menurut pendapatnya, tanaman memerlukan garam, serupa halnya dengan manusia. Sambil menggeleng-geleng aku pergi ke dapur umum untuk meminta garam. Dari pelajaran biologi yang masih kuingat, tumbuh-tumbuhan membutuhkan nitrogen, fosfat, dan zat-zat hara lainnya. Tapi garam? Garam malah menimbulkan efek yang merugikan tanaman. Garam yang kuperoleh kusimpan untuk keperluan sendiri, dan ketika aku berjumpa lagi dengan Paman Phan kukatakan kepadanya dengan bersungguh-sungguh, "Pupuk itu sudah kucicipi, dan rasanya kadar garamnya sudah tepat. Paman ingin mencoba juga rasanya?" Paman Phan langsung pucat, seperti orang yang mau muntah. Dan sejak itu agak lama juga ia tidak mampir lagi di lumbung pupuk.

Rekanku seregu di situ seorang lelaki tua yang gigi-gigi gerahamnya sudah tidak ada lagi. Namanya Sangam. Suatu hari aku sedang berjalan bersama Sangam dengan membawa peralatan kami, menuju sebuah kakus umum. Di desa itu ada beberapa kakus umum, yang tersebar letaknya. Tempatnya dibatasi dinding kajang setinggi pinggang. Itu berarti bahwa orang yang berjongkok di dalamnya masih bisa dilihat orang-orang yang lewat. Orang yang hendak buang air di situ harus meletakkan kedua kakinya dengan hati-hati sekali di atas dua lembar papan, karena kalau sampai terpeleset, itu bisa berarti tercebur ke dalam kubangan yang berupa tong minyak yang dipotong menjadi dua bagian. Penduduk desa jarang memakainya. Mereka lebih suka menyelinap dan buang air dalam semak, jika tidak ada yang kebetulan melihat.

Aku dan Sangam secara bcrgantian menguras isi tong-tong itu dengan ember yang dilengkapi dengan gagang dari kayu yang panjang sekali. Di lumbung pupuk yang letaknya jauh di tengah sawah, kami memasukkan bahan-bahan lain ke dalam tong tempat penampungan tinja dan kami aduk-aduk: tanah lumpur dari bukit-bukit kecil (yang suburnya luar biasa) serta sekam atau daun-daun. Adonan yang terjadi kemudian kami tumpahkan ke tanah. Apabila sudah kering beberapa hari kemudian, adonan itu sudah hampir tidak berbau lagi dan siap untuk ditaburkan. Sekitar satu minggu sekali aku dan Sangam pergi dengan gerobak untuk mengantarkan pupuk itu ke kebun- kebun umum.

Hal yang tidak enak dari pekerjaan kami hanya baunya saja, yang henar-henar menyesakkan napas. Selain itu juga bahaya yang ada bagi kesehatan, Aku selalu sangat berhati-hati, jangan sampai ada luka di tubuhku. Aku mandi dua hari sekali dan kucuci badanku bersih-bersih dengan larutan abu buah kapuk dan sabun yang kuperoleh dari dapur umum. Aku tidak pernah terkena infeksi, tapi ruam berupa bintil-bintil merah yang gatal menyebar lagi di sekujur kaki sampai pergelangan.

Segi yang menguntungkan dari pekerjaan itu adalah bahwa aku dan Sangam bisa melakukannya semau kami, tanpa ada yang mengganggu. Berbeda sekali dengan saat bekerja di garis depan. Dentangan lonceng tidak kami pedulikan. Kami tidak bekerja keras. Aku tidur siang paling tidak satu kali sehari. Sekitar satu kali seminggu aku

bergadang, untuk pergi mencuri di kebun-kebun umum. Sepulangnya dan mencuri, sayur-sayuran hasilku mencuri kubungkus dengan rapi lalu kusembunyikan di tempat yang takkan pernah diperiksa orang, yaitu di bawah tumpukan pupuk. Sesudah itu aku tidur sampai saat tengah hari di dalam lumbung pupuk, sementara Sangam menjaga kalau-kalau ada orang datang.  Pekerjaan itu kami manfaatkan untuk mencari bahan pangan. Jika suatu siang kami ingin mengumpulkan telur semut merah, atau mencari tumbuh-rumbuhan liar yang bisa dimakan, atau pergi memancing ikan, kami pergi ke sawah dan berkeliaran di sana untuk mengumpulkan kotoran sapi dan kerbau. Kalau sudah tidak kelihatan oleh siapa-siapa lagi, barulah kami melakukan niat kami yang sebenarnya. Jika aku ingin mencuri beras, kukotori lengan bajuku dengan kotoran manusia yang baunya menusuk hidung. Lalu aku pura-pura capek, dan merebahkan diri di salah satu meja panjang di dapur umum. Apabila iseng Paman Phan yang menjadi ketua dapur umum berusaha menyuruh aku pergi, aku pura-pura tidur terus sampai ia menyodorkan beras yang cukup banyak sebagai pembujuk.

Nasib kami sedang mujur. Anak seorang pekerja kereta api yang tinggal di dekat kami jatuh sakit, dan pekerja itu minta pertolongan kepada Hok. Adikku itu menyuruhnya datang kepadaku. Aku merawat anak itu sampai sembuh. Aku harus mengenal seluruh regu pekerja kereta. Mereka itulah yang scjak di Battambang dulu selalu kulihat lewat naik gerobak datar yang didorong- dorong dengan galah, meluncur di alas rel. Di bawah rezim Khmer Merah, mereka tergolong dalam suatu kelas elite. Makanan mereka masih lebih baik lagi ketimbang yang diperoleh serdadu-serdadu. Bahan pangan untuk mereka dikirimkan dengan gerbong, dan kuantitasnya lebih banyak dari yang bisa mereka makan. Para pekerja itu juga memiliki kebun sayur mereka sendiri, yang olehku bersama Sangam dengan diam-diam diberi pupuk. Namanya juga teman baik.

Sebagai imbaian, kami diajak makan-makan bersama mereka, berpesta secara sembunyi-sembunyi. Pada kami disodorkan bermacam-macam hidangan yang sudah bertahun-tahun tidak perlah kulihat lagi. Sebagian daripadanya kusisihkan untuk Huoy, lalu setelah itu aku makan sebanyak-banyaknya, sampai akhirnya tidak mampu bergerak karena kekenyangan.

Aku dan Huoy bisa makan dengan lebih baik ketimbang saat-saat sebelumnya. dengan makanan yang kuperoleh dari para pekerja kereta, bahan pangan yang kukumpulkan sewaktu bekerja dan di luar waktu kerja, ditambah lagi sayur-sayuran hasil kebun kami sendiri. Untuk pertama kali sejak tiba di Battambang dulu, kami benar-benar sehat.

Bukan main perubahannya! Bobot tubuh kami sudah hampir pulih seperti dulu lagi. Tubuh kami menjadi kuat, karena bekerja. Kami memiliki rumah tinggal sendiri, hanya untuk kami berdua saja. Kami tidak menyukai rezim waktu itu, tapi kami sudah tahu bagaimana caranya bertingkah laku agar jangan berurusan dengannya. Apalagi sekarang, setelah kami pergi dari garis depan.

Satu-satunya yang kusesali-ini jika kuingat kembali masa itu - adalah pertengkaran yang pernah terjadi sekali antara aku dan Huoy. la baru saja mengambil makanan yang sudah dimasak dari tempat penyembunyiannya dalam tumpukan kayu bakar, ketika seorang anak lelaki berumur sekitar sebelas tahun keberulan lewat dan melihatnya. Anak itu mengisap rokok. la menatap Huoy dengan sikap curiga. Ketika ia kemudian lewat di dekatku yang saat itu sedang bekerja di kebun, ia juga menatapku sambil melotot.

Nama anak itu Yoeung. Dia anak angkat Paman Phan. Ia sering keluyuran di desa, menggabungkan diri sebentar dengan regu-regu pekerja untuk mengamat-amati mereka, lalu pergi lagi untuk melaporkan hal-hal yang dilihatnya. Anak itu mata-mata rezim, chhlop.

 "Kauperhatikan atau tidak kata-kataku, yang?" kataku kepada Huoy, ketika Yoeung sudah pergi. "Tentang apa aku bicara tadi malam? Apa yang kukatakan padamu? Sembunyikan baik-baik makanan itu! Itu berarti nyawa kita. Kenapa kau tidak melakukannya?"

 "Ya, aku tahu," kata Huoy. "Maaf. Aku tadi cuma keliru memilih waktu saja. Ketika makanan

itu kukeluarkan dari tempatku menyembunyikannya, tahu-tahu chhlop itu sudah ada di situ. Aku tidak sengaja."

Ada sesuatu yang be rdetak dalam benakku saat itu, seperti ranting terinjak. Kebahagiaanku seketika lenyap. Aku melihat diriku diikat dan diseret ke penjara. Aku langsung marah.

"Jangan bicara dengan aku selama lima hari," kataku dengan sengit. "Jika kau mengatakan sesuatu, biar sepatah kata saja, aku takkan mau menjawab. "

Huoy diam saja. Matanya tertunduk. "

Paman Phan memanggil aku ke rumahnya. Aku berjalan ke sana dengan lambat-lambat, sambil membayangkan bahwa kini tamatlah riwayatku. Jika sekali lagi aku dimasukkan ke penjara, untuk keempat kalinya, aku takkan mungkin masih bisa bertahan.

Aku berbohong di depan Paman Phan. Belum pernah sehebat itu aku berbohong. Aku meyakinkan diriku bahwa kata-kata yang kuucapkan memang benar. Aku bersumpah bahwa makanan diberikan oleh para pekerja kereta (padahal aku mencurinya dari kebun umum). Persoalannya adalah, kata-kataku harus begitu meyakinkan sehingga bisa melawan pengaduan chhlop itu. Aku kemudian disuruh pergi oleh Paman Phan, setelah diberi peringatan keras. Mungkin ia beranggapan bahwa aku sudah cukup menderita. Atau mungin juga ia diusik hati kecilnya sendiri. Ia tidak tahu, bahwa aku sering kali melihatnya malam malam berjaian dengan santai dari kebun umum, membawa sesuatu yang disembunyikan dalam kramanya. Aku pernah melihat sinar lampu rumahnya lewat celah-celah di dinding, saat ia dan istrinya sedang asyik memakan masakan yang terbuat dari bahan pangan yang dicurinya. Di Phum Ra semuanya pencuri,  termasuk kepala desa.

Jadi sekali ini aku dan Huoy selamat dari marabahaya. Kami tidak dihukum karena mencuri bahan pangan. Tapi ketika aku sudah kembali di rumah, aku tetap saja mendiamkan Huoy. Aku sudah bertekad untuk tetap kuat dan menunjukkan kepada Huoy, apa konsekuensi perbuatannya.

Setelah dua hari Huoy kudiamkan terus, ia mendatangi aku yang saat itu sedang berdiri di ambang pintu sambil memandang ke kebun. la berlutut di depan kakiku lalu mendongak memandangku. Kulihat sudut-sudut matanya basah.

"Kau masih saja marah kepadaku, Sayang?" katanya, "Aku memang salah, Aku tidak berhati hati.” Jika kau ingin memukulku karenanya, pukul saja aku. Berbuatlah semaumu. Tapi sesudah itu bicaralah lagi kepadaku,"

Huoy kutarik sehingga berdiri, lalu kurangkul. Kupeluk, Tubuhnya begitu empuk dan hangat. Dan begitu sudah memeluknya, aku langsung sadar bahwa aku bersalah, Huoy itu istriku. Ia takkan mau mencelakakan diriku, dan itu kuketahui pasti. Itu satu-satunya yang kuketahui dengan pasti di dunia ini.

Aku menarik napas dalam-dalam.

"Ya, aku akan bicara lagi denganmu," kataku dengan suara serak. Setelah itu aku pergi ke kebun, untuk menjernihkan pikiran.

Perasaanku kacau dan bingung. Aku kembali tidak bisa mengendalikan kemarahanku. Padahal sudah bertahun-tahun aku belajar menguasainya Di bawah penampilan lahiriahku sebagai orang dewasa, aku temyata masih tetap anak yang dulu juga, yang membantingkan engkol starter ke radiator mesin di pabrik penggergajian milik ayahku, lalu menendang anjing.

Aku gila, memperlakukan Huoy seperti itu, Gila, dan salah.

Sambil berdiri dalam kebun, aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku takkan pemah lagi melakukan hal-hal yang akan membuat Huoy merasa sedih. Jika ada satu tujuanku dalam kehidupan ini, maka itu adalah untuk menyenangkan hatinya, melayaninya seperti dia melayani aku.

Kami berbaik kembali, dan suasana bonheur pulih lagi di antara kami berdua. Rintangan terakhir yang ada di antara kami sudah tersingkir; rintangan yang baru kuketahui adanya ketika sudah lenyap. Kami jadi bertambah akrab lagi, seperti dua belahan lambang kejantanan dan kewanitaan yang saling mencakup pada lambang yin dan yang.

Ini tidak heran bahwa kehidupan kami sudah sempurna. Kami tidak pernah lupa bahwa kami hidup di bawah bayangan. Kami senantiasa sadar bahwa di suatu  tempat di dekat kami, serdadu-serdadu menggiring pergi orang-orang yang bernasib malang, dan kami tidak bisa berbuat apa-apa mengenainya. Suatu hari nanti tiba giliran kami. Mungkin. Aku dan Huoy tidak banyak berbicara tentang kengerian itu; tapi perasaan itu ada, seperti tangan dingin mencengkam hati kami.

Tapi kengerian itu ada manfaatnya juga: hal itu menyebabkan kami jadi semakin dekat. Dan selain rasa takut itu sendiri. belum pernah kami hidup sebaik saat itu. Aku tidak merindukan masa silam. Aku sudah tidak peduli lagi bahwa aku dulu dokter, atau pernah kaya. Aku tidak merindukan kendaraan bermotor, atau bahkan memakai sepatu. Kami tidak menyukai Khmer Merah, tapi kami sudah bisa menerima keadaan di bawah kekuasaan mereka. Kami hidup akrab dengan bumi. Kami sudah menjadi petani, seperti sekian generasi leluhur kami. Kami sehat dan cukup makan. Aku punya Huoy di sampingku, dan dia punya aku. Kami mempunyai rumah sendiri. Saat sore kami suka duduk-duduk di ambang pintu belakang sambil menikmati pemandangan sawah yang terhampar luas, dengan bukit-bukit kecil di sana-sini. Pemandangan itu benar-benar indah. Sebuah bukit kecil menjulang lebih tinggi dari yang lain-lainnya, dengan sebatang pohon sdao yang tumpuh miring di atasnya. Di ujung sawah nampak menjulang gunung dengan kuil di lereng sebelah atasnya, peninggalan agama yang belum kami lupakan. Matahari terbenam di balik punggung gunung yang panjang meliuk-liuk. Setelah sekian bulan persawahan berubah warna dari coklat menjadi hijau, dari hijau menjadi kuning, dan setelah itu aku mendengar kabar yang sangat menyenangkan.

Huoy hamil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar