29. MENYEBERANG LAUTAN
MALAM HARI,
kalau kami sedang bercakap-cakap di tempat tidur, Huoy sering mengatakan bahwa ia
menginginkan anak. Ia ingin sekali menjadi ibu. Tapi di pihak lain ia merasa
bahwa itu sebaiknya ditangguhkan dulu sampai rezim Khmer Merah sudah
digulingkan, agar anak-anak kami nanti bisa tumbuh dan menjadi besar dalam
suatu dunia yang lebih baik, Dan aku selalu sependapat dengan dia, sampai aku
dimasukkan ke penjara untuk ketiga kalinya.
Tapi sekembaliku
dari penjara waktu itu, aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Hidup ini terlalu
berharga, dan bisa begitu cepat berlalu. Kukatakan kepada Huoy bahwa sudah
waktunya bagi kami untuk mulai membina keluarga. Ia setuju. Berkat bahan pangan
yang kusediakan serta jatah makanan lebih banyak yang kami peroleh dari dapur
umum selama musim panen menjelang akhir tahun 1977 benihku bcrhasil tumbuh
dalam tubuh Huoy.
Kami mengetahui
bahwa ia hamil setelah nampak gejala-gejala pada dirinya, yaitu mulai muntah-muntah.
Padanya gejala itu tidak ringan, karena ia bukan hanya suka muntah saat pagi hari, tapi juga sore.
Bahkan nasi pun membuatnya merasa mual. Makanan yang tidak dimuntahkan lagi hanya
yang rasanya manis. Aku lantas pergi mencari-cari buah pepaya dan nangka. Aku mendatangi
orang-orang yang sakit untuk kurawat, dengan imbalan pisang dan tebu. Akhirnya kami
menukarkan emas dengan gula aren. Huoy menaburkan gula itu di atas makanannya,
dan itu menyebabkan ia tidak memuntahkannya kembali. Tapi ia tidak begitu
berselera makan.
Aku tidak bisa
berbuat apa-apa tentang serangan rasa mual yang dialami Huoy, selain mencari bahan
pangan yang bisa diterima perutnya. Kami hanya bisa menunggu sampai masa itu
lewat. Kukeluarkan alat-alat kedokteranku -sebuah stetoskop, alat pengukur
tekanan darah, dan sebuah terrmometer - dari tempat penyembunyiannya lalu kuperiksa
keadaan Huoy, dengan menggunakan sendok sebagai cermin pemeriksa darurat. Hasil
pemeriksaanku baik semua. Selain bobot tubuhnya yang turun sedikit karena suka
muntah-muntah itu, ia berada dalam keadaan sehat. Umurnya waktu itu dua puluh
tujuh tahun.
Karena keadaan
jasmaninya kuat dan umurnya termasuk masih muda, besar kemungkinannya Huoy
nanti akan bisa melahirkan bayinya dengan lancar. Ini, dalam bahasa Khmer,
diistilahkan sebagai "menyeberang lautan". Kaum wanita Kamboja
kebanyakan menganggap melahirkan anak sebagai perjalanan jauh yang berbahaya. Karena
itulah lahir istilah "menyeberang lautan". Huoy tidak terlalu cemas
tentang proses melahirkan itu sendiri. Aku kan dokter. Ia tahu bahwa aku akan
membantunya. Ia lebih banyak memikirkan soal membesarkan anak, jika anak itu sudah
lahir nanti.
Huoy sering mengatakan
kepadaku bahwa ia berniat membesarkan anak kami agar anak itu patuh kepada
agama, mengenal sopan santun, serta menghormati orangtuanya. Jika sekolah-sekolah
tidak ada, ia akan mengajari sendiri anak-anaknya. Ia tidak peduli apakah
anaknya itu nanti lelaki atau perempuan; yang penting, anak itu sehat. Aku
sendiri mendambakan anak perempuan -seorang Huoy cilik, yang nanti jika sudah besar
akan ikut membantu menyembuhkan penderitaan yang ada di dunia ini.
Ketika
kehamilannya sudah tiga bulan, perut Huoy mulai nampak membesar. Sejak itu ia mengganti
celana panjangnya dengan sarung, karena lebih enak rasanya di pinggang. Pada waktu
bekerja ia melakukan tugas-tugas ringan di kebun umum. Kalau sudah kembali
berada di rumah, ia mengunyah-ngunyah tebu untuk menambah energi, lalu
menyirami tanam-tanaman di kebun kami dengan ember penyiram berukuran kecil,
agar tidak terlalu memberatkan. Rasa mualnya saat pagi mulai berkurang.
Penampilannya nampak berseri-seri. Pcnampilan wanita yang merasa senang bahwa
ia hamil.
Tapi musim
kemarau tahun 1978 merupakan saat-saat yang sulit di daerah Phnom Tippeday. Dapur
umum mulai mengurangi jatah makanan yang dibagi-bagikan. Tidak jauh dari desa
ada gudang beras, berupa sebuah bangunan besar berdinding tanah liat dan beratap
seng. Letaknya bersebelahan dengan rel kereta api. Tapi beras yang ada di
dalamnya tidak diperuntukkan bagi kami. Sekali-sekali nampak pintu-pintu gudang
itu dibuka, lalu serdadu-serdadu sibuk mengangkut beras berkarung-karung ke
gerbong-gerbong kereta atau ke atas truk-truk. Dan kami, yang menanam padi itu,
hanya bisa dengan sedih memandang hasil jerih payah kami diangkut pergi.
Menjelang akhir
bulan Maret 1978, pembagian makanan di dapur umum mulai dihapuskan sedikit demi
sedikit. Mula-mula aku meningkatkan kegiatanku mencuri bahan pangan sebagai pengganti
pembagian yang dikurangi. Aku ditemani seorang anak yang berani, berumur dua belas
tahun. Namanya Tha. Ia mencuri agar bisa memperoleh makanan bagi ayahnya yang
lumpuh, ibunya yang sedang hamil, dan dua orang anak yang masih kecil-kecil.
Bersama-sama kami pergi mencuri malam-malam, mendatangi kebun umum yang
terdapat di lereng gunung, dekat kuil yang sudah rusak. Pada suatu malam,
orang-orang yang menjaga kebun itu mendengar kami datang. Mereka melempari kami
dengan batu, sambil berteriak-teriak memanggil serdadu-serdadu. Hanya satu
siasat saja yang bisa kami lakukan saat itu: aku dan Tha mendaki ke tempat yang
lebih tinggi dari para penjaga yang berteriak-teriak itu, lalu melempari mereka
dengan batu sambil berteriak- teriak, "Pencuri! Pencuri!" ke arah
mereka, sehingga serdadu-serdadu bingung, ke arah mana mereka harus menembak.
Sambil berteriak-teriak terus, kami buru-buru memasukkan sayur-sayuran yang
sudah kami curi ke dalam kantong yang kami bawa, lalu bergegas menuruni gunung dengan
kantong berisi sayur-sayuran di tangan yang satu, sementara tangan yang lain
menggenggam parang. Ketika sudah kembali di desa, kami memasak bahan pangan
hasil curian kami secara terang-terangan. Tidak ada yang perlu kami sembunyikan,
kecuali pencurian yang kami lakukan. Karena dapur umum hanya kadang-kadang saja
dibuka, setiap orang memasak makanan mereka sendiri-sendiri. Kekuasaan Angka
mulai runtuh di depan mata kami.
Sejak bulan
April tahun 1978, dapur umum di Phum Ra ditutup untuk selama-lamanya. Tidak lagi
terdengar dentangan lonceng. Tidak ada lagi pengumuman yang dikumandangkan
lewat pengeras suara, tidak ada lagi musik yang memekakkan telinga.
Pen Tip termasuk
di antara mereka yang paling dulu tidak mau bekerja lagi. Orang itu berwatak plin-plan
seperti baling-baling, yang selalu bisa mengendus ke arah mana angin kekuatan
politik bertiup. Sikapnya itu kemudian diikuti yang lain-lainnya. Hanya
beberapa gelintir orang "lama" yang paling dekat dengan para pemimpin
desa, atau yang takut sekali terhadap serdadu-serdadu, terus melakukan
pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Sementara penghuni desa yang selebihnya
berkeliaran ke mana-mana untuk mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan.
Pertengahan
bulan April, di rumah kami sudah tidak ada persediaan bahan pangan lagi. Kami memakan
kangkung, kubis, dan umbi gadung yang kurus-kurus dari kebun kami; setelah itu bunga
tanaman labu kuning serta daun keladi. Saat itu jagung belum masak, begitu pula
tanam-tanaman kacang dan sayur-sayuran lainnya. Pohon pisang kami juga belum
berbuah.
Bebek-bebek
peliharaan kami sudah habis semuanya kami makan. Ternak ayam kami diambil dapur
umum beberapa ekor, lalu sisanya kuberikan pada seseorang untuk dipelihara di
suatu tanpat yang jauh, sehingga tidak terjangkau oleh Angka.
Aku merasa
cemas. Makanan besar sekali peranannya bagi kesehatan wanita yang sedang hamil,
dan tidak ada yang lebih bisa mengakibatkan kesulitan dalam proses kehamilan
ketimbang kekurangan gizi. Itu tidak kukatakan kepada Huoy. Tapi ia sudah tahu
sendiri. Ketika sudah hamil empat bulan, ia tidak lagi merasa mual-mual. Tapi
hanya sedikit sekali makanan yang ada untuknya. Musim kemarau waktu itu sangat
gersang dan panas.
Meski dapur umum
sudah ditutup, serdadu-serdadu masih saja menangkapi dan menggiring pergi
orang-orang yang ketahuan mencari makanan di luar. Tapi tindakan mereka itu
dianggap sepi. Sesudah selama tiga setengah tahun mendengarkan janji-janji saja
tentang masa depan Kamboja, akhirnya habislah kesabaran orang-orang "baru",
dan bahkan juga orang-orang "lama". Kami pergi mencari-cari makanan
secara terang-terangan. Kami semakin sering melakukan pencurian, siang maupun
malam. Semua melakukannya. Para penjaga di kebun-kebun umum ikut mencuri sampai
tidak tersisa selembar daun pun yang bisa dimakan, dan setelah itu mereka
biarkan saja pintu kebun berada dalam keadaan terbuka. Aku dan Tha pergi
berkeliaran di sawah untuk mengais butir-butir padi yang tercecer di sana
sewaktu panen. Di mana-mana nampak orang-orang yang membungkuk-bungkuk mengamati
tanah, memungut butir-butir padi, beringsut-ingsut kian-kemari tanpa tujuan
jelas. Hasil pencarianku sepanjang hari di sawah tidak sampai sekaleng penuh. Padi
itu kusimpan semuanya, untuk kuberikan kepada Huoy. Tanam-tanaman lainnya yang
bisa dimakan- sudah habis semuanya, dipetik orang-orang lain yang juga
kelaparan.
************
Huoy dilanda
perasaan murung. Penyebabnya bukan hanya kekurangan makan, meski
itu merupakan sebab yang paling utama: perut yang dari hari ke hari selalu
kosong, padahal waktu itu ia paling membutuhkan makanan. Hal-hal yang menambah
kesedihannya, yang menyebabkan kekuatannya semakin susut, adalah peristiwa-perisriwa
lain yang merongrong kesehatan mentalnya. Aksi-aksi pembersihan, misalnya. Pembersihan
terakhir dilancarkan terhadap "orang-orang Vietnam". Para pemimpin
Khmer Merah ternyata memiliki kesamaan dengan rezim Lon Nol-mereka sama-sama
mempunyai prasangka rasial terhadap orang-orang Vietnam. Khmer Merah memuruskan
bahwa orang-orang Kamboja keturunan Vietnam, dan bahkan orang-orang Kamboja
yang bisa berbahasa Vietnam. merupakan penyebab segala masalah yang kami hadapi,
dan karenanya perlu dilancarkan tindakan pembersihan terhadap para pengkhianat
negara dari jenis ini. Yoeung, chhlop
yang pernah mengadukan aku dan Huoy kepada ayah angkatnya, mulai berkeliaran
untuk menyelidiki siapa saja di desa kami yang bisa berbahasa Vietnam. Lumayan
banyak orang yang kemudian digiring pergi. Huoy menguasai bahasa Vietnam dengan
lancar, karena ia dibesarkan dekat perbatasan dengan Vietnam. Chhlop yang berkeliaran itu tidak
berhasil mengetahui kenyataan itu, tapi Huoy tetap saja merasa murung
karenanya.
Tapi tidak hanya
rasa lapar dan aksi-aksi pembersihan itu saja yang menyebabkan ia menjadi murung.
Semasa awal kekuasaan Khmer Merah, ada satu yang benar dalam segala pernyataan pihak
komunis itu mengenai keunggulan moral mereka: para kader dan serdadu-serdadu
Khmer Merah tidak bisa disuap. Tapi kini, bahkan itu pun sudah tidak benar
lagi. Dengan menyodorkan emas bisa diperoleh makanan dari dapur umum, meski itu
sudah ditutup. Dengan emas bisa diusahakan agar sanak-saudara atau teman-teman dipindahkan
dari garis depan. Bonjour, kelemahan akhlak
manusia Kamboja yang paling menonjol, kini kambuh lagi.
Aku sampai
berjam-jam berusaha melipur hati Huoy.
"Kau harus
kuat, Sayang," kataku. "Jangan kaubiarkan dirimu jatuh sakit. Jika
kau sakit, nantinya aku juga merasa sakit. Jika ada penyakit apa pun juga di
dalam pikiran atau di hatimu, berikanlah penyakit itu kepadaku, tapi
singkirkanlah jauh-jauh dari dirimu. Aku ingin kau tetap sehat."
"Ya,"
kata Huoy, tapi dengan nada lesu.
Ia berbaring di
bangku kayu yang panjang di dalam rumah kami yang kecil sambil sibuk mengipasi
dirinya sendiri. la nampak capek dan kepanasan. Hamilnya sudah enam bulan.
"Belum
pernah kulihat ada pemerintahan macam begini," kata Huoy dengan lesu.
Keluhan itu sudah sering diucapkannya. "Sudah banyak buku sejarah yang
kubaca, tentang Eropa dan Asia, tapi belum pemah kubaca pemaparan keadaan
seperti sekarang ini. Rumah sakit tidak ada. Sistem komunikasi tidak ada. Coba
kita ini tinggal di negeri lain yang mana saja, kita pasti bisa mengirim surat
kepada sanak kerabat yang tinggal di luar negeri, lalu mereka bisa mengirimi
kita uang atau makanan. Tapi kita? Mengirim surat ke luar Kamboja saja tidak
bisa. Kita bahkan tidak diizinkan memiliki pensil atau kertas untuk mengirim
surat. jika kita memprotes, kita dikatakan CIA, atau KGB, atau mata-mata Vietnam.
Tidak ada kemungkinan untuk minta bantuan."
"Kan ada
aku," kataku.
"Tapi kau
juga lapar," katanya. "Semasa rezim Sihanouk, dan ketika rezim Lon
Nol berkuasa, orang yang miskin setidak-tidaknya masih bisa mengemis. Atau
pergi ke sawah atau ikutan untuk mencari segala sesuatu yang bisa dimakan. Tapi
di sini, apa pun juga tidak ada. Sama sekali tidak ada. Pengemis pun takkan
mungkin bisa bertahan hidup."
Aku merasa tidak
mampu menjawab, karena kata-katanya itu benar semuanya.
"Perlakuan
pemerintah terhadap kita lebih buruk daripada terhadap hewan," kata Huoy dengan
suara menggumam. "Tidak ada yang peduli. Jika ada orang tergeletak mati di
atas tanggul saluran air, tidak ada yang datang untuk membawa mayatnya pergi.
Hanya burung-burung pemakan bangkai saja yang berdatangan. Atau kawanan ajak.
Atau kanibal-kanibal. Manusia memakan manusia. Begitulah jadinya kita sekarang."
"Aku juga
pernah mendengar cerita-cerita tentang itu," jawabku. "Tapi kurasa
itu tidak sering terjadi. Khmer Merah juga tidak menyukai kanibalisme. "
Huoy terus
mengipasi dirinya, sambil menatap langit-langit rumah.
"Jika tidak
ada makanan, jangan-jangan bayi itu nantinya cacat perkembangan otaknya,"
katanya kemudian. "Atau cacat tubuhnya."
"Tidak,
Sayang," kataku dengan tegas. "Aku kan sudah memeriksamu. Sudah
kuteliti detak jantung bayi kita itu. Semuanya baik-baik saja. Bayi itu akan
lahir dalam keadaan sehat."
Huoy seakan-akan
tidak mendengar kata-kataku itu. Pikirannya menerawang, terarah pada sesuatu
yang jauh sekali. "Jika makanan tidak ada, bagaimana aku nanti bisa
menghasilkan susu?" bisiknya. "Seberapa lama lagi aku masih bisa bertahan
seperti ini? Sudah berapa lama Angka tidak lagi memberi kita makan?"
"Kau tidak
usah khawatir," kataku. "Nanti kau dengan sendirinya akan
mengeluarkan air susu. Itu akan terjadi secara otomatis. Aku ini kan dokter.
Aku tahu pasti, karena ini bidangku."
"Ya, aku
juga tahu bahwa air susu itu nanti akan keluar dengan sendirinya," kata
Huoy. "Tapi jangan-jangan tidak mencukupi."
Aku juga tidak
tahu apa yang harus kukatakan, tentang itu. Huoy memang benar. Jika saat melahirkan
bayi nanti ia masih tetap kekurangan gizi seperti sekarang, besat
kemungkinannya air susu yang dihasilkannya takkan bisa mencukupi. Tapi
sementara ini air susu merupakan masalah yang paling kecil bagi kami. Bahkan
keadaannya yang kekurangan gizi itu tidak begitu mencemaskan hatiku,
dibandingkan dengan keadaan mentalnya.
Sejak Khmer
Merah berhasil merebut kekuasaan di Kamboja, aku senantiasa berbicara pada Huoy,
berusaha membesarkan hatinya. Mulanya ia mau percaya, dan itu membuatnya tetap bersemangat.
Ia mengatakan mengerti bahwa kami harus sabar menunggu sampai keadaan menjadi
lebih baik. Tapi itu sewaktu ibunya belum meninggal. Sesudah itu Huoy tidak
pernh lagi bisa pulih seperti semula. Kami dikirim ke garis depan, lalu ayah
dan abangku mati, dan aku berulangkali dimasukkan ke penjara. Huoy menjadi putus
asa, ketika melihat bahwa keadaan semakin memburuk dari tahun ke tahun. Ia
tidak memiliki naluri untuk bangkit dan melawan apabila kemungkinan selamat
bagi kami sangat kecil. Baginya, tidak ada gunanya lagi melawan. Kelaparan,
kengerian, chhlop, korupsi, energi tubuhnya
yang diserap jabang bayi yang ada dalam rahimnya - semuanya itu merongrong daya
tahannya.
Bobot tubuhnya
yang turun nampak dari pipinya yang kini sudah tidak montok lagi. Selanjutnya
dari rahang dan tulang selangkanya yang mulai nampak menonjol. Begitu pula
tulang-tulang rusuknya.
Aku pergi
berkeliaran saban hari, sepanjang hari, mencari-cari segala sesuatu yang bisa
dimakan;
tapi hanya
sedikit saja yang berhasil kutemukan. Tidak ada sedikit pun lagi yang tersisa
di kebun-kebun umum, baik yang dikelola oleh adikku Hok, maupun di kebun-kebun
lainnya. Segala tanaman yang ada sudah dipetik semuanya.
Dengan emas yang
selama itu kusimpan di balik pinggang celanaku aku mencoba membeli beras. Tapi
tidak ada lagi beras yang bisa dijual, biar dengan harga berapa pun juga. Hanya
tepung beras saja yang masih ada. Dengan pembayaran satu damleung emas, aku
memperoleh tepung beras sebanyak dua kaleng kecil yang beratnya tidak sampai
setengah kilo. Semuanya kuberikan kepada Huoy. Tapi itu belum mencukupi. Aku mendatangi
para pekerja kereta api untuk minta tolong. Tapi dengan menyesal mereka
mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan bicara dengan aku, karena adanya
aksi-aksi pembersihan.
Aku kembali
berusaha mencari-cari apa saja yang bisa dimakan di luar. Tapi di hutan sudah tidak
ada apa-apa lagi. Tidak ada rebung bambu, tidak ada sarang semut merah, tokek,
kangkung liar, atau tikus sawah. Tidak ada apa-apa lagi sebagai akibat kemarau
panjang, dan karena habis dijarahi orang-orang yang juga mencari bahan pangan.
Setelah itu aku berusaha lagi mencari di pasar gelap, dan dari pasar gelap aku
kembali mencari-cari di hutan. Segala-galanya kucoba, berulangkali. Tapi
makanan memang sudah tidak ada lagi.
Sualu hari,
ketika kehamilan Huoy sudah berjalan tujuh bulan, ia merasakan sakit seperti kejang
otot saat menstruasi. Rasa sakit itu menghilang, tapi datang lagi beberapa jam
kemudian. Aku memeriksa keadaannya lagi. Ternyata yang terjadi seperti yang
kukhawatirkan: leher rahim menjadi lunak dan mulai melebar.
"Kontraksi
untuk melahirkan sudah dimulai," kataku kepada Huoy.
Ia memandangku
dengan matanya yang besar dan bulat. la bisa membaca pikiranku, tapi ia diam saja.
Dipalingkannya kepala, menghadap ke dinding. Beberapa saat kemudian kudengar
suaranya berbisik lirih, "Tolong aku, Emak. Lindungilah aku."
Ya, lindungilah
Huoy, kataku dalam hati. Kelahiran prematur. Tidak ada unit gawat darurat, tidak
ada ruang bedah. Tidak ada makanan untuk Huoy dan untuk bayinya nanti. Belum
lagi chhlop yang selalu berkeliaran,
mencari-cari sesuatu yang bisa diadukan.
Berdasarkan
peraturan Khmer Merah yang puritan, kaum lelaki tidak diperbolehkan membantu istrinya
sendiri melahirkan. Jika aku melakukannya, para tetangga pasti akan tahu, dan
itu akan menyebabkan chhlop itu juga
tahu, dan itu berarti tamatlah riwayatku. Atau jika aku melakukan sesuatu yang
bisa menimbulkan kesan bahwa aku sebenarnya dokter, akan berakhirlah riwayatku.
Untungnya di
sebuah desa yang berdekatan letaknya dengan desa kami ada seorang bidan. Namanya
Seng Orn. Aku mengenal dia sejak dari Phnom Penh dulu, ketika ia masih bekerja
sebagai bidan di salah satu rumah sakit di sana. Antara aku dan Seng Orn
terjalin tali persahabatan dan juga sikap saling menghargai.
Jika kelahiran
nanti berjalan dengan normal, aku akan bisa menanganinya dengan mudah, bersama
Seng Orn. Jika terjadi komplikasi, mungkin kami bisa mengatasinya-tapi mungkin
juga tidak. Aku sama sekali tidak punya instrumen bedah, antibiotika, bahan
bius, atau perlengkapan apa pun juga yang harus ada jika harus melakukan pertolongan
dengan jalan pembedahan. Selain itu aku juga sudah lama sekali tidak pernah
lagi melakukan pembedahan obstetri. Selama setahun yang lewat aku bekerja
membuat pupuk, dan sebelum itu tukang membuat rumah, dan sebelum itu petani
sawah dan penggali saluran. Keterampilan sebagai dokter masih ada padaku, tapi kemampuanku
itu sudah berkarat. Tapi masalah yang paling gawat adalah chhlop yang selalu berkeliaran memata-matai itu.
Dalam pikiranku
ada satu kemungkinan terakhir yang bisa saja dicoba jika keadaan sudah benar-benar
mendesak. Kemungkinan itu bukan klinik garis depan untuk budak-budak perang. Juga
bukan rumah sakit daerah di Phnom Penh, yang disediakan untuk para serdadu dan
orang-orang "lama". Hanya satu tempat yang kuanggap bisa membantu,
yaitu rumah sakit pemerintah yang dulu, di kota Battambang. Aku pernah mendengar
bahwa salah seorang dokter yang paling terkemuka di Kamboja mengajar di rumah sakit
itu. la pernah menjadi guru besarku ketika aku masih belajar di sekolah
kedokteran. Kabarnya pihak Khmer Merah mentolerir corak ilmu kedokteran Barat
yang dipraktekkannya. Tapi kusadari bahwa kecil sekali kemungkinannya bahwa ia
benar-benar ada di Battambang, atau bahwa Huoy dan aku akan diizinkan pergi ke sana.
Kontraksi yang
dialami Huoy berlangsung secara tidak teratur dan berjarak lama. Itu biasa terjadi
pada proses his prematur atau his
"palsu", sebelum his yang sebenarnya dimulai. Aku menggenggam tangan
Huoy sementara ia mengalami kontraksi, dan aku memandang berkeliling ruangan dalam
rumah kami. Semuanya begitu primitif. Atap kajang, lantai tanah. Tidak ada air
yang mengalir, begitu pula listrik. Aku rasanya mau berkorban apa saja, asal
bisa berada kembali di Phnom Penh.
Di sela-sela
kontraksi, Huoy meminta agar aku memandikannya. Kubimbing dia ke parit di belakang
rumah, lalu kumandikan dia di situ dengan penuh kasih sayang. Kami masuk lagi
ke rumah. Huoy merebahkan diri di pembaringan, sambii mendekap bantal birunya
yang berisi kapuk. Aku menyalakan api di dapur, lalu memeriksa apakah cukup
banyak kayu bakar dan air di rumah. Siangnya, ketika kontraksi terjadi dengan selang
waktu empat puluh menit, kupanggil seorang wanita tua tetangga kami. Aku minta tolong
kepadanya untuk menjaga Huoy. Setelah itu aku berangkat untuk menjemput Seng
Orn.
Aku lari ke desa
tempat tinggalnya yang terletak di kaki gunung. Seng Orn mengatakan bahwa ia
bersedia datang, tapi sebelumnya harus minta izin dulu. Kami mendatangi kepala
desanya. Kepala desa itu mulanya tidak mau memberi izin. Setelah kami
memohon-mohon dan mendesak sampai lama, akhirnya ia mengizinkan juga. Ketika
kami sampai di Phum Ra, pertama-tama kami harus melapor dulu kepada Paman Phan,
kepala desaku. Yoeung, anak angkatnya yang menjadi chhlop, mengamati kami berdua sewaktu kami pergi lagi, lalu
membuntuti kami ke pekarangan.
Ketika kami tiba
di rumahku, matahari sudah hampir terbenam. Kukeluarkan arlojiku lalu kuhitung selang
waktu antara dua kontraksi. Setengah jam sekali.
Dengan
berhati-hati aku mengintip ke luar lewat pintu. Dalam keremangan senja nampak sosok
tubuh seorang anak lelaki yang berdiri menyandar ke sebatang pohon sambil
merokok. Ia menghadap ke arah kami.
Huoy berharing
di tempat tidur, dengan lampu minyak yang menyala di sisinya dan satu lampu lagi
hasil pinjaman dekat kakinya. Aku mengurut-urut lengan dan kakinya, mengelus
rambutnya, mcnyeka mukanya dengan kain yang dibasahi dengan air.
Saat mengalami
kontraksi, Huoy memandang ke arahku. Setelah itu perhatiannya terarah ke dalam
dirinya. Dengan wajah tergerenyet dicengkeramnya lenganku kuat-kuat, begitu
kuat sampai tulang-tulangku nyaris patah rasanya. Kontraksi-kontraksi itu
memuncak dan kadang-kadang berlanjut sampai dua atau tiga kali, sebelum menyurut
kembali. Akhirnya, ketika rasa sakit sudah berkurang, Huoy melonggarkan
pegangannya. Saat itu ia baru menyadari kecapekannya, lalu tahu bahwa aku duduk
di sampingnya. Wajahnya basah karena keringat, dan aku mengusap rambutnya yang
basah dan tergerai menutupi kening. Aku berusaha membesarkan hatinya.
Pukul sebelas
malam air ketubannya pecah. Itu normal. Seng Orn melaporkan bahwa leher rahim sudah
melebar sampai tiga sentimeter.
Selang waktu
kontraksi berikut menjadi sepuluh menit sekali.
Lalu lima belas
menit.
Ketika jarum
arlojiku sudah bergerak sampai lewat pukul setengah dua belas dan kontraksi berikut
belum juga datang, lalu ketika sudah pukul dua belas kurang seperempat masih
juga belum datang, kami langsung tahu bahwa ada komplikasi. Selang waktu antara
dua kontraksi mestinya semakin singkat, dan bukan menjadi bertambah jarang.
Aku punya sebuah
ampul berisi obat antikejang.
Aku menyedotkan
obat itu ke dalam alat suntikan lalu kusuntikkan sebanyak dua kali ke dalam
tubuh Huoy. Sekali di pantatnya, dan sekali lagi menembus dinding perut dan
masuk ke otot lunak yang terdapat di sisi atas rahim untuk melonggarkan
otot-ototnya dan memudahkan leher rahim melebar, sehingga bayi bisa keluar. Aku
juga punya sebutir pil vitamin, dan itu kuberikan kepada Huoy agar
ketegangannya berkurang, karena mengira aku memberinya obat.
Saat tengah
malam tekanan darahnya sudah menurun sampai ambang terendah yang masih bisa
dibilang normal. Denyut jantungnya semakin melambat.
"Bukaan
leher rahimnya masih tetap tiga senti," kata Seng Orn padaku dengan suara
lirih.
Kukorek-korek
beberapa butir jagung yang masih ada pada bonggolnya lalu kumasak dengan gula
dan kuberikan kepada Huoy agar tenaganya bertambah sedikit.
Kontraksinya
kuat, tapi tidak teratur datangnya. Leher rahimnya seperti leher botol yang menghadap
ke bawah, dan tidak mau melebar. Huoy mengalami rasa sakit seperti orang yang hampir
melahirkan, tapi perkembangan proses kontraksinya tidak berlanjut. Sebagian
dari dirinya berusaha mengeluarkan bayi itu, tapi sebagian lagi berusaha
menahannya di dalam. Ada perang yang sedang berlangsung. dan tubuh Huoy
merupakan kancahnya. Saat kontraksi datang, ia tidak merasakan dorongan untuk
mengejan. Ia mencoba
juga, meski
belum saatnya. la menangis. "Sakit sekali rasanya, "Yang, sakit
sekali," katanya. Aku berdiri di samping kepalanya dan menekan perutnya ke
arah bawah. Aku mencoba membantu memaksakan bayi itu merosot ke bawah,
sementara Seng Orn menangani urusan saluran peranakan. Ia sudah bisa melihat
ubun-ubun bayi itu, tapi ia tidak punya alat penjepit untuk menariknya ke luar.
Alat-alat yang paling sederhana pun tidak ada pada kami waktu itu.
Kuurut-urut lagi
lengan dan kaki Huoy. Tubuhnya basah kuyup karena keringat dan mengejangkan otot-ototnya.
la menangis, juga saat sedang tidak mengalami kontraksi.
Hal yang paling
kutakuti ternyata terjadi.
Seng Orn
mengajakku menjauh sebentar, untuk berembuk.
"Bagaimana
kalau dibedah saja?" bisiknya.
"Tidak
bisa!" desisku. "Di luar ada chhlop.
Anda ingin ikut mati? Kita semua mati nanti! Juga Huoy dan bayinya! Kita sama
sekali tidak punya instrumen! Tidak ada peralatan!"
"Craniotomy?" Seng Orn mengusulkan
pengirisan tulang tengkorak bayi itu.
Aku menarik
napas dalam-dalam sambil menggeleng, lalu menarik napas dalam-dalam sekali lagi.
"Tidak," kataku. "Aku tidak sanggup."
"Aku lapar,
"Yang," kata Huoy dengan suara lemah dari pembaringan. Aku berpaling
lagi kepadanya.
Saat itu pukul
empat dinihari. Aku menyimpan sekaleng beras untuk berjaga-jaga; hanya itulah makanan
kami yang masih tersisa. Aku memasaknya di dapur lalu kusuapkan kepada Huoy.
Tapi hanya sedikit sekali yang bisa dimakannya. la terlalu kesakitan.
Ketika fajar
sudah menyingsing. Hok datang. Meski hubungan antara kami berdua tidak bisa dibilang
akrab, tapi ia masih tetap adikku. Aku percaya padanya. Kami bertekad mencoba
sebisa-bisanya minta izin agar Huoy diperbolehkan diangkut dengan kereta api ke
Battambang.
Kami
berlari-lari mendatangi markas Khmer Merah di Phum Phnom. Kami mendatangi pusat
kegiatan musuh. Dan para kader yang ada di situ menertawakan aku. Aku
bertelanjang kaki. dengan pakaian compang-camping, dan mereka tidak bisa
mengerti kenapa aku dengan sikap yang begitu bingung minta izin untuk melakukan
apa yang boleh dibilang tidak pernah dilakukan oleh budak perang, yaitu naik
kereta api ke Battambang. Mereka menyuruhku menghadap kepala stasiun kereta.
Orang itu mengatakan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk memberi izin. dan
aku disuruhnya kembali ke markas Khmer Merah. Aku lari bolak-balik, makin lama
makin panik sementara jam demi jam berlalu dan duniaku hancur berantakan.
Orang-orang itu tidak bisa mengerti apa sebabnya aku berkeras bahwa istriku
harus menjalani pembedahan cesarean. Mereka
tidak tahu, apa itu bedah cesarean.
Ketika aku
akhirnya tiba lagi di rumah, hari sudah agak siang. Chhlop itu masih saja ada di dekat-dekat situ, dengan sikap
pura-pura tidak tahu apa-apa.
Aku tidak berhasil
mengusahakan apa pun juga. Aku gagal.
Huoy masih
terbaring dengan wajah pucat dan capek. la mendekap bantalnya. Lengan dan tungkainya
kurus sekali. Perutnya masih tetap bulat. Bayinya masih ada di dalam.
"Ke mana
saja kau, sampai begitu lama?" katanya dengan suara lemah. "Dari tadi
kutunggu- tunggu. Kau membawa obat untukku?"
"Tidak,
Sayang," jawabku. "Aku sudah tidak punya obat lagi "
"Kita masih
punya makanan?" tanyanya.
"Kita tidak
punya makanan lagi," kataku. "Tapi kau akan selamat, Sayang. Tunggu
saja sebentar, nanti kau akan kubawa ke Battambang, ke sebuah rumah sakit
besar. Nanti kau akan dioperasi di sana."
"Masih
berapa lama lagi? Aku capek sekarang. Capek sekali."
Kuraih stetoskop
dan alat pengukur tekanan darah. Tekanan darahnya sudah rendah sekali. Denyut
jantungnya sangat lambat dan nyaris tak terasa lagi.
"Kita punya
sesuatu yang bisa dimakan?" kata Huoy dengan suara berbisik, seperti suara
anak kecil.
"Para
tetangga sedang pergi mencari untukmu," kataku.
"Aku butuh
makanan. Aku perlu makan. Aku memerlukan obat. Selamatkan nyawaku, 'Yang. Tolonglah,
selamatkan nyawaku. Aku capek sekali rasanya. Aku ingin sekali makan nasi.
Sesendok saja."
Sebelum
mengembuskan napasnya yang penghabisan, Huoy meminta agar aku menggendongnya. Kuangkat
dia dan kutaruh ke pangkuanku. Aku merangkulnya. la meminta aku menciumnya. Kucium
dia, dan ia menciumku. la menatapku dengan matanya yang besar dan bulat, yang memancarkan
kepiluan hati. la tidak mau meninggalkan aku. "Jaga dirimu baik-baik, 'Yang,"
katanya.
Ruangan rumahku
penuh dengan manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar