Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Senin, 13 Mei 2013

Neraka Kamboja - bab 29 : Menyeberang Lautan



29. MENYEBERANG LAUTAN


MALAM HARI, kalau kami sedang bercakap-cakap di tempat tidur, Huoy sering mengatakan bahwa ia menginginkan anak. Ia ingin sekali menjadi ibu. Tapi di pihak lain ia merasa bahwa itu sebaiknya ditangguhkan dulu sampai rezim Khmer Merah sudah digulingkan, agar anak-anak kami nanti bisa tumbuh dan menjadi besar dalam suatu dunia yang lebih baik, Dan aku selalu sependapat dengan dia, sampai aku dimasukkan ke penjara untuk ketiga kalinya.

Tapi sekembaliku dari penjara waktu itu, aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Hidup ini terlalu berharga, dan bisa begitu cepat berlalu. Kukatakan kepada Huoy bahwa sudah waktunya bagi kami untuk mulai membina keluarga. Ia setuju. Berkat bahan pangan yang kusediakan serta jatah makanan lebih banyak yang kami peroleh dari dapur umum selama musim panen menjelang akhir tahun 1977 benihku bcrhasil tumbuh dalam tubuh Huoy.

Kami mengetahui bahwa ia hamil setelah nampak gejala-gejala pada dirinya, yaitu mulai muntah-muntah. Padanya gejala itu tidak ringan, karena ia bukan hanya suka muntah saat pagi hari, tapi juga sore. Bahkan nasi pun membuatnya merasa mual. Makanan yang tidak dimuntahkan lagi hanya yang rasanya manis. Aku lantas pergi mencari-cari buah pepaya dan nangka. Aku mendatangi orang-orang yang sakit untuk kurawat, dengan imbalan pisang dan tebu. Akhirnya kami menukarkan emas dengan gula aren. Huoy menaburkan gula itu di atas makanannya, dan itu menyebabkan ia tidak memuntahkannya kembali. Tapi ia tidak begitu berselera makan.

Aku tidak bisa berbuat apa-apa tentang serangan rasa mual yang dialami Huoy, selain mencari bahan pangan yang bisa diterima perutnya. Kami hanya bisa menunggu sampai masa itu lewat. Kukeluarkan alat-alat kedokteranku -sebuah stetoskop, alat pengukur tekanan darah, dan sebuah terrmometer - dari tempat penyembunyiannya lalu kuperiksa keadaan Huoy, dengan menggunakan sendok sebagai cermin pemeriksa darurat. Hasil pemeriksaanku baik semua. Selain bobot tubuhnya yang turun sedikit karena suka muntah-muntah itu, ia berada dalam keadaan sehat. Umurnya waktu itu dua puluh tujuh tahun.

Karena keadaan jasmaninya kuat dan umurnya termasuk masih muda, besar kemungkinannya Huoy nanti akan bisa melahirkan bayinya dengan lancar. Ini, dalam bahasa Khmer, diistilahkan sebagai "menyeberang lautan". Kaum wanita Kamboja kebanyakan menganggap melahirkan anak sebagai perjalanan jauh yang berbahaya. Karena itulah lahir istilah "menyeberang lautan". Huoy tidak terlalu cemas tentang proses melahirkan itu sendiri. Aku kan dokter. Ia tahu bahwa aku akan membantunya. Ia lebih banyak memikirkan soal membesarkan anak, jika anak itu sudah lahir nanti.

Huoy sering mengatakan kepadaku bahwa ia berniat membesarkan anak kami agar anak itu patuh kepada agama, mengenal sopan santun, serta menghormati orangtuanya. Jika sekolah-sekolah tidak ada, ia akan mengajari sendiri anak-anaknya. Ia tidak peduli apakah anaknya itu nanti lelaki atau perempuan; yang penting, anak itu sehat. Aku sendiri mendambakan anak perempuan -seorang Huoy cilik, yang nanti jika sudah besar akan ikut membantu menyembuhkan penderitaan yang ada di dunia ini.

Ketika kehamilannya sudah tiga bulan, perut Huoy mulai nampak membesar. Sejak itu ia mengganti celana panjangnya dengan sarung, karena lebih enak rasanya di pinggang. Pada waktu bekerja ia melakukan tugas-tugas ringan di kebun umum. Kalau sudah kembali berada di rumah, ia mengunyah-ngunyah tebu untuk menambah energi, lalu menyirami tanam-tanaman di kebun kami dengan ember penyiram berukuran kecil, agar tidak terlalu memberatkan. Rasa mualnya saat pagi mulai berkurang. Penampilannya nampak berseri-seri. Pcnampilan wanita yang merasa senang bahwa ia hamil.

Tapi musim kemarau tahun 1978 merupakan saat-saat yang sulit di daerah Phnom Tippeday. Dapur umum mulai mengurangi jatah makanan yang dibagi-bagikan. Tidak jauh dari desa ada gudang beras, berupa sebuah bangunan besar berdinding tanah liat dan beratap seng. Letaknya bersebelahan dengan rel kereta api. Tapi beras yang ada di dalamnya tidak diperuntukkan bagi kami. Sekali-sekali nampak pintu-pintu gudang itu dibuka, lalu serdadu-serdadu sibuk mengangkut beras berkarung-karung ke gerbong-gerbong kereta atau ke atas truk-truk. Dan kami, yang menanam padi itu, hanya bisa dengan sedih memandang hasil jerih payah kami diangkut pergi.

Menjelang akhir bulan Maret 1978, pembagian makanan di dapur umum mulai dihapuskan sedikit demi sedikit. Mula-mula aku meningkatkan kegiatanku mencuri bahan pangan sebagai pengganti pembagian yang dikurangi. Aku ditemani seorang anak yang berani, berumur dua belas tahun. Namanya Tha. Ia mencuri agar bisa memperoleh makanan bagi ayahnya yang lumpuh, ibunya yang sedang hamil, dan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Bersama-sama kami pergi mencuri malam-malam, mendatangi kebun umum yang terdapat di lereng gunung, dekat kuil yang sudah rusak. Pada suatu malam, orang-orang yang menjaga kebun itu mendengar kami datang. Mereka melempari kami dengan batu, sambil berteriak-teriak memanggil serdadu-serdadu. Hanya satu siasat saja yang bisa kami lakukan saat itu: aku dan Tha mendaki ke tempat yang lebih tinggi dari para penjaga yang berteriak-teriak itu, lalu melempari mereka dengan batu sambil berteriak- teriak, "Pencuri! Pencuri!" ke arah mereka, sehingga serdadu-serdadu bingung, ke arah mana mereka harus menembak. Sambil berteriak-teriak terus, kami buru-buru memasukkan sayur-sayuran yang sudah kami curi ke dalam kantong yang kami bawa, lalu bergegas menuruni gunung dengan kantong berisi sayur-sayuran di tangan yang satu, sementara tangan yang lain menggenggam parang. Ketika sudah kembali di desa, kami memasak bahan pangan hasil curian kami secara terang-terangan. Tidak ada yang perlu kami sembunyikan, kecuali pencurian yang kami lakukan. Karena dapur umum hanya kadang-kadang saja dibuka, setiap orang memasak makanan mereka sendiri-sendiri. Kekuasaan Angka mulai runtuh di depan mata kami.

Sejak bulan April tahun 1978, dapur umum di Phum Ra ditutup untuk selama-lamanya. Tidak lagi terdengar dentangan lonceng. Tidak ada lagi pengumuman yang dikumandangkan lewat pengeras suara, tidak ada lagi musik yang memekakkan telinga.

Pen Tip termasuk di antara mereka yang paling dulu tidak mau bekerja lagi. Orang itu berwatak plin-plan seperti baling-baling, yang selalu bisa mengendus ke arah mana angin kekuatan politik bertiup. Sikapnya itu kemudian diikuti yang lain-lainnya. Hanya beberapa gelintir orang "lama" yang paling dekat dengan para pemimpin desa, atau yang takut sekali terhadap serdadu-serdadu, terus melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada mereka. Sementara penghuni desa yang selebihnya berkeliaran ke mana-mana untuk mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan.

Pertengahan bulan April, di rumah kami sudah tidak ada persediaan bahan pangan lagi. Kami memakan kangkung, kubis, dan umbi gadung yang kurus-kurus dari kebun kami; setelah itu bunga tanaman labu kuning serta daun keladi. Saat itu jagung belum masak, begitu pula tanam-tanaman kacang dan sayur-sayuran lainnya. Pohon pisang kami juga belum berbuah.

Bebek-bebek peliharaan kami sudah habis semuanya kami makan. Ternak ayam kami diambil dapur umum beberapa ekor, lalu sisanya kuberikan pada seseorang untuk dipelihara di suatu tanpat yang jauh, sehingga tidak terjangkau oleh Angka.

Aku merasa cemas. Makanan besar sekali peranannya bagi kesehatan wanita yang sedang hamil, dan tidak ada yang lebih bisa mengakibatkan kesulitan dalam proses kehamilan ketimbang kekurangan gizi. Itu tidak kukatakan kepada Huoy. Tapi ia sudah tahu sendiri. Ketika sudah hamil empat bulan, ia tidak lagi merasa mual-mual. Tapi hanya sedikit sekali makanan yang ada untuknya. Musim kemarau waktu itu sangat gersang dan panas.

Meski dapur umum sudah ditutup, serdadu-serdadu masih saja menangkapi dan menggiring pergi orang-orang yang ketahuan mencari makanan di luar. Tapi tindakan mereka itu dianggap sepi. Sesudah selama tiga setengah tahun mendengarkan janji-janji saja tentang masa depan Kamboja, akhirnya habislah kesabaran orang-orang "baru", dan bahkan juga orang-orang "lama". Kami pergi mencari-cari makanan secara terang-terangan. Kami semakin sering melakukan pencurian, siang maupun malam. Semua melakukannya. Para penjaga di kebun-kebun umum ikut mencuri sampai tidak tersisa selembar daun pun yang bisa dimakan, dan setelah itu mereka biarkan saja pintu kebun berada dalam keadaan terbuka. Aku dan Tha pergi berkeliaran di sawah untuk mengais butir-butir padi yang tercecer di sana sewaktu panen. Di mana-mana nampak orang-orang yang membungkuk-bungkuk mengamati tanah, memungut butir-butir padi, beringsut-ingsut kian-kemari tanpa tujuan jelas. Hasil pencarianku sepanjang hari di sawah tidak sampai sekaleng penuh. Padi itu kusimpan semuanya, untuk kuberikan kepada Huoy. Tanam-tanaman lainnya yang bisa dimakan- sudah habis semuanya, dipetik orang-orang lain yang juga kelaparan.

************

Huoy dilanda perasaan murung. Penyebabnya bukan hanya kekurangan makan, meski itu merupakan sebab yang paling utama: perut yang dari hari ke hari selalu kosong, padahal waktu itu ia paling membutuhkan makanan. Hal-hal yang menambah kesedihannya, yang menyebabkan kekuatannya semakin susut, adalah peristiwa-perisriwa lain yang merongrong kesehatan mentalnya. Aksi-aksi pembersihan, misalnya. Pembersihan terakhir dilancarkan terhadap "orang-orang Vietnam". Para pemimpin Khmer Merah ternyata memiliki kesamaan dengan rezim Lon Nol-mereka sama-sama mempunyai prasangka rasial terhadap orang-orang Vietnam. Khmer Merah memuruskan bahwa orang-orang Kamboja keturunan Vietnam, dan bahkan orang-orang Kamboja yang bisa berbahasa Vietnam. merupakan penyebab segala masalah yang kami hadapi, dan karenanya perlu dilancarkan tindakan pembersihan terhadap para pengkhianat negara dari jenis ini. Yoeung, chhlop yang pernah mengadukan aku dan Huoy kepada ayah angkatnya, mulai berkeliaran untuk menyelidiki siapa saja di desa kami yang bisa berbahasa Vietnam. Lumayan banyak orang yang kemudian digiring pergi. Huoy menguasai bahasa Vietnam dengan lancar, karena ia dibesarkan dekat perbatasan dengan Vietnam. Chhlop yang berkeliaran itu tidak berhasil mengetahui kenyataan itu, tapi Huoy tetap saja merasa murung karenanya.

Tapi tidak hanya rasa lapar dan aksi-aksi pembersihan itu saja yang menyebabkan ia menjadi murung. Semasa awal kekuasaan Khmer Merah, ada satu yang benar dalam segala pernyataan pihak komunis itu mengenai keunggulan moral mereka: para kader dan serdadu-serdadu Khmer Merah tidak bisa disuap. Tapi kini, bahkan itu pun sudah tidak benar lagi. Dengan menyodorkan emas bisa diperoleh makanan dari dapur umum, meski itu sudah ditutup. Dengan emas bisa diusahakan agar sanak-saudara atau teman-teman dipindahkan dari garis depan. Bonjour, kelemahan akhlak manusia Kamboja yang paling menonjol, kini kambuh lagi.

Aku sampai berjam-jam berusaha melipur hati Huoy.

"Kau harus kuat, Sayang," kataku. "Jangan kaubiarkan dirimu jatuh sakit. Jika kau sakit, nantinya aku juga merasa sakit. Jika ada penyakit apa pun juga di dalam pikiran atau di hatimu, berikanlah penyakit itu kepadaku, tapi singkirkanlah jauh-jauh dari dirimu. Aku ingin kau tetap sehat."

"Ya," kata Huoy, tapi dengan nada lesu.

Ia berbaring di bangku kayu yang panjang di dalam rumah kami yang kecil sambil sibuk mengipasi dirinya sendiri. la nampak capek dan kepanasan. Hamilnya sudah enam bulan.

"Belum pernah kulihat ada pemerintahan macam begini," kata Huoy dengan lesu. Keluhan itu sudah sering diucapkannya. "Sudah banyak buku sejarah yang kubaca, tentang Eropa dan Asia, tapi belum pemah kubaca pemaparan keadaan seperti sekarang ini. Rumah sakit tidak ada. Sistem komunikasi tidak ada. Coba kita ini tinggal di negeri lain yang mana saja, kita pasti bisa mengirim surat kepada sanak kerabat yang tinggal di luar negeri, lalu mereka bisa mengirimi kita uang atau makanan. Tapi kita? Mengirim surat ke luar Kamboja saja tidak bisa. Kita bahkan tidak diizinkan memiliki pensil atau kertas untuk mengirim surat. jika kita memprotes, kita dikatakan CIA, atau KGB, atau mata-mata Vietnam. Tidak ada kemungkinan untuk minta bantuan."

"Kan ada aku," kataku.

"Tapi kau juga lapar," katanya. "Semasa rezim Sihanouk, dan ketika rezim Lon Nol berkuasa, orang yang miskin setidak-tidaknya masih bisa mengemis. Atau pergi ke sawah atau ikutan untuk mencari segala sesuatu yang bisa dimakan. Tapi di sini, apa pun juga tidak ada. Sama sekali tidak ada. Pengemis pun takkan mungkin bisa bertahan hidup."

Aku merasa tidak mampu menjawab, karena kata-katanya itu benar semuanya.

"Perlakuan pemerintah terhadap kita lebih buruk daripada terhadap hewan," kata Huoy dengan suara menggumam. "Tidak ada yang peduli. Jika ada orang tergeletak mati di atas tanggul saluran air, tidak ada yang datang untuk membawa mayatnya pergi. Hanya burung-burung pemakan bangkai saja yang berdatangan. Atau kawanan ajak. Atau kanibal-kanibal. Manusia memakan manusia. Begitulah jadinya kita sekarang."

"Aku juga pernah mendengar cerita-cerita tentang itu," jawabku. "Tapi kurasa itu tidak sering terjadi. Khmer Merah juga tidak menyukai kanibalisme. "

Huoy terus mengipasi dirinya, sambil menatap langit-langit rumah.

"Jika tidak ada makanan, jangan-jangan bayi itu nantinya cacat perkembangan otaknya," katanya kemudian. "Atau cacat tubuhnya."

"Tidak, Sayang," kataku dengan tegas. "Aku kan sudah memeriksamu. Sudah kuteliti detak jantung bayi kita itu. Semuanya baik-baik saja. Bayi itu akan lahir dalam keadaan sehat."

Huoy seakan-akan tidak mendengar kata-kataku itu. Pikirannya menerawang, terarah pada sesuatu yang jauh sekali. "Jika makanan tidak ada, bagaimana aku nanti bisa menghasilkan susu?" bisiknya. "Seberapa lama lagi aku masih bisa bertahan seperti ini? Sudah berapa lama Angka tidak lagi memberi kita makan?"

"Kau tidak usah khawatir," kataku. "Nanti kau dengan sendirinya akan mengeluarkan air susu. Itu akan terjadi secara otomatis. Aku ini kan dokter. Aku tahu pasti, karena ini bidangku."

"Ya, aku juga tahu bahwa air susu itu nanti akan keluar dengan sendirinya," kata Huoy. "Tapi jangan-jangan tidak mencukupi."

Aku juga tidak tahu apa yang harus kukatakan, tentang itu. Huoy memang benar. Jika saat melahirkan bayi nanti ia masih tetap kekurangan gizi seperti sekarang, besat kemungkinannya air susu yang dihasilkannya takkan bisa mencukupi. Tapi sementara ini air susu merupakan masalah yang paling kecil bagi kami. Bahkan keadaannya yang kekurangan gizi itu tidak begitu mencemaskan hatiku, dibandingkan dengan keadaan mentalnya.

Sejak Khmer Merah berhasil merebut kekuasaan di Kamboja, aku senantiasa berbicara pada Huoy, berusaha membesarkan hatinya. Mulanya ia mau percaya, dan itu membuatnya tetap bersemangat. Ia mengatakan mengerti bahwa kami harus sabar menunggu sampai keadaan menjadi lebih baik. Tapi itu sewaktu ibunya belum meninggal. Sesudah itu Huoy tidak pernh lagi bisa pulih seperti semula. Kami dikirim ke garis depan, lalu ayah dan abangku mati, dan aku berulangkali dimasukkan ke penjara. Huoy menjadi putus asa, ketika melihat bahwa keadaan semakin memburuk dari tahun ke tahun. Ia tidak memiliki naluri untuk bangkit dan melawan apabila kemungkinan selamat bagi kami sangat kecil. Baginya, tidak ada gunanya lagi melawan. Kelaparan, kengerian, chhlop, korupsi, energi tubuhnya yang diserap jabang bayi yang ada dalam rahimnya - semuanya itu merongrong daya tahannya.

Bobot tubuhnya yang turun nampak dari pipinya yang kini sudah tidak montok lagi. Selanjutnya dari rahang dan tulang selangkanya yang mulai nampak menonjol. Begitu pula tulang-tulang rusuknya.

Aku pergi berkeliaran saban hari, sepanjang hari, mencari-cari segala sesuatu yang bisa dimakan;

tapi hanya sedikit saja yang berhasil kutemukan. Tidak ada sedikit pun lagi yang tersisa di kebun-kebun umum, baik yang dikelola oleh adikku Hok, maupun di kebun-kebun lainnya. Segala tanaman yang ada sudah dipetik semuanya.

Dengan emas yang selama itu kusimpan di balik pinggang celanaku aku mencoba membeli beras. Tapi tidak ada lagi beras yang bisa dijual, biar dengan harga berapa pun juga. Hanya tepung beras saja yang masih ada. Dengan pembayaran satu damleung emas, aku memperoleh tepung beras sebanyak dua kaleng kecil yang beratnya tidak sampai setengah kilo. Semuanya kuberikan kepada Huoy. Tapi itu belum mencukupi. Aku mendatangi para pekerja kereta api untuk minta tolong. Tapi dengan menyesal mereka mengatakan bahwa mereka tidak diperbolehkan bicara dengan aku, karena adanya aksi-aksi pembersihan.

Aku kembali berusaha mencari-cari apa saja yang bisa dimakan di luar. Tapi di hutan sudah tidak ada apa-apa lagi. Tidak ada rebung bambu, tidak ada sarang semut merah, tokek, kangkung liar, atau tikus sawah. Tidak ada apa-apa lagi sebagai akibat kemarau panjang, dan karena habis dijarahi orang-orang yang juga mencari bahan pangan. Setelah itu aku berusaha lagi mencari di pasar gelap, dan dari pasar gelap aku kembali mencari-cari di hutan. Segala-galanya kucoba, berulangkali. Tapi makanan memang sudah tidak ada lagi.

Sualu hari, ketika kehamilan Huoy sudah berjalan tujuh bulan, ia merasakan sakit seperti kejang otot saat menstruasi. Rasa sakit itu menghilang, tapi datang lagi beberapa jam kemudian. Aku memeriksa keadaannya lagi. Ternyata yang terjadi seperti yang kukhawatirkan: leher rahim menjadi lunak dan mulai melebar.

"Kontraksi untuk melahirkan sudah dimulai," kataku kepada Huoy.

Ia memandangku dengan matanya yang besar dan bulat. la bisa membaca pikiranku, tapi ia diam saja. Dipalingkannya kepala, menghadap ke dinding. Beberapa saat kemudian kudengar suaranya berbisik lirih, "Tolong aku, Emak. Lindungilah aku."

Ya, lindungilah Huoy, kataku dalam hati. Kelahiran prematur. Tidak ada unit gawat darurat, tidak ada ruang bedah. Tidak ada makanan untuk Huoy dan untuk bayinya nanti. Belum lagi chhlop yang selalu berkeliaran, mencari-cari sesuatu yang bisa diadukan.

Berdasarkan peraturan Khmer Merah yang puritan, kaum lelaki tidak diperbolehkan membantu istrinya sendiri melahirkan. Jika aku melakukannya, para tetangga pasti akan tahu, dan itu akan menyebabkan chhlop itu juga tahu, dan itu berarti tamatlah riwayatku. Atau jika aku melakukan sesuatu yang bisa menimbulkan kesan bahwa aku sebenarnya dokter, akan berakhirlah riwayatku.

Untungnya di sebuah desa yang berdekatan letaknya dengan desa kami ada seorang bidan. Namanya Seng Orn. Aku mengenal dia sejak dari Phnom Penh dulu, ketika ia masih bekerja sebagai bidan di salah satu rumah sakit di sana. Antara aku dan Seng Orn terjalin tali persahabatan dan juga sikap saling menghargai.

Jika kelahiran nanti berjalan dengan normal, aku akan bisa menanganinya dengan mudah, bersama Seng Orn. Jika terjadi komplikasi, mungkin kami bisa mengatasinya-tapi mungkin juga tidak. Aku sama sekali tidak punya instrumen bedah, antibiotika, bahan bius, atau perlengkapan apa pun juga yang harus ada jika harus melakukan pertolongan dengan jalan pembedahan. Selain itu aku juga sudah lama sekali tidak pernah lagi melakukan pembedahan obstetri. Selama setahun yang lewat aku bekerja membuat pupuk, dan sebelum itu tukang membuat rumah, dan sebelum itu petani sawah dan penggali saluran. Keterampilan sebagai dokter masih ada padaku, tapi kemampuanku itu sudah berkarat. Tapi masalah yang paling gawat adalah chhlop yang selalu berkeliaran memata-matai itu.

Dalam pikiranku ada satu kemungkinan terakhir yang bisa saja dicoba jika keadaan sudah benar-benar mendesak. Kemungkinan itu bukan klinik garis depan untuk budak-budak perang. Juga bukan rumah sakit daerah di Phnom Penh, yang disediakan untuk para serdadu dan orang-orang "lama". Hanya satu tempat yang kuanggap bisa membantu, yaitu rumah sakit pemerintah yang dulu, di kota Battambang. Aku pernah mendengar bahwa salah seorang dokter yang paling terkemuka di Kamboja mengajar di rumah sakit itu. la pernah menjadi guru besarku ketika aku masih belajar di sekolah kedokteran. Kabarnya pihak Khmer Merah mentolerir corak ilmu kedokteran Barat yang dipraktekkannya. Tapi kusadari bahwa kecil sekali kemungkinannya bahwa ia benar-benar ada di Battambang, atau bahwa Huoy dan aku akan diizinkan pergi ke sana.

Kontraksi yang dialami Huoy berlangsung secara tidak teratur dan berjarak lama. Itu biasa terjadi pada proses his prematur atau his "palsu", sebelum his yang sebenarnya dimulai. Aku menggenggam tangan Huoy sementara ia mengalami kontraksi, dan aku memandang berkeliling ruangan dalam rumah kami. Semuanya begitu primitif. Atap kajang, lantai tanah. Tidak ada air yang mengalir, begitu pula listrik. Aku rasanya mau berkorban apa saja, asal bisa berada kembali di Phnom Penh.

Di sela-sela kontraksi, Huoy meminta agar aku memandikannya. Kubimbing dia ke parit di belakang rumah, lalu kumandikan dia di situ dengan penuh kasih sayang. Kami masuk lagi ke rumah. Huoy merebahkan diri di pembaringan, sambii mendekap bantal birunya yang berisi kapuk. Aku menyalakan api di dapur, lalu memeriksa apakah cukup banyak kayu bakar dan air di rumah. Siangnya, ketika kontraksi terjadi dengan selang waktu empat puluh menit, kupanggil seorang wanita tua tetangga kami. Aku minta tolong kepadanya untuk menjaga Huoy. Setelah itu aku berangkat untuk menjemput Seng Orn.

Aku lari ke desa tempat tinggalnya yang terletak di kaki gunung. Seng Orn mengatakan bahwa ia bersedia datang, tapi sebelumnya harus minta izin dulu. Kami mendatangi kepala desanya. Kepala desa itu mulanya tidak mau memberi izin. Setelah kami memohon-mohon dan mendesak sampai lama, akhirnya ia mengizinkan juga. Ketika kami sampai di Phum Ra, pertama-tama kami harus melapor dulu kepada Paman Phan, kepala desaku. Yoeung, anak angkatnya yang menjadi chhlop, mengamati kami berdua sewaktu kami pergi lagi, lalu membuntuti kami ke pekarangan.

Ketika kami tiba di rumahku, matahari sudah hampir terbenam. Kukeluarkan arlojiku lalu kuhitung selang waktu antara dua kontraksi. Setengah jam sekali.

Dengan berhati-hati aku mengintip ke luar lewat pintu. Dalam keremangan senja nampak sosok tubuh seorang anak lelaki yang berdiri menyandar ke sebatang pohon sambil merokok. Ia menghadap ke arah kami.

Huoy berharing di tempat tidur, dengan lampu minyak yang menyala di sisinya dan satu lampu lagi hasil pinjaman dekat kakinya. Aku mengurut-urut lengan dan kakinya, mengelus rambutnya, mcnyeka mukanya dengan kain yang dibasahi dengan air.

Saat mengalami kontraksi, Huoy memandang ke arahku. Setelah itu perhatiannya terarah ke dalam dirinya. Dengan wajah tergerenyet dicengkeramnya lenganku kuat-kuat, begitu kuat sampai tulang-tulangku nyaris patah rasanya. Kontraksi-kontraksi itu memuncak dan kadang-kadang berlanjut sampai dua atau tiga kali, sebelum menyurut kembali. Akhirnya, ketika rasa sakit sudah berkurang, Huoy melonggarkan pegangannya. Saat itu ia baru menyadari kecapekannya, lalu tahu bahwa aku duduk di sampingnya. Wajahnya basah karena keringat, dan aku mengusap rambutnya yang basah dan tergerai menutupi kening. Aku berusaha membesarkan hatinya.

Pukul sebelas malam air ketubannya pecah. Itu normal. Seng Orn melaporkan bahwa leher rahim sudah melebar sampai tiga sentimeter.

Selang waktu kontraksi berikut menjadi sepuluh menit sekali.

Lalu lima belas menit.

Ketika jarum arlojiku sudah bergerak sampai lewat pukul setengah dua belas dan kontraksi berikut belum juga datang, lalu ketika sudah pukul dua belas kurang seperempat masih juga belum datang, kami langsung tahu bahwa ada komplikasi. Selang waktu antara dua kontraksi mestinya semakin singkat, dan bukan menjadi bertambah jarang.

Aku punya sebuah ampul berisi obat antikejang.

Aku menyedotkan obat itu ke dalam alat suntikan lalu kusuntikkan sebanyak dua kali ke dalam tubuh Huoy. Sekali di pantatnya, dan sekali lagi menembus dinding perut dan masuk ke otot lunak yang terdapat di sisi atas rahim untuk melonggarkan otot-ototnya dan memudahkan leher rahim melebar, sehingga bayi bisa keluar. Aku juga punya sebutir pil vitamin, dan itu kuberikan kepada Huoy agar ketegangannya berkurang, karena mengira aku memberinya obat.

Saat tengah malam tekanan darahnya sudah menurun sampai ambang terendah yang masih bisa dibilang normal. Denyut jantungnya semakin melambat.

"Bukaan leher rahimnya masih tetap tiga senti," kata Seng Orn padaku dengan suara lirih.

Kukorek-korek beberapa butir jagung yang masih ada pada bonggolnya lalu kumasak dengan gula dan kuberikan kepada Huoy agar tenaganya bertambah sedikit.

Kontraksinya kuat, tapi tidak teratur datangnya. Leher rahimnya seperti leher botol yang menghadap ke bawah, dan tidak mau melebar. Huoy mengalami rasa sakit seperti orang yang hampir melahirkan, tapi perkembangan proses kontraksinya tidak berlanjut. Sebagian dari dirinya berusaha mengeluarkan bayi itu, tapi sebagian lagi berusaha menahannya di dalam. Ada perang yang sedang berlangsung. dan tubuh Huoy merupakan kancahnya. Saat kontraksi datang, ia tidak merasakan dorongan untuk mengejan. Ia mencoba
juga, meski belum saatnya. la menangis. "Sakit sekali rasanya, "Yang, sakit sekali," katanya. Aku berdiri di samping kepalanya dan menekan perutnya ke arah bawah. Aku mencoba membantu memaksakan bayi itu merosot ke bawah, sementara Seng Orn menangani urusan saluran peranakan. Ia sudah bisa melihat ubun-ubun bayi itu, tapi ia tidak punya alat penjepit untuk menariknya ke luar. Alat-alat yang paling sederhana pun tidak ada pada kami waktu itu.

Kuurut-urut lagi lengan dan kaki Huoy. Tubuhnya basah kuyup karena keringat dan mengejangkan otot-ototnya. la menangis, juga saat sedang tidak mengalami kontraksi.

Hal yang paling kutakuti ternyata terjadi.

Seng Orn mengajakku menjauh sebentar, untuk berembuk.

"Bagaimana kalau dibedah saja?" bisiknya.

"Tidak bisa!" desisku. "Di luar ada chhlop. Anda ingin ikut mati? Kita semua mati nanti! Juga Huoy dan bayinya! Kita sama sekali tidak punya instrumen! Tidak ada peralatan!"

"Craniotomy?" Seng Orn mengusulkan pengirisan tulang tengkorak bayi itu.

Aku menarik napas dalam-dalam sambil menggeleng, lalu menarik napas dalam-dalam sekali lagi. "Tidak," kataku. "Aku tidak sanggup."

"Aku lapar, "Yang," kata Huoy dengan suara lemah dari pembaringan. Aku berpaling lagi kepadanya.

Saat itu pukul empat dinihari. Aku menyimpan sekaleng beras untuk berjaga-jaga; hanya itulah makanan kami yang masih tersisa. Aku memasaknya di dapur lalu kusuapkan kepada Huoy. Tapi hanya sedikit sekali yang bisa dimakannya. la terlalu kesakitan.

Ketika fajar sudah menyingsing. Hok datang. Meski hubungan antara kami berdua tidak bisa dibilang akrab, tapi ia masih tetap adikku. Aku percaya padanya. Kami bertekad mencoba sebisa-bisanya minta izin agar Huoy diperbolehkan diangkut dengan kereta api ke Battambang.

Kami berlari-lari mendatangi markas Khmer Merah di Phum Phnom. Kami mendatangi pusat kegiatan musuh. Dan para kader yang ada di situ menertawakan aku. Aku bertelanjang kaki. dengan pakaian compang-camping, dan mereka tidak bisa mengerti kenapa aku dengan sikap yang begitu bingung minta izin untuk melakukan apa yang boleh dibilang tidak pernah dilakukan oleh budak perang, yaitu naik kereta api ke Battambang. Mereka menyuruhku menghadap kepala stasiun kereta. Orang itu mengatakan bahwa ia tidak memiliki kewenangan untuk memberi izin. dan aku disuruhnya kembali ke markas Khmer Merah. Aku lari bolak-balik, makin lama makin panik sementara jam demi jam berlalu dan duniaku hancur berantakan. Orang-orang itu tidak bisa mengerti apa sebabnya aku berkeras bahwa istriku harus menjalani pembedahan cesarean. Mereka tidak tahu, apa itu bedah cesarean.

Ketika aku akhirnya tiba lagi di rumah, hari sudah agak siang. Chhlop itu masih saja ada di dekat-dekat situ, dengan sikap pura-pura tidak tahu apa-apa.

Aku tidak berhasil mengusahakan apa pun juga. Aku gagal.

Huoy masih terbaring dengan wajah pucat dan capek. la mendekap bantalnya. Lengan dan tungkainya kurus sekali. Perutnya masih tetap bulat. Bayinya masih ada di dalam.

"Ke mana saja kau, sampai begitu lama?" katanya dengan suara lemah. "Dari tadi kutunggu- tunggu. Kau membawa obat untukku?"

"Tidak, Sayang," jawabku. "Aku sudah tidak punya obat lagi "

"Kita masih punya makanan?" tanyanya.

"Kita tidak punya makanan lagi," kataku. "Tapi kau akan selamat, Sayang. Tunggu saja sebentar, nanti kau akan kubawa ke Battambang, ke sebuah rumah sakit besar. Nanti kau akan dioperasi di sana."

"Masih berapa lama lagi? Aku capek sekarang. Capek sekali."

Kuraih stetoskop dan alat pengukur tekanan darah. Tekanan darahnya sudah rendah sekali. Denyut jantungnya sangat lambat dan nyaris tak terasa lagi.

"Kita punya sesuatu yang bisa dimakan?" kata Huoy dengan suara berbisik, seperti suara anak kecil.

"Para tetangga sedang pergi mencari untukmu," kataku.

"Aku butuh makanan. Aku perlu makan. Aku memerlukan obat. Selamatkan nyawaku, 'Yang. Tolonglah, selamatkan nyawaku. Aku capek sekali rasanya. Aku ingin sekali makan nasi. Sesendok saja."

Sebelum mengembuskan napasnya yang penghabisan, Huoy meminta agar aku menggendongnya. Kuangkat dia dan kutaruh ke pangkuanku. Aku merangkulnya. la meminta aku menciumnya. Kucium dia, dan ia menciumku. la menatapku dengan matanya yang besar dan bulat, yang memancarkan kepiluan hati. la tidak mau meninggalkan aku. "Jaga dirimu baik-baik, 'Yang," katanya.

Ruangan rumahku penuh dengan manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar