30 KEPILUAN
KATA ORANG, aku menjadi gila setelah Huoy menghembuskan
napas yang penghabisan. Mungkin mereka benar. Aku tidak merasa seperti diriku sendiri,
dan ingatanku sama sekali kosong tentang beberapa saat yang panjang sewaktu
itu.
Aku masih tahu
bahwa aku menangis dan menangis terus, sambil memukul-mukulkan kepalan tinju ke
lantai dan membentur-benturkan kepala ke dinding, sementara orang-orang yang ada
di situ berusaha menenangkan diriku.
Aku ingat bahwa
aku berkeras ingin ikut memandikan tubuh Huoy dan mendandaninya untuk
dimakamkan, suatu ritual yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Aku
mengambil salah satu kemeja biruku yang paling disukai Huoy, lalu meletakkannya
langsung di sisi tubuhnya
agar ia tetap
ingat padaku. Kemudian kuambil sehelai baju sutera berwarna hijau pucat serta selembar
gaun sutera dan kupakaikan ke tubuhnya, lalu kutambah dengan baju dan gaun, masing-masing
selembar lagi, agar di surga nanti ia punya baju untuk ganti. Setelah itu
kuselipkan sandal jepitnya ke kaki Huoy; sebenarnya ini tidak cocok dengan
pakaiannya, tapi hanya inilah alas kaki yang masih dimilikinya. Bantal kapuk kesayangan
Huoy kuletakkan di dadanya untuk didekap; rambutnya kuelus-elus sampai rapi; lalu
cincin emas yang biasa dipakainya, kuselipkan ke jarinya. Dan tidak kuberi
kesempatan kepada wanita-wanita tua yang ada di situ, ketika mereka hendak ikut
turun tangan.
Mereka berusaha
mencegahku ikut ke pemakaman karena pikiranku waktu itu sedang tidak waras,
tapi kuikuti adikku Hok ketika ia bersama seorang tetangga lagi mengusung tubuh
Huoy yang diletakkan di atas papan dengan dibungkus selembar seng gelombang
yang diambil dari dinding rumah sebagai pengganti peti jenazah. Kutunjukkan di
mana mereka harus menggali, di bawah pohon sdao besar yang miring di atas bukit
kecil di tengah-tangah sawah. Ketika mereka sudah selesai menggali lubang yang
dalam dan memasukkan tubuh Huoy ke dalamnya, aku berlutut dan berdoa kepada
dewa-dewa sambil menangis, sementara orang-orang yang datang melihat sibuk
berbicara sesama mereka tentang betapa sulitnya bagi wanita untuk menyeberang lautan.
Aku baru ingat
lagi ketika matahari sudah akan terbenam dan aku sudah ada lagi di rumah. Aku sedang
mencukur kepalaku sampai gundul, sementara orang-orang memandang perbuatanku itu
sambil menggeleng-geleng dengan sikap tidak
setuju. Di
Kamboja ada kebiasaan tradisional bahwa wanita yang ditinggal mati oleh
suaminya kemudian mencukur gundul kepalanya sebagai tanda berdukacita dan tanda
hormat kepada suaminya itu. Tidak pernah ada suami yang mencukur gundul
kepalanya untuk menghormati arwah istrinya; tapi aku melakukannya, dan orang-orang
mengatakan padaku bahwa aku sudah sinting, lalu aku berteriak kepada mereka
agar jangan suka mencampuri urusan orang lain.
Aku sendiri
tidak bisa ingat, tapi kata orang selama beberapa hari setelah Huoy dimakamkan,
aku suka datang ke dapur umum dan bertanya kepada para pekerja di situ,
"Mana biniku? Ia seharusnya menunggu aku di sini." Para pekerja dapur
bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan.
Dan apabila
dapur umum membagi-bagikan jatah makanan-kini itu kadang-kadang dilakukan kembali,
setelah tidak ada gunanya lagi-aku mengambil mangkuk berisi nasi bagianku dan membawanya
pulang ke rumah; sesampai di sana aku duduk dekat pintu belakang lalu memandang
matahari yang akan terbenam, tanpa menyentuh makanan yang ada di dalam mangkuk.
Kupandang pohon sdao yang tumbuh miring serta kuil yang sudah rusak di lereng
gunung, sambil berpikir-pikir tentang bagaimana aku tidak mampu menyelamatkan
Huoy.
Seorang dokter
yang memperoleh pendidikan menjadi spesialis bidang kebidanan, tidak mampu menyelamatkan
istrinya sendiri saat ia hendak melahirkan anak.
Ada suatu
prosedur darurat, yakni craniotomy, yang
sebenarnya masih bisa kucoba dan mungkin bisa menyelamatkan Huoy, jika aku
tidak terlambat melakukannya. Tapi saat itu aku tidak punya perlengkapan yang
diperlukan untuk melakukan operasi pengirisan tulang tengkorak. Dan seandainya operasi
itu berhasil, itu berarti bayinya menjadi korban.
Jika bayinya
kukorbankan, ada kemungkinan aku bisa menyelamatkan ibunya. Namun katakanlah aku
berhasil menyelamatkan ibunya, chhlop
itu pasti akan tahu tentang operasi itu, dan sebagai akibatnya kami semua akan
digiring pergi oleh serdadu-serdadu.
Andaikan waktu
itu perlengkapan yang diperlukan ada padaku, aku akan bisa melakukan operasi
cesarean. ltu merupakan operasi yang akan kulakukan, jika aku bisa memilih.
Tapi aku tidak punya perlengkapan itu. Aku tidak punya alat apa pun juga! Ya,
kan? Betul, kan? Tidak mungkin aku bisa menyelamatkannya, selain di ruang
bedah!
Seandainya aku
mencobanya juga, dengan pisau biasa, aku akan bisa mengeluarkan bayinya. Tapi itu
berarti Huoy pasti mati. Tidak ada persediaan darah untuk transfusi, tidak ada
alat-alat bedah, obat antibiotika sama sekali tidak tersedia! Dan Huoy sendiri,
begitu lemah kondisinya waktu itu! Aku benar-benar tidak sanggup melakukannya.
"Ya,
baiklah'" teriakku sekeras-kerasnya. "Aku yang salah! Aku panik! Aku
mengaku salah!"
Terngiang di
telingaku bunyi gema bernada dakwaan, "Aku yang salah! Aku yang salah! Aku
yang salah! Aku yang salah!"
Aku berpikir:
aku tidak boleh menyalahkan diriku seperti ini. Satu-satunya penyebab utama dari
kematian Huoy adalah kekurangan gizi yang merongrong kondisi tubuhnya. Tanpa
makanan, tubuhnya menjadi lemah, dan hormon-hormon yang merangsang
berlangsungnya his dikeluarkan kelenjar-kelenjar tubuhnya pada saat yang
keliru. Tapi sekiranya aku waktu itu menggunakan segala keterampilan yang
kumiliki sebagai dokter spesialis, aku takkan menyalah-nyalahkan diriku sendiri
seperti sckarang ini. Andaikan aku waktu itu mencoba dan ternyata gagal, itu
pun masih lebih baik daripada begini. Meski seandainya aku mencoba dan kemudian
aku ditangkap.
Terngiang
kembali di telingaku kata·kata yang dibisikkan Huoy, seperti pesan yang dibawa angin:
"Ke mana saja kau, sampai begitu lama? Dari tadi kutunggu-tunggu."
Ia menunggu
sampai aku sudah kembali, sebelum ia membiarkan nyawanya melayang. Dan ia bahkan
tidak menyalahkan diriku karena tidak berhasil menyelamatkannya.
Angin
mengantarkan lagi kata-katanya yang penghabisan. berulangkali: "Jaga
dirimu baik- baik, 'Yang."
Huoy merawat
diriku ketika aku sakit. Ia menyelamatkan nyawaku. Tapi ketika tiba giliranku menyelamatkan
nyawanya, aku gagal.
Ketika matahari
sudah terbenam, aku pergi menyusur saluran air, melintasi pematang-pematang sawah,
menuju ke bukit kecil lalu berlutut di kaki makamnya. Kuletakkan mangkuk
makanan yang masih penuh sebagai sajian untuknya, dan kusuruh dia makan duluan;
lalu aku berdoa.
Kupanjatkan doa
kepada dewata. "Lapangkanlah jalannya ke surga. Jika istriku pernah
berbuat salah, kirimkan aku ke neraka untuk menggantikannya. Jika ia pernah
berbuat dosa, aku rela memikul pertanggungjawabannya. Bebaskanlah dia. lzinkan
dia pergi ke surga. Dan izinkan kami bersama-sama lagi dalam hidup kami yang
berikut."
Temaram senja
menyelubungi alam sekitar, hanya warna putih kuil yang sudah rusak di atas gunung
saja yang masih kelihatan. "Huoy, jika aku bisa tetap selamat, aku akan
pergi meninggalkan Kamboja. Aku harus ke luar, tapi suatu hari nanti aku akan
kembali mendatangimu. Akan kuadakan upacara yang sepatutnya untukmu, dengan
dihadiri bhiksu-bhiksu yang banyak, dan aku akan membangun stupa untukmu di
sebelah kuil itu dan akan kumasukkan sisa-sisa jasadmu di dalamnya, untuk
menghormati arwahmu.
"Aku
memohon pengampunanmu. Jika aku pernah melakukan kesalahan, janganlah marah padaku,
Sayang. Kita akan bersama-sama lagi dalam hidup kita yang akan datang.
Kehidupan yang akan datang nanti takkan singkat seperti yang sekarang ini. Kita
akan hidup lama sekali bersama-sama, dan kita akan menjadi suami-istri yang
berbahagia sampai tua."
Aku berdoa
kepada arwah anak kami yang mati sebelum lahir, kepada anak lelaki atau
perempuan yang begitu kami dambakan. "Kau tidak bernasib baik dalam hidup
yang ini, karena kau tidak pernah sempat menatap wajah ibumu. Kau tidak pernah
sempat meneguk air susu ibumu. Tapi kau mujur, tidak melihat penderitaan yang
ada. Kau mujur, karena kini kau bisa melihat ibumu. Dalam hidup yang berikut,
ada kemungkinan bahwa kita semua bisa bersama-sama lagi. Dalam hidup yang akan
datang takkan ada begitu banyak penderitaan, dan kau akan tumbuh menjadi sehat
dan kuat."
Kepada arwah
Emak, ibu Huoy, aku memanjatkan doa, "Emak, hiduplah di surga bersama Huoy
dan anaknya. Jagalah mereka, dan biarlah mereka menjaga Emak. Dan jagalah
diriku. Aku rindu padamu, Emak."
Aku berdoa
kepada arwah ayahku, dan kepada arwah ibuku, lalu kepada Huoy lagi. Kumakan nasi
yang ada di mangkuk, dan sebelum pergi aku berkata, "Sayang, aku pulang
sekarang. Aku akan datang lagi besok."
Orang-orang yang
melihat aku datang ke makam setiap sore dengan membawa makanan mengatakan bahwa
aku sudah gila. Aku tidak mengatakan bahwa mereka tidak benar; aku hanya
mengatakan, mereka tidak ikut merasakan apa yang pernah kualami. Tidak ada
pasangan suami-istri lain yang begitu akrab sesama mereka, dibandingkan dengan
aku dan Huoy. Suatu malam, ketika aku sudah pulang setelah berdoa di makam dan
sudah hendak tidur, tiba-tiba aku terbangun karena mendengar pintu diketuk.
Kudengar suara Huoy memanggil-manggil namaku. Aku membuka pintu dan kulihat
Huoy berdiri di luar, berpakaian serba putih dan dengan kerudung putih.
"Sering-seringlah
datang menjengukku," katanya.
Setelah itu ia
berpaling, lalu berjalan pergi menyusur saluran air. Di luar masih gelap, tapi aku
bisa melihatnya. Aku berseru memanggilnya, meminta agar ia menunggu; tapi meski
aku dengan segera menyusul dan ia berjalan dengan lambat sekali, aku tetap saja
tidak bisa mengejar. Sementara ia terus berjalan, ujung kerudungnya yang
panjang bergerak melambai-lambai di udara, naik-turun dengan lembut seperti
sayap yang mengangkat tubuhnya dan menggerakkannya maju. Aku berlari mengejar,
tapi Huoy sudah menghilang.
**********
Huoy meninggal
dunia tanggal 2 Juni tahun 1978. Tidak lama sesudah itu mulai nampak tanda-tanda
jelas bahwa rezim yang berkuasa mulai berantakan.
Bulan Juni itu
juga dilancarkan aksi pembersihan terhadap para kepala desa-desa di dekat kami.
Tempat mereka diisi dengan orang-orang Khmer Merah yang berasal dari kawasan
timur Kamboja. Paman Phan, kepala desa Phum Ra, sudah sempat melarikan diri
sebelum nasib serupa menimpa dirinya. Sejak itu kami tidak pemah melihatnya lagi.
Kedudukan istrinya diturunkan menjadi pekerja biasa. Kemudian ia digiring pergi
masuk hutan oleh serdadu-serdadu, setelah diadukan oleh Pen Tip.
Menjelang akhir
Juni, ketika dapur umum dibuka lagi untuk satu hari, aku muncul ke sana untuk
makan. Saat itu kulihat Chev dan Paman Seng duduk berdua saja di salah satu
meja. Chev, yang dulunya selalu tersenyum, kini nampak sekali berubah sikapnya,
menjadi kuyu. Paman Seng sama saja. Mereka pun sudah digantikan oleh orang-orang
yang didatangkan dari kawasan timur Kamboja, sementara mereka sendiri
ditugaskan menjadi pekerja di garis depan. Itu merupakan kemerosotan kedudukan
yang tidak sedikit bagi Chev, yang dulunya kepala koperasi tempatku menjadi
anggota; orang yang pernah dua kali mengirim aku ke penjara, dari yang
memerintahkan pembunuhan terhadap ayah dan abangku.
Kepala desa kami
yang baru bernama Mao. Serupa dengan Chev, orang itu juga selalu saja tersenyum;
ia berbahaya, dan berwatak culas. "Kawan Chev dan Kawan Seng," kata
Mao kepada kedua orang itu dengan suara lembut,
"tunggulah
sebentar di sini. Kami ingin kalian berdua menghadiri rapat yang akan
diadakan."
Dari air muka
mereka yang nampak ketakutan, rupanya Chev dan Seng tahu dengan siapa mereka nanti
akan bertemu. Serdadu-serdadu mengawasi setiap gerak-gerik mereka, dan tidak
ada kemungkinan bagi mereka untuk bisa melarikan diri.
Keesokan harinya
dapur umum ditutup kembali, dan aku berkeliaran sampai jauh dari desa, mencari-cari
apa saja yang bisa dimakan. Aku disertai Tha, kawan seiringku dalam mencuri
yang berumur dua belas tahun.
Kami sedang
berjalan di persawahan yang kering tanahmya ketika seorang serdadu melihat
kami dan
berteriak menyuruh kami berhenti. Ia menanyakan apa yang sedang kami lakukan,
dan aku menjawab bahwa kami sedang mencari sesuatu yang bisa dimakan.
"Kalian harus lewat situ," kata serdadu itu sambil menunjuk ke sebuah
jalan setapak yang menembus hutan. Tangannya yang satu lagi menggenggam pisau
yang panjang dan melengkung.
Aku dan Tha menyusuri
jalan setapak itu, sambil bertanya-tanya dalam hati kenapa kami disuruh lewat
situ. Tiba-tiba kami menemukan jawabannya. Di depan kami, di suatu tempat terbuka,
ada lubang berisi sekam yang membara.
Chev tergancung
di atas lubang itu, dengan pergelangan tangan terikat ke dahan sebuah pohon
yang ada di atasnya. Tubuhnya penuh sekam sampai sebaras dada, tapi kami masih
bisa
melihat
bekas-bekas tusukan dan bacokan pisau di situ.
Kami berhenti
melangkah. Chev masih hidup. Ia mengerang, memalingkan muka dan menatap mataku.
la mengenali diriku. Kubalas tatapan matanya selama beberapa saat, tanpa
mengatakan apa-apa. Aku hanya berkata dalam hati: Chev. kini kau akan mati,
tapi aku masih bisa bertahan hidup. Kemudian Tha mengajakku meneruskan langkah
dan aku memalingkan diri dari Chev,
meninggalkannya
menunggu kedatangan Raja Maut.
Kami tidak
berjumpa dengan Paman Seng, tapi kami tahu bahwa nasibnya pasti sama dengan Chev.
la dihukum karena merupakan bagian dari rezim yang gagal.
Itu sudah kama mereka. Manusia tidak selalu bisa
melakukan pembalasan, tapi dewa-dewa pasti bisa. Dewa-dewa mengenal keadilan.
Mereka menghukum Chev karena melakukan pembunuhan, dan Paman Seng dihukum
karena tidak mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan itu. Dan dewa-dewa
menyuruh aku berjalan melalui jalan setapak yang menembus hutan, untuk menjadi
saksi.
Nah, Pen Tip.
kataku dalam hati, kau sudah sebisa-bisamu bersiasat agar aku mati terbunuh. Tapi
kapan-kapan kama pasti akan
memberikan ganjaran setimpal padamu. Sebab kebajikan akan datang kepada mereka
yang melakukan kebajikan, dan nasib buruk akan menimpa orang-orang yang berbuat
jahat.
Aku dan Tha
kembali menuju ke sawah. Nampak di sana orang-orang yang berkeliaran di mana-mana,
terbungkuk-bungkuk memunguti butir-butir padi. Kami menggabungkan diri dengan mereka,
menyelisik tanah gersang yang coklat kemerahan.
*********
Suatu hari
ketika aku pulang dari mencari makanan, kutemukan isi rumahku berantakan. Rupanya
ada yang menggeledah. Aku tahu siapa pelakunya. Pasti bini Mao, yang berwatak
jahat dan tamak. Pasti ia mencari perhiasan Huoy. Kudatangi rumah Mao.
Alat-alat kedokteranku dan surat-surat keterangan Huoy, begitu pula beberapa
lembar kertasku kulihat terletak di atas meja, Mao bertanya, benarkah aku ini dokter.
Tidak; jawabku, Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mengatakan begitu, Mungkin
karena kebiasaan, tapi bisa juga karena bagiku sendiri aku sudah bukan dokter
lagi, Aku sempat berpikir: mungkin lebih baik jika aku tadi mengiakan saja,
biar aku dibunuhnya.
Tidak satu pun
surat keterangan tentang diriku yang ditemukannya itu menyatakan bahwa aku dokter.
la juga tidak menemukan sesuatu yang berharga di antara barang-barang
peninggalan Huoy, Hanya beberapa potong pakaian, surat tanda lahir,
ijazah-ijazah, serta kertas-kertas dokumen yang lain, Ketika pikiranku sudah
jernih kembali aku melihat apa yang kuinginkan, yaitu kartu identitas Huoy
ketika ia masih menjadi guru. Kartu identitas itu berukuran besar dan dilipat
dua. Di salah satu sudutnya terpasang foto Huoy berukuran kecil dan hanya hitam
putih wamanya. Foto itu dibuat tahun 1973, ketika rambutnya masih pendek.
"Boleh
kauambil semuanya yang ada di sini," kataku kepada Mao. "Aku tidak
keberatan. Tapi berikanlah padaku foto biniku itu."
Mao memandang kartu
identitas yang tergelar di atas meja. Ukurannya sama dengan lembaran buku
catatan, tapi dengan dua lipatan tegak lurus. Foto Huoy terpasang di salah satu
sudut bagian luar"
Mao memungut
tanda bukti masa silam Huoy ltu, merobeknya mengikuti lipatan, lalu menyerahkan
foto itu kepadaku. Seakan-akan yang selebihnya perlu disimpannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar