Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Selasa, 14 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 30 : Kepiluan



 30 KEPILUAN

KATA ORANG, aku menjadi gila setelah Huoy menghembuskan napas yang penghabisan. Mungkin mereka benar. Aku tidak merasa seperti diriku sendiri, dan ingatanku sama sekali kosong tentang beberapa saat yang panjang sewaktu itu.

Aku masih tahu bahwa aku menangis dan menangis terus, sambil memukul-mukulkan kepalan tinju ke lantai dan membentur-benturkan kepala ke dinding, sementara orang-orang yang ada di situ berusaha menenangkan diriku.

Aku ingat bahwa aku berkeras ingin ikut memandikan tubuh Huoy dan mendandaninya untuk dimakamkan, suatu ritual yang biasanya dilakukan oleh kaum wanita. Aku mengambil salah satu kemeja biruku yang paling disukai Huoy, lalu meletakkannya langsung di sisi tubuhnya

agar ia tetap ingat padaku. Kemudian kuambil sehelai baju sutera berwarna hijau pucat serta selembar gaun sutera dan kupakaikan ke tubuhnya, lalu kutambah dengan baju dan gaun, masing-masing selembar lagi, agar di surga nanti ia punya baju untuk ganti. Setelah itu kuselipkan sandal jepitnya ke kaki Huoy; sebenarnya ini tidak cocok dengan pakaiannya, tapi hanya inilah alas kaki yang masih dimilikinya. Bantal kapuk kesayangan Huoy kuletakkan di dadanya untuk didekap; rambutnya kuelus-elus sampai rapi; lalu cincin emas yang biasa dipakainya, kuselipkan ke jarinya. Dan tidak kuberi kesempatan kepada wanita-wanita tua yang ada di situ, ketika mereka hendak ikut turun tangan.

Mereka berusaha mencegahku ikut ke pemakaman karena pikiranku waktu itu sedang tidak waras, tapi kuikuti adikku Hok ketika ia bersama seorang tetangga lagi mengusung tubuh Huoy yang diletakkan di atas papan dengan dibungkus selembar seng gelombang yang diambil dari dinding rumah sebagai pengganti peti jenazah. Kutunjukkan di mana mereka harus menggali, di bawah pohon sdao besar yang miring di atas bukit kecil di tengah-tangah sawah. Ketika mereka sudah selesai menggali lubang yang dalam dan memasukkan tubuh Huoy ke dalamnya, aku berlutut dan berdoa kepada dewa-dewa sambil menangis, sementara orang-orang yang datang melihat sibuk berbicara sesama mereka tentang betapa sulitnya bagi wanita untuk menyeberang lautan.

Aku baru ingat lagi ketika matahari sudah akan terbenam dan aku sudah ada lagi di rumah. Aku sedang mencukur kepalaku sampai gundul, sementara orang-orang memandang perbuatanku itu sambil menggeleng-geleng dengan sikap tidak

setuju. Di Kamboja ada kebiasaan tradisional bahwa wanita yang ditinggal mati oleh suaminya kemudian mencukur gundul kepalanya sebagai tanda berdukacita dan tanda hormat kepada suaminya itu. Tidak pernah ada suami yang mencukur gundul kepalanya untuk menghormati arwah istrinya; tapi aku melakukannya, dan orang-orang mengatakan padaku bahwa aku sudah sinting, lalu aku berteriak kepada mereka agar jangan suka mencampuri urusan orang lain.

Aku sendiri tidak bisa ingat, tapi kata orang selama beberapa hari setelah Huoy dimakamkan, aku suka datang ke dapur umum dan bertanya kepada para pekerja di situ, "Mana biniku? Ia seharusnya menunggu aku di sini." Para pekerja dapur bingung, tidak tahu apa yang harus dikatakan.

Dan apabila dapur umum membagi-bagikan jatah makanan-kini itu kadang-kadang dilakukan kembali, setelah tidak ada gunanya lagi-aku mengambil mangkuk berisi nasi bagianku dan membawanya pulang ke rumah; sesampai di sana aku duduk dekat pintu belakang lalu memandang matahari yang akan terbenam, tanpa menyentuh makanan yang ada di dalam mangkuk. Kupandang pohon sdao yang tumbuh miring serta kuil yang sudah rusak di lereng gunung, sambil berpikir-pikir tentang bagaimana aku tidak mampu menyelamatkan Huoy.

Seorang dokter yang memperoleh pendidikan menjadi spesialis bidang kebidanan, tidak mampu menyelamatkan istrinya sendiri saat ia hendak melahirkan anak.

Ada suatu prosedur darurat, yakni craniotomy, yang sebenarnya masih bisa kucoba dan mungkin bisa menyelamatkan Huoy, jika aku tidak terlambat melakukannya. Tapi saat itu aku tidak punya perlengkapan yang diperlukan untuk melakukan operasi pengirisan tulang tengkorak. Dan seandainya operasi itu berhasil, itu berarti bayinya menjadi korban.

Jika bayinya kukorbankan, ada kemungkinan aku bisa menyelamatkan ibunya. Namun katakanlah aku berhasil menyelamatkan ibunya, chhlop itu pasti akan tahu tentang operasi itu, dan sebagai akibatnya kami semua akan digiring pergi oleh serdadu-serdadu.

Andaikan waktu itu perlengkapan yang diperlukan ada padaku, aku akan bisa melakukan operasi cesarean. ltu merupakan operasi yang akan kulakukan, jika aku bisa memilih. Tapi aku tidak punya perlengkapan itu. Aku tidak punya alat apa pun juga! Ya, kan? Betul, kan? Tidak mungkin aku bisa menyelamatkannya, selain di ruang bedah!

Seandainya aku mencobanya juga, dengan pisau biasa, aku akan bisa mengeluarkan bayinya. Tapi itu berarti Huoy pasti mati. Tidak ada persediaan darah untuk transfusi, tidak ada alat-alat bedah, obat antibiotika sama sekali tidak tersedia! Dan Huoy sendiri, begitu lemah kondisinya waktu itu! Aku benar-benar tidak sanggup melakukannya.

"Ya, baiklah'" teriakku sekeras-kerasnya. "Aku yang salah! Aku panik! Aku mengaku salah!"

Terngiang di telingaku bunyi gema bernada dakwaan, "Aku yang salah! Aku yang salah! Aku yang salah! Aku yang salah!"

Aku berpikir: aku tidak boleh menyalahkan diriku seperti ini. Satu-satunya penyebab utama dari kematian Huoy adalah kekurangan gizi yang merongrong kondisi tubuhnya. Tanpa makanan, tubuhnya menjadi lemah, dan hormon-hormon yang merangsang berlangsungnya his dikeluarkan kelenjar-kelenjar tubuhnya pada saat yang keliru. Tapi sekiranya aku waktu itu menggunakan segala keterampilan yang kumiliki sebagai dokter spesialis, aku takkan menyalah-nyalahkan diriku sendiri seperti sckarang ini. Andaikan aku waktu itu mencoba dan ternyata gagal, itu pun masih lebih baik daripada begini. Meski seandainya aku mencoba dan kemudian aku ditangkap.

Terngiang kembali di telingaku kata·kata yang dibisikkan Huoy, seperti pesan yang dibawa angin: "Ke mana saja kau, sampai begitu lama? Dari tadi kutunggu-tunggu."

Ia menunggu sampai aku sudah kembali, sebelum ia membiarkan nyawanya melayang. Dan ia bahkan tidak menyalahkan diriku karena tidak berhasil menyelamatkannya.

Angin mengantarkan lagi kata-katanya yang penghabisan. berulangkali: "Jaga dirimu baik- baik, 'Yang."

Huoy merawat diriku ketika aku sakit. Ia menyelamatkan nyawaku. Tapi ketika tiba giliranku menyelamatkan nyawanya, aku gagal.

Ketika matahari sudah terbenam, aku pergi menyusur saluran air, melintasi pematang-pematang sawah, menuju ke bukit kecil lalu berlutut di kaki makamnya. Kuletakkan mangkuk makanan yang masih penuh sebagai sajian untuknya, dan kusuruh dia makan duluan; lalu aku berdoa.

Kupanjatkan doa kepada dewata. "Lapangkanlah jalannya ke surga. Jika istriku pernah berbuat salah, kirimkan aku ke neraka untuk menggantikannya. Jika ia pernah berbuat dosa, aku rela memikul pertanggungjawabannya. Bebaskanlah dia. lzinkan dia pergi ke surga. Dan izinkan kami bersama-sama lagi dalam hidup kami yang berikut."

Temaram senja menyelubungi alam sekitar, hanya warna putih kuil yang sudah rusak di atas gunung saja yang masih kelihatan. "Huoy, jika aku bisa tetap selamat, aku akan pergi meninggalkan Kamboja. Aku harus ke luar, tapi suatu hari nanti aku akan kembali mendatangimu. Akan kuadakan upacara yang sepatutnya untukmu, dengan dihadiri bhiksu-bhiksu yang banyak, dan aku akan membangun stupa untukmu di sebelah kuil itu dan akan kumasukkan sisa-sisa jasadmu di dalamnya, untuk menghormati arwahmu.

"Aku memohon pengampunanmu. Jika aku pernah melakukan kesalahan, janganlah marah padaku, Sayang. Kita akan bersama-sama lagi dalam hidup kita yang akan datang. Kehidupan yang akan datang nanti takkan singkat seperti yang sekarang ini. Kita akan hidup lama sekali bersama-sama, dan kita akan menjadi suami-istri yang berbahagia sampai tua."

Aku berdoa kepada arwah anak kami yang mati sebelum lahir, kepada anak lelaki atau perempuan yang begitu kami dambakan. "Kau tidak bernasib baik dalam hidup yang ini, karena kau tidak pernah sempat menatap wajah ibumu. Kau tidak pernah sempat meneguk air susu ibumu. Tapi kau mujur, tidak melihat penderitaan yang ada. Kau mujur, karena kini kau bisa melihat ibumu. Dalam hidup yang berikut, ada kemungkinan bahwa kita semua bisa bersama-sama lagi. Dalam hidup yang akan datang takkan ada begitu banyak penderitaan, dan kau akan tumbuh menjadi sehat dan kuat."

Kepada arwah Emak, ibu Huoy, aku memanjatkan doa, "Emak, hiduplah di surga bersama Huoy dan anaknya. Jagalah mereka, dan biarlah mereka menjaga Emak. Dan jagalah diriku. Aku rindu padamu, Emak."

Aku berdoa kepada arwah ayahku, dan kepada arwah ibuku, lalu kepada Huoy lagi. Kumakan nasi yang ada di mangkuk, dan sebelum pergi aku berkata, "Sayang, aku pulang sekarang. Aku akan datang lagi besok."

Orang-orang yang melihat aku datang ke makam setiap sore dengan membawa makanan mengatakan bahwa aku sudah gila. Aku tidak mengatakan bahwa mereka tidak benar; aku hanya mengatakan, mereka tidak ikut merasakan apa yang pernah kualami. Tidak ada pasangan suami-istri lain yang begitu akrab sesama mereka, dibandingkan dengan aku dan Huoy. Suatu malam, ketika aku sudah pulang setelah berdoa di makam dan sudah hendak tidur, tiba-tiba aku terbangun karena mendengar pintu diketuk. Kudengar suara Huoy memanggil-manggil namaku. Aku membuka pintu dan kulihat Huoy berdiri di luar, berpakaian serba putih dan dengan kerudung putih.

"Sering-seringlah datang menjengukku," katanya.

Setelah itu ia berpaling, lalu berjalan pergi menyusur saluran air. Di luar masih gelap, tapi aku bisa melihatnya. Aku berseru memanggilnya, meminta agar ia menunggu; tapi meski aku dengan segera menyusul dan ia berjalan dengan lambat sekali, aku tetap saja tidak bisa mengejar. Sementara ia terus berjalan, ujung kerudungnya yang panjang bergerak melambai-lambai di udara, naik-turun dengan lembut seperti sayap yang mengangkat tubuhnya dan menggerakkannya maju. Aku berlari mengejar, tapi Huoy sudah menghilang.

**********

Huoy meninggal dunia tanggal 2 Juni tahun 1978. Tidak lama sesudah itu mulai nampak tanda-tanda jelas bahwa rezim yang berkuasa mulai berantakan.

Bulan Juni itu juga dilancarkan aksi pembersihan terhadap para kepala desa-desa di dekat kami. Tempat mereka diisi dengan orang-orang Khmer Merah yang berasal dari kawasan timur Kamboja. Paman Phan, kepala desa Phum Ra, sudah sempat melarikan diri sebelum nasib serupa menimpa dirinya. Sejak itu kami tidak pemah melihatnya lagi. Kedudukan istrinya diturunkan menjadi pekerja biasa. Kemudian ia digiring pergi masuk hutan oleh serdadu-serdadu, setelah diadukan oleh Pen Tip.

Menjelang akhir Juni, ketika dapur umum dibuka lagi untuk satu hari, aku muncul ke sana untuk makan. Saat itu kulihat Chev dan Paman Seng duduk berdua saja di salah satu meja. Chev, yang dulunya selalu tersenyum, kini nampak sekali berubah sikapnya, menjadi kuyu. Paman Seng sama saja. Mereka pun sudah digantikan oleh orang-orang yang didatangkan dari kawasan timur Kamboja, sementara mereka sendiri ditugaskan menjadi pekerja di garis depan. Itu merupakan kemerosotan kedudukan yang tidak sedikit bagi Chev, yang dulunya kepala koperasi tempatku menjadi anggota; orang yang pernah dua kali mengirim aku ke penjara, dari yang memerintahkan pembunuhan terhadap ayah dan abangku.

Kepala desa kami yang baru bernama Mao. Serupa dengan Chev, orang itu juga selalu saja tersenyum; ia berbahaya, dan berwatak culas. "Kawan Chev dan Kawan Seng," kata Mao kepada kedua orang itu dengan suara lembut,

"tunggulah sebentar di sini. Kami ingin kalian berdua menghadiri rapat yang akan diadakan."

Dari air muka mereka yang nampak ketakutan, rupanya Chev dan Seng tahu dengan siapa mereka nanti akan bertemu. Serdadu-serdadu mengawasi setiap gerak-gerik mereka, dan tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk bisa melarikan diri.

Keesokan harinya dapur umum ditutup kembali, dan aku berkeliaran sampai jauh dari desa, mencari-cari apa saja yang bisa dimakan. Aku disertai Tha, kawan seiringku dalam mencuri yang berumur dua belas tahun.

Kami sedang berjalan di persawahan yang kering tanahmya ketika seorang serdadu melihat

kami dan berteriak menyuruh kami berhenti. Ia menanyakan apa yang sedang kami lakukan, dan aku menjawab bahwa kami sedang mencari sesuatu yang bisa dimakan. "Kalian harus lewat situ," kata serdadu itu sambil menunjuk ke sebuah jalan setapak yang menembus hutan. Tangannya yang satu lagi menggenggam pisau yang panjang dan melengkung.

Aku dan Tha menyusuri jalan setapak itu, sambil bertanya-tanya dalam hati kenapa kami disuruh lewat situ. Tiba-tiba kami menemukan jawabannya. Di depan kami, di suatu tempat terbuka, ada lubang berisi sekam yang membara.

Chev tergancung di atas lubang itu, dengan pergelangan tangan terikat ke dahan sebuah pohon yang ada di atasnya. Tubuhnya penuh sekam sampai sebaras dada, tapi kami masih bisa

melihat bekas-bekas tusukan dan bacokan pisau di situ.

Kami berhenti melangkah. Chev masih hidup. Ia mengerang, memalingkan muka dan menatap mataku. la mengenali diriku. Kubalas tatapan matanya selama beberapa saat, tanpa mengatakan apa-apa. Aku hanya berkata dalam hati: Chev. kini kau akan mati, tapi aku masih bisa bertahan hidup. Kemudian Tha mengajakku meneruskan langkah dan aku memalingkan diri dari Chev,

meninggalkannya menunggu kedatangan Raja Maut.

Kami tidak berjumpa dengan Paman Seng, tapi kami tahu bahwa nasibnya pasti sama dengan Chev. la dihukum karena merupakan bagian dari rezim yang gagal.

Itu sudah kama mereka. Manusia tidak selalu bisa melakukan pembalasan, tapi dewa-dewa pasti bisa. Dewa-dewa mengenal keadilan. Mereka menghukum Chev karena melakukan pembunuhan, dan Paman Seng dihukum karena tidak mencegah terjadinya pembunuhan-pembunuhan itu. Dan dewa-dewa menyuruh aku berjalan melalui jalan setapak yang menembus hutan, untuk menjadi saksi.

Nah, Pen Tip. kataku dalam hati, kau sudah sebisa-bisamu bersiasat agar aku mati terbunuh. Tapi kapan-kapan kama pasti akan memberikan ganjaran setimpal padamu. Sebab kebajikan akan datang kepada mereka yang melakukan kebajikan, dan nasib buruk akan menimpa orang-orang yang berbuat jahat.

Aku dan Tha kembali menuju ke sawah. Nampak di sana orang-orang yang berkeliaran di mana-mana, terbungkuk-bungkuk memunguti butir-butir padi. Kami menggabungkan diri dengan mereka, menyelisik tanah gersang yang coklat kemerahan.

*********

Suatu hari ketika aku pulang dari mencari makanan, kutemukan isi rumahku berantakan. Rupanya ada yang menggeledah. Aku tahu siapa pelakunya. Pasti bini Mao, yang berwatak jahat dan tamak. Pasti ia mencari perhiasan Huoy. Kudatangi rumah Mao. Alat-alat kedokteranku dan surat-surat keterangan Huoy, begitu pula beberapa lembar kertasku kulihat terletak di atas meja, Mao bertanya, benarkah aku ini dokter. Tidak; jawabku, Aku sendiri tidak tahu kenapa aku mengatakan begitu, Mungkin karena kebiasaan, tapi bisa juga karena bagiku sendiri aku sudah bukan dokter lagi, Aku sempat berpikir: mungkin lebih baik jika aku tadi mengiakan saja, biar aku dibunuhnya.

Tidak satu pun surat keterangan tentang diriku yang ditemukannya itu menyatakan bahwa aku dokter. la juga tidak menemukan sesuatu yang berharga di antara barang-barang peninggalan Huoy, Hanya beberapa potong pakaian, surat tanda lahir, ijazah-ijazah, serta kertas-kertas dokumen yang lain, Ketika pikiranku sudah jernih kembali aku melihat apa yang kuinginkan, yaitu kartu identitas Huoy ketika ia masih menjadi guru. Kartu identitas itu berukuran besar dan dilipat dua. Di salah satu sudutnya terpasang foto Huoy berukuran kecil dan hanya hitam putih wamanya. Foto itu dibuat tahun 1973, ketika rambutnya masih pendek.

"Boleh kauambil semuanya yang ada di sini," kataku kepada Mao. "Aku tidak keberatan. Tapi berikanlah padaku foto biniku itu."

Mao memandang kartu identitas yang tergelar di atas meja. Ukurannya sama dengan lembaran buku catatan, tapi dengan dua lipatan tegak lurus. Foto Huoy terpasang di salah satu sudut bagian luar"

Mao memungut tanda bukti masa silam Huoy ltu, merobeknya mengikuti lipatan, lalu menyerahkan foto itu kepadaku. Seakan-akan yang selebihnya perlu disimpannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar