31. PENARIKAN MUNDUR
KETIKA hujan mulai
mengguyur bumi lagi setelah
musim
kemarau panjang berakhir, Khmer Merah
menyuruh
kami kembali menanami sawah dan
kebun-kebun
umUm. Dalam waktu dekat kami
akan
punya bahan pangan lagi. Tapi bagiku tidak
timbul
rasa lega karenanya. Yang ada hanya
kegetiran.
Makanan sudah ada lagi, tapi bagi
Huoy itu
sudah terlambat.
Kubiarkan rambut di
mukaku tumbuh liar. Pakaianku yang robek
tidak kutambal. Kata orang
waktu
itu aku kelihatan tua, seperti berumur lima puluh
tahun.
Pada waktu kerja aku
kembali melakukan tugas dalam regu pupuk;
tapi aku melakukannya tanpa
semangat.
Jika saat itu serdadu-serdadu datang
untuk
menggiringku pergi, aku akan berterima
kasih
kepada mereka karena dengan begitu aku
bisa
dengan cepat bergabung lagi dengan istriku. Malam-malam,
sesudah menjenguk makam Huoy, aku menjelma
jadi pencuri. Aku mencuri
karena
dorongan hati semata-mata, seperti penjudi, agar
bisa merasa hidup.
Bersama kawan
seiringku, Tha, aku memimpin
kawanan
lelaki yang kelaparan, menjarah kebun
umum
yang terdapat di atas gunung. Kami
merajalela
di sana, mengambil apa saja yang kami
inginkan,
siap untuk melawan setiap penjaga yang
mungkin
muncul. Kami memanen padi yang
sudah
ranum, hanya dengan menggunakan tangan
dan
kaki. Banyak sekali padi yang kukumpulkan
sebagai
hasil pencurian. Aku membungkusnya
dengan
cermat, Ialu kususupkan ke bawah tumpukan
pupuk di
lumbung pupuk. Bahan pangan
itu
kemudian kubagi-bagikan kepada Tha, yang
menjadi
andalan keluarganya, kepada Sangam,
teman
kerjaku di lumbung pupuk, seorang sepupu
jauhku
bernama Ngor Balam, dengan siapa aku
baru
berjumpa lagi tidak lama sebelum itu; dan
juga
kepada adikku Hok, yang berhasil menemukan
ketiga
anak abangku Pheng Huor dan
menampung
mereka di rumahnya. Selain itu juga
kepada
yang lain-lain.
Tapi mencuri bahan
pangan saja masih belum cukup bagiku. Untuk
menguji kemampuan dan sekaligus juga
keberuntunganku, aku mencuri
sebuah
alat penggiling beras berukuran kecil yang
dikerjakan
dengan tangan. Alat itu kucuri dari
tempat
penyimpanannya pada suatu malam ketika
sedang
ada rapat politik, saat Mao sedang berpidato. Dengan
alat penggiling itu aku bisa lebih cepat
lagi
mengupas gabah dan memisahkan sekam dari
berasnya.
Tapi aku masih juga belum puas. Aku
tidak
mau sedikit pun dikekang. Aku ingin makan
kapan
saja aku merasa lapar. Karenanya aku lantas memasukkan
beras dan air ke dalam pelplesku
yang
kemudian kututup. Aku menggali lubang di
tanah, memasukkan
pelples ke dalamnya, dan kemudian
menyalakan
api di atasnya. Aku duduk
berjongkok
di depan api sambil pura-pura menghangatkan tangan,
ketika Mao pada suatu ketika
muncul
di lumbung pupuk untuk memeriksa. Ia
berjongkok
di sampingku dan ikut menghangatkan
tangan
di atas api, sementara kami bercakap-cakap
tentang
campuran yang tepat dari kotoran
hewan
dan tanah gembur yang diambil dari bukit-bukit kecil
bekas sarang rayap untuk dijadikan pupuk.
Ketika
Mao sudah pergi lagi, kukais-kais api
itu dan
kukeluarkan pelples yang ada di dalamnya.
Nasi
ternyata sudah masak, tanpa menjadi hangus.
Sementara aku
bertambah berani, aku juga
melalaikan
keharusan berhati-hati. Dalam suatu
rapat
politik, aku dituduh memiliki jala untuk
menangkap
ikan dan tidak menyerahkan ikan
yang
kutangkap ke dapur umum. Aku memang
memiliki
jala, meski kutaruh di tempat yang
tersembunyi.
Aku bisa membayangkan, siapa
yang
mendalangi tuduhan itu.
Jawabanku nekat.
Kukatakan, jika ada saksi
yang
berani maju dan bisa membuktikan bahwa
aku
memang memiliki jala, maka aku rela nyawaku dicabut
oleh Angka. Tapi jika tidak ada saksi
yang
maju, aku tidak mau mendengar apa-apa lagi
tentang
urusan itu. Aku mengatakan begitu
sambil
menghantamkan kepalan tinju ke tanah.
Tapi saat itu juga
kusadari bahwa aku sudah terlalu jauh
melangkah. Karena tidak ada lagi
Huoy
yang pasti akan menyuruhku menyembunyikan
perasaan,
aku membiarkan diriku dihanyutkan
perasaan
marah. Untung bagiku, aku
hanya
dimarahi saja oleh Mao. Katanya, mengumbar
kemarahan
merupakan sifat-sifat kapitalis dan
individualis.
Ia menyuruhku mengendalikan perasaan
dan
menunjukkan kepatuhan terhadap Angka.
Aku
menurut, dan minta maaf.
Tidak lama setelah
itu Pen Tip, orang yang mendalangi tuduhan
terhadapku itu, memanggilku
ke
rumahnya. Sekali itu aku sudah lebih siap.
Meski
aku tetap marah, tapi aku berhasil mengendalikan diri.
Pen Tip berhasil
menarik keuntungan dari pergantian pimpinan
di desa kami. Ia tidak saja
ikut
berperan sebagai informan sehingga istri
Paman
Phan kemudian dihukum mati; ia juga
secara
tidak resmi menjadi tangan kanan Mao, dan
ini
semakin meningkatkan kekuasaannya. Jika
kabar
angin berikut ini benar, seorang wanita
yang
berasal dari desa itu memprotes di depan Pen Tip
karena mengirimnya ke garis depan, sementara dia
sendiri enak-enak tinggal di desa. Besok
malamnya
Pen Tip ikut dalam gerombolan yang
beramai-ramai
memperkosa wanita itu dan kemudian
membunuhnya.
Aku tidak tahu benar tidaknya
kabar
ini, karena waktu itu aku tidak ada
di sana.
Tapi kejadian itu cocok dengan wataknya.
Ketika aku muncul di
rumahnya, Pen Tip sedang duduk di
sebuah balai-balai, sambil mengayun-
ayunkan
kaki seperti anak kecil. Alisnya
terangkat-angkat.
Ia memandang ke arahku, tapi
tidak
pernah secara langsung. Selalu berpindah-pindah. Menatap
lantai, lalu pindah memandang
langit-langit,
tapi tidak pernah langsung menatap
mataku.
Pen Tip mengatakan
bahwa ia tahu aku sebenarnya
dokter.
la mengharapkan agar aku tidak
lagi
terlibat dalam kesulitan. Dengan tenang
kutanyakan
kepadanya, apa lagi yang hendak
dilakukannya
terhadapku sekarang.
"Eh, tadi malam
Angka menyuruh dua orang chhlop pergi ke
rumahmu," katanya. "Mereka
melihatmu
mengeluarkan beras yang banyak
sekali,
lalu kau menyembunyikannya dalam kantong
plastik
di kebunmu. Benar atau tidak, bahwa
kau
melakukannya? Jika benar, kembalikanlah
beras
itu, dan Angka akan mengampunimu. Tapi
jika kau
menyangkal, eh, nanti Angka akan
melakukan
pemeriksaan dan kau harus bertanggung
jawab.
Tapi karena kau kawanku, aku ingin
memberitahukan
lebih dulu kepadamu. Aku ingin, eh,
memperingatkan."
Aku berpikir dengan
cepat. Kejadiannya serupa
dengan
peristiwa dengan jala itu. Pen Tip menyuruh orang
mengamat-amati diriku, tapi mata-matanya
tidak
cukup cermat. Malam sebelumnya
aku
memang memasukkan beras yang baru kugiling
ke dalam
sebuah kantong besar. Tapi kantong
berisi
beras itu kemudian kusembunyikan di
tempat
yang biasa, di bawah tumpukan pupuk;
jadi
bukan di kebunku. Apa yang harus kuperbuat? Mao
bertempat tinggal di sebelah. Pen Tip
harus
kusingkirkan, tapi ini bukan saat yang tepat untuk
melakukannya.
Hawa di dalam rumah
itu panas. Pen Tip masih terus menunggu
jawaban, duduk sambil mengayun-ayunkan kaki.
"Sayang
sekali," kataku dengan nada menyindir. "Jika
Angka menugaskan dua orang
chhlop
tadi malam dan mereka melihat aku
menyembunyikan
beras di kebun, kenapa aku
tidak
langsung ditangkap saat itu? Kenapa aku
tidak
digiring pergi? Sebabnya, karena aku sama
sekali
tidak menyembunyikan beras. Itulah sebabnya. Aku
ikut menyesal bahwa orang-orangmu
tidak melakukan
tugas secara baik untukmu, Pen
Tip.
Mestinya tidak gampang mencari chhlop
yang
bisa diandalkan. Aku ikut prihatin."
Pen Tip marah
mendengarnya. Ketika aku hendak meninggalkan
rumahnya, ia mengatakan bahwa Angka akan
mengirim orang untuk melakukan
pemeriksaan
terhadapku.
Ternyata Pen Tip
tidak membuang-buang waktu,
Siang
itu juga, saat aku sedang berada di
lumbung
pupuk, istrinya datang ke rumahku. Ia
membawa
karung beras yang terbuat dari plastik
anyaman
dan menguburkannya di kebunku. Untung
salah
seorang tetanggaku melihat perbuatannya
itu lalu
bergegas lari memberitahu aku.
Bagiku
percuma saja menuntut keadilan kepada
Mao,
karena Pen Tip itu anak emasnya; karena itu aku
lantas lari ke markas Khmer Merah di Phum
Phnom.
Sekali ini mereka mau menanggapi.
Mereka
mengetahui makna bukti-bukti palsu dan
aksi
pembersihan, karena mereka sendiri juga
menghadapinya.
Seorang kader datang ke rumahku,
mengeluarkan
karung berisi beras yang dikuburkan
dalam
kebunku, lalu memanggil Pen Tip
beserta
istrinya untuk ditanyai. Semuanya nampak
berlangsung
dengan sangat sopan, benar-benar
khas
Kamboja. Tidak ada yang menunjukkan
kemarahan,
tidak ada yang sampai kehilangan
muka,
dan segala-galanya tetap tidak menentu.
**********
Aku dan Pen Tip bisa
saja terus menjalankan siasat secara
balas-membalas, sampai akhirnya
salah
seorang dari kami mati karenanya. Tapi
menjelang
akhir tahun 1978, perselisihan pribadi
antara
kami berdua mulai nampak sepele jika
dibandingkan
dengan peristiwa-peristiwa yang
mulai
nampak membayang; karenanya kami lantas
menghentikan
perselisihan kami itu, untuk
sementara.
Tanda-tanda pertama
bahwa ada sesuatu yang terjadi datang dari
Kawan Ik, lelaki tua yang
selalu
menunggang kuda jika pergi ke mana pun
juga.
Saat itu bulan Desember, ketika sedang
berlangsung
kesibukan memanen padi. Ia memanggil
kami
untuk menghadiri rapat. Kami,
yang
berjumlah beberapa ratus orang, duduk di
Unah
untuk mendengarkan pidatonya, sementara
kudanya
ditambatkan di bawah sebarang pohon di
dekat
situ.
Lelaki tua itu
mengatakan kepada kami bahwa
kami
masih harus terus berjuang untuk mencapai
sasaran
yang sudah ditentukan oleh Angka. Kami
harus
menanam dan memanen padi sebanyak dua
sampai
tiga kali setahun. la ridak menyinggung-nyinggung kenyataan
yang sebenarnya - bahwa belum pernah ada
panen untuk kedua atau ketiga
kalinya
dalam tahun yang mana pun juga, dan
hasil
panen yang pertama kemudian dibawa pergi,
dan
bahwa pekerjaan membangun bendungan
berlangsung
hanya secara asal-asalan saja. Kawan
lk
jarang mengakui kegagalan rezim. Jadi kami
benar-benar
tercengang ketika ia menambahkan
pada
akhir pidatonya:
"Baru-baru ini
musuh-musuh kita berani-beraninya
menyerang
kita di perbatasan. Kita tidak
cemas
tentang pertempurannya. Tidak ada yang
perlu
kita takuti. Kita sudah pernah berhasil
mengalahkan
kaum imperialis Amerika, dan dibandingkan
dengan
mereka, musuh-musuh kita kali ini cuma kecil
saja. Yang perlu diingat adalah
bahwa
kita harus bertempur di segala medan
perjuangan.
Bukan cuma medan perjuangan militer,
tapi
juga di medan perjuangan sawah dan
saluran-saluran
air. Kita harus terus bekerja. Para
prajurit
kita akan menjaga perbatasan kita. Itu
tidak
perlu dicemaskan. Mereka akan menjaga
keselamatan
kita. Tapi jika kalian melihat musuh
datang
kemari, beritahukan kepada Angka. Dan
jika
musuh mengatakan sesuatu kepada kalian,
jangan
mau percaya. Angkalah satu-satunya kepada
siapa
kalian harus percaya."
Lelaki tua itu
memukulkan kepalan tinjunya ke
dadanya
yang kerempeng sambil berceriak, "Hidup revolusi
Kampuchea!" Kami berdiri dan
mendengungkan
slogan itu tiga kali berturut-turut,
begitu
pula slogan-slogan berikutnya. "Hidup
solidaritas
besar!", lalu "Hidup Angkatan
Bersenjata
Revolusioner!" Air mata gembira
membasahi
pipi orang-orang di sekitarku, dan itu
sama
sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan
slogan-slogan
yang diteriakkan. Kami bisa menebak
makna
yang terkandung dalam kata-kata yang
tadi
diucapkan oleh lelaki tua itu. "Musuh" sudah menyerbu masuk. Musuh itu bisa siapa saja dan perbatasannya pun bisa perbatasan yang mana saja; tapi bagi kami, budak-budak perang,
hanya ada satu kesimpulan
yang bisa diambil. Khmer Serei - Khmer Bebas,
atau para pejuang kemerdekaan-
akhirnya
melancarkan serangan dari daerah-
daerah
kantong pertahanan mereka di sepanjang
perbatasan
dengan Thailand.
Aku bergembira
mendengar kabar itu. Aku merasakan adanya
perubahan di dalam tubuhku,
bangkitnya
harapan, peneguhan hati. Kini ada
sesuatu
yang bisa menjadi tujuan hidupku. Kataku
dalam
hati: Ah, Huoy, seandainya kau kini
masih
hidup, kita akan memiliki peluang untuk
bersama-sama
menyongsong kebebasan.
Sekitar satu minggu
kemudian, ketika aku bersama Sangam sedang
menarik gerobak berisi pupuk ke sawah, kami
mendengar bunyi ledakan yang samar-samar di
kejauhan. Kami mendongak.
Dua buah
pesawat jet meluncur membelah langit
di atas
horison, kelihatannya seperti sepasang
anak
panah berwarna perak. Saat itulah untuk
pertama
kalinya kami melihat pesawat terbang
lagi,
setelah sekian tahun.
Kedua pesawat jet itu
meluncur dengan cepat sekali ke arah timur,
meninggalkan kepulan asap
yang
menjulang tinggi di belakangnya. Asap itu
berasal
dari tempat-tempat yang dijatuhi bom.
Kami
berdiri sambil memandang dengan perasaan
kagum.
"Cepat-cepat
saja mereka datang kemari," kata
Sangam.
"Makin cepat,
makin baik," kataku menanggapi.
Tapi pihak yang
menyerbu itu ternyata tidak
bergegas-gegas.
Sejak yang pertama kali itu kami
tidak
lagi melihat pesawat terbang melintas. Dan
dari
pihak Khmer Merah juga tidak ada kabar
baru.
Awal bulan Januari
1979 sebuah iring-iringan
kereta
api barang yang datang dari arah Phnom
Penh
memasuki stasiun Phnom Tippeday. Gerbong-
gerbongnya
penuh dengan serdadu-serdadu
Khmer
Merah yang luka-luka. Bahkan ada pula
yang
duduk di atas atap gerbong-gerbong itu.
Mereka
menegakkan perkemahan dan berjalan
mondar-mandir
terpincang-pincang, menyalakan
api
untuk memasak. Mereka dan serdadu-serdadu
yang
ditempatkan dekat desa kami berpandang-pandangan dengan
sikap marah. Antara mereka
juga
terjadi pertengkaran yang berlangsung dengan suara
membentak-bentak.
Beberapa hari
kemudian mulai muncul barisan
panjang
orang-orang sipil yang berjalan satu-satu.
Mereka
datang dari arah selatan, dari sebuah jalan memutar
yang menuju Phnom Penh. Mereka
didului
oleh kader-kader yang mengendarai gerobak
sapi
berukuran besar dan beratap. Orang-orang
sipil
itu nampak lebih sehat dan berpakaian
lebih
rapi, jika dibandingkan dengan keadaan
kami.
Seperti serdadu-serdadu yang lebih dulu
muncul
dalam keadaan luka-luka, rombongan
orang
sipil itu merupakan bagian dari suatu
gerakan
mundur teratur. Bekal makanan mereka
banyak:
kantong-kantong kain berbentuk guling
dan
berisi beras diselempangkan ke leher; ayam
hidup,
ikan asin berkantong-kantong; beras berkarung- karung
di dalam gerobak-gerobak. Gerobak-
gerobak
itu ditempatkan sepanjang tepi jalan
kereta
api, dan tidak lama kemudian udara malam
sudah
penuh asap yang berasal dari sekian ratus
api yang
dinyalakan untuk memasak.
Rombongan orang sipil
dan serdadu yang luka-luka
itu
dilarang berbicara dengan kami, orang-orang "baru"
yang ada di situ. Mereka kelihatannya ketakutan. Saban hari ada saja beberapa
dari mereka yang diikat
lalu digiring pergi di depan
senapan
yang diacungkan; dan tidak pernah ada
satu pun
dari orang-orang itu yang kembali.
Seseorang
yang berjalan dengan bantuan tongkat
karena
kakinya dipotong digiring pergi karena
dipersalahkan
"tidak berhasil melindungi tanah air".
Kegilaan karena takut
dan kecewa merajalela di mana-mana. Di desa
kami, orang-orang yang kclihatan terlalu
senang langsung saja digiring
pergi.
Dan itu terjadi baik siang maupun malam.
Sepatah
kata saja yang keliru, sekali saja ada
pandangan
yang memancarkan kegembiraan, Mao
pasti
langsung memerintahkan segenap keluarga
orang
itu dihukum mati. Serdadu-serdadu seperti
keranjingan.
Menurut mereka, karena kesalahan
kamilah
"musuh" datang.
Saat itu kami harus
sangat berhati-hati. Suatu
kali,
ketika aku bersama Sangam sedang menarik
gerobak
pupuk kami melewati sebuah jalan yang
sudah
sering kami lalui, kami sampai di sebuah
bukit
kecil. Kami melihat mayat bertumpuk-tumpuk
di atas
bukit itu. Mereka dibunuhi
dengan
pukulan pada bagi belakang kepala.
Tubuh
mereka sudah sangat membengkak, menyebabkan pakaian
yang membungkusnya robek.
Bau yang
menghambur busuknya luar biasa.
Burung-burung
pemakan bangkai bertengger di
atas
tumpukan dan mematuk-matuk daging mereka.
Beberapa
hari kemudian kami jumpai lagi
lokasi
pembantaian lain di tengah hutan, dengan
ratusan
mayat ditimbunkan ke dalam sebuah
lubang.
Aku pergi ke pohon
sdao yang tumbuh miring dan berdoa minta
perlindungan kepada arwah
Huoy.
Aku mulai biasa tidur dekat makamnya,
lalu di
dalam lumbung pupuk, Ialu berpindah-pindah
tempat
setiap malam; karena takut kepada
Mao,
takut kepada Pen Tip. Aku tidak lagi
mencuri.
Keadaan di luar saat malam hari sudah
tidak
aman lagi.
Aku mengemasi semua
yang kuperlukan untuk bisa melarikan diri
dengan cepat, lalu kusembunyikan
di bawah
tumpukan pupuk. Kusuruh Sangam, adikku Hok,
dan Ngor Balam agar bersiap-siap jika
ingin ikut dengan aku. Balam
sudah agak
tua umurnya. Tubuhnya jangkung.
Dulu dia
pejabat eksekutif pada sebuah perusahaan
penerbangan
di Phnom Penh. la hanya kerabat
jauhku
dari pihak Ayah; tapi kami tetap satu klen, dan
kami saling mempercayai. Kami bersepakat
bahwa
kami akan bersama-sama menuju ke
perbatasan
Thailand, menyongsong pasukan
Khmer
Serei yang ada di sana.
Tapi sebelum kami
sempat melaksanakan niat itu, datang lagi
gelombang pendatang baru. Sekali
ini
mereka tidak datang dari timur seperti gelombang pengungsi
yang pertama, atau dari selatan
seperti
gelombang yang berikut, tapi dari arah
barat
laut, dari desa-desa di luar kota Battambang. Mereka
pun muncul dalam barisan panjang yang
berjalan
satu-satu, membawa barang-barang bawaan
mereka
dalam ransel atau dipikul; beberapa
wanita
di antara mereka menjunjung keranjang di
atas
kepala. Pakaian mereka masih lebih baik
ketimbang
yang melekat pada tubuh kami. Mereka
tidak
berani berbicara dengan kami. Rombongan
pengungsi
yang baru itu berbaur dengan
rombongan-rombongan
sebelumnya, tapi kemudian
berpisah
lagi ketika pengungsi yang baru
datang
melanjutkan perjalanan menuju Pegunungan
Cardamom.
Kami sudah lebih dari
tiga tahun tinggal di Phnom Tippeday.
ltulah dunia kami, dan juga
penjara
yang mengungkung kami. Kini kami
melihatnya
dengan mata para pendatang baru,
sebagai
sebidang kecil wilayah yang tidak berarti
dalam
manuver-manuver peperangan yang berskala
jauh
lebih besar. Kami menduga bahwa
'musuh"
bergerak mendekat dari dua front: dari
selatan
di mana Phnom Penh terletak, dan dari
barat
laut, dekat kota Battambang.
Mao menghilang dengan
membawa semua sapi dan kerbau,
berkarung-karung beras dan garam,
bekal
ikan asin dan bahan pangan lain-lainnya
yang ada
di dapur umum, segala perlengkapan
dapur,
sanak-keluarganya dan harta milik pribadiaya. Setelah
dia pergi, tidak ada lagi yang
memegang
kewenangan memerintah di desa kami.
Menurutku,
itu saat yang baik bagi kami untuk
pergi;
tapi Balam dan Hok berhasil membujukku
agar
menunggu dulu. Tahu-tahu Mao muncul
lagi.
dan selama beberapa hari kami kembali
menerima
pembagian makanan di dapur umum.
Kami
pergi ke sawah untuk memanen padi, dan
malam
hari kami menghadiri rapat-rapat politik.
Kami
mendengarkan pidato yang begitu-begitu
terus,
tentang "melancarkan ofensif" terhadap kekuatan
alam dan "berjuang untuk mencapai
kemerdekaan
berdaulat yang sejati". Kedengarannya
seperti
piringan hitam yang memperdengarkan
lagu
yang selalu saja sama. Kami mendengarkan
sambil
membisu karena takut, tapi dengan
sembunyi-sembunyi
kami mengatur rencana pelarian.
Kemudian Mao pergi
lagi bersama para pemimpin
Khmer
Merah yang lain-lainnya, dengan
diam-diam,
ketika hari sudah malam. Pen Tip
mengangkat
dirinya sendiri menjadi pemimpin
untuk
sementara. Dikatakannya kepada seluruh
penghuni
desa bahwa sudah tiba waktunya bagi
kami
untuk mengungsi. Dan orang-orang menurut
saja.
Mereka mengemasi barang-barang mereka
dalam
keranjang-keranjang dan ransel-ransel
buatan
sendiri. Tapi mereka melakukannya sambil
menggerutu.
Aku berkemas-kemas
lagi. Kubawa seluruh milikku, termasuk
buku-buku kedokteran yang
selama
bertahun-tahun kusembunyikan. Sangam,
Hok,
Balam, para istri dan anak-anak mereka,
dengan
aku-keseluruhannya empat belas orang
-berusaha
menuju kota Battambang yang terletak
di
sebelah barat laut. Tapi ada serdadu-
serdadu
menghadang di jalan. Kami berbalik, lalu
berjalan
dengan lunglai mengikuti penghuni desa
yang
selebihnya.
Sekali ini seluruh
penduduk daerah Phnom Tippeday mengungsi.
Beberapa desa berkemah sama-sama di sawah,
dijaga serdadu-serdadu. Jauh di sebelah barat
laut, di balik lokasi bendungan
yang
belum selesai dibangun, terdengar
bunyi
gemuruh samar tembakan artileri. Hari-
hari
berikut bunyinya datang dari arah selatan dan timur,
lalu kebanyakan dari timur. Kalau ditilik
dari
arahnya, kemungkinan pertempuran yang
paling
sengit sedang berlangsung di salah satu
tempat
dekat kota Muong, tempat Jalan Nasional
5
memotong jalan kereta api. Tidak terdengar
bunyi
tembakan senapan. ltu berarti pertempuran
masih
jauh.
Kami menunggu selama
sepuluh hari. Kemudian "musuh"
menyerang dari arah barat laut.
Aku sedang bersama
kelompokku ketika dengan tiba-tiba terdengar
bunyi berondongan senapan
otomatik
dan senapan mesin. Peluru artileri
berjatuhan
dan meledak di atas bukit-bukit kecil
dan di
sawah; asap dan debu berhamburan di
tempat-tempat
yang kejatuhan peluru. Kami buru-
buru
lari menjauh sambil membawa barang-
barang
kami. Tidak kami sangka bahwa kami
masih
kuat berlari. Pohon-pohon bertumbangan,
kerbau-kerbau
lari kocar-kacir ketakutan. Debu
berhamburan
ke udara, bunyi genta yang tergantung
pada
leher sapi-sapi terdengar ribut berkeIentang-kelenting, orang-orang yang
membawa gerobak berdiri di
atasnya sambil berteriak-teriak
dan
melecut-lecurkan cemeti, menyuruh sapi-sapi mereka
lari lebih cepat lagi.
Kami membanjir menuju
jalan kereta api. Tapi orang-orang Khmer
Merah dengan pakaian seragam
hitam
mereka lari lebih cepat lagi dari kami,
menuju
ke hutan. Kalau aku sendiri tidak ketakutan waktu
itu, aku pasti tertawa melihat begitu
cepatnya
mereka terbirit-birit. Padahal sebelumnya
mereka
selalu membangga-banggakan diri
sebagai
serdadu yang hebat.
Ketika hujan tembakan
akhirnya berhenti, kami sudah sampai di suatu
daerah bernama Boeung Reaing; daerah itu
termasuk garis depan, di mana
aku dan
Huoy pernah bekerja menggali saluran.
Ada
ribuan orang "baru" di sekeliling kami, semua
dalam keadaan bingung dan tanpa pimpinan.
Kami
tidak tahu di mana orang-orang Khmer
Merah
berada saat ini. Kami tidak berani berkutik. Tidak
ada yang berani mendului bergerak.
Karenanya
kami lantas tetap saja di tempat itu,
dengan
harapan bahwa para pejuang kemerdekaan
akan
datang membebaskan kami.
Sambil menunggu, kami
menyebar memasuki sawah yang belum
dipanen padinya. Cuaca saat
itu
cerah dan panas. Satu jam kemudian di mana-mana sudah
nampak orang-orang yang sibuk
memanen:
lelaki, wanita, anak-anak. Kami merontokkan gabah
dengan cara menginjak-injaknya,
lalu
menumbuknya dengan alu dan lumpang,
auu
dengan batang-batang kayu yang dihentak-hentakkan ke
dalam lubang yang digali di tanah.
Tembakan
gencar dan kepanikan sewaktu melarikan
diri
tadi sudah tidak kami ingat lagi. Makananlah yang
paling penting bagi kami saat itu,
sedangkan
keselamatan nomor dua. Padi Battambang
yang
berlimpah ruah tinggal dipanen saja
oleh
siapa yang mau. Tidak ada orang di situ yang akan
menghukum kami karenanya. Cukup banyak
padi
untuk semua orang.
Setelah kami makan
sampai kenyang dan menyimpan
padi
untuk persediaan hari-hari mendatang,
kami
mulai mengasah parang dan pisau;
sambil
menggerutu dengan nada mengancam,
kami
menatap orang-orang Khmer Merah yang
sementara
itu sudah muncul lagi. Orang-orang itu
bisa
menebak apa yang ada dalam pikiran kami.
Mereka
ketakutan, lalu bergabung membentuk
kelompok-kelompok
besar.
Aku memandang
berkeliling. Aku melihat Pen
Tip. Ia
membawa sebuah gerobak sapi. Roda-roda
gerobak
itu besar dan beruji-ruji. Gerobaknya
sendiri
sempit dan berdinding tinggi, dengan
kantong-kantong
dan barang-barang lainnya tertumpuk
tinggi
di atasnya. Gerobak itu ditarik dua
ekor
sapi. Sapi-sapi dan gerobak itu milik desa, tapi
Pen Tip mengambilnya untuk keperluannya
sendiri.
Orang-orang yang lain membawa barang
bawaan
mereka sendiri. Hanya sedikit yang
punya
sapi, atau gerobak.
Pen Tip memakai
pakaian hitam-hitam yang masih baru, serupa dengan
yang dipakai para serdadu. Ia memakai
kramanya dengan gaya Khmer Merah, seperti
memakai selendang, dengan
kedua
ujungnya terjulur di dada. Ia sedang
berbicara
dengan beberapa orang iparnya yang
berdiri
menjaga di sampingnya. Jari-jarinya memilin- milin
sebatang rokok. Matanya terkejap-kejap,
bergerak
liar memandang ke sana dan ke
sini.
Mukanya bergerak-gerak terus.
Kini tiba saatnya
untuk menyelesaikan urusanku
dengan
Pen Tip, kataku. Sangam mengatakan
setuju,
sambil mengusap mata parangnya
dengan jari
jempol. Meski sudah tua, Sangam itu
kuat.
Perasaanku tenang, karena ada dia di
sampingku.
Tapi sebelum aku bisa
berbuat apa-apa, para pemimpin Khmer Merah
sudah muncul lagi dan mengeluarkan
perintah. Mereka mengatakannya
kepada
orang-orang seperti Pen Tip, lalu Pen Tip
meneruskannya
kepada kami. Ia mengatakan
bahwa
kami harus pergi ke sebuah desa yang jauh
letaknya
di sebelah timur, di dalam hutan. Baru
sekali
itu aku mendengar nama desa itu. Tapi
orang-orang
yang selebihnya, yang sudah terbiasa
mematuhi
perintah, langsung mengangkat barang-barang bawaan
mereka lalu mulai berjalan. Hilang
kesempatanku
untuk melakukan balas dendam.
Langkah
kaki manusia dan sapi menyebabkan
debu
memhubung ke udara. Jalan yang dilalui
berubah
menjadi jaringan lintasan berliku-liku.
Ketika
matahari terbenam di belakang kami,
kuberi
isyarat kepada kelompokku supaya berhenti.
Pen Tip
tidak kelihatan. Aku tidak berniat
mengikuti
perintahnya. Kukatakan kepada kelompokku
bahwa
kami akan mengambil jalan
memotong
ke utara, menuju jalan kereta api.
Mereka
setuju.
Kami mulai berjalan
lagi, kini menuju ke arah
yang
baru. Tidak lama kemudian seseorang dari
Phum Ra
datang menggabungkan diri. Orang itu
mengatakan
bahwa ia melihat Pen Tip memisahkan
diri
dari rombongan besar, lalu menuju ke
arah
barat laut.
Aku tersenyum geram.
Sudah kukira ia akan berbuat semacam itu.
Pen Tip juga berniat meloloskan diri dari
Khmer Merah. la tahu bahwa
mereka
tidak mungkin bisa menang lagi. Ia
menganggap
sudah waktunya bagi dia untuk
menyeberang
dan mendekatkan diri kepada
Khmer
Serei. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa langsung
menuju ke arah posisi pasukan-pasukan
pembebas,
tanpa ketahuan. Itulah sebabnya kenapa
ia
meneruskan perintah kepada kami yang
selebihnya,
lalu berusaha menghilang di tengah
kerumunan
orang banyak.
Kami berjalan menuju
jalan kereta api. Kemudian kami tiba di sebuah desa yang terdiri dari rumah-rumah panggung yang dibangun di
sela-sela pepohonan yang rimbun
serta pohon buah-buahan.
Sebelum kami, sudah
ribuan pengungsi yang tiba di desa itu.
Tempat itu lebih cocok jika
disebut
daerah tak bertuan, tanpa serdadu sarna
sekali
di sekeliling kami. Kami memutuskan
untuk
tetap tinggal di situ, untuk sementara.
Sementara kami
menunggu, dengan harapan bahwa perang akan
lewat tanpa melibatkan tempat
kami
berlindung untuk sementara waktu itu,
di
sekeliling kami terbentang daerah persawahan yang
tinggal dipanen. Setiap hari kami pergi
memanen
padi sebanyak yang kami inginkan. Di
sana
juga ada sungai yang besar, dan kami pergi ke sana
untuk mandi. Kami masih belum lagi
memperoleh
kemerdekaan kami; tapi kami tetap
tinggal
di tempat itu selama enam sampai tujuh
hari,
karena di situ kami bisa memenuhi segala
kebutuhan
pokok kami. Air dan beras.
Kemudian
pasukan-pasukan tentara pembebasan
bergerak
maju, dan Khmer Merah melakukan
langkah
mundur. Pen Tip muncul bersama mereka,
dengan
gerobaknya. Dengan mata terkejap-kejap
gugup
dan sambil melirik-lirik kian-kemari,
ia
menyuruh semuanya yang berasal dari Phum
Ra agar
pindah ke perkemahan Khmer Merah
yang ada
di dekat situ. Ketika melihat aku di
tengah
orang banyak, ia berseru, "Samnang, kau harus
pindah ke perkemahan tentara. Para pemimpin kita
menunggu di sana."
"Kau saja duluan,
Pen Tip." kataku dengan
sengit
lalu meludah ke tanah.
Alis mata Pen Tip
terangkat. Ia menuding ke
arah
perkemahan Khmer Merah. "Para pemimpin menunggu
di sana. Garis depan ditarik mundur.
Eh, kau
harus pergi. Angka akan menyediakan
beras di
sana."
Tanganku bergerak ke
pinggang. Tapi parang yang biasanya
terselip di situ ternyata tidak ada.
Aku
meninggalkannya di tempat barang-barang
bawaanku.
"Kau duluan ke
sana." kataku sekali lagi.
"Tidak
ada yang mau percaya padamu, Pen Tip.
Tidak
ada yang mau mempercayai kata-katamu.
Sebelum
ini kau mengatakan kepada orang-orang
yang
tidak membawa gerobak, yang memikul
diri
barang-barang bawaan mereka, bahwa
mereka
harus pergi ke suatu tempat yang sangat
jauh.
Tapi kau sendiri tidak ke sana. Kau pergi ke arah
lain, dan kau punya gerobak untuk mengangkut barang-barang
bawaanmu."
Kami dikerumuni
orang-orang yang berasal dari
Phum Ra.
Mereka semua tahu apa yang sedang
terjadi,
yang sedang berlangsung dengan cara yang
khas
Kamboja: tidak langsung, dan tanpa melupakan tatakrama. Hal yang sedang terjadi saat itu merupakan pernyataan perang, seperti menampar dengan sarung tangan sebagai tanda menantang berkelahi. Aku sedang "merusak
mukanya".
Pen Tip nampak cemas.
Ia membuang muka. "Kau, eh, kau
tidak boleh berbicara begitu. Eh,
aku
bukan orang semacam itu." Ujung-ujung
jarinya
memilin-milin rokoknya yang dibungkus
daun
bambu. "Tidak sepantasnya kaubicara begitu, Samnang.
Kata-kata seperti itu pantasnya
ditujukan
kepada anak-anak kuil."
"Aku mengatakan
begitu karena kau anak kuil.
Kau
tidak pernah mengatakan yang sebenarnya
kepada
orang-orang, atau memperlakukan mereka
dengan
sepatutnya. Kau selalu saja membohongi
orang-orang
yang tidak bersalah."
"Jika kau tidak
mau pergi. itu tanggung jawabmu
sendiri," kata Pen Tip. "Angka yang menyuruh
aku memberitahukan kepada kalian.
Aku cuma
ingin menolong kalian, dengan menyampaikan
perintah
ini."
Aku menatapnya
lama-lama. Tapi ia tidak berani membalas
tatapanku.
Kemudian ia pergi
dengan gerobaknya.
***********
Ketika kemarahanku
akhirnya surut dan aku sudah tenang kembali,
aku tetap merasa enak. Aku telah bertindak
dengan cara yang layak. Dalam masyarakat
Kamboja yang sangat mementingkan
tatakrama
dan tidak pemah bersikap blak-blakan, kita
harus menghina lawan kita dulu
di depan
umum, sebelum melangkah ke tahap
selanjutnya.
Hanya dengan cara begitu kita tidak
akan
kehilangan muka. Menyerang lawan secara
fisik
tanpa terlebih dulu menciptakan alasan
untuk
berkelahi merupakan tindakan yang hina
dan
tidak beradab, seperti yang dilakukan oleh
Khmer
Merah.
Pokoknya, dalam waktu
dekat akan terjadi pertarungan penentuan
antara kami berdua, kata ku dalam hati. Saat
itu aku akan bisa mempergunakan
parangku,
untuk membela diri atau untuk
melakukan
serangan. Pen Tip bertubuh kecil, jadi
akan
bisa kukalahkan dengan mudah.
Tapi setelah aku
mandi di sungai, lalu sambil
berbaring-baring
memikirkan lagi kejadian tadi,
saat itu
barulah kusadari kekeliruanku. Kenapa
sih, aku
jadi begini? Kenapa aku sampai bisa
melakukan
kekeliruan semacam itu? Pen Tip
takkan
memberi kesempatan padaku untuk menantangnya berkelahi
satu lawan satu. Itu takkan
mungkin
terjadi, karena ia sudah mendekatkan
dirinya
kembali pada Khmer Merah. Pasti ia akan
mengerahkan
serdadu-serdadu unruk menggiringku
pergi.
Ketika langit sudah
sepenuhnya gelap, kami mengarungi sungai ke
seberang. Kami bolak-balik
beberapa
kali, sampai barang-barang bawaan dan
anak-anak
semuanya sudah ada di seberang.
Setelah
itu kami meneruskan perjalanan lagi.
Tidak
lama kemudian kami sampai di jalan kereta
api,
yang nampak samar-samar diterangi cahaya
bintang-bintang
yang kemerlip di langit malam.
Kami
berkemah di atas sebuah bukit kecil, di
belakang
jalan kereta api. Aku berbaring dengan
mata
nyalang, berpikir tentang Pen Tip. sambil
menggenggam
parangku.
Ketika fajar sudah
menyingsing, sementara yang lain-lainnya turun
ke sawah untuk menambah bekal makanan, aku
pergi untuk melakukan pengintaian. Aku
memperhatikan keadaan di sekeliling,
kalau-kalau ada serdadu-serdadu
Khmer
Merah atau pasukan-pasukan pembebas
yang
datang. Tapi aku tidak melihat atau mendengar apa-apa.
Tidak ada bunyi
tembakan artileri. Tidak ada
kereta
api yang lewat. Tidak ada pesawat terbang
yang
melintas di atas langit biru yang kosong.
Sekeliling kami
sunyi. Perasaanku tidak enak.
Kemarinnya
masih ada bunyi tembakan-tembakan
di
sebelah timur, utara, dan barat, tapi
semuanya
di kejauhan.
Sangam dan istrinya
memutuskan bahwa mereka hendak ke timur,
menyusur jalan kereta api
menuju
Phnom Penh. Aku memuruskan akan
membawa
kelompokku ke Utara menuju Jalan
Nasional
5, dan dan sana ke barat, menuju
Thailand.
Kami saling mengucapkan semoga selamat
di
jalan, lalu berpisah. Kami berpisah secara
baik-baik.
Sebagai teman, Sangam ini jujur dan
bisa
diandalkan.
Kelompok kami kini
tinggal dua belas orang, semuanya masih
berkerabat. Aku yang memimpin
mereka.
Ngor Balam, istrinya, dan dua orang
anaknya,
ditambah seorang keponakan. Hok dan
istrinya
membawa anak perempuan mereka yang
masih
bayi, ditambah tiga orang anak mendiang
abangku
Pheng Huor-dua di antaranya perempuan,
Im dan
Ngim, serta seorang anak lelaki
yang
masih kecil, Chy Kveng. Anak-anak itu
bertubuh
kekar semuanya, dan tidak rewel.
Bahkan
Chy Kveng yang masih kecil itu pun
eanggup
berjalan sepanjang hari, Tanpa minta
digendong.
Tapi dengan anak-anak yang begitu
banyak,
kami tidak bisa bergerak dengan cepat.
Keadaan
kami rawan.
Kami berjalan
menyusur lintasan gerobak,
menyeberang
sawah dan menembus hutan, memilih
jalan
yang menuju ke arah yang benar. Sekitar
satu jam
sekali aku memanjat pohon, untuk
memeriksa
di mana kami berada. Dari puncak
pepohonan
bisa kulihat punggung gunung dekat
Phnom
Tippeday di kejauhan; kuil yang sudah
rusak
dan stupa di sebelahnya nampak membaur.
membentuk
sebuah bintik putih.
Kami hanya bisa
bergerak dengan lambat, karena adanya
anak-anak bersama kami, dan
karena
kami juga sering berhenti untuk mencari
apa-apa
yang bisa dimakan. Aku merasa gugup,
tapi
sekaligus juga waspada. Berulangkali aku
pergi
sebentar untuk melakukan pengintaian. Jika
berjumpa
dengan orang-orang biasa seperti kami,
kami
tanyakan apakah mereka melihat serdadu-serdadu. Mereka
semua menjawab bahwa mereka
tidak
berjumpa serdadu.
Kaki kami berselimut
debu, setelah begitu lama
berjalan.
Ketika kami sampai di sebuah saluran
air,
kami mandi sebentar di situ lalu meneruskan perjalanan.
Akhirnya kami tiba di sebuah desa
yang
tidak ada penghuninya lagi. Pisang dan
mangga
yang masih hijau bergelantungan seperti
mengundang
kami untuk memetik, dan di kebun-kebun
ada
gadung. Kami langsung saja menyerbu.
Hari itu
juga kami sampai di sebuah desa lain yang
tidak
berpenghuni. Kami memetik buah pepaya
dan
nangka yang ada di situ, lalu memakannya.
Keesokan
harinya kami melihat seekor babi yang
sedang
sibuk menggali umbi gadung di sebuah
ladang.
Kami bertiga, yang lelaki dalam rombonganku, mengejar
babi itu dan berhasil menangkapnya.
Kemudian
muncul rombongan pengungsi
lain,
ketika kami sedang memasak babi ItU.
Dengan
rela kami membagi daging babi itu
dengan
mereka. Semuanya makan sampai kenyang.
Setelah
itu kami duduk-duduk sambil
mengobrol
dengan santai.
Aku mulai merasa agak
enak, karena perut sudah kenyang. Selain
itu ada teman mengobrol.
Kami bisa makan apa
saja, kapan saja, tergantung
kemauan
kami.
Kami bisa berbicara
sekehendak hati. Kami bisa melancarkan
kritik dengan bebas, mengutarakan
pendapat, menunjukkan kemarahan.
Kami
tidak harus tetap bungkam apabila ada
orang
lain berbuat tolol, atau melakukan tindakan yang
tidak adil.
Masa kegelapan yang
panjang sudah hampir berakhir.
Sementara kami
berjalan dalam hutan menuju
jalan
besar, aku mulai menyanyi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar