Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 19 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 31 : Penarikan Mundur



31. PENARIKAN MUNDUR


KETIKA hujan mulai mengguyur bumi lagi setelah musim kemarau panjang berakhir, Khmer Merah menyuruh kami kembali menanami sawah dan kebun-kebun umUm. Dalam waktu dekat kami akan punya bahan pangan lagi. Tapi bagiku tidak timbul rasa lega karenanya. Yang ada hanya kegetiran. Makanan sudah ada lagi, tapi bagi Huoy itu sudah terlambat.

Kubiarkan rambut di mukaku tumbuh liar. Pakaianku yang robek tidak kutambal. Kata orang waktu itu aku kelihatan tua, seperti berumur lima puluh tahun.

Pada waktu kerja aku kembali melakukan tugas dalam regu pupuk; tapi aku melakukannya tanpa semangat. Jika saat itu serdadu-serdadu datang untuk menggiringku pergi, aku akan berterima kasih kepada mereka karena dengan begitu aku bisa dengan cepat bergabung lagi dengan istriku. Malam-malam, sesudah menjenguk makam Huoy, aku menjelma jadi pencuri. Aku mencuri karena dorongan hati semata-mata, seperti penjudi, agar bisa merasa hidup.

Bersama kawan seiringku, Tha, aku memimpin kawanan lelaki yang kelaparan, menjarah kebun umum yang terdapat di atas gunung. Kami merajalela di sana, mengambil apa saja yang kami inginkan, siap untuk melawan setiap penjaga yang mungkin muncul. Kami memanen padi yang sudah ranum, hanya dengan menggunakan tangan dan kaki. Banyak sekali padi yang kukumpulkan sebagai hasil pencurian. Aku membungkusnya dengan cermat, Ialu kususupkan ke bawah tumpukan pupuk di lumbung pupuk. Bahan pangan itu kemudian kubagi-bagikan kepada Tha, yang menjadi andalan keluarganya, kepada Sangam, teman kerjaku di lumbung pupuk, seorang sepupu jauhku bernama Ngor Balam, dengan siapa aku baru berjumpa lagi tidak lama sebelum itu; dan juga kepada adikku Hok, yang berhasil menemukan ketiga anak abangku Pheng Huor dan menampung mereka di rumahnya. Selain itu juga kepada yang lain-lain.

Tapi mencuri bahan pangan saja masih belum cukup bagiku. Untuk menguji kemampuan dan sekaligus juga keberuntunganku, aku mencuri sebuah alat penggiling beras berukuran kecil yang dikerjakan dengan tangan. Alat itu kucuri dari tempat penyimpanannya pada suatu malam ketika sedang ada rapat politik, saat Mao sedang berpidato. Dengan alat penggiling itu aku bisa lebih cepat lagi mengupas gabah dan memisahkan sekam dari berasnya. Tapi aku masih juga belum puas. Aku tidak mau sedikit pun dikekang. Aku ingin makan kapan saja aku merasa lapar. Karenanya aku lantas memasukkan beras dan air ke dalam pelplesku yang kemudian kututup. Aku menggali lubang di tanah, memasukkan pelples ke dalamnya, dan kemudian menyalakan api di atasnya. Aku duduk berjongkok di depan api sambil pura-pura menghangatkan tangan, ketika Mao pada suatu ketika muncul di lumbung pupuk untuk memeriksa. Ia berjongkok di sampingku dan ikut menghangatkan tangan di atas api, sementara kami bercakap-cakap tentang campuran yang tepat dari kotoran hewan dan tanah gembur yang diambil dari bukit-bukit kecil bekas sarang rayap untuk dijadikan pupuk. Ketika Mao sudah pergi lagi, kukais-kais api itu dan kukeluarkan pelples yang ada di dalamnya. Nasi ternyata sudah masak, tanpa menjadi hangus.

Sementara aku bertambah berani, aku juga melalaikan keharusan berhati-hati. Dalam suatu rapat politik, aku dituduh memiliki jala untuk menangkap ikan dan tidak menyerahkan ikan yang kutangkap ke dapur umum. Aku memang memiliki jala, meski kutaruh di tempat yang tersembunyi. Aku bisa membayangkan, siapa yang mendalangi tuduhan itu.

Jawabanku nekat. Kukatakan, jika ada saksi yang berani maju dan bisa membuktikan bahwa aku memang memiliki jala, maka aku rela nyawaku dicabut oleh Angka. Tapi jika tidak ada saksi yang maju, aku tidak mau mendengar apa-apa lagi tentang urusan itu. Aku mengatakan begitu sambil menghantamkan kepalan tinju ke tanah.

Tapi saat itu juga kusadari bahwa aku sudah terlalu jauh melangkah. Karena tidak ada lagi Huoy yang pasti akan menyuruhku menyembunyikan perasaan, aku membiarkan diriku dihanyutkan perasaan marah. Untung bagiku, aku hanya dimarahi saja oleh Mao. Katanya, mengumbar kemarahan merupakan sifat-sifat kapitalis dan individualis. Ia menyuruhku mengendalikan perasaan dan menunjukkan kepatuhan terhadap Angka. Aku menurut, dan minta maaf.

Tidak lama setelah itu Pen Tip, orang yang mendalangi tuduhan terhadapku itu, memanggilku ke rumahnya. Sekali itu aku sudah lebih siap. Meski aku tetap marah, tapi aku berhasil mengendalikan diri.

Pen Tip berhasil menarik keuntungan dari pergantian pimpinan di desa kami. Ia tidak saja ikut berperan sebagai informan sehingga istri Paman Phan kemudian dihukum mati; ia juga secara tidak resmi menjadi tangan kanan Mao, dan ini semakin meningkatkan kekuasaannya. Jika kabar angin berikut ini benar, seorang wanita yang berasal dari desa itu memprotes di depan Pen Tip karena mengirimnya ke garis depan, sementara dia sendiri enak-enak tinggal di desa. Besok malamnya Pen Tip ikut dalam gerombolan yang beramai-ramai memperkosa wanita itu dan kemudian membunuhnya. Aku tidak tahu benar tidaknya kabar ini, karena waktu itu aku tidak ada di sana. Tapi kejadian itu cocok dengan wataknya.

Ketika aku muncul di rumahnya, Pen Tip sedang duduk di sebuah balai-balai, sambil mengayun- ayunkan kaki seperti anak kecil. Alisnya terangkat-angkat. Ia memandang ke arahku, tapi tidak pernah secara langsung. Selalu berpindah-pindah. Menatap lantai, lalu pindah memandang langit-langit, tapi tidak pernah langsung menatap mataku.

Pen Tip mengatakan bahwa ia tahu aku sebenarnya dokter. la mengharapkan agar aku tidak lagi terlibat dalam kesulitan. Dengan tenang kutanyakan kepadanya, apa lagi yang hendak dilakukannya terhadapku sekarang.

"Eh, tadi malam Angka menyuruh dua orang chhlop pergi ke rumahmu," katanya. "Mereka melihatmu mengeluarkan beras yang banyak sekali, lalu kau menyembunyikannya dalam kantong plastik di kebunmu. Benar atau tidak, bahwa kau melakukannya? Jika benar, kembalikanlah beras itu, dan Angka akan mengampunimu. Tapi jika kau menyangkal, eh, nanti Angka akan melakukan pemeriksaan dan kau harus bertanggung jawab. Tapi karena kau kawanku, aku ingin memberitahukan lebih dulu kepadamu. Aku ingin, eh, memperingatkan."

Aku berpikir dengan cepat. Kejadiannya serupa dengan peristiwa dengan jala itu. Pen Tip menyuruh orang mengamat-amati diriku, tapi mata-matanya tidak cukup cermat. Malam sebelumnya aku memang memasukkan beras yang baru kugiling ke dalam sebuah kantong besar. Tapi kantong berisi beras itu kemudian kusembunyikan di tempat yang biasa, di bawah tumpukan pupuk; jadi bukan di kebunku. Apa yang harus kuperbuat? Mao bertempat tinggal di sebelah. Pen Tip harus kusingkirkan, tapi ini bukan saat yang tepat untuk melakukannya.

Hawa di dalam rumah itu panas. Pen Tip masih terus menunggu jawaban, duduk sambil mengayun-ayunkan kaki.

"Sayang sekali," kataku dengan nada menyindir. "Jika Angka menugaskan dua orang chhlop tadi malam dan mereka melihat aku menyembunyikan beras di kebun, kenapa aku tidak langsung ditangkap saat itu? Kenapa aku tidak digiring pergi? Sebabnya, karena aku sama sekali tidak menyembunyikan beras. Itulah sebabnya. Aku ikut menyesal bahwa orang-orangmu tidak melakukan tugas secara baik untukmu, Pen Tip. Mestinya tidak gampang mencari chhlop yang bisa diandalkan. Aku ikut prihatin."

Pen Tip marah mendengarnya. Ketika aku hendak meninggalkan rumahnya, ia mengatakan bahwa Angka akan mengirim orang untuk melakukan pemeriksaan terhadapku.

Ternyata Pen Tip tidak membuang-buang waktu, Siang itu juga, saat aku sedang berada di lumbung pupuk, istrinya datang ke rumahku. Ia membawa karung beras yang terbuat dari plastik anyaman dan menguburkannya di kebunku. Untung salah seorang tetanggaku melihat perbuatannya itu lalu bergegas lari memberitahu aku. Bagiku percuma saja menuntut keadilan kepada Mao, karena Pen Tip itu anak emasnya; karena itu aku lantas lari ke markas Khmer Merah di Phum Phnom. Sekali ini mereka mau menanggapi. Mereka mengetahui makna bukti-bukti palsu dan aksi pembersihan, karena mereka sendiri juga menghadapinya. Seorang kader datang ke rumahku, mengeluarkan karung berisi beras yang dikuburkan dalam kebunku, lalu memanggil Pen Tip beserta istrinya untuk ditanyai. Semuanya nampak berlangsung dengan sangat sopan, benar-benar khas Kamboja. Tidak ada yang menunjukkan kemarahan, tidak ada yang sampai kehilangan muka, dan segala-galanya tetap tidak menentu.

**********

Aku dan Pen Tip bisa saja terus menjalankan siasat secara balas-membalas, sampai akhirnya salah seorang dari kami mati karenanya. Tapi menjelang akhir tahun 1978, perselisihan pribadi antara kami berdua mulai nampak sepele jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa yang mulai nampak membayang; karenanya kami lantas menghentikan perselisihan kami itu, untuk sementara.

Tanda-tanda pertama bahwa ada sesuatu yang terjadi datang dari Kawan Ik, lelaki tua yang selalu menunggang kuda jika pergi ke mana pun juga. Saat itu bulan Desember, ketika sedang berlangsung kesibukan memanen padi. Ia memanggil kami untuk menghadiri rapat. Kami, yang berjumlah beberapa ratus orang, duduk di Unah untuk mendengarkan pidatonya, sementara kudanya ditambatkan di bawah sebarang pohon di dekat situ.

Lelaki tua itu mengatakan kepada kami bahwa kami masih harus terus berjuang untuk mencapai sasaran yang sudah ditentukan oleh Angka. Kami harus menanam dan memanen padi sebanyak dua sampai tiga kali setahun. la ridak menyinggung-nyinggung kenyataan yang sebenarnya - bahwa belum pernah ada panen untuk kedua atau ketiga kalinya dalam tahun yang mana pun juga, dan hasil panen yang pertama kemudian dibawa pergi, dan bahwa pekerjaan membangun bendungan berlangsung hanya secara asal-asalan saja. Kawan lk jarang mengakui kegagalan rezim. Jadi kami benar-benar tercengang ketika ia menambahkan pada akhir pidatonya:

"Baru-baru ini musuh-musuh kita berani-beraninya menyerang kita di perbatasan. Kita tidak cemas tentang pertempurannya. Tidak ada yang perlu kita takuti. Kita sudah pernah berhasil mengalahkan kaum imperialis Amerika, dan dibandingkan dengan mereka, musuh-musuh kita kali ini cuma kecil saja. Yang perlu diingat adalah bahwa kita harus bertempur di segala medan perjuangan. Bukan cuma medan perjuangan militer, tapi juga di medan perjuangan sawah dan saluran-saluran air. Kita harus terus bekerja. Para prajurit kita akan menjaga perbatasan kita. Itu tidak perlu dicemaskan. Mereka akan menjaga keselamatan kita. Tapi jika kalian melihat musuh datang kemari, beritahukan kepada Angka. Dan jika musuh mengatakan sesuatu kepada kalian, jangan mau percaya. Angkalah satu-satunya kepada siapa kalian harus percaya."

Lelaki tua itu memukulkan kepalan tinjunya ke dadanya yang kerempeng sambil berceriak, "Hidup revolusi Kampuchea!" Kami berdiri dan mendengungkan slogan itu tiga kali berturut-turut, begitu pula slogan-slogan berikutnya. "Hidup solidaritas besar!", lalu "Hidup Angkatan Bersenjata Revolusioner!" Air mata gembira membasahi pipi orang-orang di sekitarku, dan itu sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan slogan-slogan yang diteriakkan. Kami bisa menebak makna yang terkandung dalam kata-kata yang tadi diucapkan oleh lelaki tua itu. "Musuh" sudah menyerbu masuk. Musuh itu bisa siapa saja dan perbatasannya pun bisa perbatasan yang mana saja; tapi bagi kami, budak-budak perang, hanya ada satu kesimpulan yang bisa diambil. Khmer Serei - Khmer Bebas, atau para pejuang kemerdekaan- akhirnya melancarkan serangan dari daerah- daerah kantong pertahanan mereka di sepanjang perbatasan dengan Thailand.

Aku bergembira mendengar kabar itu. Aku merasakan adanya perubahan di dalam tubuhku, bangkitnya harapan, peneguhan hati. Kini ada sesuatu yang bisa menjadi tujuan hidupku. Kataku dalam hati: Ah, Huoy, seandainya kau kini masih hidup, kita akan memiliki peluang untuk bersama-sama menyongsong kebebasan.

Sekitar satu minggu kemudian, ketika aku bersama Sangam sedang menarik gerobak berisi pupuk ke sawah, kami mendengar bunyi ledakan yang samar-samar di kejauhan. Kami mendongak. Dua buah pesawat jet meluncur membelah langit di atas horison, kelihatannya seperti sepasang anak panah berwarna perak. Saat itulah untuk pertama kalinya kami melihat pesawat terbang lagi, setelah sekian tahun.

Kedua pesawat jet itu meluncur dengan cepat sekali ke arah timur, meninggalkan kepulan asap yang menjulang tinggi di belakangnya. Asap itu berasal dari tempat-tempat yang dijatuhi bom. Kami berdiri sambil memandang dengan perasaan kagum.

"Cepat-cepat saja mereka datang kemari," kata Sangam.

"Makin cepat, makin baik," kataku menanggapi.

Tapi pihak yang menyerbu itu ternyata tidak bergegas-gegas. Sejak yang pertama kali itu kami tidak lagi melihat pesawat terbang melintas. Dan dari pihak Khmer Merah juga tidak ada kabar baru.

Awal bulan Januari 1979 sebuah iring-iringan kereta api barang yang datang dari arah Phnom Penh memasuki stasiun Phnom Tippeday. Gerbong- gerbongnya penuh dengan serdadu-serdadu Khmer Merah yang luka-luka. Bahkan ada pula yang duduk di atas atap gerbong-gerbong itu. Mereka menegakkan perkemahan dan berjalan mondar-mandir terpincang-pincang, menyalakan api untuk memasak. Mereka dan serdadu-serdadu yang ditempatkan dekat desa kami berpandang-pandangan dengan sikap marah. Antara mereka juga terjadi pertengkaran yang berlangsung dengan suara membentak-bentak.

Beberapa hari kemudian mulai muncul barisan panjang orang-orang sipil yang berjalan satu-satu. Mereka datang dari arah selatan, dari sebuah jalan memutar yang menuju Phnom Penh. Mereka didului oleh kader-kader yang mengendarai gerobak sapi berukuran besar dan beratap. Orang-orang sipil itu nampak lebih sehat dan berpakaian lebih rapi, jika dibandingkan dengan keadaan kami. Seperti serdadu-serdadu yang lebih dulu muncul dalam keadaan luka-luka, rombongan orang sipil itu merupakan bagian dari suatu gerakan mundur teratur. Bekal makanan mereka banyak: kantong-kantong kain berbentuk guling dan berisi beras diselempangkan ke leher; ayam hidup, ikan asin berkantong-kantong; beras berkarung- karung di dalam gerobak-gerobak. Gerobak- gerobak itu ditempatkan sepanjang tepi jalan kereta api, dan tidak lama kemudian udara malam sudah penuh asap yang berasal dari sekian ratus api yang dinyalakan untuk memasak.

Rombongan orang sipil dan serdadu yang luka-luka itu dilarang berbicara dengan kami, orang-orang "baru" yang ada di situ. Mereka kelihatannya ketakutan. Saban hari ada saja beberapa dari mereka yang diikat lalu digiring pergi di depan senapan yang diacungkan; dan tidak pernah ada satu pun dari orang-orang itu yang kembali. Seseorang yang berjalan dengan bantuan tongkat karena kakinya dipotong digiring pergi karena dipersalahkan "tidak berhasil melindungi tanah air".

Kegilaan karena takut dan kecewa merajalela di mana-mana. Di desa kami, orang-orang yang kclihatan terlalu senang langsung saja digiring pergi. Dan itu terjadi baik siang maupun malam. Sepatah kata saja yang keliru, sekali saja ada pandangan yang memancarkan kegembiraan, Mao pasti langsung memerintahkan segenap keluarga orang itu dihukum mati. Serdadu-serdadu seperti keranjingan. Menurut mereka, karena kesalahan kamilah "musuh" datang.

Saat itu kami harus sangat berhati-hati. Suatu kali, ketika aku bersama Sangam sedang menarik gerobak pupuk kami melewati sebuah jalan yang sudah sering kami lalui, kami sampai di sebuah bukit kecil. Kami melihat mayat bertumpuk-tumpuk di atas bukit itu. Mereka dibunuhi dengan pukulan pada bagi belakang kepala. Tubuh mereka sudah sangat membengkak, menyebabkan pakaian yang membungkusnya robek. Bau yang menghambur busuknya luar biasa. Burung-burung pemakan bangkai bertengger di atas tumpukan dan mematuk-matuk daging mereka. Beberapa hari kemudian kami jumpai lagi lokasi pembantaian lain di tengah hutan, dengan ratusan mayat ditimbunkan ke dalam sebuah lubang.

Aku pergi ke pohon sdao yang tumbuh miring dan berdoa minta perlindungan kepada arwah Huoy. Aku mulai biasa tidur dekat makamnya, lalu di dalam lumbung pupuk, Ialu berpindah-pindah tempat setiap malam; karena takut kepada Mao, takut kepada Pen Tip. Aku tidak lagi mencuri. Keadaan di luar saat malam hari sudah tidak aman lagi.

Aku mengemasi semua yang kuperlukan untuk bisa melarikan diri dengan cepat, lalu kusembunyikan di bawah tumpukan pupuk. Kusuruh Sangam, adikku Hok, dan Ngor Balam agar bersiap-siap jika ingin ikut dengan aku. Balam sudah agak tua umurnya. Tubuhnya jangkung. Dulu dia pejabat eksekutif pada sebuah perusahaan penerbangan di Phnom Penh. la hanya kerabat jauhku dari pihak Ayah; tapi kami tetap satu klen, dan kami saling mempercayai. Kami bersepakat bahwa kami akan bersama-sama menuju ke perbatasan Thailand, menyongsong pasukan Khmer Serei yang ada di sana.

Tapi sebelum kami sempat melaksanakan niat itu, datang lagi gelombang pendatang baru. Sekali ini mereka tidak datang dari timur seperti gelombang pengungsi yang pertama, atau dari selatan seperti gelombang yang berikut, tapi dari arah barat laut, dari desa-desa di luar kota Battambang. Mereka pun muncul dalam barisan panjang yang berjalan satu-satu, membawa barang-barang bawaan mereka dalam ransel atau dipikul; beberapa wanita di antara mereka menjunjung keranjang di atas kepala. Pakaian mereka masih lebih baik ketimbang yang melekat pada tubuh kami. Mereka tidak berani berbicara dengan kami. Rombongan pengungsi yang baru itu berbaur dengan rombongan-rombongan sebelumnya, tapi kemudian berpisah lagi ketika pengungsi yang baru datang melanjutkan perjalanan menuju Pegunungan Cardamom.

Kami sudah lebih dari tiga tahun tinggal di Phnom Tippeday. ltulah dunia kami, dan juga penjara yang mengungkung kami. Kini kami melihatnya dengan mata para pendatang baru, sebagai sebidang kecil wilayah yang tidak berarti dalam manuver-manuver peperangan yang berskala jauh lebih besar. Kami menduga bahwa 'musuh" bergerak mendekat dari dua front: dari selatan di mana Phnom Penh terletak, dan dari barat laut, dekat kota Battambang.

Mao menghilang dengan membawa semua sapi dan kerbau, berkarung-karung beras dan garam, bekal ikan asin dan bahan pangan lain-lainnya yang ada di dapur umum, segala perlengkapan dapur, sanak-keluarganya dan harta milik pribadiaya. Setelah dia pergi, tidak ada lagi yang memegang kewenangan memerintah di desa kami. Menurutku, itu saat yang baik bagi kami untuk pergi; tapi Balam dan Hok berhasil membujukku agar menunggu dulu. Tahu-tahu Mao muncul lagi. dan selama beberapa hari kami kembali menerima pembagian makanan di dapur umum. Kami pergi ke sawah untuk memanen padi, dan malam hari kami menghadiri rapat-rapat politik. Kami mendengarkan pidato yang begitu-begitu terus, tentang "melancarkan ofensif" terhadap kekuatan alam dan "berjuang untuk mencapai kemerdekaan berdaulat yang sejati". Kedengarannya seperti piringan hitam yang memperdengarkan lagu yang selalu saja sama. Kami mendengarkan sambil membisu karena takut, tapi dengan sembunyi-sembunyi kami mengatur rencana pelarian.

Kemudian Mao pergi lagi bersama para pemimpin Khmer Merah yang lain-lainnya, dengan diam-diam, ketika hari sudah malam. Pen Tip mengangkat dirinya sendiri menjadi pemimpin untuk sementara. Dikatakannya kepada seluruh penghuni desa bahwa sudah tiba waktunya bagi kami untuk mengungsi. Dan orang-orang menurut saja. Mereka mengemasi barang-barang mereka dalam keranjang-keranjang dan ransel-ransel buatan sendiri. Tapi mereka melakukannya sambil menggerutu.

Aku berkemas-kemas lagi. Kubawa seluruh milikku, termasuk buku-buku kedokteran yang selama bertahun-tahun kusembunyikan. Sangam, Hok, Balam, para istri dan anak-anak mereka, dengan aku-keseluruhannya empat belas orang -berusaha menuju kota Battambang yang terletak di sebelah barat laut. Tapi ada serdadu- serdadu menghadang di jalan. Kami berbalik, lalu berjalan dengan lunglai mengikuti penghuni desa yang selebihnya.

Sekali ini seluruh penduduk daerah Phnom Tippeday mengungsi. Beberapa desa berkemah sama-sama di sawah, dijaga serdadu-serdadu. Jauh di sebelah barat laut, di balik lokasi bendungan yang belum selesai dibangun, terdengar bunyi gemuruh samar tembakan artileri. Hari- hari berikut bunyinya datang dari arah selatan dan timur, lalu kebanyakan dari timur. Kalau ditilik dari arahnya, kemungkinan pertempuran yang paling sengit sedang berlangsung di salah satu tempat dekat kota Muong, tempat Jalan Nasional 5 memotong jalan kereta api. Tidak terdengar bunyi tembakan senapan. ltu berarti pertempuran masih jauh.

Kami menunggu selama sepuluh hari. Kemudian "musuh" menyerang dari arah barat laut.

Aku sedang bersama kelompokku ketika dengan tiba-tiba terdengar bunyi berondongan senapan otomatik dan senapan mesin. Peluru artileri berjatuhan dan meledak di atas bukit-bukit kecil dan di sawah; asap dan debu berhamburan di tempat-tempat yang kejatuhan peluru. Kami buru- buru lari menjauh sambil membawa barang- barang kami. Tidak kami sangka bahwa kami masih kuat berlari. Pohon-pohon bertumbangan, kerbau-kerbau lari kocar-kacir ketakutan. Debu berhamburan ke udara, bunyi genta yang tergantung pada leher sapi-sapi terdengar ribut berkeIentang-kelenting, orang-orang yang membawa gerobak berdiri di atasnya sambil berteriak-teriak dan melecut-lecurkan cemeti, menyuruh sapi-sapi mereka lari lebih cepat lagi.

Kami membanjir menuju jalan kereta api. Tapi orang-orang Khmer Merah dengan pakaian seragam hitam mereka lari lebih cepat lagi dari kami, menuju ke hutan. Kalau aku sendiri tidak ketakutan waktu itu, aku pasti tertawa melihat begitu cepatnya mereka terbirit-birit. Padahal sebelumnya mereka selalu membangga-banggakan diri sebagai serdadu yang hebat.

Ketika hujan tembakan akhirnya berhenti, kami sudah sampai di suatu daerah bernama Boeung Reaing; daerah itu termasuk garis depan, di mana aku dan Huoy pernah bekerja menggali saluran. Ada ribuan orang "baru" di sekeliling kami, semua dalam keadaan bingung dan tanpa pimpinan. Kami tidak tahu di mana orang-orang Khmer Merah berada saat ini. Kami tidak berani berkutik. Tidak ada yang berani mendului bergerak. Karenanya kami lantas tetap saja di tempat itu, dengan harapan bahwa para pejuang kemerdekaan akan datang membebaskan kami.

Sambil menunggu, kami menyebar memasuki sawah yang belum dipanen padinya. Cuaca saat itu cerah dan panas. Satu jam kemudian di mana-mana sudah nampak orang-orang yang sibuk memanen: lelaki, wanita, anak-anak. Kami merontokkan gabah dengan cara menginjak-injaknya, lalu menumbuknya dengan alu dan lumpang, auu dengan batang-batang kayu yang dihentak-hentakkan ke dalam lubang yang digali di tanah. Tembakan gencar dan kepanikan sewaktu melarikan diri tadi sudah tidak kami ingat lagi. Makananlah yang paling penting bagi kami saat itu, sedangkan keselamatan nomor dua. Padi Battambang yang berlimpah ruah tinggal dipanen saja oleh siapa yang mau. Tidak ada orang di situ yang akan menghukum kami karenanya. Cukup banyak padi untuk semua orang.

Setelah kami makan sampai kenyang dan menyimpan padi untuk persediaan hari-hari mendatang, kami mulai mengasah parang dan pisau; sambil menggerutu dengan nada mengancam, kami menatap orang-orang Khmer Merah yang sementara itu sudah muncul lagi. Orang-orang itu bisa menebak apa yang ada dalam pikiran kami. Mereka ketakutan, lalu bergabung membentuk kelompok-kelompok besar.

Aku memandang berkeliling. Aku melihat Pen Tip. Ia membawa sebuah gerobak sapi. Roda-roda gerobak itu besar dan beruji-ruji. Gerobaknya sendiri sempit dan berdinding tinggi, dengan kantong-kantong dan barang-barang lainnya tertumpuk tinggi di atasnya. Gerobak itu ditarik dua ekor sapi. Sapi-sapi dan gerobak itu milik desa, tapi Pen Tip mengambilnya untuk keperluannya sendiri. Orang-orang yang lain membawa barang bawaan mereka sendiri. Hanya sedikit yang punya sapi, atau gerobak.

Pen Tip memakai pakaian hitam-hitam yang masih baru, serupa dengan yang dipakai para serdadu. Ia memakai kramanya dengan gaya Khmer Merah, seperti memakai selendang, dengan kedua ujungnya terjulur di dada. Ia sedang berbicara dengan beberapa orang iparnya yang berdiri menjaga di sampingnya. Jari-jarinya memilin- milin sebatang rokok. Matanya terkejap-kejap, bergerak liar memandang ke sana dan ke sini. Mukanya bergerak-gerak terus.

Kini tiba saatnya untuk menyelesaikan urusanku dengan Pen Tip, kataku. Sangam mengatakan setuju, sambil mengusap mata parangnya dengan jari jempol. Meski sudah tua, Sangam itu kuat. Perasaanku tenang, karena ada dia di sampingku.

Tapi sebelum aku bisa berbuat apa-apa, para pemimpin Khmer Merah sudah muncul lagi dan mengeluarkan perintah. Mereka mengatakannya kepada orang-orang seperti Pen Tip, lalu Pen Tip meneruskannya kepada kami. Ia mengatakan bahwa kami harus pergi ke sebuah desa yang jauh letaknya di sebelah timur, di dalam hutan. Baru sekali itu aku mendengar nama desa itu. Tapi orang-orang yang selebihnya, yang sudah terbiasa mematuhi perintah, langsung mengangkat barang-barang bawaan mereka lalu mulai berjalan. Hilang kesempatanku untuk melakukan balas dendam. Langkah kaki manusia dan sapi menyebabkan debu memhubung ke udara. Jalan yang dilalui berubah menjadi jaringan lintasan berliku-liku. Ketika matahari terbenam di belakang kami, kuberi isyarat kepada kelompokku supaya berhenti. Pen Tip tidak kelihatan. Aku tidak berniat mengikuti perintahnya. Kukatakan kepada kelompokku bahwa kami akan mengambil jalan memotong ke utara, menuju jalan kereta api. Mereka setuju.

Kami mulai berjalan lagi, kini menuju ke arah yang baru. Tidak lama kemudian seseorang dari Phum Ra datang menggabungkan diri. Orang itu mengatakan bahwa ia melihat Pen Tip memisahkan diri dari rombongan besar, lalu menuju ke arah barat laut.

Aku tersenyum geram. Sudah kukira ia akan berbuat semacam itu. Pen Tip juga berniat meloloskan diri dari Khmer Merah. la tahu bahwa mereka tidak mungkin bisa menang lagi. Ia menganggap sudah waktunya bagi dia untuk menyeberang dan mendekatkan diri kepada Khmer Serei. Tapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa langsung menuju ke arah posisi pasukan-pasukan pembebas, tanpa ketahuan. Itulah sebabnya kenapa ia meneruskan perintah kepada kami yang selebihnya, lalu berusaha menghilang di tengah kerumunan orang banyak.

Kami berjalan menuju jalan kereta api. Kemudian kami tiba di sebuah desa yang terdiri dari rumah-rumah panggung yang dibangun di sela-sela pepohonan yang rimbun serta pohon buah-buahan.

Sebelum kami, sudah ribuan pengungsi yang tiba di desa itu. Tempat itu lebih cocok jika disebut daerah tak bertuan, tanpa serdadu sarna sekali di sekeliling kami. Kami memutuskan untuk tetap tinggal di situ, untuk sementara.

Sementara kami menunggu, dengan harapan bahwa perang akan lewat tanpa melibatkan tempat kami berlindung untuk sementara waktu itu, di sekeliling kami terbentang daerah persawahan yang tinggal dipanen. Setiap hari kami pergi memanen padi sebanyak yang kami inginkan. Di sana juga ada sungai yang besar, dan kami pergi ke sana untuk mandi. Kami masih belum lagi memperoleh kemerdekaan kami; tapi kami tetap tinggal di tempat itu selama enam sampai tujuh hari, karena di situ kami bisa memenuhi segala kebutuhan pokok kami. Air dan beras.

Kemudian pasukan-pasukan tentara pembebasan bergerak maju, dan Khmer Merah melakukan langkah mundur. Pen Tip muncul bersama mereka, dengan gerobaknya. Dengan mata terkejap-kejap gugup dan sambil melirik-lirik kian-kemari, ia menyuruh semuanya yang berasal dari Phum Ra agar pindah ke perkemahan Khmer Merah yang ada di dekat situ. Ketika melihat aku di tengah orang banyak, ia berseru, "Samnang, kau harus pindah ke perkemahan tentara. Para pemimpin kita menunggu di sana."

"Kau saja duluan, Pen Tip." kataku dengan sengit lalu meludah ke tanah.

Alis mata Pen Tip terangkat. Ia menuding ke arah perkemahan Khmer Merah. "Para pemimpin menunggu di sana. Garis depan ditarik mundur. Eh, kau harus pergi. Angka akan menyediakan beras di sana."

Tanganku bergerak ke pinggang. Tapi parang yang biasanya terselip di situ ternyata tidak ada. Aku meninggalkannya di tempat barang-barang bawaanku.

"Kau duluan ke sana." kataku sekali lagi. "Tidak ada yang mau percaya padamu, Pen Tip. Tidak ada yang mau mempercayai kata-katamu. Sebelum ini kau mengatakan kepada orang-orang yang tidak membawa gerobak, yang memikul diri barang-barang bawaan mereka, bahwa mereka harus pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Tapi kau sendiri tidak ke sana. Kau pergi ke arah lain, dan kau punya gerobak untuk mengangkut barang-barang bawaanmu."

Kami dikerumuni orang-orang yang berasal dari Phum Ra. Mereka semua tahu apa yang sedang terjadi, yang sedang berlangsung dengan cara yang khas Kamboja: tidak langsung, dan tanpa melupakan tatakrama. Hal yang sedang terjadi saat itu merupakan pernyataan perang, seperti menampar dengan sarung tangan sebagai tanda menantang berkelahi. Aku sedang "merusak mukanya".

Pen Tip nampak cemas. Ia membuang muka. "Kau, eh, kau tidak boleh berbicara begitu. Eh, aku bukan orang semacam itu." Ujung-ujung jarinya memilin-milin rokoknya yang dibungkus daun bambu. "Tidak sepantasnya kaubicara begitu, Samnang. Kata-kata seperti itu pantasnya ditujukan kepada anak-anak kuil."

"Aku mengatakan begitu karena kau anak kuil. Kau tidak pernah mengatakan yang sebenarnya kepada orang-orang, atau memperlakukan mereka dengan sepatutnya. Kau selalu saja membohongi orang-orang yang tidak bersalah."

"Jika kau tidak mau pergi. itu tanggung jawabmu sendiri," kata Pen Tip. "Angka yang menyuruh aku memberitahukan kepada kalian. Aku cuma ingin menolong kalian, dengan menyampaikan perintah ini."

Aku menatapnya lama-lama. Tapi ia tidak berani membalas tatapanku.

Kemudian ia pergi dengan gerobaknya.

***********

Ketika kemarahanku akhirnya surut dan aku sudah tenang kembali, aku tetap merasa enak. Aku telah bertindak dengan cara yang layak. Dalam masyarakat Kamboja yang sangat mementingkan tatakrama dan tidak pemah bersikap blak-blakan, kita harus menghina lawan kita dulu di depan umum, sebelum melangkah ke tahap selanjutnya. Hanya dengan cara begitu kita tidak akan kehilangan muka. Menyerang lawan secara fisik tanpa terlebih dulu menciptakan alasan untuk berkelahi merupakan tindakan yang hina dan tidak beradab, seperti yang dilakukan oleh Khmer Merah.

Pokoknya, dalam waktu dekat akan terjadi pertarungan penentuan antara kami berdua, kata ku dalam hati. Saat itu aku akan bisa mempergunakan parangku, untuk membela diri atau untuk melakukan serangan. Pen Tip bertubuh kecil, jadi akan bisa kukalahkan dengan mudah.

Tapi setelah aku mandi di sungai, lalu sambil berbaring-baring memikirkan lagi kejadian tadi, saat itu barulah kusadari kekeliruanku. Kenapa sih, aku jadi begini? Kenapa aku sampai bisa melakukan kekeliruan semacam itu? Pen Tip takkan memberi kesempatan padaku untuk menantangnya berkelahi satu lawan satu. Itu takkan mungkin terjadi, karena ia sudah mendekatkan dirinya kembali pada Khmer Merah. Pasti ia akan mengerahkan serdadu-serdadu unruk menggiringku pergi.

Ketika langit sudah sepenuhnya gelap, kami mengarungi sungai ke seberang. Kami bolak-balik beberapa kali, sampai barang-barang bawaan dan anak-anak semuanya sudah ada di seberang. Setelah itu kami meneruskan perjalanan lagi. Tidak lama kemudian kami sampai di jalan kereta api, yang nampak samar-samar diterangi cahaya bintang-bintang yang kemerlip di langit malam. Kami berkemah di atas sebuah bukit kecil, di belakang jalan kereta api. Aku berbaring dengan mata nyalang, berpikir tentang Pen Tip. sambil menggenggam parangku.

Ketika fajar sudah menyingsing, sementara yang lain-lainnya turun ke sawah untuk menambah bekal makanan, aku pergi untuk melakukan pengintaian. Aku memperhatikan keadaan di sekeliling, kalau-kalau ada serdadu-serdadu Khmer Merah atau pasukan-pasukan pembebas yang datang. Tapi aku tidak melihat atau mendengar apa-apa.

Tidak ada bunyi tembakan artileri. Tidak ada kereta api yang lewat. Tidak ada pesawat terbang yang melintas di atas langit biru yang kosong.

Sekeliling kami sunyi. Perasaanku tidak enak. Kemarinnya masih ada bunyi tembakan-tembakan di sebelah timur, utara, dan barat, tapi semuanya di kejauhan.

Sangam dan istrinya memutuskan bahwa mereka hendak ke timur, menyusur jalan kereta api menuju Phnom Penh. Aku memuruskan akan membawa kelompokku ke Utara menuju Jalan Nasional 5, dan dan sana ke barat, menuju Thailand. Kami saling mengucapkan semoga selamat di jalan, lalu berpisah. Kami berpisah secara baik-baik. Sebagai teman, Sangam ini jujur dan bisa diandalkan.

Kelompok kami kini tinggal dua belas orang, semuanya masih berkerabat. Aku yang memimpin mereka. Ngor Balam, istrinya, dan dua orang anaknya, ditambah seorang keponakan. Hok dan istrinya membawa anak perempuan mereka yang masih bayi, ditambah tiga orang anak mendiang abangku Pheng Huor-dua di antaranya perempuan, Im dan Ngim, serta seorang anak lelaki yang masih kecil, Chy Kveng. Anak-anak itu bertubuh kekar semuanya, dan tidak rewel. Bahkan Chy Kveng yang masih kecil itu pun eanggup berjalan sepanjang hari, Tanpa minta digendong. Tapi dengan anak-anak yang begitu banyak, kami tidak bisa bergerak dengan cepat. Keadaan kami rawan.

Kami berjalan menyusur lintasan gerobak, menyeberang sawah dan menembus hutan, memilih jalan yang menuju ke arah yang benar. Sekitar satu jam sekali aku memanjat pohon, untuk memeriksa di mana kami berada. Dari puncak pepohonan bisa kulihat punggung gunung dekat Phnom Tippeday di kejauhan; kuil yang sudah rusak dan stupa di sebelahnya nampak membaur. membentuk sebuah bintik putih.

Kami hanya bisa bergerak dengan lambat, karena adanya anak-anak bersama kami, dan karena kami juga sering berhenti untuk mencari apa-apa yang bisa dimakan. Aku merasa gugup, tapi sekaligus juga waspada. Berulangkali aku pergi sebentar untuk melakukan pengintaian. Jika berjumpa dengan orang-orang biasa seperti kami, kami tanyakan apakah mereka melihat serdadu-serdadu. Mereka semua menjawab bahwa mereka tidak berjumpa serdadu.

Kaki kami berselimut debu, setelah begitu lama berjalan. Ketika kami sampai di sebuah saluran air, kami mandi sebentar di situ lalu meneruskan perjalanan. Akhirnya kami tiba di sebuah desa yang tidak ada penghuninya lagi. Pisang dan mangga yang masih hijau bergelantungan seperti mengundang kami untuk memetik, dan di kebun-kebun ada gadung. Kami langsung saja menyerbu. Hari itu juga kami sampai di sebuah desa lain yang tidak berpenghuni. Kami memetik buah pepaya dan nangka yang ada di situ, lalu memakannya. Keesokan harinya kami melihat seekor babi yang sedang sibuk menggali umbi gadung di sebuah ladang. Kami bertiga, yang lelaki dalam rombonganku, mengejar babi itu dan berhasil menangkapnya. Kemudian muncul rombongan pengungsi lain, ketika kami sedang memasak babi ItU. Dengan rela kami membagi daging babi itu dengan mereka. Semuanya makan sampai kenyang. Setelah itu kami duduk-duduk sambil mengobrol dengan santai.

Aku mulai merasa agak enak, karena perut sudah kenyang. Selain itu ada teman mengobrol.

Kami bisa makan apa saja, kapan saja, tergantung kemauan kami.

Kami bisa berbicara sekehendak hati. Kami bisa melancarkan kritik dengan bebas, mengutarakan pendapat, menunjukkan kemarahan. Kami tidak harus tetap bungkam apabila ada orang lain berbuat tolol, atau melakukan tindakan yang tidak adil.

Masa kegelapan yang panjang sudah hampir berakhir.

Sementara kami berjalan dalam hutan menuju jalan besar, aku mulai menyanyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar