Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 19 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 32 : Pembebasan



32. PEMBEBASAN


KETIKA kami akhirnya berhasil sampai di Jalan Nasional 5, ternyata lintasan itu masih dikuasai Khmer Merah. Mereka mengatakan bahwa kami tidak bisa ke Battambang lewat jalan itu. Kami berbalik dengan perasaan keeut, laIu mulai berjalan ke arah timur, menuju Phnom Penh. Kami berjalan lambat-lambat. Aneh rasanya, melangkah di atas aspal. Jalanan yang kami lewati penuh sesak. Kami tidak diapa-apakan oleh serdadu-serdadu yang ada di situ.

Suara-suara pertempuran datang dari hampir segala arah, tapi jauh sekali bunyinya.

Waktu itu awal bulan Maret 1979. Satu hari, berlalu, lalu hari berikutnya, dan setelah itu hari berikutnya lagi. Kami terus menunggu-nunggu datangnya peluang. Tapi tidak ada yang datang. Kami tetap sabar, dan berhati-hati. Ada satu pepatah Kamboja yang mengatakan, "Ombak terakhirlah yang menenggelamkan perahu." Tidak ada gunanya bersikap ceroboh, sementara kcbebasan sudah begitu dekat.

Kami berjalan selambat mungkin, tidak sampai satu mil dalam sehari. Kami dilewati orang-orang yang bergegas hendak kembali ke Phnom Penh. Rombongan kami sama sekali tidak mencolok mata. Kami hanyalah serombongan pengungsi yang berpakaian compang-camping. Orang-orang lelakinya memikul barang-barang bawaan yang terayun-ayun di ujung tongkat pikulan, para wanitanya menjunjung keranjang di atas kepala, sementara anak-anak berjalan merapatkan diri karena ingin merasa aman.

Malam hari kami tidak berjalan. Kami bahkan tidak berani meninggalkan badan jalan untuk membuang hajat. Di kedua sisi jalan ada lubang-lubang ranjau yang dalam dan dipasangi bambu runcing yang ditancapkan di dasarnya. Selain itu masih ada pula bom-bom ranjau dalam lubang-lubang di samping jalan dan di dekat jembatan-jembatan. Air hujan sudah mengikis lapisan tanah yang semula ditimbunkan di atas tombol bahan

peledak yang terbuat dari logam berukuran kira-kira sebesar tempurung lutut, sehingga kebanyakan dari bom-bom itu kelihatan. Meski begitu ada juga sapi yang menginjaknya, dan menyebabkan tewasnya beberapa orang kenalan kami dari Phum Ra dan mencederai sejumlah orang lagi.

Di sebelah barat Muong, kami terjebak di tengah hujan lebat yang diiringi guntur dan petir yang menyambar-nyambar. Orang-orang lainnya yang ada di jalan berebut-rebut mencari perlindungan dalam sebuah pondok yang ada di tepi jalan besar. Tapi kami tidak. Kami duduk saja di aspal jalanan tanpa perlindungan, sepanjang malam.

Setelah empat tahun di bawah kungkungan rezim Khmer Merah, tubuh yang kedinginan dan basah kuyup tidak begitu kami pedulikan lagi. Kami sudah ditempa pengalaman kami selama itu.

Kami melewati beberapa orang serdadu yang kadang menggali parit dan memasang rintangan dari kawat berduri. Kemudian kami sampai di kota Muong, tempat jalan besar yang sedang kami lalui itu memotong jalan kereta api. Sudah puluhan ribu pengungsi tiba lebih dulu dari kami di situ. Stasiun kereta api ternyata masih utuh, begitu pula deretan toko milik pedagang-pedagang Cina yang ada di situ. Selebihnya sudah berubah menjadi puing-puing reruntuhan. Di belakang stasiun ada gerbong-gerbong yang sudah berkarat. Papan-papan dinding gerbong-gerbong ltu tidak ada lagi, sudah diambil orang untuk dijadikan kayu bakar. Bangkai-bangkai mobil bertumpuk-tumpuk, ditumbuhi tumbuhan menjalar yang menyusup di sela lubang-lubang yang menganga. Mesin mobil-mobil itu tidak ada lagi, karena sudah diambil. Rumah-rumah tinggal puing-puingnya saja. Sebagian dari wat yang ada di situ musnah, dan tidak ada patung-patung Budha lagi di dalamnya. Jembatan yang melintasi sungai tinggai besi-besinya saja yang centang-perenang. Di sebelahnya sudah dibangun jembatan darurat dari kayu, untuk lewat orang-orang yang berjalan kaki.

Kami sebetulnya ingin tinggal untuk sementara di kota itu. Tapi keesokan harinya Khmer Merah yang terus bergerak mundur menyuruh kami meneruskan perjalanan. Rombongan kami yang paling akhir meninggalkan kota, dan paling lambat jalannya.

Di timur Muong, semua orang sipil disuruh Khmer Merah meninggalkan Jalan Nasional 5 dan masuk ke sebuah jalan tanah yang mengarah ke Pegunungan Cardamom. Mereka hendak mengontrol gerak penduduk untuk kepentingan militer, tapi selain itu mereka sama sekali tidak mempedulikan kami. Mereka tidak memberi kami makanan sama sekali, begitu pula air. Di mana-mana tidak ada air. Cuaca panas sekali. Beberapa orang yang lebih lemah ambruk dan mati karena mengalami dehidrasi. Orang-orang yang sudah tidak kuat lagi menahan rasa haus menempelkan mulut mereka ke tanah lalu meminum air bercampur kencing yang mengisi bekas-bekas tapak kaki sapi dan kerbau.

Di jalan tanah itulah dimulai aksi-aksi pembantaian untuk melampiaskan dendam. Mula-mula Khmer Merah memanggil orang-orang sipil untuk menghadiri rapat umum yang mereka adakan. Kemudian mereka menembakkan peluru-peluru mortir ke arah kerumunan penduduk sipil yang datang, sehingga menewaskan ratusan orang. Pihak Khmer Merah sudah selalu memandang rendah terhadap orang-orang "baru". Mereka menyalahkan kami sebagai penyebab terjadinya penyerbuan, seperti halnya mereka mempermasalahkan kami atas segala kegagalan mereka.

Kemudian rakyat melakukan pembalasan. Kami hanya melihat akibat-akibatnya saja: tubuh seorang Khmer Merah beserta istrinya yang sedang hamil dan anak-anaknya, bergeletakan dalam keadaan tercincang di dalam hutan; lalu keesokan harinya mayat seorang Khmer Merah lainnya, lalu hari berikutnya satu orang lagi. Keadaan sudah tidak aman lagi bagi Khmer Merah untuk pergi ke mana-mana, kecuali secara beramai-ramai.

Rombonganku mulai kehabisan makanan. Seseorang yang berkemah dekat kami bercerita padaku tentang sebuah gudang beras di bawah tanah yang terdapat di sisi seberang Jalan Nasional 5. Diceritakannya bagaimana ia berhasil mencapai tempat itu, menemukan beras yang ditimbun di situ, dan kemudian kembali lagi. Kemudian aku membicarakan rencana mengambil beras ke gudang itu dengan Hok dan Balam. Mereka tidak berani mengambil risiko. Tapi aku tidak takut. Dan ketika fajar menyingsing tanggal 17 Aprii 1979, kulangkahkan kaki memasuki babak berikut dalam petualanganku.

********

Sekitar delapan puluh orang, lelaki dan wanita, bergabung untuk bersama-sama pergi ke gudang beras itu. Beberapa orang lelaki di antara kami sudah pernah ke sana. Merekalah yang menjadi penunjuk jalan. Kami bergerak menyusur hutan, menyeberangi saluran-saluran, melewati jalan-jalan tanah dan lintasan gerobak sapi. Kami melewati beberapa lokasi pembantaian, di mana Khmer Merah membunuhi penduduk sipil atau sebaliknya.

Sekitar pukul delapan pagi kami sampai di Jalan Nasional 5. Jalan itu lengang. Tidak seorang pun nampak di situ. Tembakan artileri terdengar samar, seperti bunyi guruh di kejauhan. Kami melintasi jalan besar itu, lalu masuk lagi ke dalam hutan.

Aku hanya membawa barang seperlunya saja: tongkat pikulan dengan dua karung beras yang kuikatkan padanya; pelplesku yang berisi beras kugantungkan ke ikat pinggangku; serta parangku yang kusisipkan di balik kramaku yang kulilitkan ke pinggang. Aku bertelanjang kaki, dengan pakaian robek-robek. Di balik pinggang celanaku kusembunyikan geretan Zippoku, arlojiku yang buatan Swiss dan ada penanggalannya, serta beberapa keping emas.

Kami sampai ke sebuah persawahan yang menjorok masuk ke dalam hutan seperti tanjung. Ujung lain lahan pertanian itu menyambung dengan sawah lain yang lebih luas lagi. "Aku jarang me1ihat persawahan seperti itu: terbentang datar sampai berkilometer-kilometer, nyaris tanpa bukit- bukit kecil seperti yang biasanya nampak. Aku merasa bahwa kami pasti sudah hampir sampai di tempat tujuan, yaitu gudang penimbunan beras di bawah tanah. Jauh di depan, mungkin sekitar lima belas sampai dua puluh lima kilomeler di depan, terletak danau Tonle Sap yang luas.

Petak-petak sawah itu digenangi air. Kami meninggalkan hutan dan mulai berjalan di atas pematang. Ketika kami berada sekitar seratus meter jauhnya dari hutan, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan memberondong. Datangnya dari hutan di sebelah kanan kami. Beberapa di antara kami tertembak dan langsung roboh ke tanah. Yang selebihnya buru-buru mencari perlindungan di balik pematang yang tingginya sekitar lima sampai enam puluh senti dan tebalnya lebih dari satu kaki; mudah-mudahan saja cukup tebal untuk menahan peluru AK-47, doaku dalam hati. Khmer Merah keparat! Tega-teganya menembaki orang-orang sipil tak bersenjata yang hanya berniat mencan makanan!

Kemudian terdengar suara orang berseru-seru. Yo dee! Yo dee! Yo dee!" Datangnya dari hutan di sisi kiri kami.

Aku tidak tahu arti seruan itu. Baru sekali itu aku mendengarnya.

Kuangkat kepalaku sesaat, memandang ke arah datangnya suara itu. Kulihat orang-orang berpakaian seragam berlari-lari ke arah kami, sambil berjongkok sebentar dan menembak setiap kali mereka sampai di balik sebuah pematang yang melindungi. Mereka melambaikan tangan, memberi isyarat kepada kami agar bergerak ke arah mereka. Orang-orang berseragam itu melepaskan tembakan-tembakan ke arah Khmer Merah, bukan ke arah kami.

"Yo! Yo dee! Yo dee!"

Peluru berdesingan lewat, memuncratkan air dan lumpur di sawah. Sambil tetap berlindung di balik pematang, aku merayap maju. Tongkat pikulanku tidak kutinggalkan. Tubuhku terbenam sampai separo di dalam air yang menggenangi sawah. Aku hanya bisa melihat air dan lumpur, serta kaki orang yang merayap di depanku.

Orang-orang berseragam yang memberi isyarat kepada kami agar bergerak mendekati mereka tadi ada di hadapan, serong ke sebelah kiri. Pematang yang memisahkan terbujur dengan arah miring, cukup tinggi sehingga bisa dijadikan perlindungan. Tapi saat kami harus lewat di atasnya untuk bisa sampai di sisi sebaliknya, posisi kami terbuka. Seorang lelaki yang merayap di depanku terkena tembakan ketika ia sedang merangkak hendak naik ke atas pematang. la tergeletak sambil mengerang kesakitan. Darah menyembur dari luka di kakinya. Aku buru-buru merayap naik ke atas pematang lalu berguling menjatuhkan diri ke sisi belakangnya. Selamat! Aku terus merayap lagi. Tidak ada yang datang memberi pertolongan pada lelaki yang terluka itu.

"Yo dee!"

Salah seorang berpakaian seragam yang memanggil kami nampak tidak jauh lagi di depan kami. la berjongkok di balik sudut dua pematang yang saling memotong; berselang-seling menembakkan senapan dan memberi tanda agar kami bergerak ke arahnya. Antara aku dan dia terbenyang sepetak sawah lagi. Aku merayap maju dengan bertumpu pada kedua siku, di balik perlindungan pematang. Kurasa belut pun tidak mungkin merayap lebih rendah lagi dalam lumpur. Kemudian aku cepat-cepat melintasi pematang yang masih memisahkan diriku dan orang berseragam itu, lalu menjatuhkan diri di belakangnya.

Aku bertiarap dalam genangan air berlumpur di belakangnya, merapat ke sisi pematang. Napasku tersengal-sengal.

Akhirnya irama napasku tenang kembali.

Aku sudah selamat.

Sepotong jerami mengambang di air, hanya beberapa senti di depan hidungku.

Aku memandang ke arah lelaki berseragam itu. berjongkok di balik sudut perpotongan pematang dengan sikap yang khas tentara. Ia menembak dengan lengan kiri menopang senapan, sambil sebentar-sebentar melambaikan tangan kanan menyuruh orang-orang bergerak ke arahnya. Ia memakai seragam berwarna hijau muda dan cepiau hijau, yakni topi seperti yang biasa dipakai tuan-tuan kebun zaman dulu. Orangnya masih muda, bertubuh ramping, berkulit kuning, dan bermata sipit. Di sisi depan cepiaunya ada sebuah bintang berwarna merah.

Dia orang Vietnam.

Kenapa ada orang Vietnam di sini?

Setiap orang tahu bahwa Khmer Serei sedang bergerak maju. Kami semua tahu tentang Khmer Serei. Pemimpin mereka In Tam, jenderal yang terkenal jujur, yang dikalahkan Lon Nol dalam pemilihan semasa awal tahun tujuh puluhan yang penuh kecurangan. Tapi tidak pernah ada yang menyebut-nyebut tentang orang Vietnam.

Bahkan Khmer Merah pun tidak pernah menyinggung- nyinggung tentang Vietnam. Mereka hanya bicara tentang "musuh".

Tapi ini? Kenapa orang-orang Vietnam yang komunis menembak ke arah Khmer Merah, yang juga komunis?

Kenapa bukan ke arahku mereka menembak?

"Yo dee!" Serdadu muda itu berseru lagi. "Yo. Yo dee!" Ia mengganti magasin peluru senapan AK-47-nya dengan yang baru, membidik, lalu memberondongkan tembakan lagi. Selongsong peluru berhamburan ke sisi kanannya, berceburan ke dalam air.

Begitu ia selesai memberondongkan senapannya sebanyak satu kali, seorang Kamboja berpakaian compang-camping muncul berguling-guling di atas pematang dan menjatuhkan diri di belakangnya dan tepat menimpa tubuhku. Kaki orang itu berlumur darah. Ia merayap maju sedikit lagi di balik pematang, lalu berbaring di situ sambil mengerang-erang.

Aku merapatkan tubuhku ke sisi pematang.

Ketika tembakan sudah menurun kegencarannya, seorang serdadu Vietnam lain, yang berada di petak sawah di sebelah kami, bergerak maju degan hati-hati, mengendap di balik sebuah pematang, lalu maju lagi.

Tembak-menembak sudah berhenti.

"Dee," kata serdadu yang ada di sebelahku, sambil memberi isyarat kepada kami, orang-orang Kamboja berjumlah sekitar selusin yang saat itu ada di petak sawah itu. Serdadu itu merangkak ke arah hutan, diikuti oleh kami yang merangkak di belakangnya. Hanya lelaki yang tadi tertembak kakinya saja yang tetap tergeletak. Orang itu sudah mati. Serdadu itu berguling melewati sebuah pematang. Kami yang lelaki mengikuti contohnya. Para wanita di antara kami melakukannya dengan merangkak.

Setelah beberapa pematang lagi kami lewati, akhirnya kami aman berada di luar lintasan peluru. Kami berdiri, lalu bergegas-gegas menuju sisi belakang sebuah bukit kecil. Di situ sudah menunggu seseorang berkulit sawo matang dan berwajah lebar. Orang Kamboja. Ia memegang senjata AK-47, tapi mengenakan pakaian preman.

"Kami datang untuk membebaskan kalian," katanya dalam bahasa Khmer. "Kalian tidak perlu cemas. Jangan takut."

Sementara itu sudah lebih banyak lagi temananku serombongan tadi yang sampai di balik bukit kecil itu, dikawal serdadu-serdadu Vietnam. Kutaksir jumlahnya antara empat puluh sampai lima puluh orang. Beberapa di antara mereka menanyakan apakah kami bisa kembali lagi sebentar untuk menolong sanak kerabat yang luka dan masih tergeletak di tengah sawah, tapi orang Kamboja pejuang kemerdekaan itu melarang. "Khmer Merah masih ada dalam hutan di sebelah sana itu. Biar sahabat-sahabat kita orang Vietnam yang mengambil saudara-saudara kalian itu."

Semakin banyak orang Kamboja pejuang kemerdekaan yang bermunculan dari tempat perlindungan mereka di dalam hutan di dekat situ. Mereka tidak terlibat dalam tembak-menembak tadi. Sementara itu semakin bertambah jumlah orang Vietnam yang datang dengan tubuh basah berlumpur. Mereka datang dari medan pertempuran di sawah. Mereka nampak tegang dan marah. Mereka mengacung-aτungkan pistol di depan muka kami, sambil memberi isyarat menyuruh kami mengangkat tangan. "Pol Pot? Pol Pot?" kata mereka dengan nada bertanya.

Emah apa maksud mereka dengan ucapan itu. Pol Pot? Aku tidak tahu artinya. Tapi aku buru-buru menjelaskan kepada serdadu Kamboja itu bahwa kami ini penduduk sipil, dan kami sedang berkeliaran mencari makanan. Beberapa orang dari kami yang bisa berbahasa Vietnam mengatakan hal yang sama kepada serdadu-serdadu Vietnam itu. Kami semua sibuk memberi penjelasan, dengan tangan terangkat ke atas. Nampak nyata hubungan antara serdadu-serdadu Kamboja dan pihak Vietnam tidak bisa dibilang bersahabat. Serdadu-serdadu Kamboja lebih sedikit jumlahnya sehingga bersikap mengalah; tapi kelihatan bahwa mereka tidak menyukai situasi itu. Para serdadu Vietnam memandang rendah terhadap mereka, dan juga terhadap kami. Sesudah menerjemahkan, serdadu-serdadu Kamboja itu mengatakan bahwa kami boleh menurunkan tangan kami. Tapi serdadu-serdadu Vietnam mendatangi kami satu per satu sambil menunjuk dengan laras senjata mereka. Mereka menanyakan lewat juru bahasa, apakah kami Khmer Merah.

Kemudian orang-orang Vietnam itu mengambil krama kami dan menggunakannya untuk mengikat kedua siku kami di belakang punggung. setelah itu mereka menggeledah kami, menyita pisau, parang. dan juga tembakau. Selanjutnya kami digiring masuk hutan, menyusur sebuah jalan setapak.

Nah, kejadian berulang. kataku dalam hati. Mereka mengatakan bahwa mereka datang untuk membebaskan kami, tapi kenyataannya sekarang kami diikat. Sama saja dengan Khmer Merah.

Mereka menggiring kami ke sebuah perkemahan tentara Vietnam yang terdiri atas tenda-tenda yang berderet-deret. Perwira yang menjadi komandan di situ keluar dari tendanya, dengan kaus oblong putih dan pistol di tangan. Lewat juru bicara ia menanyakan apakah ada di antara kami yang bisa berbahasa Vietnam. Salah seorang dari kami mengajukan diri, lalu dibawa agak menjauh untuk ditanyai. Kemudian komandan itu menanyai kami dengan bantuan juru bicara. Ia ingin tahu letak pangkalan Khmer Merah, jumlah serdadunya, dan apa persenjataan mereka. Tidak seorang pun dari kami mengetahuinya. Selain itu kami juga tidak berani mengatakan apa-apa, karena takut. Sementara itu orang yang tadi mengatakan bahwa ia bisa berbahasa Vietnam, ternyata dipukuli oleh orang-orang yang memeriksanya.

Kemudian kami diikat tiga-tiga dengan posisi saling membelakangi, dengan menggunakan krama kami sebagai ganti tali. Orang yang tadi mengatakan bisa berbahasa Vietnam dan kemudian diperiksa sambil dipukuli, kini dibawa kembali dan digabungkan dengan aku. Beberapa tentara Vietnam berpangkat rendah mendatangi kami yang sudah dipisah-pisahkan membentuk kelompok-kelompok tiga orang, dan lewat juru bahasa mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama tentang Khmer Merah. Ketika mereka mendatangi aku, kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa, bahwa aku hanya mencari makan saja; mereka lantas memukul perutku, sampai sesak napasku karenanya. Mereka memukul orang yang terikat di belakangku, yang tadi sudah mereka pukuli. Dan serdadu-serdadu Kamboja yang berperan sebagai juru bahasa tidak berbuat apa-apa untuk mencegah.

Kulihat bahwa tidak semuanya dari kami dipukuli serdadu-serdadu Vietnam, melainkan hanya yang berkulit kuning saja, atau dengan perkataan lain yang kerurunan Cina atau yang mempunyai darah Cina. Tapi aku tidak bisa mengatakan apakah itu disebabkan karena orang-orang Vietnam itu membenci orang Kamboja yang keturunan Cina, atau karena mereka beranggapan bahwa kami yang berdarah Cina memiliki pengamatan yang lebih tajam, dan sebab itu kemungkinan merupakan sumber informasi yang lebih baik ketimbang golongan etnis Khmer yang berkuat sawo matang.

Sekitar pukul tiga siang kami dilepaskan lagi. Artinya, kami tidak lagi dibentuk berkelompok tiga orang. Tapi masing-masing masih tetap terikat kedua lengannya di belakang punggung. Kemudian kami digiring pergi, melintasi sawah dan menembus hutan, menuju ke Jalan Nasional 5. Kami berjalan ke arah barat, dengan kaki telanjang di atas aspal yang panas, kemudian menyeberangi sebuah jembatan yang sudah ambruk. Di situ kami diizinkan berhenti sebentar. Orang-orang yang berkulit sawo matang dilepaskan, tapi yang berkulit kuning seperti aku dibiarkan tetap terikat. Aku merasa bahwa aku nanti pasti akan mengalami perlakuan khusus.

Kami bergerak menyusur jalan menuju Battambang, yang terikat dan yang tidak bersama-sama, dengan seorang serdadu Vietnam saja mengawal di depan. Aku memberi isyarat kepada seseorang berkulit sawo matang agar membuka ikatanku. Permintaanku itu diturutinya. Setelah itu kubebaskan yang lain-lainnya dari ikatan mereka. Ada beberapa di antaranya yang menolak dibebaskan, karena takut pada serdadu yang mengawal. Tapi serdadu itu tidak pernah menoleh ke belakang. Dan nampaknya dia juga tidak peduli. Akhirnya kami berhenti di jalan masuk ke sebuah pangkalan militer Vietnam. Di depan nampak bercokol sebuah tank. Serdadu-serdadu di situ tinggal di rumah-rumah panggung bergaya tradisional Kamboja. Serdadu yang mengawal kami masuk ke dalam untuk melapor. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, lalu lewat seorang juru bicara mengatakan kepada kami sambil menuding-nuding, "Kalian pergi ke sana. Semua. Pergi ke sana. Ke Battambang."

Kami bergerak menyusur jalan lagi, sambil membisu.

Tongkat pikulanku sudah tidak ada lagi, begitu pula parangku. Hanya pelples saja yang masih ada, masih penuh berisi nasi, serta pakaianku yang robek-robek dan berlumur lumpur, serta keping-keping emas yang kusembunyikan dalam saku yang ada di balik pinggang celanaku.

5ebagian dari rombongan yang berangkat beramai- ramai untuk mencari makanan berhenti sebentar karena ingin beristirahat, sementara yang selebihnya berjalan dengan tempo masing-masing, menuju Battambang. Dengan segera kedua kelompok itu sudah terpisah jauh, tidak bisa saling melihat lagi.

Aku berjalan terus. Ketika sampai di ujung jalan tanah yang menuju ke Phnom Tippeday. aku berhenti. Saat itu hari sudah sore.

Kukeluarkan arlojiku yang dilengkapi dengan penanggalan. Hari itu tanggal 17 April tahun 1979.

Tepat empat tahun lamanya aku berada di bawah kungkungan Khmer Merah.

Aku berpikir: Tidak, Khmer Merah merebut Phnom Penh saat pagi hari, tanggal 17 Aprii tahun 1975. Sekarang ini pukul enam sore. Jadi sedikit lebih dari empat tahun. Empat tahun dan delapan jam.

Aku berusaha menangkap makna waktu yang sudah berlalu, tapi tidak ada sesuatu pun yang bisa kujadikan patokan.

Masa-masa tinggal di Phnom Penh rasanya sudah begitu lama berlalu, tapi di pihak lain masih begitu segar dalam ingatan, seperti baru kemarin saja.

Begitu banyak yang sudah terjadi.

Semuanya sudah mati. Huoy, orangtuaku, semuanya.

Aku masih hidup. tapi dengan pengorbanan yang teramat besar.

Dewa-dewa telah melakukan kekeliruan yang luar biasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar