32. PEMBEBASAN
KETIKA kami akhirnya
berhasil sampai di Jalan Nasional 5, ternyata
lintasan itu masih dikuasai
Khmer
Merah. Mereka mengatakan bahwa kami
tidak
bisa ke Battambang lewat jalan itu. Kami
berbalik
dengan perasaan keeut, laIu mulai berjalan
ke arah timur,
menuju Phnom Penh. Kami berjalan
lambat-lambat. Aneh rasanya, melangkah
di atas
aspal. Jalanan yang kami lewati penuh
sesak.
Kami tidak diapa-apakan oleh serdadu-serdadu yang
ada di situ.
Suara-suara
pertempuran datang dari hampir
segala
arah, tapi jauh sekali bunyinya.
Waktu itu awal bulan
Maret 1979. Satu hari, berlalu, lalu hari
berikutnya, dan setelah itu hari
berikutnya
lagi. Kami terus menunggu-nunggu
datangnya
peluang. Tapi tidak ada yang datang.
Kami
tetap sabar, dan berhati-hati. Ada satu
pepatah
Kamboja yang mengatakan, "Ombak
terakhirlah
yang menenggelamkan perahu." Tidak
ada
gunanya bersikap ceroboh, sementara
kcbebasan
sudah begitu dekat.
Kami berjalan
selambat mungkin, tidak sampai
satu mil
dalam sehari. Kami dilewati orang-orang
yang
bergegas hendak kembali ke Phnom Penh.
Rombongan
kami sama sekali tidak mencolok
mata.
Kami hanyalah serombongan pengungsi
yang
berpakaian compang-camping. Orang-orang
lelakinya
memikul barang-barang bawaan yang
terayun-ayun
di ujung tongkat pikulan, para
wanitanya
menjunjung keranjang di atas kepala,
sementara
anak-anak berjalan merapatkan diri
karena
ingin merasa aman.
Malam hari kami tidak
berjalan. Kami bahkan tidak berani
meninggalkan badan jalan untuk
membuang
hajat. Di kedua sisi jalan ada lubang-lubang ranjau
yang dalam dan dipasangi bambu
runcing
yang ditancapkan di dasarnya. Selain itu
masih
ada pula bom-bom ranjau dalam lubang-lubang di
samping jalan dan di dekat jembatan-jembatan. Air
hujan sudah mengikis lapisan tanah
yang
semula ditimbunkan di atas tombol bahan
peledak yang terbuat
dari logam berukuran kira-kira
sebesar
tempurung lutut, sehingga kebanyakan
dari
bom-bom itu kelihatan. Meski begitu ada
juga
sapi yang menginjaknya, dan menyebabkan
tewasnya
beberapa orang kenalan kami dari Phum
Ra dan
mencederai sejumlah orang lagi.
Di sebelah barat
Muong, kami terjebak di tengah hujan lebat
yang diiringi guntur dan petir
yang
menyambar-nyambar. Orang-orang lainnya
yang ada
di jalan berebut-rebut mencari perlindungan dalam
sebuah pondok yang ada di tepi
jalan
besar. Tapi kami tidak. Kami duduk saja di
aspal
jalanan tanpa perlindungan, sepanjang malam.
Setelah empat tahun
di bawah kungkungan rezim Khmer Merah,
tubuh yang kedinginan dan
basah
kuyup tidak begitu kami pedulikan lagi.
Kami
sudah ditempa pengalaman kami selama itu.
Kami melewati
beberapa orang serdadu yang
kadang
menggali parit dan memasang rintangan
dari
kawat berduri. Kemudian kami sampai di
kota
Muong, tempat jalan besar yang sedang kami
lalui
itu memotong jalan kereta api. Sudah
puluhan
ribu pengungsi tiba lebih dulu dari kami
di situ.
Stasiun kereta api ternyata masih utuh,
begitu
pula deretan toko milik pedagang-pedagang
Cina
yang ada di situ. Selebihnya sudah
berubah
menjadi puing-puing reruntuhan. Di
belakang
stasiun ada gerbong-gerbong yang sudah
berkarat.
Papan-papan dinding gerbong-gerbong
ltu
tidak ada lagi, sudah diambil orang untuk
dijadikan
kayu bakar. Bangkai-bangkai mobil
bertumpuk-tumpuk,
ditumbuhi tumbuhan menjalar
yang
menyusup di sela lubang-lubang yang
menganga.
Mesin mobil-mobil itu tidak ada lagi,
karena
sudah diambil. Rumah-rumah tinggal
puing-puingnya
saja. Sebagian dari wat yang ada
di situ
musnah, dan tidak ada patung-patung
Budha
lagi di dalamnya. Jembatan yang melintasi
sungai
tinggai besi-besinya saja yang centang-perenang. Di
sebelahnya sudah dibangun jembatan
darurat
dari kayu, untuk lewat orang-orang
yang
berjalan kaki.
Kami sebetulnya ingin
tinggal untuk sementara di kota itu. Tapi
keesokan harinya Khmer Merah
yang
terus bergerak mundur menyuruh kami
meneruskan
perjalanan. Rombongan kami yang
paling
akhir meninggalkan kota, dan paling
lambat
jalannya.
Di timur Muong, semua
orang sipil disuruh Khmer Merah
meninggalkan Jalan Nasional 5 dan
masuk ke
sebuah jalan tanah yang mengarah ke Pegunungan Cardamom.
Mereka hendak mengontrol gerak penduduk untuk
kepentingan militer, tapi selain itu
mereka sama sekali tidak mempedulikan
kami.
Mereka tidak memberi kami makanan
sama
sekali, begitu pula air. Di mana-mana tidak ada
air. Cuaca panas sekali. Beberapa orang yang lebih
lemah ambruk dan mati karena mengalami
dehidrasi.
Orang-orang yang sudah tidak kuat lagi
menahan
rasa haus menempelkan mulut mereka ke
tanah
lalu meminum air bercampur kencing yang
mengisi
bekas-bekas tapak kaki sapi dan kerbau.
Di jalan tanah itulah
dimulai aksi-aksi pembantaian
untuk
melampiaskan dendam. Mula-mula
Khmer
Merah memanggil orang-orang sipil untuk
menghadiri
rapat umum yang mereka adakan.
Kemudian
mereka menembakkan peluru-peluru
mortir
ke arah kerumunan penduduk sipil yang
datang,
sehingga menewaskan ratusan orang.
Pihak
Khmer Merah sudah selalu memandang
rendah
terhadap orang-orang "baru". Mereka menyalahkan
kami sebagai penyebab terjadinya
penyerbuan,
seperti halnya mereka mempermasalahkan
kami
atas segala kegagalan mereka.
Kemudian rakyat
melakukan pembalasan. Kami
hanya
melihat akibat-akibatnya saja: tubuh
seorang
Khmer Merah beserta istrinya yang
sedang
hamil dan anak-anaknya, bergeletakan
dalam
keadaan tercincang di dalam hutan; lalu
keesokan
harinya mayat seorang Khmer Merah
lainnya,
lalu hari berikutnya satu orang lagi.
Keadaan
sudah tidak aman lagi bagi Khmer Merah
untuk
pergi ke mana-mana, kecuali secara beramai-ramai.
Rombonganku mulai
kehabisan makanan. Seseorang
yang
berkemah dekat kami bercerita padaku
tentang
sebuah gudang beras di bawah tanah
yang
terdapat di sisi seberang Jalan Nasional 5. Diceritakannya
bagaimana ia berhasil mencapai
tempat
itu, menemukan beras yang ditimbun di
situ,
dan kemudian kembali lagi. Kemudian aku
membicarakan
rencana mengambil beras ke gudang
itu
dengan Hok dan Balam. Mereka tidak
berani
mengambil risiko. Tapi aku tidak takut.
Dan
ketika fajar menyingsing tanggal 17 Aprii
1979,
kulangkahkan kaki memasuki babak berikut
dalam
petualanganku.
********
Sekitar delapan puluh
orang, lelaki dan wanita,
bergabung
untuk bersama-sama pergi ke gudang
beras
itu. Beberapa orang lelaki di antara kami
sudah
pernah ke sana. Merekalah yang menjadi
penunjuk
jalan. Kami bergerak menyusur hutan,
menyeberangi
saluran-saluran, melewati jalan-jalan
tanah
dan lintasan gerobak sapi. Kami
melewati
beberapa lokasi pembantaian, di mana
Khmer
Merah membunuhi penduduk sipil atau
sebaliknya.
Sekitar pukul delapan
pagi kami sampai di Jalan
Nasional
5. Jalan itu lengang. Tidak seorang pun
nampak
di situ. Tembakan artileri terdengar
samar,
seperti bunyi guruh di kejauhan. Kami
melintasi
jalan besar itu, lalu masuk lagi ke dalam
hutan.
Aku hanya membawa
barang seperlunya saja: tongkat pikulan
dengan dua karung beras yang
kuikatkan
padanya; pelplesku yang berisi beras
kugantungkan
ke ikat pinggangku; serta parangku
yang
kusisipkan di balik kramaku yang kulilitkan ke
pinggang. Aku bertelanjang kaki, dengan
pakaian
robek-robek. Di balik pinggang celanaku
kusembunyikan
geretan Zippoku, arlojiku yang
buatan
Swiss dan ada penanggalannya, serta
beberapa
keping emas.
Kami sampai ke sebuah
persawahan yang menjorok masuk ke
dalam hutan seperti tanjung.
Ujung
lain lahan pertanian itu menyambung
dengan
sawah lain yang lebih luas lagi. "Aku jarang me1ihat
persawahan seperti itu: terbentang datar
sampai
berkilometer-kilometer, nyaris tanpa bukit- bukit
kecil seperti yang biasanya nampak.
Aku
merasa bahwa kami pasti sudah hampir
sampai
di tempat tujuan, yaitu gudang penimbunan beras di bawah tanah. Jauh di depan,
mungkin sekitar lima belas
sampai dua puluh lima kilomeler
di
depan, terletak danau Tonle Sap yang luas.
Petak-petak sawah itu
digenangi air. Kami meninggalkan
hutan
dan mulai berjalan di atas pematang.
Ketika
kami berada sekitar seratus meter jauhnya
dari
hutan, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan
memberondong.
Datangnya dari hutan di sebelah
kanan
kami. Beberapa di antara kami tertembak
dan
langsung roboh ke tanah. Yang selebihnya
buru-buru
mencari perlindungan di balik pematang
yang
tingginya sekitar lima sampai enam puluh senti dan tebalnya lebih dari satu kaki; mudah-mudahan saja
cukup tebal untuk menahan peluru AK-47,
doaku
dalam hati. Khmer Merah keparat! Tega-teganya menembaki
orang-orang sipil tak bersenjata
yang
hanya berniat mencan makanan!
Kemudian terdengar
suara orang berseru-seru.
Yo dee!
Yo dee! Yo dee!" Datangnya dari hutan
di sisi
kiri kami.
Aku tidak tahu arti
seruan itu. Baru sekali itu
aku
mendengarnya.
Kuangkat kepalaku
sesaat, memandang ke arah
datangnya
suara itu. Kulihat orang-orang berpakaian
seragam berlari-lari
ke arah kami, sambil berjongkok sebentar
dan menembak setiap kali mereka sampai di
balik sebuah pematang yang
melindungi.
Mereka melambaikan tangan, memberi
isyarat
kepada kami agar bergerak ke arah
mereka.
Orang-orang berseragam itu melepaskan
tembakan-tembakan
ke arah Khmer Merah, bukan
ke arah
kami.
"Yo! Yo dee! Yo
dee!"
Peluru berdesingan
lewat, memuncratkan air dan lumpur di sawah.
Sambil tetap berlindung di
balik
pematang, aku merayap maju. Tongkat
pikulanku
tidak kutinggalkan. Tubuhku terbenam
sampai
separo di dalam air yang menggenangi
sawah.
Aku hanya bisa melihat air dan lumpur,
serta
kaki orang yang merayap di depanku.
Orang-orang
berseragam yang memberi isyarat
kepada
kami agar bergerak mendekati mereka tadi
ada di
hadapan, serong ke sebelah kiri. Pematang
yang
memisahkan terbujur dengan arah miring,
cukup
tinggi sehingga bisa dijadikan perlindungan. Tapi
saat kami harus lewat di atasnya untuk
bisa
sampai di sisi sebaliknya, posisi kami terbuka. Seorang
lelaki yang merayap di depanku terkena
tembakan
ketika ia sedang merangkak hendak
naik ke
atas pematang. la tergeletak sambil
mengerang
kesakitan. Darah menyembur dari
luka di
kakinya. Aku buru-buru merayap naik ke
atas
pematang lalu berguling menjatuhkan diri ke sisi
belakangnya. Selamat! Aku terus merayap
lagi.
Tidak ada yang datang memberi pertolongan
pada
lelaki yang terluka itu.
"Yo dee!"
Salah seorang
berpakaian seragam yang memanggil
kami
nampak tidak jauh lagi di depan
kami. la
berjongkok di balik sudut dua pematang
yang saling
memotong; berselang-seling menembakkan
senapan
dan memberi tanda agar kami
bergerak
ke arahnya. Antara aku dan dia terbenyang
sepetak
sawah lagi. Aku merayap maju
dengan
bertumpu pada kedua siku, di balik
perlindungan
pematang. Kurasa belut pun tidak
mungkin
merayap lebih rendah lagi dalam lumpur.
Kemudian
aku cepat-cepat melintasi pematang
yang
masih memisahkan diriku dan orang
berseragam
itu, lalu menjatuhkan diri di belakangnya.
Aku bertiarap dalam
genangan air berlumpur di
belakangnya,
merapat ke sisi pematang. Napasku
tersengal-sengal.
Akhirnya irama
napasku tenang kembali.
Aku sudah selamat.
Sepotong jerami
mengambang di air, hanya beberapa senti di
depan hidungku.
Aku memandang ke arah
lelaki berseragam itu. berjongkok di balik
sudut perpotongan pematang
dengan
sikap yang khas tentara. Ia menembak
dengan
lengan kiri menopang senapan, sambil
sebentar-sebentar
melambaikan tangan kanan menyuruh orang-orang
bergerak ke arahnya. Ia memakai seragam
berwarna hijau muda dan cepiau hijau, yakni topi seperti yang biasa dipakai tuan-tuan kebun zaman dulu. Orangnya masih muda, bertubuh ramping, berkulit kuning, dan bermata sipit. Di sisi depan cepiaunya ada sebuah bintang berwarna merah.
Dia orang Vietnam.
Kenapa ada orang
Vietnam di sini?
Setiap orang tahu
bahwa Khmer Serei sedang bergerak maju. Kami
semua tahu tentang Khmer Serei. Pemimpin
mereka In Tam, jenderal yang
terkenal
jujur, yang dikalahkan Lon Nol dalam
pemilihan
semasa awal tahun tujuh puluhan yang
penuh
kecurangan. Tapi tidak pernah ada yang
menyebut-nyebut
tentang orang Vietnam.
Bahkan Khmer Merah
pun tidak pernah menyinggung-
nyinggung
tentang Vietnam. Mereka hanya bicara tentang
"musuh".
Tapi ini? Kenapa
orang-orang Vietnam yang komunis menembak ke
arah Khmer Merah, yang juga komunis?
Kenapa bukan ke
arahku mereka menembak?
"Yo dee!"
Serdadu muda itu berseru lagi. "Yo.
Yo
dee!" Ia mengganti magasin peluru senapan AK-47-nya
dengan yang baru, membidik, lalu
memberondongkan
tembakan lagi. Selongsong
peluru
berhamburan ke sisi kanannya, berceburan
ke dalam
air.
Begitu ia selesai
memberondongkan senapannya
sebanyak
satu kali, seorang Kamboja
berpakaian
compang-camping muncul berguling-guling
di atas
pematang dan menjatuhkan diri di
belakangnya
dan tepat menimpa tubuhku. Kaki
orang
itu berlumur darah. Ia merayap maju
sedikit
lagi di balik pematang, lalu berbaring di
situ
sambil mengerang-erang.
Aku merapatkan
tubuhku ke sisi pematang.
Ketika tembakan sudah
menurun kegencarannya, seorang serdadu
Vietnam lain, yang berada di
petak
sawah di sebelah kami, bergerak maju
degan
hati-hati, mengendap di balik sebuah
pematang,
lalu maju lagi.
Tembak-menembak sudah
berhenti.
"Dee," kata
serdadu yang ada di sebelahku,
sambil
memberi isyarat kepada kami, orang-orang
Kamboja
berjumlah sekitar selusin yang saat itu
ada di
petak sawah itu. Serdadu itu merangkak ke
arah
hutan, diikuti oleh kami yang merangkak di
belakangnya.
Hanya lelaki yang tadi tertembak
kakinya
saja yang tetap tergeletak. Orang itu
sudah
mati. Serdadu itu berguling melewati
sebuah
pematang. Kami yang lelaki mengikuti
contohnya.
Para wanita di antara kami melakukannya
dengan
merangkak.
Setelah beberapa
pematang lagi kami lewati,
akhirnya
kami aman berada di luar lintasan
peluru.
Kami berdiri, lalu bergegas-gegas menuju
sisi
belakang sebuah bukit kecil. Di situ sudah
menunggu
seseorang berkulit sawo matang dan
berwajah
lebar. Orang Kamboja. Ia memegang
senjata
AK-47, tapi mengenakan pakaian preman.
"Kami datang
untuk membebaskan kalian,"
katanya
dalam bahasa Khmer. "Kalian tidak perlu cemas.
Jangan takut."
Sementara itu sudah
lebih banyak lagi temananku
serombongan
tadi yang sampai di balik
bukit
kecil itu, dikawal serdadu-serdadu Vietnam. Kutaksir
jumlahnya antara empat puluh sampai
lima
puluh orang. Beberapa di antara mereka
menanyakan
apakah kami bisa kembali lagi sebentar
untuk
menolong sanak kerabat yang luka dan
masih
tergeletak di tengah sawah, tapi orang
Kamboja
pejuang kemerdekaan itu melarang.
"Khmer
Merah masih ada dalam hutan di sebelah
sana
itu. Biar sahabat-sahabat kita orang Vietnam yang
mengambil saudara-saudara kalian itu."
Semakin banyak orang
Kamboja pejuang kemerdekaan
yang
bermunculan dari tempat perlindungan
mereka
di dalam hutan di dekat situ.
Mereka
tidak terlibat dalam tembak-menembak
tadi.
Sementara itu semakin bertambah jumlah
orang
Vietnam yang datang dengan tubuh basah
berlumpur.
Mereka datang dari medan pertempuran
di
sawah. Mereka nampak tegang dan
marah.
Mereka mengacung-aτungkan pistol di
depan
muka kami, sambil memberi isyarat menyuruh
kami
mengangkat tangan. "Pol Pot? Pol
Pot?"
kata mereka dengan nada bertanya.
Emah apa maksud
mereka dengan ucapan itu.
Pol Pot?
Aku tidak tahu artinya. Tapi aku buru-buru
menjelaskan
kepada serdadu Kamboja itu
bahwa
kami ini penduduk sipil, dan kami sedang
berkeliaran
mencari makanan. Beberapa orang
dari
kami yang bisa berbahasa Vietnam mengatakan hal
yang sama kepada serdadu-serdadu Vietnam
itu.
Kami semua sibuk memberi penjelasan,
dengan
tangan terangkat ke atas. Nampak nyata
hubungan
antara serdadu-serdadu Kamboja dan
pihak
Vietnam tidak bisa dibilang bersahabat.
Serdadu-serdadu
Kamboja lebih sedikit jumlahnya
sehingga
bersikap mengalah; tapi kelihatan
bahwa
mereka tidak menyukai situasi itu. Para
serdadu
Vietnam memandang rendah terhadap
mereka,
dan juga terhadap kami. Sesudah menerjemahkan, serdadu-serdadu Kamboja itu
mengatakan bahwa kami boleh
menurunkan tangan kami. Tapi
serdadu-serdadu Vietnam mendatangi
kami
satu per satu sambil menunjuk dengan laras
senjata
mereka. Mereka menanyakan lewat juru
bahasa,
apakah kami Khmer Merah.
Kemudian orang-orang
Vietnam itu mengambil krama kami dan
menggunakannya untuk mengikat
kedua
siku kami di belakang punggung.
setelah
itu mereka menggeledah kami, menyita
pisau,
parang. dan juga tembakau. Selanjutnya
kami
digiring masuk hutan, menyusur sebuah
jalan
setapak.
Nah, kejadian
berulang. kataku dalam hati.
Mereka
mengatakan bahwa mereka datang untuk
membebaskan
kami, tapi kenyataannya sekarang
kami
diikat. Sama saja dengan Khmer Merah.
Mereka menggiring
kami ke sebuah perkemahan
tentara
Vietnam yang terdiri atas tenda-tenda
yang
berderet-deret. Perwira yang menjadi komandan di
situ keluar dari tendanya, dengan kaus
oblong
putih dan pistol di tangan. Lewat juru
bicara
ia menanyakan apakah ada di antara kami
yang
bisa berbahasa Vietnam. Salah seorang dari
kami
mengajukan diri, lalu dibawa agak menjauh
untuk
ditanyai. Kemudian komandan itu menanyai
kami
dengan bantuan juru bicara. Ia ingin
tahu
letak pangkalan Khmer Merah, jumlah
serdadunya,
dan apa persenjataan mereka. Tidak
seorang
pun dari kami mengetahuinya. Selain itu
kami
juga tidak berani mengatakan apa-apa,
karena
takut. Sementara itu orang yang tadi
mengatakan
bahwa ia bisa berbahasa Vietnam,
ternyata
dipukuli oleh orang-orang yang memeriksanya.
Kemudian kami diikat
tiga-tiga dengan posisi saling membelakangi,
dengan menggunakan krama kami sebagai ganti
tali. Orang yang tadi mengatakan bisa
berbahasa Vietnam dan kemudian
diperiksa
sambil dipukuli, kini dibawa
kembali
dan digabungkan dengan aku. Beberapa
tentara
Vietnam berpangkat rendah mendatangi
kami
yang sudah dipisah-pisahkan membentuk
kelompok-kelompok
tiga orang, dan lewat juru
bahasa
mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
sama
tentang Khmer Merah. Ketika mereka
mendatangi
aku, kukatakan bahwa aku tidak tahu
apa-apa,
bahwa aku hanya mencari makan saja;
mereka
lantas memukul perutku, sampai sesak
napasku
karenanya. Mereka memukul orang yang
terikat
di belakangku, yang tadi sudah mereka
pukuli.
Dan serdadu-serdadu Kamboja yang berperan
sebagai
juru bahasa tidak berbuat apa-apa
untuk
mencegah.
Kulihat bahwa tidak
semuanya dari kami dipukuli
serdadu-serdadu Vietnam, melainkan hanya yang
berkulit kuning saja, atau
dengan
perkataan lain yang kerurunan Cina atau
yang
mempunyai darah Cina. Tapi aku tidak bisa
mengatakan
apakah itu disebabkan karena orang-orang
Vietnam
itu membenci orang Kamboja
yang
keturunan Cina, atau karena mereka beranggapan bahwa
kami yang berdarah Cina memiliki
pengamatan
yang lebih tajam, dan sebab itu
kemungkinan
merupakan sumber informasi yang
lebih
baik ketimbang golongan etnis Khmer yang
berkuat
sawo matang.
Sekitar pukul tiga
siang kami dilepaskan lagi.
Artinya,
kami tidak lagi dibentuk berkelompok
tiga
orang. Tapi masing-masing masih tetap
terikat
kedua lengannya di belakang punggung.
Kemudian
kami digiring pergi, melintasi sawah
dan
menembus hutan, menuju ke Jalan Nasional
5. Kami
berjalan ke arah barat, dengan kaki
telanjang
di atas aspal yang panas, kemudian
menyeberangi
sebuah jembatan yang sudah ambruk.
Di situ
kami diizinkan berhenti sebentar.
Orang-orang
yang berkulit sawo matang dilepaskan,
tapi
yang berkulit kuning seperti aku
dibiarkan
tetap terikat. Aku merasa bahwa aku
nanti
pasti akan mengalami perlakuan khusus.
Kami bergerak
menyusur jalan menuju Battambang,
yang
terikat dan yang tidak bersama-sama,
dengan
seorang serdadu Vietnam saja mengawal
di
depan. Aku memberi isyarat kepada seseorang berkulit
sawo matang agar membuka ikatanku.
Permintaanku
itu diturutinya. Setelah itu kubebaskan
yang
lain-lainnya dari ikatan mereka. Ada
beberapa
di antaranya yang menolak dibebaskan,
karena
takut pada serdadu yang mengawal. Tapi
serdadu
itu tidak pernah menoleh ke belakang.
Dan
nampaknya dia juga tidak peduli. Akhirnya
kami
berhenti di jalan masuk ke sebuah pangkalan militer
Vietnam. Di depan nampak bercokol
sebuah
tank. Serdadu-serdadu di situ tinggal di
rumah-rumah
panggung bergaya tradisional
Kamboja.
Serdadu yang mengawal kami masuk ke
dalam
untuk melapor. Tidak lama kemudian ia
kembali
lagi, lalu lewat seorang juru bicara
mengatakan
kepada kami sambil menuding-nuding,
"Kalian
pergi ke sana. Semua. Pergi ke sana.
Ke
Battambang."
Kami bergerak
menyusur jalan lagi, sambil
membisu.
Tongkat pikulanku
sudah tidak ada lagi, begitu
pula
parangku. Hanya pelples saja yang masih
ada,
masih penuh berisi nasi, serta pakaianku yang robek-robek
dan berlumur lumpur, serta keping-keping
emas
yang kusembunyikan dalam saku
yang ada
di balik pinggang celanaku.
5ebagian dari
rombongan yang berangkat beramai-
ramai
untuk mencari makanan berhenti sebentar
karena
ingin beristirahat, sementara yang
selebihnya
berjalan dengan tempo masing-masing,
menuju
Battambang. Dengan segera kedua kelompok
itu
sudah terpisah jauh, tidak bisa saling
melihat
lagi.
Aku berjalan terus.
Ketika sampai di ujung jalan tanah yang
menuju ke Phnom Tippeday. aku
berhenti.
Saat itu hari sudah sore.
Kukeluarkan arlojiku
yang dilengkapi dengan penanggalan. Hari itu
tanggal 17 April tahun 1979.
Tepat empat tahun
lamanya aku berada di bawah kungkungan
Khmer Merah.
Aku berpikir: Tidak,
Khmer Merah merebut Phnom Penh saat pagi
hari, tanggal 17 Aprii tahun
1975.
Sekarang ini pukul enam sore. Jadi sedikit
lebih
dari empat tahun. Empat tahun dan delapan
jam.
Aku berusaha
menangkap makna waktu yang
sudah
berlalu, tapi tidak ada sesuatu pun yang bisa kujadikan
patokan.
Masa-masa tinggal di
Phnom Penh rasanya sudah begitu lama
berlalu, tapi di pihak lain masih
begitu
segar dalam ingatan, seperti baru kemarin
saja.
Begitu banyak yang
sudah terjadi.
Semuanya sudah mati.
Huoy, orangtuaku, semuanya.
Aku masih hidup. tapi
dengan pengorbanan yang teramat besar.
Dewa-dewa telah
melakukan kekeliruan yang
luar
biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar