Aku ingin membaktikan buku ini sebagai kenangan kepada ayahku, Ngor Kea, ibuku, Lim Ngor, istriku, Chang Huoy (Chang My Huoy), yang tewas secara teramat sengsara, biadab, dan tanpa perikemanusiaan di bawah rezim komunis Khmer. Buku ini kutulis agar dunia bisa lebih memahami komunisme serta rezim-rezim lainnya di Kamboja.

Minggu, 19 Mei 2013

Neraka Kamboja - Bab 33 : Battambang



33 BATTAMBANG


PAGINYA aku melangkahkan kaki menyusur jalan tanah liar berwarna merah itu, menuju ke Phnom Tippeday, untuk menjenguk makam Huoy.

Jalan itu panjang dan lurus dengan alur-alur bekas aliran air hujan membentuk parit-parit. Di kiri-kanan tumbuh rumput yang tinggi dan lebat. Hanya suara angin dan kicau burung-burung saja yang terdengar; aku tidak melihat seorang manusia pun di situ. Aku melintasi jalan kereta api, lalu mengambil jalan memotong lewat daerah persawahan, bergerak dengan cepat dari bukit kecil yang satu ke bukit kecil berikut, sebentar-sebentar berhenti untuk memandang berkeliling; aku takut tertangkap patroli Khmer Merah atau patroli Vietnam, takut kehilangan kebebasanku lagi. Aku baru merasa aman ketika sudah sampai di bawah pohon sdao besar yang tumbuh miring. Segala-galanya di tempat itu masih kukenal baik, terpateri dalam ingatanku: makam yang segaris letaknya dengan kuil di atas gunung, pohon yang menaunginya, pola petak-petak sawah di sekeliling.

Sambil berlutut kukatakan kepada Huoy bahwa setelah ini aku akan lama sekali tidak bisa datang lagi kemari. Tapi suatu waktu nanti aku pasti kembali, dan akan kubawa dia ke tempat peristirahatan yang lain, di sebelah kuil yang di atas bukit. Kuminta padanya agar melindungi keselamatanku, sampai aku kembali lagi nanti.

Doaku itu dijawab arwah Huoy. Ia mengatakan bahwa ia akan menjaga dan membimbing diriku. Ia berjanji akan terus mendampingi aku.

Aku merasa lega. Penting artinya bagiku. mengetahui bahwa arwah Huoy selalu mendampingi, meski secara jasmani kami terpisah begitu jauh. Tapi ketika aku berdiri lagi, aku tidak melihat siapa-siapa. Perasaan senangku langsung lenyap, dan rasa sunyi dan takut kembali menyelimuti
 diriku.

Dengan cepat aku berjalan melewati desa Phum Ra, yang kini nampak semakin suram. Pintu-pintu di rumahku sudah terlepas dari engselnya, begitu pula lembaran-lembaran kajang pada dinding. Di mana-mana nampak lembaran kajang dan seng, sampah dan mangkuk-mangkuk berkarat, berserakan di jalan. Pintu-pintu gudang yang di dekat dapur umum terpentang lebar. Tidak ada apa-apa lagi di dalamnya. kecuali beberapa butir beras yang tumpah di lantai.

Dalam perjalanan keluar dari desa aku menemukan sepasang sepatu hijau yang biasa dipakai orang Vietnam, bagian atasnya terbuat dari kanvas, dan solnya dari karet. Kumasukkan kakiku ke dalamnya, lalu kugerak-gerakkan jari-jari kaki untuk memeriksa pas tidaknya. Pas. Setelah itu aku meneruskan langkah dengan secepat-cepatnya. Agak aneh rasanya: telapak kakiku tidak lagi menyentuh tanah.

Aku kembali ke persimpangan Jalan Nasional 5 lalu bermalam di situ. Aku mendengar bunyi gemuruh tembakan artileri. Datangnya dari arah tenggara, dari arah tempat keluargaku sewaktu aku meninggalkan mereka untuk pergi mencari beras. Aku tidak bisa kembali ke tempat mereka. Aku hanya bisa menunggu.

Di jalan besar itu mulai bermunculan berita-berita yang dituliskan di atas kertas atau kepingan kayu dan ditancapkan ke batang pohon. Berita itu berasal dari orang-orang yong menyatakan bahwa ia masih hidup dan kini menuju ke timur, ke Phnom Penh. Lalu ada wanita yang menulis bahwa ia kehilangan suami dan anak-anaknya yang masih kecil. Ia sendiri sekarang akan ke barat, ke Battambang. Anak-anaknya yang lebih besar dimintanya menyusul ke sana, jika mereka masih hidup. Berita-berita yang ditulis dengan tangan, pesan-pesan yang mengandung harapan dan keputusasaan.

Arus pengungsi mengalir ke dua arah di jalan itu, berhenti sebentar untuk membaca berita-berita yang tertulis, lalu meneruskan langkah dengan terseok-seok, capek, kelu, dan dengan jiwa yang terguncang berat. Ketika aku bertanya apakah mereka melihat keluargaku, mereka mengatakan tidak; tapi pikiran mereka ada di tempat lain, tatapan mata mereka menerawang, seakan-akan aku tidak ada di hadapan mereka.

Aku mulai gelisah setelah menunggu beberapa hari, tapi keluarga masih juga belum muncul. Aku mulai berjalan bolak-balik menyusur jalan besar itu. Kubaca tulisan-tulisan yang berisi berita, aku berbicara dengan para pengungsi yang berpapasan, kucari-cari wajah yang kukenal. Aku teringat ketika aku dulu mencari-cari Huoy dan orangtuaku, setelah kami mengungsi keluar dari Phnom Penh. Tapi lalu lintas di Jalan Nasional 1 tahun 1975 jauh berbeda dari keadaan lalu lintas di Jalan Nasional 5, tahun 1979.

Kini tidak ada mobil yang didorong, atau sepeda motor. Tidak ada pesawat televisi, radio, kipas angin, atau kotak-kotak berisi buku yang dibawa. Jika di antara arus pengungsi itu masih ada yang memiliki sesuatu, maka milik itu terbungkus dalam buntalan yang digantungkan di ujung tongkat pikulan, atau dipanggul, atau dijunjung di atas kepala. Mereka terseok-seok bertelanjang kaki dalam kelompok-kelompok, dua atau tiga atau lima orang yang kurus kering berpakaian compang-camping, lalu beberapa orang lagi yang tersaruk-saruk beberapa ratus meter di belakang. Kebanyakan dari mereka berkoreng mukanya. Tahun 1975 dulu, para wanita masih memperhatikan penampilan mereka, tapi kini, tahun 1979, yang nampak cuma pakaian yang robek-robek, dan kaum wanitanya sudah tidak peduli lagi itu. Tahun 1975 dulu, jika ada kenalan yang saling berjumpa, selalu muncul penanyaan, "Kau sudah makan?", atau "Berapa anak Anda?" Tahun 1979 ini mereka memandang dengan mata yang membayangkan ketakutan, lalu bertanya, "Siapa saja dari keluargamu yang masih hidup?"

Selain itu masih ada satu perbedaan lagi: tahun 1975 dulu, semuanya ketakutan menghadapi Khmer Merah. Kini ketakutan itu sudah berubah menjadi kemarahan.

Tiga orang lelaki bangsa Kamboja yang kurus-kurus dan berpakaian compang-camping berjalan sambil menggiring seorang lelaki lain, yang bertubuh lebih kekar dan nampak sehat. Kedua lengannya ditelikung begitu kuat di belakang punggungnya, sampai dadanya terdorong ke depan.

Ketiga lelaki muda itu menggebukinya sambil berteriak-teriak, "Katakan! Ayo katakan: 'Aku Khmer Merah'."

"Aku Khmer Merah," kata tawanan mereka dengan suara lirih, sementara ia digiring ke tempat di mana aku sedang berada.

"Lebih keras! Katakan, 'Aku membunuh banyak orang'."

"Aku membunuh banyak orang," kala lelaki bertubuh kekar itu mengulangi. Ia hanya memakai celana kolor.

Seperti lalat mencium bau makanan, orang-orang bermunculan dari kiri kanan jalan dan berlari-lari menghampiri tawanan itu. Aku juga ikut berlari. "Masing-masing satu kali" seru ketiga orang yang menangkapnya kepada kami. "Kalian harus bergantian! Masing-masing memukulnya satu kali saja!" Kerumunan orang semakin mendesak maju. Bahkan para wanita pun ikut menggebuki secara bergiliran.

"Minggir," kataku. Orang-orang melapangkan jalan. Aku melangkah maju dengan cepat lalu mengayunkan kaki sekeras-kerasnya ke arah atas, menendang sela selangkangan orang itu yang langsung ambruk dengan wajah menggerenyot kesakitan. Para penawannya menyentakkannya sehingga berdiri lagi.

Orang-orang yang ribut berkerumun dengan marah itu terus bergerak di jalan, dengan si Khmer Merah di tengah-tengah. Mukanya bengap dan berdarah-darah. Setiap kali ia roboh, dengan segera orang-orang menyentakkannya sehingga bangun lagi. Serdadu-serdadu Vietnam hendak turun tangan untuk menyelamatkannya, tapi mereka didorong dengan begitu sengit sehingga mereka merasa lebih baik mundur saja. Gerombolan yang mengepung tawanan itu terus saja bergerak. Kemudian muncul seseorang membawa parang. la mengayunkan senjatanya itu dan membunuh si Khmer Merah.

Lalu ada seseorang yang memancung kepala orang yang sudah mati itu lalu menancapkannya di ujung sebatang bambu. Orang-orang menuliskan sesuatu dengan arang pada selembar papan. Papan itu dipasangkan ke batang bambu tadi. yang kemudian ditancapkan di pinggir jalan agar tulisan itu bisa dibaca oleh setiap orang yang lewat.

Tulisan itu berbunyi, "Khmer Merah-Musuh Bebuyutan. "

**********

Saban hari ada saja truk-truk Vietnam yang lewat di jalan itu; ada yang mengangkut pasukan, dan yang lain-lainnya menghela persenjataan artileri. Banyak pula tank yang lewat, bunyi ban-ban besinya gemerincing di atas aspal. Aku masih saja belum tahu, kenapa orang-orang Vietnam ada di Kamboja. Aku tidak mengerti: orang-orang yang dulu mengajari Khmer Merah kini memerangi bekas murid mereka, komunis memerangi komunis. Aku tidak bisa menemukan penjelasannya. Tapi satu hal sudah pasti, yaitu besarnya kekuatan militer Vietnam yang datang. Persenjataan mereka seakan tidak habis-habisnya. Pasukan- pasukan mereka nampak serius dan disiplin. Di kawasan Asia Tenggara. tidak ada yang mampu mengalahkan mereka! Khmer Merah tidak mungkin, begitu pula Khmer Serei; itu jika mereka memang benar-benar ada, dan sementara itu aku sudah menyangsikannya. Betapa tololnya kami, mau saja percaya bahwa Khmer Serei akan datang membebaskan kami. Kami benar-benar bebal waktu itu! Tidak pernah diberi kesempatan uotuk tahu apa-apa, dan mengarang-ngarang cerita angan-angan sendiri tentang pejuang-pejuang kemerdekaan, lalu menyebarkannya seolah-olah itu fakta.

Tapi kini, nasi sudah menjadi bubur. Kamboja sudah diduduki orang-orang asing, kataku dalam hati dengan perasaan getir. Rezim yang menyiksa aku sudah digulingkan, dan yang kini berkuasa rezim lain, yang mengikat dan memukuli aku.

Secara historis, Vietnam musuh kami. Semasa abad kesembilan belas mereka mencaplok wilayah Kamboja yang terletak di delta sebelah hilir Sungai Mekong, dan sewaktu remaja dulu aku sering mendengar bahwa Vietnam juga ingin mencaplok wilayah Kamboja yang selebihnya. Tapi bagiku pada tahun 1979 itu mereka boleh saja ada di Kamboja, selama itu hanya untuk sebentar saja. Kedatangan mereka mempercepat berakhirnya rezim Khmer Merah, meski rezim itu memang sudah mulai berantakan. Bagiku waktu itu masih mendingan ada orang-orang Vietnam, ketimbang Khmer Merah. Orang-orang Vietnam itu tidak mempedulikan para pengungsi yang ada di jalan besar. Mereka membiarkan saja kami berkeliaran ke mana-mana mencari makanan.

Beberapa kali aku ikut mencari makanan bersama sejumlah serdadu Vietnam yang berkemah di pinggir jalan. Aku ditemani seorang Kamboja yang bisa berbahasa Vietnam. Kami membantu serdadu-serdadu itu menangkapi bebek-bebek peliharaan orang, dan sebagai imbalan kami diberi daging sapi dan babi yang mereka tembak.

Kami selalu pergi bersama tiga orang serdadu yang itu-itu juga. Umur mereka sekitar dua puluh tahun. Mereka nampak sehat dan bersikap sopan. Kami tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi kepada mereka, dan mereka juga bersikap sama terhadap kami. Tapi suatu malam ketika kami sedang duduk-duduk mengelilingi api unggun, kutanyakan kepada mereka apa sebabnya tentara Vietnam yang membebaskan diriku kemudian mengikat aku dan memukul perutku. Serdadu- serdadu itu menjawab bahwa bagi mereka sulit untuk mengetahui orang Kamboja mana yang bisa dipercaya. "Ada orang Khmer Merah yang bersikap seolah-olah dia penduduk sipil, tapi kemudian membunuhi orang-orang Vietnam. Jadi kami terpaksa berhati-hati," kata seorang dari mereka lewat kenalanku yang menerjemahkan.

Aku tetap saja sangsi. Keterangan itu tidak menjelaskan sikap memusuhi yang nampak pada serdadu-serdadu yang menanyai aku, atau kesengitan yang nampak dalam hubungan antara mereka dan para mitra mereka yang orang Kamboja. Meski begitu, serdadu yang masih muda itu mau menanggapi pertanyaanku secara normal. Percakapan seperti itulah yang tidak mungkin bisa dilakukan dengan orang-orang Khmer Merah. Lewat kenalanku aku lantas bertanya, apa sebabnya Vietnam menyerbu Kamboja. "Karena Pol Pot membunuhi banyak orang," kata salah satu dari serdadu-serdadu itu. "Kami datang umuk membebaskan kalian dari cengkeraman Pol Pot."

Pol Pot. Sejak awal datangnya pembebasan, berulangkali aku mendengar nama itu disebut-sebut. Kata orang, Pol Pot itu pemimpin Angka, pemimpin organisasi yang tanpa wujud itu. Tapi tentang itu pun aku sangsi. Sulit rasanya bisa percaya bahwa satu orang-siapa pun juga orang itu-yang memikul seluruh tanggung jawab atas segala kejadian yang menyebabkan negeri Kamboja porak-poranda seperti sekarang ini.

Selain itu aku mempunyai teoriku sendiri. Menurut pendapatku, kesalahannya tidak terletak pada seseorang saja, tapi pada sebuah negara asing, yakni Cina. Selama empat tahun mataku melihat truk-truk buatan Cina, senjata-senjata buatan Cina, pakaian seragam buatan Cina. Kupingku dipekakkan musik propaganda bergaya Cina. Hampir segala-galanya yang ada pada Khmer Merah, mulai dari istilah "kemerdekaan berdaulat" mereka, sampai-sampai tindakan mengusir penduduk kota ke daerah pedesaan umuk belajar dari kaum petani, semuanya meniru Revolusi Kebudayaannya Mao Tsetung. Kalau tidak ada Cina, takkan mungkin Khmer Merah bisa merebut kekuasaan, atau bisa tetap berkuasa sampai begitu lama. Jadi aku hanya mengangguk-anggukkan kepala saja kepada serdadu Vietnam yang muda itu, pura-pura sependapat; tak kukatakan pendapatku yang sebenarnya kepadanya .

************

Sambil menunggu keluargaku muncul, aku pergi mengambil beras. Sedikit lebih lama dari satu jam berjalan kaki dari tempatku berkemah ada gudang penyimpanan beras di bawah tanah, mirip dengan gudang yang akan kudatangi waktu itu. Orang banyak sekali berkerumun di luar gudang itu, di ujung atas tangga yang menuju ke sebuah ruangan bawah tanah berdinding beton. Di dalam nampak samar karung-karung beras bertumpuk-tumpuk dalam ruangan yang remang-remang. Beras itu boleh diambil dengan cuma-cuma, dan semua mengambil sebanyak yang diingini. Wanita-wanita mencurahkan beras ke dalam keranjang yang kemudian mereka junjung di atas kepala, dan kaum lelaki pergi terhuyung-huyung sambil menggotong beras dengan pikulan atau di dalam ransel-ransel. Aku menggantungkan dua buah karung di ujung tongkat pikulanku, lalu kubawa pergi. Semuanya senang. Beberapa orang memunggah beras sampai berkarung-karung ke atas gerobak. Beras itu mereka angkut ke Battambang untuk dijual di sana.

Akhirnya Khmer Merah dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Vietnam ke arah Pegunungan Cardamom. Aku berjalan kembali ke Muong. Ternyata keluargaku ada di sana. Semuanya selamat, meski rombongan itu kini berkurang dengan dua orang.

Ternyata setelah aku memisahkan diri, beberapa saat sebelum datangnya pembebasan, pihak Khmer Merah memaksa seluruh penduduk sipil masuk lebih dalam lagi ke hutan. Ketika sedang bergerak mundur itu adikku Hok, anak lelaki ayahku yang nomor lima, berjumpa dengan Hong Srun, anak lelaki nomor empat; sejak meninggalkan Tonle Bati dulu, tidak seorang pun dari kami pernah melihatnya lagi. Perjumpaan kembali itu berlangsung dengan gembira, tapi hanya sebentar saja. Pasukan-pasukan Vietnam datang menyerang, peluru-peluru meriam berledakan, dan semuanya lari kocar-kacir. Dalam kekacauan itu Hong Srun lari dengan membawa dua orang anak Pheng Huor. Hanya Ngim, anak perempuan abangku itu yang berumur sembilan tahun, yang tetap berada di samping Hok.

Karena mengira bahwa aku, anak lelaki nomor tiga, sementara itu sudah mati, keluargaku lantas membuang sebagian besar dari barang-barang bawaanku, di antaranya buku-buku kedokteranku yang selama itu selalu kubawa-bawa dan kusembunyikan di berbagai tempat; kacamataku. sebagian besar dari pakaianku, dan, tanpa mereka mengetahuinya, juga bantalku dengan seribu delapan ratus dolar Amerika yang kusembunyikan di dalamnya, serta selembar selimut dengan keping-keping emas yang disisipkan di dalam keliman pinggirnya. Untung masih ada beberapa barang berukuran kecil yang tidak mereka buang, di antaranya foto Huoy.

Kuajak mereka kembali ke tempatku berkemah, untuk menunggu Hong Srun dan kedua anak abangku yang ikut lari dengan dia. Nanti jika semua sudah bergabung kembali, kami akan bersama-sama pergi ke Battambang. Tapi Hong Srun tidak muncul-muncul juga. Akhirnya, waktu itu sekitar tanggal 1 Mei, kuputuskan untuk membawa keluargaku ke Battambang, dan menunggu di sana. Aku menuliskan berita untuk Hong Srun dan kupasangkan ke batang sebuah pohon. Pagi-pagi sekali kami berangkat lewat jalan Nasional 5 menuju ke barat; ketika hari sudah petang, kami tiba di Battambang, kota terbesar nomor dua di Kamboja.

Kota itu sudah menjelma menjadi perkampungan liar, yang penghuninya tinggal dalam rumah-rumah yang sudah tinggal kerangkanya saja. Kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota bersama sekitar dua puluh orang lain. Kami tidur di lantai. Tidak ada satu perabor pun yang tersisa di situ.

Semasa kekuasaan Khmer Merah, segala-galanya yang ada di rumah-rumah di kota Battambang, yang terbuat dari kayu atau logam habis dirampok: tempat tidur, meja, kusen jendela, lembaran-lembaran seng gelombang yang dijadikan pelapis atap dari sejumlah rumah. Kebanyakan dari bangunan kuil dan semua benda keramat di dalamnya dimusnahkan. Bangkai-bangkai mobil bergelimpangan di jalan-jalan samping, tanpa ban dan kaca-kaca jendela. Sebuah kendaraan mesin penyerok yang bekerja dengan tenaga uap teronggok dalam keadaan sudah berkarat di depan pasar pusat. Ketika kami tiba di sana, pasar pusat dan semua kedai di dalamnya, begitu pula semua rumah makan dan toko ditutup atas perintah pihak Vietnam, yang resminya menentang kembali kehidupan ekonomi yang bercorak liberal.

Tapi mereka membiarkan saja adanya kegiatan dagang kecil-kecilan di jalanan. Alar penukar di situ beras. Orang-orang yang hendak berbelanja berkeliaran membawa "dompet" mereka - beras yang dibungkus dalam krama atau bertumpuk dalam keranjang yang dijunjung di atas kepala.

Dengan beras, orang bisa naik becak, atau naik taksi bertenaga kuda yang terdengar bunyi langkahnya menderap di jalan. Dengan beras bisa dibeli ikan hidup, daging segar, sayur-sayuran, buah-buahan, sup atau mi yang masih panas, pakaian bekas, kaset-kaset rekaman. Dengan beras orang bisa memotong rambut, atau membayar ongkos membetulkan sepeda, radio, atau arloji. Satu-satunya yang tidak bisa dibeli dengan beras, hanya beras itu sendiri, karena itu harus dibeli dengan emas. Tahun sebelumnya, ketika Huoy sedang menderita karena kelaparan, aku menukar emas seberat dua damleung dengan tepung beras sebanyak dua kaleng kecil. Kini, di Battambang, satu damleung bisa ditukar dengan sekarung beras yang isinya 1.750 kaleng, terlalu berat untuk dipikul sendiri. Sudah sebegitu jatuhnya harga-harga sementara itu. Begitu banyaknya bahan pangan yang ada, begitu Khmer Merah sudah tidak berkuasa lagi.

Di Battambang sudah nampak lagi gaya hidup Kamboja yang sedikit banyak bisa dikatakan normal. Para pedagang duduk berjongkok di bawah tenda-tenda kain, kaum wanita yang berbelanja mengamat-amati bahan pangan yang ditawarkan dengan pandangan menyelidik dan memijat-mijatnya untuk memeriksa apakah barang itu benar-benar masih segar. Tawar-menawar, bergunjing, mengobrol-suasananya sudah hampir seperti dulu lagi. Tapi banyak pula yang sudah tidak ada.

Kalau hari sudah malam, ada sekelompok pemusik bermain di sebuah tanah kosong. Sebuah generator dihidupkan untuk keperluan pengeras suara serta menyalakan lampu-lampu yang berwarna- warni mencolok dan direntengkan sambung -menyambung. Ratusan orang datang karena ingin menonton keramaian itu, seperti kawanan serangga yang tertarik melibat cahaya terang. Para wanita mengenakan pakaian mereka yang terbagus; tapi wajah mereka tidak dirias, dan rambut mereka masih pendek sejak dipotong semasa rezim Khmer Merah. Orang-orang yang lelaki membiarkan kemeja mereka terlepas di luar celana, seperti buruh tani yang melupakan tatakrama. Orang-orang itu menarikan romvong, melangkah kian-kemari mengikuti irama musik, sambil menggerak-gerakkan tangan dengan lemah gemulai. Mereka tidak bisa menahan diri, mereka ingin bergembira. Mereka menari sampai pagi, berusaha mengusir ingatan akan penderitaan dan kelaparan yang sudah silam serta kematian sanak keluarga. Menurut perasaanku, saat itu masih terlalu dini untuk bergembira. Tapi aku tidak bisa menyalahkan orang-orang itu.

Bagiku, Battambang merupakan tempat mengumpulkan kekuatan sebelum melanjutkan perjalanan. Aku berjalan-jalan keliling kota bersama Balam, dan aku mendapat kesimpulan bahwa kami harus selekas mungkin pergi lagi dari kota itu. Mula-mula kami mendatangi pusat penerangan yang diadakan oleh pihak Vietnam. Sebatang tiang bendera terpancang di atas bangunan tempat pusat penerangan itu, dan pada tiang itu terpasang bendera merah yang besar sekali ukurannya. Aku jadi teringat lagi pada bendera-bendera merah yang biasa dikibarkan di garis depan. Bendera yang ini lebih mirip bendera resmi Khmer Merah, yang berupa latar merah dengan emblem Angkor Wat berwarna emas dan bermenara tiga di tengah-
 tengahnya. Bendera ini serupa, tapi emblem Angkor Watnya bermenara lima buah, bukan tiga.

"Komunis," bisikku kepada Balam. Ia mengangguk.

Kami masuk ke dalam kantor itu. Di dinding dalamnya, pada satu sisi ada papan pengumuman dengan pemberitahuan orang-orang yang selamat, yang mencari sanak keluarga mereka yang hilang. Di dinding seberangnya terpasang foto-foto yang memperlihatkan serdadu-serdadu Vietnam dan Kamboja sedang bersalam-salaman sambil tersenyum, serta selembar bagan besar yang menampilkan struktur pemerintahan daerah yang baru. Di tengah-tengah ruangan, di balik sebuah meja kayu, duduk seorang wanita yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Khmer dan juga Vietnam. Di belakangnya digantungkan sebuah foto yang menampakkan tumpukan tulang-belulang manusia. Foto itu dibuat di sebuah kuburan massal Khmer Merah -untuk mengingatkan bahwa Khmer Merah itu kawanan pembunuh, dan bahwa kami harus berterima kasih kepada orang-orang Vietnam karena telah mendepak mereka dari tampuk kekuasaan.

Bangunan itu dijaga serdadu-serdadu Vietnam dan orang-orang dari "Pasukan Pertahanan Kamboja". Serdadu-serdadu Vietnam itu memakai seragam hijau pucat yang kelihatan masih baru dan bersenjata lengkap. Nampak jelas bahwa mereka yang berkuasa di situ. Para penjaga yang orang Kamboja memakai pakaian seadanya: baju berlengan panjang atau pendek, celana panjang hitam atau coklat. Ada beberapa di antara mereka yang bertelanjang kaki. Persenjataan mereka macam- macam: ada yang menyandang AK-47, ada pula yang menggenggam karabin yang sudah berkarat, dan bahkan ada yang sama-sekali tidak memegang senjata. Mereka itu dikenal dengan julukan serdadu-serdadu "Heng Samrin",

pemimpin rezim boneka Vietnam. Sebelum itu aku tidak pemah mendengar nama Heng Samrin; nama Pol Pot juga baru waktu itu kudengar. Heng Samrin itu sudah pasti dulunya bukan tokoh yang terkemuka di Kamboja.

Bersama Balam kutinggalkan lagi kantor itu, tanpa mengajukan satu-satunya pertanyaan yang benar-benar ingin kami ketahui jawabannya, yaitu jalan yang paling cepat keluar dari Kamboja. Bendera merah yang berkibar di atas bangunan itu dengan jelas sekali mengatakan kepada kami tentang masa depan negeri ini, lebih jelas lagi ketimbang perbedaan-perbedaan yang nampak antara serdadu-serdadu Vietnam dan Kamboja yang menjaga di dalamnya. Dengan sekali melihat sepintas saja aku langsung sudah bisa membulatkan tekad: aku harus pergi dengan segera, sebelum dijebloskan kembali ke penjara oleh orang-orang komunis.

Aku dan Balam meneruskan langkah kami berkeliling kota, melihat-lihat dan memasang kuping, dengan mulut yang membisu.

Kami melihat sebuah kuil dengan banyak orang yang bersembahyang di dalamnya, menangisi sanak keluarga yang tidak ada lagi. Kami melihat sebuah bangunan bekas sekolah dasar yang dikelilingi pagar kawat berduri, dengan orang-orang Khmer Merah berpakaian seragam hitam mereka yang ditawan di dalamnya. Di luar berkerumun orang-orang yang menuding- nuding ke arah para tawanan itu, orang-orang Khmer Merah yang selama itu menyengsarakan hidup mereka. Orang-orang itu menuding-nuding sambil berseru-seru meneriakkan kata-kata mengancam.

Kami melihat serdadu-serdadu Vietnam, selalu berdua atau bertiga, tidak pernah sendirian. Serdadu-serdadu Heng Samrin menghampiri kami dan menanyakan apakah kami ingin menukar emas dengan obat-obatan, sementara orang-orang Vietnam majikan mereka berkeliaran di dekat kami, berlagak tidak tahu apa-apa. Mereka menginginkan emas, tapi mereka melakukannya dengan cerdik, tidak secara langsung. Lewati orang-orang Kamboja kaki tangan mereka, apa saja bisa dibeli dari mereka: generator, mesin motor tempel, beras bertruk-truk.

Kota itu penuh liku-liku intrik. Aku tidak mau percaya pada siapa pun juga di situ. Seorang lelaki yang pernah kukenal secara sambil lalu di Phum Ra mendatangi aku lalu membisikkan bahwa dia anggota Khmer Serei. Ia memintaku menggabungkan diri dengan para pejuang kemerdekaan di perbatasan Thailand. Aku tidak percaya dan dia kusuruh pergi; tapi kemudian ternyata bahwa ia tidak bohong.

Suatu siang ketika aku sedang mandi di sungai, seorang lelaki yang juga sedang mandi di situ mengenali aku. Orang itu Dr. Dav Kiet, teman sekelasku di sekolah kedokteran dulu. Kini ia bekerja di rumah sakit kota itu. Aku diajaknya menggabungkan diri, karena rumah sakit itu kekurangan tenaga dokter. Sambil berdiri di tepi sungai kutunjukkan lenganku yang kurus kering dan tulang-tulang rusukku yang bertonjolan. Kukatakan kepadanya bahwa kesehatanku tidak mengizinkan.

Keesokan paginya sebuah Mercedes berhenti di depan rumah yang kutinggali bersama keluargaku. Pintu belakang mobil itu terbuka. Seseorang turun dari dalamnya, menaiki tangga rumah, membuka sepatunya di depan pintu, lalu masuk ke rumah. Ia ingin bicara dengan Dr. Ngor Haing. Dia itu Gubernur Battambang.

Saat itu tubuhku hanya terbalur sarung yang sudah robek-robek. Aku bersalaman dengan gubernur itu, lalu kuajak dia duduk bersila di atas tikar. Gubernur bertanya tentang keluargaku, tentang kehidupanku dulu di Phnom Penh, tentang hal-hal yang kualami selama tahun-tahun kekuasaan Khmer Merah. Akhirnya barulah ia mengemukakan maksud kedatangannya. Ia mengatakan bahwa Dr. Dav Kiet menyarankan agar aku ikut bekerja di rumah sakit.

Gubernur mengatakan bahwa aku bisa saja bekerja setengah hari saja, jika aku khawatir tentang kesehatanku. Jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku, aku akan bisa mendapat obat yang kuperlukan dari rumah sakit. Aku tidak ingin Gubernur merasa kehilangan muka. Karenanya aku mengatakan bahwa aku mau bekerja, begitu keadaanku sudah lebih baik. Padahal aku sedikit pun tidak berniat bekerja di rumah sakit itu.

Keesokan harinya Gubernur datang lagi, dan sekali lagi aku menolak. Saat itu aku sudah menyadari kenapa sebenarnya aku merasa enggan. Bukan cuma karena mengingat keadaan kesehatanku, atau karena aku tidak menyukai rezim Heng Samrin. Bukan! Sebabnya, karena aku takut bekerja kembali di bidang obstetri dan ginekologi. Aku ingin melupakan, bagaimana Huoy mati waktu itu. Aku ingin menyingkirkan ingatan itu dari benakku. Dan itu takkan mudah terjadi, jika aku nanti membantu ibu-ibu melahirkan bayi mereka di rumah sakit yang hendak kudatangi dengan membawa Huoy, ketika ia sedang kesakitan hendak melahirkan bayinya.

Meski begitu aku tidak bisa bersikap tidak mempedulikan ajakan Gubernur, karena itu bisa berbahaya bagiku. Aku lantas memutuskan untuk melihat-lihat dulu ke rumah sakit. Aku diantar oleh Dav Kiet.

Keadaan rumah sakit itu sangat payah. Selama beberapa waktu sekitar tahun 1977 seorang dokter terkemuka lulusan Barat - yakni yang hendak kumintai pertolongan membantu Huoy melahirkan - diizinkan bekerja di situ; tapi kemudian ia dibunuh oleh Khmer Merah, dan sejak itu rumah sakit dibiarkan saja terbengkalai. Laboratorium di situ sama sekali tidak berfungsi. Obat-obatan boleh dibilang sama sekali tidak tersedia, begitu pula halnya dengan perlengkapan bedah. Pasien tidak henti-hentinya mengalir masuk, orang-orang yang menderita kekurangan gizi dan orang-orang sakit. Kami memasuki kamar bersalin. Di situ ada seorang wanita yang sudah hendak melahirkan. Kehamilannya baru berjalan tujuh bulan. Air ketubannya sudah pecah beberapa jam sebelumnya, tapi prosesnya tidak berlanjut seperti semestinya. Wanita itu semakin lemah kondisinya, tapi tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan untuk menolongnya, karena peralatan yang diperlukan tidak tersedia. Situasi yang sedang dihadapi wanita itu sama dengan Huoy dulu. Penglihatanku langsung gelap, seperti ada awan hitam menyelubungi. Aku buru-buru keluar, meninggalkan kamar bersalin itu.

Kiet mengajakku berkenalan dengan para dokler dan perawat yang bekerja di situ. Mereka semua bersikap sangat hormat terhadapku, meski pakaianku compang-camping, dan rambut serta jenggotku gondrong. Mereka menekankan bahwa mereka menawari aku pekerjaan yang pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan orang Kamboja. Sarna sekali tidak ada orang Vietnam di situ. Aku tinggal mengatakan ya, dan aku akan kembali mempunyai karier dan status sosial seperti dulu, seakan-akan revolusi tidak pernah terjadi.

Tapi aku menolak.

Keesokan harinya Gubernur Battambang datang lagi.

Kepadanya aku mengatakan ya, karena aku takut. Bagiku hanya ada dua pilihan: menerima tawaran bekerja di rumah sakit, atau saat itu juga lari ke perbatasan.

Aku mulai bekerja di rumah sakit, tapi pikiranku tidak tertuju ke situ.

Sepanjang waktu hanya Huoy saja yang terbayang dalam ingatanku. Jika dia masih hidup, saat itu kami pasti sudah pergi ke seberang perbatasan. Tapi Huoy sudah tidak ada lagi, dan karena itu aku merasa tidak mampu bekerja di rumah sakit itu. jika istriku sendiri saja tidak bisa kuselamatkan, mana mungkin aku mampu menyelamatkan orang lain? Apa gunanya aku ada di situ? Apa gunanya para dokter yang lain-lainnya? Wanita yang kulihat menderita di kamar bersalin, sementara itu sudah meninggal. Persis seperti Huoy. jika aku melihat orang tertawa, aku cepat-cepat membuang muka. Aku tidak pernah tersenyum. Malam-malam, Ngim berusaha menghibur hatiku. Tapi tidak ada gunanya. Aku sudah terlalu lama hidup. Dewa-dewa telah membuat kekeliruan, kekeliruan yang kejam. Lebih baik aku mati bersama Huoy waktu itu, agar arwah kami bisa bersama-sama lagi.

Kemudian Pen Tip muncul di Battambang. Aku mengirim pesan kepadanya, lewat seorang kenalan yang juga mengenal dia. Aku berpesan agar datang menemui aku di rumah sakit, dengan membawa buku catatan hitamnya. Ia pasti mengerti apa yang kumaksudkan: buku catatan hitam, berisi segala perbuatannya yang baik dan buruk dalam kehidupannya, seperti catatan yang ada pada Raja Maut.

Balasan Pen Tip mengatakan bahwa ia tidak pernah berbuat salah. Katanya, ia tidak mengerti apa sebabnya aku marah.

Aku tidak bertindak lebih jauh. Aku merasa terlalu capek dan lesu, karena pekerjaan yang kuhadapi di rumah sakit. Kemudian terjadi sesuatu yang menyerap segenap perhatianku. Gubernur mengirimkan nota yang ditujukan kepada semua dokter dengan instruksi agar kami menghadiri rapat yang akan berlangsung selama dua hari. Kami bisa bermalam di tempat kediamannya, agar bisa langsung menghadiri rapat lanjutan pada hari kedua.

Apa sebabnya kami tidak bisa pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai rapat hari pertama? tanyaku dalam hati. Ke manakah kami nanti sebenarnya akan dibawa? Masuk ke hutan, digiring serdadu-serdadu? Apakah rezim yang sekarang ini juga membenci para dokter?

Aku mendatangi dua orang rekanku di rumah sakir, untuk berembuk.

"Saudara-saudara," kataku secara tidak langsung, "di barat, bendungan sudah pecah dan air membanjir keluar. Kalian mau pergi, atau tetap tinggal di sini?" Kedua rekanku itu langsung memahami maksudku yang sebenarnya. Hanya perbatasan dengan Thailand yang ada di sebelah barat.

Mereka belum siap untuk melarikan diri, tapi mereka mengatur agar aku bisa mendapat giliran jaga malam, sehari sebelum rapat dengan Gubernur dimulai. Dengan begitu aku sudah bisa sehari berada dalam perjalanan, sebelum Gubernur tahu bahwa aku tidak ada.

Aku berembuk dengan keluargaku mengenainya. Adikku Hok memilih lebih baik tetap tinggal selama beberapa waktu lagi di Battambang sambil menunggu Hong Srun, yang masih belum muncul-muncul juga. Balam memutuskan ikut dengan aku, bersama istri dan anak-anaknya. Aku mengatakan kepadanya agar berangkat sebelum fajar menyingsing tanggal 14 Mei, lewat Jalan Nasional 5. Tengah hari aku pasti sudah menyusul,

"Paman," kata Ngim padaku, "aku ingin ikut dengan Paman."

Aku melarangnya. Kusuruh dia tinggal bersama Hok. Tapi Ngim terus saja merengek ingin ikut. Akhirnya aku membolehkan, tapi asal diizinkan oleh Hok. Adikku itu ternyata mengizinkan, di luar dugaanku.

Aku sangat suka kepada Ngim, dan keponakanku itu juga sangat sayang padaku. Anak itu sehat dan aktif. serta berkemauan keras, seperti ibunya. Ia tidak takut terhadap siapa pun juga.

Kusuruh Ngim memasukkan pakaiannya ke dalam ranselku. Nanti ia harus membawanya selama beberapa jam perjalanan yang pertama. sampai aku menyusul mereka.

Tanggal 13 Mei, malamnya aku melakukan dinas jaga di rumah sakit. Tidak sabar rasanya menunggu datangnya pagi. Dan ketika fajar sudah menyingsing aku bergegas mengenakan pakaian sehari-hari, lalu mulai mengayunkan langkah ke arah perbatasan Thailand.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar