33 BATTAMBANG
PAGINYA aku
melangkahkan kaki menyusur jalan tanah liar berwarna merah itu, menuju ke Phnom
Tippeday, untuk menjenguk makam Huoy.
Jalan itu panjang dan
lurus dengan alur-alur bekas aliran air hujan membentuk parit-parit. Di kiri-kanan
tumbuh rumput yang tinggi dan lebat. Hanya suara angin dan kicau burung-burung
saja yang terdengar; aku tidak melihat seorang manusia pun di situ. Aku
melintasi jalan kereta api, lalu mengambil jalan memotong lewat daerah
persawahan, bergerak dengan cepat dari bukit kecil yang satu ke bukit kecil
berikut, sebentar-sebentar berhenti untuk memandang berkeliling; aku takut tertangkap
patroli Khmer Merah atau patroli Vietnam, takut kehilangan kebebasanku lagi.
Aku baru merasa aman ketika sudah sampai di bawah pohon sdao besar yang tumbuh
miring. Segala-galanya di tempat itu masih kukenal baik, terpateri dalam
ingatanku: makam yang segaris letaknya dengan kuil di atas gunung, pohon yang menaunginya,
pola petak-petak sawah di sekeliling.
Sambil berlutut
kukatakan kepada Huoy bahwa setelah ini aku akan lama sekali tidak bisa datang lagi
kemari. Tapi suatu waktu nanti aku pasti kembali, dan akan kubawa dia ke tempat
peristirahatan yang lain, di sebelah kuil yang di atas bukit. Kuminta padanya
agar melindungi keselamatanku, sampai aku kembali lagi nanti.
Doaku itu dijawab
arwah Huoy. Ia mengatakan bahwa ia akan menjaga dan membimbing diriku. Ia
berjanji akan terus mendampingi aku.
Aku merasa lega.
Penting artinya bagiku. mengetahui bahwa arwah Huoy selalu mendampingi, meski
secara jasmani kami terpisah begitu jauh. Tapi ketika aku berdiri lagi, aku
tidak melihat siapa-siapa. Perasaan senangku langsung lenyap, dan rasa sunyi
dan takut kembali menyelimuti
diriku.
Dengan cepat aku
berjalan melewati desa Phum Ra, yang kini nampak semakin suram. Pintu-pintu di
rumahku sudah terlepas dari engselnya, begitu pula lembaran-lembaran kajang
pada dinding. Di mana-mana nampak lembaran kajang dan seng, sampah dan
mangkuk-mangkuk berkarat, berserakan di jalan. Pintu-pintu gudang yang di dekat
dapur umum terpentang lebar. Tidak ada apa-apa lagi di dalamnya. kecuali
beberapa butir beras yang tumpah di lantai.
Dalam perjalanan
keluar dari desa aku menemukan sepasang sepatu hijau yang biasa dipakai orang
Vietnam, bagian atasnya terbuat dari kanvas, dan solnya dari karet. Kumasukkan
kakiku ke dalamnya, lalu kugerak-gerakkan jari-jari kaki untuk memeriksa pas
tidaknya. Pas. Setelah itu aku meneruskan langkah dengan secepat-cepatnya. Agak
aneh rasanya: telapak kakiku tidak lagi menyentuh tanah.
Aku kembali ke
persimpangan Jalan Nasional 5 lalu bermalam di situ. Aku mendengar bunyi gemuruh
tembakan artileri. Datangnya dari arah tenggara, dari arah tempat keluargaku
sewaktu aku meninggalkan mereka untuk pergi mencari beras. Aku tidak bisa
kembali ke tempat mereka. Aku hanya bisa menunggu.
Di jalan besar itu
mulai bermunculan berita-berita yang dituliskan di atas kertas atau kepingan kayu
dan ditancapkan ke batang pohon. Berita itu berasal dari orang-orang yong
menyatakan bahwa ia masih hidup dan kini menuju ke timur, ke Phnom Penh. Lalu
ada wanita yang menulis bahwa ia kehilangan suami dan anak-anaknya yang masih
kecil. Ia sendiri sekarang akan ke barat, ke Battambang. Anak-anaknya yang
lebih besar dimintanya menyusul ke sana, jika mereka masih hidup. Berita-berita
yang ditulis dengan tangan, pesan-pesan yang mengandung harapan dan keputusasaan.
Arus pengungsi
mengalir ke dua arah di jalan itu, berhenti sebentar untuk membaca
berita-berita yang tertulis, lalu meneruskan langkah dengan terseok-seok,
capek, kelu, dan dengan jiwa yang terguncang berat. Ketika aku bertanya apakah
mereka melihat keluargaku, mereka mengatakan tidak; tapi pikiran mereka ada di
tempat lain, tatapan mata mereka menerawang, seakan-akan aku tidak ada di
hadapan mereka.
Aku mulai gelisah
setelah menunggu beberapa hari, tapi keluarga masih juga belum muncul. Aku mulai
berjalan bolak-balik menyusur jalan besar itu. Kubaca tulisan-tulisan yang
berisi berita, aku berbicara dengan para pengungsi yang berpapasan, kucari-cari
wajah yang kukenal. Aku teringat ketika aku dulu mencari-cari Huoy dan
orangtuaku, setelah kami mengungsi keluar dari Phnom Penh. Tapi lalu lintas di
Jalan Nasional 1 tahun 1975 jauh berbeda dari keadaan lalu lintas di Jalan Nasional
5, tahun 1979.
Kini tidak ada mobil
yang didorong, atau sepeda motor. Tidak ada pesawat televisi, radio, kipas
angin, atau kotak-kotak berisi buku yang dibawa. Jika di antara arus pengungsi
itu masih ada yang memiliki sesuatu, maka milik itu terbungkus dalam buntalan
yang digantungkan di ujung tongkat pikulan, atau dipanggul, atau dijunjung di
atas kepala. Mereka terseok-seok bertelanjang kaki dalam kelompok-kelompok, dua
atau tiga atau lima orang yang kurus kering berpakaian compang-camping, lalu
beberapa orang lagi yang tersaruk-saruk beberapa ratus meter di belakang.
Kebanyakan dari mereka berkoreng mukanya. Tahun 1975 dulu, para wanita masih
memperhatikan penampilan mereka, tapi kini, tahun 1979, yang nampak cuma
pakaian yang robek-robek, dan kaum wanitanya sudah tidak peduli lagi itu. Tahun
1975 dulu, jika ada kenalan yang saling berjumpa, selalu muncul penanyaan,
"Kau sudah makan?", atau "Berapa anak Anda?" Tahun 1979 ini
mereka memandang dengan mata yang membayangkan ketakutan, lalu bertanya,
"Siapa saja dari keluargamu yang masih hidup?"
Selain itu masih ada
satu perbedaan lagi: tahun 1975 dulu, semuanya ketakutan menghadapi Khmer
Merah. Kini ketakutan itu sudah berubah menjadi kemarahan.
Tiga orang lelaki
bangsa Kamboja yang kurus-kurus dan berpakaian compang-camping berjalan sambil
menggiring seorang lelaki lain, yang bertubuh lebih kekar dan nampak sehat.
Kedua lengannya ditelikung begitu kuat di belakang punggungnya, sampai dadanya
terdorong ke depan.
Ketiga lelaki muda
itu menggebukinya sambil berteriak-teriak, "Katakan! Ayo katakan: 'Aku Khmer
Merah'."
"Aku Khmer
Merah," kata tawanan mereka dengan suara lirih, sementara ia digiring ke
tempat di mana aku sedang berada.
"Lebih keras!
Katakan, 'Aku membunuh banyak orang'."
"Aku membunuh
banyak orang," kala lelaki bertubuh kekar itu mengulangi. Ia hanya memakai
celana kolor.
Seperti lalat mencium
bau makanan, orang-orang bermunculan dari kiri kanan jalan dan berlari-lari
menghampiri tawanan itu. Aku juga ikut berlari. "Masing-masing satu
kali" seru ketiga orang yang menangkapnya kepada kami. "Kalian harus
bergantian! Masing-masing memukulnya satu kali saja!" Kerumunan orang
semakin mendesak maju. Bahkan para wanita pun ikut menggebuki secara
bergiliran.
"Minggir,"
kataku. Orang-orang melapangkan jalan. Aku melangkah maju dengan cepat lalu mengayunkan
kaki sekeras-kerasnya ke arah atas, menendang sela selangkangan orang itu yang langsung
ambruk dengan wajah menggerenyot kesakitan. Para penawannya menyentakkannya sehingga
berdiri lagi.
Orang-orang yang
ribut berkerumun dengan marah itu terus bergerak di jalan, dengan si Khmer
Merah di tengah-tengah. Mukanya bengap dan berdarah-darah. Setiap kali ia
roboh, dengan segera orang-orang menyentakkannya sehingga bangun lagi.
Serdadu-serdadu Vietnam hendak turun tangan untuk menyelamatkannya, tapi mereka
didorong dengan begitu sengit sehingga mereka merasa lebih baik mundur saja.
Gerombolan yang mengepung tawanan itu terus saja bergerak. Kemudian muncul
seseorang membawa parang. la mengayunkan senjatanya itu dan membunuh si Khmer
Merah.
Lalu ada seseorang
yang memancung kepala orang yang sudah mati itu lalu menancapkannya di ujung
sebatang bambu. Orang-orang menuliskan sesuatu dengan arang pada selembar
papan. Papan itu dipasangkan ke batang bambu tadi. yang kemudian ditancapkan di
pinggir jalan agar tulisan itu bisa dibaca oleh setiap orang yang lewat.
Tulisan itu berbunyi,
"Khmer Merah-Musuh Bebuyutan. "
**********
Saban hari ada saja
truk-truk Vietnam yang lewat di jalan itu; ada yang mengangkut pasukan, dan
yang lain-lainnya menghela persenjataan artileri. Banyak pula tank yang lewat,
bunyi ban-ban besinya gemerincing di atas aspal. Aku masih saja belum tahu,
kenapa orang-orang Vietnam ada di Kamboja. Aku tidak mengerti: orang-orang yang
dulu mengajari Khmer Merah kini memerangi bekas murid mereka, komunis memerangi
komunis. Aku tidak bisa menemukan penjelasannya. Tapi satu hal sudah pasti,
yaitu besarnya kekuatan militer Vietnam yang datang. Persenjataan mereka seakan
tidak habis-habisnya. Pasukan- pasukan mereka nampak serius dan disiplin. Di
kawasan Asia Tenggara. tidak ada yang mampu mengalahkan mereka! Khmer Merah tidak
mungkin, begitu pula Khmer Serei; itu jika mereka memang benar-benar ada, dan
sementara itu aku sudah menyangsikannya. Betapa tololnya kami, mau saja percaya
bahwa Khmer Serei akan datang membebaskan kami. Kami benar-benar bebal waktu
itu! Tidak pernah diberi kesempatan uotuk tahu apa-apa, dan mengarang-ngarang cerita
angan-angan sendiri tentang pejuang-pejuang kemerdekaan, lalu menyebarkannya
seolah-olah itu fakta.
Tapi kini, nasi sudah
menjadi bubur. Kamboja sudah diduduki orang-orang asing, kataku dalam hati
dengan perasaan getir. Rezim yang menyiksa aku sudah digulingkan, dan yang kini
berkuasa rezim lain, yang mengikat dan memukuli aku.
Secara historis,
Vietnam musuh kami. Semasa abad kesembilan belas mereka mencaplok wilayah Kamboja
yang terletak di delta sebelah hilir Sungai Mekong, dan sewaktu remaja dulu aku
sering mendengar bahwa Vietnam juga ingin mencaplok wilayah Kamboja yang
selebihnya. Tapi bagiku pada tahun 1979 itu mereka boleh saja ada di Kamboja,
selama itu hanya untuk sebentar saja. Kedatangan mereka mempercepat berakhirnya
rezim Khmer Merah, meski rezim itu memang sudah mulai berantakan. Bagiku waktu itu
masih mendingan ada orang-orang Vietnam, ketimbang Khmer Merah. Orang-orang
Vietnam itu tidak mempedulikan para pengungsi yang ada di jalan besar. Mereka
membiarkan saja kami berkeliaran ke mana-mana mencari makanan.
Beberapa kali aku
ikut mencari makanan bersama sejumlah serdadu Vietnam yang berkemah di pinggir
jalan. Aku ditemani seorang Kamboja yang bisa berbahasa Vietnam. Kami membantu serdadu-serdadu
itu menangkapi bebek-bebek peliharaan orang, dan sebagai imbalan kami diberi daging
sapi dan babi yang mereka tembak.
Kami selalu pergi
bersama tiga orang serdadu yang itu-itu juga. Umur mereka sekitar dua puluh tahun.
Mereka nampak sehat dan bersikap sopan. Kami tidak menanyakan hal-hal yang
bersifat pribadi kepada mereka, dan mereka juga bersikap sama terhadap kami.
Tapi suatu malam ketika kami sedang duduk-duduk mengelilingi api unggun, kutanyakan
kepada mereka apa sebabnya tentara Vietnam yang membebaskan diriku kemudian mengikat
aku dan memukul perutku. Serdadu- serdadu itu menjawab bahwa bagi mereka sulit untuk
mengetahui orang Kamboja mana yang bisa dipercaya. "Ada orang Khmer Merah
yang bersikap seolah-olah dia penduduk sipil, tapi kemudian membunuhi
orang-orang Vietnam. Jadi kami terpaksa berhati-hati," kata seorang dari
mereka lewat kenalanku yang menerjemahkan.
Aku tetap saja
sangsi. Keterangan itu tidak menjelaskan sikap memusuhi yang nampak pada serdadu-serdadu
yang menanyai aku, atau kesengitan yang nampak dalam hubungan antara mereka dan
para mitra mereka yang orang Kamboja. Meski begitu, serdadu yang masih muda itu
mau menanggapi pertanyaanku secara normal. Percakapan seperti itulah yang tidak
mungkin bisa dilakukan dengan orang-orang Khmer Merah. Lewat kenalanku aku
lantas bertanya, apa sebabnya Vietnam menyerbu Kamboja. "Karena Pol Pot
membunuhi banyak orang," kata salah satu dari serdadu-serdadu itu.
"Kami datang umuk membebaskan kalian dari cengkeraman Pol Pot."
Pol Pot. Sejak awal
datangnya pembebasan, berulangkali aku mendengar nama itu disebut-sebut. Kata
orang, Pol Pot itu pemimpin Angka, pemimpin organisasi yang tanpa wujud itu.
Tapi tentang itu pun aku sangsi. Sulit rasanya bisa percaya bahwa satu orang-siapa
pun juga orang itu-yang memikul seluruh tanggung jawab atas segala kejadian
yang menyebabkan negeri Kamboja porak-poranda seperti sekarang ini.
Selain itu aku
mempunyai teoriku sendiri. Menurut pendapatku, kesalahannya tidak terletak pada
seseorang saja, tapi pada sebuah negara asing, yakni Cina. Selama empat tahun
mataku melihat truk-truk buatan Cina, senjata-senjata buatan Cina, pakaian
seragam buatan Cina. Kupingku dipekakkan musik propaganda bergaya Cina. Hampir
segala-galanya yang ada pada Khmer Merah, mulai dari istilah "kemerdekaan berdaulat"
mereka, sampai-sampai tindakan mengusir penduduk kota ke daerah pedesaan umuk
belajar dari kaum petani, semuanya meniru Revolusi Kebudayaannya Mao Tsetung.
Kalau tidak ada Cina, takkan mungkin Khmer Merah bisa merebut kekuasaan, atau
bisa tetap berkuasa sampai begitu lama. Jadi aku hanya mengangguk-anggukkan
kepala saja kepada serdadu Vietnam yang muda itu, pura-pura sependapat; tak
kukatakan pendapatku yang sebenarnya kepadanya .
************
Sambil menunggu
keluargaku muncul, aku pergi mengambil beras. Sedikit lebih lama dari satu jam
berjalan kaki dari tempatku berkemah ada gudang penyimpanan beras di bawah
tanah, mirip dengan gudang yang akan kudatangi waktu itu. Orang banyak sekali
berkerumun di luar gudang itu, di ujung atas tangga yang menuju ke sebuah
ruangan bawah tanah berdinding beton. Di dalam nampak samar karung-karung beras
bertumpuk-tumpuk dalam ruangan yang remang-remang. Beras itu boleh diambil
dengan cuma-cuma, dan semua mengambil sebanyak yang diingini. Wanita-wanita
mencurahkan beras ke dalam keranjang yang kemudian mereka junjung di atas
kepala, dan kaum lelaki pergi terhuyung-huyung sambil menggotong beras dengan
pikulan atau di dalam ransel-ransel. Aku menggantungkan dua buah karung di
ujung tongkat pikulanku, lalu kubawa pergi. Semuanya senang. Beberapa orang memunggah
beras sampai berkarung-karung ke atas gerobak. Beras itu mereka angkut ke
Battambang untuk dijual di sana.
Akhirnya Khmer Merah
dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Vietnam ke arah Pegunungan Cardamom. Aku
berjalan kembali ke Muong. Ternyata keluargaku ada di sana. Semuanya selamat,
meski rombongan itu kini berkurang dengan dua orang.
Ternyata setelah aku
memisahkan diri, beberapa saat sebelum datangnya pembebasan, pihak Khmer Merah
memaksa seluruh penduduk sipil masuk lebih dalam lagi ke hutan. Ketika sedang bergerak
mundur itu adikku Hok, anak lelaki ayahku yang nomor lima, berjumpa dengan Hong
Srun, anak lelaki nomor empat; sejak meninggalkan Tonle Bati dulu, tidak
seorang pun dari kami pernah melihatnya lagi. Perjumpaan kembali itu berlangsung
dengan gembira, tapi hanya sebentar saja. Pasukan-pasukan Vietnam datang
menyerang, peluru-peluru meriam berledakan, dan semuanya lari kocar-kacir.
Dalam kekacauan itu Hong Srun lari dengan membawa dua orang anak Pheng Huor.
Hanya Ngim, anak perempuan abangku itu yang berumur sembilan tahun, yang tetap
berada di samping Hok.
Karena mengira bahwa
aku, anak lelaki nomor tiga, sementara itu sudah mati, keluargaku lantas membuang
sebagian besar dari barang-barang bawaanku, di antaranya buku-buku kedokteranku
yang selama itu selalu kubawa-bawa dan kusembunyikan di berbagai tempat;
kacamataku. sebagian besar dari pakaianku, dan, tanpa mereka mengetahuinya,
juga bantalku dengan seribu delapan ratus dolar Amerika yang kusembunyikan di
dalamnya, serta selembar selimut dengan keping-keping emas yang disisipkan di
dalam keliman pinggirnya. Untung masih ada beberapa barang berukuran kecil yang
tidak mereka buang, di antaranya foto Huoy.
Kuajak mereka kembali
ke tempatku berkemah, untuk menunggu Hong Srun dan kedua anak abangku yang ikut
lari dengan dia. Nanti jika semua sudah bergabung kembali, kami akan bersama-sama
pergi ke Battambang. Tapi Hong Srun tidak muncul-muncul juga. Akhirnya, waktu itu
sekitar tanggal 1 Mei, kuputuskan untuk membawa keluargaku ke Battambang, dan menunggu
di sana. Aku menuliskan berita untuk Hong Srun dan kupasangkan ke batang sebuah
pohon. Pagi-pagi sekali kami berangkat lewat jalan Nasional 5 menuju ke barat; ketika
hari sudah petang, kami tiba di Battambang, kota terbesar nomor dua di Kamboja.
Kota itu sudah
menjelma menjadi perkampungan liar, yang penghuninya tinggal dalam rumah-rumah yang
sudah tinggal kerangkanya saja. Kami tinggal di sebuah rumah di pinggiran kota bersama
sekitar dua puluh orang lain. Kami tidur di lantai. Tidak ada satu perabor pun
yang tersisa di situ.
Semasa kekuasaan
Khmer Merah, segala-galanya yang ada di rumah-rumah di kota Battambang, yang
terbuat dari kayu atau logam habis dirampok: tempat tidur, meja, kusen jendela,
lembaran-lembaran seng gelombang yang dijadikan pelapis atap dari sejumlah
rumah. Kebanyakan dari bangunan kuil dan semua benda keramat di dalamnya
dimusnahkan. Bangkai-bangkai mobil bergelimpangan di jalan-jalan samping, tanpa
ban dan kaca-kaca jendela. Sebuah kendaraan mesin penyerok yang bekerja dengan
tenaga uap teronggok dalam keadaan sudah berkarat di depan pasar pusat. Ketika
kami tiba di sana, pasar pusat dan semua kedai di dalamnya, begitu pula semua rumah
makan dan toko ditutup atas perintah pihak Vietnam, yang resminya menentang
kembali kehidupan ekonomi yang bercorak liberal.
Tapi mereka
membiarkan saja adanya kegiatan dagang kecil-kecilan di jalanan. Alar penukar
di situ beras. Orang-orang yang hendak berbelanja berkeliaran membawa
"dompet" mereka - beras yang dibungkus dalam krama atau bertumpuk dalam
keranjang yang dijunjung di atas kepala.
Dengan beras, orang
bisa naik becak, atau naik taksi bertenaga kuda yang terdengar bunyi langkahnya
menderap di jalan. Dengan beras bisa dibeli ikan hidup, daging segar,
sayur-sayuran, buah-buahan, sup atau mi yang masih panas, pakaian bekas,
kaset-kaset rekaman. Dengan beras orang bisa memotong rambut, atau membayar ongkos
membetulkan sepeda, radio, atau arloji. Satu-satunya yang tidak bisa dibeli
dengan beras, hanya beras itu sendiri, karena itu harus dibeli dengan emas.
Tahun sebelumnya, ketika Huoy sedang menderita karena kelaparan, aku menukar
emas seberat dua damleung dengan tepung
beras sebanyak dua kaleng kecil. Kini, di Battambang, satu damleung bisa ditukar dengan sekarung beras yang isinya 1.750
kaleng, terlalu berat untuk dipikul sendiri. Sudah sebegitu jatuhnya harga-harga
sementara itu. Begitu banyaknya bahan pangan yang ada, begitu Khmer Merah sudah
tidak berkuasa lagi.
Di Battambang sudah
nampak lagi gaya hidup Kamboja yang sedikit banyak bisa dikatakan normal. Para
pedagang duduk berjongkok di bawah tenda-tenda kain, kaum wanita yang berbelanja
mengamat-amati bahan pangan yang ditawarkan dengan pandangan menyelidik dan memijat-mijatnya
untuk memeriksa apakah barang itu benar-benar masih segar. Tawar-menawar, bergunjing,
mengobrol-suasananya sudah hampir seperti dulu lagi. Tapi banyak pula yang sudah
tidak ada.
Kalau hari sudah
malam, ada sekelompok pemusik bermain di sebuah tanah kosong. Sebuah generator
dihidupkan untuk keperluan pengeras suara serta menyalakan lampu-lampu yang
berwarna- warni mencolok dan direntengkan sambung -menyambung. Ratusan orang
datang karena ingin menonton keramaian itu, seperti kawanan serangga yang
tertarik melibat cahaya terang. Para wanita mengenakan pakaian mereka yang
terbagus; tapi wajah mereka tidak dirias, dan rambut mereka masih pendek sejak
dipotong semasa rezim Khmer Merah. Orang-orang yang lelaki membiarkan kemeja
mereka terlepas di luar celana, seperti buruh tani yang melupakan tatakrama. Orang-orang
itu menarikan romvong, melangkah kian-kemari mengikuti irama musik, sambil
menggerak-gerakkan tangan dengan lemah gemulai. Mereka tidak bisa menahan diri,
mereka ingin bergembira. Mereka menari sampai pagi, berusaha mengusir ingatan
akan penderitaan dan kelaparan yang sudah silam serta kematian sanak keluarga.
Menurut perasaanku, saat itu masih terlalu dini untuk bergembira. Tapi aku
tidak bisa menyalahkan orang-orang itu.
Bagiku, Battambang
merupakan tempat mengumpulkan kekuatan sebelum melanjutkan perjalanan. Aku
berjalan-jalan keliling kota bersama Balam, dan aku mendapat kesimpulan bahwa kami
harus selekas mungkin pergi lagi dari kota itu. Mula-mula kami mendatangi pusat
penerangan yang diadakan oleh pihak Vietnam. Sebatang tiang bendera terpancang
di atas bangunan tempat pusat penerangan itu, dan pada tiang itu terpasang bendera
merah yang besar sekali ukurannya. Aku jadi teringat lagi pada bendera-bendera
merah yang biasa dikibarkan di garis depan. Bendera yang ini lebih mirip
bendera resmi Khmer Merah, yang berupa latar merah dengan emblem Angkor Wat
berwarna emas dan bermenara tiga di tengah-
tengahnya. Bendera ini serupa, tapi emblem Angkor
Watnya bermenara lima buah, bukan tiga.
"Komunis,"
bisikku kepada Balam. Ia mengangguk.
Kami masuk ke dalam
kantor itu. Di dinding dalamnya, pada satu sisi ada papan pengumuman dengan
pemberitahuan orang-orang yang selamat, yang mencari sanak keluarga mereka yang
hilang. Di dinding seberangnya terpasang foto-foto yang memperlihatkan
serdadu-serdadu Vietnam dan Kamboja sedang bersalam-salaman sambil tersenyum, serta
selembar bagan besar yang menampilkan struktur pemerintahan daerah yang baru. Di
tengah-tengah ruangan, di balik sebuah meja kayu, duduk seorang wanita yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahasa Khmer dan juga
Vietnam. Di belakangnya digantungkan sebuah foto yang menampakkan tumpukan
tulang-belulang manusia. Foto itu dibuat di sebuah kuburan massal Khmer Merah -untuk
mengingatkan bahwa Khmer Merah itu kawanan pembunuh, dan bahwa kami harus berterima
kasih kepada orang-orang Vietnam karena telah mendepak mereka dari tampuk kekuasaan.
Bangunan itu dijaga
serdadu-serdadu Vietnam dan orang-orang dari "Pasukan Pertahanan
Kamboja". Serdadu-serdadu Vietnam itu memakai seragam hijau pucat yang
kelihatan masih baru dan bersenjata lengkap. Nampak jelas bahwa mereka yang
berkuasa di situ. Para penjaga yang orang Kamboja memakai pakaian seadanya:
baju berlengan panjang atau pendek, celana panjang hitam atau coklat. Ada
beberapa di antara mereka yang bertelanjang kaki. Persenjataan mereka macam- macam:
ada yang menyandang AK-47, ada pula yang menggenggam karabin yang sudah berkarat,
dan bahkan ada yang sama-sekali tidak memegang senjata. Mereka itu dikenal
dengan julukan serdadu-serdadu "Heng Samrin",
pemimpin rezim boneka
Vietnam. Sebelum itu aku tidak pemah mendengar nama Heng Samrin; nama Pol Pot
juga baru waktu itu kudengar. Heng Samrin itu sudah pasti dulunya bukan tokoh
yang terkemuka di Kamboja.
Bersama Balam
kutinggalkan lagi kantor itu, tanpa mengajukan satu-satunya pertanyaan yang benar-benar
ingin kami ketahui jawabannya, yaitu jalan yang paling cepat keluar dari
Kamboja. Bendera merah yang berkibar di atas bangunan itu dengan jelas sekali
mengatakan kepada kami tentang masa depan negeri ini, lebih jelas lagi ketimbang
perbedaan-perbedaan yang nampak antara serdadu-serdadu Vietnam dan Kamboja yang
menjaga di dalamnya. Dengan sekali melihat sepintas saja aku langsung sudah
bisa membulatkan tekad: aku harus pergi dengan segera, sebelum dijebloskan
kembali ke penjara oleh orang-orang komunis.
Aku dan Balam
meneruskan langkah kami berkeliling kota, melihat-lihat dan memasang kuping,
dengan mulut yang membisu.
Kami melihat sebuah
kuil dengan banyak orang yang bersembahyang di dalamnya, menangisi sanak
keluarga yang tidak ada lagi. Kami melihat sebuah bangunan bekas sekolah dasar
yang dikelilingi pagar kawat berduri, dengan orang-orang Khmer Merah berpakaian
seragam hitam mereka yang ditawan di dalamnya. Di luar berkerumun orang-orang
yang menuding- nuding ke arah para tawanan itu, orang-orang Khmer Merah yang
selama itu menyengsarakan hidup mereka. Orang-orang itu menuding-nuding sambil
berseru-seru meneriakkan kata-kata mengancam.
Kami melihat
serdadu-serdadu Vietnam, selalu berdua atau bertiga, tidak pernah sendirian. Serdadu-serdadu
Heng Samrin menghampiri kami dan menanyakan apakah kami ingin menukar emas
dengan obat-obatan, sementara orang-orang Vietnam majikan mereka berkeliaran di
dekat kami, berlagak tidak tahu apa-apa. Mereka menginginkan emas, tapi mereka
melakukannya dengan cerdik, tidak secara langsung. Lewati orang-orang Kamboja
kaki tangan mereka, apa saja bisa dibeli dari mereka: generator, mesin motor
tempel, beras bertruk-truk.
Kota itu penuh
liku-liku intrik. Aku tidak mau percaya pada siapa pun juga di situ. Seorang
lelaki yang pernah kukenal secara sambil lalu di Phum Ra mendatangi aku lalu
membisikkan bahwa dia anggota Khmer Serei. Ia memintaku menggabungkan diri
dengan para pejuang kemerdekaan di perbatasan Thailand. Aku tidak percaya dan
dia kusuruh pergi; tapi kemudian ternyata bahwa ia tidak bohong.
Suatu siang ketika
aku sedang mandi di sungai, seorang lelaki yang juga sedang mandi di situ mengenali
aku. Orang itu Dr. Dav Kiet, teman sekelasku di sekolah kedokteran dulu. Kini
ia bekerja di rumah sakit kota itu. Aku diajaknya menggabungkan diri, karena
rumah sakit itu kekurangan tenaga dokter. Sambil berdiri di tepi sungai kutunjukkan
lenganku yang kurus kering dan tulang-tulang rusukku yang bertonjolan. Kukatakan
kepadanya bahwa kesehatanku tidak mengizinkan.
Keesokan paginya
sebuah Mercedes berhenti di depan rumah yang kutinggali bersama keluargaku. Pintu
belakang mobil itu terbuka. Seseorang turun dari dalamnya, menaiki tangga
rumah, membuka sepatunya di depan pintu, lalu masuk ke rumah. Ia ingin bicara
dengan Dr. Ngor Haing. Dia itu Gubernur Battambang.
Saat itu tubuhku
hanya terbalur sarung yang sudah robek-robek. Aku bersalaman dengan gubernur itu,
lalu kuajak dia duduk bersila di atas tikar. Gubernur bertanya tentang
keluargaku, tentang kehidupanku dulu di Phnom Penh, tentang hal-hal yang
kualami selama tahun-tahun kekuasaan Khmer Merah. Akhirnya barulah ia mengemukakan
maksud kedatangannya. Ia mengatakan bahwa Dr. Dav Kiet menyarankan agar aku
ikut bekerja di rumah sakit.
Gubernur mengatakan
bahwa aku bisa saja bekerja setengah hari saja, jika aku khawatir tentang
kesehatanku. Jika nanti terjadi apa-apa dengan diriku, aku akan bisa mendapat
obat yang kuperlukan dari rumah sakit. Aku tidak ingin Gubernur merasa
kehilangan muka. Karenanya aku mengatakan bahwa aku mau bekerja, begitu keadaanku
sudah lebih baik. Padahal aku sedikit pun tidak berniat bekerja di rumah sakit
itu.
Keesokan harinya
Gubernur datang lagi, dan sekali lagi aku menolak. Saat itu aku sudah menyadari
kenapa sebenarnya aku merasa enggan. Bukan cuma karena mengingat keadaan
kesehatanku, atau karena aku tidak menyukai rezim Heng Samrin. Bukan! Sebabnya,
karena aku takut bekerja kembali di bidang obstetri dan ginekologi. Aku ingin
melupakan, bagaimana Huoy mati waktu itu. Aku ingin menyingkirkan ingatan itu dari
benakku. Dan itu takkan mudah terjadi, jika aku nanti membantu ibu-ibu
melahirkan bayi mereka di rumah sakit yang hendak kudatangi dengan membawa
Huoy, ketika ia sedang kesakitan hendak melahirkan bayinya.
Meski begitu aku
tidak bisa bersikap tidak mempedulikan ajakan Gubernur, karena itu bisa berbahaya
bagiku. Aku lantas memutuskan untuk melihat-lihat dulu ke rumah sakit. Aku
diantar oleh Dav Kiet.
Keadaan rumah sakit
itu sangat payah. Selama beberapa waktu sekitar tahun 1977 seorang dokter terkemuka
lulusan Barat - yakni yang hendak kumintai pertolongan membantu Huoy melahirkan
- diizinkan bekerja di situ; tapi kemudian ia dibunuh oleh Khmer Merah, dan
sejak itu rumah sakit dibiarkan saja terbengkalai. Laboratorium di situ sama
sekali tidak berfungsi. Obat-obatan boleh dibilang sama sekali tidak tersedia,
begitu pula halnya dengan perlengkapan bedah. Pasien tidak henti-hentinya
mengalir masuk, orang-orang yang menderita kekurangan gizi dan orang-orang sakit.
Kami memasuki kamar bersalin. Di situ ada seorang wanita yang sudah hendak melahirkan.
Kehamilannya baru berjalan tujuh bulan. Air ketubannya sudah pecah beberapa jam
sebelumnya, tapi prosesnya tidak berlanjut seperti semestinya. Wanita itu
semakin lemah kondisinya, tapi tidak ada sesuatu pun yang bisa dilakukan untuk
menolongnya, karena peralatan yang diperlukan tidak tersedia. Situasi yang sedang
dihadapi wanita itu sama dengan Huoy dulu. Penglihatanku langsung gelap,
seperti ada awan hitam menyelubungi. Aku buru-buru keluar, meninggalkan kamar
bersalin itu.
Kiet mengajakku
berkenalan dengan para dokler dan perawat yang bekerja di situ. Mereka semua
bersikap sangat hormat terhadapku, meski pakaianku compang-camping, dan rambut
serta jenggotku gondrong. Mereka menekankan bahwa mereka menawari aku pekerjaan
yang pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan orang Kamboja. Sarna sekali
tidak ada orang Vietnam di situ. Aku tinggal mengatakan ya, dan aku akan
kembali mempunyai karier dan status sosial seperti dulu, seakan-akan revolusi
tidak pernah terjadi.
Tapi aku menolak.
Keesokan harinya
Gubernur Battambang datang lagi.
Kepadanya aku mengatakan
ya, karena aku takut. Bagiku hanya ada dua pilihan: menerima tawaran bekerja di
rumah sakit, atau saat itu juga lari ke perbatasan.
Aku mulai bekerja di
rumah sakit, tapi pikiranku tidak tertuju ke situ.
Sepanjang waktu hanya
Huoy saja yang terbayang dalam ingatanku. Jika dia masih hidup, saat itu kami
pasti sudah pergi ke seberang perbatasan. Tapi Huoy sudah tidak ada lagi, dan
karena itu aku merasa tidak mampu bekerja di rumah sakit itu. jika istriku
sendiri saja tidak bisa kuselamatkan, mana mungkin aku mampu menyelamatkan
orang lain? Apa gunanya aku ada di situ? Apa gunanya para dokter yang
lain-lainnya? Wanita yang kulihat menderita di kamar bersalin, sementara itu sudah
meninggal. Persis seperti Huoy. jika aku melihat orang tertawa, aku cepat-cepat
membuang muka. Aku tidak pernah tersenyum. Malam-malam, Ngim berusaha menghibur
hatiku. Tapi tidak ada gunanya. Aku sudah terlalu lama hidup. Dewa-dewa telah
membuat kekeliruan, kekeliruan yang kejam. Lebih baik aku mati bersama Huoy waktu
itu, agar arwah kami bisa bersama-sama lagi.
Kemudian Pen Tip
muncul di Battambang. Aku mengirim pesan kepadanya, lewat seorang kenalan yang
juga mengenal dia. Aku berpesan agar datang menemui aku di rumah sakit, dengan membawa
buku catatan hitamnya. Ia pasti mengerti apa yang kumaksudkan: buku catatan hitam,
berisi segala perbuatannya yang baik dan buruk dalam kehidupannya, seperti
catatan yang ada pada Raja Maut.
Balasan Pen Tip
mengatakan bahwa ia tidak pernah berbuat salah. Katanya, ia tidak mengerti apa
sebabnya aku marah.
Aku tidak bertindak
lebih jauh. Aku merasa terlalu capek dan lesu, karena pekerjaan yang kuhadapi
di rumah sakit. Kemudian terjadi sesuatu yang menyerap segenap perhatianku.
Gubernur mengirimkan nota yang ditujukan kepada semua dokter dengan instruksi
agar kami menghadiri rapat yang akan berlangsung selama dua hari. Kami bisa
bermalam di tempat kediamannya, agar bisa langsung menghadiri rapat lanjutan
pada hari kedua.
Apa sebabnya kami
tidak bisa pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai rapat hari pertama? tanyaku
dalam hati. Ke manakah kami nanti sebenarnya akan dibawa? Masuk ke hutan,
digiring serdadu-serdadu? Apakah rezim yang sekarang ini juga membenci para
dokter?
Aku mendatangi dua
orang rekanku di rumah sakir, untuk berembuk.
"Saudara-saudara,"
kataku secara tidak langsung, "di barat, bendungan sudah pecah dan air membanjir
keluar. Kalian mau pergi, atau tetap tinggal di sini?" Kedua rekanku itu
langsung memahami maksudku yang sebenarnya. Hanya perbatasan dengan Thailand
yang ada di sebelah barat.
Mereka belum siap
untuk melarikan diri, tapi mereka mengatur agar aku bisa mendapat giliran jaga
malam, sehari sebelum rapat dengan Gubernur dimulai. Dengan begitu aku sudah
bisa sehari berada dalam perjalanan, sebelum Gubernur tahu bahwa aku tidak ada.
Aku berembuk dengan
keluargaku mengenainya. Adikku Hok memilih lebih baik tetap tinggal selama
beberapa waktu lagi di Battambang sambil menunggu Hong Srun, yang masih belum muncul-muncul
juga. Balam memutuskan ikut dengan aku, bersama istri dan anak-anaknya. Aku mengatakan
kepadanya agar berangkat sebelum fajar menyingsing tanggal 14 Mei, lewat Jalan Nasional
5. Tengah hari aku pasti sudah menyusul,
"Paman,"
kata Ngim padaku, "aku ingin ikut dengan Paman."
Aku melarangnya.
Kusuruh dia tinggal bersama Hok. Tapi Ngim terus saja merengek ingin ikut. Akhirnya
aku membolehkan, tapi asal diizinkan oleh Hok. Adikku itu ternyata mengizinkan,
di luar dugaanku.
Aku sangat suka
kepada Ngim, dan keponakanku itu juga sangat sayang padaku. Anak itu sehat dan
aktif. serta berkemauan keras, seperti ibunya. Ia tidak takut terhadap siapa
pun juga.
Kusuruh Ngim
memasukkan pakaiannya ke dalam ranselku. Nanti ia harus membawanya selama
beberapa jam perjalanan yang pertama. sampai aku menyusul mereka.
Tanggal 13 Mei,
malamnya aku melakukan dinas jaga di rumah sakit. Tidak sabar rasanya menunggu
datangnya pagi. Dan ketika fajar sudah menyingsing aku bergegas mengenakan
pakaian sehari-hari, lalu mulai mengayunkan langkah ke arah perbatasan
Thailand.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar